Anda di halaman 1dari 8

NAME : DETIRA PUTRI MANULCHAN

NPM : 1006010020
FACULTY/DEPARTMENT/ SEMESTER : KIP/ B. INGGRIS/ V
STUDY : RHETORIC
TASK ABOUT RHETORIC IN ISLAM
RHETORIC OF ISLAM

Retorika berasal dari bahasa Yunani “RHETOR” atau bahasa Inggris “ORATOR” yang
berarti “kemahiran dalam berbicara dihadapan umum”. I Gusti Ngurah Oka, memberikan definisi
sebagai berikut“Ilmu yang mengajarkan tindak dan usahayang untuk dalam persiapan,
kerjasama, serta kedamaian ditengah masyarakat”. Dengan demikian termasuk dalam cakupan
pengertian Retorika adalah: Seni berbicara-Kemahiran dan kelancaran berbicara-Kemampuan
memproduksi gagasan-Kemampuan mensosialisasikan sehingga mampu mempengaruhi
audience. Sementara menurut yang lain, retorika (rhetoric) secara harfiyah artinya berpidato atau
kepandaian berbicara Dan kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking.

Disetiap Negara, agama, adat, kelompok selalu ada yang namanya retorika, di dalam
kehidupan sehari-hari terkadang tanpa disadari kita juga sedang beretorika. Di dalam Islam juga
ada retorika, retorika Islam berbeda dengan retorika lainnya seperti orator, kampanye ,dll. Islam
mengenal hanya dakwah sebagai retorikanya. Adapun dakwah berasal dari bahasa Arab yang
artinya ‘mengajak’ atau ‘menyeru’. Banyak sekali pengertian dakwah yang dikemukakan oleh
para ahli dakwah, tapi pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah aktivitas
mengubah situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan Islam menjadi situasi dan kondisi yang
sesuai dengan kehidupan Islam. Dengan demikian yang diinginkan oleh dakwah adalah
terjadinya perubahan ke arah kehidupan yang lebih Islami. Dari definisi tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa retorika dakwah adalah ketrampilan menyampaikan ajaran Islam secara
lisan guna memberikan pemahaman yang benar kepada kaum muslimin agar mereka dapat
dengan mudah menerima seruan dakwah Islam yang karenanya pemahaman dan prilakunya
dapat berubah menjadi lebih Islami. Atau retorika Dakwah dapat dimaknai pula sebagai pidato
atau ceramah yang berisikan pesan dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu
pada pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125:

“Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka secara baik-baik…”

Retorika dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-
Qaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan prinsip-prinsip retorika
Islam sebagai berikut:

1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim.

Hal ini merupakan perintah langsung dari Allah untuk berdakwah, maka setiap individu
muslim tertuntut untuk mengerjakannya dengan bentuk dan cara tertentu. Sudah tentu, bentuk
dakwah berbeda-beda. Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis buku,
mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat-pusat keilmuan, kutbah
jumat, pengajian di masjid atau di tempat-tempat lain.

2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.

Seorang ahli dakwah harus benar-benar memahami bahwa dia menyeru ke jalan Allah
untuk menunjukan manusia ke jalan yang digariskanNya,  sehingga mampu melakukan ibadah
kepadaNya semata dan bermuamalah dengan sesama manusia secara baik dan benar. Dengan
begitu, akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan di akhirat kelak memperoleh imbalan yang
baik. Seorang dai tidak mengajak orang lain untuk ikut menuju jalannya sendiri atau
kelompoknya. Tetapi harus mengajak mereka ke jalan Tuhannya semata. Seperti firman Allah:

 ”Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu ia berkata kepada manusia ”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah” (Ali Imron ayat 79)

3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.

Pengertian hikmah adalah mengajak manusia kepada akal manusia dengan dalih-dalih
ilmiah yang memuaskan dan dengan bukti-bukti logika yang cemerlang. Semua itu dimaksudkan
untuk mengikis keraguraguan dengan argumentasi dan penjelasan, menolak hal-hal subhat dan
mengalihkan kepada hal-hal yang jelas, tegas dan mudah dipahami. Inilah bekal dari bagi para
dai atau penyeru kebaikan dalam era informasi sekarang. Yang pasti, kita semua perlu
mengambil bagian dalam proyek retorika Islam ini. Agar nilai-nilai Islam bisa dipahami dengan
benar, begitu juga praktek-praktel amal yang kemudian mengikutinya. Jika dalam kehidupan
keseharian nilai-nilai islam benar-benar sudah dilaksanakan, maka kemenangan Islam bukan lagi
sekedar impian. (Yons Achmad)

Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam adalah
sebagai berikut :.

1.  Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material.

2.  Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita.

3.   Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur.

4.   Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu.

5.   Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah.

6.   Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan.

Untuk bisa berdakwah dengan baik, ada tiga bagian yang hendak kita bahas, yaitu :

1.      Persiapan

Apapun kegiatan yang hendak kita lakukan, persiapan merupakan sesuatu yang amat
penting. Dalam berceramah atau berdakwah, persiapan menjadi lebih penting lagi bagi pemula
atau siapa saja yang belum berpengalaman. Adapun langkah- langkah yang harus dipersiapkan
adalah sebagai berikut.
a.       Mentalitas yang memadai
Persiapan mental dalam berdakwah (ceramah/pidato) adalah dengan menumbuhkan
kedalam jiwa kita rasa percaya diri yang tinggi.
b.      Memahami latar belakang jamaah
Memahami latar belakang jamaah memiliki arti yang sangat penting agar kita tahu
gambaran keadaan jamaah. Dari sini kita bisa menentukan tema apa yang perlu diangkat atau
disinggung.
Ali bin Abi Thalib berkata :
‫حد ثوا الناس بما يعرفون اتحبون ا ن يكذبون هللا ورسوله‬
“Berbicaralah dengan orang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, apakah engkau
suka Allah dan Rasulnya didustakan ?”
Dari Aisyah ra, beliau berkata :
‫امرنا رسول هلل صلى ا هلل عليه وسلم ان ننزل النا س منا زلهم‬
“Rasulullah SAW Memerintahkan kepada kami untuk menempatkan manusia sesuai
kedudukannya”1[4]

c.       Menentukan masalah


Ceramah yang baik adalah ceramah dengan permasalahan atau pembahasan yang jelas,
sehingga ceramah itu sendiri tidak simpang siur, karena punya target pembahasan yang jelas.
d.      Mengumpulkan bahan
Setelah tema ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan bahan agar
pembahasan materi ceramah bisa disampaikan dengan wawasan yang luas dan ilustrasi yang
tepat.
e.       Menyusun sistematika
Untuk memudahkan pembahasan perlu disusun sistematika uraian materi pembahasan
dengan sub-sub bahasan berikut dalil dan data lainnya yang menguatkan argumentasi.
f.       Menjaga dan mempersiapkan kondisi fisik
Diamping kesiapan akal dengan mengusai materi yang hendak dibahas, seorang
penceramah juga harus menjaga dan juga mempersiapkan kondisi fisiknya agar tetap prima
selama berlangsungnya ceramah. Demikian juga dengan penggunaan pakaian yang pantas untuk
dikenakan agar menyenangkan mata orang yang memperhatikan sehingga menjadi enak dilihat.
2.      Pelaksanaan dakwah (pidato/ceramah)
Setelah persiapan dilaksanakan dengan baik, maka berikutnya adalah bagaimana
penampilan saat berdakwah (pidato/ceramah), beberapa hal berikut menjadi sesuatu yang harus
diperhatikan.

a.       Tampil mengesankan


Meskipun dalam dakwah kita menuntut jamaah untuk menggunakan prinsip “ perhatikan
apa yang dibicarakan, jangan perhatikan siapa yang berbicara”, namun penampilan yang
mengesankan tetap diperlukan. Misalnya dengan wajah ceria dan tutur kata yang baik,
sebagaimana dalam hadits :
‫ ال تحقرن من ا‬: ‫ قال لى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬: ‫وعن ا بى ذ ر رضى هللا عنه قال‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫لمعروف شيئا ولو ان تلقى اخا ك بوجه طليق‬
"Dari Abu Dzar ra, ia berkata : Rasulullah bersabda kepada saya : “ jangan sekali-
sekali meremehkan perbuatan baik, walaupun menyambut saudaramu dengan muka ceria”.
(HR. Muslim)

1
‫ ا تقو ا النا‬: ‫ قال رسول ا هلل صلى ا هلل عليه وسلم‬: ‫وعن عدى بن حا تم رضى ا هلل عنه قال‬
)‫ فمن لم يجد فبكلمة طيبة (متفق عليه‬. ‫ر ولو بشق تمر ة‬
“ Dari Adiy bin Hatim ra, ia berkata :Rasulullah SAW bersabda : “takutlah kalian
terhadap api neraka, walau hanya dengan menyedekahkan separuh biji kurma. Apabila tidak
mendapatkannya, cukup dengan berkata yang baik” ( HR. Bukhori dan Muslim)2[5]
b.      Menguasai forum
Penceramah (da’i) Terlebih dahulu menguasai dirinya sendiri agar tidak gugup atau
grogi. Setelah itu, Insya Allah akan mudah untuk menguasai forum.
Sabda Rasulullah SAW :
“sesungguhnya Allah sangat senang jika salah seorang diantara kamu melakukan
sesuatu dengan cara yang tekun(profesional). Sebagaimana yang disebutkan, sesungguhnya
Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik mungkin dalam segala sesuatu”3[6]
c.       Jangan menyimpang
Penceramah harus tetap berpijak pada tema yang sudah dipersiapkan, jangan sampai
melebar terlalu jauh dengan membahas hal- hal yang tidak direncanakan untuk dibahas.
Diriwayatkan ada seorang Arab Badui berbicara dihadapan Rasulullah dengan panjang
lebar, maka beliau bersabda :
‫فنضر ا هلل و جه ه مرئ او جز فى كال‬،‫و ا ن ا هلل عز و جل يكره اال نبغا ق فى ا لكالم‬
‫مه فا قتصر على حا جته‬
“ sesungguhnya Allah Azza wajalla membenci berlebih- lebihan dalam pembicaraan.
Semoga Allah SWT menerangi wajah seseorang yang mempersingkat pembicaraan sehingga dia
meringkas kadar keperluan”4[7]
d.      Gaya yang orisinil
Penceramah sebaiknya menggunakan gayanya sendiri. Jangan meniru orang lain. Hal ini
akan mempermudah ceramahnya, sekaligus dapat menjaga wibawanya.
e.       Bersikap sederajat
Saat berdakwa (ceramah), sebaiknya bersikap sederajat, jangan terlalu menggurui.karena
itu, dalam menyampaikan pesan, gunakanlah istilah “kita” bukan “anda”, apalagi “kalian”.
f.       Mengatur intonasi
Ceramah yang menarik adalah ceramah yang nadany naik turun. Tidak datar terus atau
tidak tinggi terus menerus, apalagi bila dalam ceamah berkisah tentang dua orang yang
berdialog, tentu hrus dapat dibedakan suara antara tokoh yang satu dengan yang lain.
g.      Mengatur tempo
Dalam memberikan ceramah, seorang penceramah hendaknya mengatur tempo
pembicaraan sehingga antara kalimat yang satu dan kalimat berikutnya diberikan jarak. Dari sini
seorang penceramah tidak berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat.
h.      Memberi tekanan
Kalimat yang amat penting untuk dipertegas kepada pendengar, harus diberi tekanan
dengan cara mengulang- ulang, dengan begitu jamaah mendapat kejelasan yang memadai.
‫ كا ن كال م رسول ا هلل صلى ا هلل عليه و سلم‬: ‫وعن عا ئسة رضى ا هلل عنها قا لت‬
)‫كال م فصال تفهمه{ كل من يسمعه (رواه ابو داود‬
"Dari Aisyah ra, ia berkata : “perkataan Rasulullah adalah ucapan yang sangat jelas,
jika orang lain mendengarnya, pasti dapat memahaminya”. (HR. Abu Daud)5[8]
i.        Memelihara kontak dengan jamaah

5
Ceramah yang sudah berlangsung lebih dari 30 menit biasanya melelahkan jamaah. Oleh
karena itu, kontak dengan jamaah jangan sampai terputus, misalnya dengan bertanya, memberi
humor yang segar dan relevan.
j.        Pengembangan bahasan
Untuk menambah daya tarik dalam pembahasan, diperlukan pengembangan bahasa.
Pertama, penjelasan, yakni keterangan tambahan yang sederhana dan tidak terlalu rinci. Kedua,
memberikan contoh yang relevan dengan pembahasan sehingga masalah yang dibahas akan
menjadi tambah jelasbdan konkret. Ketiga, memberikan analogi, yaitu perbandingan antara dua
hal, baik untuk menunjukkan persamaan maupun perbedaan. Keempat, memberikan testimoni,
yakni mengutip, baik ayat, hadits, kata mutiara, keterangan para ahli, buku, dll.
k.      Memberi kesimpulan
Bila diperlukan, penceramah dapat memberikan kesimpulan dari uraiannya, lalu
lanjutkan dengan kalimat penutup
3.      Langkah- Langkah Sesudah Berdakwah (pidato/ceramah)
Meskipun ceramah sudah berlangsung dengan baik menurut sang penceramah, ada
beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, turun dari podium dan berbicara dengan tenang
menuju tempat duduk semula. Kedua, kalau perlu mencari informasi tentang respons jamaah.
Ketiga, mengevaluasi ceramah yang sudah disampaikan.
Demikianlah secara umum dakwah (ceramah)yang baik. Bagi yang ingin pandai berceramah
tentu saja harus banyak berlatih, baik sendiri atau bersama- sama. Untuk mudah mengeluarkan
kata- kata yang baik tentu harus memiliki banyak perbendaharaan kata- kata dan hal itu dapat
diperoleh melalui banyak membaca maupun banyak mendengar retorika orang lain.

Pentingnya Retorika dalam Dakwah


Ceramah, pidato, atau khutbah merapakan salah satu bentuk kegiatan dakwah yang sangat
sering dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan khutbah pada hari Jumat
adalah merupakan kegiatan wajib yang harus dijalankan saat melaksanakan sholat Jum’at. Agar
ceramah atau khutbah dapat berlangsung dengan baik, memikat dan menyentuh akal dan hati
para jamaah, maka pemahaman tentang retorika menjadi perkara yang penting. Dengan
demikian, disamping penguasaan konsepsi Islam dan pengamalannya, keberhasilan dakwah juga
sangat ditentukan oleh kemampuan komunikasi antara sang muballigh atau khatib dengan
jama’ah yang menjadi obyek dakwah.. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut
menunjukkan, dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat
dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda
sesuai hadits: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal
mereka”.
a.      Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap.
Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang
dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.
b.      Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum
dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah,
dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c.       Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini
dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong
supaya berpikir secara sehat.
Berikut ini ada beberapa kiat agar ceramah yang pemakalah kutip dari beberapa sumber
dengan menggunakan retorika berhasil:
1        Pahami dan kuasai pembahasan secara baik. Perlu setiap da’i menyiapkan kisi materi
pembicaraan dan rujukan yang diperlukan agar ketika berbicara tidak kehilangan kontrol.
2        Amalkan ilmu yang disampaikan dan diajarkan. Beri contoh dari diri sendiri tentang apa yang
hendak disampaikan, hal ini untuk menutup dzan (prasangka) orang lain bahwa kita “omong
kosong”.
3        Pilih pembicaraan yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, pandai melihat fenomena yang
berkembang di tengah hadirin, juga latar belakang social cultural meraka. Hal ini agar lebih
mendekati kebutuhan audiens dan membangkitkan spirit keagamaan mereka.
4        Sampaikan informasi segar sesuai dengan perkembangan yang berlangsung. Fenomena kekinian
yang terjadi bisa menjadi informasi menarik bagi hadirin. karenanya perlu disampaikan sesuai
kebutuhan dan bisa menjadi penambah materi yang disampaikan.
5        Gaya atau cara penyampaiannya hendaknya yang variatif, tekanan suara, turun naik nada,
penggalan kalimat, hingga bunyi suara ( tenor, bariton, dsb), merupakan bagian dari retorika
vang amat penting.
6        Diantara bagian-bagian retorika itu, sekali-kali perlu diselipkan humor untuk  lebih menekankan
minat dan perhatian pendengar. Namun demikian, hindari jenis humor yang justru bertentangan
dengan esensi dakwah. Janganlah humor yang “esek-esek”, walaupun memang humor jenis
demikian sangat digemari orang banyak.
7        Dalam ceramah seringkali ada kalimat-kalimat yang amat penting untuk dipertegas kepada
pendengar. Kalimat itu harus diberi penekanan dengan cara mengulang-ulang, karena dengan
begitu jama’ah mendapat kejelasan yang memadai. Bahkan hal ini bisa dibantu dengan
menggunakan gerakan tangan seperti menunjukkan atau memperlihatkan jumlah jari sebagai
isyarat dari jumlah masalah yang menjadi pembahasan. Ini berarti diperlukan penggunaan bahasa
badan untuk memperjelas, memudahkan pemahaman dan meningkatkan daya tarik ceramah agar
lebih komunikatif.
8        Sertakan dalil dan argument yang kuat. Stateman atau pernyatan da’i, walaupun sudah menjadi
hal umum yang dibenarkan agama, alangkah baiknya jika diberi penguat berupa dalil atau nash
yang mendukung pernyataan itu. Argument juga penting untuk menekankan pernyataan sehingga
audiens mencatatnya dalam hati dan benak mereka bahwa apa yang disampaikan itu benar
adanya.
9        Disiplin dengan waktu yang telah disepakati. Sebaik-baik pembicaraan adalah yang pendek
namun efektif, sedang seburuk-buruk pembicaraan adalah yang panjang bertele-tele tapi
menyesatkan. Karena itu alangkah bijaknya da’i menepati waktu yang telah ditetapkan untuk
berceramah baginya.
10    Dan yang tidak kalah pentingnya dari semua kiat di atas, adalah landasi dakwah kita ini semata-
mata untuk mencari ridlo Allah SWT. Bukan karena mencari ketenaran, dipuji orang, atau hal-
hal yang bersifat duniawi, namun semata-mata demi meninggikan kalimah Allah.
KESAN SENI BERBICARA (RETORIKA) RASULULLAH SAW
Pada diri Rasulullah SAW terdapat contoh yang baik dalam seni berbicara atau pidato
(retorika). Rasulullah adalah seorang orator yang ulung yang dapat memikat hati para pendengar
(audience) atau umatnya. Kata- katanya ringkas tetapi padat, berapi-api yang dapat
membangkitkan semangat perjuangan bagi para sahabat dan umatnya. Nabi sukses dalam
retorikanya, antara lain karena beliau praktis dalam melaksanakan keharusan- keharusan yang
mesti dilakukan oleh orator.
1.      Perhatian terhadap auditorium dan audience
Auditorium adalah tempat menyampaikan pembicaraan dakwah atau ceramah, biasanya
dilakukan didalam ruangan(masjid) atau di ruang terbuka (lapangan). Seorang da’i, harus teliti
memperhatikan masalah auditorium karena sangat mempengaruhi kemantapan para audience
(mad’u) dalam menerima pelajaran atau pesan dakwah. Untuk itu kebersihan dan kenyamanan
auditorium harus benar- benar diperhatikan. Rasulullah, menyuruh mebersihkan masjid dan
menjauhkan segala bau yang kurang sedap, malah lebih dari itu masjid harus dijauhkan dari
tempat- tempat pembuangan sampah.
Didalam memberikan dakwah, Rasulullah cukup serius memperhatikan audience, dimana
beliau dapat menilai siapa- siapa hanya setengah- setengah, dan siapa- siapa yang acuh tak acuh.
Menurut riwayat Bukhari dari Abu Waqi Ak- Laitsi, antara lain : sewaktu Nabi sedang duduk
dalam masjid bersaMa dengan orang banyak, datang tiga orang umat. Yang dua orang masuk ke
dalam masjid dan memasuki majlis Rasulullah dan satu orang lagi tidak turut masuk. Keduanya
berdiri, yang seorang lagi duduk saja dibelakang orang banya. Setelah Rasulullah selesai
berbicara dan ketiga orang tadi berlalu, maka beliau berkata : “ yang seorang mencari tempat
kepada Allah, maka diberi tempat kepadaAllah, yang seorang lagi merasa malu, maka malu
pula Allah kepadanya, dan yang lain membelakangi saja, maka Allah membelakangi pula
padanya”.
2.      Podium dan audience
Agar pembicara (da’i) lebih menonjol tempatnya dari para audience, maka Rasulullah
sendiri telah menggunakan podium (mimbar) yang terbuat dari kayu. Mengenai posisi podium
dan posisi audience di zaman Nabi, dijelaskan dalam Hadits :
‫ م خلس ذات يوم على المنير وجلسنا حوله‬. ‫ ان انبي ص‬: ‫عن ابي سعيد الخدرى قال‬.
“ dari Abu Sa’id Al- Khudri katanya : sesungguhnya Nabi SAW pada suatu hari duduk
diatas mimbar dan kami duduk mengelilinginya.” (HR Bukhari)
Dengan posisi yang dijelaskan oleh hadits tersebut, memungkinkan para pendengar bisa
menangkap materi dakwah dengan sebaik- baiknya.
3.      Isi pidato (pesan dakwah)
Menurut riwayat Ibnu Majah, beliau menjelaskan apabila Rasulullah akan memulai suatu
pembicaraan atau ketika Rasulullah naik mimbar, selalu meberi salam.
Dengan keterangan diatas, menunjukkan bahwa sunah pidato itu mulai dengan salam,
kemudian puji- pujian kepada Allah dan Tasyahud lalu memasuki materi dakwah.
‫كا ن رسو ل هلل ص م يحطب قائماويجلس بين الخطبتين ويقراءاياتويذكر‬: ‫قال جا بر‬
‫الناس‬.
“ Telah berkata Jabir : Adalah Rasulullah SAW Berkhotbah dengan berdiri, dan ia
duduk diantara dua khotbah dan ia baca beberapa ayat dan ia ingatkan manusia” (HR Ahmad
dan Muslim)
Jika Nabi berkhotbah, biasanya tidak panjang tidak bertele- tele, melainkan pendek tetapi
padat dan mudah dipahami. Dalam hadits dijelaskan :
‫ اليطيل الموعظة اليوم الجمعة انما هو كلمات بسيراة‬.‫ كان رسول هلل ص م‬:‫قال جابر‬.
“Telah berkata Jabir : adalah Rasulullah SAW tidak memanjangkan nasihat pada hari
Jum’at Khotbahnya itu hanya beberapa kalimat yang mudah”. (HR Abu Dawud)
Adapun tentang sikap pembicara (da’i) :
“telah berkata Jabir : Adalah Rasulullah bila berkhotbah,merah dua matanya dan keras
suaranya dan sangat berangnya, sehingga seolah- olah beliau seorang pemimpin tentara yang
berkata : Ingat ! musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi dan pada waktu petang” (HR
Muslim).
Riwayat ini menunjukkan bahwa sikap dan sifat Nabi dikala berpidato yang menggambarkan
semangat beliau yang berapi-api.
Didalam retorika modern dijelaskan adanya “Repetition” yaitu hukum ulangan, sebagai
contoh : pukullah-pukullah untuk kedua kalinya dengan keras dan terus pukul,akhirnya akan
menjadi keyakinan.
Mengenai hal ini Rasulullah bersabda :
‫عن انس عن النبى ص م انه كا ن ا ذا تكلم بكلمة ا عا د ها ثال ثا حتى تفهم‬
“ Dari Anas : Sesungguhnya Nabi apabila mengucapkan suatu kata-kata diulangnya sampai
tiga kali, sehingga orang mengerti maksudnya” (HR Bukhari)
Mengulang perkataan tiga kali, tentu tidak terus menerus, tetapi hanya pada suatu
keadaan yang dipandang perlu, supaya audience benar- benar mengerti.
Sedangkan untuk menjaga kebebasan audience, diterangkan :
“ Dari Abu Wail, katanya : Abdullah bin Umar memberi pelajaran kepada orang- orang
banyak pada tiap- tiap hari kamis. Ada seorang lelaki berkata : Hai Abu Abdurrahman ! saya
mengharap supaya tuan mengajar kami tiap hari, jawab Abdullah : sesungguhnya yang menjadi
halangan ialah, karena nanti akan membuat tuan- tuan bosan (jemu). Saya suka memilih waktu
yang baik untuk memberi pelajaran, sebagaimana Nabi juga memilih waktu yang baik untuk
mengajar kami, menjaga supaya kami jangan bosan”. (HR Bukhari)
Dari riwayat ini dapat diambil pelajaran, bahwa kitta hendaknya memahami jiwa massa,
yakni mengerti batas kesanggupan audience (mad’u) didalam menerima dakwah (mendengarkan
ceramah), jangan sampai mad’u merasa bosan.
Oleh karena itu perlu menetapkan waktu yang tepat, didalam mengadakan suatu ceramah
atau komunikasi. Demikian juga lebih baik pembicaraan dihentikan sebelum audience (mad’u)
menjadi jemu. Adapun audience yang sudah jemu masih teus di isi atau diberi ceramah, akan
menimbulkan antipati, yang sudah barang tentu akan merugikan komunikator (da’i).

Anda mungkin juga menyukai