simbolisme. Hingga saat ini, kebanyakan penulis jika berbicara tentang logika,
masih mengikuti pola To Organon, yaitu tentang ide, tentang keputusan, dan
tentang proses pemikiran.
Sepanjang empat belas abad, sebagai peradaban, Islam telah menghadapi
tantangan utama budaya luar pada dua kesempatan. Pertama, terjadi pada
masa-masa awal Islam, yaitu ketika filsafat dan ilmu Yunani, India, dan Persia
masuk ke dunia Islam bersamaan dengan munculnya kaum muslimin sebagai
kekuatan penting di wilayah Timur Tengah. Kedua, dimulai kira-kira dua abad
yang lalu memlaui penjajahan Eropa atas Timur Tengah.1
Mengutip pendapat Shams Inati, para sejarawan sendiri memiliki
perbedaan pendapat dalam memperkirakan kapan permulaan gerakan
penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab, suatu gerakan
yang menurutnya membantu membangun logika dan filsafat Arab.2 Menurutnya,
sebagian sejarawan berpendapat bahwa masa tersebut terjadi selama periode
kekahlifahan Bani Umayyah yaitu sekitar tahun 40-133 H/ 661-750 M. Sebagian
lainnya berpendapat bahwa hal tersebut berlangsung pada abad pertama di masa
kekhalifahan bani Abbasiyah yaitu sekitar tahun 133-235 H/750-850 M. Meski
terdapat perbedaan, namun ada beberapa hal yang bisa dicatat dari sejarah
perkembangan logika Arab.
Titik puncak gerakan penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam
bahasa Arab terjadi pada abad ke-3 H/9 M dan 4 H/10 M. Ini dilaksanakan
terutama di Baitul Hikmah, yang didirikan pada 217 H/832 M oleh khlifah
‘’Abbasiyah, al Ma’mun (199-218 H/813-833M).
Proses penerjamahan yang dilakukan di aas, sebagian besarnya tidak
langsung dari bahasa Yunani, namun justru dari bahasa Suryani. Bahkan, sudah
sejak beberapa abad sebelum Islam dilahirkan, penerjemahan karya-karya ilmiah
dan filosofis Yunani ke dalam bahasa Suryani tersebut telah dilakukan oleh
orang-orang Nestoria di Timur dan Jakobit di Barat. Gerakan penerjemahan ke
1
Shukri B. Abed, “Bahasa” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Seyyed Hossein
Nasr dan Oliver Leaman, Mizan: Bandung, 2003, hlm. 1206
22
Shams Inati, “Logika” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver Leaman, Mizan: Bandung, 2003, hlm. 1112
66
dalam bahasa Suryani semakin meningkat setelah beberapa orang seperti Yakob
dari Edessa dan George, yaitu seorang uskup masyarakat Arab, yang merupakan
orang-orang berbahasa Suryani belajar di Iskandariyah. Tempat tersebut
merupakan tempat di mana budaya Yunani tumbuh dan berkembang.
Terjemahan-terjemahan ini dilangsungkan terutama di sekolah maupun biara di
wilayah Persia, irak, Suriah, dan Mesir. Wilayah-wilayah ini adalah wilayah yang
pertama di mana orang Arab mulai menjalin interaksi pada masa-masa awal
penaklukan Islam.3
Di antara para penerjemah logika Yunani yang paling terkenal adalah
Abdullah ibn Ali al Muqaffa’, Yahya (Yuhanna) ibn al-Bithriq, Hunain ibn Ishaq,
Ishaq ibn Hunain, Hubaisy ibn al Hasan al Dimasyqi, Abu Bisyr al Matta ibn
yunus dan lain-lain.
Pada masa-masa awal, penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam
bahasa Arab hanya difokuskan pada bagian Isagoge karya Porphyry (w. 304), dan
Categories, De Interpretatione, juga Prior Analytics karya Aristoteles. Posterior
Analytics karya Aristoteles belum diterjemahkan sebelum abad ke-10. Tingginya
posisi karya tersebut di dalam logika Arab ditambah lagi dengan
diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab rupanya menjadi pertanda
“perceraiannya” dengan tradisi Suryani yang seolah-olah tidak beranjak dari Prior
Analytics.4
Yang terjadi pada abad ke-9 dan ke-10, menginformasikan bahwa saat itu
bukan hanya menjelaskan tentang terjemahan pertama atas karya-karya logika
Yunani ke dalam bahasa Arab, namun juga tentang penyempurnaan terjemahan
tersebut, termasuk juga ringkasan, pegembangan, maupun komentas atas
karya-karya tersebut. Mengikui pendapat Shams Inati, maka paling tidak akan
muncul tiga macam komentar atas karya-karya tersbut yang diberikan oleh
komentator setelahnya, yaitu panjang, sedang, dan pendek.5 Hal ini bisa dilihat
dari komentar Ibnu Rusyd misalnya. Jika diperhatikan, maka model komentar ini
mirip dengan model komentar yang berasal dari tradisi Suryani. Namun untuk
3
Shams Inati, Ibid, hlm. 1113
4
Ibid. hlm. 1114
67
5
Ibid
68
6
Ibid, hlm. 116
69
logika, fungsi dan manfat logika, hubungan logika dan tata bahasa dan bahasa
umumnya, hubungan logika dengan filsafat dan, akhirnya, predikabel-predikabel,
yaitu subyek karya Porphyry, Isagoge.
Untuk pembahasan sebagaimana hal tersebutlah para ahli logika Arab
mampu memperlihatkan sisi orisinalitas mereka. Berdasarkan alasan tersebut,
penelitian ini akan menguraikan makna logika sebagaimana dipahamai oleh ahli
logika dunia Arab dan selanjutnya ke kajian bagian-bagian pembahasan logika
secara umum.