Anda di halaman 1dari 7

63

JEJAK HISTORIS LOGIKA DALAM ISLAM


(Oleh: Muhammad Nur)

Membicarakan hubungan logika dan agama di dunia Islam kiranya akan


merujuk pada dua hal; pertama, logika dalam teks-teks keagaman, yaitu dari teks
sebagai doktrin suci dan juga sebagai sebuah sabda dari Nabi hingga
komentar-komentar seputar al-Qur’an dan teks yang berhubungan dengan
pokok-pokok dan dasar-dasar hokum. Intinya semua hal yang mempergunakan
penalaran dalam rangka mengajak pendengar atau orang yang diajak bicara untuk
percaya. Kedua, logika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari dan menerapkan
secara bebas dan sebagai alat untuk menalar pada aliran-aliran dalam teologi
Islam (sejak Asya’riyah hingga Mu’tazilah dan juga syiah), system-sistem dalam
filsafat Islam (sejak Paripatetik hingga Ilmunatif), dan tipe-tipe pengetahuan di
dunia Islam abad pertengahan, yang secara kuat dipengaruhi oleh doktrin
keagamaan Islam.
Karena itu, tidak heran jika seorang penulis menyatakan bahwa baik dalam
Islam sebagai sebuah agama maupun sebagai sebuah pemikiran, logika
menempati posisi sentral. Sisi penting ini bisa ditemukan dari penalaran dan
penarikan kesimpulan pada beragam pengambilan keputusan di berbagai bidang,
khususnya dalam hukum-hukum agama, teologi, dan filsafat.
Al Qur’an sendiri sebagai kitab suci yang berisi hukum-hukum telah
menunjukkan pentingnya berfikir dan menalar dalam mengambil sebuah
kesimpulan tentang pengambilan keputusan pada praktik keagamaan dan juga
pemahaman teologi, khususnya keberadaan tuhan, asas-usul dunia, asal muasal
manusia, dan hidup sesudah mati.
Istilah logika menurut sejarah pertama kali digunakan oleh Zeno dari
Citium (334-262 SM), pendiri Stoisme. Logika adalah istilah yang dibentuk dari
kata Yunani Logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti
sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan
bahasa. Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu
perimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan atau mengenai
64

bahasa. Dengan demikian, secara etimologis logika berarti suatu pertimbangan


akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa (Rapar:
1996: 52). Dengan demikian penterjemahan istilah logika kepada istilah Mantiq
dalam bahasa Arab sangatlah sesuai (tepat).
Meskipun menurut sejarah, Zeno adalah orang yang pertama kali
menggunakan istilah logika, namun sebenarnya akar logika sudah terdapat dalam
pikiran dialektis madzhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan
perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofislah yang membuat pikiran
manusia sebagi titik persoalan utama pemikiran secara eksplisit. Pada masa
sebelumnya, Gorgias (483-375 SM) dan Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah
pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran.
Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap pikiran
(Poespoprodjo, 1999: 41).
Selanjutnya Sokrates (470-399 SM) mengembangkan metode induktif.
Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret untuk kemudian
dicari ciri umumnya. Plato yang bernama asli Aristokles (428-347 SM)
mengembangkan metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yakni teori
Dinge an Sich versi Plato (Poespoprodjo, 1999: 41-42). Apa yang dirintis oleh
filsuf-filsuf di atas kemudian oleh Aristoteles dikembangkan lagi sehingga
menjadi suatu teori tentang ilmu. Karena itu, logika ilmiah (logike episteme) baru
dapat dikatakan terwujud berkat karya Aristoteles (Poespoprodjo, 1999: 42).
Karya Aristoteles tentang logika, yang selanjutnya diberi nama To
Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dari Rhodos mencakup;
Categoriae (mengenai logika istilah dan prediksi), Peri Hermeneias (tentang
logika proposisi), Analytica Protera (tentang silogisme dan pemikiran), Analytica
Hystera (tentang pembuktian), Topica (tentang berdebat), Peri Sophistikoon
Elegchoon (tentang kesalahan berpikir) (Poespoprodjo, 1999: 42). Di dalam
karyanya itu Aristoteles membahas masalah kategori, struktur bahasa, hukum
formal konsistensi proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, pembedaan
atribut hakiki (sifat esensial), dan atribut bukan hakiki (sifat aksidensial), sebagai
kesatuan pemikiran, bahkan juga telah menyentuh bentuk-bentuk dasar
65

simbolisme. Hingga saat ini, kebanyakan penulis jika berbicara tentang logika,
masih mengikuti pola To Organon, yaitu tentang ide, tentang keputusan, dan
tentang proses pemikiran.
Sepanjang empat belas abad, sebagai peradaban, Islam telah menghadapi
tantangan utama budaya luar pada dua kesempatan. Pertama, terjadi pada
masa-masa awal Islam, yaitu ketika filsafat dan ilmu Yunani, India, dan Persia
masuk ke dunia Islam bersamaan dengan munculnya kaum muslimin sebagai
kekuatan penting di wilayah Timur Tengah. Kedua, dimulai kira-kira dua abad
yang lalu memlaui penjajahan Eropa atas Timur Tengah.1
Mengutip pendapat Shams Inati, para sejarawan sendiri memiliki
perbedaan pendapat dalam memperkirakan kapan permulaan gerakan
penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab, suatu gerakan
yang menurutnya membantu membangun logika dan filsafat Arab.2 Menurutnya,
sebagian sejarawan berpendapat bahwa masa tersebut terjadi selama periode
kekahlifahan Bani Umayyah yaitu sekitar tahun 40-133 H/ 661-750 M. Sebagian
lainnya berpendapat bahwa hal tersebut berlangsung pada abad pertama di masa
kekhalifahan bani Abbasiyah yaitu sekitar tahun 133-235 H/750-850 M. Meski
terdapat perbedaan, namun ada beberapa hal yang bisa dicatat dari sejarah
perkembangan logika Arab.
Titik puncak gerakan penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam
bahasa Arab terjadi pada abad ke-3 H/9 M dan 4 H/10 M. Ini dilaksanakan
terutama di Baitul Hikmah, yang didirikan pada 217 H/832 M oleh khlifah
‘’Abbasiyah, al Ma’mun (199-218 H/813-833M).
Proses penerjamahan yang dilakukan di aas, sebagian besarnya tidak
langsung dari bahasa Yunani, namun justru dari bahasa Suryani. Bahkan, sudah
sejak beberapa abad sebelum Islam dilahirkan, penerjemahan karya-karya ilmiah
dan filosofis Yunani ke dalam bahasa Suryani tersebut telah dilakukan oleh
orang-orang Nestoria di Timur dan Jakobit di Barat. Gerakan penerjemahan ke

1
Shukri B. Abed, “Bahasa” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Seyyed Hossein
Nasr dan Oliver Leaman, Mizan: Bandung, 2003, hlm. 1206
22
Shams Inati, “Logika” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver Leaman, Mizan: Bandung, 2003, hlm. 1112
66

dalam bahasa Suryani semakin meningkat setelah beberapa orang seperti Yakob
dari Edessa dan George, yaitu seorang uskup masyarakat Arab, yang merupakan
orang-orang berbahasa Suryani belajar di Iskandariyah. Tempat tersebut
merupakan tempat di mana budaya Yunani tumbuh dan berkembang.
Terjemahan-terjemahan ini dilangsungkan terutama di sekolah maupun biara di
wilayah Persia, irak, Suriah, dan Mesir. Wilayah-wilayah ini adalah wilayah yang
pertama di mana orang Arab mulai menjalin interaksi pada masa-masa awal
penaklukan Islam.3
Di antara para penerjemah logika Yunani yang paling terkenal adalah
Abdullah ibn Ali al Muqaffa’, Yahya (Yuhanna) ibn al-Bithriq, Hunain ibn Ishaq,
Ishaq ibn Hunain, Hubaisy ibn al Hasan al Dimasyqi, Abu Bisyr al Matta ibn
yunus dan lain-lain.
Pada masa-masa awal, penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam
bahasa Arab hanya difokuskan pada bagian Isagoge karya Porphyry (w. 304), dan
Categories, De Interpretatione, juga Prior Analytics karya Aristoteles. Posterior
Analytics karya Aristoteles belum diterjemahkan sebelum abad ke-10. Tingginya
posisi karya tersebut di dalam logika Arab ditambah lagi dengan
diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab rupanya menjadi pertanda
“perceraiannya” dengan tradisi Suryani yang seolah-olah tidak beranjak dari Prior
Analytics.4
Yang terjadi pada abad ke-9 dan ke-10, menginformasikan bahwa saat itu
bukan hanya menjelaskan tentang terjemahan pertama atas karya-karya logika
Yunani ke dalam bahasa Arab, namun juga tentang penyempurnaan terjemahan
tersebut, termasuk juga ringkasan, pegembangan, maupun komentas atas
karya-karya tersebut. Mengikui pendapat Shams Inati, maka paling tidak akan
muncul tiga macam komentar atas karya-karya tersbut yang diberikan oleh
komentator setelahnya, yaitu panjang, sedang, dan pendek.5 Hal ini bisa dilihat
dari komentar Ibnu Rusyd misalnya. Jika diperhatikan, maka model komentar ini
mirip dengan model komentar yang berasal dari tradisi Suryani. Namun untuk

3
Shams Inati, Ibid, hlm. 1113
4
Ibid. hlm. 1114
67

komentar-komentar berbahasa Arab pada periode ini dan periode setelahnya


kemudian mengalami modifikasi pada bentuk dasar tadi.
Komentar berbahasa Arab atas karya-karya logika Yunani (mengecualikan
karya al-Kindi), kemudian kreaivitas dalam logika Arab berkembang sejak abad
ke-10 hingga ke-14. Pada awalnya dimulai di bagian Timur selanjutnya di wilayah
bagian Barat. Tokoh-tokoh yang penting yang bisa disebut di antaranya adalah
Abu Bakar al Razi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.
Kecuali al-Farabi, hingga akhir abad ke-10, pada umumnya para
logikawan terkemuka adalah orang-orang Kristen. Setelah abad tersebut, logika
kemudian (meminjam istilah Shams Inati) memakai baju Islam. Hal ini
disebabkan logika menjadi alat yang digunakan oleh para pemikir muslim terkenal
untuk berdebat antar mereka ataupun berdebat dengan golongan di luar mereka
(non-muslim) semisal kelompok Kristen dan Yahudi. Terhadap kelompok di luar
Islam ini adalah bagian dari upaya untuk membela argument-argumen agama
Islam. Jika memperhatikan sejarahnya, pada Islam awal, alasan paling kuat
orang-orang Islam untuk mempelajari logika Yunani adalah adanya kebutuhan
untuk bisa saling berdebat tentang persoalan-persoalan teologis seperti
“kebebasan dan keterpaksaan” pada diri manusia. Atau jika diarahkan ke luar
agama Islam, adalah untuk berdebat tentang masalah Trinitas pada agama Kristen.
Di akhir abad ke 14 dan juga sesudahnya, logika Arab ditandai dengan
minimnya kreatifitas. Yang terlihat hanyalah upaya sekedar mengungkapkan
kembali ajaran-ajaran logika pemikir sebelumnya, atau penulisan komentar atas
komentar yang telah dibuat. Dengan merujuk pada buku sejarah Filsafat Islam,
maka bisa dikatakan bahwa perkembangan logika Arab telah berhenti pada abad
ini. Selanjutnya, bidang tersebut mengalami kejumudan hingga masa sekarang.
Dalam sejarah pemikiran keislaman, logika Yunani memiliki pendukung
yang merupakan pemikir Islam yang selalu berupaya menunjukkan sisi penting
logika dan bahkan memepertahankan penggunaannya. Di saat yang sama, logika
pun memiliki penentang yang menilai logika tidak memiliki manfaat sama sekali.
Ibnu Rusyd, sebagai bagian dari kelompok pertama, menerima logika hampir

5
Ibid
68

secara keseluruhan. Bahkan ia mengambil peran sebagai komentator sekaligus


penjelas karya-karya logika Aristoeles.kemudian al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazm,
al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun menerima sebagian besar prinsip-prinsip dasarnya
namun memodifikasinya sesuai dengan budaya, bahasa, dan keyakinan agama
mereka. Pada sisi yang lain, muncul juga nama seperti Ibnu Taimiyah dan
al-Suyuthi yang sama sekali menolak keberadaan logika Yunani.6
Dalam penelitian ini, pembahasan akan banyak dipusatkan pada kelompok
pertama yaitu yang menerima logika, yang meliputi para filsuf islam terkemuka
seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, yang merupakan logikawan awal yang sukses
memodifikasi logika Yunani sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing.
Mereka ini dapat dikatakan sebagai orang yang telah memperkenalkan
unsure-unsur asli ke dalam logika Yunani dan meletakkan dasar bagi
perkembangan logika di waktu-waktu kemudian. Selain itu, kajian ini akan juga
mengeksplore pemikiran al-Ghazali terntang logika.
Sebagaimana umumnya para ahli logika Arab yang lain, al-Farabi dan
Ibnu Sina memulai logikanya tidak dengan pembahasan Categories, sebagimana
yang umunya telah didigariskan oleh tradisi Aristotelian, tetapi dengan
pembahasan yang dianjurkan terutama oleh watak bahasa Arab, agama Islam, dan
tren-tren Filsafat pada zaman itu yang dalam banyak hal diwanai dan dibentuk
oleh tradisi Aleksandrian dan Suryani. Dalam beberapa kasus, pembahasan
pendahuluan ini, tampak dalam karya-karya yang dipandang sebgai pengantar
atau (madkhal) ke dalam logika. Ini bukan berarti bahwa karya-karya itu idak
dianggap sebgai bagian dari logika. Madkhal-nya Ibnu Sina, misalnya memuat
pembahasan seperti itu, dan dinilai oleh pengarangnya sebgai bagian pertama dari
Sembilan bagian logika. Namun, dala kasus-kasus lain, pembahasan semacam itu
muncul dalam karya-karya atau bagian-bagian dari karya yang nampaknya bukan
dimaksudkan sebagai bagia dari logia. Contohnya, adalah karya al-Farabi,
al-alfadz al-musta’malah fi al-Mantiq. Di samping itu, pembahasan-pembahasn
ini tidak mengikuti tata urutan yang sama dalam tulisan-tulisan berbeda sekalipun
dari penulis yang sama. Mereka rupanya terpusat khususnya pada makna istilah

6
Ibid, hlm. 116
69

logika, fungsi dan manfat logika, hubungan logika dan tata bahasa dan bahasa
umumnya, hubungan logika dengan filsafat dan, akhirnya, predikabel-predikabel,
yaitu subyek karya Porphyry, Isagoge.
Untuk pembahasan sebagaimana hal tersebutlah para ahli logika Arab
mampu memperlihatkan sisi orisinalitas mereka. Berdasarkan alasan tersebut,
penelitian ini akan menguraikan makna logika sebagaimana dipahamai oleh ahli
logika dunia Arab dan selanjutnya ke kajian bagian-bagian pembahasan logika
secara umum.

Anda mungkin juga menyukai