Anda di halaman 1dari 42

KONSEP PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM

EKONOMI ISLAM

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

MUHAMMAD IQBAL
125020500111004

JURUSAN ILMU EKONOMI


PRODI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
THE CONCEPT OF POVERTY ERADICATION IN
ISLAMIC ECONOMICS

SCIENTIFIC JOURNALS

By :

MUHAMMAD IQBAL
125020500111004

DEPARTMENT OF ECONOMICS
FACULTY OF ECONOMICS AND BUSINESS
UNIVERSITY OF BRAWIJAYA
MALANG
2017
KONSEP PENGENTASAN KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM

Muhammad Iqbal
Prof. Dr. M. Umar Burhan, SE.,MS.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang


Email : iqbalirti@gmail.co m

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghimpun, menganalisis, membuat interpretasi
serta generalisasi mengenai konsep pengentasan kemisk inan dalam Ekonomi Islam dan
menganalisis relevansinya dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini
merupakan penelitian bibliografis dengan pen dekatan kualitatif grounded theory method yang
mengambil fokus mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang terkait dan relevan dengan topik
penelitian berupa literatur, artikel jurnal ilmiah, buku teks, dan makalah ilmiah. Teknik
pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi literatur. Hasil
pembahasan terhadap konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam terhimpun
dalam sebuah sintesis yang membagi subyek pelaku pengentasan kemiskinan menjadi tiga yakni
Pemerintah, Masyarakat, dan Individu. Terdapat syarat yang harus dipenuhi agar konsep
pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk
mengatasi masalah kemiskinan, yakni: (1) Pengentasan kemiskinan yang dilakukan d a l am Isl a m
kesemuanya haruslah berjalan beriringan dengan usaha rohaniah. (2) Untuk melakukan
pengentasan kemiskinan di dalam ekonomi Islam haruslah dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah .
Selain itu, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan dalam Ek o n o mi
Islam relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia. Bagi penelitian -penelitian terapan
terkait dengan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam yang akan dil akukan di masa depan
perlu kiranya untuk melakukan pengujian dan pengembangan terhadap konsep ini.
Kata Kunci : Konsep Pengentasan Kemiskinan, Penelitian Bibliografis, Ekonomi Islam, Sintesis.

A. PENDAHULUAN

Kajian Ilmu Ekonomi Islam dewasa ini mengalami perkembangan cukup pesat di dunia.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang sekarang adalah ilmu ekonomi yang dibangun ekonom
Muslim modern setelah melakukan proses “Islamisasi” ekonomi modern (klasik & neo -klasik)
(Hoetoro, 2007:153) yang diawali dari sebuah gerakan Islamisasi Pengetahuan (Islamization of
Knowledge/IOK) yang mengusahakan pembebasan pengetahuan dan cabang-cabang keilmuannya
dari interpretasi sekuler atau menyesatkan menjadi selaras dengan worldview (pandangan-dunia)1
dan visi Islam tentang realita dan kebenaran yang wujud sebelum pengelihatan manusia mampu
mengungkapnya.2 Hoetoro (2007:157) menyebutkan adanya proyek Islamisasi pengetahuan
semakin menguatkan berkembangnya kajian-kajian ekonomi Islam yang juga diikuti dengan
didirikannya institusi keuangan dan perbankan Islam yang didirikan sebagai wadah aktualisasi
dari teori ekonomi Islam pada tahun 1980-an. Saat ini pun dalam tataran akademis dan praktis
ekonomi Islam masih dan terus berkembang, hal ini terlihat dengan semakin banyaknya
universitas-universitas di dunia yang membuka program studi ekonomi Islam dan munculnya
institusi keuangan dan perbankan Islam beserta instrumen-instrumennya. Keadaan tersebut tidak
hanya terjadi di negara mayoritas muslim namun juga di negara barat seperti Inggris.
Ilmu ekonomi modern yang ada saat ini mendikotomikan antara ilmu dan agama, dan sarat
akan visi-visi barat di dalamnya. Ada ketidak-sesuaian antara ilmu ekonomi modern dengan visi
Islam, meskipun sebenarnya dari aspek kesejarahan ekonomi modern tidak bisa dilepaskan dari
ekonomi Islam karena banyak sekali sebenarnya kontribusi para ulama dan cendekiawan muslim

1 Alparslan dalam Hoetoro (2007:193) mengatakan bahwa fungsi worldview adalah sebagai dasar
bagi keseluruhan bangunan teori pengetahuan.
2 Pengertian Islamisasi Pengetahuan ini mengacu dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas, untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada (Al-Attas, 1978:44-46) dan (Hoetoro, 2007:163-168)
pada masa The Golden Age of Islam yang mempengaruhi ekonomi modern, namun dengan
dimitoskannya secara sistematik penguatan tesis “the Great Gap” yang ditulis Joseph Schumpeter
(1954) dan sekaligus penafikan kontribusi pemikiran ekonomi di masa Islam Klasik oleh sebagian
besar sarjana Barat (Hoetoro, 2007:29), alhasil pemikiran ekonomi dari para ekonom Islam yang
ber-worldview Islam menjadi tidak kelihatan dan ilmu ekonomi menjadi terde-islamisasi.
Dalam penelitian ini diambil tema mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi
Islam. Setelah pemaparan mengenai asal-usul adanya ekonomi Islam dan sedikit gambaran
mengenai perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi mainstream (yang selanjutnya
akan disebut sebagai ekonomi konvensional) maka dapat disimpulkan bahwa hal-hal tersebut akan
menyebabkan berbedanya pula perumusan dan pemecahan masalah serta pendefinisian fenomena -
fenomena sosial yang ada, yang menjadi orbit dari ilmu ekonomi. Termasuk fenomena dan
masalah sosial yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemiskinan.
Kemiskinan dalam ekonomi Islam lebih kompleks dan mendekati realita jika dibandingkan
dengan kemiskinan yang ada dalam ekonomi konvensional, kemiskinan dalam ekonomi Islam
tidak melulu masalah duniawi saja tapi juga masalah ukhrawi, meskipun ada juga beberapa
persamaan dengan ekonomi konvensional untuk pemaknaan kemiskinan material. Yang paling
penting adalah, Islam sebagai agama yang pertengahan 3 juga memerangi kemiskinan. Berbeda
dengan motif ekonomi konvensional yang berangkat dari sebab bahwa kemiskinan merupakan
penghambat pertumbuhan ekonomi sebagaimana diungkapkan di atas, dalam Islam “permusuhan”
terhadap kemiskinan berangkat dari rasa cinta atau mahabbah kepada Allah, kemudian
pengharapan atau roja’ terhadap rahmat serta ampunan Allah, dan rasa takut atau khouf pada siksa
dan azab dari Allah, yang ketiganya ini merupakan implementasi dari pengesaan terhadap Allah.
Melihat kondisi saat ini jika menggunakan pendekatan Ekonomi Islam mengenai nisab zakat
sebagai ukuran kemiskinan maka jumlah orang miskin akan melebihi dari jumlah yang
dikategorikan menggunakan pendekatan dari Worldbank 4 oleh ekonomi konvensional yakni $
2/hari untuk orang miskin dan $ 1.25/hari untuk orang yang sangat miskin (extremely poor),
karena jumlah orang yang hartanya tidak mencapai nisab dan hidupnya lebih dari $2/hari tidak
dikategorikan sebagai orang miskin oleh Worldbank. Selain itu, saat ini dengan tidak adanya
pemerintahan berlandaskan Islam seperti zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin 5
Ekonomi Islam ditantang untuk dapat memecahkan masalah kemiskinan yang sebagaian besar
terjadi di Afrika dan Asia di mana di benua tersebut banyak negera-negara yang penduduknya
mayoritas Muslim.
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan dari Pew Research Center (2015:74) mengenai perkembangan populasi
agama-agama di dunia per-tahun 2010, Indonesia menduduki posisi puncak negara dengan
populasi muslim terbesar di dunia dengan total populasi muslim sebesar 209,120,000. Angka
tersebut merupakan representasi dari 85% total penduduk Indonesia dan menyumbang 13.1%
penduduk muslim sedunia. Memiliki kurang lebih seperempat miliar manusia yang 85%-nya
beragama Islam, berbeda dengan Negara mayoritas muslim lain Indonesia cenderung mengalami
jumlah penurunan penduduk miskin yang penurunannya cenderung melambat tahun ke tahun dari
tahun 1996 sampai 2012, sebagaimana terlihat pada (gambar 1) di mana penduduk miskin pada
tahun 1996 berjumlah 34.01 juta jiwa yang merupakan representasi dari 17.47% total penduduk
saat itu. Kemudian pada 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 28.59 juta jiwa yang
merupakan representasi dari 11.66% dari total penduduk di Indonesia.

3 Lihat Q.S. Al Baqarah (2:143)


4 World Bank. 2014. Poverty Overview, Artikel (online).
http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview diakses 26 Agustus 2015
5 Khalifah yang diberi petunjuk oleh Allah, yakni pengganti Nabi setelah Nabi wafat, Abu Bakar

Asy Sidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun ada sebagian
ulama yang menambahkan Umar bin Abdul Aziz karena saking sukses dan fantastisnya era
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dan karena dekatnya ciri-ciri dan sifat-sifat Umar bin Abdul
Aziz dengan Khulafaur Rasyidin sebelumnya.
Gambar 1 : Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012)
Kendati Indonesia mengalami jumlah penurunan angka kemiskinan namun ternyata
ketimpangan pendapatan malah semakin meningkat, berdasarkan informasi dari World Bank
(2014a) Indonesia memiliki tingkat ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, dengan naiknya

Sumber: Kementrian Sektetariat Negara (2013)

koefisien Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012. Hal ini menunjukkan tidak meratanya
distribusi kekayaan di Indonesia dan masih perlunya perbaikan dalam kebijakan penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Menurut Suyanto (2013:243) belum adanya kerjasama yang benar-benar
terpadu, dan ditambah lagi dengan orientasi program yang belum bersifat kontekstual, maka bisa
dipahami jika pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan belum memperlihatkan hasil
yang signifikan apalagi memperlihatkan daya ungkit yang benar-benar nyata.
Terlepas dari faktor politik dan faktor-faktor lain yang ada, miris rasanya melihat kaum
Muslimin dengan ajaran Islam yang paripurna dan diridhoi Rabb semesta alam hingga akhir
zaman mengalami penyakit kemiskinan yang sesungguhnya penyakit tersebut sudah ditemukan
penawarnya. Oleh karena itu, dewasa ini cukup banyak cendekiawan dari kaum muslimin ya ng
mencoba menghidupkan tradisi keilmuan dalam Islam untuk mengatasi problematika yang ada
dalam umat, termasuk ekonomi Islam yang lahir dari gerakan Islamisasi Ilmu yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pemikiran -pemikiran yang ada tersebut
akan bertemu dengan realita dan tantangan modernitas yang ada.
Di lain sisi walaupun saat ini angka penurunan kemiskinan di Indonesia melambat
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan ketimpangan pendapatan makin meningkat, pencap aian
aktifitas pengentasan kemiskinan di Indonesia relatif cukup baik dibanding negara -negara dengan
penduduk mayoritas muslim lainnya. Hal ini tak lepas dari program-program dan kebijakan-
kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia, diikuti oleh sinergitas gerak dari
masyarakat sendiri yang turut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Adanya
fenomena kegiatan pengentasan kemiskinan beserta pencapaiannya di Indonesia sebagai negara
dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan sebagai negara yang bisa dikatakan
cukup baik bergelut melawan masalah kemiskinan menjadi menarik untuk dikaji juga. Karenanya
atas latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran -pemikiran
mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam dari para cendekiawan/ekonom
Islam modern 6 dan relevansinya dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang dituangkan
dalam penelitian berjudul “Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam”.

6 Sedikit Berbeda dengan periodisasi M. Nejatullah Siddiqi yang telah disebutkan sebelumnya,
Islahi dalam Hoetoro (2007:47) membagi periode pengembagan ekonomi Islam dalam tujuh
periode: 1. Al-Quran dan Sunnah; 2. Pemikiran ekonomi para ahli hukum Islam (10-240H/630-
855M); 3. Periode Inovasi, Translasi, dan Adaptasi (240-500 H/855-1100 M); 4. Periode
Transmisi (500-900 H/1100-1500 M); 5. Periode Imitasi dan Stagnasi (900-1200 H/1500-1785 M);
Fokus Penelitian
Berdasarkan pemaparan tersebut maka fokus penelitian dalam penelitian ini adalah
menguraikan konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam dari pemikiran -pemikiran
para ekonom/cendekiawan Islam modern yang tertuang dalam literatur-literatur, kemudian
membuat interpretasi serta generalisasi atasnya. Setelah itu penulis akan mencoba menganalisis
konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam dan relevansinya dengan pengentasan
kemiskinan di Indonesia.
Pemikiran-pemikiran ekonom Muslim Modern dipilih karena sudah barang tentu pemikiran-
pemikiran tersebut tidak akan jauh dari akar pemikiran yang telah diwariskan oleh ekonom muslim
periode sebelumnya, yang merujuk pada sumber ilmu sepanjang masa dalam Islam yakni Al-
Qur’an dan Hadits. Kemudian pemikiran ekonomi Islam modern telah mengkompromikan
pemikiran Islam klasik dengan fenomena ekonomi di dunia modern sehingga terdapat hal-hal baru
yang belum terbahas sebelumnya oleh pemikiran Islam Klasik, termaktub dalam pemikiran
ekonomi Islam Modern.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bibliografis dengan pendekatan kualitatif grounded
theory method yang mengambil fokus mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi
Islam. Menurut Nazir (2011:53) Penelitian bibliografis merupakan penelitian dengan metode
sejarah untuk mencari, menganalisis, membuat interpretasi serta generalisasi dari fakta -fakta yang
merupakan pendapat para ahli dalam suatu masalah atau suatu organisasi. Hal ini senada dengan
Buku Pedoman yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Ekonomi (2015:3) bahwa skripsi atau
penelitian kajian pustaka diperoleh dari telaah yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah
yang bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan -bahan pustaka yang relevan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif grounded theory method karena memiliki
sifat induktif. Pendekatan grounded theory method dijelaskan oleh Babbie (2013:392) bahwasanya
pendekatan ini berangkat dari observasi daripada hipotesis dan berusaha untuk menemukan pola
dan mengembangkan teori dari bawah ke atas, dengan tidak ada persepsi. Selain itu, berdasarkan
Glaser dan Strauss (1967) dalam Babbie (2013:392-393) dijelaskan bahwa pendekatan grounded
theory method terdiri dari empat langkah, yakni: 1) menspesifikasi alam dan dimensi dari berbagai
macam konsep yang muncul dari data; 2) mencari dan menandai hubungan antar konsep; 3)
membuang konsep yang tidak relevan dengan penelitian; 4) menulis hasil penemuan.
Lebih jauh lagi penelitian ini termasuk dalam penelitian dasar (Basic Research) yang
diterangkan oleh Nazir (2011:26) bahwa
“Penelitian dasar dikerjakan tanpa memikirkan ujung praktis atau titik terapan. Hasil dari
penelitian dasar adalah pengetahuan umum dan pengertian -pengertian tentang alam serta
hukum-hukumnya. Pengetahuan umum ini merupakan alat untuk memecahkan masalah -
masalah praktika, walaupun ia tidak memberikan jawaban yang menyeluruh untuk tiap
masalah tersebut. Tugas penelitian terapanlah yang akan menjawab masalah -masalah
praktis tersebut.”

Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang terkait dan relevan
dengan topik penelitian berupa literatur, artikel jurnal ilmiah, buku teks, dan makalah ilmiah. Hal
ini didasarkan pada Buku Panduan Jurusan Ilmu Ekonomi (2015:37) bahwa sumber data untuk
penelitian kajian pustaka dapat berupa buku teks, jurnal penelitian, skripsi, laporan penelitian,
proceding seminar dan lain-lain asal masih memenuhi kriteria keilmuan/ilmiah. Kemudian data
kualitatif sendiri merupakan data yang terdiri dari rekaman tertulis dari perilaku yang diobservasi
yang dapat dianalisis secara kualitatif (Bordens & Abbott, 2005:207). Jadi, sumber data penulis
merupakan sumber pustaka yang berkaitan dengan topik pengentasan kemiskinan dan ekonomi
Islam.

Teknik Pengumpulan Data

6. Periode Pemantapan Kembali (1200-1350 H/1785-1930 M); 7. Ekonomi Islam Modern (1350
H-…/1930 M-…)
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi literatur.
Menurut Nazir (2011:93) studi literatur selain mencari sumber data sekunder yang akan
mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan
dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang
telah dibuat, sehingga situasi yang diperlukan dapat diperoleh. Pernyataan tersebut sejalan dengan
Bordens & Abbott (2005:60) yang mendeskripsikan literature review sebagai proses memetakan,
mendapatkan, membaca, dan mengevaluasi literatur riset di area yang menjadi minat peneliti.
Bordens & Abbott (2005:60-61) juga mengemukakan tiga alasan pentingnya studi literatur yaitu
menghindari duplikasi, mempermudah desain penelitian, dan membuat peneliti tetap up to date
terhadap diskusi/kontroversi empiris dan teoritis dalam sebuah area penelitian.

B. EKONOMI ISLAM
Pengertian Ekonomi Islam
Termasuk dalam bagian dari sistem Islam yang sempurna adalah sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi dalam syariat Islam masuk dalam tataran muamalah. Adapaun muamalah
diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial
(Antonio, 2014:4). Secara garis besar, sistem ini dapat dibagi menjadi tiga sektor besar: (1) sektor
publik, (2) sektor swasta, (3) sektor kesejahteraan sosial. Masing-masing dari tiga sektor di atas
mempunyai fungsi, isnstitusi, dan landasan syariah tersendiri.
Berkenaan dengan definisi ekonomi Islam, secara umum menurut Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (2008:44) ekonomi Islam didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksudkan dengan
cara-cara yang Islami di sini adalah cara-cara yang didasarkan atas Al Quran dan Sunnah. Jadi,
ilmu ekonomi Islam mendasarkan segala aspek, tujuan metode penurunan ilmu, dan nilai-nilai
yang terkandung pada agama Islam.
Penyelesaian masalah-masalah ekonomi menggunakan ilmu ekonomi Islam haruslah
bertujuan untuk menggapai falah. Falah dalam bahasa Indonesia berarti kemenangan. Sakti
(2007:31) menyatakan falah adalah kebahagiaan dunia-akhirat, sedangkan menurut Mustafa Edwin
Nasution, dkk. dalam Rivai & Buchari (2013:91) falah yang dimaksud adalah mencakup
keseluruhan aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek spiritualitas, moralitas, ekonomi,
sosial, budaya, serta politik, baik yang dicapai di dunia maupun di akhirat.
Mematuhi dan menegakkan syariat dalam bidang muamalah saat berekonomi yang islami
merupakan sebuah ibadah. Ibadah ini akan mendapat balasan dari Allah berupa pahala yang
banyak dan surga yang abadi apabila dilakukan dengan niat yang Ikhlas semata -mata hanya untuk
Allah, oleh karena itu ibadah maka yang menjadi orientasinya adalah falah (kebahagiaan di dunia
dan akhirat), bukan hanya kebahagiaan dunia sahaja.

Dasar-Dasar Ekonomi Islam


Berdasarkan Yusuf Qardhawi dalam Fathurrahman (2010:6-9) ekonomi Islam tidak berbeda
dengan sistem ekonomi laiannya, dari segi bentuk, cabang, rincian, dan cara pengaplikasian yang
beraneka ragam. Tetapi menyangkut gambaran global yang mencakup pokok-pokok petunjuk,
kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang
bersifat spesifik ada perbedaannya. Hal itu karena sistem Islam selalu menetapkan secara global
dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan karena perubahan lingkungan dan zaman.
Sebaliknya menguraikan secara rinci pada masalah-masalah yang tidak mengalami perubahan.
Ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan yang
mana sangat berbeda dari ekonomi konvensional. Abdul Mannan (1993) dalam Hakim (2012:4)
menambahkan ekonomi Islam didasarkan pada tiga konsep fundamental, yaitu : keimanan kepada
Allah (tauhid), kepemimpinan (khilafah) dan keadilan (a’dalah).

Karakteristik dan Tujuan Ekonomi Islam


Terdapat beberapa karakteristik yang merupakan kelebihan dalam ekonomi Islam, di mana
karakteristik ini menggambarkan kekhasan atau keunikan bagi ekonomi Islam. Berdasarkan
Abdullah At-Tariqi (2004) dalam Hakim (2012:10-12); Rivai & Buchari (2013:91-94);
Adinugraha (2013:58), karakteristik ekonomi Islam tersebut adalah :
1. Ekonomi Illahiyyah
Karena titik awalnya dari Allah, tujuannya mencari rida Allah dan cara-caranya tidak bertentangan
dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi,
diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahiyyahm sebagaimana firman Allah azza wa
jalla dalam Surat Al-Mulk ayat 15 :
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala
penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
Ekonomi adalah bagian dari Islam. Ia adalah bagian yang dinamis dan bagian yang sangat
penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan
tujuan risalahnya, bukan ciri peradabannya dan bukan pula cita-citanya. Ekonomi Islam adalah
ekonomi yang memiliki pengawasan internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan oleh iman di
dalam hati seorang muslim, dan dijadikan pengawas bagi dirinya sendiri.
2. Ekonomi akhlak
Ekonomi Islam memadukan antara ilmu dan akhlak, karena akh lak adalah daging dan urat
nadi kehidupan Islami karena risalah Islam adalah risalah akhlak, sesuai sabda Rasulullah saw. :
“Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak” (Al-
Hadits). Sesungguhnya Islam sama sekali tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan
kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kesatuan
antara ekonomi dan akhlak ini semakin jelas pada setiap langkah -langkah ekonomi, baik yang
berkaitan dengan produksi, distribus i, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim baik secara
pribadi maupun secara bersama-sama, tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya atau
apa yang menguntungkannya.
3. Ekonomi kemanusiaan
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berwawasan kemanusiaan, men gingat tidak ada
pertentangan antara aspek Ilahiyyah dengan aspek kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan
adalah bagian dari prinsip Ilahiyyah yang memuliakan manusia dan menjadikannya sebagai
Khalifah di muka bumi ini. Ekonomi Islam juga bertujuan untu k memungkinkan manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyariatkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan
yang Rabbani sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada
Allah, dirinya, keluarganya, dan kepada sesama manusia, seb agaimana firman Allah swt. dalam
surat Al-Baqarah ayat 30 :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi,’ Merka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?’
Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”
Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan
Islam di dalam Al Quran dan Sunnah. Dengan nilai tersebut muncul warisan yang berharga dan
peradaban yang istimewa.
4. Ekonomi Pertengahan
Artinya bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertengahan
dan keseimbangan yang adil. Islam menyeimbangkan antara dunia dan a khirat, antara individu dan
masyarakat. Di dalam individu diseimbangkan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati,
antara realita dan fakta.
5. Ekonomi Pertumbuhan dan Keberkahan
Ekonomi Islam memiliki kelebihan dari sistem yang lain, yaitu beroperasi atas dasar
pertumbuhan dan investasi harta secara legal, agar tidak berhenti dari rotasinya dalam kehidupan
sebagai bagian dari meditasi jaminan kebutuhan pokok manusia. Islam memandang harta dapat
dikembangkan hanya dengan bekerja. Hal itu hanya dapat terwujud dalam usaha keras untuk
menumbuhkan kemitraan dan memperluas unsur-unsur produksi demi terciptanya perumbuhan
ekonomi dan keberkahan secara bersamaan.
Mengenai tujuan ekonomi Islam, Purwana (2014:10-24) menerangkan bahwa
kesejahteraan merupakan tujuan ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan yang
dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan materi dan non materi, d unia dan diakhirat berdasarkan
kesadaran pribadi dan masyarakat untuk patuh dan taat (sadar) terhadap hukum yang dikehendaki
oleh Allah Swt melalui petunjuk-Nya dalam Al Quran, melalui contoh dalam keteladanan
Rasulullah Saw, dan melalui ijtihad dan kebaikan para ulama.
Lebih lanjut, Adinugraha (2013:58) menerangkan bahwasanya tujuan ekonomi Islam
adalah pemberian keselarasan bagi kehidupan dunia (likay laa yakuna daulatan baina al
aghniyaa). Norma dan nilai Islam bukan semata-mata diperuntukkan bagi kehidupan muslimin
saja, akan tetapi pada seluruh makhluk di muka bumi. Esensi proses ekonomi Islam adalah
pemenuhan kebutuhan manusia yang dilandaskan pada syariat agar mencapai kesejahteraan
duniawi sekaligus kebahagiaan ukhrowi (falah).

C. KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM


Makna Kemiskinan dalam Islam
Islam melalui kitab suci Al-Quran menggunakan beberapa kata dalam mengambarkan
kemiskinan, yaitu faqiir, miskiin, al-sa’iil, dan al-mahruum. Tetapi kata fakir dan miskin serta
berbagai bentuk lain dari keduanya paling banyak disebutkan dalam ayat Al-Quran. Menurut
Ridwan (2011:31) kata faqir dan miskiin yang disebut dalam Al Quran berjumlah 36 ayat, kata
faqiir dijumpai sebanyak 12 kali dan kata miskiin disebut sebanyak 25 kali. Dalam bab ini akan
dicoba dilakukan pembahasan mengenai makna kemiskinan dalam ekonomi Islam melalui ayat -
ayat suci al Quran yang menggunakan kata faqiir dan miskiin dengan berbagai bentuknya. Berbeda
dengan Ridwan (2011), setelah melakukan penelitan lebih jauh penulis menemukan ternyata kata
miskiin dalam konteks kemiskinan hanya disebut pada 24 ayat, karena pada ayat ke 72 surat At -
Taubah kata masaakin merupakan kata yang bermakna tempat, bukan merupakan jamak dari
miskiin, pada ayat tersebut konteksnya adalah janji Allah kepada orang-orang yang beriman bahwa
mereka akan mendapatkan surga dan tempat yang baik di dalamnya. Dan ada tambahan pada ayat
yang terdapat kata faqiir di dalamnya menjadi 13 ayat yaitu pada Surat An-Nur ayat 32. Oleh
karena itu, dalam bab kali ini ayat yang dibahas berjumlah 36 ayat 7 .
Pembahasan dilakukan dengan menggunakan urutan surat dalam Al-Quran Rasm Utsmani,
yakni cara penulisan yang ditempuh oleh panitia penulisan wahyu pada masa Utsman ra. (Shihab,
2011:530-531) yang dimulai dari surat al-Fatihah hingga An-Nas. Dalam penguraian makna
dibalik ayat-ayat tersebut akan digunakan/merujuk pada tafsir al-Qur’an al-Azhim yang ditulis
Imaduddin Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimsyaiqi al-Qurasyi as-Syafi’i atau yang
lebih dikenal dengan Ibnu Katsir (Katsir 2003g; Katsir 2003c; Katsir 2003e; Katsir 2003d; Katsir
2003f; Katsir 2003b; Katsir 2003a), karya disertasi Dr. HM. Sa’ad Ibrahim tentang Kemiskinan
dalam perspektif al-Qur’an (Ibrahim, 2007) , dan kemudian Tafsir Ayat Ekonomi Prof. Dr. H.
Muhammad Amin Suma (Suma, 2015), dan beberapa sumber lain yang relevan.
Setelah dilakukan pembahasan di atas mengenai ayat-ayat Al Quran tentang kemiskinan,
terlepas dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, dapat disimpulkan bahwa antara
fakir dan miskin mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya sama -
sama sebagai pihak yang memerlukan bantuan untuk mengentaskan diri da ri kepapaan.
Perbedaannya adalah, orang fakir memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sedang
orang miskin tidak memiliki potensi tersebut, atau jika memiliki, potensinya sangat rendah,
sehingga tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup nya, hal ini sejalan dengan
pendapat dari Ibrahim (2007:46) dan Yusuf Qaradhawi (2009:5-7). Korayem & Mashhour (2014)
menambahkan golongan Gharim dan Ibn Sabil ke dalam golongan yang membutuhkan dalam
Islam, yang membutuhkan bantuan secara temporer untuk dapat lepas dari kepapaan.
Kemudian Güner (2005) membedakan kemiskinan dalam Al Quran menjadi dua yaitu
kemiskinan spiritual dan kemiskinan material. Kemisikinan s piritual sebagaimana pada surat Fatir
35:15, Muhammad 47:38, dan Al-Hashr 59:8 yang menunjukkan kebutuhan manusia yang fakir
akan karunia dari Allah. Sedangkan pada selain ayat-ayat tersebut Al Quran lebih banyak
menunjukkan kemiskinan material. Sejalan dengan hal tersebut, Peerzade (1997:87) juga
menyatakan bahwa kemiskinan dalam Islam terkait dengan aspek metafisik yakni rasa
membutuhkan terhadap ampunan dari Allah. Ridwan (2011:30) menambahkan juga bahwa
kemiskinan dalam Islam mencakup ranah mental/psikis sebagaimana keadaan miskin yang
kebanyakan malah membuat orang-orang miskin menikmati bantuan dari orang lain, bukan malah
membuat mereka bangkit dan berubah untuk menjadi orang yang membantu daripada yang

7 QS. Al Baqarah(2) ayat 61, 177, 184, 215, 268, 271, dan 273; Ali ‘Imran(3) ayat 112 dan 181;
An-Nisa(4) ayat 6, 8, 36, dan 135; Al-Ma’idah(5) ayat 89 dan 95; Al-Anfal(8) ayat 41; At-
Taubah(9) ayat 60; surat Al-Isra’(17) ayat 27; Al-Kahfi(18) ayat 79; QS. Al-Hajj(22) ayat 27; An-
Nur(24) ayat 22 dan 32; QS. Al-Qashash(28) ayat 24; Ar-Rum(30) ayat 38; Fatir(35) ayat15;
Muhammad(47) ayat 38; Al-Mujadalah(58):4; Al-Hashr ayat(59) 7 dan 8; Al-Qolam(68) ayat 24;
Al-Haqqah(69) ayat 34; Al-Muddatsir(74) ayat 44; QS. Al-Insan(76) ayat 8; Al-Fajr(89) ayat 18;
Al-Balad(90) ayat 16; Al-Ma’un(107) ayat 3
dibantu. Jadi, dapat dipahami di sini bahwa makna kemiskinan dalam Islam adalah suatu keadaan
di mana manusia yang sangat butuh karunia dari Allah SWT tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kemiskinan maupun kekayaan pada dasarnya merupakan ujian bagi seorang muslim di dunia.
Miskin dan kaya bukan ukuran seseorang hina atau mulia. Kemiskinan dan kekayaan keduanya
sama-sama merupakan cobaan dan ujian bagi seorang hamba. Orang yang miskin diuji dengan
kekafirannya, apakah ia dapat bersabar ataukah tidak. Sementara orang kaya diuji dengan
kekayaannya, apakah ia dapat bersyukur ataukah kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala.

Pengukuran Kemiskinan dalam Ekonomi Islam


Berdasarkan pembahasan pada sub-bab sebelumnya dijelaskan bahwa kemiskinan dalam
Islam salah satu pengertiannya adalah keadaan di mana manusia tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Kebutuhan hidup yang dimaksudkan di sini
dijelaskan oleh Hassan (2010:263) sebagai: 1) Agama; 2) Kesehatan Jasmani (Jiwa); 3)
Intelektualitas atau pengetahuan (Akal); 4) Keturunan; 5) Harta.
Korayem & Mashhour (2014:1) dalam kajiannya “Poverty in Secular and Islamic Economics;
Conceptualization and Poverty Alleviation Policy, with Reference to Egypt ” menjelaskan lebih
jauh lagi mengenai kebutuhan hidup manusia di dunia dan hubungannya d engan kemiskinan.
Mereka menyatakan bahwa dalam mengestimasi kemiskinan ilmu Ekonomi Sekuler
(konvensional) dan ilmu Ekonomi Islam berbeda, meskipun menurut Rasool et al. (2012:813)
hampir mirip. Kemiskinan dalam ekonomi konvensional diestimasi dengan melihat siapa yang
hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kemiskinan dalam ekonomi Islam
diestimasi dengan tingkat kecukupan (sufficiency level); barangsiapa yang hidup di bawah tingkat
kecukupan itu tergolong miskin. Tingkat kecukupan di sini dapat dilihat dari terpenuhinya tujuan -
tujuan syariah (maqashid al-syariah), yaitu: terlindunginya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Tujuan-tujuan ini kemudian dibagi ke dalam 3 tingkat hierarki kebutuhan (Zarqa dan Ulhaq dalam
Korayem & Mashhour (2014:5-6)), yaitu:
1) Necessities (necessary needs): terdiri dari semua hal dan aktivitas yang esensial dalam
pemeliharaan lima fondasi atau syarat yang diperlukan (maqashid syariah) untuk
membentuk individu dan kehidupan sosial yang baik berdasarkan Islam. Hal ini
membentuk subsistence level (tingkat dasar) dalam kehidupan. Contohnya adalah
mengambil protein/makanan dari sayur-sayuran (seperti beras di Indonesia, kacang-
kacangan di Mesir yang banyak digunakan oleh orang-orang miskin).
2) Convenience (convenience of sufficiency needs): terdiri dari semua hal dan aktivitas yang
tidak begitu vital terhadap pemeliharaan dari lima tujuan syariat, tetapi lebih pada bagian
untuk meringankan dan menghilangkan kesulitan dan kesukaran dalam kehidupan.
Terdiri dari semua hal yang meringankan beban atau yang memfasilitasi manusia dalam
melakukan tugas di dunia sebagai khalifatullah. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan
oleh Umar bin Khathab ra. yakni seperti: pemberian ransum makanan, uang pensions
yang mencukupi untuk orang-orang fakir, miskin, dan cacat. Sufficiency needs termasuk
juga dalam hal fasilitas publik yaitu kebutuhan akan masjid, perkantoran, jalan, pasar,
toko-toko, dll. Contohnya yang lain adalah mengambil protein/makanan dari hewan
(seperti daging ayam, daging sapi).
3) Refinements: mencakup semua hal yang melebihi batas dari conveniences/level
kebutuhannya lebih tinggi dari conveniences. Terdiri dari barang-barang yang sifatnya
hanya sebagai pelengkap, memperindah atau menghiasi kehidupan. Membentuk tingkat
kekayaan dan kebutuhan mewah. Contohnya adalah makan makanan mewah (seperti
kaviar, smoked salmon).

Rasool et al. (2011:127-128) mengajukan sebuah cara pengukuran baru yang disebut sebagai
Islamic Poverty Indicator (IPI) yang menggabungkan berbagai dimensi yang akan memberikan
pengaruh terhadap institusi Islam karena memberikan perspektif baru dalam mengukur kemiskinan
melalui perspektif mikro. Menggunakan index, IPI menggambarkan fenomena multi-dimensi dari
kemiskinan dengan lebih menyeluruh. Ini akan dapat mengupgrade pengukuran kemiskinan dari
perspektif Islam karena terdiri dari komponen moneter dan non -moneter dengan menggunakan
prinsip maqasid al-syariah. Berikut adalah Formula dari IPI:
di mana Z1,Z2,...Zn adalah dimensi kesejahteraan, dan W1,W2,...Wn - adalah weightage (nilai
yang diberikan pada variabel-dimensi kesejahteraan-berdasarkan seberapa pentingnya atau
seberapa signifikannya itu).
Komponen-komponen dari IPI terdiri dari:
Gambar 2 Komponen Islamic Poverty Indicator

Sumber : Rasool et al. (2011)


Religion, dianggap sebagai dimensi penting dari kebutuhan manusia terutama keyakinan
terkait dengan tauhid. Physical self adalah kebutuhan akan: tempat tinggal, pakaian, kesehatan,
dan transportasi. Knowledge sangat penting dalam pengembangan tingkat intelektualitas dan skill
dari seorang individu. Family atau offspring merupakan elemen terpenting dari kehidupan
manusia. Wealth acccumulation berhubungan dengan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan
dari kehidupan manusia. IPI akan menggabungkan komponen dari dimensi-dimensi ini
berdasarkan pendapat para cendekiawan dan para pakar.
Kajian yang paling mutakhir tentang pengukuran kemiskinan dalam Ekonomi Islam adalah
kajian yang dilakukan oleh cendekiawan asal Indonesia, yakni Irfan Syauqi Beik dan Laily Dwi
Arsyanti. Penelitian mereka berjudul “Construction of CIBEST Model as Measurement Of Poverty
and Welfare Indices from Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam jurnal Al-Iqthisad Vol
VII. No.1, Januari 2015. Alat ukur yang digunakan dalam studi tersebut didasarkan pada
kuadran CIBEST yang terbagi menjadi empat kuadran, yaitu : welfare quadrant (I), material
poverty quadrant (II), spiritual poverty quadrant (III), dan absolute poverty quadrant (IV).
Penetapan kuadran ini dibuat berdasarkan kriteria dan indikator kebutuhan dasar material dan
kebutuhan dasar spiritual. Dengan menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis, penelitian
ini berhasil memformulasikan model CIBEST yang terdiri dari indeks kesejahteraan, indeks
kemiskinan material, indeks kemiskinan spiritual dan indeks kemiskinan absolut.
Gambar 3. Kuadran CIBEST

Sumber : Beik & Arsyianti (2015:87)

Pada gambar diatas, kuadran CIBEST dibagi menjadi empat kuadran. Kebutuhan material
ditunjukkan pada sumbu horizontal, sementara itu kebutuhan spiritual ditunjukkan den gan sumbu
vertikal. Tanda (+) pada sumbu horizontal mengindikasikan bahwa kebutuhan material rumah
tangga telah terpenuhi sedangkan tanda (-) mengindikasikan yang sebaliknya yang artinya rumah
tangga kekurangan kebutuhan material. Demikian pula pada sumbu vertikal di mana tanda (+)
menunjukkan terpenuhinya kebutuhan spiritual rumah tangga, dan tanda (-) menunjukkan
sebaliknya.
Model CIBEST yang berbasiskan pada CIBEST kuadran di atas terdiri dari empat index
yang diberi nama (1) welfare index, (2) material poverty index, (3) spiritual poverty index, dan (4)
absolute poverty index. Formula dari index-index tersebut adalah seperti di bawah ini :

di mana:
W = Welfare Index; 0 < W < 1
w = Jumlah dari rumah tangga yang makmur (yang kaya secara spiritual dan material)
N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:
Pm = Material Poverty Index; 0 < Pm < 1
Mp = Jumlah rumah tangga miksin secara material namun kaya secara spiritual
N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:
Ps = Spiritual Poverty Index; 0 < Ps < 1
Sp = Jumlah rumah tangga miksin secara spiritual namun kaya secara material
N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:
Pa = Absolute Poverty Index; 0 < Pa < 1
Ap = Jumlah rumah tangga yang miskin absolut (miskin material dan miskin s piritual)
N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi
Namun, nilai dari w, Mp, Sp, dan Ap tidak dapat dihitung sampai kita mengetahui
standar/indikator yang menentukan kemiskinan material dan kemiskinan spiritual. Oleh sebab itu,
Beik & Arsyianti (2015:97) mengembangkan material line dan spiritual line. Material line sebagai
basis untuk memisahkan rumah tangga yang miskin secara material deng an rumah tangga yang
kaya secara material, sedangkan spiritual line sebagai basis untuk memisahkan rumah tangga yang
miskin secara spiritual dengan rumah tangga yang kaya secara spiritual . Material line (MV)
berasal dari standar minimal dari kebutuhan material, yang harus dipenuhi oleh rumah tangga.
Secara matematis MV dapat dilihat seperti di bawah ini:

di mana:
MV = standar minimum kebutuhan material (dalam Rp atau mata uang lokal)
Pi = harga dari barang dan jasa (dalam Rp atau mata uang lokal)
Mi = Jumlah minimal dari barang dan jasa yang dibutuhkan
Berdasarkan persamaan di atas, rumah tangga dikatakan miskin material ketika pendapatan
dari rumah tangga yang bersangkutan kurang dari nilai MV. Jika sebaliknya, rumah tangga
diklasifikasikan kaya secara material. Untuk spiritual line (SV) indikator yang digunakan adalah
seperti pada tabel 3.1 di bawah ini :
Tabel 1. Indikator Spiritual Line

Sumber : Beik & Arsyianti (2015)


Berdasarkan tabel 3.1 di atas, skala likert digunakan berkisar pada nilai 1 sampai 5. Nilai 1
menunjukkan indikator terburuk sedangkan nilai 5 menunjukkan kondisi terbaik. Standar spiritual,
yang memisahkan rumah tangga yang miskin secara spiritual dan kaya secara spiritual, bernilai
sama dengan 3. Atau secara matematis dapat ditulis menjadi:
SV=3
di mana:
SV = garis absolut (standar) untuk kemiskinan spiritual.

Penentuan jumlah rumah tangga di masing-masing kuadran CIBEST didasarkan pada


kombinasi dari hasil standar MV dan standar SV. Mengkombinasikan semua nilai dari welfare
index, material poverty index, spiritual poverty index dan absolute poverty index, akan didapat kan
nilai total dari semua index-index tersebut sama dengan 1. Inilah yang disebut sebagai model
umum CIBEST :

CIBEST Model = 1 = W + Pm + Ps + Pa

Total penjumlahan dari semua indeks harus sama dengan satu. Index-index ini dapat
digunakan untuk melakukan pemetaan populasi, pada kuadran mana mayoritas populasi berada.
Hal ini akan membantu pemerintah untuk mendesain kebijakan strategis yang efektif untuk
dieksekusi. Di mana goal dari pemerintah ketika menggunakan model CIBEST ini adalah untuk
membuat kebijakan yang dapat mengarahkan masyarakat yang masih berada pada kuadran II, III,
IV menuju kuadran I yaitu welfare quadran.
Dari literatur-literatur ilmiah yang telah dipublikasikan sejauh ini, hasil kajian terbaru
mengenai pengukuran kemiskinan dalam ekonomi Islam telah mencoba untuk mengintegrasikan
antara pengukuran kemiskinan material dan kemiskinan spirtiual. Namun b erdasarkan Ridwan
(2011:30) kemiskinan dalam Islam juga mencakup ranah mental/psikis. Terlepas dari apakah ranah
mental/psikis itu termasuk dalam ranah spiritual atau terpisah, perlu kiranya kajian mengenai
pengukuran kemiskinan mental/psikis dikembangkan agar dapat mendapatkan gambaran yang
lebih komprehensif mengenai kondisi kemiskinan di suatu area melalui perspektif Islam.

D. KONSEP PENGENTASAN KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM


Qaradhawi (2002) menggagas konsep pengentasan kemiskinan yang bertumpu pada
instrumen: (1) bekerja, (2) jaminan dari famili dekat yang mampu, (3) zakat, (4) jaminan negara
dari berbagai sumbernya, (5) hak-hak selain zakat, (6) derma suka rela/filantropi. Selain itu dalam
gagasannya Qaradhawi juga memberikan gagasan mengenai solusi untuk mengatasi hambatan bagi
orang fakir-miskin yang kesulitan untuk menjalankan aktivitas pengentasan kemiskinan dengan
bekerja. Qaradhawi mensyaratkan agar gagasan ini dapat bekerja maka masyarakat dan negara
harus menjalankan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Namun pen ulis beranggapan bahwa
sebenarnya kendati masyarakat dan negara belum menjalankan syariat Islam secara menyeluruh
konsep dari Qaradhawi masih dapat diimplementasikan meski tidak semuanya.
Pengimplementasian yang terhambat mungkin hanya dari segi jaminan ne gara dari segala
sumbernya, mengingat yang dimaksud Qaradhawi di sini adalah jaminan melalui perbehandaraan
negara yang memiliki sumber penghasilan seperti fa’i, ghanimah, jizyah yang saat ini mungkin
sudah tidak didapati lagi sumber perbehandaraan seperti itu.
Baidhawy (2009) menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan dapat dilakukan melalui 3 hal
pokok yakni merevitalisasi peran negara, menegakkan daulat masyarakat, dan penguatan institusi
keluarga. Negara menurut Baidhawy harus menegakkan keadilan ekonomi politik melalui
kerjasama multilateral, menyusun berbagai regulasi pro-masyarakat miskin dan pro-syariat yang
berhubungan dengan kegiatan perekonomian, menghidupkan tanah mati untuk dibuat lahan
pertanian atau usaha yang lain agar dapat menambah lapangan pekerjaan dan mendukung proses
pengentasan kemiskinan, menghentikan eksploitasi SDA demi kepentingan publik dan masyarakat
miskin. Kemudian menegakkan kedaulatan masyarakat melalui jalur politik, ekonomi, dan
kebudayaan. Serta yang tidak kalah penting adalah menguatkan institusi keluarga dengan
menanamkan nilai islami berupa sikap konsumsi sederhana dan proporsional.
Jawas (2013:6) dalam konsepnya kurang lebih identik dengan pemikiran Qaradhawy (2002).
Namun ada sedikit perbedaan di mana selain menekankan mengenai pentingnya wakaf produktif,
Jawas dalam pemikirannya lebih menekankan dan memperhatikan terhadap bagaimana sikap dan
tindakan yang harusnya dilakukan oleh orang-orang miskin agar dapat mengentaskan dirinya
sendiri dari kemiskinan dengan izin dari Allah Ta’ala dan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan
langsung dengan kegiatan pengentasan kemiskinan yang penulis sebut sebagai “usaha rohaniah”
dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Usaha atau upaya ini ada yang dapat dilaksanakan oleh
orang miskin itu sendiri dan yang lainnya. Di antaranya usaha rohaniah tersebut adalah: (1)
Istighfar (meminta ampun kepada Allah) dan bertaubat kepada-Nya, dengan perkataan maupun
perbuatan; (2) Bertakwa kepada Allah; (3) Bertawakkal kepada Allah (4) Bersungguh -sungguh
dalam beribadah kepada Allah; (5) Melaksanakan haji dan umrah; (6) Menyambung silaturahim;
(7) Berinfak di jalan Allah; (8) Berinfak untuk para penuntut ilmu; (9) Menyambung Silaturahim;
(10) Hijrah di jalan Allah Ta’ala, dari negeri kafir ke negeri Islam; (11) Senantiasa berdo’a kepada
Allah memohon rezeki yang halal dan berlindung kepada Allah dari kefakiran; (12) Jujur, amanah,
dan menjauhi sifat malas; (13) Bersabar dan bersyukur; (14) Memiliki sifat qona’ah; (15) Tidak
menuruti hawa nafsu untuk berutang.
Ridwan & Ibrahim (2012) mempunyai fokus gagasan mengenai konsep pengentasan
kemiskinan yang sasarannya adalah anak-anak jalanan. Ridwan & Ibrahim memberikan contoh
pengentasan kemiskinan khususnya untuk mengatasi al-laqiit di masa khalifah Umar bin Khathab.
Pada masa Khalifah Umar dibentuk lembaga diwan yang concern terhadap hal ini yang menurut
Ridwan & Ibrahim lembaga diwan tersebut perlu diadakan karena saat ini di Indonesia masalah
anak jalanan yang sama prinsipnya dengan al-laqiit ini masih belum diatasi secara serius. Selain
itu, Ridwan & Ibrahim juga mengusulkan kegiatan takaful ijtima’i berupa inisiasi pihak
masyarakat untuk mengasuh dan merawat anak-anak jalanan yang diharapkan dapat mengatasi
problema ini dan diharapkan dapat berkontribusi mengurangi kemiskinan yang ada di sebuah
Indonesia. Terkait dengan takaful ijtima’i ini pemikiran Ridwan & Ibrahim identik deng an
pemikiran dari Haneef et al. (2015).
Haneef et al. (2015) memberikan sebuah konsep pengentasan kemiskinan melalui Integrated
Waqf-based Islamic Microfinance Model (IWIMM). Dana wakaf dari badan pengelola wakaf baik
itu dari pihak pemerintah ataupun masyarakat diserahkan pengelolaannya ke lembaga keuangan
mikro. Dari situ digunakan untuk melakukan program pembiayaan takaful (asuransi) bagi orang -
orang miskin yang mengusung semangat takaful ijtima’i. Selain itu digunakan untuk pembiayaan
proyek UMKM dan pengembangan SDM. Yang menarik dalam proses pembentukan model
tersebut Haneef et al. juga melakukan uji empiris menggunakan Confirmatory Factor Analysis
(CFA) sehingga model yang diusulkannya berdasarkan uji empiris tersebut memang benar-benar
dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan ketika diterapkan.
Selanjutnya Amuda & Embi (2013) dalam konsepnya menekankan pentingnya
pengintegrasian pengelolaan dana sosial dalam Islam di antara negara -negara Organisasi
Kerjasama Islam (OIC). Fokus dari gagasannya adalah tentang pengelolaan dana sosial dalam
Islam (Infak, Sedekah, Wakaf) melalui investasi untuk mengentaskan kemiskinan. Amuda & Embi
juga mengidentifikasi bidang mana saja yang saat ini jika dilakukan investasi di sana dapat
menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan secara efektif. Sektor-sektor yang
potensial saat ini adalah agrikultur, pendidikan, dan UMKM sehingga dana zakat yang terintegrasi
dari negara-negara OIC tersebut disarankan untuk diinvestasikan ke sektor tersebut agar
pengentasan kemiskinan berjalan efektif.
Sedikit berbeda dengan Amuda & Embi (2013), pemikiran dan konsep Hoque et al. (2015)
juga memfokuskan mengenai pengelolaan dana sosial dalam Islam dan pengelolaannya yang
dilakukan melalui investasi, hanya saja di sini Hoque et al. membahas mengenai dana zakat yang
merupakan kewajiban bagi umat muslim yang sangat berbeda dengan dana -dana sosial lain dalam
Islam. Di sini Hoque et al. memiliki visi yang sama dengan Amuda & Embi (2013) mengenai
pentingnya penguatan dan koordinasi terutama dalam urusan pengelolaan dana sosial dalam Islam
di antara negara-negara OIC. Dana zakat yang terkumpul dan terintegrasi tersebut digunakan untuk
melakukan investasi pembiayaan kepada para mustahiq yang telah diseleksi. Seleksi tersebut
mengharuskan mustahiq yang terpilih sebagai mitra pembiayaan memiliki kemauan dan potensi
kemampuan untuk dapat melakukan wirausaha. Setelah itu Hoque et al. mengusulkan konsep
melalui sebuah model pengembangan kewirausahaan yang melalui 5 tahap: (1) Pengumpulan dan a
oleh Pemerintah/NGO; (2) Seleksi kandidat mustahiq yang potensial; (3) Pelatihan SDM; (4)
Evaluasi menggunakan Kirkpatrick training evaluation taxonomy; (5) mustahiq yang lolos hasil
evaluasi dapat mendirikan usaha dengan dibiayai dana zakat. Model ini d iusulkan untuk
memastikan bahwa usaha yang dilakukan oleh para mustahiq tadi berhasil sehingga pengentasan
kemiskinan akan berjalan efektif.

E. PENGENTASAN KEMIS KINAN DI INDONES IA


Kondisi Umum
Setelah Penasbede pada orde lama, pada orde baru hingga saat ini cukup banyak program-
program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh pemerintahan Republik
Indonesia. Pemerintah mengganti dan mengembangkan kebijakan pengentasan kemiskinan sesuai
dengan era jabatan Presiden. Secara ringkas kebijakan penanggulangan kemiskinan mulai dari era
Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebagai berikut (Prihatini dalam
Multifiah, 2011:19):
1. Era Presiden Soekarno :
a. Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede)
2. Era Presiden Soeharto :
a. Repelita I – IV melalui program Sektoral & Regional
b. Repelita IV – V melalui program Inpres Desa Tertinggal
c. Program Pembangunan Keluarga Sejahtera
d. Program Kesejahteraan Sosial
e. Tabungan Keluarga Sejahtera
f. Kredit Usaha Keluarga Sejahtera
g. GN-OTA
h. Kredit Usaha Tani
3. Era Presiden Habibie :
a. Jaring Pengaman Sosial
b. Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan
c. Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
d. Program Pengembangan Kecamatan
4. Era Presiden Gusdur :
a. Jaring Pengaman Sosial
b. Kredit Ketahanan Pangan
c. Program Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan
5. Era Presiden Megawati:
a. Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan
b. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
6. Era Presiden SBY :
a. Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
b. Bantuan Langsung Tunai
c. Program Pengembangan Kecamatan
d. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
e. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Selain program-program di atas telah dibuat juga Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) yang kemudian diintegrasi menjadi dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009; 2010-2014; 2015-2019; dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN).

Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah (Era Presiden Joko Widodo)
Di era Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh yaitu Presiden Joko Widodo yang pada
saat tulisan ini ditulis masih menjabat, program pengentasan kemiskinan yang diadakan oleh
pemerintah masih meneruskan program pengentasan kemiskinan dari era Presiden sebelumnya,
yang juga berpedoman pada RPJP Nasional, RPJMN, dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
(Pemerintah Republik Indonesia, 2016:II-5).
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, sesuai amanat RPJP Nasional 2005-2025 dan
mempertimbangkan tingginya tingkat ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama
ini, permasalahannya, serta tantangan yang akan dihadapi dalam lima tahun mendatang (2015-
2019), maka sasaran utama pembangunan yang ditetapkan dalam bidang Pemerataan dan
Penanggulangan Kemiskinan adalah (BAPPENAS, 2014:1- 67) :
1. Menurunnya tingkat kemiskinan pada kisaran 7 – 8 persen pada akhir 2019.
2. Mengupayakan penurunan tingkat ketimpangan pada akhir tahun 2019 sekitar 0,36, agar
pendapatan penduduk 40,0 persen terbawah meningkat, dan beban penduduk miskin
berkurang.
Sejak era SBY-Boediono pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
(TKPKD). TNP2K merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat
untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. Sedangkan TPKD merupakan tim
lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten kota untuk
melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan di masing -masing daerah yang bersangkutan
(TNP2K, 2011:4-8). TNP2K dan TPKD dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada tahun
2015 pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyesuaikan
keanggotaan TNP2K demi memperlancar tugas dan operasional TNP2K.
TNP2K saat ini merupakan “pasukan khusus” dari kompi pemerintahan yang menjadi ujung
tombak pengentasan kemiskinan di Indonesia. TNP2K mempunyai tugas pokok untuk: (1)
Menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2) Melakukan sinergi melalui
sinkronisasi, harmonisasi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan di
kementerian/lembaga; (3) Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program dan
kegiatan penanggulangan kemiskinan. Saat ini untuk melaksanakan t ugas pokok dan demi
menunjang penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan mewujudkan percepatan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia, TNP2K telah merumuskan empat strategi utama.
Strategi-strategi penanggulangan kemiskinan tersebut di antaranya adalah :
1. Memperbaiki program perlindungan sosial;
2. Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar;
3. Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; serta
4. Menciptakan pembangunan yang inklusif.

Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan oleh Swasta


Di Indonesia selain pihak Pemerintah yang aktif dalam melakukan pengentasan kemiskinan,
pihak swasta dari masyarakat maupun korporasi-korporasi juga turut serta dalam tindak
pengentasan kemiskinan. Jika dilihat dari pihak masyarakat, selain karena adanya dorongan dari
Pemerintah untuk turut serta melakukan pengentasan kemiskinan, pergerakan masyarakat juga
sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan nilai-nilai kearifan lokal serta agama yang telah ada
sejak sebelum berdirinya Republik ini. Sedangkan dari pihak korporasi sebagaimana dise butkan
oleh Asy’ari (2009:49) kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada
Chief Executive Officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan
visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran tentang moral bisnis yang berwajah
manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak.
Sebaliknya, jika orientasi CEOnya hanya pada kepentingan kepuasan shareholders (produktivitas
tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, maka boleh jadi
kebijakan CSR hanya sekedar kosmetik dan pemenuhan mandatory saja.
Saat ini beberapa jenis kegiatan pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh sektor swasta
adalah:
1. Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau dalam bahasa Inggris disebut Public Private
Partnership adalah mekanisme pembiayaan alternatif dalam pengadaan pelayanan publik yang
telah digunakan secara luas di berbagai negara khususnya negara maju. Hingga kini KPS diuji dan
digunakan lebih sering pada infrastruktur keras (listrik, pelabuhan, jalan, dan lain -lain)
dibandingkan dengan sektor sektor sosial seperti kesehatan dan pendidikan. (Aid for Development
Effectiveness Secretariat, 2012). Di Indonesia sendiri KPS sosial pada tahun-tahun sebelumnya
belum pernah diadakan hingga tahun 2015, dan itupun berdasarkan Public Private Partnerships
Book 2015 (BAPPENAS 2015) hanya ada satu yaitu di bidang kesehatan. Proyek tersebut adalah
pembangunan DKI Jakarta Sewage Treatment Plant (Pabrik Pengolahan Limbah) yang
dilaksanakan pada 2015 yang bertujuan untuk membuat dan meningkatkan sistem pembuangan
limbah padat dan sanitasi di daerah tersebut.
2. Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan
Wibisono (2007) dalam Widokarti (2014:19) menjelaskan bahwa Tanggung jawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan dibagi menjadi 3 model, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan
atau organisasi sosial perusahaan, dan bermitra dengan pihak lain. Adapun bentuknya sebagai
berikut : Pertama, melalui grant (hibah), yaitu bantuan dana tanpa ikatan yang diberikan oleh
perusahaan untuk membangun investasi sosial. Kedua, melalui award (penghargaan), yaitu
pemberian bantuan oleh perusahaan kepada sasaran yang dianggap berjasa bagi masyarakat
banyak dan lingkungan usahanya. Biasanya penghargaan dalam bentuk sertifikat dan sejumlah
uang kepada perorangan atau institusi atau panti yang diselenggarakan secara berkelanjutan dan
dalam waktu tertentu. Ketiga, melalui Community Funds (Dana Komunikasi Lokal), yaitu bantuan
dana atau dalam bentuk lain bagi komunitas untuk meningkatkan kualitas di bid angnya secara
berkesinambungan.
3. Kegiatan Organisasi Non-Profit/Filantropi/Charity
Kehadiran organisasi atau lembaga filantropi seolah -olah menjawab kejumudan program
pemerintah yang sifatnya temporer. Banyak diantara penggiat filantropi adalah mereka yang
menempati jabatan strategis, berlimang harta namun ‘haus’ akan kenikmatan hubungan sosial
kemasyarakatan. Kebutuhan sosial inilah yang diwujudkan dalam aksi-aksi filantropi (Abidin,
2012:198). Bentuk dari filantropi di Indonesia banyak seperti filantropi yang berlabel sektarian
agama, pluralis, multi national corporates (MNC), keluarga, dan lain-lain.

F. SINTESIS TEORITIS
Sintesis berdasarkan pada Kamus Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Bahasa Indonesia
2008:1357) memiliki arti paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan
kesatuan yang selaras. Secara estimologis, sintesis berasal dari bahasa Yunani syn-tithenai yang
dapat diartikan dengan meletakkan atau menempatkan. Selain itu, sintesis juga dapat diartikan
sebagai: 1) kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren; 2) komposisi atau
kombinasi dari bagian-bagian atau elemen-elemen untuk membentuk satu bentuk yang utuh; 3)
kombinasi elemen-elemen dari perasaan atau pemikiran menjadi satu kesatuan (Merriam-Webster
Dictionary dalam Rahmat et al., 2011:9; Merriam-Webster Inc., 2007).
Lebih lanjut diterangkan oleh Cooper et al. (2009:6) bahwa sintesis penelitian adalah :
“the conjunction of a particular set of literature review characteristics. Most definitional
about research syntheses are their primary focus and goal: research syntheses attempt to
integrate empirical research for the purpose of creating generalizations. ….Also, re search
syntheses almost always pay attention to relevant theories, critically analyze the research
they cover, try to resolve conflicts in the literature, and attempt to identify central issues fo r
future research.”
Jadi, sintesis penelitian merupakan penggabungan dari beberapa bagian khusus yang ada
pada penelitian-penelitian sebelumnya untuk kemudian dilakukan generalisasi atasnya. Kemudian
sintesis penelitian juga memperhatikan mengenai isu-isu sentral yang perlu diperhatikan untuk
digunakan dalam pembahasan sebuah penelitian di masa depan.
Untuk proses sintesis dalam penelitian ini sendiri terdiri dari tiga tahap yang mengacu pada
Pound & Campbell (2015) yaitu:
(1) Synthesis preparation : Ekstrasi dari konsep/teori yang terkait dengan penelitian;
penjelasan mengenai konsep/teori yang ada dan relevan dengan tujuan penelitian;
kemudian membuat ringkasan atasnya
(2) Synthesis : mengkomparasi masing-masing konsep/teori; mengkomparasi konsep/teori
yang ada dengan menampilkannya berdasarkan poin konvergensi (persamaannya) dan
divergensi (perbedaannya)
(3) Syinthesis refinement : Analisis lebih dalam terhadap produk dari proses Synthesis (2),
tujuannya adalah untuk membuat interpretasi baru atau pengembangan konseptual. Ini
menurut Pound & Campbell bisa juga disebut sebagai sintesis lines-of-argument (LOA).
Proses ini mempunyai potensi untuk dapat memunculkan sebuah hasil akhir yang lebih
baik dibandungkan bahan-bahan yang menjadi bagiannya.
Untuk tahap (1) synthesis preparation telah dilakukan pada bab sebelumnya. Maka 2
tahapan lainnya akan dibahas pada bagian berikutnya di bab ini.
Selanjutnya akan dillakukan proses synthesis dengan menampilkan komparasi mengenai
konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam melalui sebuah matriks. Sebelum
melakukan input pada matriks konsep pengentasan kemisikinan dalam Ekonomi Islam (Lampiran
5), dibuat terlebih dahulu proposisi model mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam
Ekonomi Islam berdasarkan pada uraian di bab “D” dengan intepretasi dari penulis. Hal ini
bertujuan agar lebih mudah memahami konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi
Islam tersebut dan sebagai salah satu bentuk dari iteration (repetisi dari proses review) yang
merupakan bagian dari proses sintesis (Barnett-Page & Thomas, 2009:12). Proposisi-proposisi
tersebut ada pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4. Setelah melakukan penguraian dan komparasi antar
konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam tersebut, maka dilakukan sintesis atas
konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam tersebut melalui sebuah model pada
gambar yang terdapat di lampiran 6.
Lampiran 6 menunjukkan bagaimana konsep pengentasan kemiskinan secara umum yang ada
di dalam kajian-kajian ekonomi Islam sampai dengan saat ini. Islam sebgaimana yang terurai di
dalam bab “C” memandang sebuah kemiskinan sebagai suatu masalah yang multi-dimensi, jauh
sebelum ekonomi konvensional modern yang ada saat ini mencetuskan dan mempopulerkan hal
tersebut. Dalam Ekonomi Islam dimensi-dimensi tersebut mencakup dimensi rohani dan jasmani.
Maka dari itu untuk mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam upaya-upaya multi-dimensi
juga perlu dilakukan. Tidak hanya upaya mengatasi kemiskinan material saja (jasmani), n amun
perlu juga mengatasi kemiskinan spiritual (rohani) karena kehidupan di dunia ini hanya temporer
dan yang menjadi tujuan utama bagi semua umat Islam adalah menuju surga dan terhindar dari api
neraka di negeri akhirat yang kekal nanti. Itu pula yang men jadi tujuan utama pengentasan
kemiskinan dalam ekonomi Islam yang masuk dalam urusan dunia dan diatur dalam sistem
ekonomi Islam, tujuannya adalah falah atau mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar konsep peng entasan kemiskinan di dalam
Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan,
yakni: Pertama, Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi islam dapat dibagi
berdasarkan pelakunya, yakni individu (orang miskin itu sendiri), masyarakat, dan pemerintah.
Pengentasan kemiskinan yang dilakukan dalam Islam kesemuanya haruslah berjalan beriringan
dengan usaha rohaniah. Usaha rohaniah (gambar lampiran 6 lingkaran no. I) yang dimaksudkan di
sini adalah usaha-usaha yang tidak berkaitan langsung dengan Pengentasan kemiskinan seperti
bekerja, menjalankan program pemberdayaan, mengumpulkan dan menyalurkan/mendistribusikan
harta dari golongan orang-orang kaya ke golongan orang-orang papa.
Usaha Rohaniah ini harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat mulai dari individu
sampai dengan pemerintah. Selain diharapkan agar usaha rohaniah ini berdampak positif terhadap
upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, usaha rohaniyah ini juga diharapkan dapat
digunakan sebagai alat untuk mengatasi kemiskinan spiritual dan mencapai kesejahteraan hakiki di
akhirat nanti. Usaha-usaha rohaniah tersebut yakni: : (1) Istighfar (meminta ampun kepada Allah)
dan bertaubat kepada-Nya, dengan perkataan maupun perbuatan; (2) Bertakwa kepada Allah; (3)
Bertawakkal kepada Allah (4) Bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah; (5)
Melaksanakan haji dan umrah; (6) Menyambung silaturahim; (7) Bersedekah di jalan Allah; (8)
Bersedekah untuk para penuntut ilmu; (9) Menyambung Silaturahim; (10) Hijrah di jalan Allah
Ta’ala, dari negeri kafir ke negeri Islam; (11) Senantiasa berdo’a kepada Allah memohon rezeki
yang halal dan berlindung kepada Allah dari kefakiran; (12) Jujur, amanah, dan menjauhi sifat
malas; (13) Bersabar dan bersyukur; (14) Memiliki sifat qona’ah; (15) Tidak menuruti hawa nafsu
untuk konsumsi secara berlebih-lebihan.
Kedua, usaha-usaha yang berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan (gambar yang
berada pada lampiran 6 lingkaran no. II) kesemuanya itu haruslah dilandasi oleh ukhuwah
Islamiyah atau yang secara bahasa dapat diartikan sebagai persaudaraan Islam. Ukhuwah
Islamiyah menurut Al-Qudhat dalam Rahayuningsih (2005:14) merupakan merupakan suatu ikatan
akidah yang dapat menyatukan hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka
berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di umat Islam senantiasa
terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh. Lebih dari itu
menurut Shihab (2011:243) ukhwuah Islamiyah dapat diartikan sebagai ukhuwah yang bersifat
Islami dan diajarkan oleh agama Islam, di dalamnya sudah termasuk ukhuwah
basyariyah/insaaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah khalqiyah (persaudaraan
semakhluk).
Di antara manifestasi ukhwah Islamiyah menurut Al-Banna (2007) adalah takaful yang
berarti saling menanggung beban dan puncaknya adalah itsar yakni mendahulukan kepentingan
saudaranya. Ukhuwah Islamiyah menjamin lestarinya lingkungan dan alam seb agai wujud
ukhuwah khalqiyah (Persaudaraan antar makhluq). Selain itu, Ukhuwah Islamiyah juga menjamin
terjaganya kehormatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar umat non -Islam sebagai wujud dari
ukhuwah insaniyah dan manifestasi rahmatan lil ‘aalamin agama Islam. Allah berfirman :
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang -orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:8)
“Sesungguhnya Allah hanya melarangmu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang -
orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung
halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah:9)
Allah melalui ayat al-Qur’an di atas mengajarkan prinsip toleransi yaitu hendaklah setiap
muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama. Ibnu
Katsir menyatakan bahwa Allah tidak melarang umat muslim berbuat baik kepada non muslim
yang tidak memerangi umat muslim seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di
antara mereka. Hendaknya kita berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yan g berbuat
adil (Katsir, 2003h:142).
Nabi Muhammad Saw. ketika membuat Piagam Madinah yakni perjanjian tertulis untuk
mengatur kehidupan sosial politik komunitas Islam dan non Islam, menggunakan kata ummat
(umat) dalam dua pengertian. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin-muslim adalah
umat yang satu, tidak termasuk golongan lain. Penggunaan kata ummat di sini bersifat eksklusif
dan dasarnya adalah "persaudaraan seagama." Tapi pada pasal 25 dinyatakan bahwa kaum Yahudi
dan sekutunya (kaum musyrik dan munafik) adalah satu umat bersama orang-orang mukmin.
Penggunaan kata ummat di sini bersifat inklusif dan dasarnya adalah 'persaudaraan sosial dan
kemanusiaan, al-ukhuwah al-ijtima'iyah waal-insaniyah (Hamidah, 2015:328). Artinya,
berdasarkan uraian-uraian di atas dalam mengentaskan kemiskinan Islam tidak memandang suku,
agama, dan ras seseorang karena dalam Islam Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan
menjadi rahmat bagi alam semesta dan seisinya.
Ukhuwah Islamiyah sendiri juga menjadi spesial dikarenakan borderless, tidak memandang
warna kulit, dan dalam menjaga serta mempererat ikatan persaudaraan itu semata-mata hanya
mengharapkan keridaan Allah semata. Maka dalam tindakan pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh para pelaku pengentasan kemiskinan tersebut tidak terdapat motif untuk mencari
keuntungan duniawi sebagaimana di dalam ekonomi modern di mana pengentasan kemiskinan
baru mendapat perhatian lebih di abad millenium ini.
Menurut Shoimuddin (2011:37-40) ukhuwah mempunyai syarat dan pilar yang tanpanya
maka keutamaan-keutamaan dari ukhuwah tidak akan didapatkan. Diantara syarat dan pilar itu
adalah : (1) Ikhlas mengharapkan ridho Allah; (2) Dilandaksan keimanan dan ketaqwaan; (3)
Berprinsip saling menasihati karena Allah; (4) Saling tolong menolong dalam kesenangan dan
kesusahan. Maka dari itu, untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah yang kokoh diperlukan
keimanan dan ketaatan yang kuat terhadap Allah. Untuk meningkatkan keimanan dan ketaatan
pada Allah yang nantinya akan berimplikasi pada kuatnya Ukhuwah Islamiyah maka tindakan
yang perlu dilakukan di sini haruslah bermula dan dilaksanakan oleh tiap individu muslim.
Sebagaimana menurut Abdullah Gymnastiar dalam Murtini (2010:95) yang menyatakan bahwa
suatu kebaikan harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu dengan “3M”, yakni Mulai dari diri
sendiri, Mulai dari yang terkecil, dan Mulai saat ini.
Hal di atas selaras dengan Pasiak (2007) yang menyatakan berdasarkan surat Ar-Ra’du ayat
11 bahwa untuk membuat sebuah perubahan besar haruslah dimulai dari sendiri, ketika diri sendiri
sudah berubah menjadi lebih baik maka sunnatullah akan berlaku, lingkungan dan bangsa (kaum
individu tersebut) juga akan berubah menjadi lebih baik. Dalam hal ini jika tiap individu secara
sadar menerapkan syarat dan pilar ukhuwah di atas tanpa perlu nyinyir terhadap orang lain maka
niscaya ukhuwah Islamiyah akan menjadi kuat dan konsep pengentasan kemiskinan yang ada
dalam ekonomi Islam dapat mengeluarkan seluruh potensinya. Kemudian selanjutnya adalah
penjelasan usaha-usaha pengentasan kemiskinan di dalam sistem ekonomi Islam yang dijabarkan
berdasarkan subyek pengentaskan kemiskinan (yang ada pada lampiran 6 lingkaran no. II).

Pemerintah sebagai pelaku pengentasan kemiskinan


Pemerintah yang dalam konteks kekinian adalah negara memiliki tanggung jawab utama
dalam mengatasi masalah kemiskinan. Dalam Al-Qur’an terdapat surat yang bernama al-balad
yang secara bahasa dapat diartikan sebagai negeri, kota. Pada surat al-balad ini utamanya pada
ayat 10 sampai 14 Allah memberikan petunjuk tentang peran negara berupa tanggung jawab dalam
mengentaskan kemiskinan. Ayat surat al-balad 10-14 tersebut berbunyi :
10. “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)”
11. “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?”
12. “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?”
13. “(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),”
14. “atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan”
Pada ayat 10-11 Allah menunjukkan kepada manusia melalui utusan-utusanNya dua jalan,
yakni jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Tetapi manusia tidak mengambil jalan yang mendaki
dan sukar yang sejatinya adalah jalan menuju kebajikan yang dijelaskan Allah pada ayat
berikutnya. Jalan kebajikan tersebut yang juga sebenarnya merupakan petunjuk dari Allah
mengenai peran sebuah pemerintah di sebuah negeri (balad) adalah melepaskan perbudakan,
memberi makan pada hari terjadi kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat,
kepada orang miskin yang berada dalam puncak penderitaan, kemudian beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan berkasih s ayang.
Melepaskan perbudakan atau memerdekakan budak (ayat 13), maknanya adalah segala jenis
perbudakan yang ada. Segala jenis dominasi serta intimidasi satu individu atau kelompok terhadap
individu atau kelompok yang lainnya. Jika dilihat pada saat ini, perbudakan dapat bermakna
penjajahan yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara yang lain. Selain itu dapat bermakna
penentuan upah yang dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh yang tidak proporsional dan
semena-mena, eksploitasi asing atas sumber daya alam yang berdampak merugikan negara dan
kepentingan umum. Kesemuanya itu, harus dapat dimerdekakan untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat dan tereradikasinya kemiskinan.
Peran negara yang lain dalam surat al-balad adalah memberi makan pada hari terjadi
kelaparan (ayat 14). Yaumi dzin masghobah di sini menurut terjemahan Al-Qur’an bahasa
Indonesia artinya adalah hari kelaparan (Anonim, 2010:594). Hari kelaparan di sini dapat
dimaknai sebagai krisis ekonomi yang terjadi di dunia modern, di mana inflasi melangit, banyak
perusahaan gulung tikar, pengangguran merajalela, dan jumlah orang -orang miskin dan papa
karena hal itu menjadi membludak. Sehingga, kebutuhan dasar berupa makanan pun tidak dapat
terpenuhi. Di sinilah negara yang harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya.
Dalam sejarah Islam, pernah suatu ketika kota Madinah yang dip impin oleh ‘Umar bin
Khathab menghadapi krisis dan banyak sekali masyarakat kelaparan. ‘Umar sebagai pucuk
pimpinan umat Muslim nomor wahid kala itu bahkan sampai rela hanya memakan sedikit tepung
dan minyak, sampai-sampai tubuhnya sangat kurus dan menjadi berwarna kuning, hal itu
dilakukan dalam rangka menghemat dan memberikan jatah makanannya (memberi makan pada
hari kelaparan) sebagai khalifah ke rakyat lain yang masih kelaparan (Katsir, 2012). Dari ayat
Qur’an dan sekelumit kisah lampau itu dapat dipastikan bahwasanya negara memang wa jib
menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, lebih-lebih apabila sebuah krisis terjadi.
Selanjutnya, berdasarkan hasil sintesis, maka usaha lain yang dapat dilakukan oleh negara
dalam rangka bertanggung jawab untuk mengatasi kemiskinan adalah :
a) Menjalin kerjasama antar negara Organisasi Kerjasama Islam (OIC)
Dalam konteks saat ini di mana kekhalifahan Islam tidak ada dan negara-negara dengan
penduduk mayoritas beragama Islam terpisahkan secara dzahir oleh batas-batas teritorial
dan doktrin nasionalisme yang menurut Al-Attas merupakan strategi musuh-musuh Islam
untuk memecah belah Islam, maka Ukhuwah Islamiyah haruslah tetap terjaga untuk
menjalankan ajaran Islam khususnya untuk menyejahterakan umat dan memerangi
kemiskinan umat.
Adanya Organisasi Kerjasama Islam (OIC) merupakan hal yang sangat urgen untuk saat
ini. Di antara kerjasama yang dapat di bangun antar negara-negara anggota OIC untuk
mengentaskan kemiskinan adalah kerjasama dalam bidang politik ekonomi. Selain itu,
hal yang dapat dilakukan agar pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan lebih
efektif adalah pengintegrasian dana sosial antar negara OIC. Karena di negara manapun
umat Islam berada tetaplah terikat dengan ukhuwah Islamiyah. Dana yang diintegrasikan
tersebut dapat disalurkan sesuai dengan kesepakatan untuk mengentaskan kemiskinan di
negara-negara OIC.
b) Memanfaatkan perbendaharaan negara
Perbendaharaan negara (Baitul Maal) dalam Islam dipandang sebagai kepemilikan umat
yang dikelola untuk kemaslahatan umat, baik dikelola sendiri, disewakan, at au dikelola
bersama pihak lain. Di antara perbendaharaan negara dalam Islam yang diperuntukkan
dan dapat digunakan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan adalah: Wakaf; 20% harta
rampasan perang (ghanimah); harta rampasan yang didapat tanpa melalui peperang an
(fa’i); pajak bumi (Kharaj); atau pungutan lainnya merupakan hak bagi orang-orang yang
kekurangan; Pajak perkapita yang dipungut dari kafir dzimmi yang kaya (Jizyah); Aset
negara berupa kas, logistik, dan SDA yang dapat dimanfaatkan dan dikelola khusus untuk
kepentingan orang miskin, pemerintah dapat juga menghidupkan tanah mati (ihya’ al-
mawaat) untuk diproduktifkan kembali yang hasilnya diperuntukkan bagi orang miskin;
Pajak/pungutan yang diperuntukkan bagi orang -orang yang miskin, hal ini dapat
dilakukan oleh pemerintah apabila perbendaharaan negara memang benar-benar sudah
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin.
c) Menyusun regulasi pro-syari’at
Yang dimaksud dengan syari’at di sini adalah syari’at yang berhubungan dengan
pengentasan kemiskinan. Diantaranya adalah regulasi untuk mewajibkan penunaian zakat
dan kewajiban-kewajiban lain selain zakat; larangan riba; larangan melakukan distorsi
terhadap pasar; pengaturan hukum waris; dan kemudian pemberian punishment bagi yang
melanggarnya. Khalifah Abu Bakar As Shidiq bahkan pada masa kekhalifahannya sampai
memerangi orang-orang mampu yang tidak mau membayar zakat, sikap tegas dari
khalifah yang terkenal kelembutannya pada masalah ini menjadi titik tekan bagaimana
pentingnya permasalahan ini. Pada zaman saat ini sikap tegas semacam ini bagi pelanggar
regulasi yang mendukung pengentasan kemiskinan patut diterapkan walaupun tak harus
sama persis (dengan peperangan). Karena pada saat ini potensi dari zakat saja jumlahnya
sangat besar, namun realisasi perwujudan dana tersebut kecil sekali.
Selain pemberian punishment yang dilakukan pemerintah, perlu juga adanya regulasi
yang berhubungan dengan strategi pendidikan masyarakat dan sosialisasi terkait masalah
ini. Pemerintah wajib juga memberikan edukasi mengenai pentingnya pemenuhan
syari’at-syari’at wajib yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan kepada seluruh
elemen masyarakat terutama para muzakki.
Pemerintah harusnya juga menjadi pionir utama penegakan hukum di sebuah negara.
Selain melakukan edukasi (amar ma’ruf) penegakan hukum sesuai dengan regulasi yang
dibuat (nahy munkar) haruslah dilakukan tanpa pandang bulu. Jika pihak pemerintah
termasuk pegawai-pegawai pemerintah menjadi tauladan dalam pelaksanaan regulasi
yang mereka susun sendiri tersebut maka niscaya regulasi tersebut juga akan berjalan
dengan baik.
d) Menjaga sumber daya alam (SDA) untuk publik
Pada hakikatnya SDA yang dimiliki oleh negara adalah milik Allah yang pemanfaatannya
diberikan kepada manusia untuk mencukupi kebutuhan -kebutuhan dasar manusia agar
manusia mampu beribadah kepada Allah. Dalam pengelolaan SDA dalam Islam Negara
dapat membuat batasan pemanfaatan, waktu penggunaan, dan hukuman bagi
penyalahgunaan SDA. Nabi Muhammad Saw misalnya, sebagai pemimpin pada
zamannya telah menasionalisasi sumber daya alam dan lingkungan seperti hutan, air dan
rumput sehingga SDA tersebut dapat diakses seluruh masyarakat.
e) Pembentukan lembaga pemerintah yang khusus menangani masalah kemiskinan
Pembentukan sebuah lembaga atau badan khusus untuk menangani masalah kemiskinan
sangat penting. Hal ini agar terdapat pihak dari pemerintah yang fokus menyelesaikan
masalah kemiskinan. Sebagai contoh pada masa Khalifah Umar bin Khathab beliau
membentu lembaga diwan yang memiliki tugas untuk menjalankan sensus penduduk.
Berdasarkan data dari sensus tersebut, pemerintah membuat bantuan tahunan yang
diberikan kepada golongan yang memerlukan.
f) Melakukan kerjasama dengan pihak non-pemerintah
Pemerintah perlu juga menjalin kerjasama dengan pihak-pihak non-pemerintah yang
memiliki visi yang sama untuk mengentaskan kemiskinan, baik itu pihak masyarakat
maupun perusahaan. Bentuk kerjasama yang penting dalam hal pengelolaan dana sosial
Islam adalah integrasi antara badan amil yang dimiliki oleh pemerintah dengan amil yang
ada di masyarakat. Dalam proses edukasi dan pengumpulan dana pemerintah dapat
memanfaatkan masyarakat. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang ada dapat juga
dimanfaatkan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui di dalam sejarah banyak sahabat -
sahabat nabi yang berprofesi sebagai pengusaha dan mempunyai perusahaan, dan
sumbangsih mereka sangat besar dalam Islam terutama dalam hal pendanaan.

Masyarakat sebagai pelaku pengentasan kemiskinan


Peran kolektif masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan dalam Ekonomi Islam sangat
besar. Di sinilah lingkup di mana urgensi ukhuwah Islamiyah bermula. Dalam sejarah, terutama
yang dilakoni oleh para sahabat Nabi Muhammad saw., peran masyarakat sangat dominan dan
bahkan bisa menentukan jalannya sebuah peperangan. Berikut dibawah ini usaha-usaha yang dapat
dilakukan oleh masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan:
a) Memenuhi kebutuhan famili
Islam telah menjadikan antar anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi.
Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Yan g kuat membantu yang lemah.
Yang kaya mencukupi yang miskin. Yang mampu memperkuat yang tidak mampu.
Hubungan persaudaraan Islam, faktor kasih sayang, cinta mencintai, dan saling
membantu adalah ikatan yang kokoh, karena mereka merupakan satu keluarga dan
kerabat yang lebih berhak diutamakan. Anggota keluarga terhadap keluarganya
mempunyai hak (kewajiban) yang lebih banyak daripada terhadap orang lain, karena
adanya ikatan nasasb dan keluarga. Kewajiban tersebut berarti pemberian bantuan dan
nafkah kepada keluarga yang tidak mampu. Bahkan dalam Islam sedekah yang paling
utama adalah kepada keluarga, saudara, dan sanak famili yang terdekat. Sebagaimana
sabda Nabi saw.: “Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan sedekah kepada
kerabat mendapat dua: s edekah dan menyambung kekerabatan.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, dan Darimi).
b) Menunaikan zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan komponen utama konsep
pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam. Zakat sifatnya wajib dibebankan kepa da
orang-orang muslim yang mampu. Golongan fakir dan miskin diutamakan dalam
penyaluran zakat di banding golongan-golongan yang lainnya sebagaimana perintah Nabi
saw. kepada Mu’adz bin Jabal ra. ketika ia ditugaskan ke Yaman untuk memungut zakat
dari orang-orang kaya yang kemudian harus dibagikan kepada orang -orang fakir dari
kalangan mereka juga. Rasulullah saw. bersabda: “...Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka...” (HR. Bukhari).
Zakat bisa dikatakan sebagai pengaturan sistemik yang melandasi jaminan sosial. Ia tidak
hanya mengandalkan pada sumbangan suka rela individual, tapi dilaksanakan melalui
koordinasi pemerintah secara terencana dan teratur. Sebuah kerjasama yang tujuan
akhirnya adalah menjamin kebutuhan semua orang yang memerlukan bantuan.
Kebutuhan tersebut menyangkut kebutuhan pangan, sandang, papan, dan semua jenis
kebutuhan hidup lainnya. Baik kebutuhan itu menyangkut pribadi atau orang yang dalam
tanggung jawabnya (keluarga). Pemberian zakat tidak hanya terbatas pada masyarakat
muslim, tapi juga mencakup semua anggota masyarkat yang hidup di bawah naungan
negara, baik mereka Yahudi atau Kristen.
c) Menunaikan kewajiban selain zakat
Selain zakat ada hal-hal yang wajib dipenuhi oleh seorang muslim, karena berbagai sebab
dan hubungan. Kesemuanya itu merupakan sumber dana bantuan bagi orang -orang fakir
dan miskin dan merupakan sumber kekuatan untuk mengentaskan kemiskin an. Di
antaranya adalah: Hak bertetangga; Kurban hari raya haji (‘Idul Adha); Kaffarat sumpah;
Kaffarat Dzihar; Kaffarat karena bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan; Fidyah orang
yang lanjut usia dan wanita hamil serta menyusui yang tidak sanggup berpua sa
Ramadhan; Kewajiban membagikan tanaman pada saat panen; Kewajiban mencukupi
fakir miskin.
Kewajiban mencukupi fakir miskin merupakan kewajiban yang paling utama, Nabi
Muhammad saw. bersabda: “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya.
Karena itu, janganlah berlaku zhalim kepadanya dan jangan membiarkan terlantar” (HR.
Bukhari). Yang dimaksyd “jangan membiarkan ia terlantar” ialah janganlah bersikap
dingin dan acuh tak acuh terhadap derita, kesulitan, dan bahaya yang sedang mengancam
seorang muslim, tanpa melakukan usaha dan bantuan untuk mengatasinya. Kemudian
Rasulullah saw. juga bersabda: “Orang-orang yang membantu kebutuhan para janda dan
orang-orang miskin kedudukannya seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhari, dan Muslim). Di mana kita ketahui jihad merupakan amalan yang agung di
dalam ajaran Islam.
d) Melaksanakan sedekah sukarela
Seorang muslim adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka
mendermakan lebih dari apa yang diminta. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak
diminta. Ia suka bersedekah (memberikan infak) di kala senang maupun susah, pada
waktu siang maupun malam, secara diam-diam (sembunyi-sembunyi) maupun secara
terang-terangan. Orang yang berakhlak mulia itu mencintai orang lain, lebih dari dirinya
sendiri. Bahkan ia rela mengalahkan dirinya, kendati dirinya dalam keadaan susah (itsar)
yang merupakan puncak dari ukhuwah Islamiyah. Ini dilakukan karena seorang muslim
telah menyadari bahwa harta itu tidak lebih hanya sebagai suatu alat untuk b ersedekah
dan berbuat baik dengan sesama manusia, bukan suatu tujuan. Mereka melakukan ini
semua semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharap rida Allah dan pahala-Nya.
Bukan karena mereka mabuk pujian, sanjungan, atau kepopuleran, dan bukan pula karena
takut adanya hukuman dari pihak penguasa. Dan hal ini sangat didorong dalam Islam
dengan banyaknya nash-nash yang menganjurkan untuk melakukan hal ini.
e) Membangun bisnis dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan
Berbisnis merupakan sesuatu yang mubah dan akan menyumbangkan banyak benefit
terhadap pengentasan kemiskinan jika dilakukan sesuai dengan koridor syariat. Dalam
konteks pengentasan kemiskinan masyarakat yang membangun sebuah bisnis mestilah
memperhatikan eksternalitas dari adanya bisnis tersebut terhadap lingkungan sosial dan
alam. Ini juga merupakan pengejewantahan Ukhuwah Islamiyah. Bisnis yang
bertanggung jawab sosial dan lingkungan selain dapat meningkatkan kualitas hidup
individu-individu yang dipekerjakan secara jasmani dan rohani juga menjaga kelestarian
SDA dengan tidak melakukan eksploitasi dan tetap menjaga keberlanjutannya.
f) Menunaikan wakaf
Wakaf merupakan amal jariyah dan bentuk sedekah yang spesifik. Jika sedekah biasa
semisal memberi makan orang miskin maka ketika makanan itu telah habis , maka habis
juga manfaat dari sedekah tersebut. Sedangkan wakaf, akan terus langgeng terus menerus
sepanjang masa selama sesuatu yang diwakafkan tersebut (tanah, perkebunan, al-Qur’an)
ada.
Dari Ibnu ‘Umar ra., ia menuturkan bahwa ayahnya (‘Umar bin al-Khathab) ketika
mendapat sebidang tanah dari perkampungan Khaibar, ia bertanya kepada Rasulullah
saw., “Ya Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar, dan selama ini
saya tidak pernah mendapat kekayaan yang lebih daripada ini, apa perintah en gkau
kepadaku dengan tanah itu?” Kemudian Nabi saw. menjawab, “Bila engkau suka,
tahanlah pokoknya, dan engkau sedekahkan dia (wakafkan)”. Lalu ‘Umar melaksanakan
perintah Nabi saw. tersebut. Ia menyedekahkan tanah itu, dengan ketentuan tidak boleh
dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Diwakafkan (disediakan)
untuk kepentingan orang-orang fakir miskin dan kaum kerabatnya, untuk keperluan
memerdekakan budak, untuk (jihad) di jalan Allah, ibnu sabil (musafir yang kehabisan
bekal) dan para tamu. Adapun orang-orang yang mengurusnya diperbolehkan mengambil
bagiannya dengan cara yang patut, serta menikmatinya dengan tidak berlebih -lebihan”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari situ dapat dilihat bahwasanya wakaf memang diperuntukkan bagi orang -orang
miskin. Akan menjadi lebih bermanfaat lagi ketika orang-orang yang mengelola wakaf
tersebut juga merupakan orang miskin itu sendiri, ini akan menimbulkan dampak positif
yang lebih besar terhadap pengentasan kemiskinan.

Indivi du sebagai pelaku pengentasan kemiskinan


Individu yang dimaksud disini adalah orang miskin itu sendiri. Seorang yang miskin
mempunyai peran sentral dan utama dalam mengentaskan kemiskinan dalam Ekonomi Islam. Dan
bekerja merupakan alat paling utama dalam mengentaskan kemiskinan. Islam sangat mendorong
seorang Muslim untuk bekerja apapun selama itu halal. Allah dalam Al-Qur’an memerintahkan
untuk mencari rizki-Nya di dunia, dan bekerja adalah bentuk dari mencari rizki Allah di muka
bumi. Bahkan bekerja termasuk ibadah yang mulia dan pahalanya disejajarkan dengan jihad di
jalan Allah sebagaimana sebuah hadits: dari Abu Hurairah yang berkata, “Tatkala kami duduk-
duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba ada seorang pemuda yang keluar dari jalan bukit. Ketika kami
memperhatikannya maka kamipun berkata, ‘Kalau saja pemuda ini menggunakan kekuatan dan
masa mudanya untuk jihad di jalan Allah?!’ Apa yang kami ucapkan ternyata didengar oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaupun berkata, ‘Memangnya jihad di jalan Allah
itu hanya yang terbunuh (dalam perang) saja? Siapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya
maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi
siapa yang bekerja untuk bermewah-mewahan (memperbanyak harta) maka dia di jalan thaghut.’”
(HR. Thabarani).
Di sisi lain dari segi masyarakat Islam secara umum merupakan tanggung jawab untuk
bekerja sama dalam mengatasi segala rintangan agar terwujud kesejahteraan hidup, termasuk di
dalamnya saling membantu dan mendorong seseorang un tuk bekerja dengan mengusahakan
terbukanya lapangan kerja; perburuhan, perusahaan, perdagangan, industri, dll. Ini semua adalah
kewajiban bersama (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Bila sebagian telah melaksanakannya,
lepaslah dosa dan tanggung jawab seluruh umat. Tetapi, bila tidak ada seorangpun yang
melaksanakannya seluruh umat memikul dosanya, khususnya pemerintah (ulil amri) dan orang-
orang kaya.
Perlu digaris bawahi bahwa Pengentasan kemiskinan di dalam ekonomi Islam yang menjadi
orientasinya adalah akhirat, maka yang menjadi perhatian utama adalah proses dalam kegiatan
pengentasan kemiskinan itu baik yang dilakukan oleh individu (orang miskin itu sendiri),
masyarakat, dan pemerintah. Para pelaku pengentasan kemiskinan terutama pihak individu mesti
menyadari betul hal ini, apabila segala daya dan upaya telah dilakukan untuk mengentaskan
kemiskinan dengan bekerja dan berusaha namun hasil akhir tidak seperti yang diharapkan maka
harus tetap optimis dan percaya bahwasanya Allah tidak akan mencabut nyawa se orang hamba
sampai telah sempurna rizki yang diberikan Allah kepada hamba tersebut, sebagaimana hadits dari
Nabi Muhammad saw. “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah di
dalam mencari (rezeki), karena sesungguhnya setiap yang yang b ernyawa tidak akan pernah mati
sampai dia menyempurnakan rezekinya, meskipun kadang terlambat datang untuknya, maka
bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rezeki), (yaitu) ambillah apa
yang telah dihalalkan tinggalkanlah apa yang telah diharamkan” (HR. Ibnu Majah).
Dari hadits tersebut dapat kita pahami bahwasanya seseorang tidak akan dicabut nyawanya
sampai sempurna rizki yang Allah berikan kepadanya. Apabila nafas masih dikandung badan
artinya rizki seseorang masih belum sempurna dan masih ada potensi yang tak terhingga, tinggal
menunggu kita untuk menjemputnya. Di lain sisi beberapa kali terjadi ada seseorang sampai
dicabut nyawanya masih tetap dalam keadaan miskin meskipun telah melakukan usaha dan bekerja
keras untuk mengentaskan kemiskinan pada dirinya sendiri dan keluarganya, itu bukanlah
merupakan suatu yang hina. Seseorang itu justru mendapat pahala dan ganjaran yang besar karena
telah mendapat pahala yang besar dari Allah melalui upaya dan amal dunia yang telah ia lakukan
tersebut. Dan kesuksesan hakiki dari sebuah upaya seorang muslim, tidaklah dinilai di dunia
melainkan di nilai di akhirat. Seseorang dikatakan sukses apabila telah memasuki surga -Nya.
Namun, optimisme dan semangat untuk mengentaskan diri sendiri dan orang lain dari
kemiskinan harus tetap ada karena Allah Ta’ala berfiriman:
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S Ar-Ra’du:13)
Melalui ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa selama seseorang itu berusaha dan bekerja
keras pasti Allah akan memberikan hasil yang setimpal. Sunnatullah telah menetapkan terhadap
semua makhluk, bahwa rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan -bahan makanan yang telah
disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan, kesemuanya itu tidak akan dapat
dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh -sungguh. Allah pasti akan
memberikan rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi sebagaimana
firmannya juga di dalam Al-Quran surat Al-Mulk ayat 15 dan Al-Jumu’ah ayat 10. Barangsiapa
berjalan di muka bumi ini sambil mengharapkan karunia dan rezeki Allah, niscaya ia termasuk
orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-
malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia dari Allah.

Demikianlah konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam secara umum. Allah
Ta’alaa berfirman
Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai oran g yang berbuat kerusakan” (QS.
Al-Qasas: 77)
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan manusia agar memanfaatkan nikmat dunia yang
Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akhirat. Lalu Allah juga menjelaskan agar jangan
melupakan bagian kita dari dunia. Ini menunjukkan meskipun sama-sama penting namun porsi
akhirat lebih penting jika dibandingkan dengan dunia. Selanjutnya Allah berfirman:
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat)
Pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam adalah salah satu bentuk ibadah yang
dilakukan oleh individu, masyarakat, dan pemerintah. Yang tujuan dan ganjaran hakikinya dalam
beribadah ada di akhirat. Maka dalam proses mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam
orientasinya lebih kepada proses dibandingkan hasil. Di mana harus berupaya secara bersungguh -
sungguh kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah. Jika proses telah dilakukan secara baik
dengan melakukan upaya jasmaniah dan rohaniah maka niscaya falah akan didapatkan.

Relevansi Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam dengan Pengentasan


Kemiskinan di Indonesia
Pengentasan kemiskinan di Indonesia dilandaskan pada konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pancasila yang merupakan dasar
negara Indonesia. Pancasila pada sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jelas menghendaki kesejahteraan bagi rakyat
dengan adanya pembangunan yang merata serta terentaskannya rakyat Indonesia dari jerat
kemiskinan. Kemudian landasan pada UUD 1945 terdapat pada bagian preambule (pembukaan)
UUD 1945 pada paragraf ke-4 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2011) yang berbunyi:
“...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Selain itu, Bab XIV UUD 1945 yang terdiri dari pasal 33 & 34 secara khusus memberikan
perhatian terhadap usaha pengentasan kemiskinan, Pasal 33 & 34 UUD 1945 berbunyi :
• Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang -undang.
• Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan s osial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang -undang.
Selanjutnya, akan dibahas bagaimana pengentasan kemiskinan di Indonesia serta
relevansinya dengan konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam mengacu pada kajian
di bab V dan sintesis di sub bab 6.1. Berikut pembahasannya:
1. Dari sisi pemerintah selaku subyek pengentasan kemiskinan, saat ini kerjasama
multilateral dengan negara-negara OIC secara ekonomi masih belum optimal. Alih-alih
pengintegrasian dana sosial untuk mengentaskan kemiskinan, bentuk kerjasama Indonesia
dengan negara-negara OIC dalam perdagangan antar negara saja saat ini masih sangat
rendah (Hidayat 2016). Tetapi, kerjasama yang telah terjadi patut diapresiasi, terlebih
yang baru-baru ini terjadi yaitu deklarasi Jakarta yang merupakan bentuk Ukhuwah
Islamiyah dan peran Indonesia yang secara tidak langsung memiliki implikasi dalam
pengentasan kemiskinan di dunia Islam.
2. Dalam pemanfaatan perbendaharaan negara untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesa,
Pemerintahan Indonesia saat ini telah cukup baik secara konsep dalam menanggulangi
kemiskinan. Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi dalam APBN tahun 2016
menunjukkan bahwa fungsi perlindungan sosial mendapatkan peringkat ke -3 teratas
dalam jumlah total APBN, sejumlah 158,1 Triliun Rupiah (Pemerintah Republik
Indonesia, 2016b). Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menangg ulangi
kemiskinan di Indonesia.
3. Kemudian dalam penyusunan regulasi pro-syariat yang berhubungan langsung dengan
pengentasan kemiskinan, untuk pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggar syari’at
tersebut seperti melanggar zakat, Pemerintah masih terlihat hanya melaksanakan sisi
amar ma’ruf namun belum sampai pada nahy munkar. Sebagai contoh terkait regulasi-
regulasi yang mengatur tentang zakat yang ada saat ini8 masih belum terlihat ada sanksi
tegas yang diberlakukan bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat.
4. Semangat untuk menjaga Sumber Daya Alam yang dilakukan oleh Pemerintah di
Indonesia sudah sangat jelas, sebagaimana yang teratur dalam konstitusi khususnya UUD

8
1. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2011 dan Penjelasan UU no.23 tahun 2011; 2 . Peraturan Pemerintah RI Nomor
14 T ahun 2014; 3. Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2014
1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”. Di antara contoh lain adalah adanya Undang -Undang nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam Undang -undang tersebut
pemerintah berusaha pro-rakyat dengan lebih mempersempit lagi ruang gerak korporasi-
korporasi yang menguasai mineral dan batu bara di Indonesia untuk mengeruk SDA demi
kepentingan privat. Selain itu pemerintah juga telah berkomitmen untuk melaksanakan
gerakan global Sustainable Development Goals (SDG).
5. Di Indonesia sudah terdapat lembaga khusus untuk menangani masalah pengentasan
kemiskinan yaitu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
TNP2K merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat
untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K mempunyai tugas
pokok untuk: (1) Menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2)
Melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi dan integrasi program-program
penanggulangan kemiskinan di kementerian/lembaga; (3) Melakukan pengawasan dan
pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.
6. Pemerintah Indonesia telah menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam pengentasan
kemiskinan, diantaranya dilakukan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS), Corporate Social Responsibility (CSR), dan kerjasama dengan Organisasi Non-
Profit/Filantropi/Charity. Selain itu, dalam pengintegrasian dana zakat pemerintah juga
telah berhasil melaksanakan kerjasama berupa integrasi pengelolaan zakat yang dilakukan
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dari pihak
swasta.
7. Dari segi masyarakat, penerapan konsep pengentasan kemiskinan di Indonesia menjadi
terbantu dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama
Islam. Namun, ada hal yang cukup miris terjadi yakni, di Indonesia pada tahun 2011
diperkirakan potensi dana zakat yang terkumpul adalah 217 Triliun Rupiah, namun
kenyataannya dana yang terkumpul hanya 1,7 Triliun Ru piah.Selain itu, informasi World
Bank (2014a) menunjukkan kendati tiap tahun tingkat kemiskinan di Indonesia semakin
berkurang, namun tingkat ketimpangan semakin bertambah. Indonesia memiliki tingkat
ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, dengan naiknya koefisien Gini dari 0,32
pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012, ini mengindikasikan distribusi kekayaan di antara
orang-orang miskin dan kaya masih belum berjalan dengan baik yang artinya adalah
nilai-nilai dalam ajaran Islam untuk mendorong distribusi kekayaan menjadi lebih adil
dan merata masih belum diterapkan secara optimal. Serta, implementasi dari konsep
ekonomi kekeluargaan berdasarkan konstitusi yang ada pada UUD 1945 Bab XIV yang
diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah masih tidak efektif dan tidak mampu
mengatasi masalah kemiskinan.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan
dalam Ekonomi Islam relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jika dilihat melalui
visi dan strategi pembangunan yang ada sebenarnya Indonesia telah on the right track untuk
mengatasi kemiskinan baik itu dari segi jasmani maupun rohani dan linier dengan cita -cita Islam
untuk menyejahterakan dan memelihara alam semesta dan seisinya. Akan tetapi masih ada
beberapa kekurangan terutama dalam pengimplementasian visi dan strategi tersebut, terutama pada
sisi penysunan regulasi pro-syariat yang masih kurang memberikan sanksi tegas terhadap para
pelanggar syariat. Salah satu akibatnya, dapat dilihat dari jumlah zakat yang terkumpul di
Indonesia hanya 0.7 % dari total potensi szakat yang ada. Padahal jika potensi zakat sejumlah 217
triliun rupiah tersebut terealisasi dengan nyata, maka dana zakat tersebut sebenarnya bisa untuk
mengcover Belanja Negara pada fungsi Perlindungan Sosial yang hanya sebesar 158.1 triliun
rupiah. Kemudian hal ini juga menunjukkan masih kurang kuatnya ikatan Ukhuwah Islamiyah
yang merupakan landasan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam di Indonesia yang
selaras dengan Bab XIV UUD 1945.
Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Islam satu paket dengan pengukuran kemiskinan
dalam ekonomi Islam. Saat ini Pemerintah Indonesia masih belum secara khusus menggunakan
standar Islam dalam melakukan pengukuran kemiskinan. Tentu saja hal ini berimplikasi terhadap
strategi-strategi pengentasan kemiskinan pemerintah dan implementasinya yang menyebabkan
potensi konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam untuk menjadi solusi atas
permasalahan kemiskinan dan wasilah pencapaian falah menjadi tidak maksimal.
G. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya yang membahas mengenai
konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam dan relevansinya dengan pengentasan
kemiskinan di Indonesia, maka kesimpulan dan saran penelitian dari penelitian ini ad alah sebagai
berikut:
Kesimpulan
1. Ekonomi Islam memandang sebuah kemiskinan sebagai suatu masalah yang multi-dimensi.
2. Dimensi-dimensi tersebut mencakup dimensi rohani dan jasmani. Maka dari itu untuk
mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam upaya-upaya multi-dimensi juga perlu
dilakukan. Tidak hanya upaya mengatasi kemiskinan material saja (jasmani), namun perlu juga
mengatasi kemiskinan spiritual (rohani).
3. Tujuan dari pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam adalah untuk menggapai falah
(Kebahagiaan di dunia dan di akhirat)
4. Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi islam dapat dibagi berdasarkan pelakunya,
yakni individu (orang miskin itu sendiri), masyarakat, dan pemerintah.
5. Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar konsep pengentasan kemiskinan di dalam
Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan,
yakni: (1) Pengentasan kemiskinan yang dilakukan dalam Islam kesemuanya haruslah berjalan
beriringan dengan usaha rohaniah. (2) Untuk melakukan pengentasan kemiskinan di dalam
ekonomi Islam haruslah dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah.
6. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam
relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Saran
1. Dari literatur-literatur ilmiah yang telah dipublikasikan sejauh ini, hasil kajian terbaru
mengenai pengukuran kemiskinan dalam ekonomi Islam telah mencoba untuk
mengintegrasikan antara pengukuran kemiskinan material dan kemiskinan spirtiual. Namun
berdasarkan Ridwan (2011:30) kemiskinan dalam Islam juga mencakup ranah mental/psikis.
Terlepas dari apakah ranah mental/psikis itu termasuk dalam ranah spiritual atau terpisah, perlu
kiranya kajian mengenai pengukuran kemiskinan mental/psikis dikembangkan agar dapat
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kondisi kemiskinan di suatu area
melalui perspektif Islam.
2. Bagi penelitian-penelitian terapan terkait dengan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi
Islam yang akan dilakukan di masa depan adalah untuk melakukan pengujian terhadap konse p
ini. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara menjadikan konsep dalam penelitian ini
menjadi variabel-variabel yang dapat mewakili konsep tersebut, Sebagaimana yang dilakukan
oleh Haneef et al. (2015) yang melakukan pengujian terhadap konsep wakaf men ggunakan
teknik Confirmatory Factor Analysis (CFA).
3. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan kembali dan melakukan refleksi terhadap visi
pembangunan Indonesia yang diantara tujuannya adalah untuk membentuk manusia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan evaluasi tentang pemaknaan dan
pengukuran kemiskinan yang selama ini digunakan. Tidak ada salahnya menjadi out-of-the
box, dengan menerapkan metode pengukuran kemiskinan yang sesuai dengan Ekonomi Islam.
Selain itu, pada saat ini metode mengenai pengukuran kemiskinan dalam Islam yang terbaru
justru ditemukan oleh cendekiawan Indonesia yakni Beik & Arsyianti (2015) dengan CIBEST -
nya. Tidak ada salahnya melakukan penerapan metode pengukuran tersebut sebagaima na
langkah Buthan yang menerapkan Gross National Happiness (GNH).
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., 2012. Manifestasi dan Latensi Lembaga Filantropi Islam dalam Praktik Pemberdayaan
Masyarakat: Suatu studi di Rumah Zakat Kota Malang. Jurnal Studi Masyarakat Islam,
15(2), pp.197–214. Available at:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/ 1630.

Adinugraha, H.H., 2013. Norma dan Nilai dalam Ilmu Ekonomi Islam. Media Ekonomi dan
Teknologi Informasi, 21, pp.49–59.

Aid for Development Effectiveness Secretariat, 2012. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Pembiayaan KPS Infrastruktur dan Kesesuaiannya pada KPS Sosial , Jakarta.

Al-Attas, S.M.N., 1978. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilzation (ISTAC). Available at: http://www.getcited.org/pub/102125437.

Al-Banna, H., 2007. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Jakarta: Era Adicitra Intermedia.

Amuda, Y.J. & Embi, N.A.C., 2013. Alleviation of Poverty among OIC Countries through Sadaqat
, Cash Waqf and Public Funding. International Journal of Trade, Economics, and Finance,
4(6).

Anonim, 2010. Al Qur’an: Terjemah dan Tafsir Per Kata, Bandung: Jabal.

Antonio, M.S., 2014. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik , Jakarta: Gema Insani Press.

Asy’ari, H., 2009. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal Sosial
Pada PT Newmont. Universitas Diponegoro.

Babbie, E., 2013. The Practice of Social Research, Thirteenth Edition, International Edition,
Wadsworth: Cengage Learning.

Baidhawy, Z., 2009. Teologi Neo Al-Ma’un: Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan
Abad 21, Jogjakarta: Civil Islamic Institute.

BAPPENAS, 2015. Public Private Partnerships Infrastrutucture Projects Plan in Indonesia 2015 ,
Jakarta: BAPPENAS.

BAPPENAS, 2014. Rencana Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku II Agenda


Pembangunan Bidang, Indonesia.

Barnett-Page, E. & Thomas, J., 2009. Methods for the synthesis of qualitative research: a critical
review, London.

Beik, I.S. & Arsyianti, L.D., 2015. Construction of CIBEST Model as Measurement of Poverty
and Welfare Indices From Islamic Perspective. Al-Iqtishad: Journal of Islamic Economics,
7(1).

Bordens, K.S. & Abbott, B.B., 2005. Research Design and Methods: A Process Aprroach, New
York: McGraw-Hill.

Cooper, H., Hedges, L. V & Valentine, J.C., 2009. The Handbook of Research Synthesis and
Meta-Analysis, New York: Russell Sage Foundation.
Fathurrahman, A., 2010. Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di Indonesia
(Telaah atas Teori Kontruksi Fiqh Klasik). Al-Mawarid, XI(1), pp.1–16.

Güner, O., 2005. Poverty in Traditional Islamic Thought : Is it Virtue or Captivity ? Studies in
Islam and the Middle East [SIME] Journal, 2(1).

Hakim, L., 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga.

Hamidah, 2015. Al-Ukhuwah Al-Ijtima’iyah wa Al-Insaniyah: Kajian terhadap Pluralisme Agama


dan Kerjasama Kemanusiaan. Intizar, 21(2), pp.321–341.
Haneef, M.A. et al., 2015. Integration of waqf-Islamic microfinance model for poverty reduction.
International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management , 8(2),
pp.246–270.

Hassan, M.K., 2010. an Integrated Poverty Alleviation Model Combining Zakat , Awqaf and
Micro-Finance. The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Econo my, (1), pp.261–281.

Hoetoro, A., 2007. Ekonomi Islam Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi , Malang:
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Hoque, N., Khan, M.A. & Mohammad, K.D., 2015. Poverty alleviation by Zakah in a transitional
economy : a small business entrepreneurial framework. Journal of Global Entrepreneurship
Research (2015), 5(7), pp.1–20.

Ibrahim, S., 2007. Kemiskinan dalam Perspektif Al-Qur’an, Malang: UIN-Malang Press.

Jawas, Y. bin A.Q., 2013. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Bogor: Pustaka At-Taqwa.

Jurusan Ilmu Ekonomi, 2013. Buku Pedoman Skripsi, Malang: Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Katsir, I., 2003a. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003b. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003c. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003d. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003e. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003f. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003g. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2012. Umar bin Khaththab Radhiallahu ’Anhu A. Sami, ed., Jakarta: Perisai Qur’an.

Kementrian Sekretariat Negara, 2013. Kajian Kebijakan - Penguatan Peran Pemerintah Daerah
dalam Percepatan Pengentasan Kemiskinan, Jakarta.

Korayem, K. & Mashhour, N., 2014. Poverty in Secular and Islamic Economics;
Conceptualization and Poverty Alleviation Policy, with Reference to Egypt. Middle Eastern
and African Economies, 15(2).

Merriam-Webster Inc., 2007. Merriam-Webster Electronic Dictionary.

Multifiah, 2011. Telaah Kritis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Tinjauan Konstitusi.
Journal of Indonesian Applied Economics, 5(1), pp.1–27. Available at:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=259609&val=7037&tit le=TELAAH
KRITIS KEBIJAKAN PENANGGULAN KEMISKINAN DALAM TINJAUAN
KONSTITUSI.

Murtini, 2010. Konsep Manajemen Qalbu menurut Abdullah Gymnastiar Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam. IAIN Walisongo.
Nazir, M., 2011. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Pasiak, T., 2007. Brain Management for Self Improvement, Bandung: Mizan.

Peerzade, S.A., 1997. The Definition and Measurement of Poverty: An Integrated Islamic
Approach. The Pakistan Development Review, 36(1). Available at:
http://www.pide.org.pk/pdf/PDR/1997/ Volu me1/87-97.pdf.

Pemerintah Republik Indonesia, 2016. Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017 , Indonesia.
Pew Research Center, 2015. The Future of World Religions: Population Growth Projections,
2010-2050”. , p.245.

Pound, P. & Campbell, R., 2015. Exploring the feasibility of theory synthesis: A worked example
in the field of health related risk-taking. Social Science and Medicine, 124, pp.57–65.
Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.socscimed.2014.11.029.

Purwana, A.E., 2014. Kesejahteraan dalam Perspektif Ekonomi Islam. Justicia Islamica: Jurnal
Kajian Hukum dan Sosial, 11.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008. Ekonomi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Qaradhawi, Y., 2009. Fiqh Al Zakah (Volume II), Jeddah: Scientific Publishing Centre King
Abdulaziz University.

Qaradhawi, Y., 2002. Teologi Kemiskinan: Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem
Kemiskinan, Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Rahayuningsih, Y., 2005. Konsep Ukhuwah Islamiah dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan
Sikap Sosial Anak . IAIN Walisongo Semarang.

Rahmat, A. et al., 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan S. Akhadiah & W. D. Listyasari, eds., Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Rasool, M.S.A. et al., 2011. Poverty measurement in Malaysian zakat institutions: A theoretical
survey. Jurnal Ekonomi Malaysia, 45(1), pp.123–129.

Rasool, M.S.A., Shalleh, A.M. & Harun, M.F.M., 2012. Poverty Measurement by Islamic
Institutions. International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic, Business,
and Industrial Engineering, 6(5), pp.489–491.

Ridwan, A.M., 2011. Geliat Ekonomi Islam: Memangkas Kemiskinan, Mendorong Perubahan ,
Malang: UIN-Maliki Press.

Ridwan, B.R. & Ibrahim, I.A., 2012. Ahkam al-Laqit: Konsep Islam dalam Menangani Anak
Jalanan di Indonesia. Jurnal TSAQAFAH, 8(2).
Rivai, V. & Buchari, A., 2013. Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi!,
Jakarta: Bumi Aksara.

Sakti, A., 2007. Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern , PARADIGMA &
AQSA Publishing.

Shihab, M.Q., 2011. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Tangerang: Penerbit Lentera Hati.

Shoimuddin, 2011. Ukhuwwah dalam Perspektif Al Qur’an. UIN Syarif Hidayatullah.

Suma, M.A., 2015. Tafsir Ayat Ekonomi: Teks, Terjemah, dan Tafsir, Jakarta: Amzah.

Suyanto, B., 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya, Malang: Intrans Publishing.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.

TNP2K, 2011. Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: TNP2K.

Widokarti, J.R., 2014. Masalah Dasar Pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) di
Indonesia. In Border and Development International Conference (BDIC) . Pontianak:
Universitas Terbuka, pp. 1–25.

World Bank, 2014a. Menurunkan Ketimpangan di Indonesia. Available at:


http://www.worldbank.org/in/country/indonesia/brief/reducing-inequality-in-indonesia
[Accessed February 24, 2016].
World Bank, 2014b. Poverty Overview. Poverty. Available at:
http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview [Accessed January 1, 2015].
LAMPIRAN 1. Model Qaradhawi (2002)

Sumber : Qaradhawi (2002) diolah


LAMPIRAN 2. Model Baidhawy (2009)

Sumber : Baidhawy (2009) diolah


LAMPIRAN 3. Model Jawas (2013)

Sumber : Jawas (2013) diolah


LAMPIRAN 4. Model Ridwan & Ibrahim (2012); Amuda & Embi (2013); Hoque et al. (2015); Haneef et al. (2015)

Sumber : Ridwan & Ibrahim (2012); Amuda & Embi (2013); Hoque et al. (2015); Haneef et al. (2015) diolah
LAMPIRAN 5. Matriks konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Konsep
Qaradhawi Baidhawy Ridwan & Amuda & Embi Hoque et al. Haneef et al.
Pengentasan Jawas (2013)
Kem iskinan (2002) (2009) Ibrahim (2012) (2013) (2015) (2015)

Pelaku Bekerja Penguatan • Bekerja dan


adalah institusi keluarga berusaha
individu dengan • Melakulan
menanamkan usaha rohaniah
dan
mempraktekan
sikap konsumsi
yang sederhana
dan proporsional

Pelaku • Jaminan dari • Politik : • Mencukupi • Tak aful ijtima’i • Pengentasan • Pengelolaan • Pengelolaan
adalah famili dekat dengan famili yang • Berinisiatif kemiskinan zakat yang dana
Masyarakat yang mampu deliberasi miskin, mengasuh melalui digunakan wakaf/sedekah
• Zakat kolektif dan • zakat dan anak-anak penguatan untuk kegiatan diserahkan
• Hak-hak kontrak politik berbagai jalanan/miskin pengelolaan produktif kepada
selain zakat • Ekonomi : jenisnya, sedekah, melalui Lembaga
• Derma suka dengan • Kewajiban wakaf, dan pembiayaan Keuangan
rela/filantropi filantropi memenuhi hak- pendanaan UMKM (LKS)
sosial, hak selain publik. • Model (Channeling).
menyuarakan zakat, pengembanga • LKS kemudian
hak dan • Sedekah suka n mengelola
mengadvokasi rela/filantropi kewirausahaa dana tersebut
orang miskin, n yang untuk kemudian
membangun • Wakaf sosial diusulkan disalurkan
bisnis dengan berupa melalui 5 untuk program
tanggung sedekah tahap: (1) takaful,
jawab sosial jariyah dan Pengumpulan pelatihan SDM,
dan sejenisnya dana oleh dan
lingkungan • Melakulan Pemerintah/N pembiayaan
• Kebudayaan : usaha rohaniah GO; (2) usaha/proyek.
dengan Seleksi
membuat kandidat
masyarakat mustahiq yang
menjadi agen potensial; (3)
pembaharu Pelatihan
dan dakwah SDM; (4)
yang Evaluasi
mengajak menggunakan
pada jalan Kirkpatrick
Allah, agen training
stabilitas evaluation
dengan taxonomy; (5)
melakukan mustahiq yang
amar ma’ruf, lolos hasil
dan agen evaluasi dapat
transformasi mendirikan
dengan usaha dengan
melakukan dibiayai dana
nahi munkar zakat
Pelaku Jaminan negara • Penegakkan • Dana bantuan Pembentukan • Pendirian
adalah dari berbagai keadilan dari lembaga diwan institusi zakat di
Pemerintah sumbernya ekonomi politik perbendaharaa seperti pada masing-masing
melalui n Islam dari masa Khalifah negara Islam
kerjasama berbagai Umar bin untuk
multilateral sumbernya, Khathab yang fundraising
• Penyusunan • Melakulan memiliki tugas • Negara-negara
regulasi usaha rohaniah anggota OIC
untuk
tentang : (Organisation of
konsumsi; menjalankan Islamic
pembuatan sensus Cooperation)
program untuk penduduk. harus
tenaga kerja Berdasarkan mengintegrasik
yang kesulitan data dari sensus an dana
mendapat tersebut, sedekah,
pekerjaan; pemerintah wakaf, dan
larangan membuat pendaanaan
penimbunan bantuan tahunan publik untuk
(ihtik ar, yang diberikan kemudian
ik tinaz); kepada diinvestasikan
larangan riba; untuk membuka
golongan yang
penegakan usaha dan
memerlukan,
Zakat, Infaq, lapangan kerja.
Sodaqoh (ZIS) terutama (a) Investasi
dan yang wanita yang dilakukan di
sejenisnya; ditinggal mati sektor
penegakan suaminya dan Agrikultur,
waris anak yatim, (b) pendidikan, dan
• Menghidupkan mereka yang Usaha Kecil
tanah mati berjuang untuk Mikro dan
• Menghentikan Islam (c) mereka Menengah
eksploitasi yang cacat (UMKM).
Sumber Daya anggota
Alam (SDA) tubuhnya, dan
melalui proses orang jompo.
pengambilan
retribusi atas
penggunaan
SDA dan
Nasionalisasi
SDA yang
dikuasai
privat/korporat
untuk publik
Sumber : Berbagai sumber diolah (2017)
LAMPIRAN 6. Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Usaha Rohaniah

Ukhuwah Islamiyah

II

I
Sumber: Berbagai sumber diolah (2017)

Anda mungkin juga menyukai