Disusun oleh:
KELAS A/ GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari (I1C019093)
2. Tyana Rahma Afiati (I1C019095)
3. Ibnu Maulana Atthariq (I1C019099)
4. Kirana Shafa Ridha (I1C019101)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
- Mengetahui prinsip uji stabilitas dipercepat (accelerated study) dan uji stabilitas jangka
panjang (real-time study)
- Mampu menjelaskan intepretasi data studi stabilitas obat jadi
- Memahami faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu produk obat jadi
II. ALAT BAHAN
1. Alat
2. Bahan
III. SKEMA PROSEDUR KERJA
a. Sirup Kering Amoxicillin
b. Kapsul Piroksisam
II. PERHITUNGAN DAN ANALISIS DATA
Room (tanpa Room (dengan
Kondisi Stress Room Stress penambahan penambahan
asam) asam)
Kelembaban 70 70 70
Suhu 26,7 26,7 26,7
Tanggal Produksi 10/2018 10/2018 - - -
Tanggal ED 10/2021 10/2021 10/2020 10/2020 10/2020
No Batch 80220 80220 1710-06-96 1710-06-96 1710-06-96
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning muda Keruh Keruh Keruh
muda Bentuk : Kekeruhan : Kekeruhan : Kekeruhan :
Hari ke Bentuk : Lonjong ++ +++ +++
-1 Lonjong (kapsul) Endapan : - Endapan : - Endapan : -
(kapsul) Tekstur :
Tekstur : Granul
Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning muda Keruh Keruh Keruh
Pengam muda Bentuk : Kekeruhan : Kekeruhan : Kekeruhan :
atan Hari ke Bentuk : Lonjong +++ +++ +++
Visual -2 Lonjong (kapsul) Endapan : + Endapan : - Endapan : +
(kapsul) Tekstur :
Tekstur : Granul
Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning tua muda Keruh Keruh Keruh
Bentuk : Bentuk : Kekeruhan : Kekeruhan : Kekeruhan :
Hari ke
Lonjong Lonjong ++ +++ ++
-3
(kapsul) (kapsul) Endapan : ++ Endapan : + Endapan : ++
Tekstur : Tekstur :
Granul Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning tua tua Jernih Keruh Jernih
Bentuk : Bentuk : Kekeruhan : Kekeruhan : Kekeruhan :
Hari ke
Lonjong Lonjong ++ ++ ++
-4
(kapsul) (kapsul) Endapan : ++ Endapan : ++ Endapan : ++
Tekstur : Tekstur :
Granul Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning tua tua Jernih Jernih Jernih
Bentuk : Bentuk : Kekeruhan : + Kekeruhan : Kekeruhan : +
Hari ke
Lonjong Lonjong Endapan : +++ ++ Endapan : +++
-5
(kapsul) (kapsul) Endapan : ++
Tekstur : Tekstur :
Granul Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning tua tua Jernih Jernih Jernih
Bentuk : Bentuk : Kekeruhan : + Kekeruhan : + Kekeruhan : +
Hari ke
Lonjong Lonjong Endapan : +++ Endapan : +++ Endapan : +++
-6
(kapsul) (kapsul)
Tekstur : Tekstur :
Granul Granul
Warna Warna :Kuning Warna : Pink Warna : Pink Warna : Pink
:Kuning tua tua Jernih Jernih Jernih
Bentuk : Bentuk : Kekeruhan : + Kekeruhan : + Kekeruhan : +
Hari ke
Lonjong Lonjong Endapan : +++ Endapan : +++ Endapan : +++
-7
(kapsul) (kapsul)
Tekstur : Tekstur :
Granul Granul
III. PEMBAHASAN
Stabilitas dalam farmasetika mengarah pada kemampuan produk atau kandungan zat obat
untuk tetap mempertahankan sifat fisik, potensi, dan kemurnian dalam rentang waktu tertentu.
Stabilitas obat terbagi menjadi 3 kategori yaitu stabilitas kimia, stabilitas fisika, dan stabilitas
mikroba. Penurunan stabilitas obat dapat dapat juga diklasifikasikan menurut pembuatan produk
obat. Formulasi obat dapat mempengaruhi kecepatan dan mekanisme penurunan stabilitas obat.
Secara umum, penurunan stabilitas obat lebih cepat dalam bentuk larutan dan tanpa air.
Disamping memonitoring active pharmaceutical ingredient (API), uji stabilitas dapat juga
dilakukan dengan memonitoring penurunan sifat fisik, perubahan dalam keutuhan dan kelarutan,
kehilangan bobot, dan kontaminasi mokroba. Uji stabilitas dilakukan untuk menghitung kualitas
dari obat yang sudah jadi. API atau eksipien bervariasi dibawah pengaruh beberapa faktor
lingkungan seperti, suhu, kelembaban, pH, dan cahaya (Loftsson, 2014).
Uji stabilitas obat digunakan untuk menguji produk obat untuk waktu yang lebih lama di
bawah berbagai kondisi suhu dan kelembaban relatif (Relative Humidity). Apabila obat akan
didistribusikan ke wilayah geografis yang berbeda dan pengiriman membutuhkan waktu yang
lama maka uji stabilitas obat jangka panjang sangat diperlukan. Tujuan utama dari uji stabilitas
adalah untuk mengetahui umur simpan produk obat (Aashigari, 2019). Manfaat adanya uji
stabilitas obat yaitu dapat mendapatkan informasi tentang produk obat untuk menentukan masa
edar dan periode penggunaan dalam kemasan dengan kondisi penyimpanan tertentu (Syahputri,
2007).
Terdapat beberapa metode uji stabilitas antara lain :
1. Uji stabilitas jangka panjang (real time stability testing)
Uji stabilitas jangka panjang ini Dilakukan di suhu ruang 29°C-30°C dengan lambu
biasa. Pengujian dengan cara ini dilakukan setiap 3 bulan sekali pada tahap pertama dan
setiap 6 bulan sekali pada tahun kedua dan seterusnya. Pengujian stabilitas real time
biasanya dilakukan untuk jangka waktu yang lama untuk memungkinkan degradasi produk
yang signifikan dalam kondisi penyimpanan yang direkomendasikan (Kelly, 2008).
2. Uji stabilitas dipercepat (accelerated stability testing)
Uji stabilitas dipercepat dilakukan untuk memprediksi umur simpan atau digunakan
untuk membandingkan stabilitas relatif formulasi secara alternatif. Selain itu juga menguji
terhadap suhu, kondisi stres yang diterapkan seperti kelembaban, cahaya, pH dan
gravitasi Dalam metode ini obat-obatan disimpan pada suhu yang berbeda seperti 40° C,
60° C, 70° C, 80° C, 100° C dll. Studi-studi ini harus dilakukan pada suhu kamar dan pada
suhu lemari es. Selama interval yang berbeda, sampel dikumpulkan dan diperiksa
stabilitasnya. Pengambilan sampel dilakukan pada interval 3 bulan di tahun pertama dan 6
bulan tahun berikutnya dan tahunan kemudian. Produk-produk yang terdegradasi sangat
cepat bagi mereka pengambilan sampel reguler dalam durasi singkat waktu harus
dilakukan. Ketika suhu meningkatkan dekomposisi zat juga sangat cepat. Uji stres yang
digunakan dalam pedoman ICH saat ini (40% untuk produk disimpan pada suhu kamar
yang terkontrol) dikembangkan dari model yang mengasumsikan energy aktivasi sekitar 83
KJ / mol. Sesuai ICH dan WHO kondisi penyimpanan untuk studi stabilitas dipercepat
adalah 40 ° C ± 2 ° C 75% RH ± 5% RH. Jika produk tidak stabil pada kondisi antara suhu
dan kelembaban yang ditentukan maka digunakan 30 ° C ± 2 ° C 65% RH ± 5% RH. FDA
menetapkan pengujian pengambilan sampel selama 0, 2, 4, dan 6 bulan masing-masing.
WHO menetapkan untuk 0, 1, 2, 3, 4, dan 6 bulan. ICH menentukan tes untuk menjadi
dilakukan untuk setiap 3 bulan dalam setahun, 6 bulan dalam 2 tahun dan sesudahnya
tahunan. Tes dipercepat terutama dilakukan untuk stabilitas fotokimia dan penyerapan air.
Tes ini dilakukan untuk semua sediaan farmasi tetapi terutama adalah tes yang digunakan
untuk sistem terdispersi seperti emulsi dan suspensi farmasi (Aashigari, 2019).
3. Retained Sample Stability Testing
Retained Sample Stability Testing merupakan pengujian yang biasa dilakukan terhadap
setiap produk yang dipasarkan. Dalam penelitian ini, sampel stabilitas, untuk penyimpanan
yang dipertahankan selama setidaknya satu batch setahun dipilih. Dalam penelitian ini,
stabilitas sampel diuji pada interval yang telah ditentukan yaitu jika suatu produk memiliki
umur simpan 5 tahun, pengujian sampel dilakukan pada bulan ke 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48,
dan 60. Metode konvensional ini dikenal juga sebagai metode interval konstan
(Kommanaboyina et al., 1999; Carstensen et al., 1993). Jenis pengujian ini secara inheren
lebih realistis karena menantang produk bukan hanya dalam kondisi penyimpanan sampel
yang diidealkan, tetapi juga dalam pasar aktual (Kommanaboyina et al., 1999)
4. Cyclic Temperature Stress Testing
Dalam metode ini, cyclic temperature stress testing dirancang terhadap suatu produk
sehingga meniru kemungkinan kondisi penyimpanan di pasar. Dalam pengujian ini
pengambilan sampel dianggap dilakukan dalam siklus 24 jam yang dikenal sebagai ritme
bumi yaitu 24 jam. Uji sampel suhu minimum dan maksimum produk berdasarkan suhu,
kondisi penyimpanan, degradasi kimia dan fisik produk. Untuk memperkirakan umur
simpan, siklus 20 direkomendasikan (Kommanaboyina et al., 1999; Carstensen et al.,
2000).
Faktor yang mempengaruhi stabilitas antara lain :
a. Oksigen
Oksigen merupakan senyawa yang memegang peranan penting dalam reaksi
oksidasi. Reaksi oksidasi ini dapat mempengaruhi kestabilan obat karena dapat
mendegradasi obat tersebut.
b. Suhu
Suhu yang tinggi dapat mempengaruhi semua reaksi kimia.Kenaikan suhu akan
mempercepat reaksi kimia suatu obat. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan
stabilitas obat menjadi berkurang dan akhirnya menyebabkan penurunan kadar dari
obat tersebut.
c. pH
pH dapat mempengaruhi tingkat dekomposisi obat. Obat biasanya stabil pada pH
4 sampai 8. Dengan Adanya penambahan asam ataupun basa dapat menyebabkan
penguraian larutan obat menjadi dipercepat dan menyebabkan obat menjadi tidak
stabil.(Gokani, H. Rina D, N. Kinjal,2012)
Ada berbagai macam stabilitas yaitu stabilitas fisika, stabilitas kimia, dan stabilitas
mikrobiologi. Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang
tergantung waktu (periode penyimpanan), contoh dari perubahan fisika antara lain migras
(perubahan) warna, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji fisika
meliputi : pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis (Vadas, 2010). Stabilitas fisika
dapat disebabkan adanya perubahan lingkungan dan penyimpanan. Dalam sediaan bahan obat
menunjukkan adanya polimorfis yang berarti sediaan obat tersebut mampu untuk berada dalam
berbagai modifikasi (Voight, 1994). Perubahan fisik suatu sediaan pada penyimpanan dapat
terlihat dari bentuk hablur, bertambah atau berkurangnya laju alir suspensi, perubahan warna,
bertambah atau berkurangnya laju alir disolusi, waktu disintegrasi, pecahnya emulsi,
penggumpalan suspensi, dan adanya endapan dalam sediaan larutan (Lachman, 1994).
Sedangkan stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk
mempertahankan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas
waktu yang ditentukan (Attwod & Florence, 2008).
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari
mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu.
Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara
pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisikakimia
tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau memang sudah
mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi
menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan
kosmetik. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasiuntuk menjaga atau
mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan
tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan (Vadas, 2010).
Pada praktikum kali ini dilakukan uji stabilitas pada sediaan sirup kering amoxicillin dan
kapsul piroksisam. Untuk melakukan uji stabilitas sirup kering amoxicillin terhadap pH langkah
pertama yang dilakukan yaitu melarutkan sirup kering amoxicillin dengan air. Kemudian
ditambahkan asam pada salah satu bootl uji secara bertahap sedikit demi sedikit sebanyak 1 mL
setiap pengamatan. Lalu, mengamati perubahan pH sediaan dengan menghitung pH awal dan pH
setiap penambahan asam sebanyak 3 kali selama 3 pekan. Setelah mengamati perubahan ph
sediaan, kemudian mengamati perubahan fisik sediaan yaitu dengan menuangkan sirup kering
amoxicilin pada gelas beker agar mudah diamati dan dihitung jumlah volume yang terpindahkan.
Langkah terakhir yaitu membandingkan sirup amoxicillin yang ditambahkan asam dengan sirup
amoxcilin yang tidak ditambahkan asam.
Hasil pengamatan yang didapat yaitu pada hari pertama kondisi sirup berwarna pink
keruh dan tidak ada endapan. Pada hari kedua, sirup berwarna pink keruh tidak ada endapan.
Pada hari ketiga, sirup berwarna pink keruh dan terdapat sedikit endapan. Pada hari keempat,
sirup berwarna pink keruh dengan tingkat kekeruhan yang menurun dan terdapat endapan yang
lebih banyak dari hari ketiga. Hari kelima, sirup mengalami perubahan warna dari warna pink
keruh pink jernih, dengan tingkat kekeruhan dan jumlah endapan yang tidak jauh berbeda dengan
hari keempat. Pada hari keenam, sirup berwarna pink jernih, tingkat kekeruhan sudah menurun
jauh, dan jumlah endapan lebih banyak dari hari sebelumnya. Begitu pula pada hari ketujuh.
Uji stabilitas dipercepat (pada kondisi stress), pada hari pertama kondisi sirup berwarna
pink keruh dan tidak ada endapan. Pada hari kedua, sirup berwarna pink keruh dan sudah ada
sedikit endapan. Pada hari ketiga, sirup berwarna pink keruh dengan tingkat kekeruhan yang
mulai menurun dan endapan yang semakin bertambah. Pada hari keempat, sirup sudah berubah
warna menjadi pink jernih dengan tingkat kekeruhan dan jumlah endapan yang tidak jauh
berbeda dengan hari sebelumnya. Pada hari kelima, sirup berwarna pink jernih, tingkat kekeruhan
sudah menurun jauh, dan jumlah endapan yang lebih banyak dari hari keempat. Begitu pula pada
hari keenam dan ketujuh. Dari data tersebut dapat dilihat, sirup amoksisilin pada kondisi stress
lebih tidak stabil. Sirup amoksisilin pada kondisi stress menunjukkan ketidakstabilan lebih cepat
daripada sirup amoksisilin pada kondisi room, seperti sudah mengalami pengendapan pada hari
kedua, tingkat kekeruhan yang menurun lebih cepat yang dimulai pada hari ketiga, dan pada hari
keempat sirup sudah mengalami perubahan warna menjadi pink jernih. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa suhu dapat mempengaruhi stabilitas obat. Suhu yang tinggi dapat
mempengaruhi semua reaksi kimia. Kenaikan suhu akan mempercepat reaksi kimia suatu obat.
Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan stabilitas obat menjadi berkurang dan akhirnya
menyebabkan penurunan kadar dari obat tersebut (Gokani et al., 2012).
Untuk uji stabilitas pada kondisi room dengan penambahan asam setiap kali pengamatan
pada sirup amoksisilin, didapatkan data, pada hari pertama kondisi sirup berwarna pink keruh dan
tidak ada endapan. Pada hari kedua, sirup berwarna pink keruh dan sudah ada sedikit endapan.
Pada hari ketiga, sirup berwarna pink keruh dengan tingkat kekeruhan yang mulai menurun dan
endapan yang semakin bertambah. Pada hari keempat, sirup sudah berubah warna menjadi pink
jernih dengan tingkat kekeruhan dan jumlah endapan yang tidak jauh berbeda dengan hari
sebelumnya. Pada hari kelima, sirup berwarna pink jernih, tingkat kekeruhan sudah menurun
jauh, dan jumlah endapan yang lebih banyak dari hari keempat. Begitu pula pada hari keenam
dan ketujuh. Dari data tersebut dapat dilihat, jika dibandingkan dengan kondisi room tanpa
penambahan asam, sirup pada kondisi room dengan penambahan asam lebih tidak stabil, sirup
lebih cepat menunjukkan bentuk ketidakstabilan seperti perubahan warna, menurunnya tingkat
kekeruhan, dan terjadinya endapan yang lebih cepat daripada sirup pada kondisi room. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa walaupun obat disimpan dalam kondisi real time/kondisi room yang
mana sudah sesuai dengan persyaratan simpan obat, akan tetapi jika obat terkontaminasi larutan
asam atau zat pengkontaminasi lainnya yang dapat mempengaruhi derajat keasaman atau ph
larutan maka stabilitas obat akan terganggu lebih cepat. Hal tersebut terjadi karena ph dapat
mempengaruhi tingkat dekomposisi obat. Obat biasanya stabil pada pH 4 sampai 8. Dengan
adanya penambahan asam ataupun basa dapat menyebabkan penguraian larutan obat menjadi
dipercepat dan menyebabkan obat menjadi tidak stabil (Gokani et al., 2012).
Pada sediaan kapsul piroksisam yaitu dilakukan uji stabilitas dengan mengamati
perubahan visual dan perubahan kadar obat per waktu. Uji stabilitas dipercepat pada kapsul
piroksikam didapat perubahan warna dari hari pertama hingga hari ketujuh, didapat perubahan
warna dari kuning muda menjadi kuning tua. Hal tersebut membuktikan bahwa kapsul
piroksikam telah mengalami ketidakstabilan karena adanya perubahan warna karena suhu 40oC
merupakan suhu yang tinggi dan akan menyebabkan stabilitas obat menjadi berkurang dan
penurunan kadar dari obat tersebut (Gokani, 2012). Berdasarkan uji stabilitas jangka panjang
pada kapsul piroksikam tidak terdapat perubahan yang signifikan dari segi warna, tekstur, dan
bentuk. Hal ini sesuai dengan literatur karena pada saat uji stabilitas jangka panjang kapsul
piroksikam disimpan pada suhu 26,70C dan berada pada kelembaban 70% yang mana sudah
sesuai dengan klaim label karena yaitu suhu berada pada kisaran 250C – 300C dan Rh 75 %-5%
sehingga mempunyai stabilitas yang baik (Fatmawati, et al., 2015).
VI. DAFTAR PUSTAKA
Aashigari, Sneha , Ramya Goud G., Sneha S., Vykuntam U., Naga Raju Potnuri. 2019. Stability
Studies of Pharmaceutical Products. World Journal of Pharmaceutical Research, Vol. 8
(1): 479-492.
Attwood, D. & Florence, A. T. 2008. Physical Pharmacy. Pharmaceutical Press.
Carstensen JT. 2000. Drug Stability, Principles and Practices. New York: Marcel Dekker.
Gokani., Desai., N. Kinjal., Rina. H. 2012.Stability Study : Regulatory
Requirenment.International Journal of Advances in Pharmaceutical Analysis. Vol 2.No 3
: 62-67
Kelly. 2008. Accelerated Stability DuringFormulation Development ofEarly Stage Protein
Therapeutics – Pros and Cons of Contrasting Approaches. KBI Biopharma
Kommanaboyina B., Rhodes CT. 1999. Trends in Stability Testing, with Emphasis on Stability
during Distribution and Storage. Drug Dev. Ind. Pharm. 25:857-867.
Lachman L., Lieberman, H. A., Kanig J.L. 1994. Teori dan Praktik Farmasi Industri Edisi
Ketiga. Jakarta: UI press.
Loftsson, T., 2014. Drug stability for pharmaceutical scientists. Academic Press.
Syahputri, M. V., 2007. Pemastian Mutu Obat: Kompendium Pedoman & Bahan-Bahan Terkait.
Volume 1. Jakarta: EGC.
Vadas, E.B. 2010. Stability of Pharmaceutical Products. London: Lippincott William &
Wilkins.
LAPORAN PRAKTIKUM/STUDI KASUS FARMASI FISIKA
MIKROMERITIK
Disusun oleh:
KELAS A/ GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari (I1C019093)
2. Tyana Rahma Afiati (I1C019095)
3. Ibnu Maulana Atthariq (I1C019099)
4. Kirana Shafa Ridha (I1C019101)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
- Memahami konsep mikromeritik untuk penentuan ukuran partikel dan distribusi
ukuran partikel
- Menghitung ukuran partikel dengan metode pengayakan bertingkatMemahami
konsep mikromeritik untuk penentuan ukuran partikel dan distribusi ukuran
partikel 2. Menghitung ukuran partikel dengan metode pengayakan bertingkat
II. ALAT BAHAN
1. Alat
a. Neraca analitik
b. Ayakan bertingkat dengan beberapa nomer mesh tertentu
c. Alat vibrator
d. Spatula
e. Kertas perkamen
2. Bahan
a. Amilum Manihot
b. Parasetamol
III. SKEMA PROSEDUR KERJA
Metode Pengayakan
Ditimbang 25 g zat
Disusun berurutan dari atas ke bawah
Catat data yang diperoleh dan dihitung nilai % serbuk / granul yang
tertahan serta hitung ukuran diameter partikel rata-rata dari amilum
dan paracetamol
II. PERHITUNGAN DAN ANALISIS DATA
Amilum Manihot (bobot awal 100 gram)
No D ayakan Bobot Tertinggal
n% d (cm) n% x d
Mesh (cm) (gr)
30 20 46,645 48,606 0,085 4,132
40 20 21,181 22,071 0,064 1,413
50 20 7,561 7,879 0,051 0,402
60 20 4,921 5,128 0,042 0,215
100 20 15,658 16,316 0,025 0,408
Total 95,966
n% = x 100%
d (diameter lubang) =
Jumlah n% 100 %
Perhitungan d
No Mesh Hasil
30 302,54 = 0,085 cm
40 402,54 = 0,064 cm
50 502,54 = 0,051 cm
60 602,54 = 0,042 cm
Perhitungan n% x d
No Mesh Hasil
Jumlah n% 100 %
Perhitungan d
No Mesh Hasil
30 302,54 = 0,085 cm
40 402,54 = 0,064 cm
50 502,54 = 0,051 cm
60 602,54 = 0,042 cm
Jumlah n% x d 5,718
35 35,562
30
25 25,613
20 19,258
15 14,357
10
8,211
5
0
0,085 0,064 0,051 0,042 0,025
Gambar 1. Hubungan antara n% dengan d lubang pada pengayakan
Paracetamol
50 48,606
40
30
22,071
20
16,316
10
7,879
5,128
0
0,085 0,064 0,051 0,042 0,025
Amilum Manihot
Pada kedua grafik tersebut, terlihat bahwa semakin kecil diameter lubang, maka
semakin sedikit n% serbuk yang tertahan pada ayakan. Hal tersebut terjadi karena pada
setiap ayakan terdapat serbuk yang tertahan sehingga jumlah serbuk semakin berkurang
(Moechtar, 1990). Akan tetapi, berbeda pada pengayakan terakhir untuk diameter
lubang 0,025 cm pada pengayakan serbuk PCT dan Amilum manihot, terdapat kenaikan
jumlah % (n%) untuk kedua serbuk tersebut. Untuk serbuk PCT terjadi kenaikan n%
serbuk dari 8,211 % menjadi 25,613 % dan pada serbuk Amilum manihot terjad
kenaikan n% serbuk dari 5,128 % menjadi 16,316 %. Hal ini dapat terjadi karena
lamanya pengayakan sehingga menyebabkan hancurnya serbuk dan akhirnya serbuk
yang seharusnya tidak terayak akan menjadi terayak (Martin, 1993).
VI. DAFTAR PUSTAKA
Fatmawati, A., Michun, N. & Phedia, F., 2015. Teknologi Sediaan Farmasi. Yogyakarta:
CV Budi Utama.
Maheshwari, Kuche , K., Pooja, T. & Raval Nidhi, 2018. Micromeritics in Pharmaceutical
Product Development. Dosage Form Design Considerations, pp. 599-635.
Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A., 1993. Farmasi Fisik Dasar dan Kimia Fisik
diterjemahkan oleh Yoshita Edisi Ketiga hal 141-142. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
Mochtar. 1989. Farmasi Fisika. Gajah Mada University Press: Yogyakarta
Parrot, E.L. (1970). Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics. Firsh Edition.
London: Pharmaceutical Press. Pages 731
Pol, E., Coumans, F., Grootemaat, A., Gardiner, C., Sargent, I., Harrison, P. 2014. Particle
Size Distribution of Exosomes and Microvesicles Determined by Transmission
Electron Microscopy, Flow Cytometry, Nanoparticle Tracking Analysis, and
Resistive Pulse Sensing. J. Thromb. Haemost. Vol 12 (7). Hal : 1182-1192.
Disusun oleh:
KELAS A / GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari I1C019093
2. Tyana Rahma Afiati I1C019095
3. Ibnu Maulana Atthaariq I1C019099
4. Kirana Shafa Ridha I1C019101
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mempelajari cara penentuan viskositas larutan newton dengan viskosimeter Ostwald.
2. Mempelajari pengaruh kadar larutan terhadap viskositas larutan.
II. ALAT BAHAN
A. Alat
- Viskosimeter Ostwald
- Timbangan Analitik
- Bulb
- Pipet volume
- Stopwatch
- Piknometer
B. Bahan
- Air
- Alkohol
- larutan gula 20%
- larutan gula 40%
- larutan gula 60%
- larutan gula X%
III. SKEMA PROSEDUR KERJA
1. Menghitung bobot jenis/kerapatan
Piknometer
- Ditimbang piknometer kosong menggunakan neraca
analitik
- Dicatat bobot piknometer kosong yang dihasilkan
- Dimasukkan sampel ke dalam piknometer
- Ditimbang bobot piknometer yang berisi sampel
- Dicatat bobot yang dihasilkan
Hasil
2. Viskometer Ostwald
Sampel
A. Rumus Kerapatan
bobot piknometer+larutan(gr)−bobot piknometer kosong (gr)
𝑑= gr/cm3
volume larutan uji (ml)
78,456−38,576
1. Air = = 0,997 gr/cm3
40
76,024−38,576 3
2. Alkohol = = 0,936 gr/cm
40
78,983−38,576
3. Larutan gula 20% = = 1,007 gr/cm3
40
80,864−38,576
4. Larutan gula 40% = = 1,057 gr/cm3
40
81,845−38,576
5. Larutan gula 60% = = 1,081 gr/cm3
40
79,586−38,576
6. Larutan gula X% = = 1,025 gr/cm3
40
B. Rumus Viskositas
Ƞ1 𝑥 𝑝2 𝑥 t2
Ƞ= cps
𝑝1 𝑥 𝑡1
Ƞ1 𝑥 𝑝2 𝑥 t2
1. Air = = 0,899 cps
𝑝1 𝑥 𝑡1
0,899 x 0,936 x 135
2. Alkohol = = 1,086 cps
0,977 x 107
0,899 x 1,007 x 160
3. Larutan gula 20% = = 1,385 cps
0,977 x 107
0,899 x 1,057 x 305
4. Larutan gula 40% = = 2,772 cps
0,977 x 107
0,899 x 1,081 x 440
5. Larutan gula 60% = = 4,090 cps
0,977 x 107
0,899 x 1,025 x 245
6. Larutan gula X% = = 2,159 cps
0,977 x 107
V. PEMBAHASAN
Viskositas adalah suatu pernyataan “tahanan untuk mengalir” dari suatu sistem yang
mendapatkan suatu tekanan. Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Semakin
tinggi viskositas suatu zat cair, maka akan semakin kental aliran zat cair tersebut. Suatu zat cair
dengan viskositas tinggi, seperti molase, dalam suhu kamar dikatakan kental. Viskositas zat cair
adalah suatu indikasi dari kekuatan gaya-gaya diantara molekul-molekulnya. Gaya antar molekul
yang kuat saling menarik molekul dan tidak akan membiarkan mereka berpindah tempat dengan
mudah (Atkins, 2007).
Viskositas dapat berpengaruh terhadap zat-zat yang ada dalam bidang farmasi, contohnya
pada zat suspensi, tidak boleh terlalu kental (nilai viskositas tinggi) sehingga menyebabkan
suspensi tidak bisa dikocok, hal ini dapat menyebabkan distribusi zat aktif tidak merata pada
seluruh cairan dan juga akan mengalami kesulitan pada saat penuangan. Selain itu, contoh lain
viskositas adalah untuk pengobatan pada organ mata, viskositas dinaikkan untuk membantu
menahan obat pada jaringan mata sehingga menambah efektivitas terapinya (Lesty, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas yaitu : (Bird, 1987)
a. Tekanan
Viskositas cairan naik dengan naiknya tekanan, sedangkan viskositas gas tidak
dipengaruhi oleh tekanan.
b. Temperatur
Viskositas akan turun dengan naiknya suhu, sedangkan viskositas gas naik dengan
naiknya suhu. Pemanasan zat cair menyebabkan molekul-molekulnya memperoleh
energi. Molekul-molekul cairan bergerak sehingga gaya interaksi antar molekul
melemah. Dengan demikian viskositas cairan akan turun dengan kenaikan temperatur.
c. Kehadiran zat lain
Penambahan gula tebu meningkatkan viskositas air. Adanya bahan tambahan
seperti bahan suspensi menaikkan viskositas air. Pada minyak ataupun gliserin adanya
penambahan air akan menyebabkan viskositas akan turun karena gliserin maupun
minyak akan semakin encer, waktu alirnya semakin cepat.
d. Ukuran dan berat molekul
Viskositas naik dengan naiknya berat molekul. Misalnya laju aliran alkohol
cepat, larutan minyak laju alirannya lambat dan kekentalannya tinggi seta laju aliran
lambat sehingga viskositas juga tinggi.
e. Berat molekul
Viskositas akan naik jika ikatan rangkap semakin banyak.
f. Kekuatan antar molekul
Viskositas air naik dengan adanya ikatan hidrogen, viskositas CPO dengan
gugus OH pada trigliseridanya naik pada keadaan yang sama.
g. Konsentrasi larutan
Viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan
konsentrasi tinggi akan memiliki viskositas yang tinggi pula, karena konsentrasi larutan
menyatakan banyaknya partikel zat yang terlarut tiap satuan volume. Semakin banyak
partikel yang terlarut, gesekan antar partikel semakin tinggi dan viskositasnya semakin
tinggi pula.
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu viskometer ostwald. Metode ini
ditentukan berdasarkan hukum Poiseuille menggunakan alat Viskometer Ostwald. Penetapannya
dilakukan dengan jalan mengukur waktu yang diperlukan untuk mengalirnya cairan dalam pipa
kapiler (Apriani, et al., 2013). Viskometer Ostwald berkerja dengan konsep kecepatan alir suatu
fluida dalam suatu pipa tabung apabila semakin kecil kecepatan alir larutan maka semakin besar
nilai viskositas (Engel & Reid, 2006). Kegunaan Viskometer Ostwald yaitu untuk mengukur
waktu yang di butuhkan oleh sejumlah fluida tertentu untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan
gaya yang disebabkan oleh berat larutan itu sendiri. Larutan dengan volume tertentu diukur
kecepatan alirnya dari tanda (A) ke tanda (B). Prinsip viskometer ostwald yaitu dengan mengukur
waktu yang diperlukan oleh cairan untuk melewati dua titik yang telah ditentukan pada sebuah
tabung kapiler vertikal (Sinila, 2016).
Piknometer merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk mengukur kerapatan
sebenarnya dari sebuah padatan dan benda cair (Sinila, 2016). Alat ini terbuat dari kaca,
bentuknya menyeupai botol parfum atau sejenisnya. Piknometer digunakan untuk mengukur nilai
suatu massa jenis atau densitas dari fluida. Prinsip kerja piknometer adalah pengukuran kadar
suatu larutan dengan membandingkan massa jenis larutan dengan massa jenis aquades atau air
murni (Akbar, et al., 2019).
Penentuan viskositas larutan dilakukan dengan menggunakan viskometer Ostwald dan juga
menggunakan piknometer. Semua bahan (air, alkohol, larutan gula 20%, 40%, 60%, dan X %)
dan alat (viskosimeter ostwald, timbangan analitik, bulb, pipet volume, stopwatch, piknometer)
yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu. Langkah yang pertama dalam menghitung bobot
jenis/kerapatan adalah dengan menimbang piknometer menggunakan neraca analitik. Piknometer
kosong ditimbang dan dicatat data yang dihasilkan. Setelah mengetahui bobot piknometer
kosong, dimasukkan sampel (air, alkohol, larutan gula 20%, 40%, 60%, dan X %) ke dalam
masing-masing piknometer yang sudah ditimbang bobotnya. Kemudian, dicatat hasil bobot dari
piknometer yang berisi sampel. Langkah terakhir yaitu, setelah mendapatkan semua data maka
data yang dihasilkan dimasukkan ke dalam rumus untuk mengetahui bobot jenis/kerapatannya.
Langkah pertama yang dilakukan dalam menggunakan viskometer Ostwald adalah dengan
memasukkan sampel yang akan diukur viskositasnya ke dalam viskometer Ostwald melalui
tabung A. Kemudian cairan dihisap menggunakan pompa bulb kearah tabung B, sampel bergerak
dari arah tanda b ke tanda a. Sampel dibiarkan melewati batas tanda a dan bulb dilepaskan secara
perlahan agar sampel mengalir turun. Langkah terakhir yaitu menghitung waktu yang dibutuhkan
sampel ketika mengalir mulai dari batas a hingga batas b dengan menggunakan stopwatch dan
catat data yang dihasilkan.
Berdasarkan percobaan, diperoleh hasil viskositas air = 0,899 cps ; alkohol = 1,086 cps ;
larutan gula 20% = 1,385 cps ; larutan gula 40% = 2,772 cps ; larutan gula 60% = 4,090 cps ; dan
larutan gula x% = 2,159 cps. Menurut Adnan (2015) konsentrasi cairan mempengaruhi nilai
viskositas, dimana semakin tinggi konsentrasi semakin besar pula nilai viskositas, hal ini terlihat
dari nilai viskositas yang diperoleh dimana larutan gula 60% memiliki viskositas tertinggu
dibanding dengan larutan gula dengan konsentrasi yang lebih kecil. Untuk larutan gula X%
berada pada renang konsentrasi 20% - 40%, nilai percobaan yang diperoleh sesuai dengan
literatur bahwa konsentrasi suatu larutan menunjukan banyaknya partikel terlarut tia[ satuan
volume, sehingga viskositas yang dihasilkan akan tinggi.
VI. KESIMPULAN
Viskositas adalah suatu pernyataan “tahanan untuk mengalir” dari suatu sistem yang
mendapatkan suatu tekanan. Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Semakin
tinggi viskositas suatu zat cair, maka akan semakin kental aliran zat cair tersebut. Metode yang
digunakan dalam praktikum ini yaitu viskometer ostwald. Viskometer Ostwald berkerja dengan
konsep kecepatan alir suatu fluida dalam suatu pipa tabung apabila semakin kecil kecepatan alir
larutan maka semakin besar nilai viskositas
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, G. P., Kusdiyantini, E. & Wijanarka1. 2019. Isolasi dan Karakterisasi secara Morfologi
dan Biokimia Khamir dari Limbah Kulit Nanas Madu (Ananas comosus L.) untuk Produksi
Bioetanol. Berkala Bioteknologi, 2(2), pp. 1-11.
Apriani, D., Gusnedi & Darvina, Y. 2013. Studi Tentang Nilai Viskositas Madu Hutan dari
Beberapa Daerah di Sumatera Barat untuk Mengetahui Kualitas Madu. Pillar Of Physics,
Volume 2, pp. 91-98.
Atkins, P. 2007. Chemical Principles: Quest for Insight 4th Edition. New York: W.H.Freeman
and Company.
Bird, T. 1987. Penuntun Praktikum Kimia Fisika untuk Universitas. Jakarta: Gramedia
Bird, T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Jakarta: PT Gramedia.
Engel, T. & Reid, P. 2006. Physical Chemistry. San Fransisco : Pearson Education.
Lesty, R. 2012, 05 20. Teknik Pencampuran dalam Teknologi Farmasi.from Wordpress:
http://tsffarmasiunsoed2012.wordpress.com/2012/05/20/teknikpencampuran-
dalamteknologi-farmasi/
Sinila, S., 2016. Farmasi Fisik. Jakarta: Kemenkes RI.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
PENGUKURAN TEGANGAN PERMUKAAN
Disusun oleh:
KELAS A / GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari I1C019093
2. Tyana Rahma Afiati I1C019095
3. Ibnu Maulana Atthaariq I1C019099
4. Kirana Shafa Ridha I1C019101
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu memahami prinsip fenomena antar muka dan tegangan antar muka cairan/larutan.
2. Mengetahui cara pengukuran tegangan antar muka dua cairan tak bercampur.
Piknometer
Hasil
IV. PERHITUNGAN DAN ANALISIS DATA
V. PEMBAHASAN
a. Faktor Yang Mempengaruhi
Besarnya tegangan permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis cairan,
suhu, tekanan, massa jenis, konsentrasi zat terlarut, dan kerapatan. Dimana keberadaan zat
terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi besarnya tegangan permukaan terutama
molekul zat yang berada pada permukaan cairan berbentuk lapisan monomolecular yang
disebut dengan molekul surfaktan (Giancoli, 2001). Jika cairan memiliki molekul besar seperti
air, maka tegangan permukaannya juga besar. Salah satu faktor yang mempengaruhi
besarnya tegangan permukaan adalah massa jenis/ densitas, semakin besar densitas berarti
semakin rapat muatan-muatan atau partikel-partikel dari cairan tersebut. Kerapatan partikel ini
menyebabkan makin besarnya gaya yang diperlukan untuk memecahkan permukaan cairan
tersebut. Hal ini karena partikel yang rapat mempunyai gaya tarik menarik antar partikel
yang kuat. Sebaliknya cairan yang mempunyai densitas kecil akan mempunyai tegangan
permukaan yang kecil (Juniarta et al., 2017).
Pengukuran tegangan permukaan dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain
(Kosman, 2006):
- Metode cincin Du-Nouy
Cara ini dapat digunakan untuk mengukur tegangan permukaan dan tegangan
antar permukaan zat cair. Prinsip kerja alat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa gaya
yang dibutuhkan untuk melepaskan cincin yang tercelup pada zat cair yang sebanding
dengan tegangan permukaan atau tegangan antar permukaan. Gaya yang dibutuhkan
untuk melepaskan cincin dalam hal ini diberikan oleh kawat besi yang dinyatakan dalam
dyne.
- Metode Kenaikan Kapiler
Metode ini hanya dapat digunakan untuk menentukan tegangan suatu zat cair,
dan tidak dapat digunakan untuk menentukan tegangan antar permukaan dua zat cair
yang tidak bercampur. Bila pipa kapiler dimasukkan ke dalam suatu zat cair, dan tidak
dapat digunakan untuk menentukan tegangan antar permukaan dua zat cair yang tidak
bercampur. Bila pipa kapiler dimasukkan ke dalam suatu zat cair, maka zat tersebut akan
naik ke dalam pipa sampai gaya gerak ke atas diseimbangkan oleh gaya gravitasi ke
bahan akibat berat zat cair
b. Prinsip Dan Metode Kenaikan Kapiler
Metode ini hanya digunakan untuk menentukan tegangan suatu zat cair dan tidak dapat
digunakan untuk menentukan tegangan antar permukaan dua zat cair yang tidak bercampur,
salah satu besaran yang berlaku pada sebuah pipa kapiler adalah sudut kontak, yaitu sudut yang
dibentuk oleh permukaan zat cair yang dekat dengan dinding. Sudut kontak ini timbul akibat
gaya tarik menarik antar zat yang sama (gaya kohesi) dan gaya tarik menarik antar molekul zat
yang berbeda (adesi) (Atkins, 1990).
Tegangan permukaan diukur dengan melihat ketinggian air atau cairan yang naik
melalui suatu kapiler. Bila pipa kapiler dimasukkan ke dalam suatu zat cair, maka zat tersebut
akan naik ke dalam pipa sampai gaya gesek ke atas diseimbangkan oleh gaya gravitasi ke
bawah akibat berat zat cair (Atkins, 1990)..
Tekanan yang diberikan oleh sebuah kolom cairan yang rapatannya dan tingginya h
adalah :
Bentuk yang sederhana ini memungkinkan kita mengukur tegangan permukaan cairan
dengan cara yang teliti (Atkins, 1990).
Jika gaya adesi antara cairan dan materi dinding kapiler lebih lemah daripada gaya
kohesi dalam cairan (seperti untuk air raksa dalam gelas), maka cairan dalam pipa menarik diri
dari dinding. Akibatnya permukaan melengkung dengan sisi konkaf, bertekanan tinggi di
bagian bawah. Untuk menyamakan tekanan pada kedalaman yang sama di seluruh bagian
cairan, permukaan harus turun untuk mengimbangi ketinggian tekanan yang berasal dari
lengkungannya. Hal ini mengakibatkan adanya penurunan kapiler (Anief, 1993).
Molekul biasanya saling tarik menarik. Dibagian dalam cairan, setiap molekul cairan
dikelilingi oleh molekul-molekul cairan disamping dan di bawah. Dibagian atas tidak ada
molekul cairan yang lain karena molekul cairan tarik menarik satu dengan yang lainnya, maka
terdapat gaya total yang besarnya nol pada molekul yang berbeda di bagian dalam cairan
(Anief, 1993).
Sebaliknya molekul cairan yang terletak di permukaan ditarik oleh molekul cairan yang
berada di samping dan dibawahnya. Akibatnya permukaan cairan terdapat gaya total yang
berarah ke bawah karena adanya gaya total yang arahnya ke bawah, maka cairan yang terdapat
di permukaan cenderung memperkecil luas permukaannya dengan menyusut sekuat mungkin.
Hal ini yang menyebabkan lapisan permukaan seolah-olah tertutup oleh selaput elastis yang
tipis (Anief, 1993).
c. Hasil vs Literatur
Hasil yang diperoleh dari penentuan tegangan permukaan tidak dapat dibandingkan
dengan literatur, karena perbedaan volume zat dan jari-jari kapiler yang dipakai dalam
pengujian belum tentu sama dengan yang ada pada literatur, sehingga tidak dapat dihitung
penyimpangan kesalahan yang terjadi. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti
jenis cairan, suhu dan tekanan, konsentrasi zat terlarut, kerapatan dan masa jenis. (Muchtar et
al, 2015)
VI. KESIMPULAN
Tegangan permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis cairan, suhu,
tekanan, massa jenis, konsentrasi zat terlarut, dan kerapatan. Terdapat 2 metode untuk mengukur
tegangan permukaan sedangkan metode yang digunakan yaitu metode kenaikan pipa kapiler yang
merupakan metode untuk menentukan tegangan suatu zat cair dan tidak dapat digunakan untuk
menentukan tegangan antar permukaan dua zat cair yang tidak bercampur. Hasil yang diperoleh
tidak dapat dibandingkan dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
KELAS A / GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari I1C019093
2. Tyana Rahma Afiati I1C019095
3. Ibnu Maulana Atthaariq I1C019099
4. Kirana Shafa Ridha I1C019101
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu menentukan HLB butuh untuk pembuatan sediaan emulsi yang stabil.
2. Mampu melakukan evaluasi sediaan emulsi (penentuan fase dan stabilitas).
II. ALAT BAHAN
A. Alat
1. Gelas kimia 250 mL 7. Cawan porselen
2. Gelas ukur 100 mL 8. Botol semprot
3. Mixer 9. Thermometer
4. Timbangan analitik 10. Pipet tetes
5. Penangas air 11. Stopwatch
6. Batang pengaduk 12. Tissue roll dan alumunium foil
B. Bahan
1. Oelum cacao
2. Span 80 dan tween 80
3. Aquadest
III. SKEMA PROSEDUR KERJA
Oleum cacao 10%, emulgator 4%, emulgator 5%,
emulgator 6%
Evaluasi
- Dilakukan stabilitas sediaan emulsi (penyimpanan pada suhu kamar selama 7 hari
dan penyimpanan di oven suhu 40o selama 5 hari)
- Dilakukan penetapan bobot jenis
- Dilakukan penentuan volume terpindahkan
- Dilakukan penentuan tinggi sendimentasi
Hasil
-
IV. PERHITUNGAN DAN ANALISIS DATA
`HLB 12 (bobot zat 87,09 gram)
7 5,5 1 5,5 : 1
1. HLB 12 (4% emulgator)
● Tween 80 (HLB 16) =Y
● Span 80 (HLB 4,3) = 4-Y
● 16 Y + 4,3 (4-Y) = 12 x 4
16 Y + 17,2 – 4,3 Y = 48
11,7 Y = 30,8
Y = 2,632% (Tween 80)
● Span 80 = 4 - 2,632 = 1,4%
● Oleum cacao = 10% x 100mL = 10 g
● Span 80 = 1,4% x 100mL = 1,4 g
● Tween 80 = 2,6% x 100mL = 2,6 g
● Aquades = 100mL – (10g + 1,4g + 2,6g) = 86mL
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam
bentuk tetesan kecil. Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispersi terdiri dari bulatan-
bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur (Kemenkes RI,
2014). Berdasarkan tipenya emulsi dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Emulsi oil in water (o/w) atau minyak dalam air di mana tetesan minyak didispersikan dalam
fase air.
2. Emulsi water in oil (w/o) atau air dalam minyak dimana tetesan air tersebar dalam fase
minyak.
3. Emulsi kontinu, dimana domain mikro minyak dan air saling disebarkan dalam sistem.
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang penting untuk
diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang
digunakan. Emulgator adalah bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka
antara minyak dengan air dan membentuk film yang mengelilingi tetesan terdispersi sehingga
mencegah koalerensi dan terpisahnya fase terdispersi. Emulgator sering dikombinasikan untuk
membentuk emulsi yang lebih baik yaitu emulgator dengan keseimbangan hidrofilik dan lipofilik
yang diinginkan. Emulgator yang memiliki nilai HLB adalah golongan emulgator surfaktan (Parrot,
1971).
HLB adalah singkatan dari Hydrophylic-Lipophylic Balance adalah nilai untuk mengukur
efisiensi emulgator yang digunakan, menciptakan suatu skala sembarang berupa nilai-nilai yang
berfungsi sebagai ukuran keseimbangan hidrofilik-lipofilik surfaktan, dengan menggunakan sistem
angka. Makin tinggi HLB suatu senyawa, makin hidrofilik senyawa tersebut. HLB mendasari
metode semi empirik untuk memilih pengemulsi yang tepat atau kombinasi pengemulsi pada
stabilitas emulsi (Hiemenz dan Rejogopolan, 1997).
Nilai HLB suatu surfaktan berhubungan dengan sifat kelarutannya. Surfaktan dengan nilai HLB
rendah cenderung larut dalam minyak sedangkan nilai HLB tinggi cenderung larut dalam air.
Semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan tersebut semakin bersifat hidrofilik dengan karakteristik
khusus yaitu memiliki kelarutan air yang sangat tinggi. Sebaliknya, semakin rendah nilai HLB
maka menunjukkan sifat hidrofobik yang semakin kuat. Surfaktan dengan HLB rendah
diaplikasikan pada sistem emulsi W/O dimana gugus hidrofilik akan mengikat sejumlah air yang
terdispersi dalam minyak (Tadros, 2013). Minyak sebagai fase pendispersi akan diikat oleh gugus
lipofilik. Sebaliknya, surfaktan dengan HLB tinggi diaplikasikan pada sistem emulsi O/W. Air
sebagai fase pendispersi akan diikat oleh gugus hidrofilik yang jumlahnya lebih banyak
dibandingkan gugus lipofilik yang akan mengikat sejumlah minyak yang terdispersi. Penggunaan
surfaktan dengan nilai HLB optimum dan properti kimia yang kompatibel dengan komponen
emulsi akan membentuk suatu struktur emulsi yang stabil (Uniqema, 2004).
Kestabilan suatu sediaan emulsi dapat diketahui melalui nilai KMK. Konsentrasi Misel Kritik
(KMK) merupakan konsentrasi surfaktan dimana surfaktan tersebut membentuk misel secara
spontan. Misel adalah gabungan molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat (Kondo &
Yoshino, 2005). Surfaktan yang memiliki nilai KMK rendah, memiliki arti bahwa surfaktan
tersebut mudah membentuk misel. Sehingga semakin rendah nilai KMK maka surfaktan tersebut
memiliki aktivitas permukaan yang tinggi atau dikatakan memiliki kualitas yang baik (Kumar, et
al., 2011). Nilai KMK didapat dari perbandingan tinggi sedimentasi dan sediaan. Apabila nilai
KMK mendekati 1 maka emulsi tersebut semakin stabill (Ansel, 2013). Hasil perhitungan nilai
KMK menunjukkan bahwa HLB 12 merupakan emulsi yang paling stabil dibandingkan HLB 13
dan HLB 14 karena nilai KMK yang didapatkan yaitu 0,083 yang merupakan hasil KMK paling
mendekati 1 dibandingkan HLB 13 dan HLB 14.
Hubungan antara tinggi sediaan dan tinggi sedimentasi dapat dilihat melalui perhitungan nilai
KMK. Ketika nilai KMK mendekati 1 menandakan bahwa emulsi semakin stabil yang berarti
bahwa nilai HLB tersebut makin tinggi sehingga tinggi sedimentasinya akan semakin kecil (Ansel,
2013).
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎
KMK = :4
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙
1,82
KMK HLB 12 = : 4 = 0,083
5,5
1,32
KMK HLB 13 = : 4 = 0,060
5,5
0,8
KMK HLB 14 = : 4 =0,036
5,5
Hasil volume terpindahkan pada praktikum kali ini yaitu sebesar 98 mL pada HLB 12, 97 mL
pada HLB 13, dan 98 mL pada HLB 13, volume terpindahkan yang dihasilkan sudah sesuai dengan
literatur dimana volume rata-rata tiap wadah sebesar tidak kurang dari 100%, dan tidak satupun
volume wadah yang kurang dari 95% dari volume etiket (Depkes RI, 1995)
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi diantaranya penambahan
sebuah emulgent alam berlawanan, dekomposisi atau pengendapan emulgent, penambahan pelarut
umum di mana kedua fase berminyak dan berair dapat bercampur, suhu yang tidak konstan
(Madaan, et al., 2014).
Sedangkan menurut (Nofrizat & Yoga, 2015) faktor-faktor yang mempengaruh
ketidakstablikan emulsi yaitu :
- Lama penyimpanan dan temperatur Efek normal dari lama penyimpanan emulsi pada
suhu tinggi adalah percepatan laju koalesen atau creaming, dan biasanya disertai dengan
perubahan viskositas. semakin tinggi temperatur maka emulsi akan semakin tidak stabil
- Kurangnya jumlah surfaktan dan koloid pelindung sehingga tidak cukup menyelimuti
seluruh antarmuka emulsi
- Viskositas, semakin tinggi viskositas semakin kecil ukuran dan semakin besar volume
ratio
- Konsentrasi elektrolit yang tinggi elektrolit dapat meningkatkan atau mempertahankan
stabilitas emulsi
Emulsi dikatakan tidak stabil bila mengalami hal-hal seperti dibawah ini :
1. Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi 2 lapisan, dimana yang satu mengandung fase
dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. creaming bersifat reversible artinya bila
digojok perlahan-lahan akan terdispersi kembali.
2. Koalesen dan cracking (breaking) adalah pecahnya emulsi karena film yang meliputi
partikel rusak dan butir minyak akan koalesen (menyatu). sifatnya irreversible (tidak bisa
diperbaiki). Hal ini dapat terjadi karena:
● peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan
CaO/CaCl.
● Peristiwa fisika, seperti pemanasa, penyaringan, pendinginan, dan pengadukan.
3. Inversi adalah perstiwa berubahnya tipe emulsi A/M menjadi M/Aatau sebaliknya.
Sifatnya irreversible.
VI. KESIMPULAN
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam
bentuk tetesan kecil. HLB adalah nilai untuk mengukur efisiensi emulgator yang digunakan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi diantaranya penambahan sebuah
emulgent alam berlawanan, dekomposisi atau pengendapan emulgent, penambahan pelarut umum
di mana kedua fase berminyak dan berair dapat bercampur, suhu yang tidak konstan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Hiemenz, P.C. and Rejogopolan, R. 1997. Principles of Colloid and Surface Science. 3rd edn.
Dekker, New York, NY
Kondo, Y. and Yoshino, N., 2005. Hybrid fluorocarbon/hydrocarbon surfactants. Current opinion
in colloid & interface science, 10(3-4), pp.88-93.
Kumar, A., Gupta, M.K. and Kumar, M., 2011. An efficient non-ionic surfactant catalyzed
multicomponent synthesis of novel benzylamino coumarin derivative via Mannich type
reaction in aqueous media. Tetrahedron letters, 52(35), pp.4521-4525.
Madaan, V., Aersh C., Mahesh Kumar K., K, Ajay B. 2014. Emulsion Technology And
Recent Trends In Emulsion Applications. International Research Journal of Pharmacy
5(7).
Nofrizal, A dan Yoga, A.P. 2015. Pengaruh Suhu dan Satunity Terhadap kestabilan Emulsi
Minyak Mentah Indonesia. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Kimia. Undip
Semarang.
Parrot, 1971. Pharmaceutical Technology, Burgess Publishing Company. Lowa: University of
Lowa.
Tadros, T. 2013. Emulsion Formation and Stability. Singapore: Wiley-VCH.
Tyagi, Neha, & Madhav, N. V. S. 2012. Formulation and Evaluation of ZidovudineMicro
Emulsion Using a Novel Bio Polymer from the Seeds of Buchanania Lanzan.International
Journal of Biopharmaceutics. Vol. 3 (1) : 40-43.
Uniqema. 2004. The HLB Systems, a time saving guide to surfactans selection. Presentation to
the Midwest chapter of the Society of Cosmetic Chemists, March 9th 2004.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
KELARUTAN
Disusun oleh:
KELAS A / GOLONGAN 2/ KELOMPOK 5
1. Ayunda Tasya Hapsari I1C019093
2. Tyana Rahma Afiati I1C019095
3. Ibnu Maulana Atthaariq I1C019099
4. Kirana Shafa Ridha I1C019101
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan zat padat (pelarut campur, penambahan
surfaktan)
2. Mampu menghitung konstanta dielektrik campuran cairan
II. ALAT BAHAN
● Alat
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu neraca analitik, gelas kimia 50 ml, gelas ukur
100 ml, mixer, batang pengaduk, cawan porselen, spatula, kertas perkamen.
● Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah acetaminophen, oleum cacao, etanol,
propilen glikol, sorbitol glycerol, span 80, tween 80, dan aquadest
III. SKEMA PROSEDUR KERJA
Formula A, B, C, D, dan E
Elixir A, B, C, D, dan E
Data Perhitungan
a. Formula A
1,25𝑚𝑙𝑥5
- Sorbitol : x 100% = 25%
25 𝑚𝑙
b. Formula B
2,5𝑚𝑙 𝑥 5
- Gliserol : x 100% = 50%
25 𝑚𝑙
1,25𝑚𝑙 𝑥 5
- Sorbitol : x 100% = 25%
25 𝑚𝑙
c. Formula C
2,5𝑚𝑙 𝑥 5
- Gliserol : x 100% = 50%
25 𝑚𝑙
1,25𝑚𝑙 𝑥 5
- Sorbitol : x 100% = 25%
25 𝑚𝑙
500 𝑥 10^−3 𝑥 5
- Propilen glikol : x 100% = 10%
25 𝑚𝑙
d. Formula D
2,5𝑚𝑙 𝑥 5
- Gliserol : x 100% = 50%
25 𝑚𝑙
1,25𝑚𝑙 𝑥 5
- Sorbitol : x 100% = 25%
25 𝑚𝑙
500 𝑥 10^−3 𝑥 5
- Propilen glikol : x 100% = 10%
25 𝑚𝑙
0,5 𝑥 5
- Etanol : 25 𝑚𝑙 x 100% = 10%
e. Formula E
2,5𝑚𝑙 𝑥 5
- Gliserol : x 100% = 50%
25 𝑚𝑙
1,25𝑚𝑙 𝑥 5
- Sorbitol : x 100% = 25%
25 𝑚𝑙
1 𝑚𝑙 𝑥 5
- Propilen glikol : x 100% = 20%
25 𝑚𝑙
V. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kelarutan
Kelarutan didefinisikan dalam istilah kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam
larutan jenuh pada suhu tertentu. Dalam istilah kualitatif, kelarutan dapat didefinisikan sebagai
interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekul yang homogen.
Kelarutan dapat didefinisikan sebagai persiapan larutan yang stabil secara termodinamika dari
suatu zat yang biasanya tidak larut atau sangat sedikit larut dalam pelarut tertentu, dengan
memasukkan satu atau lebih komponen amfifilik (Babu et al, 2010).
2. Kelarutan Dibidang Farmasi
Kelarutan merupakan salah satu parameter penting untuk mencapai konsentrasi obat
yang diinginkan dalam sirkulasi sistemik agar respon farmakologi dapat ditunjukkan. Obat yang
kurang larut dalam air seringkali membutuhkan dosis tinggi untuk mencapai konsentrasi plasma
terapeutik setelah pemberian oral. Kelarutan air yang rendah adalah masalah utama yang dihadapi
dengan pengembangan formulasi entitas kimia baru (Vemula et al, 2010).
3. Jenis Larutan
Larutan jenuh merupakan suatu larutan yang mengandung sejumlah solute yang larut
dalam kesetimbangan dengan solute padatnya atau larutan yang partikel-partikel nya tepat habis
bereaksi dengan pereaksi (zat dengan konsentrasi maksimal). Larutan tak jenuh merupakan
larutan yang mengandung solute (zat terlarut) kurang dari yang diperlukan untuk membuat larutan
jenuh atau larutan yang partikel-partikelnya tidak tepat habis bereaksi dengan pereaksi (masih
bisa melarutkan zat). Sedangkan larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung lebih
banyak solute daripada yang diperlukan untuk larutan jenuh atau larutan yang tidak dapat lagi
melarutkan zat terlarut sehingga terjadi endapan (Nasir, 1988).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat padat dalam cairan antara lain :
a. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak dan
kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut mengha mb ur
dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah ke atas sistem sehingga
mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi sistem menjadi
turbulent. Gaya sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel ke arah luar dan atas
(Martin et al., 1993).
b. pH (keasaman atau kebasaan)
Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan
kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk ion yang
biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat
dipengaruhi oleh pH larutan (Martin et al., 1993).
c. Suhu
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat hubunga nnya
dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan didefinisikan sebagai banyaknya
panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila satu mol zat terlarut dilarutkan dalam
dalam suatu pelarut untuk menghasilkan satu larutan jenuh.
Kenaikan temperatur menaikkan kelarutan zat padat yang mengabsorpsi panas
(proses endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh ini sesuai dengan asas Le Chatelier,
yang mengatakan bahwa sistem cenderung menyesuaikan diri sendiri dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga akan melawan suatu tantangan misalnya kenaikan temperatur.
Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu jika panas dilepaskan, temperatur larutan
dan wadah terasa hangat bila disentuh. Kelarutan dalam hal ini akan turun dengan naiknya
temperatur. Zat padat umumnya termasuk dalam kelompok senyawa yang menyerap
panas apabila dilarutkan (Martin et al., 1993).
d. Komposisi cairan pelarut
Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam satu
pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi) dan kombinas i
pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven (Martin et al., 1993).
e. Ukuran partikel
Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel. Semakin
kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat (Martin et al., 1993).
f. Pengaruh surfaktan
Sifat dari surfaktan adalah menambah kelarutan senyawa organik dalam sistem
berair. Sifat ini tampak hanya pada cairan dan diatas konsentrasi misel kritis. Ini
menunjukkan bahwa misel adalah bersangkutan dengan fenomena ini. Berbagai bahan
tambahan dalam produk obat juga dapat mempengaruhi kinetika kelarutan obat itu sendiri
(Lachman et al., 1989).
g. Pembentukan Kompleks
Gaya antar molekuler yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya van
der waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar diinduksi. Ikatan hidrogen memberika n
gaya yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler dan kovalen koordinat penting
dalam beberapa kompleks logam. Salah satu faktor yang penting dalam pembentukan
kompleks molekular adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat
dari molekul donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau
mungkin berbentuk ikatan hidrogen dan berpengaruh lain harus dipertimbangkan. Metode
ini membuat pentingnya pembentukan kompleks molekular. Dibawah kompleks ini
diartikan senyawa yang antara lain terbentuk melalui jembatan hidrogen atau gaya dipo l
– dipol, juga melalui antar aksi hidrofob antar bahan obat yang berlainan seperti juga
bahan obat dan bahan pembantu yang dipilih. Pembentukan kompleks sering dikaitkan
dengan suatu perubahan sifat yang lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan, daya
resorpsinya dan 10 tersatukannya, sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu
pengujian yang cermat dan cocok. Pembentukan kompleks sekarang banyak dijumpa i
pengunaannya untuk perbaikan kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain juga dapat
menyebabkan suatu perlambatan kelarutan (Voigt, 1984).
Polietilen glikol, polistirena, karboksimetil-selulosa dan polimer sejenis yang
mengandung oksigen nukleofilik dapat berbentuk kompleks dengan berbagai obat.
Semakin stabil kompleks organik molekuler yang terbentuk, makin besar reservoir obat
yang tersedia untuk pelepasan. Suatu kompleks yang stabil 11 menghasilkan laju
pelepasan awal yang lambat dan membutuhkan waktu yang lama untuk pelepasan
sempurna (Martin et al., 1993).
h. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan tekanan
kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat mengubah kelarutan
suatu zat (Sienko & Plane, 1961).
5. Konstanta Dielektrik
Daya melarutkan suatu pelarut bergantung terhadap kepolaran suatu pelarut dan senyawa
yang terlarut. Suatu senyawa dapat larut dalam suatu pelarut yang sesuai dengan prinsip “like
dissolve like” yang berarti bahwa suatu senyawa akan terlarut pada pelarut yang memilik i
kepolaran yang sama. Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik
dan nilai polaritas suatu pelarut (Stahl, 1985).
Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan
dielektrik masing- masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing- masing komponen
pelarut. Beberapa zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan pelarut
tunggalnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana dalam
bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan suatu zat disebut co-solvent. (Rozi et al., 2018).
Senyawa yang memiliki konstanta dielektrik yang tinggi akan memiliki polaritas yang lebih
tinggi (Sirwutubun et al., 2016)
6. Jenis pelarut
Jenis pelarut yaitu :
a. Pelarut Polar
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu momen
dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. Sesuai dengan itu,
air bercampur dengan alkohol dengan segala perbandingan dan melarutkan gula dan
senyawa polihidroksi lain. Air melarutkan fenol, alkohol, aldehid, keton amina dan
senyawa lain yang mengandung oksigen dan nitrogen yang dapat membentuk ikatan
hidroksi dalam air (Martin et al., 1993).
b. Pelarut Non Polar
Aksi pelarut dari cairan non polar seperti hidrokarbon berbeda dengan zat polar.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion elektrolit kuat
dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut 8 juga tidak dapat
memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit dan berionisasi lemah karena pelarut non polar
tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan non elektrolit. Oleh karena itu, zat
terlarut ionik dan polar tidak dapat larut atau hanya dapat larut sedikit dalam pelarut non
polar. Tetapi senyawa non polar dapat melarutkan zat terlarut non polar dengan tekanan
yang sama melalui interaksi dipol induksi. Molekul zat terlarut tetap berada dalam larutan
dengan adanya sejenis gaya van der waals-london lemah. Maka, minyak dan lemak larut
dalam karbon tetraklorida, benzen dan minyak mineral. Alkaloida basa dan asam lemak
larut dalam pelarut non polar (Martin et al., 1993).
c. Pelarut Semipolar
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat
polaritas tertentu dalam molekul pelarut non polar, sehingga menjadi dapat larut dalam
alkohol, contoh : benzen yang mudah dipolarisasikan, kenyataannya senyawa semipolar
dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan bercampurnya cairan
polar dan non polar (Martin et al., 1993).
7. Cara Kerja
Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-para-aminofenol adalah obat analgesik dan
antipiretik yang populer digunakan. Parasetamol tergolong obat yang agak sukar larut dalam air,
kelarutannya dalam air 1:70 (Depkes RI, 1995). Sediaan parasetamol dapat dijumpai dalam
bentuk kapsul dan kaplet karena kelarutannya sangat kecil. Suatu obat harus mempunya i
kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan
menghasilkan efek terapeutik. Untuk obat-obat yang akan dibuat dalam sediaan berbentuk larutan
harus diperhatikan kelarutannya karena dapat mempengaruhi absorbsinya. Penambahan surfaktan
dan pelarut atau kosolven merupakan salah satu upaya peningkatan kelarutan suatu obat yang
mempunyai kelarutan kecil atau praktis tidak larut dalam air (Swarbrick dan Boylan, 1996)
Pada formula A, pertama ditimbang 120 mg acetaminophen kemudian dimasukan
kedalam beaker glass. Selanjutnya ditambahkan sorbitol sebanyak 1,25 mL dan diaduk sampai
homogen. Setelah campuran homogen ditambahkan aquadest sampai volume sediaan mencapai
25 mL, diaduk sampai homogen dan dimasukan kedalam wadah. Pada formula B, pertama
pertama ditimbang 120 mg acetaminophen kemudian dimasukan kedalam beaker glass.
Selanjutnya, ditambahkan gliserol sebanyak 2,5 mL diaduk sampai homogen. Setelah itu,
ditambahkan sorbitol 1,25 mL, diaduk sampai homogen. Setelah itu kedalam campuran
ditambahkan aquadest sampai 25 mL diaduk sampai larutan homogen dan dimasukan pada
wadah. Pada formula C, ditimbang 120 mg acetaminophen kemudian dimasukan kedalam beaker
glass. Ditambahkan propilen glikol 500 µL, diaduk sampai homogen, ditambahkan gliserol 2,5
mL diaduk sampai homogen. Ditambahkan sorbitol 1,25 ml dan diaduk sampai homogen. Setelah
itu ditambahkan aquadest sampai dengan 25 mL, diaduk sampai larutaan homogen. Setelah itu
dimasukan kedalam wadah. Pada formula D, pertama ditimbang 120 mg acetaminop he n
kemudian dimasukan kedalam beaker glass. Ditambahkan etanol 500 µL dan diaduk sampai
homogen. Setelah itu ditambahkan propilen glikol 500 µL, diaduk sampai homogen.
Ditambahkan gliserol 2,5 ml diaduk sampai homogen kemudian ditambahkan sorbitol 1,25 mL,
diaduk sampai homogen. Setelah campuran homogen ditambahkan aquadest sampai 25 mL,
dimasukan dalam wadah. Pada Formula E, pertama ditimbang 120 mg acetaminophen kemudian
dimasukan kedalam beaker glass, kemudian ditambahkan propilen glikol 1000 µL, diaduk sampai
homogen . ditambahkan gliserol 2,5 mL, diaduk sampai homogen. Setelah itu ditambahka n
sorbitol 1,25 mL dan diaduk sampai homogen. Setelah campuran homogen ditambahkan aquadest
sampai 25 mL. Diaduk sampai homogen, kemudian dimasukan kedalam wadah.
VI. KESIMPULAN
Kelarutan suatu zat yaitu jumlah solut yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu larutan
jenuh dalam sejumlah solven, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat dari zat terlarut
dan zat larut,suhu atau temperatur, pH, surfaktan, bahan tambahan jenis pelarut, bentuk dan
ukuran partikel, salting out, salting in. Semakin tinggi nilai kd-nya, maka semakin tinggi
kepolarannya, dan sebaliknya. Kd campuran yang didapat yaitu formula A: 66,5; formula B:
47,85; formula C: 43,11; formula D: 37,64 dan formula E: 38,37. Urutan kelarutan PCT yang
paling baik dimulai dari D>E>C>B>A, sehingga formula D memiliki kelarutan yang paling baik
atau tinggi dan formula A memiliki kelarutan yang paling rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Babu, V. R., Areefulla, S. H. & Mallikarjun, V., 2010. Solubility and Dissolution Enhanceme nt:
An overview. Journal of Pharmacy Research, 3(1), pp. 141-145.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta: Dirjen POM Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Martin, A., Swarbick, J., & A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2 Edisi III. Jakarta: UI Press.
Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : UI Press.
Nasir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Lachman L., H. Liebermen., & J. Kanig, L. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri Jilid II
Edisi 3. Terjemahan: Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press.
Rozi, F., Abram, P.H., & Diah, A.W.M., 2018. Pengaruh Kombinasi dan Rasio Pelarut Terhadap
Hasil Ekstraksi Minyak dari Serabut Kelapa Sawit. Jurnal Akademika Kimia, 7(3),
pp.146-151.
Sienko, M.J., & Plane, R.A. 1961. Chemistry 2nd Ed. New York: McGrawHill Book Co.
Sirwutubun, M., Ludong, M.M., & Rawung, D., 2016. Pengaruh Konsentrasi Etanol Terhadap
Karakteristik Ekstrak Pewarna Alami Buah Merah (Pandanus Conoideus Lamk.) Dan
Aplikasinya Pada Produk Pangan. In COCOS, 7(5).
Swarbrick, J. & Boylan, J. C. 1996. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, Volume 14.
New York: Marcel Dekker
Vemula, V. R., Lagishetty, V. & Lingala, S., 2010. Solubility Enhancement Techniques.
International Journal of Pharmaceutical Sciences, 5(1), pp. 41-51.
Voigt. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani Noeroto S.
Yogyakarta: UGM Press.
Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknolgi Farmasi Edisi Kelima. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada.