Anda di halaman 1dari 14

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR


Jl. Nusantara Kubu Bangli, Telp. (0366) 93788
Jl. Ratna, No. 51 Tatasan Denpasar Telp. (0361) 226656
Website : http://www.ihdn.ac.id e-mail : ihdndenpasar@kemenag.go.id
DENPASAR ~ BALI

Sistem Komunikasi Pedesaan

Ni Nyoman Asti Irawati Puja (2013061042) 1, Ni Wayan Dewi Juliani (2013061005) 2


E-mail: astiira11@gmail.com, dewiwayan18@gmail.com
Fakultas Dharma Duta Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagu Sugriwa Denpasar

Info Artikel Abstract


Village Communication System The Village Community
Keywords: Communication System (SKMD) is a communication system in the
System, Communication, community, which, whether consciously or not, has run itself, as if
Village it had become an agreement between them. The scope of this
research is in the discipline of communication, namely by
examining communication literature. The fundamental problem of
this research is how the rural communication system in Indonesia
is. The results of this study indicate that rural communities are
characterized by having a strong bond of inner feelings among
residents. The characteristics of rural communities include: In
rural communities among residents who have a deeper and closer
relationship, most of the residents of rural communities live from
agriculture. Non-agricultural work is a part-time job which is
usually used as free time. The community is homogeneous, such as
in terms of livelihoods, religion, customs and so on.
Abstrak
Kata kunci: Sistem Komunikasi Pedesaan Sistem Komunikasi Masyarakat
Sitem, Komunikasi, Pedesaan Desa (SKMD) adalah sistem komunikasi di masyarakat, yang
entah sadar atau tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah-
olah menjadi kesepakatan di antara mereka. Ruang lingkup
penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Komunikasi yakni dengan
cara meneliti bahan kepustakaan komunikasi. Masalah yang
mendasar dari penelitian ini yakni bagaimana sistem komunikasi
pedesaan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan
batin yang kuat sesama warga.Ciri-ciri masyarakat pedesaan
antara lain: warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat, sebagian besar warga masyarakat pedesaan
hidup dari pertanian., Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat dan
sebagainya.
.
I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Secara umum, komunikasi adalah proses penyampaian pesan komunikan kepada
komunikator untuk mencapai persepsi yang sama. Dan komunikasi yang paling baik menurut
beberapa ahli adalah komunikasi diadik yang terdiri dari dua orang. Karena dengan
komunikasi diadik pesan yang disampaikan akan lebih mudah dimengerti. Bukan hanya itu
komunikasi masa yang erat juga bisa dicontohkan dengan komunikasi pedesaan.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan hubungan yang erat antar warganya. Masyarakat
pedesaan menganggap bahwa satu orang warga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat dimana ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk
berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling
menghormati, mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan
kebahagiaan bersama didalam masyarakat.
Maka dari itu dengan makalah ini akan membahas tentang komunikasi pedesaan yang
cenderung kepada komunikasi antar personal. Yaitu proses pertukaran informasi di antara
seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat
langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi,
menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah
komplekslah komunikasi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari jurnal ini antara lain :
1. Bagaimana sistem komunikasi masyarakat desa?
2. Bagaimana bentuk komunikasi masyarakat desa?
3. Bagaimana gejala sosial yang terjadi di masyarakat desa?

1.3 Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Djajasudarma
(2009: 9), metode penelitian deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk memberikan
deskripsi secara sistematis mengenai data, sifat-sifat, dan hubungan fenomena-fenomena yang
akan diteliti, menggunakan literatur dan hasil penelitian yang berkaitan dengan materi. Metode
deskriptif kualitatif digunakan karena data penelitian ini berupa kata dan bukan berupa angka.
Tujuan penggunaan metode deskriptif kualitatif dalam penelitian ini yaitu untuk memperoleh
gambaran atau deskripsi tentang sistem komunikasi pedesaan yang ada di Indonesia.

2. Pembahasan
2.1 Sistem Komunikasi Masyarakat Desa
Sistem Komunikasi Masyarakat Desa (SKMD) adalah sistem komunikasi di masyarakat,
yang entah sadar atau tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah-olah menjadi
kesepakatan di antara mereka. Memang kebanyakan mereka melakukan komunikasi secara
langsung/lisan dengan berbagai saluran seperti arisan, pengajian, duduk-duduk di depan
rumah dan lainnya mengikuti kebiasaan setempat. Penggunaan berbagai media yang lain
masih sangat terbatas. Namun bukan berarti sistem komunikasi yang ada ini tidak berjalan
efektif.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama
warga desa, yaitu perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang
hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat dimana ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk
berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling
menghormati, mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan
kebahagiaan bersama didalam masyarakat.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat
sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat
yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat dimana ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk
berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling
menghormati, mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan
kebahagiaan bersama didalam masyarakat.
2.2 Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-
batas wilayahnya.
2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan ( Gemeinschaft
atau paguyuban )
3. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan
yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan ( part time ) yang biasanya sebagai
pengisi waktu luang.
4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat
dan sebagainya.
Karena sebagian besar masyarakat mempunyai kepentingan pokok yang hampir
sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Seperti pada waktu mendirikan
rumah, upacara pesta perkawinan, memperbaiki jalan desa, membuat saluran air dan
sebagainya, dalam hal-hal tersebut mereka akan selalu bekerjasama. Bentuk kerjasama
dalam masyarakat itu disebut dengan istilah gotong royong dan tolong menolong.
Sedangkan komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia dalam berhubungan dengan
orang lain. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik
dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam
masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat
dalam komunikasi.
Komunikasi itu sendiri adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim
dan penerima untuk mengubah tingkah laku. Pengirim pesan dapat berupa seorang individu,
kelompok, atau organisasi. Begitu juga dengan penerima pesan. Proses komunikasi
berlangsung melalui tahap-tahap tertentu secara terus menerus, berubah-ubah, dan tak henti-
hentinya. Proses komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena antara pengirim
dan penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Dan perubahan tingkah laku yaitu
perubahan yang terjadi di dalam diri individu mungkin dalam aspek kognitif, afektif, atau
psikomotor.

2.3 Penyuluhan di Pedesaan


Penyuluh menurut Everet M.Rogers adalah seseorang yang atas nama pemerintah
atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhan untuk mengadopsi inovasi. Fenomena
penyuluhan pembangunan merupakan ciri khas di pedesaan. penyuluhan di pedesaan
tersebut berbagi inovasi untuk kelangsungan hidup masyarakat desa. lewat penyuluh
pembangunan diharapkan masyarakat desa mengetahui inovasi serta menerapkannya di
kehidupan sehari – hari. Penyuluhan di pedesaan memiliki peran diantaranya :
1. Penyuluhan sebagai proses penyebaran informasi. Seorang penyuluh ketika pergi ke
desa sudah dibekali seperangkat pengetahuan dan pesan-pesan pembangunan atau
pertanian yang harus disebarluaskan kepada masyarakat. Jadi, penyuluh menyampaikan
pesan – pesan yang memang sudah digariskan oleh pemerintah untuk disampaikan kepada
masyarakat
2. Penyuluhan sebagai proses penerangan. Penyuluhan berfungsi sebagai sebuah proses
penerangan pada masyarakat. Artinya, masyarakat yang belum tahu sebisa mungkin dibuat
tahu terhadap pesan yang disampaikan
3. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku. Informasi yang disebarkan sebisa
mungkin tidak sekedar memberikan pemahaman pada masyarakat, tidak pula hanya
sekedar perubahan yang terjadi pada sikap mereka. Tetapi perubahan yang terjadi pada
perilaku mereka.
4. Penyuluhan sebagai proses pendidikan. Sebab, ada informasi/pesan yang disebarkan
untuk memberikan pemahaman baru atau membenarkan terhadap asumsi yang keliru pada
masyarakat pedesaan.
5. Penyuluhan sebagai proses rekayasa sosial. Tak jarang jika penyuluhan yang
dilakukan selama ini terkesan sebuah “rekayasa” sepihak pemerintah. Artinya, pemerintah
adalah (menganggap) pihak yang aktif,sedangkan sasaran adalah masyarakat yang
dianggap pihak yang pasif

2.4 Bentuk Komunikasi Masyarakat Desa


Bentuk komunikasi di pedesaan lebih cenderung kepada komunikasi antar personal.
Yaitu proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya
atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan
bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang
dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Contoh:
ketika di suatu desa akan diadakan kerjabakti atau gotong royong maka informasi itu akan
cepat tersebar luas melalui satu orang kepada orang yang lainnya sehingga masyarakat akan
turut dalam acara gotong royong tersebut.
Masyarakat Indonesia menurut para ahli lebih dari 80% tinggal di pedesaan dengan
mata pencaharian yang bersifat agraris. Masyarakat yang agraris biasanya dipandang antara
sepintas kilas dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat tentang damai, harmonis
yaitu masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat untuk
melepaskan lelah dari segala kesibukan, keramaian dan keruwetan atau kekusutan pikiran.
Tapi, sebenranya di dalam masyarakat desa ada bermacam-macam gejala, khususnya
tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya hal ini merupakan sebab bahwa
di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan social.

2.5 Gejala Sosial Yang Terjadi Di Masyarakat Desa


Beberapa gejala social yang terjadi di pedesaan, yaitu:
a. Konflik ( pertengkaran )
Penilaian orang kota terhadap masyarakat desa yang tenang dan damai tidak
selamanya benar karena di desa juga penuh dengan ketegangan dan masalah. Karena setiap
hari mereka yang selalu berdekatan dengan tetangga-tetangganya secara terus menerus
menyebabkan kesempatan untuk bertengkar lebih banyak sehingga kemungkinan terjadinya
peristiwa-peristiwa peledakan dari ketegangan tersebut amat banyak dan juga sering terjadi.
Apalgi bagi orang-orang yang tidak bisa menghormati orang yang lainnya.
b. Kontroversi ( pertentangan )
Pertentang bisa terjadi akibat adanya perubahan konsep-konsep dari kebudayaan (
adapt istiadat ) psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna ( black magic ) dan
hal ini biasanya ditinjau dari sudut kebiasaan masyarakat.
c. Kompetisi ( persaingan )
Selaku manusia biasa, orang desa pun sesuai kodratnya mempunyai sifat-sifat
sebagai manusia yang antara lain mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini.
Wujud persaingan bisa positif dan juga negatif.
Desa adalah sebuah karakteristik yang mempunyai ciri khas sendiri, menurut Paul H. Landis
ciri-ciri desa adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c. Cara berusaha ( ekonomi ) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi
alam, seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris
adalah bersifat sambilan.

2.6 Media yang dijadikan sebagai Alat Komunikasi Masyarakat Pedesaan


A. Media Rakyat
Berrigan (1979) mendefinisakn media rakyat sebagai berikut :
1. Media masyarakat adalah media yang bertumpu pada landasan yang lebih luas dari
kebutuhan semua khalayak
2. Media masyarakat adalah adaptasi media untuk digunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan, apapun tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat
3. Media masyarakat adalah media yang memberi kesempatan kepada warga masyarakat
untuk memperoleh informasi, pendidikan, bila mereka menginginkan kesempatan itu
4. Media ini adalah media yang menampung partisipasi masyarakat sebagai
perencanaan, produksi dan pelaksanaan
5. Media masyarakat adalah sasaran bagi masyarakat untuk mengemukakan sesuatu,
bukan untuk menyatakan sesuatu pada masyarakat
Adapun fungsi-fungsi media rakyat adalah sebagai berikut (Oepen, 1988) :
1. Memberi saluran alternative sebagai sarana bagi rakyat untuk mengemukakan
kebutuhan dan kepentingan mereka
2. Membantu menjembatani kesenjangan antara pusat dan pinggiran
3. Mencegah membesarnya rasa kecewa, rasa puas diri, dan keterasingan di kalangan
penduduk daerah desa
4. Memberi fasilitas berkembangnya keswadayaan, kemampuan menolong diri sendiri
dan kemampuan mengambil keputusan diri sendiri
5. Berguna bagi umpan balik, sistem pemantauan dan pengawasan suatu proyek
tertentu

B. Koran Masuk Desa


Program KMD di Indonesia mulai dilaksanakan pada bulan februari 1980
berdasarkan SK Menpen No. 11/a/Kep/Menpen/1980 tanggal 29 januari 1980. Ini dilakukan
menhingat KMD sangat penting untuk mensosialisasikan pesan-pesan pembangunan pada
masyarakat. Pentingnya KMD tercermin dari tujuannya sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai aspek-aspek pembangunan dan
pembaruan.
2. Meningkatkan keterampilan (sikll) terutama yang menyangkut cara hidup dan cara
memenuhi kebutuhan hidup.
3. Memotivasi masyarakat untuk menimbulkan keinginan mengubah nasibnya serta
bergerak dalam partisipasi pembangunan.
4. Meratakan informasi dalam rangka peningkatan arus komunikasi ke pedesaan.
Sebagai Koran yang berbeda dengan Koran pada umumnya, tentunya dari segi
liputan reportase juga berbeda karena perbedaan target, tujuan, misi dan sasarannya.
Misalnya lingkup daerah yang hanya meliputi desa (dari desa ke desa agar masyarajat desa
merasa memiliki). Isi pemberitaan sudah selayaknya diprioritaskan pada tokoh-tokoh desa
yang masih mempunyai pengaruh dan wibawa yang tinggi. Adapun kejadian yang sangat
dimintai adalah kejadian yang dekat dengan masyarakat desa, misalnya peristiwa gunung
meletus, banjir, kebakaran, cara bercocok tanam yang baik atau masalah peternakan yang
diadopsi dari pengalaman di kota atau hasil penelitian.
Berdasarkan klasifikasi, isi KMD lebih menitikberatkan pada informasi atau
pemberitaan, kemudian menyusul penerangan, penyuluhan, pendapat umum dan artikel-
artikel yang punya makna sosial budaya dan sosial ekonomi pedesaan. Sebagaimana
disebutkan di bawah ini :
· Berita umum/informasi : 40%
· Penerangan : 15%
· Penyuluhan : 10%
· Pendidikan : 10%
· Hiburan/olahraga : 10%
· Rubrik pembaca/iklan : 5%
Adapun jika dilihat dari ruang lingkup wilayah berita atau asal wilayah reportase
adalah sebagai berikut :
· Berita–berita pedesaan regional
(desa, kecamatan, kabupaten, propinsi) : 80%
· Berita nasional : 15%
· Internasional (incidental) : 5%
KMD berbeda dengan Media Rakyat. Media rakyat adalah media yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat pedesaan, milik orang desa. Sedangkan KMD adalah Koran
yang direncanakan terbitnya di kota dan berkembang di pedesaan. Artinya KMD adalah
Koran milik orang kota untuk orang desa.

C. Peran Pemerintah Daerah


Indonesia sudah memasuki era otonomi daerah. Beberapa kalangan berharap dengan
munculnya otonomi daerah akan membuka peluang pertumbuhan pesat KMD. Ini artinya,
pemerintah pusat tidak lagi berurusan dengan kebijakan daerah terlalu besar, termasuk
pengembangan KMD-nya.
Pemerintah daetah diharapkan mengalokasikan dananya untuk pengembangan
KMD. Tak lain karena KMD bisa mendorong kemajuan masyarakat desa. Lewat KMD
pesan-pesan pembangunan dan kebijakan pemda bisa disosialisasikan secara cepat. Semakin
maju KMD, akan semakin maju pula masyarakatya.

2.7 Jenis-Jenis Desa dan Ciri-Cirinya


1. Desa swadaya
Desa swadaya adalah suatu wilayah pedesaan yang hampir seluruh masyarakatnya
mampu memenuhi kebutuhannya dengan cara mengadakan sendiri.
· Ciri-ciri desa swadaya :
1) Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya.
2) Penduduknya jarang.
3) Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris.
4) Bersifat tertutup.
5) Masyarakat memegang teguh adat.
6) Teknologi masih rendah.
7) Sarana dan prasarana sangat kurang.
8) Hubungan antarmanusia sangat erat.
9) Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.

2. Desa swakarya
Desa swakarya adalah desa yang sudah bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri,kelebihan produksi sudah mulai dijual kedaerah- daerah lainnya.
· Ciri-ciridesaswakarya
1) Adanya pengaruh dari luar sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir.
2) Masyarakat sudah mulai terlepas dari adat.
3) Produktivitas mulai meningkat.
4) Sarana prasarana mulai meningkat.
5) Adanya pengaruh dari luar yang mengakibatkan perubahan cara berpikir.

3. Desa swasembada
Desa swasembada adalah desa yang lebih maju dan mampu mengembangkan
semua potensi yang ada secara optimal.
· Ciri-ciri Desa Swasembada :
1) Hubungan antarmanusia bersifat rasional.
2) Mata pencaharian homogen.
3) Teknologi dan pendidikan tinggi.
4) Produktifitas tinggi.
5) Terlepas dari adat.
6) Sarana dan prasarana lengkap dan modern.

2.8 Media dan Seni Tradisional


A. Pengertian Media Tradisional
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada
masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena
merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng
merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan
nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam
berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu.
Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam
sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan
pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh
media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah
instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen
ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang
berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan sebagainya,
kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih
sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng
dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk
verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka,
dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud
menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat,
tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian
rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari
generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
B. Ragam Media Tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa
dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita
rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai
bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang
golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami
transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra
apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala
penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu
televisi swasta.
C. Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor
sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:
Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat
jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang
termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang
Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa
yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu
tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik
masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat
imbalan yang layak.
Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat
menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena
mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk
halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada
pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika
masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang
Kusumo.
Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih,
cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar
akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat
dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian
sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak
bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada
kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini
biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam
penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat
Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa
khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik
pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal
sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi
persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga
memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia
tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan
menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih
lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat
dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat
ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik
daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan
budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi,
fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua
arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media
tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami
oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh
media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
D. Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial
yang penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan
Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain
karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop,
radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya
penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat
pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan
sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya
mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton,
setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional
dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa
mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai
ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa
Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan
pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru
nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan
tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para
peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976)
melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi
yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu
tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini
ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada
waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut
untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita
menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi.
Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di
dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan
televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi,
1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi
oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di
kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai
mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan
program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami
kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena
terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal
yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas
dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju.
Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat
berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya
konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah
menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia
ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji
kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika.
Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada
tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan
sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan
utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural
(Ranganath, 1976).
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang
menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi
pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West
Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi
modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika
tidak didukung oleh media tradisional.
E. Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena
memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi
yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks
kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari,
memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik
yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal
yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak
memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang
hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa
pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan
fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk
menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga
menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial
(Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli
memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan
bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak
selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak
media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi
dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya
ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena
pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang
menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan
pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media
tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih
mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-
pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog,
dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu
pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia,
yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya
menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan
Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya
bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-
orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka
menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral.
Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk.
Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan
mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara
memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk
mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan
masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang
dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk
menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan,
integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949)
Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye
perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa,
pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada
dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju
Kemerdekaan.

4. Kesimpulan
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat
sesama warga.Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas
wilayahnya.
2. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan
yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan ( part time ) yang biasanya sebagai
pengisi waktu luang.
3. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat
dan sebagainya.
Sejalan dengan tingkat perkembangan pengetahuan dan pendidikan penduduk yang
sudah mulai maju, komunikasi seperti itu lambat laun akan ditinggalkan.Dengan demikian,
proses komunikasi melalui lisan atau antar persona akan cepat berubah apabila pembaharuan
cepat diterima oleh masyarakat desa. Yakni dengan munculnya media yang yang berpotensi
menyebarkan informasi seperti Koran Masuk Desa (KMD), Media Rakyat (MR) dan Media
Tradisional.
Penyuluhan di pedesaan berbagi inovasi untuk kelangsungan hidup masyarakat desa.
lewat penyuluh pembangunan diharapkan masyarakat desa mengetahui inovasi serta
menerapkannya di kehidupan sehari – hari.Kemudian penyuluhan di pedesaan memiliki peran
diantaranya :
1. Penyuluhan sebagai proses penyebaran informasi.
2. Penyuluhan sebagai proses penerangan.
3. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku.
4. Penyuluhan sebagai proses pendidikan.
5. Penyuluhan sebagai proses rekayasa sosial.
Daftar Pustaka

Buku

Nurudin, H. (2008). Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Amri, Jahi. (1988). Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Jakarta : PT Gramedia, Pustaka Utama

Sumadi, Dilla. (2007) . Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu . Bandu : Simbiosa


Media Rekatama

Jurnal
Kurniawan, M. N. (2007). Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya. Makara,
Sosial Humaniora Vol.11 No.2, 71-78.

Anda mungkin juga menyukai