Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN KELUARGA

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS RESUME KELUARGA PADA


KELUARGA TN.X DENGAN
VULNUS MORSUM (LUKA GIGITAN HEWAN)

OLEH:

RAI ROSITA CANDRA DEWI


2102621036

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI


NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
SEPTEMBER, 2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN
VULNUS MORSUM

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Luka atau vulnus merupakan suatu keadaan hilang atau terputusnya kesatuan
jaringan kulit yang umumnya mengganggu proses selular normal (Al-Muqsith,
2015). Beberapa reaksi yang muncul setelah terjadinya luka yaitu hilangnya seluruh
atau sebagian fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan, pembekuan darah,
kontaminasi bakteri atau mikroorganisme, dan kematian sel (Oktaviani, dkk.,
2019).
Vulnus morsum merupakan luka meanik yang disebabkan oleh gigitan hewan
umumnya akibat gigitan anjing (Chrisnanta & Fitri, 2018). Luka yang ditimbulkan
memiliki sifat vulnus punctum (luka akibat tusukan benda tajam) dan vulnus
laceratum (luka sobek atau sayatan). Vulnus morsum (luka gigitan hewan)
merupakan luka yang memiliki permukaan luka yang mengikuti bentuk gigi hewan
yang menggigit, tercabik-cabik dan dapat berupa memar yang disebabkan oleh
gigitan binatang. Pada bekas gigitan dapat ditemui rasa nyeri, panas, atau odema.
Lukagigita hewan dapat menyebabkan syok anaflaktif dan membawa masuk bakteri
atau parasite ke dalam tubuuh hewan (Gorda, 2016). Adapum luka gigitan yang
paling sering dijumpai yaitu:
 Gigitan ular (vulnus morsum serpentis)
 Gigitan anjing (vulnus morsum canis)
 Gigitan kucing (vulnus morsum felis)
 Gigitan monyet (vulnus morsum macacus)
 Gigitan manusia (vulnus morsum sapiens)
 Kalajengking (vulnus morsum scorpion)
Jenis-jenis luka tersebut memilliki tindakan penanganan yang berbeda. Untuk luka
gigitan hewan berbisa harus dengan tanggap mengobatinya, jika tidak maka racun
bisa dapat menyebar ke seluruh tubuh dan jaringan saraf sehingga dapat
menyebabkan kematian. Sedangkan untuk vulnus morsum yang disebabkan oleh
2
gigitan anjing atau kucing, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah
pebersihan luka dari kotoran lalu pemberian antibiotic dapat mencegah infeksi
sekunder agen bakteri. Apabila luka jejas besardan dalam maka harus dilakukan
penutupan luka dengan tindakan pembedahan yaitu teknik suture atau penjahitan
(Gorda, 2016).
2. Etiologi
Penyebab luka secara umum ada berbagai macam sebab yaitu trauma mekanis
(tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk, tertembak, terbentur, terjepit, tergigit
hewan); trauma elektrik (sengatan listrik, sambaran petir); trauma termis oleh
karena suhu terlalu panas (vulnus lombustum) dan suhu terlalu dingin (vulnus
longolationum). Luka dapat terjadi karena trauma yang berasal dari luar atau
berasal dari dalam oleh karena gesekan fragmen tulang yang patah, rusaknya kulit
dari infeksi atau luka tumor ganas (Gorda, 2016).
Penyebab utama vulnus morsum (luka gigitan hewan) adalah gigitan hewan seperti
ular, anjing, kucing, kalajengking, dan lain-lain. Vulnus morsum termasuk dalam
kategori luka terbuka (vulnus apertum). Pada kasus luka gigitan anjing disebut juga
vulnus morsum canis. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang
mengikuti bentuk gigi hewan yang mengigit dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut. Vulnus morsum harus ditangani dengan
cepatkarena dapat menjadikan sarana penularan virus (rabies), bakteri, dan parasit
apabila tidak segera ditangani (Gorda, 2016).

3. Klasifikasi Luka/Vulnus
Kasifikasi luka atau vulnus dapat dikelompokan berdasarkan penyebabnya, dan
berdasarkan derajat kontaminasi
a) Klasifikasi luka berdasarkan penyebabnya (Oktaviani, dkk., 2019; Gorda,
2016; Al-Muqsith, 2015)
1) Luka memar (vulnus contussum)
Kontusi atau memar jaringan (luka tertutup) dengan kulit bengakak dan
berwarna biru. Luka ini terbagi atas tiga derajat. Derajat pertama
disebabkan oleh robekan kapiler jaringan bawah kulit yang disertai

3
pembentukan ekhiminisis. Kontusi derajat kedua disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah yang lebih besar dengan pembentukan
matom. Kontusi derajat ketiga ditandai dengan kerusakan jaringan
misalnya patah tulang, sampai dengan timbulnya syok dan luka
ganggren.
2) Luka lecet (vulnus excoriasi)
Luka lecet merupakan luka yang hanya mengenai lapisan paling luar
dari kulit dan sangat dangkal.
3) Luka sayat ( vulnus incisi/scissum)
Luka sayat merupakan luka yang diperoleh karena trauma benda tajam.
Pinggiran luka licin atau rapi, dan jaringan yang hilang boleh dikatakan
tidak ada.
4) Luka robek atau parut (vulnus laceratum)
Luka robek merupakan luka yang pinggirannya tidak teratur atau
compang camping sebagian dari jaringan umumnya hilang. Luka robek
biasanya disebabkan oleh trauma tumpul.
5) Luka tusuk (vulnus punctum)
Luka tusuk merupakan luka yang disebabkan oleh tusukan benda
berujung runcing seperti paku atau pedang. Tetapi luka mungkin
terdorong ke dalam luka kecil, dan dapat sangat dalam. Apabila luka
tusuk ini menembus suatu organ, maka luka masuk selalu lebih besar
dari pada luka keluarnya. Terkadang, luka ini baru diketahui setelah
timbul abses di telapak kaki. Pada luka tusuk perlu diwaspadai adanya
bakteri clostridium tetani pada benda tajam atau logam yang berkarat
menyebabkan luka.
6) Luka tembak (vulnus sclopectum)
Luka tembak merupakan luka yang disebabkan oleh tembakan peluru.
Apabila peluru menembus suatu organ maka luka keluarnya akan lebih
lebar dan lebih compangcamping. Apabila tembaan dilakukan dari
jarak dekat, maka apabila luka masuk dapat ditemui jelaga. Keluar atau

4
tidaknya peluru atau sampai dimana kerusakan yang ditimbulkan
tergantung dari jenis senjata, jarak peluru, dan arah tembakan.
7) Luka gigitan hewan (vulnus morsum)
Vulnus morsum merupakan luka yang disebabkan oleh gigitan hewan.
Luka gigitan hewan memiliki permukaan luka yang mengikuti bentuk
gigi hewan yang menggigit. Terkadang bekas gigitan tidak jelas karena
sudah terkoyak. Kedalaman luka menyesuaikan dengan gigitan hewan
tersebut.
8) Luka bakar (combustio)
Luka bakar merupakan luka yang timbul karena suhu tinggi.
Penanganan pada jenis luka ini berdasarkan empat stadium luka dan
presentasi permukaan tubuh yang terbakar.
9) Luka granulasi
Luka granulasi merupakan luka yang di atasnya tumbuh jaringan
granulasi. Luka granulasi dapat dimulai oleh ulkus atau luka terinfeksi.
10) Luka ulkus
Luka ulkus merupakan luka yang dalam, terjadi karena infeksi, tumor
ganas, atau kelainan pembuluh darah.
b) Klasifikasi luka berdasarkan derajat kontaminasi (Oktaviani, dkk., 2019; Al-
Muqsith, 2015)
1) Luka bersih (clean wounds)
Luka bersih merupakan luka bedah (luka sayat elektif dan steril) yang
tidak terinfeksi. Luka tidak mengalami proses peradangan (inflamasi)
dan juga tidak terjadi kontak dengan system pernafasan, pencernaan,
genital, dan urinaria yang memungkinkan infeksi.
2) Luka bersih terkontaminasi (clean-contamined wounds)
Jenis luka ini adalah luka pembedahan (luka sayat elektif) dimana
terjadi kontak dengan saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol. Potensi kontaminasi bisa terjadi,
walaupu tida selalu oleh flora normal yang menyebabkan proses
penyembuhan lebih lama.

5
3) Luka terkontaminasi (contamined wounds)
Luka terkontaminasi adalah luka terbuka, fresh, luka robek atau parut
akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik
aseptic atau kontaminasi dari saluran cerna.
4) Luka kotor atau infeksi (dirty or infectious wounds)
Luka kotor atau infeksi adalah terdapatnya mikroorganisme pada luka
akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi. Kemungkinan
terjadinya infeksi pada jenis luka ini akan semakin besar dengan adanya
mikroorganisme tersebut.

4. Tanda dan Gejala Vulnus Morsum Canis


Vulnus morsum canis (luka gigitan anjing) terdiri dari beberapa stadium dengan
tanda dan gejalanya masing-masing (Oktaviani, dkk., 2019)
a) Stadium prodromal
Pada stadium ini gejala tidak spesifik, nyeri kepala, demam yang
kemudian diikuti dengan anoreksia, mual muntah, malaise, kulit
hipersensitif, serak, dan adanya pembesaran kelenjar limfe regional.
b) Masa perangsangan akut (agitasi)
Pada stadium ini ditandai dengan adanya ecemasan, berkeringat, gelisah
oleh suara atau cahaya terang, salvias, insomnia, nervouseness, spasme
otot kerongkongan, tercekik, sulit menelan cairan atau ludah,
hidrofobia,kejang-kejang, dan kaku.
c) Masa kelumpuhan
Masa kelumpuhan terjadi akibat kerusakan sel saraf, penderita menjadi
kebingungan, sering kejang-kejang, inkontinensia urin, stupor koma,
kelumpuhan otot-otot, hingga kematian.

5. Patofosiologi
Penyebab utama vulnus morsum (luka gigitan hewan) adalah gigitan hewan seperti
ular, anjing, kucing, kalajengking, dan lain-lain. Vulnus morsum termasuk dalam
kategori luka terbuka (vulnus apertum). Pada kasus luka gigitan anjing disebut juga

6
vulnus morsum canis. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang
mengikuti bentuk gigi hewan yang mengigit dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut (Gorda, 2016). Gigitan anjing menyebabkan
terjadinya traumatic jaringan dan terputusnya kontinuitas jaringan. Hal ini dapat
meyebabkan kerusaan saraf perifer dan menstimulasi pengeluaran neurotransmitter
seperti prostaglandin histamine bradykinin, dan serotonin yang dapat menimbulkan
rangsangan nyeri. Vulnus morsum juga menimbulkan kerusakan kulit dan rusaknya
barrier tubuh sehingga apabla terpapar dengan lingkungan dapat menyebabkan
risiko infeksi. Pada kerusakan saraf perifer juga dapat menimbulkan perdarahan
berlebih yang menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Sehingga terjadilah ketidakseimbangan volume cairan dan munculnya risiko syok
hipovolemik.
Vulnus morsum harus ditangani dengan cepat karena dapat menjadikan sarana
penularan virus (rabies), bakteri, dan parasit apabila tidak segera ditangani (Gorda,
2016). Setelah luka ditangani dengan baik, maka proses penyembuhan luka akan
mulai berlangsung. Adapun fase penyembuhan luka menurut (Al-Muqsith 2015)
terdiri dari tiga tahapan yaitu:
1) Fase imflamasi
Fase ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari. Fase
imflamasi berfungsi mengontrol perdrahan mencegah invasi bakteri,
menghilangkan debris dari jaringan luka dan mempersiapkan proses
penyembuhan lanjutan.
2) Fase proliferasi
Fase proliferasi berlangsung hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast
(sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase ini.
3) Fase maturasi
Fase ini berlangsung mulai hari ke-21 dan dapat berlangsung samai berbulan
bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Pada fase ini terdapat
remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen
pemecahan kolagen yang berlebihan, dan regresi vasklaritas luka.
Fase Penyembuhan Luka

7
Fase Proses Tanda dan Gejala
I Inflamasi Reaksi radang Dolor, rubor, kalor,
tumor, gangguan fungsi
II Proliferasi Regenerasi/ Jaringan granuasi/kalus
fibroplasia tulang
III Maturasi Pematangan dan Epitel/ endotel/ mesotel/
perupaan kembali jaringan parut/ fibrosis

6. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostic pada manusia yang utama adalah tes antibody netralisasi
rabies yang positif. Selama periode awal infeksi rabies temuan laboraorium tidak
spesifik. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes yaitu
deteksi antibody spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau
RNA. Specimen yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan
biopsy kulit (Tanzil 2014).
Melalui pemeriksaan fisik rabies perlu dipertimbangkan jika terdapat indikator
positif seperti adanya gejala prodromal non spesifik sebelum onset gejala
neurologic terdapat tanda dan gejala neurologic ensefalitis atau myelitis seperti
disfagia hodrophobia paresis dan gejala neurologi progresif disertai hasil tes
laboratorium negative terhadap etiologi ensefalitis yang lain (Tanzil 2014).

7. Penatalaksanaan
Tindakan pertama yang harus dilakukan akibat vulnus morsum yang disebabkan
oleh gigitan kucing atau anjing adalah pembersihan luka dari debris/kotoran lalu
pemberian antibiotic yang dapat mencegah infeksi sekunder agen bakteri (Amriani,
2021). Apabila bekas luka besar dan dalam maka harus dilakukan penutupan luka
dengan tindakan pembedahan yaitu tekni suture atau penjahitan (Gorda, 2016).
Apabila luka dangkal maka tidak memerlukan penjahitan, namun pada luka yang
terbuka usahakan agar kedua belahan luka menyatu, sehingga memudahkan proses
penyembuhan.

8
Luka yang masih basah atau tampak cairan kuning, terdapat kemungkinan bahwa
luka tersebut terinfeksi sehingga untuk kondisi ini tidak cukup hanya diberikan
antiseptic, tetapi perlu juga diberikan antibiotic. Hal ini akan menambh lama
penyembuhan dan menyisakan bekas luka atau jaringan parut (scar) pada kulit
(Karakata & Bachsinar, 2012). Penanganan luka harus dilakukan dengan teknik
aseptis agar tidak terjadi kontainasi bakteri dari luar dan agar bekar jahitan tetap
kering sehingga proses penyembuhan luka tidak memakan waktu yang lama
(Amriani, 2021).
Tanzil (2014) menyatakan bahwa terdapat tiga unsur yang penting dalam PEP (post
exposure praphylaxis) yaitu (1) perawatan luka, (2) serum anti rabies (SAR), (3)
vaksin anti rabies (VAR). Penatalaksanaan pada luka gigitan anjing menurut Al-
Muqsith (2015) adalah sebagai berikut.
a) Luka segera dibersihkan dengan air mengalir dan sabun selama 10-15
menit atau gunakan normal saline
b) Irigasi luka dengan balutan antiseptik bila perlu lakukan debridement
c) Jangan melakukan anastesi local tetapi menggunakan anastesi blok atau
umum
d) Balut luka secara longgar dan observasi luka 2 kali sehari
e) Berikan ATS (Anti tetanus serum)/HTIG (Human Tetanus
Immunoglobulin) dana tau Vaksin Anti Rabies (VAR)
f) Bila luka gigitan berat maka berikan injeksi infiltrasi serum anti rabies
disekitar luka.

9
8. WOC

Gigitan anjing kucing, dll

Traumatik jaringan

Terputusnya kontinuitas jaringan

Kerusakan kulit Kerusakan saraf perifer Perdarahan berlebih

Rusaknya barrier
tubuh
Menstimulasi pengeluaran Perpindahan
neurotransmiter cairan
Terpapar dengan (prostaglandin,histamine, intravaskuler ke
lingkungan bradykinin, serotonin) ekstravaskuler
Ketidakseimbangan
cairan tubuh
Terpapar dengan
cairan tubuh Serabut eferen
hewan
Defisit volume
cairan
Medulla spinalis
Risiko Infeksi
Risiko Syok
Korteks serebri Hipovolemik

Defisit
Pengetahuan
Serabut aferen

Nyeri Akut
10
B. KONSEP KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Friedman menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang di
hubungkan oleh perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan
menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari individu-individu
yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan
untuk mencapai tujuan bersama (Friedman dan Bowden, 2010). Keluarga
adalah sekumpulan orang yang memiliki ikatan perkawinan, kelahiran dan
adopsi yang memiliki tujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya
dan meningkatkan perkembangan fisik, emosional, mental dan sosial dari
setiap anggota keluarga (Duvall dalam Lestari, 2016). Keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1998). Menurut
Fitzpatrick, definisi keluarga setidaknya dapat ditinjau dari tiga sudut
pandang, meliputi definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi
intersaksional (Lestari, 2016).
a. Definisi Struktural
Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran anggota keluarga, seperti
orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Difinisi ini memfokuskan pada siapa
yang menjadi bagian dalam keluarrga. Keluarga sebagai asal usul (families of
origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of pro-
creation), dan keluarga batih (extended family).
b. Definisi Fungsional
Keluarga didefinisikan pada penekanan terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi
psikososial. Fungsi tersebut meliputi perawatan, sosialisasi pada anak,
dukungan emosional dan materi, serta pemenuhan peran-peran tertentu.
Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas keluarga.
c. Definisi Intersaksional
Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman

11
melalui prilaku-prilaku yang memunculan rasa identitas sebagai keluarga
(family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, dan cita cita masa
depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan
fungsinya (Lestari, 2016).

2. Tipe Keluarga
Tipe keluarga merupakan bentuk keluarga yang terdiri dari dua ataupun
lebih individu yang menyusun sebuah keluarga dan saling berinteraksi,
memiliki peran, serta menciptakan dan mempertahankan budaya. Jenis dari
tipe/bentuk keluarga menurut beberapa ahli, terdiri dari:
A. Tipe keluarga menurut Friedman (2010), yaitu:
1) Nuclear family adalah keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah,
terdiri dari orang tua dan anak-anaknya yang masih dalam tanggungan
orang tuanya.
2) Extended family adalah keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah,
terdiri dari satu atau lebih keluarga inti.
3) Single parent family adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu kepala
keluarga (ayah/ibu) dan juga anak-anaknya yang masih bergantung
kepada orang tuanya.
4) Nuclear dyed adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan hanya
terdiri dari ayah dan ibu tanpa anak.
5) Blended family adalah keluarga yang terbentuk dari perkawinan
pasangan sebelumnya yang telah menikah dan masing-masing telah
memiliki anak sehingga membawa anak yang merupakan hasil
perkawinannya terdahulu.
6) Three generation family adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah
terdiri dari nenek, kakek, ayah, ibu, dan anak.
7) Single adult living alone adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu
orang dewasa.
8) Middle age (elderly couple) adalah sebuah keluarga yang hanya terdiri
dari pasangan suami istri paruh baya.

12
B. Tipe keluarga menurut Hernilawati (2013) dapat dibagi berdasarkan konteks
keilmuan dan orang yang mengelompokkan yaitu:
1) Secara Tradisional
Secara tradisional tipe keluarga dibagi lagi menjadi 2, yaitu:
a. Keluarga Inti (Nuclear Family) merupakan keluarga yang hanya
terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau
adopsi atau keduanya.
b. Keluarga besar (Ekstended Family) merupakan keluarga inti
ditambah anggota keluarga lain yang masih memiliki hubungan
darah seperti kakek-nenek, paman-bibi.
2) Secara modern
Seiring dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa
individualis, selain tipe di atas berkembang juga tipe keluarga lainya,
yaitu:
a. Tradisional nuclear merupakan keluarga inti yang tinggal dalam
satu rumah ditetapkan oleh sanksi legal dalam perkawinan, anggota
keluarga dapat bekerja di luar rumah.
b. Reconstitueted nuclear merupakan pembentukan keluarga baru dari
keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri yang tinggal
dalam satu rumah dengan anak anaknya, baik itu anak dari
perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru.
c. Midle age/ aging couple yaitu suami sebagai tulang punggung
keluarga dan istri bekerja di rumah, sementara anak-anak dapat
meninggalkan rumah untuk sekolah/bekerja/perkawinan.
d. Dyadic nuclear yaitu suami istri yang sudah lansia dan tidak
mempunyai anak.
e. Single parent yaitu satu orang tua yang bercerai atau pasangannya
meninggal dan mengasuh anak anaknya.
f. Dual carrier yaitu suami istri atau keduanya bekerja dan tidak
memiliki anak

13
g. Commuter Married yaitu suami istri atau keduanya bekerja dan
tinggal terpisah oleh jarak
h. Single adult yaitu wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri yang
tidak menikah.
i. Three generation yaitu tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam
satu rumah.
j. Communal yaitu dalam satu rumah terdiri dari dua atau lebih
keluarga kecil.
k. Unmarried parent and child yaitu ibu dan anak yang perkawinan
tidak dikehendaki atau anak adopsi.
l. Cohibing couple yaitu dua orang atau satu pasangan yang tinggal
Bersama tanpa perkawinan.
m. Gay and lesbian family yaitu keluarga yang terbentuk oleh pasangan
berjenis kelamin sama.

3. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman dalam Kemenkes RI (2017), keluarga terdiri atas lima
fungsi yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi Afektif
Fungsi Afektif merupakan fungsi keluarga yang utama dalam
mengajarkan segala sesuatu untuk memersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan kasih saying, perkembangan individu, dan psikososial anggota
keluarga.
b. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi merupakan proses perkembangan dan perubahan yang
dilalui individu dalam keluarga yang menghasilkan interaksi sosial dan
mengajarkan bagaimana berperan dalam lingkungan sosialnya. Dalam
fungsi ini keluarga mengajarkan keturunannya atau anaknya cara
berinteraksi atau mengambil peran dalam lingkungan sosial, dan
membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat

14
perkembangan anak. Anak diperkenalkan dengan anggota keluarga yang
lain atau masyarakat di sekitarnya dapat membantu membina sosialisasi
pada anak.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga memiliki fungsi dalam mempertahankan generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga seperti dengan menghasilkan
keturunan.
d. Fungsi Ekonomi
Bagaimana keluarga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi baik
pangan, sandang, papan, untuk mengembangkan kemampuan
individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
e. Fungsi Perawatan Kesehatan
Bagaimana keluarga mampu menyediakan perawatan kesehatan
kepada anggota keluarga, seperti dengan melindungi keamanan
dan kesehatan, serta menjamin pemenuhan perkembangan fisik,
mental dan spiritual anggota keluarga.

4. Tahap dan Tugas Perkembangan Keluarga


Menurut Duvall dalam Damayanti (2020) tahap perkembangan keluarga
dibagi menjadi 8 tahapan. Adapun hal-hal yang dapat menentukan tahap
perkembangan keluarga tersebut meliputi:
a. Tahap I (keluarga pemula/ pasangan baru)
Tahap ini dimulai dari pernikahan, yang dilanjutkan dalam
membentuk rumah tangga. Adapun tugas keluarga pada tahap ini
meliputi:
1) Membina hubungan intim yang memuaskan
2) Menetapkan tujuan hidup bersama
3) Belajar membina hubungan dengan keluarga lain teman
kelompok sosial
4) Mendiskusikan rencana memiliki anak (keluarga berencana)

15
5) Mempersiapkan diri menjadi orang tua
6) Memahami konsep parental care (persiapan sebelum
memutuskan untuk memiliki keturunan/hamil).
b. Tahap II (Keluarga Child- bearing)
Pada tahap II dimulai dari kelahiran anak pertama (dari kehamilan
sampai anak berusia 30 bulan). Saat ini juga merupakan masa transisi
menjadi orang tua.
1) Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit.
2) Mulai membagi peran dan tanggung jawab.
3) Beradaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi,
hubungan seksual, dan kegiatan.
4) Mempertahankan hubungan memuaskan dengan pasangan.
5) Konseling KB 6 minggu setelah melahirkan
6) Menata ruang untuk anak
7) Menyiapkan dana child bearing
8) Mengadakan kebiasaan agama secara rutin.
c. Tahap III (Keluarga dengan anak usia pra sekolah)
Pada tahap ini anak berusia 2-6 tahun. Pada tahap ini anak sudah mulai
mengenal kehidupan sosialnya, bergaul dengan teman sebaya, tetapi
sangat rawan mengalami masalah kesehatan. Pada fase ini anak sangat
sensitif terhadap pengaruh lingkungan dan tugas keluarga adalah
mulai menanamkan norma-norma kehidupan, norma-norma agama,
norma- norma sosial budaya, dan lain-lain (Lestari, 2016).
1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga (misalnya kebutuhan
tempat tinggal, privasi, dan rasa aman).
2) Membantu anak bersosialisasi
3) Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, namun kebutuhan
anak yang lain juga harus terpenuhi.
4) Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam maupun
luar keluarga
5) Pembagian waktu untuk individu, pasangan, anak

16
6) Pembagian tanggung jawab antar anggota keluarga
7) Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang anak.
d. Tahap IV (Keluarga dengan anak usia sekolah – Anak tertua berumur
6-13 tahun)
1) Membantu sosialisasi anak di lingkungan sekitarnya.
2) Membiasakan belajar teratur dan memperhatikan anak saat
menyelesaikan tugas sekolah.
3) Mendorong anak mencapai pengembangan intelektual.
4) Mempertahankan keintiman pasangan
5) Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat.
e. Tahap V (Keluarga dengan anak remaja)
Usia anak tertua 13-20 tahun. Tahap ini merupakan tahap tersulit yaitu
otoritas vs otonomi.
1) Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab
2) Mempertahankan hubungan intim dengan keluarga
3) Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dengan orang tua
4) Memberi perhatian dan kebebasan dengan batasan tanggung jawab
5) Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang
keluarga (memperlakukan anak sebagai rekan).
f. Tahap VI (Kelurga dengan anak usia dewasa muda)
Tahap ini berakhir hingga anak terakhir meninggalkan
rumah/berkeluarga.
1) Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
2) Membantu orang tua, suami/istri yang sedang sakit karena memasuki
usia tua
3) Membatu anak untuk mandiri di masyarakat
4) Mempertahankan komunikasi antar anggota keluarga
5) Menciptakan lingkungan rumah yang dapat menjadi contoh
untuk anak anaknya.
6) Penataan kembali peran dan kegiatan ruah tangga.
g. Tahap VII (Orang tua usia pertengahan)

17
Tahap ini berakhir saat pensiun atau salah satu pasangan meninggal
(tanpa jabatan, pensiun).
1) Mempertahankan kesehatan
2) Mempertahankan hubungan dengan teman sebaya dan anak-anak’
3) Memperhatikan kesehatan pasangan
4) Menjaga komunikasi dengan anak-anak
5) Merencanakan kegiatan yang akan datang.
h. Tahap VIII (Keluarga dalam masa pesiun dan lansia)
Dimulai saat salah satu pasangan pensiun hingga salah satu pasangan
meninggal sampai keduanya meninggal.
1) Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan
2) Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, kekuatan fisik, dan
pendapatan.
3) Mempertahankan keakraban suami istri dan saling merawat
4) Merencanakan kegiatan untuk mengisi waktu tua
5) Melakukan life review.

5. Struktur Keluarga
Struktur keluarga Menurut Friedman dalam Hernilawati (2013) terdiri atas:
a. Pola Komunikasi Keluarga
Pola komunikasi keluarga menggambarkan bagaimana cara dan pola
komunikasi antar keluarga yaitu ayah-ibu sebagai orang tua, anak
dengan orang tua, anak dengan anak. Bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi, frekuensi dan kualitas komunikasi yang berlangsung
dalam keseharian keluarga.
b. Struktur Kekuatan Keluarga
Struktur kekuatan keluarga menggambarkan kemampuan anggota
keluarga untuk memengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk
melakukan perubahan perilaku keluarga dalam mendukung kesehatan.
Hal yang perlu dikai yaitu siapa yang membuat eputusan dalam
keluarga, bagaimana cara pengambilan keputusan, apakah keluarga

18
merasa puas dengan keputusan yang telah diambil.
c. Struktur Peran
Struktur peran menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga
di dalam keluarga itu sendiri dan di lingkungan masyarakat baik secara
formal maupun informal. Konflik dalam pengaturan peran keluarga
dapat dikaji.
d. Nilai dan Norma
Nilai dan norma keluarga menggambarkan nilai dan norma yang
diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan
kesehatan. Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang
secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu
budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi
perkembangan norma dan peraturan. Norma adalah pola perilaku yang
baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga.

6. Stress dan Koping Keluarga


Stres merupakan perasaan yang menekan yang dialami oleh individu atau keluarga
dalam menghadapi suatu masalah tertentu (Pujiani & Masruroh, 2017). Adapun
fase waktu stres dan strategi koping, meliputi:
1) Periode Antrestres
Periode ini sebelum seseorang mengalami stresor, antisipasi terkadang
mungkin terjadi, terdapat kesadaran terhadap bahaya yang mengancam
atau ancaman situasi yang dirasakan.
2) Periode Stres Aktual
Periode ini terdapat strategi defensif dan bertahan yang sangat dasar yang
digunakan selama periode stres aktual.
3) Periode Pasca Stres
Periode ini terdiri dari strategi untuk mengembalikan keluarga ke
keadaan homeostasis yang seimbang.
Terdapat tujuh peristiwa hidup yang menimbulkan stres terhadap keluarga dalam
skala total antara lain:

19
a. Kematian seorang anak
b. Kematian salah satu orang tua atau pasangan
c. Pasanga atau orang tua bercerai
d. Adanya penganiayaan fisik atau seksual atau kekerasan lainnya dalam
keluarga
e. Anggota keluarga memiliki cacat fisik atau penyakit kronis
f. Perselngkuhan
Anggota keluarga di penjara atau penahanan sementara pada anak-anak. Koping
merupakan cara yang dapat dilakukan oleh individu atau keluarga dalam
menyelesaikan masalah , menyesuaikan diri dengan masalah, dan menyesuaikan
diri terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri individu (Agustina dalam
Hidayah dkk., 2020). Koping keluarga merupakan suatu proses aktif saat keluarga
memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta
sumber baru yang memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa
hidup penuh stres dan tekanan.
Strategi koping keluarga adalah spesifik terhadap situasi. Perbedaan situasi dan
masalah membutuhkan pemecahan masalah yang berbeda. Jenis-jenis strategi
koping keluarga terbagi menjadi 2 yaitu internal dan eksternal.
1. Strategi koping internal
a. Strategi hubungan : menggunakan kelompok keluarga, saling
berbagi, memperkuat kohesi keluarga, dan fleksibelitas peran.
b. Strategi kognitif: menormalisasi, mengendalikan makna masalah
dengan membingkai kembali dan penilaian pasif, pemecahan
masalah bersama, dan mendapatkan informasi dan pengetahuan.
c. Strategi komunikasi: menitikberatkan pada komunikasi,
kejujuran dan terbuka, serta menggunakan humor dan tawa.
2. Strategi koping eksternal
a. Memelihara jaringan komunitas yang efektif
b. Menggunakan sistem dukungan sosial
c. Mencari dukungan spiritual (Rusyani, 2013).

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muqsith, M. Si. (2015). Luka (Vulnus). Fakultas Kedokteran Universitas


Malikussaleh. Diakses pada 24 September 2021 di http://arsip.unimal.ac.id
Amriani R. (2021). Infeksi Bakteri Staphilococcus Aureus pada Vulnus Morsum
Kucing Domestik di Klinik Hewan Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Skripspi. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Chrisnanta, K., W., Fitri, ., D. (2018). Thracheotomy pada Anjing American Pit
Bull Terrier yang Mengalami Vulnus Morsum. ARSHI Veeterinary Latters,
2(4): 69-70.
Damayanti, M, R. (2020). Konsep Keperawatan Keluarga. Lecture note at
PSSIKPN Udayana on March 30th 2020
Departemen Kesehatan RI. (1998). Standar Pelayanan dan Asuhan Keperawatan
di Rumah Sakit. Jakarta: Depatemen Kesehatan RI
Friedman, M. 2010. Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC.
Friedman, M. M., & Bowden, V. R. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga. EGC.
Gorda, I., W. (2016). Studi Kasus: Vulnus Morsum pada Kucing Lokal. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Hernilawati. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi
Selatan: Pustaka As Salam.
Kementrian Kesehatan RI. (2017). Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga-PISPK. Diakses pada tanggal 24 September 2021 melalui:
http://pispk.kemkes.go.id/id/2017/06/17/konsep-keluarga/
Lestari, S. (2016). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanaman Konflik
dalam Keluarga. Prenada Media.
Oktaviani, D., J. Widiastuti, S., Maharani, D., A., Amalia, A., N., Ishak, A., M.,
Zuhrotun, A. (2019). Review: Bahan Alami Penyembuh Luka. Majalah
Farmasetika, (3): 45-56
Pujiani & Masruroh. (2017). Program Psikoedukasi Terhadap Peningkatan
Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Krionik, 1(1), 47-54

21
Rusyani, Y, S. Kep, Ns. (2013). Stres, Koping, dan Adaptasi Keluarga. Diakses
pada www.scribd.com pada 24 September 2021
Tanzil, K. (2014). Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E- Journal Widya
Kesehatan dan Lingkungan, 1 (1): 61-67

22

Anda mungkin juga menyukai