Al Qawaid Al Khamsah
Al Qawaid Al Khamsah
اس ِد
ِ ج ْلب املصالِ ِح ودرء امل َف
ُ َْ َ َ َ ُ َ
َ
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi
Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah adalah maslahat, baik
dengan cara menolak mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap
kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaat
serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya
dalam keburukan dan kemudaratannya. [27]
Imam al-Ghazali dalam al-mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al-
Muwafaqat dan ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf
menjelaskan lebih konkret tentang ukuran dari kemaslahatan ini, yang apabila
disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran,
dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
4. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan
kepada sebagian kecil masyarakat. [29-30]
Dari segi syariah, kemaslahatan dibedakan menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, ada yang sunnah melaksanakannya, dan ada yang mubah
melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram
melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. [28]
Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, maka wasilah atau cara dalam
menuju kemaslahatan/ kemafsadatan itu pun disesuaikan dengan tujuannya. Dari
hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:
اص ِد
ِ لِْلوسائِ ِل أَح َكام امل َق
َ ُ ْ ََ
“Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum
tujuan”.[31]
اص ِد َها
ِ األُمور مِبَِق
ُ ُْ
“Segala perkara tergantung niatnya”
Dikalangan ulama-ulama Syafi’iyyah, niat diartikan dengan bermaksud
melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hanbali
menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan
dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad
di dalam hatinya itupun sudah cukup; dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
[34]
Adapun fungsi niat adalah sebagai berikut:
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
Untuk menetukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah. [35-36]
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah
adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja. Kekecualian
kaidah tersebut diantaranya:
Sesuatu yang jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan
yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah,
adzan, iqamah, membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam
rangka nadzar, dan sebagainya.
Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan buruk, karena dengan
tidak melakukan perbuatan tersebut sudah tercapai maksudnya.
Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan. [36]
Dasar kaidah “al-umur bimaqashidiha” diantaranya adalah firman Allah
SWT dan Hadits Nabi berikut ini:
َُص ُل َب َقاءُ َما َكا َن َعلَى َما َكا َن َمامَلْ يَ ُك ْن َمايُغَِّي ُره
ْ األ
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”
الع َد ُم ِ ات العا ِر
ِ الص َف
ِ اَألَصل يِف
َ ضة َ َ ْ ُْ
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada” [49]
ضافَةُ احلَ ِاد ِث إِىَل أَْقَر ِب أَوقَاتِِه
َ َِص ُل إ
ْ اَأل
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya” [50]
احةُ َحىَّت يَ ُد َّل الدَّلِْي ُل َعلَى التَ ْح ِر ِمي ِ
َ ََص ُل يِف ْ األَ ْشيَاء ا ِإلب
ْ اَأل
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukan keharamannya” [51]
َُص ُل يِف ْ ال َكالَِ'م احلَِقْي َقة
ْ اَأل
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
ِ ِ
ُالَعْبَرةَ بِالظَ ِّن الَّذ ْي يَظْ َه ُر َخطَاءُه
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya” [53]
الَ ِعْبَر َة للِت ََّو ُّه ِم
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
بت بَِز َم ٍن حُيْ َك ُم َبَب َق ِاء ِه َمامَلْ َي ُق ْو الدَّلِْي ُل َعلَى ِخالَفِ ِه
َ ََماثَت
“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan
berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya” [54]
3. Kaidah Asasi Ketiga
َ احلَ َجةُ َتْن ِز َل َمْن ِزلَةَ الض َُّر ْو َر ِة َع َامةٌ َكا َن أ َْو َخ
ًاصة
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum amupun
khusus” [76]
ِ ُك ُّل رخص ٍة أُبِيحت للِضَّرور ِة واحلاج ِة مَل تُستبح َقبل وجثو
ود َها ْ ُ َ ْ ْ ََ ْ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah tidak
boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah” [77]
ٍ َُك ُّل ت
ُصالَ ًحا َمْن ِه ْي َعْنه
َ صُّرف َجَّر قَ َس ًادا اَْو َدفْ َع
َ
“Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak
kemaslahatan adalah dilarang” [78]
الع َم ُل هِبَا
َ ب
ِ ُ إِ ْستِ ْع َم
ِ ال الن
ُ َّاس ُح َّجةٌ جَي
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil)
yang wajib diamalkan” [84]
ت
ْ َدضت أ َْو َغلَب ْ الع َادةُ إِ َذا
ْ اضطََر َ إِمَّنَا ُت ْعتََب ُر
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang
terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
ِ ب الشَّائِ ِع الَلِلن
َّاد ِر ِ ِالعِْبرةُ للِغَال
َ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia
bukan dengan yang jarang terjadi” [85]
ِ ف عرفًا َكامل ْشر
وط َشرطًا ُ َ ُ ُ اَملَْع ُر ْو
“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”
ِ ُّجا ِر َكامل ْشر
وط بَ َين ُه ْم َّ ف َبنْي َ الت
ُ امل ْع ُر ْو
ُ َ َ
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka” [86]
ِ التَّعِ بِالعر
ف َكالتَّعِنْي ِ بِالنَّص ُُ ُ نْي
“Ketentuan berdasarkan ‘Urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
ًامل ْمَتنَ ُع َع َادةً َكالمل ْمَتنَ ِع َح ِقْي َقة
ُ ُ
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”
الع َاد ِة ِ ِ
َ احلَقْي َقةُ ُتْتَر ُك بِ َدالَلَة
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut
adat” [87]
ا ِإل ْذ ُن العُ ْرىِف َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِظى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin
menurut ucapan” [88]
اس ِد
ِ ج ْلب املصالِ ِح ودرء امل َف
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
َ ُ َْ َ َ َ ُ َ
Dalam kasus rentenir di atas, perbuatannya adalah haram karena
membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak.
Dari contoh di atas jelas terlihat kesinambungan satu kaidah dengan
kaidah lainnya. hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh
di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan
masalah yang ada di masyarakat. [190-192]