Anda di halaman 1dari 15

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 oktober 2021 di Laboratorium


Terpadu Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Gorontalo.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Praktikum ini akan menggunakan alat sebagai berikut: Gilingan


hammer mill, gilingan disc mill, baskom, loyang, ayakan 80 mesh,
gelas ukur 2 liter, gelas ukur 250 ml, pengaduk kaca, timbangan
analitik, centrifuge, centrifuge tube, oven pengering, gelas porselin,
desikator.

3.2.2 Bahan

Air, Jagung varietas lokal gorontalo, jagung hibrida, jagung


varietas pulut, kapur sirih, NaOH, alumunium foil.

3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah


Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan jenis jagung yang berbeda
dan dilakukan dengan penggilingan Wet milling

Tabel 1. Rancangan Percobaan Wet Milling

No Kode Sampel Jenis Jagung

1 W1 Jagung Lokal
2 W2 Jagung Hibrida
3 W3 Jagung Pulut

3.4 Metode Percobaan


3.4.1 Diagram Alir Proses Wet Milling
Jagung pipil kering

Pengilingan I (Hammer mill)

Grits

AirKotor,Tip
Air Pencucian
cap,
Lembaga
Kulitari

Air dan Perendaman selama 1 jam


Kapur asirih

Kapur
Pencucian
sirih

NaOH  Perendamanselama 6 menit


0,1% (8gr)

Pencucian NaOH 0,1%

Pengeringan

Pengilingan II (Disc mill)

Pengayakan 80 Mesh
Analisa :
1. Total Rendemen
2. DensitasKamba
Tepungjagung 3. DensitasNyata
4. Kelarutandalam air
dingindanpanas

3.4.2 Diagram Alir Pembuatan Pati


Tepung Jagung

Larutan
Pencampuran,
NaOH
1;3
0,1%

Pengadukan

Perendaman dalam Suhu 12 jam


Dingin

Air Pencucian 1 Larutan NaOH

Pengendapan 1 jam

Air Pencucian 2 Larutan NaOH

Pengendapan 1 jam

Air Pencucian 3 Larutan NaOH

Pengendapan 1 jam

Pengeringan dengan Oven


18 jam
T= 65°C

Dianalisis;
Pati Jagung
Randemen
Kadar Air
Daya Serap Air
Kelarutan
Swelling Power
Suhu Gelatinisasi
Sineresi
3.1 Parameter Pengamatan
3.5.1 Penghitungan Total Randemen (Pangestika et al., 2021)
Perhitungan randemen tepung jagung pada praktikum ini menggunakan
metode perhitungan randemen dengan menggunakan persamaan dibawah ini:

3.5.2 Kadar Air(Amaliya et al., 2014)


Pengujian kadar air dilakukan dengan cara menimbang 3 gram pati jagung
pada cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Selanjutnya cawan
tersebut dimasukan ke dalam oven selam 3 jam pada suhu 100°C – 105°C.
Sampel kemudian dikeluarkan dari oven dan dimasukan kedalam desikator
dan segera ditimbang setelah sampai suhu kamar. Selanjutnya dimasukan
kembali kedalam oven sampai tercapai berat yang konstan (Selisih antara
penimbangan berturut-turut 0,002 gr). Kehilangan berat tersebut hitung
sebagai sebagai presente kadar air dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

x 100%

Keterangan:
W0= Berat awal sampel (gr)
W1= Berat akhir sampel (gr)
3.5.3 Densitas Kamba
Densitas kamba dalam praktikum ini dihitung dengan langkah-langkah
sebagai berikut;
1. Siapkan wadah yang diketahui volumenya (gelas ukur 10ml/100ml).
2. Timbang berat wadah dan catat.
3. Masukan tepung yang sudah diukur kedalam wadah sampai permukaan
bagian atas sama dengan wadah.
4. Timbang wadah beserta produk, lalu catat beratnya.
5. Setelah itu, nilai densitas kamba dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagau berikut:
3.5.4 Daya Serap Air (Hendrasty et al., 2019)
Dalam pengujian daya serap air diambil 0,1 gr tepung pati jagungdimasukan
kedalam air mendidih 10 ml, lalu ditutup dan dipanaskan sampai tergelatinisasi
sempurna (3 menit). kemudian, larutan akan disentrifugasi untuk memisahkan air
dengan pati dan setelah itu ditimbang ditimbang. Selanjutnya daya serap air dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.5.5 Kelarutan dan Swelling Power


Pengujian ini dilakukan menurut metode perez et al (2008). Supensis pati (1%
b/b) disiapkan yaitu 0,1 g sampel dicampurkan dengan 10 ml aquades dalam
kuvet sampel dipanaskan pada suhu 80º C delama 30 menit dengan pengadukan
setiap 5 menit. Suspense disentrifius selama 10 menit pada 3000 rpm. Suspensi
tersebut diambil 5 ml larutan yang jernih kemudian diletakan dalam cawan
porselim yang diketahui bobotmya. Cawan porselin yang dikeringkan pada oven
hingga suhu 105º C hingga bobotmya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung
kenaikan bobotnya (Hadi, 2017).

Keterangan :
a = Bobot cawan porselin awal/kosong (g)
b = Bobot cawan porselin akhir (g)
c = Bobot tabuing kuvet awal/akhir (g)
d = Bobot tabung kuvet akhir (g)
3.5.6 Sifat Gelatinisasi (Saefulhadjar et al., 2020)
Pengujian suhu gelatinisasi dalam praktikum ini diuji dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Sampel pati ditimbang 10 gr.
2. Lalu ditambahkan air 100 ml.
3. Selanjutnya, dipanaskan dengan suhu 70°C.
4. Setelah itu diamati dan catat lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
suhu awal gelatinisasi dan puncak gelatinisasi.
5. Jika sudah menjadi gel sempurna ukur suhu gel menggunakan
thermometer celcius.

3.5.7 Sineresis(Ediman, 2018)


Sineresis adalah peristiwa keluarnya cairan (larutan) dipermukaan gel. Dalam
praktikum ini pengamatan sinersis dilakukan dengan cara menyimpan gel hasil
gelatinisasi pada suhu ±10°C selama 3 hari. Setelah itu amati sedian larutan yang
terbentuk apakah ada endapan atau tidak. Jika tidak ada endaoan maka larutan
homogen.

3.6 Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil pengujian diamati dan dianalisis dengan
menggunakan Analysis of Variant (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji banding
Duncan’s Mutliple Range Test (DMRT) dengan taraf signifikasi 5% dengan
bantuan Stastistical Product and Service Solutions (SPSS).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perhitungan Total Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan dari berat bahan setelah proses
dan berat bahan sebelum proses (berat bahan mantah). Pada pengamatan ini
dilakukan proses pembuatan pati dari beberapa variasi jagung menggunakan
tepung metode dry milling dan wet milling. Pembuatan pati jagung ini dilakukan
perendaman menggunakan larutan NaOH.
Randemen
Sampel
(%)
Jagung Lokal (Dry milling) 64,19%
Jagung Hibrida (Dry milling) 70,47%
Jagung Pulut (Dry milling) 72,89%
Jagung Lokal (Wet milling) 79,68%
Jagung Hibrida (Wet milling) 86,39%
Jagung Pulut (Wet milling) 88,77%
4.2 Table 1 Total Rendemen Pati Jagung
Dari tabel diatas dapat dilihat terdapat perbedaan hasil rendemen
pati dari beberapa variasi jagung dan metode yang berbeda. Sesuai hasil
data rendemen yang didapat, nilai rendemen pati jagung dengan metode
dry milling pada jagung Lokal sebesar 64,19%; jagung Hibrida 70,47%;
dan jagung Pulut 72,89%. Sedangkan pati jagung yang menggunakan
metode wet milling pada jagung Lokal menghasilkan rendemen sebesar
79,68%; jagung Hibrida 86,39%; dan jagung Pulut 88,77%.
Tejadinya perbedaan hasil total rendemen pada setiap variasi
jagung dan metode yang digunakan pada pembuaan pati jagung yang
disebabkan karena rendemen yang lebih rendah disebabkan akibat
pencucian berulang setelah perendaman menggunnakan larutan NaOH
atau pada proses deproteinase selesai, yang mengakibatkan sebagian pati
ikut terbawa/terbuang (Suarni et. al., 2013).
Terlihat pada tabel diatas, pati dari variasi jagung yang
menggunakan metode wet milling menghasilkan rendemen lebih tinggi
dibandingkan metode dry milling. Hal tersebut disebabkan karena proses
lama perendaman, dimana pada metode wet milling melalui proses
perendaman beberapa kali saat sebelum menjadi pati. Menurut Suarni
(2016), perendaman dengan menggunakan metode wet milling akan
memicu granula pati, lemak, dan protein membesar atau berganti
strukturnya. Sesuai dengan penelitian Akbar dan Yuanita (2014), bahwa
lama perendaman mempengaruhi struktur ikatan karena molekul-molekul
air masuk kedalam jaringan sehingga tekstru menjadi lunak dan
memudahkan pada saat proses pengayakan, sehingga dihasilkan rendemen
yang meningkat.
4.2 Kadar Air
4.3 Densitas Kamba
Densitas kamba didefinisikan sebagai perbandingan antara berat bahan
pangan terhadap volume bahan tersebut dalam suatu ruang (Siti NJS dkk, 2015).
Berikut ini hasil analisis densitas kamba sampel pati jagung dapat diliat dari tabel
dibawah ini :

Jenis Jagung Densitas kamba (g/ml)


Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 0.9407
Jagung Hibrida (Dry milling) 0.9494
Jagung Pulut (Dry milling) 0.9827
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 0.7956
Jagung Hibrida (Wet milling) 0.8983
Jagung Pulut (Wet milling) 0.9629

Berdasarkan tabel densitas kamba diatas nilai tertinggi dari tiga


jenis jagung ada pada jenis pati jagung pulut dengan menggunakan metode
pengilingan Dry Milling dan Wet Milling yang memiliki nilai yaitu 0.9827
g/ml dan 0.9629 g/ml, dan densitas kamba yang memiliki nilai terendah
ada pada pati jagung Lokal Gorontalo yang menggunakan metode Dry
Milling dan Wet Milling memiliki nilai 0.9407 g/ml dan 0.7956 g/ml, Dan
pada pati jagung Hibrida memiliki nilai densitas kamba 0.9494 g/ml pada
metode Dry Milling sedangkan pada metode wet Milling mendapatkan
nilai 0.8983 g/ml.
Pati terdiri dari dua senyawa polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin. Bobot molekul amilosa dan amilopektin bergantung pada
sumber botani amilosa yang merupakan komponen dengan rantai lurus,
sedangkan amilopektin dengan rantai bercabang (Dziedzic and Kearsley
1995). Jagung pulut memiliki densitas kamba lebih tinngi dibandingkan
dengan dua jenis jagung yang lainnya hal ini diduha karena jagung pulut
mempunyai kandungan amilopektin yang lebih tinggi dan menyebabkan
tekstur jagung menjadi halus, Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Suarni (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Keragaman mutu pati
beberapa varietas jagung keragaman mutu pati beberapa var. Jgung ” bahwa
jagung akan bertekstur menjadi halus dan lunak ketika mengandung
amilopektin,
Menurut Larasati et al. (2011), bahan pangan yang memiliki
densitas kamba tinggi menunjukan kepadatan gizi yang tinggi. juga, selain
itu densitas kamba tinggi juga menunjukkan bahwa produk tersebut lebih
ringkas (non voluminous), artinya dalam volume tertentu yang sama,
produk tersedia dalam berat yang lebih banyak. Semakin kecil densitas
kamba maka produk tersebut makin porous

4.4 Daya serap


Jenis Jagung Daya serap pati (%)
Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 433%
Jagung Hibrida (Dry milling) 380%
Jagung Pulut (Dry milling) 444%
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 442%
Jagung Hibrida (Wet milling) 386%
Jagung Pulut (Wet milling) 459%
Daya serap air (water absorption) merupakan salah satu dari
berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas tepung. Water absorption
atau daya serap pada tepung merupakan kemampuan tepung dalam
menyerap air. Berikut ini adalah nilai dari daya serap air dari setiap pati
jagung dalam praktikum ini :
Tabel 1 :daya serap pati
Dari tabel daya serap air pada pati jagung diatas pati jagung dengan
nilai tertinggi terdapat pada jagung pulut menggunakan metode
penggilingan dry milling dan jagung pulut menggunakan metode wet
milling dengan hasil 444 % dan 459%. Daya serap dengan nilai terendah
terdapat pada jagung jagung hibrida dengan metode dry milling dan
jagung hibrida dengan menggunakan metode wet milling dengan hasil
380% dan 386%. Sedangkan jenis jagung pada jagung lokal Gorontalo
menggunakan metode dry milling dan jagung lokal Gorontalo dengan
menggunakan metode wet milling diperoleh hasil 433% dan 442%.
Dari hasil pengujian dan perhitungan daya serap air pada pati
jagung pulut dengan menggunakan metode penggilingan wet milling dan
dry milling menghasilkan daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pati jagung hibrida yang menggunakan metode penggilingan dry
milling dan wet milling. Hal ini disebabkan oleh lebih kandungan yang
terdapat pada jagung pulut terdiri atas amilosa dan amilopektin. Dimana
amilosa lebih rendah, amilosa yang lebih rendah menyebabkan daya serap
air yang tinggi. Ini sesuai dengan penyataan (Mulyandari, 1992 dalam
Rufaizah, 2011) daya serap air pada pati dipengaruhi oleh ukuran partikel
dari pati jagung, kadar air, dan kandungan kimia yang terdapat pada
jagung tersebut .
Hasil daya serap air pada pati jagung hibrida dengan metode wet
milling dan dry milling menghasilkan daya serap air yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh adanya Kandungan serat kasar dan amilosa yang dapat
meningkatkan absorbsi air. Serat kasar dan amilosa yang tinggi dapat
membantu penyerapan air pada granula, tetapi dalam hal ini serat kasar
pati relatif rendah dengan kisaran 0,04-0,11%. Sebaliknya kadar protein
dan lemak yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya absorbsi air, karena
komponen tersebut akan menutupi partikel pati, sehingga penyerapan air
menjadi terhambat. Hal ini didukung oleh Penelitian (Suarni et al. 2008)
menunjukkan bahwa daya serap air disebabkan oleh antara lain
konsentrasi amilosa pati dan kandungan protein dan lemak dalam pati.
4.5 Kelarutan
Kelarutan merupakan kemampuan bahan untuk larut di dalam air,
Berikut ini adalah nilai kelarutan pati jagung dari jenis jagung yang
berbeda dalam praktikum ini:

Jenis Jagung Kelarutan pati (%)


Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 16.4000%
Jagung Hibrida (Dry milling) 18.9333%
Jagung Pulut (Dry milling) 9.6000%
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 21.2000%
Jagung Hibrida (Wet milling) 23.6000%
Jagung Pulut (Wet milling) 13.0000%

Tabel 1. Kelarutan pati


Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pati menggunakan
metode wet milling dan dry milling memiliki nilai kelarutan yang
berbeda-beda, nilai kelarutan tertinggi terdapat pada jagung hibrida(wet
milling) 23.6000 %, dan jagung hibrida(dry milling) yaitu 18.4000 %,
nilai kelarutan terendah terdapat pada jagung pulut(wet milling) 13.0000
%, dan pada jagung pulut(dry milling) 9.6000 %, sedangkan nilai
kelarutan pada jagung local gorontalo(wet milling) 21.2000 % dan pada
jagung local gorontalo(dry milling) 16.4000 %
Tingginya nilai kelarutan disebabkan oleh tinggi suhu pemanasan,
Semakin tinggi suhu pemanasan, nilai volume pengembangan dan
kelarutan pati semakin besar. Suhu pemanasan yang tinggi dapat
mempercepat, pengikatan air oleh granula pati. Granula pati mengembang
dan saat mencapai suhu gelatinisisasi, granula akan pecah dan molekul
pati larut dalam air. Kisaran suhu gelatinisasi pati jagung dengan amilosa
tinggi yaitu 66-170o C (Whistler dan BeMiller, 2009). Meningkatnya
daya larut pati dapat disebabkan oleh rantai pati yang lebih pendek
dihasilkan selama hidrolisis dan hal ini juga berhubungan dengan
melemahnya ikatan hidrogen. Pratiwi dkk. (2015) mengemukakan bahwa
granula pati dengan berat molekul amilosa yang rendah lebih mudah
terlarut dan keluar dari granula, ke dalam medium sekitarnya. Selain itu,
Osunsami dkk. (1989) mengemukakan bahwa hidrolisis asam
menyebabkan memendeknya rantai polimer pati sebagai akibat
melemahnya ikatan hidrogen. Menurut Singh (2004), melemahnya ikatan
hidrogen di dalam pati memudahkan air untuk masuk ke dalam granula
pati sehingga meningkatkan kelarutan pati. Proses hidrolisis telah
merusak granula dan memecah rantai pati menjadi lebih pendek sehingga
lebih mudah terlarut. Rantai pati yang lebih pendek menunjukkan berat
molekul yang lebih kecil sehingga meningkatkan daya larut
Kelarutan pati yang lebih rendah disebabkan karena adanya gugus
asetil sehingga ikatan hidrogen dalam pati melemah, yang menyebabkan
air mudah melakukan penetrasi ke granula pati. Oleh karena itu, pati
cenderung membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air, sehingga
molekul air pada pati dapat ditahan oleh ikatan hidrogen agar tidak keluar.
Hal ini juga mengakibatkan pati lebih mudah untuk larut dalam air (Teja
W et al., 2008). Kadar amilosa dan ukuran granula pati merupakan salah
satu faktor yang dapat memengaruhi kemampuan mengembang dan
kelarutan. Kadar amilosa yang tinggi dan ukuran granula yang relatif kecil
menurunkan kemampuan mengembang dan kelarutan (Riley dkk., 2006).
Hal ini sejalan dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa pati
memiliki kadar amilosa tertinggi dan ukuran granula relatif kecil,
sehingga memiliki kemampuan mengembang dan kelarutan pati terendah.
Struktur amilosa yang linier mampu membentuk jaringan internal yang
lebih kuat, sehingga kemampuan mengembang dan kelarutan pati menjadi
lebih terbatas (Oke dkk., 2013).
4.6 Swelling Power
4.7 Jenis Jagung Swelling power pati (%)
Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 4,3930%
Jagung Hibrida (Dry milling) 3,7390%
Jagung Pulut (Dry milling) 4,4338%
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 4,4691%
Jagung Hibrida (Wet milling) 3,8593%
Jagung Pulut (Wet milling) 4,5795%

Swelling Power menunjukan daya mengembang pati ketika diberi


perlakuan panas, Swelling Power pada tabel diatas menunjukan bahwa
untuk konsentrasi tertinggi yaitu, ada pada Jagung Pulut dengan
menggunakan metode wet milling saat pembuatan tepung setelah menjadi
Pati. Nilai jagung pulut tersebut yakni 4,5795%, sedangkan untuk nilai
Swelling Power terendah ada pada Jagung Hibrida dengan metode dry
milling yaitu, 3,7390%. Menurut Whistler et al (1994) dalam juranal Cut
Erika (2010) Perbedaan Nilai swelling power yang ada pada pati jagung
menunjukkan bahwa jenis pati, modifikasi dan interaksi berpengaruh pada
setiap perubahan maupun nilai swelling power.

Pati tinggi amilosa memiliki nilai rata-rata swelling power yang


lebih rendah. Rendahnya swelling power disebabkan karena tingginya
amilosa dalam pati. Menurut Fatchuri dan Wijayatiningrum
(2009) pati dengan amilosa yang tinggi akan menghalangi swelling,
sehingga semakin tinggi amilosa maka swellingnya semakin rendah.
Tingginya kadar amilosa pada jagung hibrida membuat nilai swelling
power-nya rendah. Nilai swelling power yang tinggi pada jagung pulut
dikarenakan rendahnya kadar amilosa pada jagung dan kadar amilopektin
yang tinggi. Hal ini dejelaskan dalam jurnal (Pepita Haryanti, 2014),
Peningkatan swelling power  akibat pemanasan suspensi pati pada suhu
yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa yang semakin rendah atau
amilopektin dalam pati lebih tinggi. Amilopektin berada pada daerah
amorf granula pati. Rahman (2007) menyatakan bahwa daerah amorf
merupakan daerah yang renggang dan kurang padat, sehingga mudah
dimasuki air. Bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah
menyerap air (Hood, 1982 dalam Haryadi, 2006). Semakin banyak
amilopektin pada pati, maka daerah amorf akan semakin luas, sehingga
penyerapan air akan semakin besar. Menurut Jading dkk.
(2011), swelling power pada pati dipengaruhi oleh daya serap air.
Semakin besar daya serap air menyebabkan swelling power meningkat.

4.7 Gelatinisasi Pati


Pragelatinisasi pati merupakan pemasakan pati dengan gelatinisasi
sempurna dan proses pengeringan (Ashogbon dan Akintayo, 2014). Istilah
pragelatinisasi pati ini berhubungan dengan “Pragel” yang berarti pati
instan (Majzoobi dkk., 2011). Gelatinisasi adalah suatu proses ketika
granula pati dipanaskan dengan air yang cukup sehingga terjadi
pengembangan granula pati dan menghasilkan cairan yang kental untuk
memberikan kualitas produk yang diinginkan (Rohaya dkk., 2013), hasil
dari gelatinisasi pati jagung bdapat dilihat pada tabel dibawah ini

Jenis Jagung Suhu Gelatinisasi (°C)


Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 75
Jagung Hibrida (Dry milling) 81
Jagung Pulut (Dry milling) 70
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 71
Jagung Hibrida (Wet milling) 77
Jagung Pulut (Wet milling) 68

Berdasarkan hasil tabel diatas Suhu gelatinisasi yang tinggi ada


pada jagung lokal hibrida dengan menggunakan metode Dry Milling dan
Wet Milling yang memiliki suhu gelatinisasi sebesar 81oC dan 77oC dan
suhu gelatinisasi terendah ada pada jagung pulut yang menggunakan
metode Dry Milling dan Wet Milling memiliki hasil suhu gelatinisasi 70oC
dan 68oC, sedangkan suhu gelatinisasi pada jagung Lokal Gorontalo yang
menggunkan metode Dry Milling dan Wet Milling dengan suhu
gelatinisasi yaitu 75oC dan 71oC.

Tingginya suhu gelatinisasi pati pada jagung hibrida karena jagung


hibrida memiliki kandungan amilosa yang tinggi sedangkan rendahnya
suhu gelatinisasi pati pada jagung pulut dibandingkan varietas lainnya
disebabkan oleh rendahnya kandungan amilosanya. Hal ini sesuai dengan
penelitian Widaningrum dan purwani (2006) dalam jurnla “Karakterisasi
serta studi pengaruh perlakuan panas dan HTM terhadap sifat fisikokimia
pati jagung” bahwa suhu gelatinisasi pada pati jagung dipengaruhi oleh
kosentrasi amilosa dan amilopektin pati

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain


kadar amilosa, protein, dan lemak. Ekstrak pati mengandung lemak dan
protein relatif rendah sehingga tidak berpengaruh terhadap sifat amilografi
pati. Hal ini berbeda dengan sifat amilografi tepung jagung, yang berkadar
protein dan lemak tinggi, sehingga berpengaruh pada suhu awal terjadinya
gelatinisasi (Suarni et al. 2007, Aini et al. 2010).

4.8 Sineresis
Kemampua sineresis adalah sifat terpenting pati, yang merupakan
pelepasan air dari pasta selama pendinginan, sineresis pati cenderung
meningkat selama penyimpanan (Nur Aini, 2007). Sineresis (%)
menyatakan stabilitas beku cair (freeze thaw stability) pati yaitu
menunjukkan persentase jumlah air yang terpisah setelah pati diberi
perlakuan penyimpanan dingin (Pepita Haryanti, 2014)

Jenis Jagung %air yang keluar


Jagung Lokal Gorontalo(Dry milling) 24.82%
Jagung Hibrida (Dry milling) 27.65%
Jagung Pulut (Dry milling) 20.25%
Jagung Lokal Gorontalo(Wet milling) 21.70%
Jagung Hibrida (Wet milling) 27.72%
Jagung Pulut (Wet milling) 14.95%
Berdasarkan data Sineresis diatas telah menunjukkan bahwa, nilai
sineresis tertinggi ada pada Jagung Hibrida dengan metode dry milling
dengan nilai sineresis sebanyak 28,65% dan untuk nilai sineresis terendah
ada pada jenis jagung pulut dengan metode wet milling yang memiliki
nilai 14,95%. Peningkatan sineresis selama penyimpanan merupakan
interaksi antara keluarnya rantai amilosa dan amilopektin yang
berkembang ke zona junction.
Terjadinya sineresis disebabkan amilosa mengalami retrogradasi
yaitu molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain
(Winarno, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa amilosa dengan
bobot molekul rendah yang dominan yaitu amilosa yang memiliki rantai
pendek dominan, lebih mudah untuk berikatan kembali dan ikatannya
sangat kuat, sehingga retrogradasi yang terjadi semakin besar. Adanya
ikatan yang kuat antar amilosa selama retrogradasi menyebabkan semakin
banyak air yang terpisah dari gel pati ketika gel pati diletakkan pada suhu
ruang. Keluarnya air dalam jumlah besar selama proses retrogradasi
menyebabkan sineresis yang tinggi (Abo dkk., 2010)
Menurut Yuliasih dkk. (2007), amilosa yang dominan memiliki
sebaran bobot molekul tinggi menghasilkan persen sineresis yang rendah.
Hal ini karena selama proses retrogradasi, amilosa-amilosa yang kembali
berikatan satu sama lain ikatannya tidak terlalu kuat, sehingga ketika
gel pati diletakkan di suhu ruang atau dingin, air yang terpisah dari
gel pati tidak terlalu banyak dan menyebabkan sineresis yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai