Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BIROKRASI PENDIDIKAN DAN PROFESIONALISME PENDIDIK

Disusun Guna: Memenuhi Tugas Mata Kuliah Administrasi Pendidikan

Dosen Pengampu: Siti Taqwimah, M.Pd.I.

Oleh:
Nama: Aris Rif’an
Nim: 20.86208.083

PROGRAM STUDI S.1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Dengan mengucap puji dan syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberi rahmat
serta karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa pula
mengucapkan shalawat beserta salam atas kehadiran baginda rasulullah yaitu nabi Muhammad
S.A.W..

Dan rasa terima kasih kami kepada anggota kelompok dua yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini, serta terlebih lagi kepada guru pembimbing Ibuk Siti Taqwimah,
M.Pd.I.yang senantiasa membimbing dan memberi saran yang baik kepada kelompok kami
sehingga dapat menyelesaikan Makalah mata kuliah Administrasi Pendidikan

Makalah ini di buat bukan hanya untuk menyelesaikan dan melengkapi tugas mata kuliah
tapi juga di harapkan dapat memberi wawasan yang lebih luas guna meningkatkan pengetahuan
yang mendalam bagi para mahasiswa/i dalam bidang pendidikan, sehingga kita dapat mengetahui
hal-hal apa saja yang ada dalam bidang pendidikan.

Akhir kata, Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi kami,
sekian dan terima kasih.

Susukan, 28 Oktober2021

Aris Rif'an

X
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1

A. Latar Belakang.................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 3
C. Tujuan .............................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 4

A. Pengertian Birokrasi Pendidikan............................................................... 4


B. Pengertian Profesionalisme Pendidikan..................................................... 6
C. Mutu Pendidikan.......................................................................................... 5
D. Upaya yang harus dilakukan untuk mencapai keprofesionalan seorang
guru............................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 8

A.   Kesimpulan..................................................................................................... 8
B.   Penutup........................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah birokrasi telah diperkenalkan oleh Marthin Albrow sejak tahun 1745 dan hingga kini
masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat terutama kalangan akademisi. Sejak manusia lahir
hingga meninggal selalu terlibat dalam urusan birokrasi. Anak lahir harus memiliki akta kelahiran,
mati pun harus memiliki akta kematian. Kenyataan ini membernarkan pernyataan Etziomi Amitai dan
Gerald Caiden bahwa hidup ini selalu membutuhkan birokrasi dan birokrasi tidak bisa dihindarkan
dari kehidupan manusia.

Birokrasi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari- hari. Bila
kenyataanya birokrasi adalah bagian kental dari kehidupan manusia, kenapa banyak yang membenci
dan mencemooh birokrasi?Apa yang salah dengan birokrasi? Apa sebenarnya birokrasi itu? Seperti
apakah wajah birokrasi pendidikan kita?

Pendidikan merupakan suatu usaha yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Pendidikan juga merupakan hal yang sangat berperan penting dalam kehidupan.
Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, “…Mencerdaskan kehidupan
bangsa….”. Hal ini merupakan salah satu tujuan nasional yang ingin dicapai bangsa Indonesia.
Mutu Pendidikan juga sangat tergantung pada komponen-komponen yang terdapat dalam
pendidikan, salah satu diantara komponen yang sangat mempengaruhi berhasil tidaknya pendidikan
adalah tergantung dari kualitas tenaga pendidik. Pemerintah juga mengambil kebijakan dengan
menerbitkan UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, pada intinya meningkatkan kuliatas guru
dan dosen. Guru sebagai tenaga profesional berarti pekerjaan guru hanya dilakukan oleh seseorang
yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan
untuk setiap jenis dan Pendidikan tertentu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Birokrasi pendidikan?
2. Apa pengertian dari profesionalisme pendidik?
3. Apa yang dimaksud dengan mutu pendidikan?
4. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mencapai keprofesionalan seorang pendidik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Birokrasi pendidikan.


2. Untuk mengetahui pengertian dari profesionalisme pendidik
3. Untuk memahami tentang mutu Pendidikan.
4. Untuk mengetahui upaya yang harus dilakukan untuk mencapai keprofesionalan seorang
pendidik.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Birokrasi Pendidikan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan birokrasi sebagai: (a) sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, dan (b)
cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tataaturan yang banyak liku-
likunya.
Wikipedia mendefinisikan birokrasi sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando
dengan bentuk piramida dan biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun
militer. Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan
jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung
kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi.
Ditinjau dari sudut etimologi, birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau
artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja.
Birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan
politik.Kekuasaan melekat padajabatan pimpinan organisasi untuk mengatur organisasi (Thoha,
2012: 61).Pejabat yang disebut birokrat itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan peran dan
fungsinya.
Birokrasi terjadi dalam suatu organisasi (pemerintah), sementara itu dalam suatu organisasi
terdiri dari individu-individu yang bekerja.Individu-individu yang bekerja itulah yang memainkan
peran dalam birokrasi.Untuk itu penting juga untuk memahami motivasi karir individu dalam
organisasi.
Seorang individu yang bekerja dalam organisasi ada yang memiliki motivasi untuk meniti karir
tertinggi, tapi ada juga yang ingin tetap pada satu posisi yang saat ini diduduki.Permasalahan sering
muncul ketika seorang individu yang menduduki posisi tertentu tidak lagi mampu melaksanakan
tugas dan fungsi seperti yang diinginkan.Dalam kondisi semacam ini seringkali individu menerapkan
strategi “tidak melakukan apa-apa” (Benveniste,1991: 137-163).
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa birokrasi dapat berarti: (a) prosedur kerja, (b) sistem
keorganisasian, dan (c) kekuasaan untuk mengambil keputusan. Dalam analisis ini tidak
memfokuskan pada salah satu pengertian, namun menggunakan secara bersilangan yang artinya
makna birokrasi bisa bersentuhan dengan birokrasi sistem keorganisasi, prosedur kerja, dan
pengambilan keputusan.Penulis berpendapat bahwa ketiganya tidak dapat dipisahkan secara
diskrit.Dalam ketiga pengertian tersebut birokrasi hanyalah alat yang digunakan oleh manusia untuk
menjalankan kehidupan di masyarakat.
Birokrasi pendidikan dan keputusan-keputusan pendidikan masih panjang dan berbelit- belit
dan hampir semua keputusan penting pendidikan masih ditetapkan oleh pemerintah pusat.Pemerinah
Daerah hampir tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam setiap keputusan strategis
pendidikan.Mulai dari sistem pembiayaan, penilaian, dan kelulusan semua ditentukan oleh
pemertintah pusat dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Lemahnya kemampuan pemerintah dalam pengambilan keputusan pendidikan karena
rendahnya kapasitas fiskal masing-masing daerah.Pendapatan daerah berasal dari 3 sumber yaitu
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah(UU No.
33 tahun 2004). Kenyataannya sebagian besar pendapatan daerah bersumber dari dana perimbangan
terutama DAU (Dana Alokasi Umum). Kondisi inilah yang menyebabkan ketergantungan
pemerintah daerah terhadap setiap keputusan pendidikan pada pemerintah pusat.
Seiring dengan desentrasisasi pemerintah tersebut juga telah digulirkan pengelolaan
pendidikan mandiri yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang intinya adalah
memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada masing-masing sekolah dalam mengambil
keputusan pendidikan.Namun ruh MBS tidak pernah ada, karena pada dasarnya sekolah- sekolah
tidak pernah mendapatkan kewenangan mengambil keputusan terkait pembiayaan, penilaian,
kelulusan, apalagi sumber daya manusia.
Dalam pembiayaan pendidikan melalui Keputusan Menteri Pendidikan No. 60 tahun 2011 dan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 44 tahun 2012 tentang larangan pungutan biaya
pendidikan jelas-jelas memberangus kewenangan sekolah untuk mengelola dirinya sendiri. Sekolah
tidak ada otonomi sama sekali dalam mengelola rumah tangganya, tergantung sepenuhnya pada
pemerintah pusat. Bahkan para kepala daerah dan kepala dinas pendidikan tidak berhada
menghadapi hal ini.
Kualitas para birokrat bidang pendidikan masih lemah hal ini dapat dilihat dari banyaknya
penjabat pendidikan yang masuk penjara karena kesalahan prosedur dan administrasi.Penyebabnya
adalah tidak ada persiapan yang matang bagi para pejabat pendidikan baru, apalagi akhir-akhir ini
para pejabat pendidikan lebih banyak diangkat karena kedekatan politik.
Ketika ada peluang untuk mengambil keputusan sendiri, para birokrat pendidikan banyak yang
tidak mengindahkan asas legalitas dan diskresi.Hal ini dikarenakan rendahnya kapasitas pejabat
pendidikan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.Kesalahan dalam pengambilan
keputusan menyebakan kesalahan administrasi dan substransi, dan menyeretnya dalam penjara.
Melihat kenyataan di atas, penting untuk segera dilakukan reformasi birokrasi pendidikan
secara sungguh-sungguh melalui: peningkatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan
kewenangan daerah untuk mengelola urusan pendidikan, dan memberikan kesempatan masing-
masing satuan pendidikan untuk mengambil keputusan secara mandiri. Dengan cara ini birokrasi
pendidikan adakan dapat berjalan secara efisien dan efektif.
B. Pengertian Dari Profesionalisme Pendidik
Berbicara tentang profesionalisme mencerminkan sikap seorang terhadap profesinya.
Secara sederhana, profesionalisme dapat diartikan sebagai perilaku, cara, dan kualitas dari suatu
profesi. Sehingga, seseorang dapat dikatakan profesional jika pekerjaannya memiliki ciri standar
teknis atau etika suatu profesi.
Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang keahlian dan tingkatan masing-masing.
Jadi, profesionalisme pendidik adalah kemampuan dan keahlian khusus seorang pendidik di
bidangnya serta telah berpengalaman dalam mengajar sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan yang maksimal serta
berkompeten sesuai dengan kriteria pendidik yang profesional.
Menurut (Sabandi, 2013) Pengembangan keprofesionalitas guru berkelanjutan merupakan
hal yang penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, serta sosial ekonomi, dan budaya masyarakat. Supervisor sebagai
penanggung jawab keberhasilan penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan untuk meningkatkan keprofesionalitas guru, di antaranya teknik supervisi, budaya
organisasi pembelajaran,dan kegiatan pelatihan.
C. Tentang Mutu Pendidikan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, “Mutu adalah ukuran baik atau buruk suatu
benda; kadar; atau derajat (kepandaian, kecerdasan dsb);kualitas.
Menurut (Paci, 2013) dalam bukunya, disebutkan bahwa “secara umum, mutu adalah
gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang dan jasa yang menunjukkan kemampuannya
dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Pada konteks pendidikan,
pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Sedangkan, menurut Ensiklopedi Pendidikan Indonesia menjelaskan mengenai
Pendidikan, yaitu sebagai proses membimbing manusia atau anak didik dari kegelapan,
ketidaktahuan, kebodohan, dan kecerdasan pengetahuan.
Oleh karena itu, maka mutu pendidikan dapat disimpulkan sebagai standar ukuran yang
ingin dicapai pada proses pendidikan melalui kegiatan bimbingan kepada peserta didik demi
tercapainya tujuan hidup yang ingin dicapai.

D. Upaya yang harus dilakukan untuk mencapai keprofesionalan seorang pendidik.


Profesionalisme pendidik sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan sangatlah penting.
Menurut (Putri & Imaniyati, 2017), sebagai guru atau pendidik yang professional seharusnya
memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogic, kognitif, personality, dan social. Oleh
karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan bijak dan dapat
bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
memerlukan prinsip-prinsip profesional.
Maka, hal yang perlu dimiliki seorang pendidik yang profesional, yaitu :
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, serta
akhlak mulia
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar pendidikan sesuai dengan bidang tugas
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
5. Memiliki tanggungjawab atas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru (Undang-Undang Dasar tentang Guru dan
Dosen, 2006:7).
Sedangkan menurut (Pendidikan, 2016), untuk lebih mendukung tercapainya peningkatan
kemampuan profesionalisme guru, pemerintah dalam hal ini Depdiknas senantiasa secara priodik
memfasilitasi kegiatan melalui :
1. Peningkatan kualitas guru melalui penyelenggaraan penyetaraan disetiap jenjang
Pendidikan
2. Peningkatan kemampuan profesionaisme guru melalui kegiatan penataran/pelatihan bekerja
sama dengan Lembaga-lembaga penalaran atau diklat
3. Memotivasi pengembangan kelompok kerja guru melalui PKG, PSB SPKG, PPPG dan
sebagainya
4. Penyesuaian penataran/pemerataan jumlah guru dalam berbagai jumlah studi/mata pelajaran
guna memenuhi kebutuhan kurikulum
5. Mensubsidi bantuan tenaga guru serta melakukan pembinaan mutu guru pada setiap sekolah
khususnya sekolah swasta
6. Melakukan pembinaan karir guru sesuai jabatan fugsional guru
7. Secara periodik berusaha meningkatkan guru melalui berbagai cara atau terbosan
Upaya-upaya peningkatan profesionalitas guru ini harus dilakukan secara sistematis, maksudnya adalah
direncanakan dengan matang, dilaksanakan secara taat asas dan dievaluasi secara objektif. Seharusnya yang
melakukan upaya peningkatan pofesionalisme guru ini tidak hanya para kepala sekolah maupun pemerintah
tetapi yang paling menentukan yakni guru yang bersangkutan. Meskipun telah diikutkan pelatihan atau telah
disupervisi tanpa disertai kemauan dan kesadaran dari guru yang bersangkutan, oleh karena itu semua
kegiatan yang dilakukan akan sia-sia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Tingkah laku birokrat dan karakteristik organisasi pendidikan saat ini belum baik, hal ini
mengakibatkan buramnya potret birokasi pendidikan di Indonesia.Peningkatan kualitas
birokrat pendidikan dan perbaikan sistem serta organisasi pendidikan menjadi prioritas
mendesak agar wajah birokrasi pendidikan menjadi lebih baik.

2. Berdasarkan pembahasan di atas disimpulkan bahwa kualitas proses belajar mengajar (KBM)
sangat dipengaruhi oleh kualitas dari seorang pendidik. Oleh karena itu, sumber daya guru
perlu tumbuh dan berkembang secara terus-menerus agar dapat mencapai fungsinya secara
professional.
3. Profesionalisme pendidik juga sangat penting dalam peningkatan mutu Pendidikan, sebab
seorang guru sebagai pendidik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
proses pembelajaran. Apabila pendidik dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, maka
kualitas peserta didik juga akan baik. Setiap pendidik juga harus tau bagaimana kriteria
pendidik yang profesional, karena dengan pengetahuan tersebut pendidik dapat menyesuaikan
keadaan yang ada pada dirinya, artinya jika pendidik tersebut merasa bahwa dirinya kurang
profesional maka harapannya ia akan berusaha untuk meningkatkan keprofesionalan pada
dirinya. Hal ini sangat penting demi terwujudnya sumber daya yang berkualitas.

B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga
akhir tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga
kecuali melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam makalah ini, demi perbaikan
dan kebaikan semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada
pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, S. Hussen. 1986. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer

diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman. Jakarta: LP3ES.


Benveniste, GUY. 1991. Birokrasi. Jakarta.
Kompas, 24 Desember 2012. Memimpikan Birokrasi yang Melayani.

Lubis, Mochtar dan Scoot, J. C. (Penyunting). 1987.Mafia dan Korupsi Birokrasi.Jakarta:Yayasan


Obor Indonesia.

Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Osborne, D. dan Ted Gaebler, T. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Pustaka


Binaman Pressindo.

Rohman, Arif . 2012. Kebijakan Pendidikan: Analisis Dinamika Formulasi dan


Implementasi. Yogyakarta, Aswaja Pressindo.

Siswadi, Edi . 2012. Birokrasi Masa Depan Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan
Prima. Bandung: Mutiara Press.

Sudarsono, Juwono dan Ruwiyanto, W. , 1999. Reformasi Birokrasi dalam Era Globalisasi.

Jakarta: Wacha Widia Perdana.


Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia.Yogyakarta: Thafa
Media.

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah.
Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI.


www.seputarindonesia.com/news diakses pada tgl 2 Januari 2013
Paci, P. T. (2013). Manajemen pengembangan mutu guru. 203–215.

Pendidikan, S. N. (2016). Kunci: LPTK, Guru Pembelajar, Profesional Guru. (2015), 97–104.

Putri, A. D. K., & Imaniyati, N. (2017). Pengembangan Profesi Guru Dalam Meningkatkan Kinerja
Guru. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, 1(1), 94–103. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/jpmanper/article/view/8109
Sabandi, A. (2013). Supervisi Pendidikan Untuk Pengembangan Profesionalitas Guru
Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, XIII(2), 1–9.

Anda mungkin juga menyukai