Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH METODE DAN PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL

“ Engagement, Intake, Contract, dan Assessment Waria di


Lapangan Gasibu ”

Dibuat Guna Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester Mata Kuliah


Metode Praktek Pekerjaan Sosial

Disusun Oleh :

Dewani Prita Sumbadra (13.04.418)

Dosen Pengajar :
1. Dorang Luhpuri, S. IP, Ph. D
2. Dra. Windriyati, M. P

2E
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung
Jalan Ir. H. Juanda No.367 Bandung 40135
2014

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah s.w.t yang telah melimpahkan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Engagement, Intake, Contract, dan Assessment Waria di
Lapangan Gasibu”.

Makalah ini dibuat guna memenuhi Ulangan Tengah Semester


mata kuliah Metode dan Praktek Pekerjaan Sosial dan sebagai bentuk
aplikasi dan praktek dari materi Tahap-tahap Pertolongan dalam Pekerjaan
Sosial khususnya Engagement, Intake, Contract, dan Assessment.

Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih


kepada Dorang Luhpuri, S. IP, Ph. D dan Dra. Windriyati, M. P selaku
dosen Mata Kuliah Metode dan Praktek Pekerjaan Sosial dan teman-teman
kelas 2E yang telah berpartisipasi memberikan informasi-informasi
mengenai materi-materi yang berkaitan dengan Metode dan Praktek
Pekerjaan Sosial.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum


sempurna dan masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam teknis
penulisan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini karena tak ada gading yang tak retak, tak ada
sesuatu yang sempurna.

Bandung, Oktober 2014

Penulis

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


Daftar Isi

Judul.........................................................................................................

Kata Pengantar....................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................. iii

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang............................................................................. 1

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Engagement.................................................................................... 3
B. Intake.............................................................................................. 9
C. Contract.......................................................................................... 10
D. Assessment..................................................................................... 10

Bab III Hasil Pengamatan


A. Engagement................................................................................... 18
B. Intake............................................................................................. 19
C. Contract......................................................................................... 20
D. Assessment..................................................................................... 20

Bab IV Kesimpulan
A. Kesimpulan.................................................................................... 28
Daftar Pustaka.......................................................................................... 30

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini masalah sosial semakin kompleks seiring berjalannya


kemajuan teknologi dan globalisasi. Sering kita dapati masalah-masalah sosial di
sekitar kita dan selalu dianggap sepele oleh kalangan masyarakat. Masalah sosial
yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan dampak yang besar untuk lima
hingga tujuh tahun ke depan.

Negara Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah


penduduk menurut Badan Pusat Statistik tahun 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa
yang berada dari sabang sampai merauke. Banyaknya penduduk inilah yang
membuat kita tidak heran jika Indonesia memiliki berbagai masalah sosial yang
sudah khas dari sejak dahulu yaitu kemiskinan. Masalah kemiskinan ibarat sebuah
lingkaran setan yang dapat menimbulkan masalah sosial lainnya seperti
munculnya kriminalitas, perdagangan, anak jalanan, pengamen, pengemis, waria,
homoseksual, lesbian, HIV/AIDS, WTS, dan PKL. Apabila kemiskinan sudah
disebut sebagai sebuah lingkaran setan, maka jika salah satu masalah dituntaskan
maka masalah yang lain akan berkembang. Untuk itu maka diperlukanlah suatu
upaya yang terintegrasi dan berkesinambungan dalam menangani kemiskinan di
Indonesia.

Kemiskinan yang berawal dari keadaan ekonomi memang merupakan


suatu hal yang wajar, karena kemiskinan kadang membuat orang rela bekerja
sebagai apapun demi mendapatkan pengahasilan dan sesuap nasi dalam
menghidupi keluarganya. Salah satunya yaitu rela menjadi seorang waria yang
mengamen di jalanan tanpa memikirkan dampak kedepannya dan bagaimana
tanggapan keluarganya. Di Kota Bandung sendiri khususnya, sering kita temui
waria-waria yang mengamen, mangakal, dan bahkan mengamen dalam keadaan
mabuk. Hal tersebut justru dapat mengganggu aktivitas dan keamanan jalan. Data

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


mengenai waria di Kota Bandung memang belum jelas, namun menurut hasil
pobservasi yang pernah dilakukan bahwa tidak semua waria berasal dari daerah
Bandung akan tetapi dari daerah lain seperti Tasikmalaya.

Kita sering menemui waria-waria di tempat-tempat tertentu, salah satunya


yaitu lapangan Gasibu, Bandung yang terletak tepat di depan Gedung Sate. Waria
yang berada di sana kadang dari berbagai kalangan, namun juga ada yang menjadi
waria yang menetap di lapangan Gasibu. Waria-waria tersebut bekerja pada saat
malam hari mulai habis maghrib hingga tengah malam. Mereka menjadi seorang
waria karena berbagai macam fator dan alasan namun yang pasti karena
kemiskinan.

Kemiskinan memang sangat rentan dengan pembengkakan permasalahan


apabila seseorang tidak mampu mengatasinya. Untuk itu diperlukan suatu usaha
yang terintergarasi dan berkesinambungan. Usaha-usaha yang diberikan tidak
hanya dari kalangan pemerintah saja namun diperlukan pula kesadaran dari
masyarakat dalam upaya membantu pemerintah menangani kemesikinan di
Indonesia. Nyatanya kemiskinan itu tidak bisa dihilangkan namun setidaknya bisa
di minimalisir dengan beberapa tindakan seperti pemberian ketrampilan-
ketampilan dan dibukanya berbagai lapangan pekerjaan yang memungkinkan
seseorang dapat mendapatkan penghasilan yang layak untuk menghidupi
keluarganya.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Engagement
Engagement adalah proses pelamaran seseorang yang bermasalah
untuk mendapatkan pertolongan. Pada tahap ini terjadi penyesuaian
kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber (calon klien) dan calon pemberi
bantuan.
Engagement merupakan suatu periode dimana pekerja sosial mulai
berorientasi terhadap dirinya sendiri, khususnya mengenai tugas–tugas
yang ditanganinya. Awal keterlibatanyaa pada suatu situasi yang
menyebabkan pekerja sosial mempunyai tanggung jawab untuk menjalin
hubungan dengan klien dalam berbagai cara yang berbeda yaitu :
1. Klien datang secara sukarela untuk meminta bantuan
(Voluntary Application)
Klien biasanya menyadari bahwa mereka mempunyai
masalah. Mereka (klien) memungkinkan untuk dipertimbangkan
karena mereka mungkin telah mencoba berbagai cara untuk
mengatasi masalahnya, namun tidak atau kurang berhasil.
Merekapun menyadari akan kebutuhannya untuk meminta tolong
kepada pekerja sosial. Mereka mungkin ada yang tahu, tetapi ada
juga yang tidak yahu tenytang masalah mereka
susungguhnya.Mereka pada dasarnya merasakan ketidak enakan,
kesakitan, dan penderitaan yang berkaitan dengan masalah yang
dialaminya.Mereka mungkin ada yang dapat da nada yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara cepat, tepat,
permanen, dan menyeluruh.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


2. Klien tidak mau datang secara suka rela. (Involuntary
Application)
Banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa beberapa klien
berusaha untuk mengatasi hal-hak yang berlawanan dengan
keinginannya. Situasi-situasi kritis yang menyebabkan klien tidak
mempunyai alternatif, antara lain adalah kemiskinan yang ekstrim,
kecacatan, bencana – bencana alam, maupun tekanan – tekanan
sosial dari individu-individu dan institusi-institusi yang
berpengaruh terhadap dirinya. (istri, suami, orang tua, atasan,
sekolah, militer, pengadilan, dan lembaga-lembaga pelayanan
koreksional) yang hanya dapat dipenuhi dengan referal. Selama di
sanamereka biasanya segan, (reluctance) unuk meminta bantuan.
Mereka merasa dipaksa datang kepada pekerja sosial.Pekerja sosial
mempunyai tugas yang paling awal untuk berhubungan dan
berkenalan dengan keengganan-keengganan tersebut.

3. Pekerja sosial berusaha untuk mencari klien (Reaching out


effort by worker)
Pekerja sosial mempunyai tanggung jawab untuk
membantu orang-orang yang bermasalah. Oleh karena itu pekerja
sosial akan sering keluar untuk melibatkan dirinya dengan orang
yang tidak aktif mencari bantuan dan tidak diferal agar dapat
memperole bantuan. Mereka mungkin menyadari akan
kebutuhannya, tetapi belum atau tidak mampu mewujudkan, tidak
mempunyai motivasi, dan tidak mampu untuk memenuhinya
sendiri.
Seorang pelamar pelayanan atau calon klien (applicant)
yang ingin memasuki situasi pertolongan sering mempunyai
pertanyaan berikut :

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


a. Apakah saya bisa mendapatkan atau memperoleh
pertolongan disini (di badan sosial tempat pekerja
sosial bekerja ?
b. Adakah pertolongan yang diberikan di sini sesuai
dengan kebutuhan saya?
c. Bagaimana caranya mendapatkan pertolongan
tersebut?

Disamping klien, ternyata pekerja sosial juga mempunyai


berbagai pertanyaan, misalnya :

a. Apakah saya mampu memberikan pertolongan kepada


calon klien ini?
b. Apakah sumber-sumber yang tersedia di tempat saya
bekerja ini menyediakan pelayanan sesuai dengan
kebutuhannya?
c. Bagaimana caranya untuk memberikan pertolongan
yang efektif dan efisien (berhasil) ?

Dalam proses Tanya jawab personal tersebut terjadi saling


silang (mutual assessment of each other) mengenai :

a. Keadaan dan situasi yang mereka rasakan


b. Keadaan-keadaan yang mempertemukan mereka
c. Permasalahan dan tugas-tugas yang seyogyanya
ditampilkan oleh masing-masing pihak
d. Sumber-sumber yang nantinya dapat dimanfaatkan

Dalam tahap engagement, terjadi relasi antara klien


potensial dengan pekerja sosial potensial. Tugas pekerja sosial
pada tahap engagement ini adalah :
a. Mellibatkan dirinya dalam situasi tersebut.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


b. Menciptakan komunikasi dengan semua orang yang
terlibat.
c. Mulai mendefinisikan ukuran-ukuran atau parameter-
parameter yang berkaitan dengan hal-hal yang bakan
mereka laksanakan.
d. Menciptakan atau membuat suatu struktur kerja awal
atau pendahuluan.

Iklim konduktif dan komunikasi efektif di dalam suatu relasi


pertolongan merupakan unsur yang sangat penting artinya jika pekerja
sosial tidak mampu menciptakan iklim konduktif dan komunikasi yang
efektif, maka klien akan pergi darinya (tidak pernah kembali lagi). Iklim
konduktif dan komunikasi efektif memungkinkan klien untuk
mencurahkan perasaan dan menginformasikan masalahnya. Klien
merasakan bahwa ekerja sosial merupakan pribadi yang penuh pengertian
dan pehatian, sehingga kepercayaan akan muncul dan terus berkembang.
Untuk dapat menumbuhkan dan memelihara semua itu pekerja sosial
dituntut untuk memiliki kemempuan menghargai klien, bersifat empatik
dan gigih dalam mempelajari dan memahami permasalahan.

Kegiatan awal merupakan kegiatan yang cukup penting. Dalam


suatu proses kegiatan selalu memungkinkan untuk kembali lagi ke tahap
awal guna mendapatkan kesempurnaan bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya.
Langkah kedua adalah bekerja kembali untuk menyempurnakan hal-hal
yang terjadi atau yang dilakukan pada awal kegiatan. Mulainya suatu
pelayanan pertolongan kemanusiaan mungkin sangat sederhana seperti
halnya berjalan ditengah-tengah kerumunan orang yang sedang
menunnggu di depan ruangan untuk menerima surat, kartu atau pannggilan
telepon dan dapat kompleks seperti halnya pada waktu menghadiri
pertemuan suatu rapat yang para pesertanya mempunyai banyak perbedaan
tentang keputusan yang penting bagi perusahaan atau orang yang akan
pergi ke rumah tetangga yang kedaannya sedang dilanda krisis dengan

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


banyaknya issue atau seperti halnya suatu sekolah yang bising atau gaduh.
Walaupun hal ini tidak penting, namun semua itu membutuhkan
pertolongan, apalagi jika klien secara langsung dapat berhubungan dengan
pekerja sosial selama masa engagement.Komunikasi nonverbal banyak
dipergunakan dalam keadaan semacam itu, sehingga berbagai perasaan
dapat diekspresikan dan dapat diambil jalan keluarnya.

Pada tahap awal ini, pekerja sosial hanya dapat memperoleh


pengetahuan tentang orang (klien), situasi dan kesadaran dirinya secara
umum.Pada saat yang bersamaan, pekerja sosial berupaya untuk
memahami dan sekaligus mengevaluasi klien.Pendapat-pendapat tentang
orang, situasi, permasalahan, strategi pemecahan, kegiasan emosional,
sikap praduga, kecemasan, ketakutan, dan permusuhan antarra pekerja
sosial dengan klien perlu dipertimbangkan sebelumnya.Hal itu dapat
menghasilkan timbulnya kejujuran, dimana kejujuran tersebut sangat
diperlukan untuk mengatasi tahap engagement yang sulit.Pada dasarnya
peralatan yang penting bagi pekerja sosial adalah obyektifitas, keterbukaan
pikiran, kemampuan untuk menyadari dan mengontrol reaksi-reaksi
mereka sendiri. Keahlian yang sama pentingnya adalah kemampuan untuk
menyadari keberadaannya dalam diri klien dan juga hubungannya dengan
mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pekerja sosial
melaksanakan hal ini oleh karena kebesaran hatinya yang secara terbuka
mau mengekspresikan, mendiskusikan, dan mendemostrasikan
pengalaman kerjanya. Untuk itu mereka (pekerja sosial) bukanlah penentu
keberhasilan proses pertolongan, melainkan sebagai pemberi fasilitas
keberhasilan.

Pada jaman modern, engagement menyangkut “selling


job”.Pengertian pekerja sosial di sini adalah menawarkan diri untuk
memberikan pelayanan, sehingga tugas mereka lebih karena jelasnya
posisi dan status mereka bagi klien.Pada waktu ini, banyak nilai yang
mengalami perunahan, pelayanan kemanusiaan tidak mampu memenuhi

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


beberapa kebutuhan yang mereka (klien) perlukan, karena banyaknya
tantangan dan pertanyaan mengenai status quo.Pekerja sosial mewakili
institusi-institusi sosial untuk menemukan diri dan mewujudkan sikap dan
harapan-harapan mereka.Seperti halnya guru, ahli fisika, ahli hokum, dan
anggota-anggota profesi pertolongan yang lainnya, maka subjek atau
pokok pertanyaan meliputi motivasi, pengetahuan, keterampilan dan sikap
mereka terhadap kliennya.

Biasanya sikap ini merupakan tugas awal dimana penyajian dan


pertolongan diri merupakan suatu cara yang relevan dengan klien yang
mengalami kesulitan. Hal itu sebagai perwujudan tanggung jawab
terhadap kliennya. Mereka dapat memahami dirinya sendiri dan kebuhan-
kebutuhannya, sehingga pekerja sosial mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk meningatkan kemampuan mereka. Engagement hanya dapat
dicapai kalau orang-orang dilibatkan dan pekerja sosial tanggap terhadap
hal-hal terkait serta dapat berkomunikasi dalam situasi-situasi yang
sensitive.Engagement dapat mulai dilaksanakan pada pelayanan pekerja
sosial yang televan dengan kebutuhan klien. Proses engagement akan
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan harapan-
harapannya kepada pekerja sosial dan lembaga dimana pekerja sosial
bekerja. Orang melihat pertolongan dan pelayanan berbeda-beda, sehingga
sering membuat klien menarik diri atau membatalkan sewakktu mereka
dikecewakan.

Hasil proses engagement dapat dilihat dari :

a. Pekerja sosial merupakan bagian dari situasi.


b. Saluran komunikasi awal telah terbuka.
c. Pekerja sosial dan klien bersama-sama sepakat tentang
pendekatan-pendekatan umum yang berkaitan dengan
pendefinisian peranan masinng-masing, yang didasarkan

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


atas ekspresi dan klasifikasi harapan-harapan klien serta
hal-hal yag pekerja sosial tunjuukkan.
d. Adanya persetujuan tentang proses pada tahap-tahap
selanjutnya.

B. Intake
Tahap intake merupakan tahap permulaan pekerja sosial bertemu
dengan penyandang masalah. Dalam proses ini terjadi pertukaran
informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh penyandang masalah,
pelayanan apa yang dapat diberikan oleh pekerja sosial/ lembaga sosial/
pemerintah dalam membantu memecahkan masalah. Dengan demikian
terjadilan proses saling mengenal dan tumbuhnya kepercayaan
penyandang masalah kepada pekerja sosial. Dengan kondisi semacam itu
maka pekerja sosial dapat menciptakan relasi pertolongan profesional
yaitu sebagai pola ekspektasi, interaksi dan interdepedensi yang bersifat
resiprokal antara pekerja sosial dengan penyandang masalah, di mana
pekerja sosial/lembaga sosial menyediakan dan menggunakan sumber-
sumber tertentu untuk membantu penyandang masalah dan penyandang
masalah menggunakan sumber-sumber tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya/pemecahan masalah dirinya.
Intake dapat diartikan sebagai suatu proses diaman permohonana
pelayanan yang diajukan oleh seseorang yang punya masalah atau orang
lain.
Proses intake merupakan tahap permulaan dari suatu proses
pelayanan, dimana terjadi suatu persetujuan pelamar atau klien dengan
pemberi pelayanan. Jika tidak ada kesesuaian kebutuhan dari pelamar,
maka pelamar dialihkan kepada sumber lain. Maksudnya adalah ada
kesesuaian antara karakteristik calon klien dengan persyaratan elijibitas
(eligibility).
Dalam tahap ini seorang pekerja sosial memberikan pelayanan
kepada orang yang memerlukan. Pekerja sosial mengerti dan menilai

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


masalah pelamar, sehingga dapat menentukan masalah calon klien
tersebut. Pekerja sosial juga menentukan bagaimana dan dimana
kebutuhan tersebut dapat dipenuhi.

C. Contract
Setelah intake maka harus dibuat seperti perjanjian (kontrak), yaitu
adanya kesepakatan bersama mengenai hak dan kewajiban kedua belah
pihak.
Tahap ini adalah suatu konsensus, persetujuan, dan penerimaan
antara kedua belah pihak dari kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab
dengan sebuah kesepakatan untuk menjalankan tugas masing-masing
untuk kebaikan bersama.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pelamar adalah
seseorang yang memerlukan pertolongan. Pekerja sosial bertanggung
jawab untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan klien, dan harus
merundingkan segala sesuatunya dengan pelamar. Pada tahap ini dibuatlah
suatu perjanjian untuk memaksimalkan partisipasi klien. Namun,
perjanjian tersebut haruslah bersifat fleksibel.

D. Assessment
Dalam keseluruhan proses perubahan berencana, pekerja sosial
secara terus menerus mengadakan pengungkapan dan pemahaman
( assessment) situasi serta mengambil keputusan mengenai apa yang hrus
dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Assessment merupakan
suatu kegiatan pengungkapan dan pemahaman masalah yang terus
menerus dilakukan dan sekaligus bersamaan waktunya dengan proses
pertolongan itu sendiri.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


1. Hakekat Pengungkapan dan Pemahaman Masalah.
Tujuan assessment yang dilakukan pekerjaan sosial adalah :
a. Membantu pekerja sosial memahami dan mengindividualisasi situasi
yang dihadapi.
b. Menentukan dan menganalisis faktor-faktor relevan yang terdapat
dalam situasi tertentu. Istilah “relevan” yang digunakan disini
mempunyai beberapa pengertian.
Pertama : kata ini berhubungan dengan fungsi-fungsi pekerja sosial.
Kedua : kata ini berhubungan dengan penggunaan nilai-nilai
penggunaan, dimana relevansi ditinjou dari dasar pragmatis.
Ketiga : dari relevansi berhubungan dengan orientasi teoritis yang
digunakan dalam analisis suatu situasi.
2. Isi Pengungkapan dan Pemahaman Masalah
Suatu assessment masalah yang dilakukan oleh pekerja sosial
mengandung berbagai faktor didalamnya. Walaupun bentuk assessment ini
mungkin berbeda-beda, tetapi setiap assessment mencakup unsur-unsur :
a. Identifikasi dan penjelasan masalah.
Langkah pertama dalam usaha mengadakan assessment
suatu masalah adalah memperoleh suatu kejelasan mengenai
masalah yang dihadapi pekerja sosial. Dalam hubungan ini perlu
diberikan definisi mengenai masalah; sebagai suatu situasi sosial
atau kondisi sosial yang atas dasar definisi ini maka tidak setiap
situasi sosial akan merupakan maalah. Situasi ini hanya akan
menjadi masalah kalau suatu evaluasi telah diadakan. Bila
definisi ini dapat diterima, maka suatu masalah mengandung tiga
bagian yang saling berhubungan, yaitu :
1) Adanya suatu situasi sosial atau kondisi sosial
2) Orang yang mengevaluasi situasi sosial tersebut
sebagai situasi yang sifatnya problematis , dan
3) Alasan atau dasar evaluasi orang tersebut

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


Sebagai suatu contoh, misalnya terdapat suatu situasi
dimana beberapa remaja penganggur dan putus sekolah
bergerombol di suatu jalan tertentu. Bagi pemilik toko atau warung
yang ada di jalan itu, tingkah laku para remaja tadi dapat saja di
sebagai suatu masalah karena adanya remaja tersebut dapat
menakutkan calon-calon pembeli . Bagi para orang tua remaja
tersebut tingkah laku mereka juga disebut masalah karena dapat
menurunkan nama baik mereka. Polisi juga khawatir bahwa
tingkah laku para remaja ini dapat menjurus pada vandalisme atau
kenakalan. Seorang pekerja sosial yang bertugas disuatu lembaga
didekat tempat remaja tersebut berkumpul menganggap tingkah
laku mereka sebagai suatu masalah karena mereka memboroskan
potensi dan dapat menjadi contoh yang jelek bagi remaja lain di
lingkungan itu. Para remaja sendiri inipun dapat meninjau tingkah
laku mereka sebagai masalah karena mereka merasa bosan dan
tidak mampu mencari pekerjaan.

Pekerja sosial dapat memulainya dengan menentukan


orang-orang yang terlibat didalam atau di pengaruhi oleh situasi
itu. Usaha ini juga merupakan langkah pertama untuk menentukan
sistem-sistem clien, kegiatan dan sasaran yang masih bersifat
potensial. Pekerja sosial menentukan aslasan-alasan mengapa
orang-orang ini meng efaluasi situasi sebagai suatu masalah.

Situasi sosial dapat dinilai sebagai suatu masalah karena


berbagai alasan :

1) Situasi sosial ini melanggar norma atau nilai sosial dan tingkah
laku yang tersangkut dalam situasi itu merupakan tingkah laku
yang menyimpang.
2) Tanggung jawab kemanusiaan dan altruisme juga merupakan
alasan untuk menilai situasi sosial tertentu sebagai situasi

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


problematis, misalnya perumahan yang jelek atau kurangnya
fasilitas untuk mengasuh anak yang menderita lemah ingatan.
3) Orang-orang yang mengalami sendiri tekanan-tekanan dan
ketidakenakan dapat juga menyebut situasi yang dihadapinya
sebagai situasi problematis semata-mata ketidakenakan ini.
4) Ketakutan akan kerusakan atau gaguan pada fungsi sistem
sosial juga merupakan alasan ini mengapa situasi sosial
dianggap sebagai masalah.
b. Analisis dinamika situasi sosial
Sebelum mengadakan penentuan mengenai pilihan dalam
hubungan dan tujuannya, sasaran, tugas startegi bagi usaha
perubahan berencana, maka pekerja sosial harus mengelaborasi
masalah yang dihadapinya dalam analisis terinci mengenai situasi
sosial problematis itu. Dalam usaha penentuan ini pekerja sosial
juga harus memahami :
1) Faktor-faktor yang dapat menghambat kemampuan
orang untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
wujudnya aspirasi-aspirasi mereka
2) Alasan-alasan yang menyebabkan sistem-sistem
sumber informal, formal dan kemasyarakatan
mengalami kegagalan dalam penyediaan sumber,
pelayanan dan kesempatan yang dibutuhkan orang

Pemahaman ini dapat memberikan gambaran yang lebih


jelas bagi pekeja sosial mengenai dinamika masalah yang
dihadapinya. Pemahaman lebih lanjut dapat diperoleh melalui
penerapan berbagai konsep teoritis dan teori-teori yang
berhubungan dengan tingkah laku individu, interaksi sosial, dan
fungsi sistem-sistem sosial. Teori-teori dan konsep-konsep mutahir
yang digunakan dalam pekerja sosial ditarik dari banyak sumber,
antara lain psikologo ego,teori belajar, konsep-konsep tentang

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


peranan dan sistem sosial,analisis transaksional, dan bergabagai
teori komunikasi. Keseluran teori dab konsep ini digunakan dalam
proses pengungkapan dan pemahaman masalah.

c. Penciptaan tujuan dan sasaran.


Berdasarkan pemahaman pekerja sosial akan dinamika
masalah, maka ia dengan klien harus menciptakan tujuan-tujuan
bagi usaha perubahan perencana menentukan sasaran-sasaran
sehubungan dengan tujuan-tujuan ini. Tiga unsur penentuan tujuan
yang akan dirinci lebih lanjut.
1) Tujuan umum dan spesifik
Dalam setiap situasi masalah kerap sekali
diperlukan pertimbangan mengenai berbagai macam tujuan
dalam kaitannya dalam sistem-sistem klien, kegiatan,
sasaran, dan pelaksan perubahan . Tujuan-tujuan ini dapat
berbentuk tujuan umum misalnya pemecahan konflik
diantara petugas dinas perumahan dengan penyewa atau
perbaikan pelayanan-pelayanan bagi pernderita yang lemah
ingatan.
2) Fisibilitas
Tujuan-tujuan usaha perubahan berencana yang
telah ditentukan tidak hanya harus spesifik dan relefan
dengan masalah klien, tetapi juga harus realistis. Tujuan
yang tidak realistis dapat mengakibatkan :
a) Frustasi-frustasi
b) Penguatan apati
c) Pengunduran diri dari usaha perubahan berencana
3) Prioritas
Pentuan prioritas merupakan tugas utama bagi
lembaga-lembaga yang bergerak dalam alokasi dana dan
juga lembaga-lembaga yang sedang mepertimbangkan

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


untuk melaksanakan program-program baru. Lembaga-
lembaga semacam ini perlu sekali membandingkkan
berbagai program dan pelayanan berdasarkan satu set
variabel yang sejenis, misalnya jumlah orang terkena
masalah itu, variabel -variabel ini diperlukan untuk
mempermudah.
d. Penentuan tugas dan strategi
Keseluruhan langkah assessment masalah yang diutatrakan
di atas dapat mempengaruhi keputusan pekerja sosial mengenai
tindakan yang harus dilakukan dalam usaha perubahan berencana.
Identifikasi dan penjelasan masalah,banalisis dinamika situasi
sosial, dan penentuan tujuan serta sasaran dapat membantu tiga
bidang usaha , yaitu:
1) Penentuan anggota-anggota sistem klien, kegiatan dan
sasaran, baik yang aktual maupun yang potensial,
sehubungan dengan hasil yang akan dicapai dan metode
yang akan digunakan
2) Penentuan titik permulaan kegiatan dalam usaha
menghadapi sesuatu masalah; dan
3) Penetuan sumber-sumber yang kiranya dapat digunakan
oleh pekerja sosial, tentangan-tentangan yang mungkin
akan dihadapi dan jenis-jenis relasi yang akan
diciptakannya.
Penyusunan suatu rencana intervensi merupakan syarat
mutlak dalam assessment masalah dan juga untuk pengujian
ketepannya. Dalam rincian tindakan yang akan di ambil, pekerja
sosial harus membuat spesifikasi siapa yang akan mengerjakan apa,
dalam urutan yang bagaimana, dan kapan pelaksanaanya.
e. Stabilisasi usaha perubahan
Perubahan pada suatu bagian dari suatu situasi sosial akan
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada bagian-bagian yang

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


lain dan sebagai akibatnya mungkin saja timbul masalah-masalah
yang baru.
3. Pencatatan Pernyataan Mengenai Pengungkapan dan Pemahaman
Masalah
Langkah akhir dalam proses assessment masalah adalah penulisan
pernyataan yang mencakup keseluruhan hal yang dijelaskan di atas. Suatu
pernyataan yang tertulis mempunyai keuntungan-keuntungan, yaitu;
a. Mendorong pekerja sosial untuk memehami apa yang ia ketahui
dan tidak diketahui mengenai suatu situasi .
b. Membantu pekerja sosial menentukan asumsi yang telah
diketengahkannya
c. Dapat digunakan sebagai alat untuk membicarakan dan
menciptakan kontrak
d. Dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur kemajuan
e. Dapat memperlancar komunikasi diantara pekerja sosial dengan
pihak-pihak yang lain mengenai situasi itu.

Agar suatu catatan dapat bermanfaat, maka catatan ini haruslah


bersifat spesifik. Catatan ini harus dengan jelas dapat membedakan dan
mengindividualisasi situasi yang dihadapi dari situasi-situasi
lainnya.seperti dikatakan Alfred kadushin, pernyataan-pernyataan umum
yang kerap sekali digunakan pekerja sosial tentang klien-kliennya tidaklah
ada gunanya, karena kenyataan umum ini tidak menjelaskan apapun
tentang klien. Contoh pernyataan umim ini adalah klien membutuhkan
dorongan semangat untuk menghadapi masalahnya, atau disarankan agar
komunikasi diantara kelompok didalam masyarakat diperbaiki.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pekerja Sosial Dalam


Pengambilan Keputusan
Sejumlah faktor-faktor dapat mewarnai atau menumbuhkan
prasangka pekerja sosial. Prasangka adalah suatu tendensi atau
kecenderungan, terutama yag dapat mencegah pertimbangan objektif

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


terhadap suatu permasalahan walapun prasangka ini tidak dapat
seluruhnya dihindarkan, tetapi diharpakan pekerja sosial dapat menyadari
faktor-faktor yan menyebabkan agar akibat-akibat negatifnya dapat
dikurangi. Faktor-faktor ini adalah sebagai berikut :
a. Sumber utama prasangka dalama pengambilan keputusan adalah
lemabaga atau oranisasi tempat pekerja sosial itu bekerja.
Organisani-organisasi dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan pekerja sosial dengan jalan :
1) Secara formal atau informal membatasi informatif dan
informasi kepada pekerja sosial.
2) Secara apriori memberikan pilihan pada alternatif-alternatif
tertentu. Contoh scootbriar dalam suatu penelitian mengenai
keputusan pekerjaan sosial dan menempatkan anak pada
keluarga asuh atau panti asuhan menentukan abahwa keputsan
pekerja sosial sangat di pengaruhi oleh program lembaga
tempat pekerja sosial itu bekerja.
b. Sumber utama prasangka lainnya adalah pemerosesan data dalam
pengambilan keputusan. Cara-cara penggunaan data dapat
menimbulkan akibat-akibat yang sifatnya mengucilkan diri dan
menambatkan diri.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


BAB III

HASIL PENGAMATAN

A. Engagement
Tahap pertolongan yang pertama yaitu engagement, dalam tahap
ini saya sebagai calaon pekerja sosial menjalin hubungan dengan klien
melalui Reaching out effort by worker dimana seorang pekerja sosial
mencari klien. Klien yang saya dapatkan yaitu waria yang berada di
lapangan gasibu. Tujuan saya melakukan wawancara yaitu ada dua, yang
pertama dilihat sebagai mahasiswa yaitu untuk memenuhi tugas Ulangan
Tengah Semester mata kuliah Metode Praktek Pekerjaan Sosial, dan yang
kedua yaitu sebagai calon pekerja sosial tujuan dari Reaching out effort by
worker adalah memperoleh informasi tentang kehidupan waria dan
kebutuhan atau sumber-sumber pelayanan apa saja yang pernah
didapatkan. Waria yang berada di lapangan gasibu dengan inisial “MB”
sempat menanyakan rumah tinggal kami dan identitas kami. Kami
mengatakan jika kami tinggal di daerah dago dan sebagai mahasiswa.
“MB” berusia tiga puluh lima
tahun setiap harinya mengamen di
lapangan gasibu. “MB” tinggal di
Kiaracondong dan berasal dari daerah
Singaparna, Tasikmalaya. “MB”
mengamen pada saat malam hari mulai
habis maghrib hingga tengah malam
yaitu sekitar jam sebelas atau jam dua
belas malam. Hasil yang didapat dalam
satu hari sekitar dua ratus ribu rupiah
hingga tiga ratus ribu rupiah.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


Dulu “MB” pernah bergabung dalam sebuah Yayasan Sri Kandi
dan pernah mendapatkan pelayanan. Yayasan Sri Kandi yaitu suatu
yayasan komunitas waria dan homo seksual yang memberikan
ketrampilan-ketrampilan seperti ketrampilan kecantikan di salon-salon,
menjahit, memasak, dan lain-lain. Yayasan tersebut berada Leuwipanjang.
Selain itu “MB” juga pernah tertangkap razia penertiban jalanan yang
diadakan oleh wali kota Bandung, Ridwan Kamil. Dalam penertiban
tersebut Ridwan Kamil menawarkan bantuan kepada “MB” yaitu
pemberian uang per hari sebesar lima puluh ribu rupiah dengan syarat
“MB” harus berhenti bekerja sebagai waria dan pengamen. Sedangkan
“MB” menginginkan bantuan yang diberikan berbentuk dana modal
sebesar dua puluh juta rupiah untuk dirinya membuka salon dan membeli
peralatan-peralatan salon kecantikan karena melihat peralatan dan
perabotan salon yang memang relatif mahal.

B. Intake/Kontak
Pertama kali saya bertemu waria saya berpura-pura sebagai
pengunjung lapangan gasibu bersama teman saya, kemudian dia
mengamen di depan kami. Saat memberikan beberapa keping receh kami
berbasa-basi menanyakan berapa lama “MB” bekerja mengamen dan
berapa hasil yang di dapat.
Selang beberapa hari saya melakukan wawancara lagi dengan
“MB” bersama teman saya Arbi Habibi Hamzah. Kami berpura-pura
menjadi pengunjung di lapangan gasibu, kami mencoba menciptakan
relasi dengan “MB” dengan cara berbasa-basi terlebih dahulu seperti pada
saat saya pertama melakukan wawancara dengan “MB” pada hari
sebelumnya. Namun pada pertemuan atau kontak kedua dengan “MB”
saya tidak merasa takut, justru saya merasa penasaran dan mencoba
menanyakan sedikit kehidupan “MB”. “MB” memang memiliki sikap
ramah dengan para pengunjung lapangan gasibu dan sering kali sharing
dan bercakap-cakap dengan para pengunjung lapangan gasibu.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


Pertemuan ketiga saya bersama teman-teman saya Inayatul Maula,
Arbi Habibi Hamzah, dan Muhammad Alfikri Tuna melakukan
wawancara lagi dengan waria yang ada di gasibu yaitu “MB”. Kami
mencoba membangun relasi dengan “MB” kembali dengan cara berbasa-
basi seperti yang sudah-sudah dan menawarkan minum kopi bersama dan
menawarkan rokok. Sambil menikmati segelas kopi dan rokok kami
semakin leluasa menggali informasi tentang kehidupan dian dan dia tidak
segan-segan untuk berbagi dengan kami tanpa mali-malu.

C. Contract
Kontrak yang kami lakukan pada saat wawancara dengan “MB”
yaitu kontrak tidak langsung. Kami menawarkan diri suatu waktu dapat
bertemu kembali dan sharing bersama, “MB” dengan senang hati
mengatakan bahwa kita dapat datang kapan saja dia menerima, kita datang
setiap hari pun tidak masalah.

D. Asesmen
Saya melakuakan tahap asesmen tidak hanya satu kali saja, saya
bertemu waria dan bercakap-cakap tentang kehidupan “MB” tiga kali.
Awalnya saya menemui “MB” dengan teman saya Inayatul hanya
menanyakan berapa lama dia bekerja, berapa banyak pengahasilan yang
didapatkan setiap harinya, nama asli “MB”, dan kegiatan kesehariannya
saja. Kami tidak berani menanyakan lebih dalam karena pada saat itu awal
pertama kali saya dan teman saya melakukan wawancara atau mengobrol
dengan waria, selain itu waria merupakan salah satu PMKS yang saya
takuti. Sebelum saya melakukan wawacara dengan waria saya sudah
mempunyai rencana dari awal bahwa pertemuan awal dengan waria hanya
mengetahui bagaimana tanggapan dia ketika diajak mengobrol. Ketika
kami mencoba mengajak “MB” mengobrol respon yang diberikan “MB”
poritif dan begitu ramah, karena dia juga mennggapi dengan keadaan tidak
tegang namun dengan candaan yaitu dengan adanya singkatan-singkatan

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


aneh dan lucu yang membuat para pengunjung lapangan gasibu cukup
terhibur.
Sifat “MB” yang ramah membuat kita mudah mendapatkan dan
menggali informasi kehidupan dia. Pertemuan pertama kali dengan waria
dengan inisial “MB” saya mendapatkan data bahwa dia berasal dari
Taikmalaya dan bekerja di lapangan gasibu dari habis maghrib hingga
tengah malam yaitu sekitar jam sebelas malam hingga jam dua belas
malam. Hasil yang didapatkan setiap harinya sekitar dua ratus ribu rupiah
hingga tiga ratus ribu rupiah. Pekerjaan sehariannya yaitu sebagai waria
yang mengamen pada waktu malam hari namun ketika siang hari dia
hanya di kontrakan tepatnya di Kiaracondong untuk istirahat. Selain itu dia
juga menyebutkan nama aslinya.
Keesokan harinya berjarak beberapa hari saya bersama teman saya
Arbi Habibi Hamzah ke lapangan gasibu dan melakukan wawancara lagi
karena data yang saya peroleh kurang lengkap dan juga mengingat sikap
dari “MB” yang ramah membuat saya semakin penasaran dengan
kehidupan dia sebagai seorang waria. Pertemuan ke dua kami mengajak
ngobrol “MB” seperti pada saat awal melakukan wawancara dari mulai
jam berapa dia bekerja. Pada pertemuan ke dua saya mendapatkan
informasi yang lebih lengkap karena “MB” mau menceritakan kehidupan
dia. Pria single parents dengan inisial “MB” berasal dari Singaparna,
Tasikmalaya bekerja demi menghidupi anak tunggal dan kedua orang
tuanya rela menjadi waria di Bandung. Dia bercerai dengan istrinya ketika
anaknya berusia satu tahun, dia merasa stress karena perceraian tersebut
dan mempunyai tanggungan seorang anak dan kedua orang tuanya.
Sempat terpikir dalam benaknya untuk mencari pekerjaan di luar kota
yaitu di Bandung. akhirnya dia memutuskan bekerja di Bandung sebagai
penjual friedchiken selama dua tahun, karena juragannya mengalami
gulung tikar “MB” memutuskan diri untuk berhenti bekerja dan mencari
pekerjaan yang lain. Menjadi penjaga toko akhirnya pekerjaan yang di
lakukan, namun penghasilan yang didapat tidak mampu untuk menghidupi

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


keluarganya yang berada di Singaparna, Tasikmalaya. Kemudian dia
bertemu seseorang lalu menyarankan menjadi waria dan akhirnya sampai
saat ini dia menjadi seorang waria menetap di lapangan gasibu. “MB” juga
pernah mendapatkan ketrampilan dari sebuah yayasan yang berada di
daerah Bandung yaitu Yayasan Sri Kandi tepatnya berada di
Leuwipanjang. Yayasan Srikandi merupakan yayasan untuk para waria
dan homo seksusal yang diberikan suatu ketrampilan-ketrampilan agar
mereka berhenti menjadi pengamen dan waria. Ketrampilan-ketrampilan
yang diberikan oleh yayasan Sri Kandi seperti ketrampilan di salon
kecantikan, ketrampilan memasak, ketrampilan menjahit, dan lain-lain.
Namun mengingat lagi penghasilan yang didapatkan tidak seberapa dan
lebih banyak penghasilan yang didapatkan ketika mengamen dan menjadi
seorang waria maka akhirnya “MB” memutuskan diri untuk keluar dari
yayasan tersebut.
Wawancara selanjutnya yaitu saya bersama teman-teman saya
Inayatul Maula, Arbi Habibi Hamzah, dan Muhammad Alfikri Tuna
bertemu lagi dengan “MB” pada hari Minggu malam, 12 Oktober 2014.
Kami mulai mengobrol dan berbasa-basi dengan menawarkan segelas kopi
dan rokok. Obrolan yang kami lakukan cukup efektif dan data yang kami
dapatkan lebih lengkap dari pertemuan sebelumnya. Hal tersebut
membuktikan bahwa “MB” merupakan sosok yang jujur dan terbuka, dia
menceritakan kehidupan dia sama dengan yang diceritakan pada
pertemuan sebelumnya. Pertemuan kali ini kami lebih menggali mengenai
hubungan “MB” dengan lingkungan sosialnya. Bahwasannya hubungan
“MB” dan lingkungan sosialnya relatif baik, karena “MB” mempunyai
prinsip dia harus berbuat baik dengan siapa pun walaupun keadaan dia
sebagai seorang waria dan pengamen. Hal tersebut karena akan
berpengaruh dengan kehidupan dia, jika dia baik maka lingkungan akan
membalas baik pula namun jika dia berbuat buruk lingkungan pun akan
membalas sebaliknya. Pria berusia tiga puluh lima tahun ini akrab disapa
dengan inisial “I” di kampung halamannnya, awal bekerja sebagai

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


pengamen di daerah alun-alun Bandung. Namun setelah alun-alun
Bandung sudah ditertibkan oleh Ridwan Kamil dia berpindah ke Gasibu.
Pekerjaan sebagai seorang waria yang mengamen sudah dilakukan sejak
tahun 2006 lalu, awal mulanya dia menjadi seorang waria yaitu karena
tuntutan ekonomi dan tanggungan seorang anak. Sebelum dia memutuskan
menjadi waria yang mengamen dia pernah bekerja sebagai penjual
friedchiken selama dua tahun, namun dia berhenti karena bosnya
mengalami gulung tikar. Kemudian dia bekerja di toko-toko namun
penghasilan yang didapat tidak seberapa, dan dia sempat bertemu dengan
seseorang yang keudian mengajak untuk menjadi seorang pengamen
waria. Awal mulanya dia merasa malu dan takut dengan kehidupan jalanan
namun karena tuntutan ekonomi lama kelamaan menjadi terbiasa. Keadaan
seorang duda yang telah bercerai beberapa tahun yang lalu ketika anaknya
masih berusia satu tahun kini telah mengubah dirinya menjadi seorang
waria, dia sendiri pernah menuturkan bahwa dirinya pernah mengalami
stres pasca cerai. Hubungan dia dengan mantan istrinya sekarang baik-baik
saja bisa di katakan renggang karena memang tidak sering bertemu dan
komunikasi. Komunikasi antara “MB” dan mantan istrinya terjadi apabila
menyangkut mengenai anaknya ketika memerlukan kebutuhan-kebutuhan
tertentu, mantan istrinya pun sekarang telah memiliki suami. Sebenarnya
dalam diri “MB” sempat terpikir untuk menikah lagi, namun belum ada
seseorang yang pas untuk dirinya. Hubungan “MB” sangat lekat sekali
dengan kedua orang tuanya yang masih hidup dan anak laki-lakinya yang
masih duduk di bangku SMA kelas satu. Melihat kondisi “MB” sebagai
pulang punggung keluarganya, maka anak “MB” diasuh oleh kedua orang
tua “MB”. Keluarga “MB” yaitu anak, kedua orang tuanya, dan mantan
istrinya sampai saat ini tidak mengetahui jika dia di Bandung bekerja
sebagai pengamen waria. Menurut “MB” apabila keluarganya mengetahui
pasti mereka akan sangat kecewa, “MB” mengaku kepada keluarganya
bahwa dia di Bandung bekerja sebagai pelayan restourant. Apabila
keluarganya ingin berkunjung ke Bandung dia selalu menahan dan

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


mengatakan jika dia tinggal mengontrak dan kontrakannya sangat kecil.
Ketika dia ingin pulang ke kampung halamannya dia berhenti mengamen

sekitar seminggu untuk mempersiapkan penampilannya yaitu


menumbuhkan jenggot agar keliahatan penampilan laki-lakinya.

Menaggapi mengenai hubungan “MB” di lingkungan kontrakannya


yaitu di Kiaracondong respon yang diberikan masyarakat ataupun ibu
kontrakan tidak negatif, justru mereka selalu berlaku ramah dan baik hati
dengan “MB” walaupun tidak dipungkiri bahwa di dalam masyarakat ada
beberapa orang yang mencibirnya namun itu tidak masalah bagi “MB”
karena hal seperti adalah wajar. Selain dengan masyarakat “MB”
mempunyai teman dekat yang sesama waria juga di kontrakannya yaitu
waria dengan inisial “SL”.
Seperti yang telah kita amati bahwa “MB” ramah terhadap
Diagram Ven Hubungan
lingkungan sekitar, Klien dengan
kita bisa lingkungan
mengamati sosialnya
interaksi dia seperti,
terhadap para
keluarga, teman,dan
pengunjung danpenjual
masyarakat sekitarnya.
di lapangan gasibu yang sudah cukup akrab. Dia
mempunyai prinsip apapun pekerjaan kita dan kita bisa ramah dengan
orang lain dan lingkungan maka kita akan balik mendapatkan itu. “MB”

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


tidak mempunyai sifat pendendam walaupun kadang merasakan konflik
tapi tidak dimasukkan ke dalam hati. Pernah suatu ketika dia pulang
mengamen dia dipalak oleh waria lain, dan setengah dari pengahsilannya
diambil olrh waria lain. Kehidupan jalanan memang sangat bebas, untuk
itu dia harus pintar mengatur ajakan teman-temannya yang kira-kira baik
untuk dirinya atau tidak. Banyak waria yang sebelum mengamen dia harus
meminum minuman keras terlebih dahulu itu dikarenakan waria tersebut
tidak siap dengan keadaan dan pekerjaannya sebagai waria yang
mengamen. Ada juga waria yang memang sengaja untuk mangkal dan
menggoda laki-laki lain. Namun “MB” bukanlah waria yang seperti itu,
dia baik-baik saja dan ramah apabila tidak dikasih recehan saat mengamen
itu sudah biasa dan memang itu salah satu resiko pahit dalam mengamen,
tapi tidak menutup kemungkinan juga banyak para pengunjung yang
meberikan recehannya untuk lagu yang diberikan “MB”. Pada saat
mengamen apabila ada orang yang sudah di datangi sdan sudah
memberikan beberapa keping receh maka dia tidak akan mendatangi untuk
kedua kalinya karena menurut dia sudah cukup dan setidaknya mereka
sudah menghargai dalam meberikan recehannya. Selama menjadi waria,
dia pernah tertangkap razia di depan taman dago, kemudain dia diberi
nasehat agar tidak menjadi pengamen dan waria. Dalam penertiban jalanan
“MB” didata dan ditanya alasan dia masih berada dijalanan sebagai
seorang waria yang mengamen. Lalu dia di tawarkan apabila dia berhenti
menjadi waria dan pengamen “MB” akan mendapatkan uang sebesar lima
puluh ribu per hari. Namun “MB” menolak karena kembali lagi ke
permasalahan penghasilan yang didapat pada ssat mengamen lebih besar
dari pada tawaran yang diberika oleh wali kota Bandung, Ridwan Kamil.
Keinginan “MB” apabila disuruh untuk berhenti bekerja sebagai
pengamen, Ridwan Kamil atau pemerintah harus memberikan modal
sebesar dua puluh juta untuk modal dia membuka salon kecantikan dan
membeli peralatan salon yang relatif mahal. Dulu sempat terpikir dalam

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


benak dia untuk berjualan kupat tahu, namun tidak tersampaikan karena
sepertinya hasil yang didapatkan tidak memuaskan.
“MB” merupakan waria dan pengamen yang bekerja sendiri tidak
dengan cara bergerombol dengan waria-waria yang lainnya. Alasan dia
tidak bergerombol dengan teman-temannya karena dia merasa sudah
nyaman dalam mengamen sendiri. Kami juga mendapatkan informasi
mengenai kehidupan jalanan seorang waria. Ternyata waria yang berada di
jalanan tidak semuanya sama, artinya waria-waria tersebut dikelompokkan
ke dalam beberapa kelompok seperti waria yang mengamen sendiri tanpa
teman, waria yang mengamen secara bergerombol, dan waria yang
memang khusus mangkal dan lebih condong ke perilaku homo seksual.
“MB” sendiri merupakan salah satu waria dengan kriteria waria yang
mengamen seorangan dan biasanya alasan utamanya yaitu karena masalah
atau desakan faktor ekonomi yang menyebabkan dirinya menjadi seorang
waria. Namun “MB” mengatakan bahwa dirinya berbeda dengan waria
yang lain apabila waktu mengamen tidak dikasih recehan dan mengamuk.
Berbeda dengan waria yang mengamen secara bergerombol, mereka
biasanya mempunyai kebiasaan yang buruk yaitu meminum minuman
keras terlebih dahulu sebelum mengamen. Hal tersebut dilakukan yang
pertama karena mereka sebenarnya tidak siap dengan keadaan mereka
yang mengharuskan mengamen dengan keadaan sebagai seorang waria,
yang ke dua yaitu sebagai senjata dalam mengamen karena apabila mereka
mengamen dalam keadaan mabuk maka orang yang dituju mengamen akan
ketakutan dengan keadaan mereka dan pasti akan memberikan beberapa
recehan kepada mereka. Sedangkan waria yang biasanya mangkal disuatu
tempat mereka lebih condong perilakunya ke homo seksual, mereka
menjajakan dirinya dengan kaum sesamanya.
Mengenai permasalahan tempat dan kawasan, biasanya sebagian
besar waria dari kriteria yang telah disebutkan mempunyai kawasan atau
daerah kekuasaan para waria ketika mengamen, seperti di daerah SMA 35
disana khusus untuk waria yang memang utuk mangkal. Namun “MB”

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


sendiri mengaku bahwa dia bukanlah tipe waria yang mempunyai daerah
kekuasaan untuk mengamen. Dia mengamen memang selalu di lapangan
gasibu namun bukan berarti dia berkuasa di lapangan gasibu. Ketika ada
waria lain yang mengamen di lapangan gasibu silahkan saja karena mereka
sama-sama mencari penghasilan dan saling berbagi, karena rejeki itu
Tuhan yang mengatur, tandasnya.
Kehidupan jalanan memang sangat membahayakan dan harus
selalu mempunyai kontrol diri, seperti yang terjadi pada gerombolan waria
yang mengamen namun berbeda dengan “MB” dia memang mengakui
bahwa dia juga kadang minum minuman keras tetapi dia masih
mempunyai kontrol diri dan porsi dalam meminum minuman keras
sehingga tidak mabuk. Selain itu hubungan “MB” dengan orang-orang
yang berada di lapangan gasibu cukup ramah dan akrab seperti dengan
pengaman, pedagang kaki lima, pedagang asongan, dan bahkan para
pengunjung lapangan gasibu. Tidak semua waria mau menceritakan
identidas diri yang sebenarnya hanya beberapa waria saja. “MB”
merupakan salah satu waria yang bersifat terbuka dan mau untuk
membuka dan berbagi mengenai identitas diri “MB” yang sebenarnya
bahkan nama aslinya. Namun berbeda dengan waria lain yang selalu
menutupi nama atau identitas diri yang sebenarnya karena mereka merasa
malu. Biasanya dia sebut dengan nama samarannya sebagai seorang waria.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


BAB IV

KESIMPULAN

Bahwa engagemen, intake/kontak, contract, dan assessment menurut teori


sesuai dengan praktek di lapangan. Pada tahap engagemen dimana saya sebagai
calon pekerja sosial mulai berorientasi terhadap permasalahan yang saya tangani
yaitu fokusnya pada waria. Dalam menjalin hubngan dengan klien, saya
menggunakan teknik dalam teori engagement yaitu “Reaching out effort by
worker” dengan cara mencari klien. Saya mencari klien tepatnya di lapangan
gasibu, Bandung.

Intake yang dijelaskan pada teori tahap-tahap pertolongan dalam pekerjaan


sosial yang intinya lebih mengarah dengan basa-basi yang nantinya akan
menjadikan pengambilan kontrak lebih produktif dan berlanjut memang sesuai
dengan tujuan yang dilakukan ketika saya berada di lapangan praktek sebagai
calon pekerjaan sosial yang nantinya akan menjadikan kenyamanan ke tahap
berikutnya yaitu kontrak dan asesmen.

Melalui tahap selanjutnya yaitu kontrak yang dapat dilakukan dengan cara
kontrak atau perjanjian tertulis ataupun perjanjian tidak tertulis untuk dapat
mengadakan hubungan lagi dengan klien apabila dalam tahap-tahap selanjutnya
pekerja sosial perlu melengkapi data yang kurang lengkap. Dalam hal ini saya
menggunakan salah satu kontrak yaitu kontrak tidak tertulis karena tidak semua
klien dapat diajak untuk menggunakan kontrak tertulis. Selain itu pada tahap
kontrak ini saya menggunakan cara mencari klien, apabila menggunakan kontrak
tertulis takutnya klien akan merasa takut karena tiba-tiba harus menandatangani
kontrak karena situasi dan kondisi yang baru beberapa hari berlangsung. Jadi
kegunaan kontrak tidak langsung dalam teori tahap-tahap pertolongan dalam
pekerjaan sosial sesuai dengan apa yang ada pada praktek lapangan.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


Asesmen merupakan tahap pengungkapan masalah oleh klien kepada
pekerja sosial. Bahwa dalam praktek di lapangan memang sesuai dengan apa yang
telah dijelaskan pada teori asesmen pada tahap-tahap pertolongan pekerjaan
sosial. Klien dalam mengungkapkan permasalahannya sangat terbuka dan dapat
diambil kesimpulan atau dasar permasalahnnya yaitu karena faktor ekonomi yang
rendah yang mengakibatkan klien menjadi seorang waria yang mengamen. Maka
diperlukanlah suatu kerangka intervensi seperti pemberian saran program terhadap
klien.

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E


DAFTAR PUSTAKA

Modul “Engagement, Intake, Contract, dan Assessment” angkatan 2012/2013

Modul “Tahap-tahap Pertolongan dalam Praktek Pekerjaan Sosial”, Dorang


Luhpuri, S. IP, Ph. D

Meode dan Praktek Pekerjaan Sosial – 2E

Anda mungkin juga menyukai