Anda di halaman 1dari 63

DIKTAT KULIAH

ASSESMEN PSIKOLOGI TEKNIK NON


TES

OLEH
ESTY ARYANI
SAFITHRY, M.Psi,Psy

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
BAB I

KONSEP EVALUASI, ASESMEN, TES, DAN PENGUKURAN

A. PENDAHULUAN
Selain dari istilah evaluasi (evaluation) dan asesmen (assessment) dikenal pula
beberapa istilah lainnya yaitu pengukuran (measurement), tes (test) dan testing. Diantara
ketiga istilah tersebut, tes merupakan istilah yang paling akrab dengan guru. Hal tersebut
disebabkan karena Tes prestasi belajar (Achievement test) seringkali dijadikan sebagai satu-
satunya alat untuk menilai hasil belajarsiswa. Padahal tes sebenarnya hanya merupakan
salah satu alat ukur hasil belajar. Tes prestasi belajar (Achievement test) seringkali
dipertukarkan pemakaiannya oleh guru dengan konsep pengukuran hasil belajar
(measurement). Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk memperkenalkan kepada guru
tentang pengertian dan esensi tentang konsep evaluasi, asesmen, tes dan pengukuran yang
sesungguhnya. Diantara peristilahan tersebut, Asesmenmerupakan istilah yang belum
dikenal secara umum. Para guru seringkali salah dalam menafsirkan makna asesmen yang
sesungguhnya. Istilah asesmen perlu diperkenalkan kepada guru. Hal ini disebabkan karena
asesmen telah menjadi khazanah peristilahan dalam dunia pendidikan kita. Selain dari itu,
pemahaman tentang asesmen juga dapat mendukung keberhasilan guru dalam
melaksanakan praktek penilaian pembelajaran di kelas

B. PENGERTIAN ASESMEN
Istilah asesmen (assessment) diartikan oleh Stiggins sebagai penilaian proses,
kemajuan, dan hasil belajar siswa (outcomes). Sementara itu asesmen diartikan oleh
Kumano (2001) sebagai “ The process of Collecting data which shows the development of
learning”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asesmen merupakan istilah yang
tepat untuk penilaian proses belajar siswa. Namun meskipun proses belajar siswa
merupakan hal penting yang dinilai dalam asesmen, faktor hasil belajar juga tetap tidak
dikesampingkan.
Gabel (1993) mengkategorikan asesmen ke dalam kedua kelompok besar yaitu asesmen
tradisional dan asesmen alternatif. Asesmen yang tergolong tradisional adalah tes benar-
salah, tes pilihan ganda, tes melengkapi, dan tes jawaban terbatas. Sementara itu yang
tergolong ke dalam asesmen alternatif (non-tes) adalah essay/uraian, penilaian praktek,
penilaian proyek, kuesioner, inventori, daftar Cek, penilaian oleh teman sebaya/sejawat,
penilaian diri (self assessment), portofolio, observasi, diskusi dan interviu (wawancara).

C. PENGERTIAN TES
Tes (test) merupakan suatu alat penilaian dalam bentuk tulisan untuk mencatat atau
mengamati prestasi siswa yang sejalan dengan target penilaian. Jawaban yang diharapkan
dalam tes menurut Sudjana dan Ibrahim (2001) dapat secara tertulis, lisan, atau perbuatan.
Menurut Zainul dan Nasution (2001) tes didefinisikan sebagai pertanyaan atau tugas atau
seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang suatu atribut
pendidikan atau suatu atribut psikologis tertentu. Setiap butir pertanyaan atau tugas
tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Dengan demikian
apabila suatu tugas atau pertanyaan menuntut harus dikerjakan oleh seseorang, tetapi tidak
ada jawaban atau cara pengerjaan yang benar dan salah maka tugas atau pertanyaan
tersebut bukanlah tes. Tes merupakan salah satu upaya pengukuran terencana yang
digunakan oleh guru untuk mencoba menciptakan kesempatan bagi siswa dalam
memperlihatkan prestasi mereka yang berkaitan dengan tujuan yang telah ditentukan. Tes
terdiri atas sejumlah soal yang harus dikerjakan siswa. Setiap soal dalam tes menghadapkan
siswa pada suatu tugas dan menyediakan kondisi bagi siswa untuk menanggapi tugas atau
soal tersebut.
Tes menurut Arikunto dan Jabar (2004) merupakan alat atau prosedur yang digunakan
untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dengan menggunakan cara atau aturan yang
telah ditentukan. Dalam hal ini harus dibedakan pengertian antara tes, testing, testee,
tester. Testing adalah saat pada waktu tes tersebut dilaksanakan (saat pengambilan tes).
Sementara itu Gabel (1993) menyatakan bahwa testing menunjukkan proses pelaksanaan
tes. Testee adalah responden yang mengerjakan tes. Mereka inilah yang akan dinilai atau
diukur kemampuannya. Sedangkan Tester adalah seseorang yang diserahi tugas untuk
melaksanakan pengambilan tes kepada responden.
D. PENGERTIAN PENGUKURAN
Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement) adalah
suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan
informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru menaksir
prestasi siswa dengan membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati
kinerja mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan menggunakan indera mereka
seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut Zainul dan
Nasution (2001) pengukuran memiliki dua karakteristik utama yaitu: 1) penggunaan angka
atau skala tertentu; 2) menurut suatu aturan atau formula tertentu.
Measurement (pengukuran) merupakan proses yang mendeskripsikan performance siswa
dengan menggunakan suatu skala kuantitatif (system angka) sedemikian rupa sehingga sifat
kualitatif dari performance siswa tersebut dinyatakan dengan angka-angka (Alwasilah et
al.1996). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat yang menyatakan bahwa
pengukuran merupakan pemberian angka terhadap suatu atribut atau karakter tertentu
yang dimiliki oleh seseorang, atau suatu obyek tertentu yang mengacu pada aturan dan
formulasi yang jelas. Aturan atau formulasi tersebut harus disepakati secara umum oleh
para ahli (Zainul & Nasution, 2001). Dengan demikian, pengukuran dalam bidang pendidikan
berarti mengukur atribut atau karakteristik peserta didik tertentu. Dalam hal ini yang diukur
bukan peserta didik tersebut, akan tetapi karakteristik atau atributnya. Senada dengan
pendapat tersebut, Secara lebih ringkas, Arikunto dan Jabar (2004) menyatakan pengertian
pengukuran (measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan
ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif.

E. PENGERTIAN EVALUASI
Evaluasi menurut Kumano (2001) merupakan penilaian terhadap data yang
dikumpulkan melalui kegiatan asesmen. Sementara itu menurut Calongesi (1995) evaluasi
adalah suatu keputusan tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran. Sejalan dengan
pengertian tersebut, Zainul dan Nasution (2001) menyatakan bahwa evaluasi dapat
dinyatakan sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi
yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes
maupun non tes. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah pemberian nilai
terhadap kualitas sesuatu. Selain dari itu, evaluasi juga dapat dipandang sebagai proses
merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk
membuat alternatif-alternatif keputusan. Dengan demikian, Evaluasi merupakan suatu
proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauhmana
tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa (Purwanto, 2002).
Cronbach menyatakan bahwa evaluasi merupakan pemeriksaan yang sistematis
terhadap segala peristiwa yang terjadi sebagai akibat dilaksanakannya suatu program.
Sementara itu Arikunto (2003) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah serangkaian kegiatan
yang ditujukan untuk mengukur keberhasilan program pendidikan. Tayibnapis (2000) dalam
hal ini lebih meninjau pengertian evaluasi program dalam konteks tujuan yaitu sebagai
proses menilai sampai sejauhmana tujuan pendidikan dapat dicapai. Berdasarkan tujuannya,
terdapat pengertian evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi formatif dinyatakan
sebagai upaya untuk memperoleh feedback perbaikan program, sementara itu evaluasi
sumatif merupakan upaya menilai manfaat program dan mengambil keputusan

F. PERSAMAAN, PERBEDAAN, DAN HUBUNGAN TES, PENGUKURAN, ASESMEN


DAN EVALUASI
1. Persamaan dan perbedaan asesmen dan evaluasi
Rustaman (2003) mengungkapkan bahwa asesmen lebih ditekankan pada penilaian
proses. Sementara itu evaluasi lebih ditekankan pada hasil belajar. Apabila dilihat dari
keberpihakannya, menurut Stiggins (1993) asesmen lebih berpihak kepada kepentingan
siswa. Siswa dalam hal ini menggunakan hasil asesmen untuk merefleksikan kekuatan,
kelemahan, dan perbaikan belajar. Sementara itu evaluasi menurut Rustaman (2003) lebih
berpihak kepada kepentingan evaluator. Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa
terdapat perbedaan antara evaluasi dengan asesmen. Evaluasi (evaluation) merupakan
penilaian program pendidikan secara menyeluruh. Evaluasi pendidikan lebih bersifat makro,
meluas, dan menyeluruh. Evaluasi program menelaah komponen-komponen yang saling
berkaitan tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Sementara itu asesmen
merupakan penilaian dalam scope yang lebih sempit (lebih mikro) bila dibandingkan dengan
evaluasi. Seperti dikemukakan oleh Kumano (2001) asesmen hanya menyangkut kompetensi
siswa dan perbaikan program pembelajaran. Evaluasi dinyatakan menggunakan kriteria dan
metode yang bervariasi. Asesmen dalam hal ini hanya merupakan salah satu dari metode
yang dipilih untuk evaluasi tersebut. Selain dari itu, subyek untuk asesmen hanya siswa,
sementara itu subyek evaluasi lebih luas dan beragam seperti siswa, guru, materi,
organisasi, dll.
2. Perbedaan Tes, Pengukuran dan Evaluasi
Pengukuran, Tes, dan evaluasi dalam pendidikan berperan dalam seleksi, penempatan,
diagnosa, remedial, umpan balik, memotivasi dan membimbing. Baik tes maupun
pengukuran keduanya terkait dan menjadi bagian istilah evaluasi. Meski begitu, terdapat
perbedaan makna antara mengukur dan mengevaluasi. Mengukur adalah membandingkan
sesuatu dengan satu ukuran tertentu. Dengan demikian pengukuran bersifat kuantitatif.
Sementara itu evaluasi adalah pengambilan suatu keputusan terhadap sesuatu dengan
ukuran baik-buruk Dengan demikian pengambilan keputusan tersebut lebih bersifat kualitatif
(Arikunto,2003; Zainul & Nasution, 2001).
Setiap butir pertanyaan atau tugas dalam tes harus selalu direncanakan dan mempunyai
jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Sementara itu tugas ataupun pertanyaan
dalam kegiatan pengukuran (measurement) tidak selalu memiliki jawaban atau cara
pengerjaan yang benar atau salah karena measurement dapat dilakukan melalui alat ukur
non-tes. Maka tugas atau pertanyaan tersebut bukanlah tes. Selain dari itu, tes
mengharuskan subyek untuk menjawab atau mengerjakan tugas, sementara itu pengukuran
(measurement) tidak selalu menuntut jawaban atau pengerjaan tugas.
3. Hubungan antara Asesmen, Evaluasi, Pengukuran dan Tes
Menurut Zainul & Nasution (2001) Hubungan antara tes, pengukuran, dan evaluasi
adalah sebagai berikut. Evaluasi belajar baru dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila
menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran yang menggunakan tes sebagai
alat ukurnya. Akan tetapi tentu saja tes hanya merupakan salah satu alat ukur yang dapat
digunakan karena informasi tentang hasil belajar tersebut dapat pula diperoleh tidak melalui
tes, misalnya menggunakan alat ukur non tes seperti observasi, skala rating, dan lain-lain.
Zainul dan Nasution (2001) menyatakan bahwa guru mengukur berbagai kemampuan siswa.
Apabila guru melangkah lebih jauh dalam menginterpretasikan skor sebagai hasil
pengukuran tersebut dengan menggunakan standar tertentu untuk menentukan nilai atas
dasar pertimbangan tertentu, maka kegiatan guru tersebut telah melangkah lebih jauh
menjadi evaluasi. Sementara itu Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa asesmen
merupakan bagian dari evaluasi. Apabila kita membicarakan tentang evaluasi, maka
asesmen sudah termasuk di dalamnya.

Tabel 1. Contoh Hubungan antara tes, non-tes, pengukuran, dan evaluasi

Tes Pengukuran Evaluasi

Soal: Seperangkat Soal/ Bu Yoan menghitung berapa


Bu Yoan menilai bahwa
tugas untuk mengamati jumlah kesalahan Fani dalam
kemampuan Fani dalam
obyek menggunakan menggunakan mikroskop (ia
menggunakan mikroskop
mikroskop dengan menghitung terjadi 3
masih kurang
prosedur yang benar kesalahan dari 5 tugas)

Pak Rama menghitung


Pak Rama memutuskan
Soal: 25 soal pilihan ganda bahwa Adit hanya dapat
bahwa Adit perlu
tentang gentika menjawab 5 soal dari 25 soal
mendapatkan remedial
tes biologi

Non – tes Pengukuran Evaluasi

Pak Danu memutuskan


Pak Danu menyaksikan
untuk menegur dan
Ajeng membuang sampah di
Soal/Tugas: Tidak ada (-) mengajari Ajeng tentang
wastafel lab sebanyak empat
cara membuang limbah
kali
praktikum

Soal/Tugas : Siswa ditugasi Bu Rita membandingkan Bu Rita menilai bahwa


oleh Bu Rita untuk laporan praktikum yang kemampuan Hafis sangat

menyusun laporan pasca dibuat Hafis dengan standar baik dalam menyusun

kegiatan praktikum fisika kriteria dan menghitung total laporan praktikum yang

skor yang diperoleh. ideal

Diperoleh skor maksimal 85


BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN PENGUKURAN PSIKOLOGIS

A. PENDAHULUAN
Pengukuran adalah bagian esensial kegiatan keilmuan. Psikologi sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang relative lebih muda harus banyak berbuat dalam hal pengukuran ini agar
eksistensinya, baik dilihat dari segi teori maupun aplikasi makin mantap. Ilmu pengukuran
(measurement) merupakan cabang dari ilmu statistika terapan yang bertujuan membangun
dasar-dasar pengembangan tes yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan tes yang
berfungsi secara optimal, valid, dan reliable. Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian
angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau variable sepanjang suatu kontinum.
Pengukuran itu sendiri, dapat didefinisikan sebagai berikut.
 measurement is the assignment of numerals to object or events according to rules
(Steven, 1946).
 measurement is rules for assigning numbers to objects in such a way as to represent
quantities of attributes (Nunnaly, 1970).
Sedangkan pengukuran psikologi merupakan pengukuran dengan obyek psikologis
tertentu. Objek pengukuran psikologi disebut sebagai psychological attributes atau
psychological traits,
yaitu ciri yang mewarnai atau melandasi perilaku.
Perilaku sendiri merupakan ungkapan atau ekspresi dari ciri tersebut, yang dapat
diobservasi. Namun tidak semua hal yang psikologis dapat diobservasi. Oleh karena itu
dibutuhkan indikator-indikator yang memberikan tanda tentang derajat perilaku yang diukur.
Agar indikator-indikator tersebut dapat didefinisikan dengan lebih tepat, dibutuhkan
psychological attributes / traits yang disebut konstruk (construct). Konstruk adalah konsep
hipotesis yang digunakan oleh para ahli yang berusaha membangun teori untuk
menjelaskan tingkah laku.
Indikator dari suatu konstruk psikologis diperoleh melalui berbagai sumber seperti hasil-
hasil penelitian, teori, observasi, wawancara, elisitasi [terutama untuk konstruk
sikap]; lalu dinyatakan dalam definisi operasional. Kegiatan pengukuran psikologis sering
disebut juga tes. Tes adalah kegiatan mengamati atau mengumpulkan sampel tingkah laku
yang dimiliki individu secara sistematis dan terstandar. Disebut “sampel tingkah laku”,
karena tes hanya mendapatkan data pada waktu tertentu serta dalam kondisi dan konteks
tertentu. Artinya, pada saat tes berlangsung, diharapkan data yang diperoleh merupakan
representasi dari tingkah laku yang diukur secara keseluruhan.
Konsekuensi dari pemahaman ini antara lain:
 terkadang hasil tes tidak menggambarkan kondisi pisikologis individu [yang diukur]
yang sebenarnya;
 hasil tes sangat dipengaruhi oleh faktor situasional seperti kecemasan akan suasana tes
itu sendiri, kesehatan, keberadaan lingkungan fisik [mis. ramai, panas dan sebagainya;
 hasil tes yang diambil pada suatu saat, belum tentu akan sama jika tes dilakukan lagi
pada beberapa waktu kemudian walaupun ini merupakan isu reliabililtas;
 hasil tes belum tentu menggambarkan kondisi psikologis individu dalam segala konteks.

Pada dasarnya tes terdiri dari dua jenis, yaitu:


 Optimal Performance test: melihat kemampuan optimal individu
 Typical Performance test: memuat perasaan, sikap, minat, atau reaksi-reaksi situasional
individu. Tes ini sering disebut sebagai inventory test.

B. SEJARAH PENGUKURAN PSIKOLOGI


Pada awalnya, pengukuran psikologi umumnya di pengaruhi oleh ilmu fisiologi dan fisika.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika pengukuran dalam ilmu ini mempengaruhi juga
pengukuran dalam psikologi. Karya-karya tokoh dalam bidang psikofisika umumnya mencari
hokum-hukum umum (generalisasi). Baru kemudian, terutama karena pengaruh Galton,
gerakan “testing” yang mengutamakan ciri-ciri individual menjadi berkembang.

1. Kontribusi Psikofisika
Psikofisika dianggap suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kuantitatif
antara kejadian-kejadian fisik dan kejadian-kejadian psikologis. Dalam arti luas yang
dipelajari adalah hubungan antara stimulus dan respon. Seperti telah disebutkan di atas
upaya mereka adalah untuk menemukan hokum-hukum umum, seperti misalnya hokum
Weber dan Fechner tentang nisbah pertambahan perangsang menimbulkan pertambahan
respon (sensasi).
Dalam psikofisika modern, kontribusi Thurstone mengenai “low of comparative judgment”
merupakan model yang sangat berharga bagi pengembangan skala-sakala psikologi yang
lebih kemudian. Aplikasinya langsung adalah penerapan metode perbandingan-pasangan
(paired-comparison).
2. Kontribusi Francis Galton
Sir Francis Galton adalah seorang ahli biologi yang berminat pada factor hereditas
manusia. Dia meneliti dan ingin mengetahui secara luas kesamaan orang-orang dalam satu
keluarga, dan perbedaan orang-orang yang tidak satu keluarga. Untuk itu, dia mendirikan
laboratorium antropometri guna melakukan pengukuran cirri-ciri fisiologis, misalnya
ketajaman pendengaran, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, waktu reaki dan lain-lain
fungsi sensorimotor yang sederhana, serta fungsi kinestetik. Galton yakin bahwa ketajaman
sensoris bersangkutan dengan kemampuan intelektual orang. Galton juga merintis
penerapan metode “rating” dan kuesioner. Kontribusi Galton yang lain adalah upayanya
mengembangkan metode-metode statistic guna menganalisis data mengenai perbedaan-
perbedaan individual. Upaya ini dilanjutkan oleh murid-muridnya di antara mereka itu
kemudian menjadi sangat terkenal adalah Karl Pearson.
3. Awal Gerakan Testing Psikologi
Orang yang dianggap mempunyai kontribusi pening dalam gerakan testing psikologi
adalah seorang ahli psikologi Amerika, James McKeen Cattell. Disertasinya du Universitas
Leipzig mengenai perbedaan individual dalam waktu reaksi. Dia sempat kontak dengan
Galton sehingga minatnya terhadap perbedaan individual semakin kuat. Dia sependapat
dengan Galton bahwa ukuran fungsi intelektual dapat dicapai melalui tes diskriminasi
sensoris dan waktu reaksi. Tes yang dikembangkan di Eropa pada akhir abad XIX cenderung
meliputi fungsi yang lebih kompleks. Salah satu contohnya adalah tes Kraepelin. Tes
Kraepelin berupa penggunaan operasi-operasi arithmatik yang sederhana dirancang untuk
mengukur pengaruh latihan, ingatan dan kerentanan terhadap kelelahan dan distraksi.
Awalnya tes ini dirancang untuk mengukur karakteristik pasien-pasien psikiatris. Oehr,
mahasiswa kraepelin, menyusun tes persepsi, ingatan, asosiasi dan fungsi motorik guna
meneliti interrelasi fungsi-fungsi psikologis. Ebbinghaus mengembangkan tes komputasi
aritmatik, luas ingatan, dan pelengkapan kalimat.
Dalam pada itu, di Prancis, Binet dan Henri mengajukan kritik terhadap tes yang ada
dewasa itu terlalu sensoris, berkonsentrasi pada kemampuan khusus. Mereka menyatakan
bahwa dalam pengukuran fungsi-fungsi yang lebih kompleks, presisi kurang perlu karena
perbedaan individual dalam fungsi yang lebih besar. Yang perlukan adalah tes yang
mengukur fungsi yang lebih luas, seperti ingatan, imajinasi, perhatian, pemahaman,
kerentanan terhadap sugesti, apresiasi estetik, dan lain-lain. Gagasan inilah yang akhirnya
menuntun dikembangkannya tes Binet, yang kemudian menjadi sangat terkenal.
4. Binet dan tes intelegensi
Seperti penjelasan diatas, Binet menyusun alat tes. Tes yang disusun oleh Binet dan
Simon tahun 1905 disebut menghasilkan skala Binet-Simon. Skala ini terkenal dengan nama
skala 1905. Skala ini pada awalnya untuk mengukur dan mengidentifikasi anak-anak yang
terbelakang agar mereka mendapatkan pendidikan yang memadai. Skala ini terdiri dari 30
soal disusun dari yang paling mudah ke yang paling sukar.
Pada skala versi kedua tahun 1908, jumlah soal ditambah. Soal-soal itu dikelomokkan
menurut jenajng umur berdasar atas kinerja 300 orang anak normal berumur 3 sampai 13
tahun. Skor seorang anak pada seluruh perangkat tes dapat dinyatakan sebagai jenjang
mental (mental level) sesuai dengan umur normal yang setara dengan kinerja anak yang
bersangkutan. Dalam berbagai adaptasi dan terjemahan istilah jenjang mental diganti
dengan umur mental (mental age), dan istilah inilah yang kemudian menjadi popular.
Revisi skala ketiga skala Binet-Simon diterbitkan tahun 1911, beberapa bulan setelah
Binet meninggal mendadak. Pada tahun 1912, dalam Kongres Psikologi Internasional di
Genewa, William Stern, seorang ahli psikologi Jerman, mengusulkan konsep koefisien
Intelegensi yaitu IQ = MA/CA. Konsep ini yang dipakai dalam skala Binet yang direvisi di
Universitas Stanford, yang terkenal dengan nama Skala Stanford-Binet yang diterbitkan
tahun 1916, kemudian revisinya tahun 1937 dan revisi selanjutnya tahun 1960. Skala
Stanford-Binet inilah yang selanjutnya diadaptasikan kedalam berbagai bahasa dan
digunakan secara luas dimana-mana. Kecuali itu skalaStanford-Binet juga menjadi model
Pengembangan berbagai tes intelegensi lain.
5. Testing Kelompok
Tes Binet yang dijelaskan diatas adalah merupakan tes individual, artinya tes yang harus
diberikan per orang. Karena kebutuhan yang makin mendesak, maka dikembangkanlah tes
kelompok. Hal ini di latar belakangi pada saat perang dunia I, kebutuhan akan tes kelompok
ini sangat dibutuhkan untuk tes calon tentara. Maka, komite psikologi yang diketuai Robert
M. Yankes, menyusun instrument yang dapat mengklasifikasi individu tetapi diberikan secara
kelompok. Dalam konteks semacam ini, tes intelgensi kelompok yang pertama
dikembangkan. Di dlam tugas ini para ahli psikologi militer menghimpun semua tes yang
ada, terutama tes intelegensi kelompok kaya Otis yang belum dipublikasikan. Tes itu di
susun Otis waktu dia menjadi mahasiswa Terman di Stanford. Dalam karya Otis itulah
format pilihan ganda dan lain- lain format tes objektif mulai digunakan.
Tes yang dikembangkan oleh ahli psikologi dalam militer itu kemudian terkenal dengan
nama Army Alpha dan Army Beta. Setelah perang berakhir maka tes-tes tersebut dilepaskan
untuk umum. Dan ini lalu mendorong pengembangan dan penggunaan tes kelompok secara
luas. Karena optimisme yang berlebihan, maka penggunaan tes kelompok itu seringkali
didasarkan pada sikap naïf, dan ini ternyata merugikan perkembangan testing psikologi.
6. Pengukuran Potensial Intelektual
Walaupun tes intelegensi dirancang untuk fungsi-fungsi intelektual yang luas ragamnya
guna mengestimasikan taraf intelektual umum individu, namun segera nyata bahwa liputan
tes intelegensi itu sangat terbatas. Tidak semua fungsi penting tercakup. Dalam
kenyataannya kebanyakan tes intelegensi terutama mengukur kemampuan verbal, dan
dalam kada lebih sedikit kemampuan menangani relasi-relasi numeric, simbolik dan abstrak.
Didalam praktek diperlukan instrument yang dapat mengukur kemampuan-keampuan
khusus, misalnya kemampuan mekanik, kemampuan klrikal, bahkan bakat music. Karena
desakan kebutuhan praktis dalam berbagai bidang misalnya dalam bidang bimbingan dan
konseling, dalam pemilihan program studi, dalam penempatan karyawan, dalam analisis
klinis, dan sebagainya, maka upaya pengembangan tes potensial individu khusus itu
dilakukan. Dalam pada itu dapat dimamfaatkannya metode analisis factor mempercepat laju
upaya ini. Hal lain yang perlu dicatat adalah kontribusi pada psikolog militer Amerika selama
Perang Dunia II. Kebanyakan penelitian di kalangan militer didasarkan pada analisis factor
dan diarahkan kepada
pengembangan multiple aptitude test batteries.
7. Tes Hasil Belajar
Pada waktu para ahli psikolog sibuk mengembangkan tes intelegensi dan tes potensial
khusus, ujian-ujian tradisional di sekolah-sekolah mengalami perbaikan teknis. Terjadi
pergeseran dari bentuk esai ke ujian tes objektif. Pelopor perubahan ini adalah penerbitan
The Achievement Test pada tahun 1923. Dengan tes ini dapat dibuat perbandingan
beberapa sekolah pada sejumlah mata pelajaran dengan menggunakan satu norma.
Karakteristik yang demikian itu merupakan penerapan tes hasil belajar baku yang berlaku
sampai sekarang.
8. Tes Proyektif
Pada awal abad XX kelompok psikiater dan psikolog yang berlatar belakang Psikologi
Dalam di Eropa berupaya mengembangkan instrument yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan isi batin yang tidak disadari. Seperti telah diketahui, bahwa dalam Psikologi
Dalam (terutama aliran Freudian dan Jungian) ada kelompok proyeksi sebagai salah satu
bentuk mekanisme pertahanan. Dalam mekanisme pertahanan individu secara tidak sengaja
menempatkan isi batin sendiri pada objek di luar dirinya dan menghayatinya sebagai
karakteristik objek yang diluar dirinya itu. Berdasar atas konsep inilah tes proyeksi itu
disusun.
Pelopor upaya ini adalah Herman Rorschach, seorang psikiater dari Swiss. Selama 10
tahun (1912 – 1922) Herman Rorschach mencobakan sejumlah besar gambar-gambar tak
berstruktur untuk mengungkapkan isi batin tertekan pada pasiens-pasiennya. Dari sejumlah
besar gambar-gambar tersebut akhirnya dipilih 10 gambar yang dibakukan, dan perangkat
inilah yang kemudian terkenal dengan nama Tes Rorschach. Setelah itu sejumlah upaya
dilakukan untuk mengembangkan tes proyektif yang lain, dan hasilnya antara lain Holtzman
Inkbold Technique, Themaatic Apperception Test, Tes Rumah Pohon dan Orang, Tes Szondi,
dan yang sejenisnya.
BAB III

ASSESMEN DALAM BK

A. PENDAHULUAN
Asesmen merupakan salah satu kegiatan pengukuran. Dalam konteks bimbingan
konseling, asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling yang harus dilakukan konselor
sebelum, selama, dan setelah konseling tersebut dilaksanakan/ berlangsung. Asesmen
merupakan salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling
(baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah asesmen dalam
bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses terapi maupun
semua kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri. Asesmen dilakukan untuk menggali
dinamika dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal ini sesuai dengan
tujuan asesmen dalam bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang
memungkinkan bagi konselor untuk menentukan masalah dan memahami latar belakang
serta situasi yang ada pada masalah klien. Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan
setelah konseling berlangsung dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi klien. Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan
sebagai alat untuk menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat digunakan
sebagai sebuah terapi untuk menyelesaikan masalah klien.
Asesmen merupakan kegiatan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan/
kompetensi yang dimiliki oleh klien dalam memecahkan masalah. Asesmen yang
dikembangkan adalah asesmen yang baku dan meliputi beberapa aspek yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor dalam kompetensi dengan menggunakan indikator-indikator yang
ditetapkan dan dikembangkan oleh Guru BK/ Konselor sekolah. Asesmen yang diberikan
kepada klien merupakan pengembangan dari area kompetensi dasar pada diri klien yang
akan dinilai, yang kemudian akan dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator. Pada
umumnya asesmen bimbingan konseling dapat dilakukan dalam bentuk laporan diri,
performance test, tes psikologis, observasi, wawancara, dan sebagainya.
Dalam pelaksanaannya, asesmen merupakan hal yang penting dan harus dilakukan
dengan berhati-hati sesuai dengan kaidahnya. Kesalahan dalam mengidentifikasi masalah
karena asesmen yang tidak memadai akan menyebabkan tritmen gagal; atau bahkan dapat
memicu munculnya konsekuensi dari tritmen yang merugikan diri klien. Meskipun menjadi
dasar dalam melakukan tritmen pada klien, tidak berarti konselor harus menilai (to assess)
semua latar belakang dan situasi yang dihadapi klien pada saat itu jika tidak perlu.
Kadangkala konselor menemukan bahwa ternyata “hidup” klien sangat menarik. Namun
demikian tidaklah efisien dan tidak etis untuk menggali semuanya selama hal tersebut tidak
relevan dengan tritmen yang diberikan untuk mengatasi masalah klien. Karena itu, setiap
guru pembimbing/ konselor perlu berpegang pada pedoman pertanyaan sebelum melakukan
asesmen; yaitu “Apa saja yang perlu kuketahui mengenai klien?”. Hal itu berkaitan dengan
apa saja yang relevan untuk mengembangkan intervensi atau tritmen yang efektif, efisien,
dan berlangsung lama bagi klien.
Hood & Johnson menjelaskan ada beberapa fungsi asesmen, diantaranya adalah
untuk:
1. Menstimulasi klien maupun konselor mengenai berbagai isu permasalahan
2. Menjelaskan masalah yang senyatanya
3. Memberi alternatif solusi untuk masalah
4. Menyediakan metode untuk memperbandingkan alternatif sehingga dapat diambil
keputusan
5. Memungkinkan evaluasi efektivitas konseling
Selain itu, asesmen juga diperlukan untuk memperoleh informasi yang membedakan
antara apa ini (what is) dengan apa yang diinginkan (what is desired) sesuai dengan
kebutuhan dan hasil konseling.
Asesmen memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan perencanaan dan
pelaksanaan model-model pendekatan konseling. Jika kedua komponen tersebut didesain
dengan pendekatan “client centered” atau “bottom up”, asesmen akan mengarah pada
inovasi. Hal ini memiliki makna bahwa asesmen tidak hanya berorientasi pada hasil/ produk
akhir, tetapi justru akan lebih terfokus pada proses konseling, yaitu mulai dari membuka
konseling sampai dengan mengakhiri konseling; atau setidak-tidaknya akan ada
keseimbangan antara proses konseling dengan hasil konseling. Dengan demikian asesmen
akan benar-benar bisa memenuhi kriteria objektivitas dan keadilan, sehingga keputusan
yang akan diambil oleh klien dapat benar-benar sesuai dengan kemampuan diri klien itu
sendiri.
Asesmen yang tidak dilakukan secara objektif, akan berpengaruh pada pelayanan
konseling oleh konselor sekolah/ Guru BK. Hal ini akan berakibat tidak baik pada diri klien,
bahkan terhadap konselor itu sendiri untuk jangka panjang maupun jangka pendek.
Asesmen dalam bimbingan dan konseling adalah asesmen yang berbasis individu dan
berkelanjutan. Semua indikator bukan diukur dengan soal seperti dalam pembelajaran,
tetapi diukur secara kualitatif, kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui kemampuan
klien dalam mengambil keputusan pada akhir konseling, dalam melaksanakan keputusan
setelah konseling, serta melihat kendala/ masalah yang dihadapi klien dalam proses
konseling maupun kendala dalam melaksanakan keputusan yang telah ditetapkannya.
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ruang lingkup dalam asesmen (assesment
need areas) dalam bimbingan dan konseling ada lima, yaitu:
1. Systems assessment, yaitu asesmen yang dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai status dari suatu sistem, yang membedakan antara apa ini (what is it) dengan
apa yang diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan hasil konseling; serta
tujuan yang sudah dituliskan/ ditetapkan atau outcome yang diharapkan dalam konseling.
2. Program planning, yaitu perencanaan program untuk memperoleh informasi-informasi
yang dapat digunakan untuk membuat keputusan dan untuk menyeleksi bagian–bagian
program yang efektif dalam pertemuan-pertemuan antara konselor dengan klien; untuk
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan khusus pada tahap pertama. Di sinilah muncul fungsi
evaluator dalam asesmen, yang memberikan informasi-informasi nyata yang potensial. Hal
inilah yang kemudian membuat asesmen menjadi efektif, yang dapat membuat klien
mampu membedakan latihan yang dilakukan pada saat konseling dan penerapannya di
kehidupan nyata dimana klien harus membuat suatu keputusan, atau memilih alternatif-
altenatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalahnya.
3. Program Implementation, yaitu bagaimana asesmen dilakukan untuk menilai
pelaksanaan program dengan memberikan informasi-informasi nyata; yang menjadikan
program-program tersebut dapat dinilai apakah sesuai dengan pedoman.
4. Program Improvement, dimana asesmen dapat digunakan dalam dalam perbaikan
program, yaitu yang berkenaan dengan: (a) evaluasi terhadap informasi-informasi yang
nyata, (b) tujuan yang akan dicapai dalam program, (c) program-progam yang berhasil,
dan (d) informasi-informasi yang mempengaruhi proses pelaksanaan program-program yang
lain.
5. Program certification, yang merupakan akhir kegiatan. Menurut Center for the
Study of Evaluation (CSE), program sertifikasi adalah suatu evaluasi sumatif, hal ini
memberikan makna bahwa pada akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi akhir sebagai
dasar untuk memberikan sertifikasi kepada klien. Dalam hal ini evaluator berfungsi pemberi
informasi mengenai hasil evaluasi yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan.

B. TUJUAN ASESMEN
Hood & Johnson (1993) menjelaskan bahwa asesmen dalam bimbingan dan konseling
mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Orientasi masalah, yaitu untuk membuat konselee mengenali dan menerima
permasalahan yang dihadapinya, tidak mengingkari bahwa ia bermasalah
2. Identifikasi masalah, yaitu membantu baik bagi konselee maupun konselor dalam
mengetahui masalah yang dihadapi konselee secara mendetil
3. Memilih alternatif solusi dari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang dapat
dilakukan oleh konselee
4. Pembuatan keputusan alternatif pemecahan masalah yang paling menguntungkan
dengan memperhatikan konsekuensi paling kecil dari beberapa alternatif tersebut
5. Verifikasi untuk menilai apakah konseling telah berjalan efektif dan telah mengurangi
beban masalah konselee atau belum
Selain itu, asesmen digunakan pula untuk menentukan variabel pengontrol dalam
permasalahan yang dihadapi konselee, untuk memilih/mengembangkan intervensi terhadap
area yang bermasalah, atau dengan kata lain menjadi dasar untuk mendesain dan
mengelola terapi, untuk membantu mengevaluasi intervensi, serta untuk menyediakan
informasi yang relevan untuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul untuk setiap fase
konseling.
Pada asesmen berbasis individu, asesmen dipakai untuk mengumpulkan informasi asli atau
autentik mengenai konselee sehingga diperoleh informasi menyeluruh tentang diri
konselee secara utuh, dan untuk memberikan penilaian yang objektif. Selain itu, secara
terperinci asesmen berbasis individu bertujuan untuk:
1. Mengembangkan cara konselee merespon (verbal dan/atau non verbal) pertanyaan-
pertanyaan yang disampaikan oleh guru BK.
2. Melatih konselee untuk berpikir dalam upaya pemecahan masalah
3. Membentuk kemandirian konselee dalam berbagai masalah atau membentuk individu
menjadi mandiri.
4. Melatih konselee mengemukakan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan. melalui
proses konseling.
5. Membentuk individu yang terbuka dalam berbagai hal, termasuk membuka diri dalam
konseling
6. Membina kerjasama yang baik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
7. Membelajarkan konselee untuk menilai terhadap cara melaksanakan keputusannya
secara konsekuen.
Asesmen berbasis individu akan mengukur seluruh kemampuan konselee, baik
keterampilan personal (personal skills), keterampilan social (social skills), keterampilan
memecahkan masalah (problem solving skills), dan keterampilan memilih alternative (Choice
alternative skills). Jika hal ini dilakukan maka asesmen akan dapat:
1. membantu sekolah dan guru dalam melaksanakan pembelajaran karena konselee
sebagai siswa dapat berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran,
2. memudahkan guru dalam pembelajaran di kelas karena siswa tidak banyak masalah,
3. memudahkan guru bimbingan dan konseling dalam melaksanakan tugas bimbingan dan
konseling – khususnya dalam konseling,
4. membantu kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
5. mendorong konselee untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling dalam
berbagai hal (seperti mendapatkan informasi studi, pekerjaan, dan memecahkan
masalah (masalah pribadi, sosial, belajar, dan karir), dan
6. menyajikan informasi berkesinambungan tentang kegiatan kegiatan layanan bimbingan
dan konseling.
Dalam tiap fase konseling, asesmen (menurut Hood & Johnson, 1993) mempunyai tujuan
yang bisa jadi berbeda-beda. Hal ini terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Tujuan asesmen

Fase tritmen Pertanyaan yang ditujukan bagi asesmen

Skrining awal  Apakah konselee tepat untuk layanan ini?


 Jika tidak tepat, dirujuk kemana?
Identifikasi dan  Apa masalah konselee?
analisis  Apakah masalah konselee mengundang
masalah masalah tritmen?
 Faktor apa yang membuat masalah konselee terus
berlangsung?
Seleksi tritmen  Alternatif tritmen apa yang membuat konselee
nyaman?
 Alternatif tritmen apa yang membuat
lingkungan konselee nyaman?
 Alternatif tritmen apa yang membuat terapis
nyaman?
 Tritmen mana yang optimum dalam menyelesaikan masalah
konselee?
Evaluasi tritmen  Apakah evaluasi tritmen dapat dipercaya
 Perubahan apa yang terjadi pada masalah dan
perilaku?
 Apakah perubahan terjadi karena tritmen?
Biaya apa yang harus dikeluarkan untuk
tritmen?
 Apakah keuntungan yang didapat dari tritmen
memadai dengan biayanya?
 Apakah tritmen harus dihentikan atau dilanjutkan?

Apapun bentuk dan jenis asesmen yang dilakukan, hal ini tetap menuntut suatu
perencanaan, termasuk pada saat melakukan analisis. Dengan demikian maka akan
diperoleh alat ukur atau instrumen yang benar-benar dapat diandalkan (valid) dan dapat
dipercaya (reliabel) dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Berikut ini adalah
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan asesmen:
1. Perencanaan
Aspek yang harus ada dalam perencanaan asesmen adalah:
a. Memilih fokus asesmen pada aspek tertentu dari diri klien
Salah satu penentu keberhasilan konseling adalah kemauan dan kemampuan klien itu
sendiri. Dalam konseling, keputusan akhir untuk pemecahan masalah yang dihadapi ada
pada diri klien. Konselor/ guru BK bukan pemberi nasihat, bukan pengambil keputusan
mengenai apa yang harus dilakukan klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
Karena itu, untuk keberhasilan konseling, klien dapat bekerjasama dengan guru
BK/konselor, dan dengan bantuan guru BK maka klien diharapkan mampu memunculkan
ide-ide pemecahan masalah, dan klien memiliki keberanian serta kemampuan untuk
mengambil keputusan, mampu memahami diri sendiri, dan mampu menerima dirinya
sendiri. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka konselor menentukan akan melakukan
asesmen dengan memfokuskan pada salah satu aspek dalam diri klien saja.
b. Memilih instrumen yang akan digunakan.
Setelah ditentukan fokus area asesmen, Anda dapat merencanakan instrumen yang
akan digunakan dalam asesmen. Banyak instrumen yang dapat digunakan dalam asesmen
seperti tes psikologis, observasi, inventori, dan sebagainya. Tetapi untuk menentukan
instrumen sangat tergantung pada aspek apa yang akan diasesmen. Misalnya Anda akan
melihat kerjasama klien dalam konseling, maka instrumen dapat menggunakan checklist,
tetapi apabila Anda memfokuskan asesmen tentang kemampuan klien dalam memecahkan
masalah, maka Anda dapat mempergunakan tes psikologis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih instrumen dalam asesmen diantaranya
yaitu: (1) kemampuan guru BK sendiri, (2) kewenangan guru BK (baik dalam
mengadministrasikan maupun dalam interpretasi hasilnya), (3) ketersediaan instrumen, (4)
waktu yang tersedia, dan (5) dana yang tersedia.
c. Penetapan waktu
Perencanaan waktu yang dimaksud adalah kapan asesmen akan dilakukan. Penetapan
waktu ini sangat erat berhubungan dengan persiapan pelaksanaan asesmen. Persiapan akan
banyak menentukan keberhasilan suatu asesmen, misalnya mempersiapkan instrumen,
tempat, dan peralatan lain yang diperlukan dalam pelaksanaan asesmen. Apalagi jika
pelaksana asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri, misalnya karena instrumen yang
digunakan untuk asesmen adalah tes psikologis (tes intelegensi, inventori kepribadian, tes
minat jabatan, dan sebagainya). Dalam hal ini apabila guru BK tidak memiliki kewenangan,
maka guru BK dapat minta bantuan orang yang memiliki kewenangan, misalnya psikolog
atau orang yang telah memiliki sertifikasi yang memberikan kewenangan untuk
mengadministrasikan tes dimaksud.
d. Validitas dan reliabilitas
Apabila instrumen yang kita gunakan adalah buatan sendiri atau dikembangkan sendiri,
maka instrumen itu perlu diuji validitas dan reliabilitasnya. Karena validitas dan reliabilitas
merupakan suatu syarat mutlak suatu instrumen asesmen. Namun apabila kita
menggunakan instrumen yang sudah terstandar, Anda tidak perlu mencari validitas dan
reliabilitas karena instrumen tersebut sudah jelas memenuhi persyaratan sebagai suatu
instrumen.
2. Pelaksanaan
Setelah perencanaan asesmen selesai, selanjutnya adalah bagaimana melaksanakan
rencana yang telah dibuat tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
asesmen adalah pelaksanaannya harus sesuai dengan manual masing-masing instrumen.
Manual suatu instrumen biasanya memuat:
a. cara mengerjakan
b. waktu yang digunakan untuk mengerjakan asesmen
c. kunci jawaban
d. cara analisis
e. interpretasi.
3. Analisis data
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yaitu melakukan analisis terhadap data yang
diperoleh melalui instrumen yang digunakan untuk mengambil data. Analisis dilakukan
dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam manual masing-masing instrumen. Metode
analisis data dalam asesmen konseling sangat tergantung data yang diperoleh. Misal data
yang diperoleh berbentuk kualitatif atau data kuantitatif.
Apabila data bersifat kualitatif, maka kita melakukan analisis data kualitatif. Metode
analisis data kualitatif misalnya deskriptif naratif. Wilcox (dalam Ratna Widiastuti, 2010)
misalnya menggunakan pendekatan ”key incident” dalam analisis deskripsi kualitatif
tentang kegiatan pendidikan. Pendekatan key incident memungkinkan bagi kita untuk
memasukkan sejumlah besar kesimpulan dari bermacam-macam data yang berasal dari
berbagai sumber, misalnya dari catatan lapangan, dokumen informasi demografi, atau
wawancara. Apabila banyak data kualitatif yang dianalisis sementara asesmen masih
berlangsung maka beberapa analisis dapat ditunda pelaksanaannya sampai evaluator selesai
melakukan asesmen. Saat melakukan analisis data kualitatif, perlu dilakukan beberapa
langkah sebagai berikut: a) yakinkan semua data telah tersedia, b) buatlah salinan data
untuk berjaga-jaga kalau ada yang hilang, c) aturlah data dalam judul dan masukkan dalam
file, d) gunakan sistem kartu-kartu dalam map, e) periksa kebenaran hasil asesmen.
Apabila data bersifat kuantitatif maka analisis data dilakukan dengan menggunakan
statistik. Dalam bimbingan konseling, statistik biasa digunakan untuk analisis data hasil tes
psikologis, misalnya tes inteligensi, tes bakat, dan sebagainya. Dewasa ini, program statistik
dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan komputer, seperti program excel, LISREL,
SPSS, dan sebagainya.
4. Interpretasi data
Interpretasi diartikan sebagai upaya mengatur dan menilai fakta, menafsirkan
pandangan, dan merumuskan kesimpulan yang mendukung. Penafsiran harus dirumuskan
dengan hati-hati, jujur, dan terbuka. Berikut ini adalah hal-hal yang harus ada dalam
interpretasi, yaitu:
a. Komponen untuk menafsirkan / interpretasi hasil analisis data
Interpretasi berarti menilai objek asesmen dan menentukan dampak
asesmen tersebut. Pandangan evaluator juga mempengaruhi penafsiran/ interpretasi
data. Untuk asesmen yang akan digunakan untuk membantu fungsi pendidikan, maka
hasil asesmen harus diinterpretasikan sebagai sarana untuk mengetahui kebaikan klien,
dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam tindakan berikutnya bagi orang-orang
lain yang berkepentingan/ berwenang (Cronbach dalam Ratna Widiastuti, 2010).
b. Petunjuk untuk menafsirkan analisis data
Worthen dkk. dalam Ratna Widiastuti, 2010) menyatakan bahwa para evaluator telah
mengembangkan metode yang sistematik untuk melakukan interpretasi. Diantara
metode-metode tersebut yang sering dipakai akhir-akhir ini adalah: (1) menentukan
apakah tujuan telah dicapai, (2) menentukna apakah hukum, norma-norma, demokrasi
aturan, dan prinsip-prinsip etik tidak dilupakan, (3) menentukan apakah analisis
kebutuhan telah dikurangi, (4) menentukan nilai pencapaian, (5) bertanya kepada
kelompok penilai, melihat kembali data, menilai keberhasilan dan kegagalan, menilai
kelebihan dan kelemahan penafsiran, (6) membandingkan variabel-variabel penting
dengan hasil yang diharapkan, (7) membandingkan analisis yang dilaporkan oleh
program yang usahanya sama, dan (8) menafsirkan hasil analisis dengan prosedur
yang menghasilkannya. Namun demikian, menginterpretasikan data bukan hanya
pekerjaan evaluator saja, akan tetapi evaluator hanya memberikan pandangan saja
dari sekian banyak pandangan.
5. Tindak lanjut
Tindak lanjut adalah menindak lanjuti hasil asesmen atau penggunaan hasil asesmen
dalam konseling. Beberapa kegiatan tindak lanjut diantaranya adalah apakah konselee perlu
melakukan konseling yang memfokuskan pada aspek yang berbeda lainnya, apakah klien
perlu mendapatkan tritmen tertentu, atau bahkan bisa jadi konselee perlu mendapatkan
rujukan (refferal) kepada pihak ketiga. Rujukan diperlukan jika guru pembimbing/ konselor
tidak mempunyai kewenangan atau tidak mempunyai kemampuan untuk menangani
masalah yang dihadapi klien. Misalnya jika klien sudah mengalami gangguan psikotik, maka
klien perlu dirujuk ke psikiater; jika klien mengalami gangguan dislesia maka perlu dirujuk
ke terapis khusus yang menangani gangguan tersebut.
Untuk konseling yang berbasis individu, maka langkah-langkah khusus perlu dilakukan,
yaitu dengan cara:

1. menentukan fokus yang akan dinilai (misal cara klien dalam merespon, ide-ide
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan sebagainya)
2. menentukan teknik untuk penilaian (misal dengan observasi, konferensi kasus, atau
wawancara)
3. menggunakan teknik penilaian yang telah ditentukan
4. melakukan analisis data yang diperoleh dan membicarakan hasilnya dengan klien
5. menanggapi data dengan cermat, dan
6. melaporkan data yang telah diolah (laporan hasil konseling)

C. CARA PENGUMPULAN INFORMASI ASESMEN


Pengumpulan informasi untuk asesmen berbasis individu dapat dilakukan secara
resmi/formal, dan tidak resmi/informal. Secara resmi misalnya, individu dipanggil untuk
melakukan wawancara konseling dengan konselor, atau guru BK meminta individu
melakukan tes psikologis dan/atau tes perbuatan (performance test). Secara tidak resmi,
misalnya konselee mengerjakan kegiatan-kegiatan yang sengaja dibuat untuk melaksanakan
hasil keputusan dalam konseling. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penilaian
dengan menggunakan metode pengamatan/observasi, pencatatan, dan pengumpulan hasil
kegiatan konselee. Pengumpulan informasi asesmen berbasis individu dapat dilakukan
dengan cara berikut ini:
1. Penilaian berkesinambungan/berkelanjutan –> guru melakukan penilaian secara terus-
menerus terhadap konselee. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan anecdotal
record, case conference, observasi, refleksi, wawancara pengumpulan data, atau daftar
cek.
2. Penilaian proses –> dilakukan pada saat konseling dilakukan. Adapun yang dinilai
adalah hal-hal seperti kerjasama, cara merespon, ide-ide pemecahan masalah,
kemampuan dalam mengambil keputusan, dan keterlibatan dalam pemecahan
masalah. Cara yang digunakan untuk mencatat informasi sebagai bahan penilaian dapat
dengan berbagai jenis alat pencatat observasi ( daftar cek, rating scale).
3. Penilaian Produk –> merupakan penilaian terhadap hasil konseling, yaitu keputusan
yang diambil oleh konselee pada akhir konseling. Dasar evaluasinya adalah keputusan
konselee yang dalam pelaksanaanya diterapkan dalam keseharian konselee setelah
selesai konseling. Tempatnya tergantung apa yang akan dinilai, misalnya perubahan
perilaku saat mengikuti pembelajaran di kelas, maka penilaian dilakukan di saat
konselee mengikuti pembelajaran di kelas; dan penilaian dilakukan oleh guru mata
pelajaran jika tidak memungkinkan guru bimbingan konseling masuk dalam kelas saat
pembelajaran berlangsung. Namun demikian, yang mempersiapkan format penilaian
adalah guru Bimbingan Konseling dan hasil pengisian format oleh guru saat
pembelajaran langsung diserahkan kepada Guru Bimbingan Konseling.
4. Penilaian Proyek –> berdasarkan kesepakatan antara konselee dengan guru BK,
konselee akan merancang tentang cara melakukan pendekatan kepada seseorang
(orang tua, teman sekolah, guru) untuk menyelesaikan masalahnya, merencanakan
mengkomunikasikan sesuatu (kepada orang tua, guru, pacarnya, dan sebagainya)
Selain itu, ada dua macam metode asesmen yang dapat digunakan guru pembimbing atau
konselor, yaitu:
1. Tidak langsung/indirect seperti wawancara, kuesioner, retrospektif rating oleh orang
lain, baik dengan representasi kata verbal maupun tulisan
2. Langsung/direct seperti observasi diri, analog role play, analog
perilaku bebas (setting mirip tapi bukan sesungguhnya), role play alamiah, perilaku
bebas alamiah (setting sesungguhnya)
BAB IV

WAWANCARA

A. PENGERTIAN
Wawancara merupakan salah satu metode asesmen yang digunakan untuk
mendapatkan data tentang individu dengan mengadakan hubungan secara langsung dengan
informan (face to face relation). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab, dan
dalam hubungan tatap muka. Ini merupakan keunggulan teknik wawancara, karena gerak
dan mimik yang dilakukan oleh responden merupakan pola media yang dapat melengkapi
kata-kata verbal mereka.
Wawancara dilakukan untuk dapat menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat
menangkap perasaan, pengalaman, emosi, dan motif, yang dimiliki oleh responden. Teknik
ini sangat fleksibel dalam mengajukan pertanyaan yang lebih rinci, dan memungkinkan
siswa untuk mengatakan dengan jelas tentang kegiatan, minat, cita-cita, harapan-harapan,
kebiasaan-kebiasaan, dan hal-hal lain mengenai dirinya.

B. TUJUAN WAWANCARA
1. Discovery, yaitu untuk mendapatkan kesadaran baru tentang aspek kualitatif dari suatu
masalah
2. Pengukuran psikologis: data yang diperoleh dari wawancara akan diinterpretasikan
dalam rangka mendapatkan pemahaman tentang subjek dalam rangka melakukan
diagnosis permasalahan subjek dan usaha mengatasi masalah tersebut.
3. Pengumpulan data penelitian : informasi dikumpulkan untuk mendapatkan penjelasan
atau pemahaman mengenai suatu fenomena. Data dikumpulkan dengan cara
wawancara karena kuesioner tidak dapat diterapkan pada subjek subjek tertentu, atau
ada kekhawatiran responden tidak mengisi kuesioner ataupun tidak mengembalikan
kuesioner pada peniliti.

C. ALASAN MENGGUNAKAN WAWANCARA


1. Melengkapi dan menambahkan data yang telah ada, yang diambil dengan metode lain
seperti survey, observasi, studi dokumen dsb
2. Karena ingin mengambil data kualitatif tentang suatu fenomena tertentu. Wawancara
dapat digunakan sebagai metode pengambilan data
3. Karena situasi tertentu dalam bidang pengukuran ( assessment ) psikologis ketika alat
ukur tidak dapat digunakan karena alasan berikut :
a. Subjek buta huruf
b. Subjek menolak mengerjakan test tertentu
c. Topik yang diukur bersifat pribadi, individual dan rahasia
Kapan menggunakan wawancara?
 Pengukuran psikologis
Data yang diperoleh dari wawancara akan diinterprestasikan dalam rangka mendapat
pemahamanan tentang subjek dalam rangka melakukan diagnosis permasalahan
subjek dan usaha untuk memecahkan masalah.
 Pengumpulan data
Informasi yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam dan komprehensif tentang suatu fenomena yang diteliti. Wawancara
menjadi bagian dari penelitian survey ketika alat alat ukur lain seperti kuesioner
dianggap tidak mampu mengungkap secara lebih mendalam informasi dari
responden
Informasi bersifat kualitatif , sangat individual serta variatif sehingga jawaban perlu
dieksplorasi melalui suatu wawancara.

D. TEKNIK WAWANCARA
Berikut ini akan disajikan beberapa teknik wawancara yang diajukan oleh Darley:
1. Dalam wawancara seorang konselor tidak memberikan ceramah, artinya konselor terlalu
banyak bicara, sehingga telah menyita hampir seluruh waktu pertemuan dengan klien.
Hal ini akan menghambat klien berbicara .Klien bersifat pasif , sebagai pendengar.
Konseling yang baik, kegiatan berbicara ada pada klien, sehingga konselor akan banyak
melakukan kegiatan mendengarkan klien akan banyak memberikan keterangan-
keterangan kepada konselor , terutama yang berhubungan dengan permasalahan yang
dialaminya .Dengan adanya konselor sedikit berbicara akan berarti memberikan
kesempatan sebanyak-banyaknya kepada klien untuk mencurahkan isi hatinya.
2. Dalam berbicara konselor menggunakan kata-kata sederhana , berarti kata-kata itu
dapat dicerna oleh klien , dapat dipahami dan dimengerti. Dengan demikian terjadi
hubungan yang baik dan komunikasi yang lancer.Tidak ada “Gap” antara konselor dank
lien.Konselor harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kemampuan
kliennya. Istilah-istilah sulit jangan terlalu digunakan, dipilih kata-kata yang membina
keakraban dan kehangatan, sehingga klien dapat mengungkapkan apa yang ada
didalam hatinya , secara tidak ragu-ragu.dari kata-kata yang sederhana menyebabkan
klien menaruh rasa simpati terhadap konselor , dan merasa dapat berbicara secara
aman.
3. Dalam wawancara konselor harus merasa yakin bahwa informasinya diperlukan oleh
klien, berarti mempunyai keyakinan bahwa dirinya diperlukan dan pertolongannya
sangatlah dibutuhkan. Keyakinan itu akan menjadikan konselor mantab dalam
memberikan bantuan kepada klien. Maka konseling yang efektif adalah apabila klien
secara suka rela. Rela datang sendiri pada konselor untuk meminta bantuan.
4. Konselor merasakan sikap klien dalam menyelesaikan masalahnya , hal ini berarti
adanya perasaan empati dari konselor-konselor memahamai diri klien, dan klien
mengerti bahwa konselornya memahami dirinya.
B. J.O. Crites dalam bukunya “Career Counseling, models, Methods dan Materials
mengutarakan 21 teknik untuk wawancara, yaitu :
1. Dalam membuka wawancara hendaknya dapat menyentuh rasa haru klien. Misalnya
dengan jalan memberi salam, menyebut namanya (bila konselor telah mengetahui
nama klien) , bertanya sesuatu .Bertanya yang baik dalam pembukaan wawancara
adalah : “Apa yang dapat saya Bantu?”, sedang yang kurang baik : “ bantuan apa yang
kau minta?”.
2. Menggugah klien untuk berbicara, konselor berusaha agar klien mau berbicara,
sehingga kalau konselor mengadakan pertanyaan , hendaknya pertanyaan tersebut
tidak hanya memungkinkan jawaban “ya” atau “tidak “ , tetapi pertanyaan hendaknya
membuka kesempatan klien untuk berbicara.Diusahakan banyaknya berbicara pada
klien bukan pada konselor.
3. Mengungkapkan perlakuan atau bantuan konselor sebelumnya .Hal ini penting kecuali
untuk mencoba membuka pengalaman klien dalam berhubungan dengan konselor juga
untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menanggapi atau memberikan bantuan
kepada klien tersebut.
4. Hindari berbicara melebihi klien atau mendahului pembicaraan klien.Kalau mungkin
konselor berbicara sesedikit mungkin , biarkan klien berbicara sebanyak-banyaknya,
karena kadang-kadang dengan berbicara banyak , mengeluarkan isi hatinya , klien
menjadi lega dan bahkan dapat meringankan bebannya (katarsis) Terlebih lagi jangan
seorang konselor memotong pembicaraan pembicaraan klien atau mendahului apa
yang akan diomongkan oleh klien (karena kebetulan sekali konselor sudah mengetahui
apa yang akan diomongkan klien)
5. Menerima sikap dan perasaan klien, konselor perlu merespon sikap dan perasaan klien,
konselor seakan-akan masuk kedunia klien. Misalnya dengan menyambut bicaranya.
6. Konselor tidak bertanya bertubi-tubi , klien jangan diberondong pertanyaan dan dipaksa
menjawab segala pertanyaan. Konselor bukannya sebagai wartawan, yang ingin
mengorek informasi untuk kepentingannya. Andaikata Klien harus menjawab
pertanyaan konselor ini berarti klien memberikan informasi tentang dirinya, yang
nantinya informasi tersebut akan dijadikan bahan bagi konselor untuk memberikan
bantuan kepada klien guna memecahkan masalahnya.
7. Tidak bingung jika klien bungkam, karena bungkam bukan selalu berarti macet, tetapi
mungkin klien sedang berfikir tentang dirinya, sedang menghayati apa yang sedang
berlangsung, mungkin sedang merumuskan kata-kata atau jawaban-jawaban, sedang
mendalami masalah-masalahnya. Konselor jangan terlalu cepat menyimpulkan pada
klien bahwa bungkam itu tertutup.
8. Memantulkan perasaan klien, konselor hendaknya mencoba menjadi atau memberi arah
klien untuk berfikir-fikir tentang perasaannya.Misalnya :
Klien : “Ibu saya benci kepada saya”.
Konselor : “Sejak kapan?”
Klien : “Tiap hari memperlihatkan kebenciannya”.
Konselor : “Juga kepada semua?, apa hanya kepada anda?”
9. Terbuka, artinya mengakui ketidaktahuan diri, atau kekurangan diri, tidak usah
menutup-nutupi kekurangannya bahkan mau mendengarkan pendapat dan saran
orang lain. Kalau memang masalah yang ditangani kurang dikuasai, secara terus
terang menawarkan kepada klien untuk merefer kepada orang lain, atau ahli lain.
10. Membagi waktu wawancara, waktu yang banyak diperuntukkan membicarakan inti
konseling, pembukaan wawancara dan penutupannya hanya menggunakan sebagian
kecil waktu saja, jangan terbalik.Sehingga wawancara akan efektif dan dapat mencapai
tujuan.
11. Memilih kata-kata yang sesuai dengan tahapan kemampuan klien, sehingga klien dapat
memahami apa yang dikatakan oleh konselor, kalau perlu kata-kata penting
diulang.Maka disini konselor sebelumnya harus mengetahui latar belakang kemampuan
kliennya.
12. Membatasi usaha pengungkapan informasi dari klien, terlebih lagi mengenai hal-hal
yang memalukan klien.Sehingga klien tidak merasa lebih berdosa.Jadi tidak perlu
mengungkap klien terlalu mendalam, supaya klien tidak merasa ditelanjangi.Hal ini akan
mengganggu rapport (hubungan baik antara konselor dank lien yang diciptakan oleh
konselor, terutama sejak pertemuan konseling dimulai).
13. Menentukan rambu-rambu wawancara, agar tidak terpaku pada satu masalah,
seharusnya banyak masalah yang terungkap, sehingga data lengkap.Jangan sampai
yang dibicarakan hal-hal yang sama saja.Tentu saja pembicaraan jangan terlalu
melebar, maka perlu rambu-rambu, jadi seakan-akan konselor membuat garis yang
akan dibicarakan.Mula-mula rambu-rambu dibuat secara umum, X misalnya, lalu X itu
dipecah-pecah, dibuat point-pointnya, dan waktunya.
14. Hindari sebutan atau cerita tentang diri konselor .Ada konselor yang suka memusatkan
pada dirinya, misalnya :”Seandainya saya jadi anda….”.Itu berarti tidak menarik klien
menjadi konselor, padahal mestinya konselor masuk kedunia klien, berarti ada
empati.Karena kalau demikian mungkin tampaknya berhasil tetapi ada akibat
sampingan.
15. Tidak berpura-pura, berarti konselor harus polos, karena klien akan merasa dan
mengetahui bila konselor berpura-pura.
16. Tidak terpaku pada topic awal yang diajukan klien, misalnya : “Saya mendapat kesulitan
dalam menghadapi adik-adik”. Konselor harus dapat melihat horizon yang lebih luas,
misalnya apa latar belakang dia harus mengurus adik-adiknya.Mungkin yang penting
bukan masalah adik, tetapi sumber masalah mungkin ada pada dia sendiri. Maka
konselor jangan terlalu terpancang apa yang dikatakan atau dikeluhkan klien pada awal
wawancara.
17. Hindari pertemuan yang terlalu sering dengan klien, karena hal ini mengakibatkan klien
terlalu tergantung pada konselor.Konselor harus dapat membuat klien lama-kelamaan
mampu berdiri sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri.
18. Batasi lamanya wawancara.Hal ini sangat individual sekali.Ada klien dan konselor yang
mampu mengadakan wawancara samapi 2 jam, ada yang tidak.Maka lebih baik
sebelumnya diambil persetujuan tentang waktu wawancara ini antara konselor dengan
klien, sehingga waktu yang akan digunakan telahj menjadi persetujuan bersama.
Karena ada kalanya klien ingin berlama-lama karena sekedar menghindari situasi lain
yang tak menyenangkan.
19. Menyusun alternative kegiatan, dengan jalan mencari bentuk jalan keluar yang kira-kira
dilakukan oleh klien.Diusahakan konselor hanya membantu mencari alternative –
alternatif itu, maka hendaknya klien yang menemukan beberapa alternative itu sendiri,
sedang konselor memformulasikan.
20. Mengakhiri wawancara dengan membuat rangkuman (tidak tertulis), dan konselor
berusaha agar klien dapat mengambil kesimpulan sendiri.
21. Menutup pertemuan, dengan membuat akhir pertemuan yang mengesankan, dengan
terlebih dahulu diadakan pertemuan berikutnya.Dan konselor mengakhiri pembicaraan
dengan kesediaannya menerima kembali suatu saat klien membuatuhkan bantuannya.
22. Persetujuan tentang perlu atau tidaknya diadakan konseling.
E. TAHAP-TAHAP WAWANCARA
1. Opening
a. Memotivasi subyek wawancara.
b. Melakukan rapport.
c. Memberikan orientasi tentang tujuan dari wawancara.
d. Menetapkan waktu pertemuan.
2. Body
a. Menggali permasalahan.
b. Mengarahkan jalannya wawancara.
c. Menerima subyek apa adanya.
d. Menggunakan guide wawancara.
e. Menetukan taraf keakraban antara pewawancara dan subyek.
3. Closing
a. Memberikan kesimpulan.
b. Memberikan penghargaan terhadap subyek

c. Prinsip dasarnya pewawancara harus belajar mendengar, bertanya, memperhatikan


perasaan subyek serta memperhatikan ungkapan atau pernyataan yang disampaikan
subyek.
Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa poses wawancara terbagi menjadi
1. Persiapan sebelum wawancara
a. Pahami subyek wawancara.
b. Menyiapkan tempat.
c. Menyiapkan perekam atau catatan wawancara.
d. Mempelajari hal apa sajakah yang akan ditanyakan.
2. Saat wawancara
a. Membangun suasana yang terbuka dan nyaman, dapat dimuali dengan pendahuluan
yang tepat dan “percakapan ringan”.
b. Menjelaskan jalannya wawnacara dan memperkirakan waktu yang dibutuhkan dalam
wawancara.
c. Mulai mengaplikasikan guide wawancara yang telah dibuat.

3. Penutupan wawancara
a. Memberikan kesempatan kepada subyek untuk bertanya (pada setting tertentu).
b. Mengucapkan terimakasih kepada subyek atas waktu yang telah diberikan.

F. HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DAN BOLEH DILAKUKAN DALAM WAWANCARA


Hal-hal yang harus dilakukan seorang pewawancara adalah mendengar, mengamati,
menyelidiki, menanggapi, dan mencatat. Kadang-kadang ia seperti seorang penginterogasi,
kadang-kadang secara tajam ia menyerang dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan
orang yang diwawancarai, kadang-kadang ia mengklarifikasi, kadang-kadang pula ia seperti
pasif atau menjadi pendengar yang baik. Suksesnya suatu wawancara tergantung pada
kemampuan melakukan kombinasi berbagai keterampilan sesuai dengan tuntutan situasi
dan orang yang diwawancarai.
Dalam proses wawancara si pewawancara harus meredam egonya dan melakukan
pengendalian tersembunyi. Pewawancara memantau semua yang diucapkan oleh dan
bahasa tubuh orang yang diwawancarai, sambil berusaha menciptakan suasana santai yakni
suasana yang konduksif bagi berlangsungnya wawancara. Dalam prakteknya, berbagai
pikiran muncul dibenak si pewawancara ketika wawancara sedang berlangsung. Seperti :
Apa yang harus saya tanyakan lagi? Bagaimana nada bicara orang yang diwawancarai ini?
Dari gerak tubuh dan nada suaranya, apakah ia terlihat bicara jujur atau mencoba
menyembunyikan sesuatu?

G. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEKNIK WAWANCARA


1. Kelebihan
a. Flexibility. Pewawancara dapat secara luwes mengajukan pertanyaan sesuai dengan
situasi yang dihadapi pada saat itu. Jika dia menginginkan informasi yang
mendalam maka dapat melakukan “probing”. Demikian pula jika ingin memperoleh
informasi tambahan, maka dia dapat mengajukan pertanyaan tambahan, bahkan
jika suatu pertanyaan dianggap kurang tepat ditanyakan pada saat itu, maka dia
dapat menundanya.
b. Nonverbal Behavior. Pewawancara dapat mengobservasi perilaku nonverbal,
misalnya rasa suka, tidak suka atau perilaku lainnya pada saat pertanyaan diajukan
dan dijawab oleh responden.
c. Question Order. Pertanyaan dapat diajukan secara berurutan sehingga responden
dapat memahami maksud penelitian secara baik, sehingga responden dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
d. Respondent alone can answer. Jawaban tidak dibuat oleh orang lain tetapi benar
oleh responden yang telah ditetapkan.
e. Greater complexity of questionnaire. Kuesioner umumnya berisi pertanyaan yang
mudah dijawab oleh responden. Melalui wawancara, dapat ditanyakan hal-hal yang
rumit dan mendetail.
f. Completeness. Pewawancara dapat memperoleh jawaban atas seluruh pertanyaan
yang diajukan.
2. Kelemahan :
a. Mengadakan wawancara dengan individu satu persatu memerlukan banyak waktu
dan tenaga dan juga mungkin biaya.
b. Interview Bias. Walau dilakukan secara tatap muka, namun kesalahan bertanya dan
kesalahan dalam menafsirkan jawaban, masih bisa terjadi. Sering atribut (jenis
kelamin, etnik, status sosial, jabatan, usia, pakaian, penampilan fisik, dsb)
responden dan juga pewawancara mempengaruhi jawaban.
c. Keberhasilan wawancara sangat tergantung dari kepandaian pewawancara dalam
melakukan hubungan antar manusia (human relation).
d. Wawancara tidak selalu tepat pada kondisi-kondisi tempat tertentu, misalnya di
lokasi-lokasi ribut dan ramai.
e. Sangat tergantung pada kesediaan, kemampuan dan keadaan sementara dari subyek
wawancara, yang mungkin menghambat ketelitian hasil wawancara.
f. Jangkauan responden relatif kecil dan memakan waktu lebih lama dari pada angket
dan biaya yang relatif yang lebih mahal.
BAB V

OBSERVASI

A. PENGERTIAN
Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu
eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn
(experimental) maupun konteks alamiah.
Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu
masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checkingin atau pembuktian
terhadap informasi / keterangan yang diperoleh sebelumnya.Sebagai metode ilmiah
observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang
diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas
kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes.

B. TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna
kejadian dilihat dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Deskripsi harus kuat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak
relevan.
Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Memungkinan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan
menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-
anak.
2. Prosedur Testing Formal seringkali tidak ditanggapi serius oleh anak-anak sebagaimana
orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih mudah daripada cara peugumpulan data yang lain. Pada
anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat daripada orang dewasa.
Sebab, orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa
sedang diobservasi.
Tujuan observasi bagi seorang psikolog pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk keperluan asesmen awal dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang
tunggu, halaman, kelas, ruang bermain.
2. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog
akan mengetahui kemajuan yang dicapai klien.
3. Bagi anak-anak, untuk mengetahui perkembangan anak-anak pada tahap tertentu.
4. Digunakan dalam memberi laporan pada orangtua, guru, dokter, dan lain-lain.
Sebagai informasi

C. JENIS OBSERVASI
1. Observasi berpartisipasi yaitu konselor terlibat dengan kegiatan konseli yang diamati.
a. Partisipasi Pasif  mengamati tapi tidak terlibat dalam kegiatan tersebut.
b. Partisipasi Moderat  partisipatif pada beberapa kegiatan saja, tidak semua
kegiatan.
c. Partisipasi Aktif  ikut melakukan apa yang dilakukan konseli, tapi belum
sepenuhnya lengkap.
d. Partisipasi Lengkap  terlibat sepenuhnya dalam kegiatan narasumber.
2. Observasi secara terang-terangan dan tersamar (overt observation dan covert
observation). konselor menyatakan terus terang kepada sumber data/konseli bahwa
dia sedang observasi.
3. Observasi tidak berstruktur (unstructured observation) digunakan jika fokus
pengamatan belum jelas.

D. TEKNIK OBSERVASI
Ada tiga jenis teknik pokok dalam observasi yang masing-masing umumnya cocok untuk
keadaan-keadaan tertentu, yaitu:
1. Observasi Partisipan
Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang rnengadakan observasi
(observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observer. Jenis teknik observasi
partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat eksploratif. Untuk
menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat suku bangsa karena
pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat berkomunikasi secara akrab dan
leluasa dengan observer, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan
detail terhadap hal-hal yang akan diteliti.
Beberapa persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian yang cukup dan seorang
participant observer adalah sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Persoalan tentang metode observasi sama sekali tidak dapat dilepaskan dari scope dan
tujuan penelitian yang hendak diselenggarakan. Observer perlu memusatkan
perhatiannya pada apa yang sudah diterangkan dalam pedoman observasi (observation
guide) dan tidak terlalu insidental dalam observasi-observasinya.
b. Waktu dan Bentuk Pencatatan
Masalah kapan dan bagaimana mengadakan pencatatan adalah masalah yang penting
dalam observasi partisipan. Sudah dapat dipastikan bahwa pencatatan dengan segera
terhadap kejadian-kejadian dalam situasi interaksi merupakan hal yang terbaik.
Pencatatan on the spot akan mencegah pemalsuan ingatan karena terbatasnya ingatan.
Jika pencatatan on the spot tidak dapat dilakukan, sedangkan kelangsungan situasi
cukup lama, maka perlu dijalankan pencatatan dengan kata-kata kunci. Akan tetapi
pencatatan semacam ini pun harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menarik
perhatian dan tidak menimbulkan kecurigaan. Pencatatan dapat dilakukan, misalnya
pada kertas-kertas kecil atau pada kertas apa pun yang kelihatannya tidak berarti.
c. Intensi dan Ekstensi Partisipasi
Secara garis besar, partisipasi tidaklah sama untuk semua penelitian dengan observasi
partisipan ini. Peneliti dapat mengambil partisipasi hanya pada beberapa kegiatan sosial
(partial participation), dan dapat juga pada semua kegiatan(full particiration). Dan,
dalam tiap kegiatan itu penyelidik dapat turut serta sedalam-dalamnya (intensive
participation) atau secara minimal (surface participation). Hal ini tergantung kepada
situasi.
Dalam observasi partisipan, observer berperan ganda yaitu sebagai pengamat sekaligus
menjadi bagian dan yang diamati. Sedangkan dalam observasi nonpartisipan, observer
hanya memerankan diri sebagai pengamat. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana
mengamati, merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau
fenomena yang diteliti. Observasi nonpartisipan dapat bersifat tertutup, dalam arti tidak
diketahui oleh subjek yang diteliti, ataupun terbuka yakni diketahui oleb subjek yang
diteliti.
2. Observasi Sistematik
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured
observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang
telah di atur kategorisasinya lebih dulu dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam
kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi
Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalarn observasi sistematik umumnya lebih
terbatas. Sebagai alat untuk penelitian desicriptif, peneliti berlandaskan pada
perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri
dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dan penelitian, bukan situasi kehidupan
masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam
penelitian eksploratif. Perumusan-perurnusan masalah yang hendak diselidikipun sudah
dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan, prestasi
be1aar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki
sangat terbatas. Ini dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dan observasi
partisipan.

b. Cara-Cara Pencatatan
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-
jawaban, respons, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang
tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik
untuk mengadakan “kuantifikasi” terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala
atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini nanti akan
sangat memudahkan pekerjaan analisis hasil.
3. Observasi Eksperimental
Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup
experimental. Dalam observasi alamiah observer rnengamati kejadian-kejadian, peristiwa-
peristiwa dan perilaku-perilaku observe dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa,
atau perilaku murni tanpa adanya usaha untuk menguntrol.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni, untuk
menyeidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-
faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya,
sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-
dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting dan observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
1. Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk
semua observee.
2. Situasi dibuat sedemikian rupa, untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku
yang akan diamati oleh observee.
3. Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenannya
dan observasi.
4. Observer, atau alat pencatat, membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-
cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah aksi reaksi semata.

E. LANGKAH – LANGKAH OBSERVASI


1. Pelajari dulu apa observasi itu
2. Pelajari tujuan pengamatan
3. Buat cara mencatat yang sistematis
4. Lakukan observasi secara cermat dan kritis
5. Catat masing-masing gejala secara terpisah menurut kategorinya
6. Waktu yang tersedia
7. Hubungan dengan pihak yang diobservasi (observee)
8. Intensitas dan ekstensi partisipasi

F. INSTRUMENT OBSERVASI
Agar hasil observasi dapat dikumpulkan dengan baik maka sebelumnya guru harus
menyiapkan alat untuk observasi yaitu:
1. Catatan Anekdot (Anecdotal Record)
Yaitu catatan khusus mengenai hasil pengamatan tentang tingkah laku anak yang
dianggap penting (istimewa). Catatan anekdot ini ada dua macam yaitu anekdot
insidental, digunakan untuk mencatat peristiwa yang terjadi sewaktu-waktu, tidak terus-
menerus. Sedangkan catatan anekdot periodik digunakan untuk mencatat peristiwa
tertentu yang terjadi secara insedental dalam suatu periode tertentu. Catatan anekdot
mempunyai kegunaan dalam melaksanakan observasi trerhadap tingkah laku anak.
Kegunaanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang murid sebagai
individu yang kompleks, memperoleh pemahaman tentang sebab-sebab dari suatu
problema yang dihadapinya, dan dapat dijadikan dasar utuk pemecahan masalah anak
dalam belajar.
2. Daftar cek (Check Lish)
Daftar cek adalah sebuah catatan tertulis yang berisi kemungkinan jawaban yang
dipilih, dengan tinggal membubuhkan sebuah tanda pada kemungkinan jawaban yang
benar. Dalam bentuk daftar cek, semua tingkah laku, sikap yang diobservasi dijabarkan
dalam suatu daftar.
3. Skala Penilaian (Rating Scale)
Dalam skala penilaian, tingkah laku, sikap yang diobservasikan dijabarkan dalam bentuk
skala.
Hal Yang Perlu Diperhatikan
1. mengetahui dimana observasi dapat dilakukan,
2. menentukan siapa-siapakah yang akan diobservasi,
3. mengetahui dengan jelas data apa yang harus dikumpulkan
4. harus mengetahui bagaimana cara mengumpulkan data,
5. mengetahui cara-cara mencatat hasil observasi.

G. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN OBSERVASI


Kelebihan observasi antara lain
1. Data yang dikumpulkan melalui observasi cenderung mempunyai keandalan yang tinggi.
Kadang observasi dilakukan untuk mengecek validitas dari data yang telah diperoleh
sebelumnya dari individu-individu.
2. Dapat melihat langsung apa yang sedang dikerjakan, pekerjaan-pekerjaan yang rumit
kadang-kadang sulit untuk diterangkan.
3. Dapat menggambarkan lingkungan fisik dari kegiatan-kegiatan, misalnya tata letak fisik
peralatan, penerangan, gangguan suara dan lain-lain.
4. Dapat mengukur tingkat suatu pekerjaan, dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan satu unit pekerjaaan tertentu.
Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut :
1. Umumnya orang yang diamati merasa terganggu atau tidak nyaman, sehingga akan
melakukan pekerjaannya dengan tidak semestinya.
2. Pekerjaan yang sedang diamati mungkin tidak mewakili suatu tingkat kesulitan
pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan khusus yang tidak selalu dilakukan atau
volume-volume kegiatan tertentu.
3. Dapat mengganggu proses yang sedang diamati.
4. Orang yang diamati cenderung melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dari
biasanya dan sering menutup-nutupi kejelekan-kejelekannya.
BAB VI

ANGKET

A. PENGERTIAN
Salah satu teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner atau lebih
dikenal sebagai angket. Angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau
mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden. Responden adalah orang
yang memberikan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Penggunaan angket merupakan hal pokok pada penelitian survei untuk pengumpulan data.
Secara umum isi dari angket dapat berupa:
1. Pertanyaan tentang fakta
Fakta yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang berhubungan dengan responden,
seperti umur, pendidikan, agama. Informasi yang diketahui oleh responden juga
dikategorikan dalam fakta.
2. Pertanyaan tentang pendapat
Menyangkut perasaan dan sikap responden tentang sesuatu.
3. Pertanyaan tentang persepsi diri
Mengenai cara responden menilai sesuatu tentang perilakunya sendiri dalam
hubungannya dengan orang lain atau lingkungan.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
1. Memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
2. Memperoleh informasi mengenai suatu masalah secara serentak.
Tujuan Khusus
1. Menyebutkan dengan tepat bentuk angket menurut pengklasifikasiannya, sedikitnya tiga
macam.
2. Membuat jenis pertanyaan sesuai dengan tujuan pengumpulan data, sedikitnya dua
jenis.
3. Melancarkan angket kepada sejumlah siswa dengan benar.
4. Menganalisis hasil data dari angket dengan benar.
C. MACAM – MACAM ANGKET
Berdasarkan jenis penyusunan item
1. Tipe isian
2. Tipe dua pilihan (benar-salah)
3. Multiple choice test
Berdasarkan subyek atau responden
1. Angket langsung dengan menyampaikan angket langsung pada yang bersangkutan.
Contoh : angket siswa
2. Angket tidak langsung dengan menyampaikan angket pada orang lain untuk
menanggapinya, yang menjawab atau mengisi angket adalah orang lain. Contoh: angket
orang tua
Angket berdasarkan struktur
1. Angket berstruktur berisi pertanyaan serta jawabannya, hingga responden tinggal
memilih atau menyatakan dengan jelas, konkrit, dan sngkat.
2. Angket tak berstruktur hanya berisi pertanyaan, jawaban yang dikehendaki adalah
jawaban yang bebas dengan uraian yang panjang lebar dari responden.
Berdasarkan sifat jawaban yang diinginkan
1. Angket tertutup berisi pernyataan dengan sejumlah jawaban tertentu sebagai pilihan.
2. Angket terbuka memberi kesempatan penuh memberi jawaban menurut apa yang dirasa
perlu oleh responden.
3. Kombinasi angket terbuka dan angket tertutup berisi angket tertutup yang mempunyai
sejumlah jawaban ditambah alternatif terbuka yang memberi kesempatan kepada
responden memberi jawaban di luar jawaban yang tersedia.

D. JENIS-JENIS PERTANYAAN DALAM ANGKET


1. Pertanyaan Terbuka : pertanyaan-pertanyaan yang memberi pilihan-pilihan respons
terbuka kepada responden. Pada pertanyaan terbuka antisipasilah jenis respons yang
muncul. Respons yang diterima harus tetap bisa diterjemahkan dengan benar.
2. Pertanyaan Tertutup : pertanyaan-pertanyaan yang membatasi atau menutup pilihan-
pilihan respons yang tersedia bagi responden.
3. Dalam membuat pertanyaan untuk angket setidaknya ada delapan hal yang harus
diperhatikan:
a. Jangan gunakan perkataan sulit
b. Jangan gunakan pertanyaan yang bersifat terlalu umum
c. Hindarkan pertanyaan yang ambigu
d. Jangan gunakan kata yang samar-samar
e. Hindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti
f. Jika dikaitkan dengan leluasa tidaknya responden memberikan jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan, pertanyaan dibagi dalam dua jenis, yaitu:
1) Pertanyaan tertutup
Kemungkinan jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak
diberi kesempatan memberikan jawaban lainnya.
2) Pertanyaan terbuka
Kemungkinan jawabannya tidak ditentukan terlebih dahulu dan responden bebas
memberikan jawaban.
3) Kombinasi tertutup dan terbuka
Jawabannya sudah ditentukan tetapi kemudian disusul dengan pertanyaan
terbuka.
4) Pertanyaan semi terbuka
Jawabannya sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban.
Pertanyaan yang dibuat harus mempunyai hubungan yang relevan dengan
permasalahan pokok dan harus dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Pertanyaan seyogyanya harus dapat dijawab oleh responden dalam waktu
singkat. Dalam menyusun pertanyaan setidaknya ada dua hal yang perlu
dipikirkan, yaitu isi dari setiap item pertanyaan dan hubungan antara item dengan
item dalam keseluruhan kuesioner.

E. SKALA DALAM ANGKET


Penskalaan adalah proses menetapkan nomor-nomor atau simbol-simbol terhadap suatu
atribut atau karakteristik yang bertujuan untuk mengukur atribut atau karakteristik tersebut.
Alasan penganalisis sistem mendesain skala adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengukur sikap atau karakteristik orang-orang yang menjawab kuesioner.
2. Agar respoden memilih subjek kuesioner.
Ada empat bentuk skala pengukuran , yaitu :
1. Nominal
Skala nominal digunakan untuk mengklasifikasikan sesuatu. Skala nominal merupakan
bentuk pengukuran yang paling lemah, umumnya semua analis bisa menggunakannya
untuk memperoleh jumlah total untuk setiap klasifikasi. Contoh : Apa jenis perangkat
lunak yang paling sering anda gunakan ? 1 = Pengolah kata, 2 = Spreadsheet, 3 =
Basis Data, 4 = Program e-mail
2. Ordinal
Skala ordinal sama dengan skala nominal, juga memungkinkan dilakukannya kalsifikasi.
Perbedaannya adalah dalam ordinal juga menggunakan susunan posisi. Skala ordinal
sangat berguna karena satu kelas lebih besar atau kurang dari kelas lainnya.
3. Interval
Skala interval memiliki karakteristik dimana interval di antara masing-masing nomor
adalah sama. Berkaitan dengan karakteristik ini, operasi matematisnya bisa ditampilkan
dalam data-data kuesioner, sehingga bisa dilakukan analisis yang lebih lengkap.
4. Rasio
Skala rasio hampis sama dengan skala interval dalam arti interval-interval di antara
nomor diasumsikan sama. Skala rasio memiliki nilai absolut nol. Skala rasio paling
jarang digunakan.

F. MERANCANG ANGKET
Merancang formulir-formulir untuk input data sangat penting, demikian juga merancang
format kuesioner juga sangat penting dalam rangka mengumpulkan informasi mengenai
sikap, keyakinan, perilaku dan karakteristik.
1. Format kuesioner sebaiknya adalah :
a. Memberi ruang kosong secukupnya,
b. Menunjuk pada jarak kosong disekeliling teks halaman atau layar. Untuk
meningkatkan tingkat respons gunakan kertas berwarna putih atau sedikit lebih
gelap, untuk rancangan survey web gunakan tampilan yang mudah diikuti, dan bila
formulirnya berlanjut ke beberapa layar lainya agar mudah menggulung kebagian
lainnya.
c. Memberi ruang yang cukup untuk respons,
d. Meminta responden menandai jawaban dengan lebih jelas.
e. Menggunakan tujuan-tujuan untuk membantu menentukan format.
2. Urutan Pertanyaan
Dalam menurutkan pertanyaan perlu dipikirkan tujuan digunakannya kuesioner dan
menentukan fungsi masing-masing pertanyaan dalam membantu mencapai tujuan.
3. Pertanyaan-pertanyaan mengenai pentingnya bagi responden untuk terus, pertanyaan
harus berkaitan dengan subjek yang dianggap responden penting.
4. Item-item cluster dari isi yang sama.
5. Menggunakan tendensi asosiasi responden.
6. Kemukakan item yang tidak terlalu kontroversial terlebih dulu.

G. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANGKET


Kelebihan menggunakan teknik angket antara lain:
1. Angket dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar karena dapat dikirimkan melalui
pos.
2. Biaya yang diperlukan untuk membuat angket relatif murah.
3. Angket tidak terlalu mengganggu responden karena pengisiannya ditentukan oleh
responden sendiri sesuai dengan kesediaan waktunya.
Adapun kekurangan angket antara lain:
1. Jika angket dikirimkan melalui pos maka persentase yang dikembalikan relatif rendah.
2. Angket tidak dapat digunakan untuk responden yang kurang bisa membaca dan
menulis.
3. Pertanyaan-pertanyaan dalam angket dapat ditafsirkan salah dan tidak ada kesempatan
untuk mendapat penjelasan.
BAB VII

SOSIOMETRI

A. PENGERTIAN
Sosiometri adalah alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu
dengan dasar penelaahan terhadap relasi sosial dan status sosial dari masing-masing
anggota kelompok yang bersangkutan. Menurut Bimo Walgiti (1987) sosiometri adalah alat
untuk dapat melihat bagaimana hubungan sosial atau hubungan berteman. Sosiometri
merupakan suatu metode untuk memperoleh data tentang hubungan sosial dalam suatu
kelompok, yang berukuran kecil sampai sedang ( 10 – 50 orang ), berdasarkan preferensi
pribadi antara anggota-anggota kelompok . Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan pengertian sosiometri adalah suatu tehnik untuk mengumpulkan data tentang
hubungan sosial seorang individu dengan individu lain, struktur hubungan individu dan arah
hubungan sosialnya dalam suatu kelompok.

B. TUJUAN SOSIOMETRI
Dengan mempelajari data sosiometri seorang konselor dapat :
1. Menemukan murid mana yang ternyata mempunyai masalah penyesuaian diri
dalam kelompoknya.
2. Membantu meningkatkan partisipasi sosial diantara murid-murid dengan
penerimaan sosialnya.
3. Membantu meningkatkan pemahaman dan pengertian murid terhadap masalah
pergaulan yang sedang dialami oleh individu tertentu.
4. Merencanakan program yang konstruktif untuk menciptakan iklim sosial yang
lebih baik dan sekaligus membantu mengatasi masalah penyesuaian di kelas
tertentu.

C. MANFAAT SOSIOMETRI
Dengan mempelajari data sosiometri seorang konselor dapat :
1. Memperbaiki struktur hubungan sosial para siswa di dalam kelasnya.
2. Memperbaiki penyesuaian hubungan sosial siswa secara individual.
3. Mempelajari akibat-akibat praktik-praktik sekolah terhadap hubungan sosial di kalangan
siswa.
4. Mempelajari mutu kepemimpinan dalam stuasi yang bermacam-macam.
5. Menemukan norma-norma pergaulan antarsiswa yang diinginkan dalam kelompok /
kelas bersangkutan.
Sosiometri sebagai alat penilaian nontes sangat berguna bagi guru dalam beberapa hal,
antara lain:
Untuk pembentukan kelompok dalam menentukan kelompok kerja (pembagian tugas)
1. Untuk pengarahan dinamika kelompok
2. Untuk memperbaiki hubungan individu dalam kelompok dan memberi bimbingan
kepada setiap anak.

D. MACAM-MACAM SOSIOMETRI
Metode sosiometri ini mencoba untuk menemukan individu dalam situasi di mana
mereka secara spontan mengungkapkan hubungannya. Sosiomerti dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu :
1. Sosiometri Tipe Nominatif
Dalam tipe ini setiap individu dalam kelompok ditanyai, siapa-siapa kawan yang
disenangi / tidak disenangi untuk diajak melakukan suatu aktivitas tertentu atau siapa
kawannya dalam suatu pola hubungan tertentu. Pilihan itu harus ditulis berurutan dari
pilihan pertama ( paling disenangi ), pilihan kedua dan seterusnya.
Contoh-contoh pertanyaan untuk sosiometri tipe nominatif antara lain sebagai berikut

a. Dengan siapakah anda ingin duduk dalam satu bangku ?


b. Dengan siapa anda senang bermain ?
c. Siapakah kawan yang terbaik ?
d. Dengan siapakah anda senang bekerjasama ?
e. Apabila anda mendapatkan kesulitan-kesulitan, kepada siapakah anda biasanya
meminta pertolongan ?
f. Apabila kelas anda akan melakukan kerja kelompok, dengan siapakah anda senang
berkelompok ?

2. Sosiometri Tipe Skala Bertingkat


Dalam tipe ini disediakan sejumlah statement yang disusun secara bertingkat, yaitu dari
statemen yang menyatakan hubungan yang paling dekat, sampai dengan statemen yang
menyatakan huungan yang paling jauh. Dalam setiap statemen kepada individu diminta
untuk mengisi nama salah seorang temannya yang hubungannya sesuai dengan yang
dinyatakan tersebut. Contoh-contoh statemennya adalah sebagai berikut :

a. Saya sangat menyenangi teman ini. Saya sangat senang bersama-sama dengan teman
ini kemanapun saya pergi. Kalau saya mempunyai problem kepadanyalah saya minta
bantuan. Sebaliknya, saya pun senantiasa siap membantunya. Teman tersebut
adalah…………...
b. Saya menyenangi teman ini. Saya sering bekerjasama dengannya dalam menyelesaikan
tugas-tugas tertentu. Saya juga sering berbincang-bincang dengannya. Teman yang
saya maksud tersebut adalah…………………………………………………………….
c. Saya dapat bergaul secara baik dengan teman ini. Saya tidak keberatan. kalau ia
merupakan salah satu anggota kelompok kami. Saya dapat bekerja sama dan bemain
dengan teman ini dalam kegiatan- kegiatan sekolah, walaupun di luar sekolah saya
jarang sekali berhubungan dengannya. Teman tersebut adalah…………………………………
d. Saya tidak begitu akrab dengan teman ini. Di sekolah saya hanya bicara seperlunya
saja. Kalau bertemu di jalan biasanya kami hanya saling mengangguk atau sekedar
saling senyum atau saling menegur dengan ucapan “hallo” saja. Teman yang saya
maksud tersebut adalah………………………………………………………………
e. Saya tidak menyukai teman ini. Saya selalu berusaha untuk menghindari pertemuan
dengan teman ini. Saya keberatan kalau ia dimasukkan ke dalam kelompok kami.
Teman yang saya maksud tersebut adalah………………………………………………………
3. Sosiometri Tipe Siapa Dia
Dalam tipe ini disediakan sejumlah statement tentng sifat-sifat individu. Sebagian dari
statemen- statemen tersebut mengungkapkan sifat yang positif dan sebagian lagi
mengungkapkan sifat yang negatif. Kepada masing-masing anggota kelompok diminta
memilih kawan-kawannya yang mempunyai sifat yang cocok dengan yang diungkapkan
oleh statemen tersebut.

Sosiometri tipe ini sering juga disebut tipe “terkalah dia” (guess who). Dan karena pada
setiap statemen ada kemungkinan pilihan lebih dari seorang, maka tipe ini sering juga
disebut tipe “siapa mereka” (who are they).
Contoh-contoh statemennya antara lain :

a. Dalam keadaan kelas ini ada teman yang hampir tidak pernah marah walaupun
diganggu oleh temannya. Teman tersebut adalah…………………
b. Dalam kelas ini ada teman yang sering murung. Ia jarang bergurau atau bercerita
tentang hal-hal yang lucu (joke). Dia / mereka adalah : ………………………………………
c. Dalam kelas kami ada teman yang angkuh dan tidak pernah mau menghargai pendapat
orang lain. Ia sering marah-marah kalau ada orang lain yang menyangkal pendapatnya.
Dia / mereka adalah : ………………………………………………………………….
d. Dalam kelas ini ada teman yang dapat bekerjasama secara baik dengan setiap orang. Ia
bekerja dengan giat dan bertanggung jawab terhadap setiap tugas yang diberikan
kepadanya. Dia / mereka adalah………………………………………………………………..

E. DATA SOSIOMETRI
1. Interaksi sosial
2. Kontak sosial
3. Tingkah laku sosial
Sebagai tempat melatih dan membina siswa melakukan berbagai aktivitas sosial
sekolah dilengkapi dengan tata tertib sebagai normanya. Di lihat dari sisi ini perilaku sosial
merupakan prestasi yang harus dicapai oleh para siswa di sekolah. Salah satu salah satu alat
ukur yang sering diguakan untuk hal ini adalah sosiometri.
Dari hasil penggunaan sosiometri di beberapa sekolah diperolah gambaran, masih
banyak siswa yang menglami salah suai (maladjustment), yaitu siswa terisolir, ditolak/tidak
disenangi oleh temannya, sehingga tidak mampu menjalin kekohesifan hubungan dengan
sesama teman.
Data yang terkumpul merupakan hasil dari upaya kegiatan instrumentasi
Pengelompokan:
1. Data pribadi
Data yang diambil secara perseorangan, terpisah dan berkelanjutan
2. Data kelompok
Data yang menyangkut aspek tertentu dari setiap kelompok (kelas) tentang hasil
belajar, sosiometri.
3. Data umum
Data yang bukan berasal dari diri siswa maupun kelompok, tetapi dari luar kelompok
(informasi pendidikan, jabatan, lingkungan, sosial budaya)

F. LANGKAH-LANGKAH SOSIOMETRI
1. Tahap Persiapan.
a. Menentukan kelompok siswa yang akan diselidiki.
b. Memberikan informasi atau keterangan tentang tujuan
penyelenggaraan sosiometri.
c. Mempersiapkan angket sosiometri.
2. Tahap Pelaksanaan.
a. Membagikan dan mengisi angket sosiometri.
b. Mengumpulkan kembali dan memeriksa apakah angket sudah diisi dengan Benar
3. Tahap Pengolahan.
a. Memeriksa hasil angket
b. Mengolah data sosiometri dengan cara menganalisa indeks, menyusun tabel tabulasi,
membuat sosigram.
Langkah yang ditempuh guru dalam sosiometri ada 2 yaitu:
1. Langkah pemilihan teman
Disini guru menyuruh semua murid untuk memilih teman-temannya yang disenangi
secara berurutan sebanyak satu atau dua anak. Dalam memilih anak perlu disebutkan
alasan mengapa harus memilih teman itu.
2. Langkah Pembuatan Gambar (Sosiogram)
Dari data yang telah kita buat dalam metrik sosiometri, dapat pula kita buat sebuah
peta atau sosiogram. Dalam pembuatan sosiogram usahakan anak yang paling banyak
dipilih diletakan ditengah-tengah, agar dapat mudah diketahui siapa yang paling banyak
dipilih.
Dengan melihat hasil sosiometri kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan dan
relasi sosial dari masing-masing anak dalam kelompok. Sehingga hasil dari sosiogram ini
dapat dibuat pertimbangan untuk menilai sikap sosial anak dan kepribadiannya dalam
kelompok.

G. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan Sosiometri
1. Sosiometri tidak seharusnya dipergunakan sendirian, terlepas dari data yang
dikumpulkan melalui metode lain.
2. Agar menghasilkan data yang valid, pembimbing/pengumpul data harus mengikuti
semua prosedur / langkah-langkah penyelenggaraan sosiometri secara tepat.
3. Informasi yang diperoleh harus dijaga kerahasiannya. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya anak yang terisolir menjadi makin rendah diri.
4. Perlu diusahakan untuk meniadakan klik-klik di dalam kelompok sosial.
5. Pemindahan anak-anak yang terisolir masuk ke dalam kelompok lain, harus diperhatikan
interaksi penerimaan kedua belah pihak.
6. Pembimbing perlu menyadari kebutuhan khusus apa yang diperlukan oleh individu-
individu tertentu.

H. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN SOSIOMETRI


Kelebihan sosiometri
1. Mengetahui hubungan sosial antar siswa.
2. Meningkatkan hubungan sosial antar siswa.
3. Menempatkan siswa dalam kelompok yang sesuai.
4. Menemukan siswa mana yang mempunyai masalah penyesuaian diri dengan
kelompoknya.
5. Membantu meningkatkan partisipasi sosial diantara siswa dengan penerimaan sosialnya.
6. Membantu meningkatkan pemahaman siswa dalam pergaulan yang sedang dialami.
7. Membantu konselor dalam menciptakan iklim sosial yang lebih baik dengan
menyesuaikan program yang konstruktif.
Kelemahan sosiometri.
1. sangat sulit dijamin kerahasiaannya, karena siswa cenderung saling mananyai
pilihannya.
2. siswa memilih bukan atas dasar pertimbangan dengan siapa dia akan paling berhasil
dalam melakukan pekerjaan, tetapi atas dasar rasa simpati dan antipati.
3. memerlukan waktu banyak / lama.
BAB VIII

DAFTAR CEK MASALAH

A. PENGERTIAN
Daftar cek masalah adalah sebuah daftar kemungkinan masalah yang disusun untuk
merangsang atau memancing pengutaraan masalah yang pernah atau sedang dialami oleh
seseorang, menyangkut keadaan pribadi individu seperti sikap, minat, kondisi jasmaniah,
hubungan sosial kejiwaan, kondisi rumah serta keluarga, dll
Pernyataan-pernyataan tersebut, dikelompokkan kedalam 11 bidang masalah, yakni:
1. Masalah Kesehatan
2. Masalah Ekonomi
3. Masalah Rekreasi dan Hobby/Kegemaran
4. Masalah Kehidupan Sosial
5. Masalah Hubungan Pribadi
6. Masalah Muda-Mudi
7. Masalah Kehidupan Keluarga
8. Masalah Agama dan Moral
9. Penyesuaian terhadap Sekolah
10. Masalah Masa depan dan Cita-Cita, dan
11. Masalah penyesuaian terhadap Kurikulum

B. TUJUAN DAN MANFAAT DCM


1. Untuk memudahkan individu mengemukakan masalah yang pernah dan sedang
dihadapi. Dengan daftar cek masalah memungkinkan individu mengingat kembali
masalahmasalah yang pernah dialaminya.
2. Untuk sistematisasi jenis masalah yang ada pada individu agar memudahkan analisis
dan sintesis dengan data yang diperoleh dengan cara/alat lain.
3. Untuk menyarankan suatu preoritas program pelayanan Bimbingan dan Konseling
sesuai dengan masalah individu maupun kelompok saat itu.
Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dengan menggunakan DCM yaitu :
1. Untuk melengkapi data yang sudah ada.
2. Untuk mengenal individu yang perlu segera mendapat bimbingan khusus.
3. Sebagai pedoman penyusunan program bimbingan kelompok pada umumnya.
4. Untuk mendalami masalah individu maupun kelompok.

C. LANGKAH‐LANGKAH PENYELENGGARAAN
1. Persiapan
a. Konselor menyiapkan bahan sesuai dengan jumlah siswa
b. Konselor benar‐benar menguasai petunjuk cara mengerjakan
2. Pelaksanaan
a. Mengontrol situasi ruangan
b. Konselor memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan menggunakan DCM
c. Memberikan instruksi kepada siswa untuk mempersiapkan alat‐alat tulis
d. Membagikan lembar DCM Memberikan instruksi kepada siswa untuk menulis identitas
diri dan tanggal pelaksanaan DCM siswa
e. Membacakan petunjuk cara mengerjakan DCM, siswa membaca dalam hati
f. Memberi contoh cara mengerjakan DCM
g. Memberikan instruksi untuk mengerjakan DCM, dan memperingatkan agar siswa
bekerja dengan tenang dan teliti, dan memberitahukan bahwa waktu yang sediakan
cukup lama, + satu jam
h. Mengontrol apakah para siswa telah mengerjakan DCM dengan benar
i. Mengumpulkan pekerjaan
Dari pernyataan-pernyataan masalah yang dipilih oleh siswa, selanjutnya Konselor
Sekolah atau Guru Pembimbing dapat mengolah hasil jawabannya kedalam program excel.
Harapannya pekerjaan kita akan lebih cepat, mudah dan akurat.
Setelah hasil analisis masalah telah kita peroleh, Konselor/Guru Pembimbing dapat
merumuskan dan menyusun strategi jenis layanan Bimbingan dan Konseling apa yang saat
ini mendesak dibutuhkan oleh siswa.

D. KELEBIHAN
1. Efisiensi
DCM dikatakan efisien, karena dengan DCM dapat diperoleh banyak data tentang
masalah dan kebutuhan siswa dalam waktu singkat.
2. Intensif
Dikatakan intensif, karena data problem yang diperoleh melalui DCM lebih teliti,
mendalam dan luas. Data semacam ini kurang dapat diperoleh melalui teknik lain
seperti observasi, autobiografi, wawancara dan sebagainya.
3. Validitas dan reliabilitas.
Dikatakan valid dan reliabel, antara lain karena individu yang bersangkutan mengecek
sendiri masalah yang sedang ia alami, disamping jumlah item kemungkinan masalah
yang cukup banyak.
BAB IX

ALAT UNGKAP MASALAH (AUM)

Untuk mengungkapkan masalah-masalah siswa dan mahasiswa secara menyeluruh


telah dikembangkan dua jenis alat ungkap masalah, yaitu; (1) alat untuk mengungkapkan
masalah-masalah umum dan (2) alat untuk mengungkapkan masalah-masalah khusus yang
berkaitan dengan upaya dan penyelenggaraan kegiatan belajar. Kedua jenis alat ungkap itu
yang dikenal dengan AUM ”Umum ” dan AUM ”Belajar”. AUM ”Belajar” itu lebih khusus lagi
dinamakan AUM PTSDL.
Tabel 3. Format AUM
Format AUM
Sasaran Penggunaan
No
AUM UMUM AUM Belajar

1 Perguruan Tinggi AUM Umum F1 AUM PTSDL F1


2 SLTA AUM Umum F2 AUM PTSDL F2
3 SLTP AUM Umum F3 AUM PTSDL F3
4 SD - AUM PTSDL F4
5 Masyarakat AUM Umum F5 -

A. PENGERTIAN AUM-UMUM
Alat Ungkap Masalah atau biasa disebut AUM. Alat Ungkap Masalah adalah sebuah
instrumen standar yang dikembangkan oleh Prayitno, dkk. yang dapat digunakan dalam
rangka memahami dan memperkirakan (bukan memastikan) masalah-masalah yang
dihadapi konseli. Alat Ungkap Masalah ini didesain untuk mengungkap 10 bidang masalah
yang mungkin dihadapi konseling Kesepuluh bidang masalah tersebut mencakup:
1. Jasmani dan Kesehatan (JDK), yang terdiri dari dua puluh lima item.
2. Diri Pribadi (DPI) yang terdiri dari dua puluh item.
3. Hubungan Sosial (HSO) yang terdiri dari lima belas item.
4. Ekonomi dan Keuangan (EDK) yang terdiri dari lima belas item.
5. Karir dan Pekerjaan (KDP) yang terdiri dari lima belas item.
6. Pendidikan dan Pelajaran (PDP) yang terdiri dari lima puluh lima item.
7. Agama, Nilai, dan Moral (ANM) yang terdiri dari tiga puluh item.
8. Hubungan Muda-Mudi (HMM) yang terdiri dari lima belas item.
9. Keadaan dan Hubungan dalam Keluargha (KHK) yang terdiri dari dua puluh lima item.
10. Waktu Senggang (WSG) yang terdiri dari sepuluh item.

B. TUJUAN
Pengadministrasian AUM Umum bertujuan untuk :
1. Mendapatkan gambaran mengenai masalah pribadi dan masalah berat yang dialami
siswa, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu dasar untuk pemberian bantuan
serta tindak lanjut terhadap masalah
2. Mengetahui masalah kelompok dikalangan siswa sesuai bidang masalah

C. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
1. Membuka kegiatan
2. Menjelaskan apa, untuk apa, dan cara pengolaah AUM Umum
3. Membagikan buku dan lembar jawaban AUM Umum kepada siswa.
4. Membaca serta menjelaskan petunjuk pengisian AUM Umum
5. Siswa yang belum paham diminta untuk mengajukan pertanyaan
6. Meminta siswa mengisi identitas dan lembaran jawaban AUM Umum
7. Mengumpulkan dan memeriksa kelengkapan lembar jawaban AUM PTSDL yang diisi oleh
siswa.
8. Menutup kegiatan.

D. PENGERTIAN AUM-PTSDL
AUM PTSDL adalah alat untuk mengungkapkan masalah-masalah khusus yang berkaitan
dengan upaya dan penyelenggaraan kegiatan belajar. Kegiatan belajar mahasiswa atau
siswa di dalam mengikuti PBM (Proses Belajar Mengajar) dan belajar di luar kelas itu amat
tergantung pada 5 hal :
1. prasyarat penguasaan materi pengajaran (P)
2. ketrampilan belajar (T)
3. sarana belajar (S)
4. keadaan diri pribadi (D)
5. lingkungan belajar dan sosio-emosional (L)

E. KOMPOSISI AUM PTSDL


No. KOMPOSISI AUM PTSDL Sing- Jml Item
Bidang Masalah katan
F.1 MHS F.2 SLTA F.3 SLTP F.4 SD
1 Prasyarat penguasaan P 20 20 10 8
materi pelajaran

2 Keterampilan belajar T 75 75 75 48

3 Sarana Belajar S 15 15 10 11

4 Diri pribadi D 30 30 30 18
mahasiswa/siswa
5 Lingkungan belajar dan L 25 25 25 11
sosio-emosional
Ju m l a h 165 165 145 96

F. TUJUAN
1. Layanan orientasi dan informasi
a. Informasi umum
Data kelompok dipergunakan untuk memberikan informasi kepada seluruh siswa
tentang mutu kegiatan dan masalah-masalah belajar yang mereka alami secara
keseluruhan dalam format klasikal.
b. Orientasi dan informasi khusus
Masalah dalam buku AUM PTSDL-2 ada sejumlah item di antaranya yang berkaitan
dengan layanan orientasi dan informasi
contoh:
Item no.091 : kurikulum, urutan materi pelajaran dan buku-buku pelajaran kurang
membantu saya dalam menguasai materi pelajaran dan atau keterampilan dari yang
lebih rendah ke yang lebih tinggi.
2. Layanan penempatan dan penyaluran
contoh:
Item no.138 : minat, kemampuan dan atau gambaran saya tentang masa depan
membuat saya berfikir-fikir untuk berhenti sekolah dan mencari kerja
3. Layanan pembelajaran
Membantu siswa mengembangkan keterampilan belajar dan penguasaan terhadap
materi pelajaran.
4. Layanan konseling perorangan
5. Layanan bimbingan dan konseling kelompok
layanan bimbingan kelompok membahasa topic-topik umum yang disepakati bersama

G. FREKUENSI PENGADMINISTRASIAN
 AUM PTSDL sebaiknya dilaksanakan setiap semester yaitu pada semester pertama
dan semester berikutnya.
 Hasilnya digunakan sebagai dasar untuk memberikan palayanan bimbingan dan
konseling.
 Hasil AUM yang kedua dapat dipergunakan untuk mengetahui apakah mhs/siswa
yang bersangkutan masih mengalami masalah belajar yang lama atau mengalami
masalah baru dan bagaimana mutu kegiatan belajarnya.
BAB X

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN

A. PENGERTIAN
Manusia sepanjang hidupnya selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut
berlangsung dalam beberapa tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap
dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan secara keseluruhan. Untuk
mengidentifikasi masalah perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif tentang tingkat-
perkembangan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan
peserta didik adalah ITP (Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh
Sunaryo, dkk. Dengan alat ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat memahami
tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang
menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam
menyelesaikan tugas perkembangannya.
ITP (Inventori Tugas Perkembangan) adalah satu instrumen yang dapat digunakan
untuk mengukur tingkat perkembangan peserta didik, yang dikembangkan oleh Sunaryo,
dkk. ITP menurut (Kartadinata dkk, 2003:3), untuk mengukur tingkat perkembangan siswa
atau pencapaian tugas-tugas perkembangan dari setiap aspek perkembangan, teori
perkembangan diri dari Loevinger (ITP,2001:3) dipilih sebagai kerangka kerja teoretik dalam
mengembangkan inventori tugas-tugas perkembangan.
Berdasarkan hasil ITP ini, dapat disusun program bimbingan yang memungkinkan
peserta didik dapat berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.

B. TUJUAN

1. Petunjuk untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari individu pada usia
tertentu.
2. Memberi motivasi untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu.
3. Karena bertahap, tugas perkembangan menunjukan apa yang akan dihadapi dan
tindakan yang diharapkan pada perkembangan berikutnya.
C. TINGKAT PERKEMBANGAN INDIVIDU
Loevinger merumuskan bangun perkembengan diri ke dalam sembilan tingkat. Tingkat
pertama yaitu “pra sosial” merupakan tingkat di mana individu belum mampu membedakan
diri dengan lingkungan. Tingkat terakhir yaitu integrated, merupakan tingkat yang jarang
dicapai oleh orang kebanyakan. Oleh karena itu bangun tingkatan perkembangan dalam ITP
ini terdiri atas tujuh tingkatan dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b) bergantung
pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak menempatkan diri
sebagai penyebab perilaku.
2. Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang
dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan secara
oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d) melihat kehidupan
sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.
3. Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir
sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif dangkal;
(e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f) perbedaan
kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima kelompok; (h) tidak
sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika melanggar aturan.
4. Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan dan
berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat dari
kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara hidup;
dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan
5. Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu melihat
diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat keragaman
emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan mutualistik; (e) memiliki
tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan (g)
berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.
6. Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b)
kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c)
menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi
perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam
kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g)
mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah
sosial.
7. Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan;
(b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun orang lain; (c) peduli
akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai
yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f) ada keberanian untuk
menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap kemandirian orang lain; (h) sadar
akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan (i) mampu
mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

D. ASPEK PERKEMBANGAN INDIVIDU


Sedangkan sebelas aspek perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup
:
(1) landasan hidup religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4)
kematangan intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau
wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, (8) kemandirian perilaku ekonomi, (9)
wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan (11)
persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan SLTP hanya
mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.

E. FORMAT ITP
ITP berbentuk angket yang terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh
siswa. Setiap soal (kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang
mengukur satu sub aspek.
Tingkat perkembangan siswa dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek.
Besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat perkembangan siswa
1. Tingkat sekolah dasar (ITP SD):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang
10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
2. Tingkat SLTP (ITP SLTP):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang
10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
3. Tingkat SLTA (ITP SLTA):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang
11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
4. Tingkat Perguruan Tinggi (ITP PT):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11
soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S & Jabar. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Azwar, Syaifuddin. Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Calongesi, J.S. 1995. Merancang Tes untuk Menilai Prestasi Siswa. Bandung : ITB

Gabel, D.L. 1993. Handbook of Research on Science Teaching and Learning.


New York: Maccmillan Company.

Gun, Taufik. 2010. Bimbingan konseling, www. taufikgun.blogspot.com. Akses 21 Februari


2012

Hood, A.B., & Johnson, R.W., 1993. Assessment in Counseling: a Guide to the Use
Psychological Assessment Procedures. American Counseling Assocition

Ilham, Khairi. 2011. Sejarah Lahirnya Alat Ungkap Masalah, www.khairiilham.blogspot.


com. Akses 21 Februari 2012

Irawan Soehartono. 2000. Metode Penelitian Sosial. PT Remaja Rosdakarya: Bandung

Kumano, Y. 2001. Authentic Assessment and Portfolio Assessment-Its Theory and Practice.
Japan: Shizuoka University.

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. LP3ES: Jakarta.

Mastarmudi. 2010. pengertian-observasi. www. mastarmudi.blogspot.com. Akses 22


Februari 2012

Moh. Nazir. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Bogor.

Mulyadi.2011. Pengertian Asesmen Serta Formatnya.www.yadhy-nienk.blogspot.com. akses


22 Februari 2012

Psychologymania. 2011. pengukuran-psikologi-defenisi-sejarah, www. psychologymania .


com. Akses 22 Februari 2012

Purwanto, N. 2002. Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran. Bandung: Rosda Karya

Rafika, S. 2008. Konsep dasar terapi kelompok, www.e-psikologi.com. Akses 18 Novemer


2010
Resnick, D.P. & Resnick, L.B. 1985. Standards, Curriculum, and Performance: A Historical
and Comparative Perspektive Educational Researcher

Rustaman,N. 2003. Asesmen Pendidikan IPA. Makalah penataran guru-guru


NTT di Jurusan pendidikan Biologi.

Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment. New York : Macmillan College
Publishing Company.

Subekti, R. & Firman, H.. (1989). Evaluasi Hasil Belajar dan Pengajaran Remedial. Jakarta:
UT

Sudjana,N. & Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Sudrajat , Akhmad . 2008. Alat Ungkap Masalah Siswa (AUM).www.akhmadsudrajat


wordpress.com. Akses 21 Februari 2012

Suryabrata, Sumadi. 2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Andi

Tayibnapis, F.Y. 2000 Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.

Wiggins, G. 1984. A True Test: Toward More Authentic and Equitable Assessment. Phi Delta
Kappan

Yulaelawati, E. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Pakar RayaJakarta.

Zainul & Nasution. 2001. Penilaian Hasil belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.

Zainul, A. 2001. Alternative assessment. Jakarta: Dirjen Dikti

Anda mungkin juga menyukai