Di susun oleh :
Kelompok 5
1. Dimas Fitrah Ariesandy Rivai
2. Firmansyah Wahab
3. Siti Avia Zanuba Djama
4. Fajriah Muthmainnah Laya
1443H/2021M
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya
sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan Makalah Akhlak Tasawuf dengan judul “Sanad
Ajaran Kaum Sufi dan Thariqoh mereka” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari banyak
pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa
mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu kami dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu,
dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat dan
juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk mengangkat berbagai
permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah berikutnya.
Manado, 31 Oktober 2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................
2.1 Pengertian Sanad ..........................................................................................................
2.2 Sanad Ajaran Kaum Sufi .............................................................................................
2.2 Tarekat Kaum Sufi .......................................................................................................
BAB III : PENUTUP .........................................................................................................
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................
3.2 Saran ............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Sufisme (bahasa Arab: صوفية, shufiyyah) atau tasawuf (bahasa Arab: تصوف, tashawwuf)
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada
awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.Tasawwuf sebagai pengamalan zuhud sudah
dikenal secara luas pada abad pertama dan menjelang berakhirnya abad kedua Hijriyah. sedangkan
kata Tasawuf dan sufi baru muncul menjelang berakhirnya abad kedua Hijriyah, dan tersebar luas
hingga menjadi salah stu cabang ilmu keislaman yang mempunyai kaidah-kaidah dan dasar-dasar
seperti cabang-cabang ilmu lainnnya.
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-
Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-
ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki
sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang
mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah
dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali
Menurut bahasa, Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, jalan kecil
atau gang. Menurut istilah, Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk
mencapai tujuannya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Istilah ini
digunakan hingga abad ke-11 M. Pada masa berikutnya, Tarekat menjadi organisasi keagamaan
kaum sufi dengan jumlah yang banyak dan nama yang beragam. Tarekat sufi tersebar ke Asia
Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Tarekat (berbagai aliran
dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau gabungan dari
beberapa tradisi.
Dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid
dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran
Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf,
pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah.
Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-
khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-
Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.
Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan
sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-
Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri,
dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sanad?
2. Bagaimana Sanad Ajaran Kaum Sufi?
3. Bagaimana Tarekat Kaum Sufi?
Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Selain sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata
rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari
Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari
ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari
ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:
Rasulullah
↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
↓
Imam al-Husain (Syahid Karbala)
↓
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin
↓
Imam Muhammad al-Baqir
↓
Imam Ja’far ash-Shadiq
↓
Imam Musa al-Kadlim
↓
Imam ‘Ali ar-Ridla
↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi
Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanad
ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini di samping sebagai penguat
bagi sanad pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama.
Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas
dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri
dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan
antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk
menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun tentang sanad yang kedua, tidak
ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti
terhadap tasawuf.
Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya
pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-
Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang
lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam
Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang
paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-
Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri
berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat
belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.
Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-
Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang
beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu
riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki
gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau
menolaknya.
Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan
melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:
Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa
pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang
menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki
keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.
Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa
khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan
oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke
hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk salah
satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya
berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai
manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-
Kamâl. Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di
atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah
berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut.
Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga
umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat
senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat
‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau
baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya
pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian.
Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah,
termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah;
ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya
pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.
Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari
sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan
sanadnya yang bersambung kepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata
kepada al-Hasan al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah
bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan al-Bashri menjawab:
“Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah
ditanyakan orang-orang sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan
memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau
lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari
kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar
dariku “Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”.[3]
Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh
riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka
dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang
ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami
Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa
Rasulullah bersabda:
ُع ْنه َ ب َحتّى يُ ْكش
َ َف َ ست َ ْي ِق
ِ ظ َوع َِن ا ْل ُمصَا ّ ُر ِف َع ا ْلقَلَ ُم ع َْن ثَالَث َ ٍة ع َِن ال
ْ َص ِغي ِْر َحتَّى يَ ْبلُ َغ َوع َِن النّائ ِِم َحتّى ي
“Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang
yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari
musibahnya tersebut”.
Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah
menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang
menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian
dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan
hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri
bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu
Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-
Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri
berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”.[4]
Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi
Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai
berikut:
1. Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan
kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn
Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib,
bahwa Rasulullah bersabda:
َ َاج ُم َوا ْل َم ْح ُج ْو ُم
َ ّ(روا ُه الن
)سائ ّي َ أ ْف
ِ ط َر ا ْلح
“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).
2. Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nyatentang zakat fitrah dengan sanad
berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan
kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali
ibn ‘Abi Thalib:
)َّارقُ ْط ِن ّي
َ (ر َوا ُه الد َ علَ ْي ُك ْم َفا ْج َعلُ ْو ُه صَاعًا مِ ْن بُ ٍ ّر َو
َ غي ِْر ِه َّ إ ْن َو
َ ُس َع هللا
“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan
lainnya” (HR. ad-Daraquthni).
3. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada
kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn
Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami
Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib
bahwa ia berkata:
Menurut bahasa, Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, jalan kecil
atau gang. Menurut istilah, Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk
mencapai tujuannya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Istilah ini
digunakan hingga abad ke-11 M. Pada masa berikutnya, Tarekat menjadi organisasi keagamaan
kaum sufi dengan jumlah yang banyak dan nama yang beragam. Tarekat sufi tersebar ke Asia
Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Anggota Tarekat terdiri
dari dua kelompok, yaitu murid dan pengikut awam. Murid adalah pengikut yang tinggal di dalam
ribath (semacam tempat khusus pendidikan tasawuf) dan memusatkan perhatian pada ibadah.
Sedangkan pengikut awam adalah mereka yang tinggal di luar ribath, serta tetap bekerja dengan
pekerjaan mereka sehari-hari. Tetapi, pada waktu-waktu tertentu mereka juga ikut berkumpul
untuk menjalani latihan spiritual.
Selanjutnya murid yang dipandang oleh syekh (guru tasawuf; mursyid) telah berhasil
mencapai tingkat tertinggi akan memperoleh ijazah (pengakuan untuk menjadi guru Tarekat).
Pemegang ijazah keluar dari ribath, kemudian mengadakan dan memimpin ribath yang serupa di
tempat lain, sehingga tersebar luas ke berbagai wilayah di dunia Islam. Akhirnya, pada abad ke-
12 M, terbentuklah organisasi-organisasi sufi dengan pengikutnya masing-masing. Dengan
demikian, Tarekat tidak lagi bermakna metode atau jalan, melainkan organisasi atau kesatuan
jamaah sufi dengan para pengikutnya. 2
Di antara Tarekat yang muncul pada abad ke-12 M adalah:
Pertama, Tarekat Ghazaliah. Tarekat ini dinisbatkan kepada pendirinya, Abu Hamid al-Ghazali
(w. 505 H). Dia memberi pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh sufi
berikutnya, seperti Abdul Qadir al-Jailani dan Ahmad ibn al-Rifa’i.
Kedua, Tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Abdul Qadir al-Jailani, lahir di Jailan
(470 H) dan wafat di Irak (561 H). Tarekat ini berkembang hingga ke Yaman, Siria, Mesir, India,
Turki, Sudan, Cina hingga Indonesia.
Ketiga, Tarekat Rifa’iah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Ahmad Rifa’i yang berasal dari kabilah
Arab, Bani Rifa’ah. Lahir di Irak tahun 1106 M dan wafat tahun 1182 M. Tarekat ini tersebar luas
ke Mesir dan Irak. Rifa’i dikenal sebagai “sufi yang meraung”, karena berdzikir dengan suara
nyaring, meraung-raung.
Keempat, Tarekat Suhrawardiah. Tarekat ini didirikan oleh Abu al-Najib al-Syuhrawardi (1097-
1168 M), lalu dikembangkan oleh saudaranya, Syihabuddin Abu Hash al-Baghdadi (1145-1234
M).
Kelima, Tarekat Syadziliyah. Tarekat ini didirikan oleh Nuruddin Ahmad ibn ‘Abdillah al-Syadzili
(1196-1258 M) dari Maroko. Pengikutnya tersebar ke Mesir, Afrika Utara, Afrika Barat,
Andalusia, Siria dan Indonesia.
Keenam, Tarekat Naqsyabandiah. Tarekat ini didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad
Bahauddin al-Naqsyabandi (1317-1389 M). Tarekat ini tersebar ke Turki, India, Cina dan
Indonesia. Secara garis besar, perkembangan Tarekat di Indonesia tergolong banyak, namun
sebagian hanya tinggal namanya.
Tarekat yang masih berkembang di Indonesia hingga sekarang antara lain Tarekat
Qadiriah, Naqsyabandiah, Sattariah dan Rifaiah. Adapun tokoh tasawuf dari Indonesia yang
terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nuruddin al-Raniri
dan Wali Songo.
Pada dasarnya, tidak ada Tarekat Sufi yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Jadi, Tarekat
apa saja yang tidak mengikuti al-Qur'an dan Hadis adalah Tarekat yang tidak boleh diikuti.
Menurut keterangan dalam Futuhat al-Ilahiyaat, syarat mengikuti Tarekat itu ada 8 (delapan):
Pertama, Tujuan yang Benar. Mengikuti Tarekat dengan tujuan yang benar, yaitu menghambakan
diri kepada Allah SWT; dan bermaksud menunaikan hak-hak ketuhanan; bukan bertujuan untuk
menghasilkan karamah, pangkat maupun hal-hal yang berhubungan dengan hawa nafsu, seperti:
pujian.
Kedua, Kesungguhan yang Jelas. Murid Tarekat harus mempercayai bahwa sang guru (Mursyid)
itu memiliki rahasia khusus yang dapat menyampaikan sang murid ke hadhirat Allah SWT.
Ketiga, Tata Krama yang Diridhai. Orang yang masuk Tarekat itu harus melakukan tata krama
yang diridhai syara', seperti: bersikap belas kasih kepada sesama makhluk.
Keempat, Tingkah Laku yang Bagus. Orang yang memasuki Tarekat itu, tingkah laku dan
ucapannya harus sesuai dengan Syari'at Nabi Muhammad SAW.
Kelima, Menjaga Kehormatan atau Harga Diri. Orang yang memasuki Tarekat itu harus
mengagungkan sang guru (Mursyid), baik ketika hadhir (bersamanya) maupun ketika ghaib (tidak
bersamanya); ketika sang guru masih hidup maupun sudah wafat; mengagungkan saudara sesama
muslim; berusaha membuat mereka tabah menghadapi penderitaan; membuat hati mereka menjadi
sabar; mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih terhadap orang yang di bawahnya.
Keenam, Pelayanan yang Baik. Orang yang masuk Tarekat itu harus memberi pelayanan yang
terbaik kepada sang guru dan saudara-saudara sesama muslim; berkhidmah kepada Allah SWT
dengan baik, melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan utama mengikuti
Tarekat.
Ketujuh, Cita-cita yang Luhur. Seseorang memasuki Tarekat itu, bukan lantaran menginginkan
dunia dan akhirat; melainkan menginginkan Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT.
Kedelapan, Melaksanakan Maksud atau Niat. Orang yang masuk Tarekat itu harus melaksanakan
maksudnya dan istiqamah dalam melakukan Tarekat; sebab yang demikian itu akan menghasilkan
Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT. Jika bermaksud melakukan suatu kebajian, maka dia
bersungguh-sungguh mengusahakannya sampai berhasil.
Tujuan mengikuti Tarekat adalah melakukan tata krama. Oleh karena itu, siapa saja yang
tidak mempunyai tata krama lahir-batin, maka orang tersebut (dinilai) tidak mempunyai Tarekat.
Abul Hasan al-Syadzili berkata: Ada 4 (empat) hal yang menjadi tata krama (adab) ahli Tarekat;
jika seorang ahli Tarekat tidak mempunyai empat tata krama ini, maka jangan dianggap sebagai
ahli Tarekat, sekalipun dia banyak ilmunya. Keempat tata krama itu adalah:
Pertama, Menjauhi orang-orang zhalim, seperti: orang yang berbuat sesuka hatinya atau orang
kaya yang suka berbuat zhalim kepada orang lain.
Kedua, Memuliakan ahli akhirat.
Ketiga, Menolong orang-orang fakir miskin.
Keempat, Melakukan shalat lima waktu dengan berjamaah bersama orang banyak. Oleh karena
itu, apabila seorang ahli Tarekat tidak melakukan empat hal tersebut, maka dia tidak dianggap ahli
Tarekat yang sebenarnya, dan anggap saja dia seperti debu.
Sedangkan 4 (empat) hal lain yang perlu dilakukan oleh ahli Tarekat adalah:
Pertama, Bersifat belas kasih kepada orang yang di bawahnya.
Kedua, Mengagungkan atau menghormati orang yang di atasnya.
Ketiga, Insaf; adil dan tegas terhadap dirinya sendiri.
Keempat, Tidak mengutamakan diri sendiri (egois).
Imam Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata: “Ada empat hal yang apabila dilakukan oleh
seseorang, berarti dia telah mengumpulkan seluruh kebajian (pada dirinya), yaitu:
ْ ت ا ْل ُم
َسلِمِ ْين ِ تَعْظِ ْي ُم ُح ُر َما
Mengagungkan kemuliaan atau kehormatan umat muslim
ِ َاف مِ ْن نَ ْف
س ِه ُ اإل ْنص
ِ ْ َو
Lurus dan adil terhadap diri sendiri
َار لَهَا
ِ اإل ْنتِص
ِ ْ ُت َ ْرك
Tidak membantu hawa nafsunya
Imam al-Suhrawardi berkata: “Tarekat sufi dimaksudkan untuk membersihkan hati;
berusaha mencari kebajikan atas hawa nafsu; berusaha membebaskan diri dari sikap-sikap
Takabbur (sombong), Riya' (berbuat sesuatu agar dilihat makhluk; bukan dilihat Allah SWT);
Huubud-dunya (cinta dunia), dan sebagainya; berusaha mempunyai akhlak terpuji, seperti:
Ikhlash, Tawadhu' (rendah hati), Tawakkal (berserah diri kepada Allah SWT), Ridho, dan
sebagainya; dapat Ma'rifat kepada Allah SWT; serta bertata-krama kepada Allah SWT”.
Adapun syarat-syarat menjadi guru Tarekat sebagaimana yang tertera di dalam Kitab
'Awaariful Ma'arif adalah:
[1] Pembahasan lebih luas lihat buku Membersihkan Nama Ibnu Arabi; Kajian Komprehensif
Tasawuf Rasulullah ditulis oleh H Kholil Abou Fateh, cet. Fattah Arbah Banten, 2010, klik link
ini http://allahadatanpatempat.blogspot.com/2011/05/buku-baru-membersihkan-nama-ibnu-
arabi.html
[2] Lihat mukadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berujud “Nasab al-Khirqah”, ditulis oleh al-
Hâfizh al-Ghumari. Secara khusus risalah ini penulis kaji pada bab tentang kajian terhadap karya-
karya Ibn ‘Arabi.
[3] as-Suyuthi, Ithâf al-Khirqah Bi Rafw al-Khirqah dalam al-Hâwi Li al-Fâtâwi, j. 2, h. 102
[4] Ibid. j. 2, h. 102-104
[5] at-Tasyarruf…, h. 103-104
[6] Ibid, h. 104. Imam Ibn ash-Shalah mengatakan bahwa nasab al-khirqah memiliki sanad ‘âli.
Bahwa ada pendapat yang mengatakan sanadtersebut tidak sampai ke puncaknya, namun hal
tersebut tidak menjadikan nasab al-khirqah ini menjadi cedera. Karena yang menjadi tujuan dari
adanya al-khirqah adalah untuk mencari keberkahan dari Allah lewat orang-orang saleh, di
mana al-khirqah turun-temurun berkesinambungan di antara mereka. Ibid, h. 108
[7] Ibid, h. 109-110
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), h. 255-256.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 257-258.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 258-261.
Bahasan ini penulis sarikan dari al-Durar al-Muntatsirah karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.