Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

"Sanad Ajaran Kaum Sufi dan Thariqoh Mereka"


Dosen Pengampu : Amiruddin M.Pd

Di susun oleh :
Kelompok 5
1. Dimas Fitrah Ariesandy Rivai
2. Firmansyah Wahab
3. Siti Avia Zanuba Djama
4. Fajriah Muthmainnah Laya

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MANADO

1443H/2021M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya
sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan Makalah Akhlak Tasawuf dengan judul “Sanad
Ajaran Kaum Sufi dan Thariqoh mereka” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari banyak
pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa
mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu kami dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu,
dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat dan
juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk mengangkat berbagai
permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah berikutnya.
Manado, 31 Oktober 2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................
2.1 Pengertian Sanad ..........................................................................................................
2.2 Sanad Ajaran Kaum Sufi .............................................................................................
2.2 Tarekat Kaum Sufi .......................................................................................................
BAB III : PENUTUP .........................................................................................................
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................
3.2 Saran ............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Sufisme (bahasa Arab: ‫صوفية‬, shufiyyah) atau tasawuf (bahasa Arab: ‫تصوف‬, tashawwuf)
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada
awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.Tasawwuf sebagai pengamalan zuhud sudah
dikenal secara luas pada abad pertama dan menjelang berakhirnya abad kedua Hijriyah. sedangkan
kata Tasawuf dan sufi baru muncul menjelang berakhirnya abad kedua Hijriyah, dan tersebar luas
hingga menjadi salah stu cabang ilmu keislaman yang mempunyai kaidah-kaidah dan dasar-dasar
seperti cabang-cabang ilmu lainnnya.
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-
Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-
ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki
sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang
mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah
dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali
Menurut bahasa, Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, jalan kecil
atau gang. Menurut istilah, Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk
mencapai tujuannya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Istilah ini
digunakan hingga abad ke-11 M. Pada masa berikutnya, Tarekat menjadi organisasi keagamaan
kaum sufi dengan jumlah yang banyak dan nama yang beragam. Tarekat sufi tersebar ke Asia
Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Tarekat (berbagai aliran
dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau gabungan dari
beberapa tradisi.
Dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid
dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran
Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf,
pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah.
Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-
khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-
Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.
Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan
sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-
Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri,
dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sanad?
2. Bagaimana Sanad Ajaran Kaum Sufi?
3. Bagaimana Tarekat Kaum Sufi?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk Mengetahui Pengertian Sanad
2. Untuk Mengetahui Sanad Ajaran Kaum Sufi
3. Untuk Mengetahui Tarekat Kaum Sufi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sanad
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-
Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-
ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan.
Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin
ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan
dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat
syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar
yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran
atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran
mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya
setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena
itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan
oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah
terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-
ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.
Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in,
berkata:
‫س ِل ٌم فِي ُمقَ ِ ّد َم ِة الصّحِ يْح‬ َ ‫ع ّم ْن ت َأ ُخذُ ْو ُن ِد ْينَ ُك ْم‬
ْ ‫(ر َواهُ ُم‬ ُ ‫إنّ َهذَا اْل ِع ْل َم ِد ْي ٌن َفا ْن‬
َ ‫ظ ُروا‬
“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian
mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-
nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:
‫سنَا ُد لَقَا َل َم ْن شَا َء َما شَا َء‬
ْ ‫سنَا ُد مِ نَ ال ّدي ِْن لَ ْو الَ اإل‬
ْ ‫اإل‬
“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan
berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”.
Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung
hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf
adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah,
adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai
bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena
didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan
dan dalam cara beragama mereka.
Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”.
Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari
ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun
dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di
kalangan sufi adalah “ar-Râyah” (bendera), “al-Hizâm” (sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik
ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid,
namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi
adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu
sendiri.
2.2 Sanad Ajaran Kaum Sufi
Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari mengutip perkataan al-
‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-
Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena
benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan
tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh
terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara
batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau
menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan
ilmu-ilmu batin”.[2]
Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai
sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad
dalam memakai al-‘Imâmah as-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara
turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara
memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa
lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya
dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang
tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan,
walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara
pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-
gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi
identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.
Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin
ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung,
sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah
di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Imam al-Junaid al-
Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka (Sayyid ath-Tha-ifah ash-
Shûfiyah).
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah
Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab
fiqih empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau
merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah,
kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu
pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah
dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian
pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab
Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf
tersebut.
Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para
ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini
adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan
landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah
Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-
khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-
Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.
Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan
sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-
Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri,
dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:
Rasulullah

Imam ‘Ali ibn Abi Thalib

Imam al-Hasan al-Bashri

Imam Habib al-‘Ajami

Imam Dawud ath-Tha’i

Imam Ma’ruf al-Karkhi

Imam as-Sirri as-Saqthi

Imam al-Junaid al-Baghdadi

Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah.

Selain sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata
rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari
Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari
ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari
ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:
Rasulullah

Imam ‘Ali ibn Abi Thalib

Imam al-Husain (Syahid Karbala)

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin

Imam Muhammad al-Baqir

Imam Ja’far ash-Shadiq

Imam Musa al-Kadlim

Imam ‘Ali ar-Ridla

Imam Ma’ruf al-Karkhi

Imam as-Sirri as-Saqthi

Imam al-Junaid al-Baghdadi

Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanad
ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini di samping sebagai penguat
bagi sanad pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama.
Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas
dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri
dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan
antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk
menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun tentang sanad yang kedua, tidak
ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti
terhadap tasawuf.
Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya
pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-
Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang
lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam
Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang
paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-
Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri
berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat
belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.
Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-
Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang
beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu
riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki
gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau
menolaknya.
Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan
melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:
Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa
pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang
menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki
keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.
Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa
khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan
oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke
hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk salah
satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya
berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai
manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-
Kamâl. Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di
atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah
berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut.
Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga
umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat
senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat
‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau
baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya
pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian.
Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah,
termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah;
ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya
pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.
Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari
sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan
sanadnya yang bersambung kepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata
kepada al-Hasan al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah
bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan al-Bashri menjawab:
“Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah
ditanyakan orang-orang sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan
memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau
lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari
kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar
dariku “Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”.[3]
Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh
riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka
dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang
ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami
Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa
Rasulullah bersabda:
ُ‫ع ْنه‬ َ ‫ب َحتّى يُ ْكش‬
َ ‫َف‬ َ ‫ست َ ْي ِق‬
ِ ‫ظ َوع َِن ا ْل ُمصَا‬ ّ ‫ُر ِف َع ا ْلقَلَ ُم ع َْن ثَالَث َ ٍة ع َِن ال‬
ْ َ‫ص ِغي ِْر َحتَّى يَ ْبلُ َغ َوع َِن النّائ ِِم َحتّى ي‬
“Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang
yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari
musibahnya tersebut”.
Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah
menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang
menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian
dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan
hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri
bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu
Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-
Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri
berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”.[4]

Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi
Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai
berikut:
1. Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan
kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn
Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib,
bahwa Rasulullah bersabda:
َ ‫َاج ُم َوا ْل َم ْح ُج ْو ُم‬
َ ّ‫(روا ُه الن‬
)‫سائ ّي‬ َ ‫أ ْف‬
ِ ‫ط َر ا ْلح‬
“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).
2. Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nyatentang zakat fitrah dengan sanad
berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan
kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali
ibn ‘Abi Thalib:
)‫َّارقُ ْط ِن ّي‬
َ ‫(ر َوا ُه الد‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم َفا ْج َعلُ ْو ُه صَاعًا مِ ْن بُ ٍ ّر َو‬
َ ‫غي ِْر ِه‬ َّ ‫إ ْن َو‬
َ ُ‫س َع هللا‬
“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan
lainnya” (HR. ad-Daraquthni).
3. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada
kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn
Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami
Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib
bahwa ia berkata:

ّ ‫ْب ا ْلبَ ْغدَاد‬


)‫ِي‬ ُ ‫(رواهُ ا ْل َخطي‬ ٍ ‫َكفَّ ْنتُ النَّبِ َّي فِي َقمِ ي‬
َ ‫ْص أ ْبيَض َوث َ ْوبَي َحب َْرة‬
“Aku telah menkafani Rasulullah dengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar” (HR. al-
Khatib al-Baghdadi).
4. Abu Ya’la dalam Musnad-nya berkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyah ibn Asyras
berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata; Aku
mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullah bersabda:
)‫(ر َواهُ أبُو يَ ْعلَى‬ َ ‫َمث َ ُل أ ُ ّمت ِْي َمث َ ُل ا ْل َم‬
َ ‫طر‬
“Perumpamaan umatku seperti hujan” (HR. Abu Ya’la).
As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang
sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa
sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri
dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan
kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang
telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang
menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit
Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu
hadits.[5]
Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari
Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan
dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju
hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu
Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini
padanya?”. Semua sahabat terdiam sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut. Kemudian
Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu
memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah, semoga banyak memberikan
manfa’at bagimu”. Setelah Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu
melihat kepada pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata:
“Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”.[6]
Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasabal-khirqah ini adalah
riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab memakaikan al-Khirqah kepada Uwais al-Qarani. Simak perkataan Imam
asy-Sya’rani berikut ini:
“Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan
memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua
bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits. Para pengemban riwayat
sanad al-khirqah ini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-
hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada
jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan
kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja.
Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran
sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada
kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmah as-sauda’ ini
telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’Imâmah as-
sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab
sahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti
ini”. Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur
al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya -hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu
jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”.[7]
Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmah as-saudâ’ secara
jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-
Thabarani dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau
berkata: “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘Imâmah hitam kepadaku dengan
mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:

ُ ‫ان ( َر َواهُ الحَا ِف‬


‫ظ‬ ِ ‫ إنّ ال ِع َما َمةَ ح‬:َ‫ َو َقال‬،َ‫إنّ هللاَ ع َّز َو َج ّل أ َم َّدن ِْي يَ ْو َم بَد ٍْر َو ُحنَي ِْن ِب َمالَئِ َك ٍة يَ ْعت َ ُّم ْونَ ه ِذ ِه ال ِع َما َمة‬
ِ ‫َاج ٌز بَ ْينَ ا ْل ُك ْف ِر َواإل ْي َم‬
َ ‫س ْد ِل ال ِع َما َم ِة َو‬
)ُ‫غ ْي ُره‬ َ ‫سنَّة فِي‬ ّ ‫ب ال‬ ِ ‫سى ا ْل َم َدن ِّي فِي ِكتَا‬ َ ‫أبُو ُم ْو‬
“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain dengan
serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga
Rasulullah bersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan
keimanan”. (HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh
lainnya).

Menurut bahasa, Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, jalan kecil
atau gang. Menurut istilah, Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk
mencapai tujuannya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Istilah ini
digunakan hingga abad ke-11 M. Pada masa berikutnya, Tarekat menjadi organisasi keagamaan
kaum sufi dengan jumlah yang banyak dan nama yang beragam. Tarekat sufi tersebar ke Asia
Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Anggota Tarekat terdiri
dari dua kelompok, yaitu murid dan pengikut awam. Murid adalah pengikut yang tinggal di dalam
ribath (semacam tempat khusus pendidikan tasawuf) dan memusatkan perhatian pada ibadah.
Sedangkan pengikut awam adalah mereka yang tinggal di luar ribath, serta tetap bekerja dengan
pekerjaan mereka sehari-hari. Tetapi, pada waktu-waktu tertentu mereka juga ikut berkumpul
untuk menjalani latihan spiritual.
Selanjutnya murid yang dipandang oleh syekh (guru tasawuf; mursyid) telah berhasil
mencapai tingkat tertinggi akan memperoleh ijazah (pengakuan untuk menjadi guru Tarekat).
Pemegang ijazah keluar dari ribath, kemudian mengadakan dan memimpin ribath yang serupa di
tempat lain, sehingga tersebar luas ke berbagai wilayah di dunia Islam. Akhirnya, pada abad ke-
12 M, terbentuklah organisasi-organisasi sufi dengan pengikutnya masing-masing. Dengan
demikian, Tarekat tidak lagi bermakna metode atau jalan, melainkan organisasi atau kesatuan
jamaah sufi dengan para pengikutnya. 2
Di antara Tarekat yang muncul pada abad ke-12 M adalah:
Pertama, Tarekat Ghazaliah. Tarekat ini dinisbatkan kepada pendirinya, Abu Hamid al-Ghazali
(w. 505 H). Dia memberi pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh sufi
berikutnya, seperti Abdul Qadir al-Jailani dan Ahmad ibn al-Rifa’i.
Kedua, Tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Abdul Qadir al-Jailani, lahir di Jailan
(470 H) dan wafat di Irak (561 H). Tarekat ini berkembang hingga ke Yaman, Siria, Mesir, India,
Turki, Sudan, Cina hingga Indonesia.
Ketiga, Tarekat Rifa’iah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Ahmad Rifa’i yang berasal dari kabilah
Arab, Bani Rifa’ah. Lahir di Irak tahun 1106 M dan wafat tahun 1182 M. Tarekat ini tersebar luas
ke Mesir dan Irak. Rifa’i dikenal sebagai “sufi yang meraung”, karena berdzikir dengan suara
nyaring, meraung-raung.
Keempat, Tarekat Suhrawardiah. Tarekat ini didirikan oleh Abu al-Najib al-Syuhrawardi (1097-
1168 M), lalu dikembangkan oleh saudaranya, Syihabuddin Abu Hash al-Baghdadi (1145-1234
M).
Kelima, Tarekat Syadziliyah. Tarekat ini didirikan oleh Nuruddin Ahmad ibn ‘Abdillah al-Syadzili
(1196-1258 M) dari Maroko. Pengikutnya tersebar ke Mesir, Afrika Utara, Afrika Barat,
Andalusia, Siria dan Indonesia.
Keenam, Tarekat Naqsyabandiah. Tarekat ini didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad
Bahauddin al-Naqsyabandi (1317-1389 M). Tarekat ini tersebar ke Turki, India, Cina dan
Indonesia. Secara garis besar, perkembangan Tarekat di Indonesia tergolong banyak, namun
sebagian hanya tinggal namanya.
Tarekat yang masih berkembang di Indonesia hingga sekarang antara lain Tarekat
Qadiriah, Naqsyabandiah, Sattariah dan Rifaiah. Adapun tokoh tasawuf dari Indonesia yang
terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nuruddin al-Raniri
dan Wali Songo.

2.3 Tarekat Kaum Sufi

Pada dasarnya, tidak ada Tarekat Sufi yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Jadi, Tarekat
apa saja yang tidak mengikuti al-Qur'an dan Hadis adalah Tarekat yang tidak boleh diikuti.
Menurut keterangan dalam Futuhat al-Ilahiyaat, syarat mengikuti Tarekat itu ada 8 (delapan):
Pertama, Tujuan yang Benar. Mengikuti Tarekat dengan tujuan yang benar, yaitu menghambakan
diri kepada Allah SWT; dan bermaksud menunaikan hak-hak ketuhanan; bukan bertujuan untuk
menghasilkan karamah, pangkat maupun hal-hal yang berhubungan dengan hawa nafsu, seperti:
pujian.
Kedua, Kesungguhan yang Jelas. Murid Tarekat harus mempercayai bahwa sang guru (Mursyid)
itu memiliki rahasia khusus yang dapat menyampaikan sang murid ke hadhirat Allah SWT.
Ketiga, Tata Krama yang Diridhai. Orang yang masuk Tarekat itu harus melakukan tata krama
yang diridhai syara', seperti: bersikap belas kasih kepada sesama makhluk.
Keempat, Tingkah Laku yang Bagus. Orang yang memasuki Tarekat itu, tingkah laku dan
ucapannya harus sesuai dengan Syari'at Nabi Muhammad SAW.
Kelima, Menjaga Kehormatan atau Harga Diri. Orang yang memasuki Tarekat itu harus
mengagungkan sang guru (Mursyid), baik ketika hadhir (bersamanya) maupun ketika ghaib (tidak
bersamanya); ketika sang guru masih hidup maupun sudah wafat; mengagungkan saudara sesama
muslim; berusaha membuat mereka tabah menghadapi penderitaan; membuat hati mereka menjadi
sabar; mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih terhadap orang yang di bawahnya.
Keenam, Pelayanan yang Baik. Orang yang masuk Tarekat itu harus memberi pelayanan yang
terbaik kepada sang guru dan saudara-saudara sesama muslim; berkhidmah kepada Allah SWT
dengan baik, melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan utama mengikuti
Tarekat.
Ketujuh, Cita-cita yang Luhur. Seseorang memasuki Tarekat itu, bukan lantaran menginginkan
dunia dan akhirat; melainkan menginginkan Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT.
Kedelapan, Melaksanakan Maksud atau Niat. Orang yang masuk Tarekat itu harus melaksanakan
maksudnya dan istiqamah dalam melakukan Tarekat; sebab yang demikian itu akan menghasilkan
Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT. Jika bermaksud melakukan suatu kebajian, maka dia
bersungguh-sungguh mengusahakannya sampai berhasil.
Tujuan mengikuti Tarekat adalah melakukan tata krama. Oleh karena itu, siapa saja yang
tidak mempunyai tata krama lahir-batin, maka orang tersebut (dinilai) tidak mempunyai Tarekat.
Abul Hasan al-Syadzili berkata: Ada 4 (empat) hal yang menjadi tata krama (adab) ahli Tarekat;
jika seorang ahli Tarekat tidak mempunyai empat tata krama ini, maka jangan dianggap sebagai
ahli Tarekat, sekalipun dia banyak ilmunya. Keempat tata krama itu adalah:
Pertama, Menjauhi orang-orang zhalim, seperti: orang yang berbuat sesuka hatinya atau orang
kaya yang suka berbuat zhalim kepada orang lain.
Kedua, Memuliakan ahli akhirat.
Ketiga, Menolong orang-orang fakir miskin.
Keempat, Melakukan shalat lima waktu dengan berjamaah bersama orang banyak. Oleh karena
itu, apabila seorang ahli Tarekat tidak melakukan empat hal tersebut, maka dia tidak dianggap ahli
Tarekat yang sebenarnya, dan anggap saja dia seperti debu.
Sedangkan 4 (empat) hal lain yang perlu dilakukan oleh ahli Tarekat adalah:
Pertama, Bersifat belas kasih kepada orang yang di bawahnya.
Kedua, Mengagungkan atau menghormati orang yang di atasnya.
Ketiga, Insaf; adil dan tegas terhadap dirinya sendiri.
Keempat, Tidak mengutamakan diri sendiri (egois).
Imam Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata: “Ada empat hal yang apabila dilakukan oleh
seseorang, berarti dia telah mengumpulkan seluruh kebajian (pada dirinya), yaitu:
ْ ‫ت ا ْل ُم‬
َ‫سلِمِ ْين‬ ِ ‫تَعْظِ ْي ُم ُح ُر َما‬
Mengagungkan kemuliaan atau kehormatan umat muslim

َ ‫خِ ْد َمةُ ا ْلفُقَ َراءِ َوا ْل َم‬


‫سا ِكي ِْن‬
Melayani kaum fakir-miskin

ِ ‫َاف مِ ْن نَ ْف‬
‫س ِه‬ ُ ‫اإل ْنص‬
ِ ْ ‫َو‬
Lurus dan adil terhadap diri sendiri

‫َار لَهَا‬
ِ ‫اإل ْنتِص‬
ِ ْ ُ‫ت َ ْرك‬
Tidak membantu hawa nafsunya
Imam al-Suhrawardi berkata: “Tarekat sufi dimaksudkan untuk membersihkan hati;
berusaha mencari kebajikan atas hawa nafsu; berusaha membebaskan diri dari sikap-sikap
Takabbur (sombong), Riya' (berbuat sesuatu agar dilihat makhluk; bukan dilihat Allah SWT);
Huubud-dunya (cinta dunia), dan sebagainya; berusaha mempunyai akhlak terpuji, seperti:
Ikhlash, Tawadhu' (rendah hati), Tawakkal (berserah diri kepada Allah SWT), Ridho, dan
sebagainya; dapat Ma'rifat kepada Allah SWT; serta bertata-krama kepada Allah SWT”.
Adapun syarat-syarat menjadi guru Tarekat sebagaimana yang tertera di dalam Kitab
'Awaariful Ma'arif adalah:

ِ ‫ َكامِ الً ِف ْي ع ِْر َف‬،‫سا ِلكًا ِف ْيهَا‬


‫ان‬ َّ ‫ب ال‬
َ ‫ط ِر ْيقَ ِة‬ َ ‫ َوا ِقفًا‬،‫ عَامِ الً ِبهَا‬،ِ‫ْخ أ َ ْن َيك ُْونَ عَا ِل ًما ِب ْاْل َ َوامِ ِر الش َّْر ِع َّية‬
ِ ‫علَى أَدَا‬ ِ ‫شي‬َّ ‫َومِ ْن ش ََرائِطِ ال‬
َ‫صا ع َْن جَمِ ي ِْع ذَ ِلك‬ ِ ‫ا ْل َح ِق ْيقَ ِة َو َو‬
ً ‫ َو ُمح ِْر‬،‫اصالً إِلَ ْيهَا‬
Di antara syarat guru Tarekat adalah 'alim (mengetahui) perintah-perintah syara'; mengamalkan
perintah syara'; menetapi tata krama Tarekat yang ditempuh; sempurna dalam pengetahuan tentang
Haqiqat dan Washilah atau lantaran yang mengantarkan kepada Haqiqat tersebut; serta ikhlah
dalam semua hal di atas.
Imam al-Junaid RA berkata:
‫ الَ يُ ْقتَدَى بِ ِه ف ِْي َهذاَ الشَّأْن‬،‫ِس ا ْلعُلَ َما َء‬ ِ ُ ‫ َف َم ْن لَ ْم يَ ْق َرأِ ا ْلقُ ْرأَنَ َولَ ْم يَ ْكت‬،ِ‫سنَّة‬
َ ‫ب ا ْل َح ِدي‬
ِ ‫ َولَ ْم يُ َجال‬،‫ْث‬ ِ ‫ِع ْل ُمنَا َهذَا ُمقَيَّ ٌد بِا ْل ِكتَا‬
ُّ ‫ب َوال‬
Ilmu kita ini (Tarekat) terikat oleh al-Qur'an dan al-Sunnah; barangsiapa tidak belajar al-Qur'an
dan Hadis; serta tidak duduk-duduk bersama para ulama (menuntut ilmu dari para ulama), maka
orang tersebut tidak boleh diikuti dalam Tarekat.
Jadi, apabila ada seseorang mengaku sebagai guru Tarekat, akan tetapi belum memenuhi
syarat-syarat di atas, berarti dia adalah guru Tarekat yang sangat buruk, bahkan tidak pantas
menyandang gelar guru Tarekat. Oleh sebab itu, apabila seseorang hendak mencari guru Tarekat,
maka dia harus selektif. Seorang calon pengikut Tarekat tidak boleh menjadikan seseorang sebagai
guru (Tarekat), kecuali calon guru telah memenuhi beberapa hal berikut ini:
Pertama, Mengetahui 'Aqa’id (sifat wajib, mustahil dan sifat jaiz) bagi Allah dan Rasul-Nya,
dengan dalil-dalil 'aqliyah (rasional) dan sam'iyyah atau naqliyah (wahyu).
Kedua, I'tiqad-nya harus sesuai dengan I’tiqad yang benar (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan Fikih
Mazhab Empat.
Ketiga, Harus mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang berkaitan dengan hati, badan, dan
penyakit-penyakit yang tersembunyi dalam hati orang-orang yang beramal.
Keempat, Harus menetapi hukum-hukum Allah SWT yang dia ketahui; menegakkan hukum-
hukum Allah SWT; tidak mencerca hak-hak Allah SWT; dan tidak melakukan larangan-Nya yang
haram dilakukan serta dapat merusak sifat 'adalah (moral)nya. Apabila seseorang menemukan guru
yang memenuhi syarat-syarat sebagai guru Tarekat di atas secara sempurna; maka sebaiknya orang
tersebut masuk ke dalam Tarekat sufi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl).
Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu
sendiri; yaitu Rasulullah.
Para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh
Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah
terhadap umat-umat nabi sebelumnya.
Pokok yang menjadi pondasi Tasawuf adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah.
adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik dalam dunia tasawuf bukan
merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang
menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan
menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah,
baik secara zhahir maupun secara batin.
Namun demikian lambang-lambang fisik tersebut menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad,
yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah.
Menurut kaum sudi Tarekat apa saja yang tidak mengikuti al-Qur'an dan Hadis adalah Tarekat
yang tidak boleh diikuti. Menurut keterangan dalam Futuhat al-Ilahiyaat, syarat mengikuti Tarekat
itu ada 8 (delapan):
Pertama, Tujuan yang Benar.
Kedua, Kesungguhan yang Jelas.
Ketiga, Tata Krama yang Diridhai.
Keempat, Tingkah Laku yang Bagus.
Kelima, Menjaga Kehormatan atau Harga Diri.
Keenam, Pelayanan yang Baik.
Ketujuh, Cita-cita yang Luhur. Seseorang memasuki Tarekat itu, bukan lantaran menginginkan
dunia dan akhirat; melainkan menginginkan Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT.
Kedelapan, Melaksanakan Maksud atau Niat.
Tujuan mengikuti Tarekat adalah melakukan tata krama. Oleh karena itu, siapa saja yang
tidak mempunyai tata krama lahir-batin, maka orang tersebut (dinilai) tidak mempunyai Tarekat.
3.2 Saran
Semoga bagi para pembaca makalah ini mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan tidak
terlepas dari itu penulis menyadari bahwa dalam makalah ini sangat banyak kekurangan di
dalamnya, untuk daripada itu penulis berharap bagi para pembaca untuk dapat merujuk kepada
buku-buku atau refrensi yang lain yang berkaitan dengan judul dari makalah ini guna untuk
menambah ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashbahâni, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-
Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
‘Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-
Mathbu’at, 1986 M.
Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin
‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997,
Dâr al-Fikr, Bairut.
Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr
Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât al-Sunniyah
Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M.
Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq
Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut
_________, Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo
Mesir
Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-DzahabFî Akhbâr Man
Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th.
Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah, Dâr al-Fikr,
Bairut
Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf
Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah
al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi, Cairo
Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn
‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut.
Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah,
tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji, Dâr al-Khair.
Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân
al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dâr al-Masyârî’, Bairut.
Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur,
Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir
Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb, al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-
Ahdlar, Cairo Mesir.
_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-
Haramain.
_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dâr al-
Fikr, t. th.
_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo
Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut
Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah,
tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003, Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992,
Dâr al-Jail, Bairut.
Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-
Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H,
2002 M.
_________, al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002
M

[1] Pembahasan lebih luas lihat buku Membersihkan Nama Ibnu Arabi; Kajian Komprehensif
Tasawuf Rasulullah ditulis oleh H Kholil Abou Fateh, cet. Fattah Arbah Banten, 2010, klik link
ini http://allahadatanpatempat.blogspot.com/2011/05/buku-baru-membersihkan-nama-ibnu-
arabi.html
[2] Lihat mukadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berujud “Nasab al-Khirqah”, ditulis oleh al-
Hâfizh al-Ghumari. Secara khusus risalah ini penulis kaji pada bab tentang kajian terhadap karya-
karya Ibn ‘Arabi.
[3] as-Suyuthi, Ithâf al-Khirqah Bi Rafw al-Khirqah dalam al-Hâwi Li al-Fâtâwi, j. 2, h. 102
[4] Ibid. j. 2, h. 102-104
[5] at-Tasyarruf…, h. 103-104
[6] Ibid, h. 104. Imam Ibn ash-Shalah mengatakan bahwa nasab al-khirqah memiliki sanad ‘âli.
Bahwa ada pendapat yang mengatakan sanadtersebut tidak sampai ke puncaknya, namun hal
tersebut tidak menjadikan nasab al-khirqah ini menjadi cedera. Karena yang menjadi tujuan dari
adanya al-khirqah adalah untuk mencari keberkahan dari Allah lewat orang-orang saleh, di
mana al-khirqah turun-temurun berkesinambungan di antara mereka. Ibid, h. 108
[7] Ibid, h. 109-110
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), h. 255-256.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 257-258.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 258-261.
Bahasan ini penulis sarikan dari al-Durar al-Muntatsirah karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.

Anda mungkin juga menyukai