Anda di halaman 1dari 111

PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME HRT)

DAN pH PADA PROSES ASIDOGENESIS LIMBAH


CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) PADA
KEADAAN AMBIENT

SKRIPSI

Oleh

INTAN AFRILIA
110405018

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
SEPTEMBER 2015
PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME HRT)
DAN pH PADA PROSES ASIDOGENESIS LIMBAH
CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) PADA
KEADAAN AMBIENT

SKRIPSI

Oleh

INTAN AFRILIA
110405018

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN


PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan skripsi
dengan judul “Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses
Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan
Ambient”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Hasil penelitian ini:


1. Penelitian ini memberikan informasi mengenai proses loading up dan
variasi pH dalam proses digestasi anaerobik tahapan asidogenesis.
2. Penelitian ini memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan
menggunakan keadaan ambient sehingga lebih menghemat energi yang
umumnya digunakan untuk pemanas.
3. Penelitian ini memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai
pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit.

Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak


mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Eng. Ir. Irvan, M.Si selaku Pembimbing
2. Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hasibuan, MT selaku Penguji
3. Dr. Ir. Fatimah, MT selaku Penguji
4. Ir. Renita Manurung, MT selaku Koordinator Skripsi
5. Ir. Bambang Trisakti, MT selaku Kepala Laboratorium Proses Industri
Kimia.
6. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Departemen Teknik
Kimia yang telah memberikan banyak ilmu yang berharga dan bantuan
kepada penulis selama menjalankan perkuliahan.

iii
DEDIKASI

Skripsi ini saya persembahkan

untuk: Kedua orang tua tercinta


Bapak Sanukri Rokarna S dan Ibu Shafniaty

Terimakasih Bapak dan Ibu atas pengorbanan dan cinta kasih yang
diberikan selama ini untuk membesarkan, mendidik,
memberi motivasi dan doa serta materil
sehingga penulis mampu mendapatkan gelar
sarjana

v
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Intan Afrilia


NIM : 110405018
Tempat, tanggal lahir : Takengon, 18 April 1994
Nama Orang Tua : Sanukri Rokarna S dan Shafniaty
Alamat Orang Tua:
Dusun Non Perumnas Kampung Kute Lot, Lr. Melati,
Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah

Asal Sekolah:
 TK Aisyiah tahun 1998–1999
 SD Negeri Nangka Kebayakan tahun 1999–2005
 SMP Negeri 1 Takengon tahun 2005–2008
 SMA Negeri 1 Takengon tahun 2008–2011
Beasiswa yang pernah diperoleh:
1. Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2012–2014
Pengalaman Organisasi/Kerja:
1. Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) FT USU periode
2014/2015 sebagai anggota Hubungan Masyarakat
2. Covalen Study Group (CSG) periode 2013/2014 sebagai anggota
Hubungan Masyarakat
3. Asisten Laboratorium Mikrobiologi Teknik, Departemen Teknik Kimia,
Universitas Sumatera Utara tahun 2013/2015 modul Fermentasi Yoghurt
serta Penanaman Media dan Sterilisasi
ABSTRAK

Proses asidogenesis merupakan proses akhir dari digestasi anaerobik tahap


pertama yang menghasilkan Volatile Fatty Acid (VFA) sebagai produk
intermediet untuk dikonversi menjadi biogas pada tahap selanjutnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan pengaruh variasi Hydraulic Retention Time (HRT)
dan pH serta mendapatkan kondisi pH terbaik dalam proses asidogenesis
menggunakan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada keadaan ambient.
Proses loading-up dilakukan dengan memvariasikan HRT kemudian operasi target
dilakukan dengan memvariasikan pH fermentor Continous Stirred Tank Reactor
(CSTR), yaitu pH 6,0; 5,5; 5,0 dan 4,5 dengan kondisi pengadukan 250 rpm.
Analisis padatan (TS, VS, TSS, dan VSS), COD dan VFA dilakukan untuk
mengkaji perubahan senyawa organik yang didegradasi menjadi VFA. Total
pembentukan VFA tertinggi dicapai pada variasi pH 5,5 yaitu sebesar 8.287 mg/L
dengan konsentrasi asam asetat, asam propionat dan asam butirat masing-masing
sebesar 3.824; 1.768 dan 2.695 mg/L. Reduksi VS dan reduksi COD masing-
masing sebesar 12,19 dan 20,54%, serta rasio VFA/alkalinitas sebesar 9,10.

Kata kunci : Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit, asidogenesis, ambient, Hydraulic
Retention Time, pH, Volatile Fatty Acid
ABSTRACT

Acidogenesis process is the final process of anaerobic digestion first stage


and produce Volatile Fatty Acid (VFA) as intermediet product to be converted
into biogas in the next stages. This research aims to get the effect of variations of
Hydraulic Retention Time (HRT) and pH as well as getting the best pH conditions
in the process asidogenesis using Palm Oil Mill Effluent (POME) at ambient. The
process of loading up is performed by varying the HRT then the target operation
performed by varying the pH of the Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR), a
pH of 6.0; 5.5; 5.0 and 4.5 with a stirring condition of 250 rpm. Analysis solids
(TS, VS, TSS and VSS), COD and VFA conducted to assess changes in organic
compounds degraded to VFA. The highest total VFA formation achieved at
various pH of 5.5 is equal to 8,287 mg/L with the concentration of acetic acid,
propionic acid and butyric acid respectively 3,824; 1,768 and 2,695 mg/L. VS
reduction and the reduction of COD respectively 12.19 and 20.54%, and the ratio
of VFA/alkalinity of 9.10.

Keywords : Palm Oil Mill Effluent, acidogenesis, ambient, Hydraulic Retention


Time, pH, Volatile Fatty Acid
DAFTAR ISI

Halaman
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI I
PENGESAHAN Ii
PRAKATA Iii
DEDIKASI V
RIWAYAT HIDUP PENULIS Vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
DAFTAR SINGKATAN
xviii
DAFTAR SIMBOL
xix
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 LATAR BELAKANG
1
1.2 PERUMUSAN MASALAH
3
1.3 TUJUAN PENELITIAN
4
1.4 MANFAAT PENELITIAN
4
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 PERKEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA
7
2.2 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)
8
2.2.1 Sumber Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
8
2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
10
2.3 PEMANFAATAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT
(LCPKS) SEBAGAI SUBSTRAT DALAM PROSES
DIGESTASI ANAEROBIK
12
2.4 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK
13
2.4.1 Hidrolisis 15
2.4.1.1 Hidrolisis Polisakarida 15
2.4.1.2 Hidrolisis protein 15
2.4.1.3 Hidrolisis Lemak 16
2.4.2 Asidogenesis 16
2.4.3 Asetogenesis 16
2.4.4 Metanogenesis 17
2.5 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK DUA TAHAP 18
2.6 PARAMETER YANG PENTING DALAM PROSES
DIGESTASI ANAEROBIK 20
2.6.1 Parameter Digestasi Anaerobik 20
2.6.1.1 pH 20
2.6.1.2 Alkalinitas 21
2.6.1.3 Temperatur 22
2.6.1.4 Pengadukan 23
2.6.1.5 Kebutuhan Nutrisi 24
2.6.1.6 Volatile Fatty Acid (VFA) 25
2.6.2 Parameter Operasional 25
2.6.2.1 Beban Organik (Organic Loading Rate) 25
2.6.2.2 Hydraulic Retention Time (HRT) 26
2.7 ANALISA EKONOMI 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29
3.1 LOKASI PENELITIAN 29
3.2 BAHAN DAN PERALATAN 29
3.2.1 Bahan-Bahan 29
3.2.2 Peralatan 29
3.2.2.1 Peralatan Utama 29
3.2.2.2 Peralatan Analisa 30
3.2.3 Rangkaian Peralatan 30
3.3 TAHAPAN PENELITIAN 31
3.3.1 Analisa Bahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
(LCPKS) 31
3.3.1.1 Analisis pH 31
3.3.1.2 Analisi M-Alkalinity 31
3.3.1.3 Analisis Total Solids (TS) 31
3.3.1.4 Analisis Volatile Solids (VS) 32
3.3.1.5 Analisis Total Suspended Solids (TSS) 33
3.3.1.6 Analisis Volatile Suspended Solids (VSS) 33
3.3.1.7 Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) 34
3.3.2 Loading Up dan Operasi Target 35
3.3.3 Pengujian Sampel (Sampling) 35
3.4 JADWAL PENELITIAN 36
BAB IV PEMBAHASAN 37
4.1 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT
(LCPKS) 37
4.2 HASIL PENELITIAN VARIASI HRT (PROSES LOADING UP) 38
4.2.1 Pengaruh HRT terhadap Profil pH dan Alkalinitas 38
4.2.2 Pengaruh HRT terhadap Volatile Suspended Solids (VSS) 40
4.2.3 Pengaruh HRT terhadap Reduksi Chemical Oxygen
Demand (COD) 41
4.2.4 Pengaruh HRT terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid
(VFA) 43
4.2.5 Pengaruh HRT terhadap Rasio VFA/Alkalinitas 44
4.3 HASIL PENELITIAN VARIASI pH 45
4.3.1 Pengaruh Alkalinitas terhadap pH 46
4.3.2 Pengaruh pH terhadap Volatile Suspended Solids (VSS) 48
4.3.3 Pengaruh pH terhadap Volatile SolidS (VS) 50
4.3.4 Pengaruh pH terhadap Reduksi Chemical Oxygen Demand
(COD) 52
4.3.5 Pengaruh pH terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid
(VFA) 53
4.3.6 Pengaruh pH terhadap Rasio VFA/Alkalinitas 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 56
DAFTAR PUSTAKA 57
DAFTAR GAMBAR Gambar
2.1 Luas
Lahan Sawit (dalam 103 Ha) pada Tahun 2012 Gambar 2.2 Diagram
Alir Proses Ekstraksi Minyak Sawit dan
Halaman
8
Limbah yang Dihasilkan 9
Gambar 2.3 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit 10
Gambar 2.4 Skema Digestasi Anaerobik (A) Batch dan (B) Kontinu 14
Gambar 2.5 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik 14
Gambar 2.6 Digestasi Anaerobik Dua Tahap 18
Gambar 2.7 Tingkat Pertumbuhan Relatif Mikroorganisme
Metanogen 23
Gambar 2.8 Konversi Total VFA menjadi Biogas 27
Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan 30
Gambar 4.1 Pengaruh HRT terhadap Profil pH dan Alkalinitas 39
Gambar 4.2 Pengaruh HRT terhadap Volatile Suspended Solids
(VSS) 40
Gambar 4.3 Pengaruh HRT terhadap Reduksi Chemical Oxygen
Demand (COD) 42
Gambar 4.4 Pengaruh HRT terhadap Pembentukan Volatile Fatty
Acid (VFA) 43
Gambar 4.5 Pengaruh HRT terhadap VFA/Alkalinitas 45
Gambar 4.6 Pengaruh Alkalinitas terhadap 46
Gambar 4.7 Pengaruh Rata-Rata Alkalinitas terhadap pH 47
Gambar 4.8 Pengaruh pH terhadap VSS 48
Gambar 4.9 Pengaruh ph terhadap Rata-Rata VSS 49
Gambar 4.10 Pengaruh pH terhadap Volatile Solid (VS) 50
Gambar 4.11 Pengaruh pH terhadap Rata-Rata Volatile Solid (VS) 51
Gambar 4.12 Pengaruh pH terhadap Reduksi Chemical Oxygen
Demand (COD) 52
Gambar 4.13 Pengaruh pH terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid
(VFA) 53
Gambar 4.14 Pengaruh pH terhadap Rasio VFA/Alkalinitas 55
Gambar A.1 Rangkaian Peralatan 66
Gambar A.2 Flowchart Prosedur Analisis pH 67
Gambar A.3 Flowchart Prosedur Analisis M-Alkalinity 68
Gambar A.4 Flowchart Prosedur Analisis Total Solids (TS) 69
Gambar A.5 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Solids (VS) 70
Gambar A.6 Flowchart Prosedur Analisis Total Suspended Solids
(TSS) 71
Gambar A.7 Flowchart Prosedur Analisis Volaite Suspended Solids
(VSS) 71
Gambar A.8 Flowchart Prosedur Analisis Chemical Oxygen Demand
(COD) 72
Gambar A.9 Flowchart Prosedur Analisis Loading Up dan Operasi
Target 73
Gambar D.1 Tangki Umpan 81
Gambar D.2 Fermentor 81
Gambar D.3 Botol Keluaran Fermentor (Discharge) 82
Gambar D.4 Botol Penampung Biogas (Gas Collector) 82
Gambar D.5 Gas Meter 82
Gambar D.6 Rangkaian Peralatan 83
Gambar D.7 Peralatan Analisis M-Alkalinity 83
Gambar D.8 Detecting Tube Hasil Analisis Gas H2S dan CO2 83
Gambar D.9 Peralatan Analisis Padatan Tersuspensi 84
Gambar D.10 Peralatan Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) 84
Gambar D.11 Timbangan Analitik 84
Gambar D.12 Desikator 85
Gambar D.13 Oven 85
Gambar D.14 Furnace 85
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Rangkuman Hasil Penelitian terdahulu untuk
Menghasilkan VFA dari Proses Asidogenesis 3
Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia 7
Tabel 2.2 Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia dalam Jutaan Ton 8
Tabel 2.3 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) 11
Tabel 2.4 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit 11
Tabel 2.5 Karakteristik Biogas 12
Tabel 2.6 Potensi Biogas yang Dihasilkan oleh Beberapa Substrat 13
Tabel 2.7 Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga 22
Tabel 2.8 Kandungan VFA yang Umum Terdapat pada Proses
Digestasi Anaerobik 25
Tabel 2.9 Volume Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk 27
Tabel 3.1 Jadwal Analisis Influent dan Effluent 35
Tabel 3.2 Jenis Kegiatan dan Jadwal Pelaksanaan Penelitian 36
Tabel 4.1 Karakteristik LCPKS dari PKS Adolina PTPN IV 37
Tabel B.1 Hasil Analisis Karakteristik LCPKS dari PTPN IV PKS
Adolina 74
Tabel B.2 Data Hasil Analisa pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS
pada Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 74
Tabel B.3 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)
pada Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 76
Tabel B.4 Data Hasil Analisis Pembentukan Volatile Fatty Acid
(VFA) pada Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 76
Tabel B.5 Data Perhitungan Rasio VFA/Alkalinitas pada Variasi
Hydraulic Retention Time (HRT) 77
Tabel B.6 Data Hasil Analisa pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS
pada Variasi pH 77
Tabel B.7 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)
pada Variasi pH 79
Tabel B.8 Data Hasil Analisis Pembentukan Volatile Fatty Acid
(VFA) pada Variasi pH 79
Tabel B.9 Data Perhitungan Rasio VFA/Alkalinitas pada Variasi pH 79
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
LAMPIRAN A METODOLOGI PENELITIAN 64
A.1 LOKASI PENELITIAN 64
A.2 BAHAN DAN PERALATAN 64
A.2.1 Bahan-Bahan 64
A.2.2 Peralatan 64
A.3 FLOWCHART PROSEDUR PENELITIAN 67
A.3.1 Flowchart Prosedur Analisis pH 67
A.3.2 Flowchart Prosedur Analisis M-Alkalinity 68
A.3.3 Flowchart Prosedur Analisis Total Solids (TS) 69
A.3.4 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Solids (VS) 70
A.3.5 Flowchart Prosedur Analisis Total Suspended Solids
(TSS) 70
A.3.6 Flowchart Prosedur Analisis Volaite Suspended Solids
(VSS) 71
A.3.7 Flowchart Prosedur Analisis Chemical Oxygen Demand
(COD) 72
A.3.8 Flowchart Prosedur Analisis Loading Up dan Operasi
Target 73
LAMPIRAN B DATA HASIL ANALISIS 74
B.1 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA
SAWIT 74
B.2 DATA HASIL PENELITIAN 74
B.2.1 Data Hasil Penelitian pada Variasi Hydraulic Retention
Time (HRT) 74
B.2.2 Data Hasil Penelitian pada Variasi pH 77
LAMPIRAN C CONTOH PERHITUNGAN 80
C.1 PERHITUNGAN REDUKSI COD 80
C.2 PERHITUNGAN STANDAR DEVIASI 80
LAMPIRAN D DOKUMENTASI 81
LAMPIRAN E HASIL UJI LABORATORIUM 86
E.1 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS LEMAK
DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) 86
E.2 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS PROTEIN
DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) 87
E.3 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS
KARBOHIDRAT DALAM LIMBAH CAIR PABRIK
KELAPA SAWIT (LCPKS) 87
E.4 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS
VOLATILE FATTY ACID (VFA) 88
DAFTAR SINGKATAN

BOD Biological Oxygen Demand


COD Chemical Oxygen Demand
CPO Crude Palm Oil
CPKO Crude Palm Kernel Oil
CSTR Continous Stirred Tank Reactor
C/N Carbon/Nitrogen
HRT Hydraulic Retention Time
LCPKS Limbah CairPabrik Kelapa Sawit
LPG Liquefied Petroleum Gas
PKS Pabrik Kelapa Sawit
POME Palm Oil Mill Effluent
SCABR Suspended Closed Anaerobic Bioreactor
TBS Tandan Buah segar
TKKS Tandan Kosong Kelapa Sawit
TS Total Solids
TSS Total Suspended Solids
UASB Upflow Anaerobic Sludge Blanket
VFA Volatile Fatty Acid
VS Volatile Solids
VSS Volatile Suspended Solids
DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Dimensi


BR Beban organik kg/hari.m3
c Massa substrat umpan per satuan waktu %
m Konsentrasi bahan organik kg/hari
HRT Waktu tinggal hari
V Volume substrat umpan per satuan waktu m3/hari
VR Volume digester m3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian masih menjadi pilar
penting kehidupan dan perekonomian penduduknya, bukan hanya untuk
menyediakan kebutuhan pangan penduduknya yang cukup besar namun juga
mendominasi kegiatan ekspor negara [1]. Kelapa sawit adalah produk pertanian
paling sukses kedua di Indonesia setelah padi, dan merupakan ekspor pertanian
terbesar [2]. Di sisi input, pabrik pengolahan kelapa sawit menggunakan sejumlah
besar air dan energi dalam proses produksi. Sedangkan di sisi output, proses
manufaktur akan menghasilkan sejumlah besar limbah padat, limbah cair dan
polusi udara.
Limbah cair pada pabrik pengolahan kelapa sawit dihasilkan dari ekstraksi
minyak sawit pada proses di dekanter, dikombinasikan dengan limbah dari air
pendingin dan sterilizer yang disebut sebagai Palm Oil Mill Effluent (POME) atau
Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) [3]. LCPKS mentah mengandung 0,6-
0,7% minyak residu dan 2-4% padatan tersuspensi, terutama dari bagian mesocarp
buah, berupa suspensi koloid berwarna kecoklatan dan ditandai dengan nilai
Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 50.000 mg/l, Biological Oxygen
Demand (BOD) sebesar 25.000 mg/l dan 4-5% total padatan [4, 5]. Limbah yang
masih mengandung senyawa organik dapat dimanfaatkan untuk menjadi energi.
LCPKS mengadung senyawa organik, sehingga berpotensi untuk dikonversikan
dalam bentuk energi. Salah satu pemanfaatan LCPKS adalah dapat dikonversikan
menjadi biogas.
Biogas merupakan produk yang diperoleh dari proses digestasi anaerobik,
yaitu proses penguraian dari substrat-substrat organik tanpa kehadiran oksigen,
melalui aktivitas mikroorganisme, berupa campuran metana (50-75%), karbon
dioksida (30-40%) dan sedikit komponen-komponen lain seperti hidrogen,
hidrogen sulfida, siloksan dan lain-lain. Biogas merupakan sumber energi yang
dapat diperbaharui (renewable) sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan

1
semakin menipisnya persediaan sumber energi. Tahapan metabolisme untuk
memproduksi metana dari limbah cair terdiri dari 4 tahapan yaitu hidrolisis,
asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis [6]. Karena nutrisi dan kebutuhan
pertumbuhan antara mikroorganisme asam dan metana berbeda, maka sistem dua
tahap dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal bagi
mikroorganisme dalam setiap tahap. Tahap pertama adalah tahap fermentasi asam,
sedangkan tahap kedua adalah tahap pembentukan metana [7].
Berdasarkan penelitian terhadap limbah cair olahan keju yang dilakukan
oleh Elizabeth, 2003 [7], pada reaktor metanogenik dalam sistem dua tahap
dihasilkan biogas dengan kandungan metana yang lebih tinggi dibandingkan
dengan biogas yang dihasilkan dalam sistem satu tahap, sedangkan penelitian WC
Solomon, et al, 2013 [8] dengan menggunakan kotoran sapi pada temperatur
ambient diperoleh hasil bahwa pada temperatur ambient dapat menghasilkan
biogas meskipun hasil gas yang diperoleh masih rendah, hal ini membutuhkan
penelitian tambahan yang harus dilakukan mengingat terdapat faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi hasil biogas, seperti konsentrasi asam Volatile Fatty
Acid (VFA), rasio karbon/nitrogen (C/N), bahkan penambahan CaOH atau
senyawa lainnya untuk menstabilkan pH sehingga akan meningkatkan hasil
biogas.
VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan dari proses digestasi
anaerobik tahap pertama (asidogenesis) yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
metana dalam tahapan kedua (metanogenesis). HRT dan pH merupakan parameter
penting dalam pemantauan dan pengendalian digestasi anaerobik. HRT harus
cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang mati pada
proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme
yang direproduksi [9] sedangkan pH yang rendah pada proses digestasi anaerobik
dapat menghambat aktivitas mikroorganisme [6]. Oleh sebab itu, peneliti tertarik
untuk mendapatkan HRT yang akan digunakan dalam operasi target dan pH
terbaik pada proses asidogenesis dengan menggunakan LCPKS pada keadaan
ambient untuk meningkatkan VFA yang dihasilkan. Tabel 1.1 berikut merupakan
beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan untuk menghasilkan VFA dari
proses asidogenesis.
Tabel 1.1 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu untuk Menghasilkan VFA dari
Proses Asidogenesis
Peneliti (Tahun) Metode Hasil
Bambang Trisakti, Menggunakan limbah cair VFA yang diidentifikasi
Veronica Manalu, pabrik kelapa sawit, terdiri dari asam asetat,
Irvan, Taslim, dilangsungkan dalam reaktor asam propionat dan asam
Muhammad Continous Stirred Tank Reactor, butirat. Konsentrasi VFA
Turmuzi (2015) pada variasi HRT digunakan maksimum (5.622,72
[10] HRT 6,7; 5 dan 4 hari dengan mg/L) pada HRT 4 hari
laju pengadukan 50 rpm, pH 6 dan pH 6
dan temperatur ruangan,
sedangkan pada variasi pH
digunakan pH 5; 5,5; 6, dengan
laju pengadukan 100-110 rpm
pada temperatur 55°C
Margarita Andreas Menggunakan campuran air Produk akhir yang
Dareioti, limbah industri pertanian teridentifikasi adalah
Aekaterini Ioannis (limbah pabrik zaitun, limbah asetat, propionat, butirat,
Vavouraki, pabrik keju dan kotoran sapi laktat, dan etanol.
Michael Kornaros cair), operasi batch dengan Konsentrasi VFA
(2014) [11] volume reaktor 1 L, rentang pH maksimum (13,43 g/L)
4,5-7,5, temperatur mesofilik diperoleh pada pH 6,5
(37°C) dan kecepatan
pengadukan 150 rpm
Dhanalakshmi Menggunakan limbah pasar Rasio total VFA dan
Sridevi V dan sayur, dilangsungkan pada alkalinitas serta asam
Srinivasan SV reaktor semikontinu dengan propionat menjadi asam
(2014) [12] volume 2 L, HRT 25 hari, asetat ditemukan pada
variasi temperatur ambient dan rentang nilai antara 0,25-
35°C, serta OLR 0,5 gVS/L/hari 0,4 dan 0,34-1,38
Jianguo Jiang, Menggunakan campuran limbah VFA yang teridentifikasi
Yujing Zhang, makanan (35% nasi, 45% kubis, terdiri dari asetat,
Kaimin Li, Quan 16% babi dan 4% tofu), operasi propionat, iso-butirat, n-
Wang, Gong batch dengan volume 4,5 L, butirat, iso-valerat dan n-
Changxiu, Menglu variasi pH 5, 6, 7 dan tidak valerat. Dihasilkan yields
Li dikontrol 35°C, kecepatan VFA tertinggi (39,46 g/L
(2013) [13] pengadukan 250 rpm dari 0,316 g/g VSfed) pada
pH 6

1.2 PERUMUSAN MASALAH


Proses digestasi anaerobik umumnya dilangsungkan pada keadaan mesofilik
dan termofilik. Menurut WC Solomon, et al, 2013 [8], proses digestasi anaerobik
dapat dilangsungkan pada keadaan ambient dengan mempertimbangkan faktor-
faktor lain yang dapat meningkatkan kinerja proses digestasi anaerobik. Dalam
melangsungkan proses digestasi anaerobik diperlukan proses loading up yang
bertujuan untuk proses pertumbuhan dan adaptasi mikroorganisme dengan cara
memvariasikan HRT. Pada proses digestasi anaerobik diharapkan mikroorganisme
mampu efektif bekerja pada HRT yang rendah karena limbah yang akan diolah
berjumlah lebih banyak dan waktu pengolahan juga lebih singkat dibandingkan
dengan pengolahan pada HRT tinggi. Pada penelitian ini proses digestasi
anaerobik yang dilakukan dibatasi hingga tahapan asidogenesis dengan VFA
sebagai produk intermediet, dimana terdapat rentang pH untuk pertumbuhan
mikroorganisme asidogenik sehingga diperlukan variasi pH untuk mendapatkan
konsentrasi VFA yang tertinggi.
Oleh karena itu, beberapa masalah yang perlu diselesaikan dalam penelitian
ini adalah: (i) Berapa HRT terbaik dalam proses asidogenesis menggunakan
LCPKS pada keadaan ambient dan (ii) Berapa pH terbaik dalam proses
asidogenesis menggunakan LCPKS pada keadaan ambient yang dilangsungkan
pada HRT yang terendah.

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan HRT terbaik dalam proses asidogenesis menggunakan LCPKS
pada keadaan ambient.
2. Mendapatkan pH terbaik dalam proses asidogenesis menggunakan LCPKS
pada keadaan ambient yang dilangsungkan pada HRT terendah.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi HRT dan HRT terbaik
dalam proses asidogenesis menggunakan LCPKS pada keadaan ambient.
2. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi pH dan pH terbaik dalam
proses asidogenesis menggunakan LCPKS pada keadaan ambient yang
dilangsungkan pada HRT terendah.
3. Memberikan informasi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis
atau yang berhubungan.
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ekologi, Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilakukan
menggunakan proses asidogenesis digestasi anaerobik menggunakan digester jenis
Continous Stirred Tank Reactor (CSTR) dengan volume 2 liter. Adapun variabel-
variabel dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel tetap:
a. Starter yang digunakan berasal dari hasil olahan penelitian sebelumnya
yaitu proses digestasi anaerobik tahapan asidogenesis, dimana starter yang
digunakan paling awal berasal dari kolam pengasaman Pabrik Kelapa Sawit
Torgamba PTPN III.
b. Jenis bahan baku atau umpan yang digunakan: LCPKS dari Pabrik Kelapa
Sawit Adolina PTPN IV.
c. Kecepatan pengadukan fermentor: 250 rpm.
d. Kecepatan pengadukan tangki umpan: 150 rpm.
e. Temperatur fermentor: temperatur ambient.
f. pH pada variasi HRT: pH 6.
g. HRT pada variasi pH: HRT 4 hari.
h. Waktu untuk setiap variasi: 15 hari.
2. Variabel divariasikan:
a. HRT yaitu 20; 15; 10; 5 dan 4 hari.
b. pH dari fermentor divariasikan 4,5; 5; 5,5 dan 6.
Analisis yang akan dilakukan didalam penelitian ini meliputi analisis pada
bahan baku yang digunakan yaitu LCPKS dengan influent limbah dan effluent
limbah. Adapun analisis cairan ini terdiri dari:
1. Analisis pH
2. Analisis M-Alkalinity (Metode Titrasi)
3. Analisis Total Solids (TS) (Metode Analisa Proksimat)
4. Analisis Volatile Solids (VS) (Metode Analisa Proksimat)
5. Analisis Total Suspended Solids (TSS) (Metode Analisa Proksimat)
6. Analisis Volatile Suspended Solids (VSS) (Metode Analisa Proksimat)
7. Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) (Metode Reflux Terbuka)
8. Analisis Volatile Fatty Acid (VFA) (Metode Kromatografi)
Adapun analisis gas dilakukan jika pada penelitian ada terbentuk gas yaitu
gas CO2 dan H2S.
Analisis pH, M-Alkalinity, TS, dan VS dilakukan setiap hari, sedangkan
analisis TSS, VSS, COD dan VFA dilakukan tiga kali dalam 15 hari yaitu hari ke
10, 13 dan 15.
Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Analisis bahan baku LCPKS sebagai influent.
2. Loading up dilakukan sebagai proses adaptasi mikroba terhadap influent yang
diumpankan sebagai substrat bagi pertumbuhan mikroba, dilakukan dengan
cara memvariasikan HRT mulai dari HRT 20, 15, 10, 5 dan 4 hari.
3. Operasi target dilakukan dengan cara memvariasikan pH mulai dari pH 6; 5,5,
5 dan 4,5.
4. Pengujian sampel dari fermentor sebagai effluent.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERKEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA


Dibandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan,
kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat
pada dua dekade terakhir [14]. Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini,
lebih dari 46% bekerja di sektor pertanian. Kelapa sawit pertama kali masuk ke
Indonesia tahun 1911, dibawa oleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia.
Empat pohon sawit pertama dibawa dari Kongo, untuk kemudian ditanam di
Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannya dengan iklim dan tanah di
Indonesia. Hasil perkembangbiakan dari tanaman induk inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatera [1].
Kelapa sawit merupakan tanaman pohon tropis yang terutama ditanam
untuk menghasilkan minyak. Ditanam dan dipanen di daerah yang luas (3.000
sampai 5.000 ha) disekitar pabrik minyak sentral untuk memungkinkan
penanganan industri yang pesat [15]. Seiring dengan berkembangnya industri
sawit di Indonesia, luas areal perkebunan sawit juga semakin bertambah yang
dirangkum dalam Tabel 2.1 berikut, mulai dari tahun 2009 sampai 2013.

Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia [16]


Luas areal (ha)
Tahun Total (ha)
Perkebunan Besar Perkebunan Rakyat
2009 4.888.000 3.061.400 7.949.400
2010 5.161.600 3.387.300 8.548.900
2011 5.349.800 3.752.500 9.102.300
2012 5.995.700 4.137.600 10.133.300
2013 6.170.700 4.415.800 10.586.500

Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2012 perkebunan kelapa
sawit di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Sumatera seluas 6.624.900 Ha
diikuti oleh Kalimantan seluas 3.483.700 Ha, Sulawesi seluas 336.700 Ha, Papua
seluas 108.500 Ha dan Jawa seluas 32.600 Ha [16, 17]. Gambar 2.1 berikut
merupakan luas lahan sawit berbagai provinsi di Indonesia.
381,5
38,46 789,4
1222,9
2139,8 897,9 142,6

39,0
355,9

696,8 1126,5
190,4 95,1
497,7
290,2
95,1
898,2 160,6 60,6 50,7
19,9
10,9

Gambar 2.1 Luas Lahan Sawit (dalam 103 Ha) pada Tahun 2012 [16]

Industri kelapa sawit berpotensi menghasilkan perkembangan ekonomi


dan sosial yang signifikan di Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan
memajukan pembangunan ekonomi [2, 17]. Salah satu hasil olahan kelapa sawit
adalah Minyak Sawit Mentah (MSM) seperti Crude Palm Oil (CPO) dan Crude
Palm Kernel Oil (CPKO) [18]. Minyak sawit merupakan minyak yang berasal
dari proses ekstraksi tandan buah segar kelapa sawit. Dapat digunakan untuk
konsumsi makanan maupun non konsumsi. Peningkatan permintaan untuk minyak
sawit didorong oleh meningkatnya konsumsi minyak nabati karena perkembangan
populasi manusia [19]. Tabel 2.2 berikut merupakan produksi minyak kelapa
sawit dunia.

Tabel 2.2 Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia, dalam Jutaan Ton [20]
2010/11 2011/12 2012/13 2014/15 Nov Des
2014/15 2014/15
Indonesia 23,600 26,200 28,500 30,500 33,500 33,000
Malaysia 18,211 18,202 19,321 20,161 21,250 21,250
Thailand 1,832 1,892 2,135 2,150 2,250 2,250
Colombia 753 945 974 1,042 1,070 1,070
Nigeria 850 850 910 930 930 930
Lainnya 3,590 4,022 4,129 4,276 4,293 4,293
Total 48,836 52,111 55,969 59,059 63,293 62,793

2.2 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)


2.2.1 Sumber Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
Perkembangan pesat pada industri kelapa sawit setiap tahunnya telah
memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan dengan dihasilkan
sejumlah besar residu dari proses di pabrik kelapa sawit yang berasal dari proses
ekstraksi minyak sawit dari tandan buah segar di pabrik kelapa sawit. Proses
produksi pada industri sawit menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat
terdiri dari tandan kosong buah, serat mesocarp buah dan cangkang kelapa sawit,
digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap dan listrik di pabrik [3,
5].
Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit dari proses basah di
dekanter. Limbah cair ini dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan
sterilizer yang disebut sebagai LCPKS [3]. Gambar 2.1 berikut merupakan
diagram alir proses ekstraksi minyak sawit pada industri kelapa sawit, dilengkapi
dengan limbah yang dihasilkan beserta sumbernya.

Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Ekstraksi Minyak Sawit dan Limbah yang
Dihasilkan [21]
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga sumber
utama limbah cair yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit konvensional yaitu
sterilizer kondensat, pemisah lumpur dan limbah hidrosiklon dengan
3
perbandingan sekitar 0,9 : 1,5 : 0,1 m [22, 23]. Produksi 1 juta ton minyak sawit
mentah membutuhkan 5 juta ton tandan buah segar (TBS). Rata-rata pengolahan 1
juta ton TBS di Pabrik Kelapa Sawit menghasilkan 230.000 ton tandan kosong
buah (TKS) dan 650.000 ton LCPKS sebagai residu [20].

2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)


LCPKS adalah suspensi koloid berwarna kecoklatan yang mengandung 95-
96% air, 0,6% minyak dan 0,7% lemak, dan 4-5% dari total padatan, memiliki
konsentrasi COD yang tinggi karena memiliki jumlah karbon rendah (8-20) dari
asam amino dan asam lemak yang terlarut, mengandung padatan dan minyak,
bersifat asam, mengandung bahan organik tinggi yang tidak beracun karena tidak
ada bahan kimia yang ditambahkan selama proses ekstraksi minyak dan
mengandung zat hara yang cukup untuk tanaman [4, 24, 25]. Adanya kandungan
COD yang tinggi, menyebabkan LCPKS berpotensi menjadi polutan, namun
karena kandungan organiknya juga tinggi, maka LCPKS dapat diuraikan secara
biologis.

Gambar 2.3 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) [26]

Karakteristik LCPKS dapat berbeda untuk operasi yang berbeda setiap


harinya dari pabrik-pabrik industri kelapa sawit, tergantung pada teknik
pengolahan, usia atau jenis buah, iklim dan kondisi pengolahan kelapa sawit [21].
Tabel 2.3 berikut merupakan karakteristik LCPKS secara umum.

10
Tabel 2.3 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) [23, 27]
Parameter Satuan Nilai
pH – 4–6
Suhu °C 60 – 80
Biochemical Oxygen Demand (BOD) mg/l 20.000 – 60.000
Chemical Oxygen Demand (COD) mg/l 40.000 120.000
Total Solids (TS) mg/l 30.000 – 70.000
Total Suspended Solids (TSS) mg/l 15.000 – 40.000
Volatile Solids (VS) mg/l 9.000 – 72.000
Minyak dan Lemak mg/l 6.500 -15.000
Total nitrogen mg/l 500 – 900
Ammoniacal nitrogen(NH3–N) mg/l 4 – 80
Total P mg/l 90 – 140
Total K mg/l 260 – 400
Total Ca mg/l 1.000 – 2.000
Total Mg mg/l 250 – 350

Sistem pengolahan LCPKS pada dasarnya terdiri dari proses anaerobik dan
proses aerobik. Tiga sistem pengolahan yang paling umum digunakan adalah
kolam stabilisasi, digester tangki terbuka dengan aerasi diperpanjang, dan digester
tangki tertutup yang menghasilkan biogas dan sistem aplikasi tanah [28]. Sistem
kolam stabilisasi adalah metode anaerob konvensional yang paling sering
digunakan untuk pengolahan LCPKS [4].
LCPKS merupakan limbah yang sangat polutan. Limbah cair yang tidak
ditangani dengan baik akan menyebabkan polusi berupa ancaman besar bagi
daerah sekitar aliran sungai dan badan air serta menimbulkan bau busuk pada
daerah sekitar pabrik, ditambah dengan nilai BOD yang tinggi dan pH yang
rendah, menyebabkan LCPKS sangat sulit untuk diolah dengan metode
konvensional [28]. Oleh karena itu, dibutuhkan pengolahan sebelum LCPKS
dibuang ke lingkungan. Tabel 2.4 berikut merupakan baku mutu limbah cair
industri minyak sawit yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan.

Tabel 2.4 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit [29]
Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran Maksimum
(mg/l) (kg/ton)
BOD5 250 1,5
COD 500 3,0
TSS 300 1,8
Minyak dan Lemak 30 0,18
Amonia Total (sebagai NH3-N) 20 0,12
pH 6,0 – 9,0
Debit Limbah Maksimum 6 m3 ton bahan baku
2.3 PEMANFAATAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT
(LCPKS) SEBAGAI SUBSTRAT DALAM PROSES DIGESTASI
ANAEROBIK
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi diolah di instalasi
pengolahan air limbah. Untuk penanganannya perlu dibangun kolam limbah
dengan kapasitas yang dapat menampung limbah cair dengan kapasitas olah
pabrik brondolan sawit/jam. Tahapan proses pengolahan air limbah terdiri atas:
(1) Deoling Pond, (2) Kolam Pendingin, (3) Primary Anoerbic Pond, (4)
Secondary Anaerobic Pond dan (5) Aeration Pond. Waktu tinggal limbah pada
kolam keseluruhan adalah 109 hari, maka perluasan kolam limbah harus
dilakukan sejalan dengan pengembangan kapasitas produksi [30].
Pengolahan secara konvensional ini membutuhkan waktu yang lama dan
lahan yang luas, sedangkan LCPKS merupakan sumber pencemar potensial yang
dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik kelapa sawit
dituntut untuk menangani limbah ini melalui peningkatan teknologi pengolahan
(end of pipe) [31]. Peningkatan permintaan konsumen minyak sawit berbanding
lurus dengan produksi pabrik kelapa sawit sehingga berakibat pada peningkatan
LCPKS yang mengandung konstituen biodegradable atau dapat diuraikan secara
biologis dengan rasio BOD/COD sebesar 0,5 [32].
Biogas atau biometana adalah pilihan yang efisien untuk mencegah dan
mengurangi polusi serta memberikan energi yang berkualitas tinggi untuk bahan
bakar kendaraan, pembangkit listrik, dan pemanas [33]. Komposisi biogas
bervariasi sangat tergantung pada bahan organik dan proses biologis yang
digunakan [34]. Tabel 2.5 berikut merupakan karakteristik biogas secara umum.

Tabel 2.5 Karakteristik Biogas [6, 35, 36]


Parameter Komposisi
Metana (CH4) 50 – 75%
Karbon dioksida (CO2) 30 – 40%
Nitrogen (N2) 0,4 – 1,2%
Oksigen (O2) 0 – 0,4%
Hidrogen Sulfida (H2S) 0,02 – 0,4%
Kandungan Energi 6,0 – 6,5 kWh/m3
Kesetaraan Bahan Bakar 0,60 – 0,65 liter minyak/m3
udara Batas Ledakan 6 – 12% biogas di udara
Temperatur Nyala 650 – 750 °C
Tekanan Kritis 75 – 89 bar
Parameter Komposisi
Temperatur Kritis –82,5 °C
Densitas Normal 1,2 kg/m3
Massa Molar 16,043 kg/kmol-1

Salah satu keuntungan utama dari produksi biogas adalah kemampuan


untuk mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga, dengan
menggunakannya sebagai substrat untuk proses digestasi anaerobik [9]. Secara
umum, bahan baku substrat untuk pembuatan biogas harus mengandung tiga jenis
makromolekul yaitu karbohidrat, protein dan lipid [37]. Kandungan karbohidrat,
protein, senyawa nitrogen, lipid dan mineral yang tinggi dalam LCPKS
menjadikan LCPKS sebagai substrat yang baik untuk biokonversi melalui
berbagai proses bioteknologi [38]. Jika substrat untuk proses digestasi anaerobik
terdiri atas campuran homogen dari dua atau lebih jenis bahan baku (misalnya
lumpur kotoran hewan dan limbah organik dari industri makanan), proses ini
disebut co-digestion dan umum digunakan dalam pembuatan biogas [9]. Tabel 2.6
berikut merupakan potensi biogas yang dihasilkan oleh beberapa substrat.

Tabel 2.6 Potensi Biogas yang Dihasilkan oleh Beberapa Substrat [42]
Biogas
Komponen Komposis Biogas
(m 3/kg VS)
(CH4 : CO2)
Karbohidrat 0,38 50 : 50
Lemak 1,00 70 : 30
Protein 0,53 60 : 40

2.4 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK


Beberapa spesies mikroba telah dikenal karena kemampuan mereka untuk
memecah bahan organik yang ada dalam limbah dengan memproduksi suatu
produk bernilai tambah [38]. Biogas merupakan produk gas dari proses digestasi
anaerobik, yaitu proses biokimia dimana bahan organik yang kompleks terurai
dalam ketiadaan oksigen dengan memanfaatkan aktivitas berbagai jenis
mikroorganisme [39]. Selama proses tersebut, bahan organik diubah terutama
untuk menjadi metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan biomassa. Nitrogen
dilepaskan dari senyawa organik dan dikonversi menjadi amonia [40]. Proses
anaerobik digunakan untuk mengolah limbah cair dengan kandungan organik
yang tinggi (BOD>500mg/l), bertujuan untuk pengolahan lebih lanjut dari lumpur
primer dan sekunder dari pengolahan air limbah konvensional [41]. Gambar 2.4
berikut merupakan skema digester anaerobik dengan sistem batch dan kontinu.

Gambar 2.4 Skema Digester Anaerobik (A) Batch dan (B) Kontinu [42]

Terdapat beberapa keuntungan dari proses digestasi yaitu mampu


mengolah limbah dengan kandungan senyawa organik yang tinggi, tidak
membutuhkan peralatan aerasi, investasi energi rendah dan jumlah lumpur yang
dihasilkan jauh lebih rendah dari proses aerobik [43]. Gambar 2.5 berikut
merupakan tahapan proses digestasi anaerobik.

Gambar 2.5 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [44]


2.4.1 Hidrolisis
Hidrolisis adalah tahapan ekstraseluler enzim-dimediasi yang melarutkan
partikulat dan substrat yang tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme
anaerobik [40]. Pada hidrolisis terjadi degradasi bahan organik dan senyawa
dengan berat molekul tinggi seperti lipid, polisakarida, dan protein menjadi
molekul kecil dan substrat organik terlarut (misalnya, glukosa asam lemak pasir,
asam amino), yang cocok untuk digunakan sebagai sumber energi dan sel karbon
[45]. Senyawa yang terbentuk selama hidrolisis digunakan selama tahapan
asidogenesis.

2.4.1.1 Hidrolisis Polisakarida


Reaksi yang terjadi adalah [9]:
e nz im se lul os a, s elo bi ase ,
Polisakarida          
x ila nas e, am ila se
       monosakarida
Polisakarida adalah senyawa yang mengandung rantai gula terkait.
Polisakarida yang umum adalah selulosa, hemiselulosa, pati, pektin, dan glikogen.
Hidrolisis selulosa hasil dalam pembentukan selobiosa (dua molekul glukosa yang
saling berhubungan) dan glukosa. Pati dan glikogen dipecah menjadi unit glukosa,
dan beberapa gula yang berbeda terbentuk dari hemiselulosa dan pektin.
Organisme yang aktif dalam proses biogas selama hidrolisis polisakarida
termasuk berbagai kelompok bakteri dalam, misalnya, Bacteriodes genera,
Clostridium, dan Acetivibrio [42].

2.4.1.2 Hidrolisis Protein


Reaksi yang terjadi adalah [9]:
e nz im pr ote a se
Protein         asam amino
Protein adalah rantai asam amino yang ditemukan dalam konsentrasi
tinggi. Asam amino adalah produk primer akhir hidrolisis protein dan peptida.
Selain asam amino, dekomposisi glikoprotein juga memproduksi berbagai
karbohidrat. Organisme proteolitik dalam proses biogas antara lain, genera
Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bifidbacterium [42].
2.4.1.3 Hidrolisis Lemak
Reaksi yang terjadi adalah [9]:
e nz im lip a se
Lemak        asam lemak, gliserol
Umumnya lemak terdiri dari gliserol (alkohol) dan asam lemak yang
berbeda, yang semuanya dirilis oleh biodegradasi. Enzim yang memecah lemak
disebut lipase. Sebagian besar lipase diketahui diproduksi oleh mikroorganisme
aerobik aerobik atau fakultatif. Mikroorganisme anaerobik yang banyak
mengeluarkan lipase antara lain, genus Clostridium [42].

2.4.2 Asidogenesis
Selama asidogenesis, produk hidrolisis diubah oleh bakteri asidogenik
menjadi substrat untuk metanogen [9]. Bahan molekul kecil dan substrat organik
terlarut didegradasi menjadi VFA (misalnya asam asetat, asam propionat, asam
butirat, asam suksinat, asam laktat dan lain-lain), alkohol, ammonia, CO 2 dan H2
[42]. Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat,
karbon dioksida dan hidrogen (70%) serta menjadi VFA dan alkohol (30%) [9].
Pada tahapan ini, mikroorganisme asidogenesis menyediakan substrat yang
penting bagi mikroorganisme asetogenesis dan mikroorganisme metanogenesis.
Banyak mikroorganisme yang berbeda, aktif selama tahap ini lebih dari pada
tahap lain. Mikoorganisme pada tahap ini sama dengan tahap hidrolisis, namun
organisme lain juga aktif, misalnya Enterobacterium, Bacteriodes,
Acetobacterium, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Butyribacterium,
Propionibacterium, Lactobacillus, Streptococcus, Pseudomonas, Desulfobacter,
Micrococcus, Bacillus dan Escherichia. Para anggota fakultatif kelompok ini juga
membantu melindungi metanogen yang sensitive terhadap oksigen dengan
mengkonsumsi jejak oksigen yang dapat masuk dalam umpan [42, 46].

2.4.3 Asetogenesis
Produk dari asidogenesis, yang tidak dapat langsung diubah menjadi
metana oleh bakteri metanogen, diubah menjadi substrat metanogen selama
asetogenesis [9]. Asetogenesis merupakan tahapan dimana asam organik yang
lebih tinggi dan zat-zat lain yang dihasilkan oleh asidogenesis selanjutnya dicerna
oleh asetogen untuk menghasilkan asam asetat, CO2 dan hidrogen yang dapat
digunakan oleh metanogen untuk produksi metana [46].
VFA dengan rantai karbon lebih panjang dari dua unit, dan alkohol dengan
rantai karbon lebih panjang dari satu unit, dioksidasi menjadi asetat dan hidrogen
[9]. Konversi substrat menjadi asetat mengikuti reaksi berikut [47]:
Reaksi sintrofik asetogenik:
 Propionat- + 3H2O → asetat - + HCO3- + H+ + 3H2
 Butirat - + 2H2O → 2 asetat - + H+ + 2H2
 Propionat- + 2HCO3- → asetat - + 3 format - + H+
 Butirat - + 2HCO3- → 2 asetat - + 2 format - +
H+ Reaksi homoasetogenik:
 Laktat - → 1 ½ asetat - + ½ H+
 Etanol - + HCO3- → 1 ½ asetat - + H2O + ½ H+
 Metanol - + ½ HCO3- → ¾ asetat - + H2O
 4H2 + 2HCO3- + H+ → asetat - + 4H2O
Syntrophomonas, Syntrophus, Clostridium, dan Syntrobacter adalah
contoh genus dari mikroorganisme yang dapat melakukan oksidasi anaerobik
yang bersintrofik dengan mikroorganisme untuk menguraikan gas hidrogen.
Banyak organisme ini dikenal sebagai asetogens, yaitu selain gas hidrogen dan
karbon dioksida mereka juga membentuk asetat sebagai produk utama [42].

2.4.4 Metanogenesis
Metanogenesis adalah tahapan mengubah senyawa antara menjadi produk
akhir yang lebih sederhana, terutama CH4 dan CO2 oleh dua kelompok
mikroorganisme metanogen: kelompok pertama mengkonversi asetat menjadi
metana dan karbon dioksida (methanogen aceticlastic) dan kelompok kedua
menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan CO 2 sebagai akseptor untuk
menghasilkan metana (methanogen hydrogenotrophic). Sekitar 72% dari metana
yang dihasilkan dalam pencernaan anaerobik adalah dari asetat; dan 28% dari
metana berasal dari hidrogen [6, 45]. Reaksi yang terjadi yaitu [47]:
 Hidrogen : 4 H2 + CO2 → CH4 + 2 H2O
 Asetat : CH3COOH → CH4 + CO2
 Metanol : 4 CH3OH → 3 CH4 + CO2 + 2 H2O
Metanogenesis merupakan tahapan kritis dalam seluruh proses pencernaan
anaerobik, karena merupakan reaksi biokimia yang paling lambat [9]. Saat ini
hanya ada dua kelompok yang diketahui dari metanogen yang memecah asetat
yaitu Methanosaeta dan Methanosarcina, sementara yang memecah gas hidrogen
yaitu Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan
Methanobrevibacter [42].

2.5 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK DUA TAHAP


Tiga kelompok bakteri yang berbeda (fermentasi, asetogenik dan
metanogen) terlibat dalam proses digestasi anaerobik dan bakteri ini secara luas
berbeda satu sama lain dalam fisiologi dan kebutuhan gizi. Ketika substrat mudah
terhidrolisis seperti pati terlarut diperlakukan anaerob, proses ini memiliki
masalah pada tingkat pembebanan yang tinggi karena ketidakseimbangan antara
asam dan pembentukan metana [48]. Untuk mengatasi masalah ini, banyak upaya
telah dilakukan untuk memisahkan proses menjadi dua tahap yang berbeda yang
pertama untuk tahap hidrolisis dan asidogenesis sedangkan tahap kedua untuk
metanogenesis. Proses digestasi anaerobik dua tahap dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 2.6 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [46]

Ide dari proses digestasi anaerobik dua tahap pada awalnya diusulkan oleh
Pohland dan Ghosh (1971). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan biodegradasi
anaerob melalui pemisahan yang terkendali dari reaksi utama [46]. Pada proses
digestasi dua tahap, substrat dimasukkan ke dalam reaktor tahap pertama, cairan
yang mengandung senyawa antara, terutama VFA secara terus menerus
dikeluarkan dan dimasukkan ke reaktor tahap kedua yaitu tahap metanogen.
Dengan cara ini, kondisi masing-masing tahap dapat dioptimalkan, kemudian
senyawa antara seperti VFA yang dapat menghambat kelompok mikroorganisme
dalam konsentrasi tinggi, terus-menerus dapat dicuci dari reaktor tahap pertama
[49]. Mikroorganisme yang terkait dengan hasil tahap pertama memiliki tingkat
pertumbuhan dan aktivitas tertinggi, maka reaktor asidogenik akan selalu lebih
kecil dari reaktor metanogen [46]. Tujuan dari proses digestasi anaerobik dua
tahap tidak hanya untuk lebih mendegradasi limbah, tetapi juga untuk
mengekstrak energi lebih bersih dari sistem [50].
Penelitian JE Hernandez dan RGJ Edyvean, 2011 [51] menggunakan two-
stage (asidogenesis dan metanogenesis) anaerobic digestion (TSAD) yang
dibandingkan dengan single-stage anaerobic digestion (SSD) untuk mengolah air
limbah sintetis yang terkontaminasi fenol. Kedua sistem dioperasikan dalam batch-
dilution dan semi kontinu pada 35°C. TSAD memiliki produksi biogas lebih
besar, pada reaktor asidogenesis lebih mudah terjadi penguraian tanpa hambatan
oleh akumulasi fenol (sampai 1.450 mg/l). Reaktor asidogenesis juga mencegah
penghambatan pembentukan biogas di tahap kedua (metanogen), dengan
menghambat fenol dan dihasilkan asam organik dengan cepat. Sistem ini
meningkatkan produksi biogas dan memungkinkan kontrol yang lebih baik dari
tahap asidogenesis dan metanogen.
Penelitian Noha et al, 2012 [50] mengevaluasi proses digestasi anaerobik
satu tahap dan dua tahap untuk produksi biometana dan biohidrogen
menggunakan thin stillage, hal ini dilakukan untuk menilai dampak dari
memisahkan tahap asidogenesis dan metanogenenesis pada digestasi anaerobik.
Thin stillage merupakan produk sampingan dari produksi etanol, ditandai dengan
TCOD yang tinggi mulai dari 122 g/l dan TVFA mulai dari 12 g/l. Dihasilkan
metana maksimum sebesar 0,33 L CH4/g CODadded pada proses dua tahap
sementara proses satu tahap mencapai hasil maksimum hanya sebesar 0,26 L
CH4/g CODadded. Pemisahan tahap pengasaman meningkatkan TVFA untuk rasio
TCOD dari 10% pada thin stillage mentah menjadi 54% karena konversi
karbohidrat menjadi hidrogen dan VFAs. Perbandingan dari dua proses
berdasarkan hasil akhir energi menunjukkan bahwa peningkatan terbesar 18,5%
pada keseluruhan untuk menghasilkan energi dicapai dengan menggunakan
digestasi anaerobik dua tahap.
Penelitian Prawit et al, 2014 [52] menggunakan reaktor UASB yang
dioperasikan pada kondisi termofilik dan digunakan untuk menyelidiki proses
anaerobik dua tahap untuk memproduksi hidrogen dan metana secara kontinu dari
skim lateks serum (SLS). Reaktor tahap pertama untuk memproduksi hidrogen
dioperasikan dengan umpan 38 g-VS/L-SLS dengan variasi HRT dari 60, 48, 36,
dan 24 jam. Produksi yield hidrogen optimum adalah 2,25±0,09 L-H2/L-SLS
dicapai pada HRT 36 jam. Effluent yang mengandung asetat diumpankan ke
reaktor UASB kedua untuk produksi metana pada HRT 9 hari dan dihasilkan
konversi metana 6.41±0.52 L-CH4/L-SLS. Efisiensi removal bahan organik yang
diperoleh dari proses dua tahap ini adalah 62%. Penelitian ini menunjukkan bahan
bakar gas bernilai tinggi dalam bentuk hidrogen dan metana dapat berpotensi
dihasilkan dengan menggunakan proses anaerobik dua tahap terus menerus, di
mana bahan organik yang tersedia secara bersamaan terdegradasi.

2.6 PARAMETER YANG PENTING DALAM PROSES DIGESTASI


ANAEROBIK
Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan
dari proses ini. Beberapa parameter yang penting dalam proses digestasi
anaerobik yaitu:

2.6.1 Parameter Digestasi Anaerobik


2.6.1.1 pH
pH merupakan parameter penting dalam pemantauan dan pengendalian
digestasi anaerobik [6]. Proses anaerobik sangat sensitif terhadap pH. Dalam
kebanyakan kasus, degradasi anaerobik bahan organik dicapai paling efisien pada
pH netral. Namun, banyak juga yang dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah
atau lebih tinggi [51]. Pembentukan metana berlangsung pada kisaran pH 5,5-8,5,
dengan pH optimum untuk metanogenik adalah 7,0-8,0 [9]. pH mengontrol fraksi
VFA terdisosiasi yang dianggap bebas menembus membran sel mikroorganisme.
Setelah menyerap membran, asam lemak internal terpisah sehingga menurunkan
pH sitoplasma dan mempengaruhi metabolisme bakteri [6]. Nilai pH pada proses
anaerobik akan mengalami penurunan dengan diproduksinya asam volatil dan
akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk
metana [54]. Mikroorganisme asidogenik dapat tumbuh dan terus menghasilkan
asam pada pH rendah (5-6) [53]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional
biokimia pada proses anaerob yaitu [40]:
1) Hidrolisis, biasanya optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4.
3) Asetogenesis/hidrogen memanfaatkan metanogen, optimal antara pH 6,5 dan 8
tetapi memungkinkan hingga pH 5.
4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH
6.

2.6.1.2 Alkalinitas
Alkalinitas adalah ukuran dari jumlah alkali (dasar) zat dalam proses
biogas. Semakin tinggi alkalinitas, semakin besar kapasitas buffer dalam proses,
yang akan menstabilkan nilai pH. Alkalinitas terutama terdiri dari ion bikarbonat
yang berada dalam keseimbangan dengan karbon dioksida. Karbon dioksida dan
ion karbonat juga berkontribusi terhadap alkalinitas. Dekomposisi substrat kaya
nitrogen dengan proporsi yang tinggi protein dan asam amino dapat meningkatkan
alkalinitas, karena amonia dirilis dapat bereaksi dengan karbon dioksida terlarut
membentuk amonium bikarbonat. Berikut merupakan reaksi dari karbon dioksida
dalam kesetimbangan dengan asam karbonat dan karbonat [42]:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ HCO3- + H+ ↔ CO32- + 2H+
Kapasitas buffer sering disebut sebagai alkalinitas. Kapasitas buffer
sebanding dengan konsentrasi bikarbonat. Kapasitas buffer adalah metode yang
dapat diandalkan untuk mengukur ketidakseimbangan digester. Peningkatan
kapasitas buffer yang rendah, paling baik dilakukan dengan mengurangi organic
loading rate, meskipun pendekatan yang lebih cepat adalah penambahan basa
kuat atau garam karbonat untuk menghilangkan karbon dioksida dari ruang gas
dan mengubahnya menjadi bikarbonat, atau bikarbonat dapat ditambahkan secara
langsung [6]. Nilai alkalinitas tinggi (2000-4000 mg/l menggunakan CaCO3)
sering diperlukan untuk memastikan pH mendekati netral selama kandungan CO 2
tinggi (30-50%). Tingkat alkalinitas yang dibutuhkan jarang tersedia pada air
limbah influen, tetapi dapat dihasilkan oleh degradasi protein dan asam amino
[45] juga bisa ditingkatkan menggunakan penambahan senyawa kimia. Tabel 2.7
berikut merupakan bahan kimia yang biasa digunakan sebagai penyangga.

Tabel 2.7 Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga [36]
Bahan Kimia Formula Kation Penyangga
Sodium bikarbonat NaHCO3 Na+
Potassium bikarbonat KHCO3 K+
Sodium karbonat Na2CO3 Na+
Potassium karbonat K2CO3 K+
Kalsium karbonat CaCO3 Ca2+
Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Ca2+
Anhydrous ammonia (gas) NH3 NH4+
Sodium nitrat NaNO3 Na+

Parameter yang lebih sensitif untuk memantau digester dan mengukur


stabilitas proses adalah VFA/rasio alkalinitas, ketika rasio ini kurang dari 0,35-
0,40 (setara asam asetat/setara CaCO3) proses ini dianggap beroperasi
menguntungkan tanpa resiko pengasaman [6].

2.6.1.3 Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling
berpengaruh karena mengontrol aktivitas semua mikroorganisme. Umumnya,
kenaikan suhu menyebabkan peningkatan laju reaksi biokimia dan enzimatik
dalam sel menyebabkan tingkat pertumbuhan meningkat. Namun, di atas suhu
tertentu yang merupakan karakteristik dari masing-masing spesies, hal ini menjadi
penghambat dan menjadi tahap kematian mikroorganisme seperti protein dan
komponen struktural sel menjadi denaturasi. Terdapat tiga kondisi temperatur
yang memungkinkan mikroorganisme anaerobik berkembang, yaitu mesofilik
dengan temperatur optimum pada 30-37°C, termofilik dengan temperatur
optimum 55-60°C dan psikropilik dengan temperatur optimum pada 15-20°C
(ambient) [46]. Gambar 2.7 berikut merupakan tingkat pertumbuhan relatif
mikroorganisme anaerobik.

Gambar 2.7 Tingkat Pertumbuhan Relatif Mikroorganisme Metanogen [9]

Kondisi psikropilik sebagian besar terdapat di lingkungan, sementara


kondisi mesofilik dan termofilik sebagian besar dalam sistem rekayasa [40].
Dalam prakteknya, temperatur operasi dipilih dengan mempertimbangkan bahan
baku yang digunakan dan temperatur proses yang diperlukan dapat disediakan
oleh ruangan atau menggunakan sistem pemanas pada digester [9]. Enzim
berkembang dalam mikroorganisme setelah penyesuaian yang dapat mentolerir
perubahan suhu. Akibatnya ada mikroorganisme yang dapat tumbuh di lebih dari
satu rentang suhu. Digestasi anaerobik mesofilik dan termofilik lebih banyak
digunakan daripada psikropilik karena laju reaksi tinggi pada rentang suhu
tersebut. Namun, suhu psikropilik sering terjadi berdasarkan kondisi iklim
setempat dan penting untuk meningkatkan proses dalam kondisi ini [53].

2.6.1.4 Pengadukan
Proses start-up anaerobik sering berlangsung 2-4 bulan. Start-up memiliki
potensi untuk gagal dimana bioreaktor tidak bekerja dengan baik dan biogas tidak
dapat diproduksi. Untuk menghindari masalah ini, ke dalam reaktor hidrolisis dan
reaktor metanogenesis sering diinokulasikan lumpur anaerobik dari reaktor
fermentasi lainnya. Pencampuran dalam reaktor harus dilakukan dengan sangat hati-
hati [36]. Kontak antara bahan organik dan mikroorganisme dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan pencampuran, yang menyebabkan kinerja reaktor yang lebih
tinggi [46]. Hal ini terutama penting bagi mikroorganisme
hidrolitik untuk membuat kontak yang baik dengan berbagai molekul bahwa
mereka harus mencerna dan enzim mereka dapat didistribusikan di seluruh area
permukaan besar dalam substrat. Pengadukan juga mencegah bahan dari
terakumulasi di bagian bawah tangki digestasi dan mengurangi risiko berbusa
[42].

2.6.1.5 Kebutuhan Nutrisi


Nutrisi sangat dibutuhkan dalam proses anaerobik. Nutrisi yang paling
penting bagi bakteri adalah karbon dan nitrogen, tapi dua elemen ini harus
disediakan dalam rasio yang tepat. Jika tidak, amonia dapat terbentuk ke tingkat
yang dapat menghambat mikroorganisme. Rasio karbon/nitrogen (C/N)
tergantung pada daya cerna dari sumber karbon dan nitrogen [44]. Nutrisi yang
memadai tersedia apabila menggunakan limbah yang kompleks untuk diolah.
Penambahan nutrisi diperlukan ketika mengolah limbah industri yang kekurangan
unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor. Umumnya kebutuhan nutrisi untuk
nitrogen, fosfor, dan sulfur masing-masing berada di kisaran 10-13; 2-2,6; dan 1-2
mg per 100 mg biomassa. Untuk mempertahankan aktivitas maksimum
metanogen, sangat diinginkan nilai konsentrasi fasa cair nitrogen, fosfor, dan
belerang masing-masing 50, 10 dan 5 mg/l [45].
Kandungan metana dari campuran biogas tergantung pada keadaan
oksidatif karbon dalam senyawa yang terdapat dalam bahan baku. Bahan baku
juga harus seimbang terhadap rasio karbon dan nitrogen (C:N = 20:30), karena
mikroorganisme menggunakan karbon dan nitrogen pada kisaran rasio ini.
Terlepas dari C dan N, elemen lain juga penting untuk pertumbuhan
mikroorganisme anaerob. Sebagai contoh, Ni (terlibat dalam sintesis koenzim
F430), Fe (konstituen pembawa elektron), Mg (menstabilkan membran sel), Ca
(menstabilkan dinding sel dan memberikan kontribusi bagi stabilitas termal dari
endospora), Co (komponen vitamin B12), Zn (konstituen dari beberapa enzim) dan
sebagainya. Jika elemen ini tidak terkandung dalam bahan baku, mereka harus
diberikan karena ketidakhadiran mereka berkorelasi dengan penurunan efisiensi
[53].
2.6.1.6 Volatile Fatty Acid (VFA)
VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahapan
asidogenesis dengan rantai karbon hingga enam atom [9]. VFA dapat digunakan
sebagai indikator stabilitas proses fermentasi metana [55]. Ketidakstabilan proses
digestasi anaerobik akan menyebabkan akumulasi VFA di dalam digester yang
menyebabkan penurunan nilai pH. Namun, akumulasi VFA akan tidak selalu
dinyatakan dengan penurunan nilai pH, karena terdapat kapasitas buffer pada
digester yang berasal dari biomassa yang terkandung di dalamnya [9]. Jika pH
tinggi, digester dapat bekerja dengan konsentrasi VFA yang tinggi hingga
beberapa g/l. Tetapi efisiensi pengolahan akan rendah [56]. Akumulasi VFA
mencerminkan pemisahan kinetik antara pembentuk asam dan konsumen serta ciri
khas yang disebabkan oleh hidrolik atau organik overloading, variasi suhu tiba-
tiba, adanya senyawa toksik atau penghambat dan beberapa faktor lainnya. Asam
asetat biasanya terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari yang lainnya
dalam VFA selama proses digestasi anaerobik, sedangkan asam propionat dan
butirat menjadi penghambat aktivitas metanogen [6]. VFA dengan konsentrasi
tinggi sering dikaitkan dengan efek toksisitas dan inhibisi [46]. Tabel 2.8 berikut
merupakan kandungan dari VFA pada proses digestasi anaerobik.

Tabel 2.8 Kandungan VFA yang Umum Terdapat pada Proses Digestasi Anaerobik
[46]
Asam Format HCOOH
Asam Asetat CH3COOH
Asam Propionat CH3CH2COOH
Asam Butirat CH3CH2CH2COOH
Asam Valerat CH3CH2CH2CH2COOH
Asam Heksanoik CH3CH2CH2CH2 CH2COOH
Asam Heptanoik CH3CH2CH2CH2 CH2CH2COOH
Asam Oktanoik CH3CH2CH2CH2CH2CH2 CH2COOH

2.6.2 Parameter Operasional


2.6.2.1 Beban Organik (Organic Loading Rate)
Beban organik merupakan parameter operasional yang penting, yang
menunjukkan berapa banyak bahan kering organik dapat dimasukkan ke dalam
digester, per volume dan satuan waktu, sesuai dengan persamaan [9]:
BR = m × c / VR (2.1)
Keterangan: BR = Beban organik (kg/hari·m3)
m = Massa substrat umpan per satuan waktu (kg/hari)
c = Konsentrasi bahan organik (%)
VR = Volume digester (m3)
Produksi gas akan meningkat dengan beban organik sampai tahap ketika
metanogen tidak bisa bekerja cukup cepat untuk mengkonversi asam asetat
menjadi metana. Beban oeganik berhubungan dengan konsentrasi substrat dan
HRT, sehingga keseimbangan yang baik antara kedua parameter harus diperoleh
untuk operasi digester yang baik. HRT pendek akan mengurangi waktu kontak
antara substrat dan biomassa [25].

2.6.2.2 Hydraulic Retention Time (HRT)


HRT adalah rata-rata interval waktu ketika substrat disimpan di dalam
tangki digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume substrat
umpan per satuan waktu, sesuai dengan persamaan:
HRT = VR / V (2.2)
Keterangan: HRT = Hydraulic Retention Time (hari)
VR = Volume digester (m3)
V = Volume substrat umpan per satuan waktu (m 3/hari)
Menurut persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi
HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah
mikroorganisme yang mati pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi
dari jumlah mikroorganisme direproduksi. Tingkat duplikasi bakteri anaerob
biasanya 10 hari atau lebih. Sebuah HRT singkat memberikan laju aliran substrat
yang baik, tapi hasil gas yang lebih rendah. Hal ini sangat penting untuk
menyesuaikan HRT dengan tingkat degradasi spesifik dari substrat yang
digunakan [9].

2.7 ANALISA EKONOMI


Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap
proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient dengan produk yang
diharapkan berupa VFA yang pada tahapan berikutnya dapat dikonversi menjadi
biogas. Maka pada penelitian ini yang dikaji adalah jumlah VFA yang akan
dikonversi menjadi biogas pada proses digestasi anaerobik dua tahap. Beberapa
penelitian yang berhasil menghitung volume biogas dari VFA ditunjukkan pada
Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Volume Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk


Peneliti Total VFA (mg/L) Volume Biogas (L/L·hari)
A.K Kivaisi dan M. Mtila [57] 2.058,85 1,70
Rongpin Li et al [58] 4.020,00 3,97
Cavinato et al [59] 6.896,48 6,00

Pada penelitian ini, total pembentukan VFA tertinggi diperoleh pada


variasi pH 5,5 dengan jumlah 8.287 mg/L. Melalui Tabel 2.9 dapat digambarkan
grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.

8
Produksi Biogas (L/L hari)

Produksi Biogas
6 Linear (Produksi Biogas)

4
y = 0,0009x + 0,1043
2

0
0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000
Total VFA (mg/L)

Gambar 2.8 Konversi Total VFA menjadi Biogas [57, 58, 59]

Gambar 2.8 menunjukkan grafik linearisasi pembentukkan biogas dari


VFA dengan persamaan garis lurus: y = 0,0009 x + 0,1043 dengan y merupakan
produksi biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan
tersebut maka jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA tertinggi pada
penelitian ini adalah:
y = 0,0009 x + 0,1043
= (0,0009) (8.287) + 0,1043
= 7,56 liter biogas/liter LCPKS hari = 7,56 m3 biogas/m3 LCPKS hari
Ekivalensi 1 m3 biogas terhadap Liquefied Petroleum Gas (LPG) adalah sebesar
0,465 kg. Sehingga
7,56 m3 biogas 0,465 kg LPG
= 1 m3LCPKS × 1 m3 biogas

= 3,52 kg LPG/m3 LCPKS

Harga LPG industri adalah Rp 11.767/kg [60] sehingga:


3,52 kg LPG
Harga biogas yang dihasilkan = × Rp. 11.767
1 m3LCPKS 1kg LPG

= Rp. 41.419,84/m3 LCPKS


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN


3.2.1 Bahan-Bahan
1. Starter dari hasil olahan penelitian asidegenesis sebelumnya
2. Sampel LCPKS dari fat pit PKS Adolina
3. Asam klorida (HCl) 0,1 N
4. Aquadest (H2O)
5. Natrium Bikarbonat (NaHCO3)

3.2.2 Peralatan
3.2.2.1 Peralatan Utama
1. Fermentor tangki berpengaduk/jar fermentor (EYELA model No:
MBF 300ME)
2. Pompa sludge/slurry pump (HEISHIN, model No.:3NY06F)
3. Gas meter (SHINAGAWA, model No.:W-NK-0.5B)
4. Tangki umpan (service tank)
5. Pengaduk
6. Sensor temperatur
7. pH elektroda
8. Timer (OMRON, model No.:H5F)
9. Botol penampungan keluaran fermentor
10. Gas collector
3.2.2.2 Peralatan Analisa
1. Buret 25 ml
2. Timbangan analitik
3. Oven
4. Desikator
5. Pipet volumetrik
6. Karet penghisap
7. Pengaduk magnetic
8. Furnace

3.2.3 Rangkaian Peralatan


Gambar 3.1 menunjukkan rangkaian peralatan yang dilakukan dalam
proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan


3.3 TAHAPAN PENELITIAN
3.3.1 Analisis Bahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
3.3.1.1 Analisis pH
Adapun prosedur analisis pH adalah [61]:
1) Kalibrasi pH meter dilakukan ke dalam pH 4, pH 7, dan pH 10.
2) Bagian elektroda dari pH meter dicuci dengan aquadest.
3) Elektoda dimasukkan ke dalam sampel yang akan diukur pH-nya.
4) Nilai bacaan pH meter ditunggu sampai konstan lalu dicatat nilai
bacaannya.

3.3.1.2 Analisis M-Alkalinity


Adapun prosedur analisis M-alkalinity adalah [62]:
1) Sampel dimasukkan sebanyak 5 ml ke dalam beaker glass lalu
ditambahkan dengan aquadest hingga volume larutan 80 ml.
2) Beaker glass diletakkan di atas magnetic stirrer, dan diletakkan pH
elektroda di dalam beaker gelas, kemudian stirrer dihidupkan dan
kecepatan diatur sedemikian rupa hingga sampel tercampur sempurna
dengan aquadest.
3) Campuran dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N hingga pH mencapai 4,8 ±
0,02.
4) Analisis M-Alkalinity dilakukan untuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
(LCPKS) dan limbah fermentasi pada Jar fermentor.
5) M-Alkalinity dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Vol.HCl yang terpakai x MHCl x1000 x 5
M-Alkalinity = (3.1)
VolSampel

3.3.1.3 Analisis Total Solids (TS)


Adapun prosedur analisis Total Solids (TS) adalah [61]:
1) Cawan penguap kosong yang telah dibersihkan, dipanaskan pada 105 oC di
dalam oven selama 1 jam. Apabila akan dilanjutkan untuk analisis zat
tersuspensi organik, cawan dipanaskan pada 550oC, selama 1 jam.
2) Cawan didinginkan selama 15 menit di dalam desikator, lalu ditimbang.
3) Sampel dikocok merata, lalu dituangkan ke dalam cawan. Volume sampel
diatur sehingga berat residu antara 25-250 mg.
4) Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven, suhu 98oC untuk
mencegah percikan akibat didihan air di dalam cawan. Namun bila volum
sampel kecil dan dinding cawan cukup tinggi maka langkah ini tidak perlu.
5) Pengeringan diteruskan di dalam oven dengan suhu 103-105oC selama 1
jam.
6) Cawan yang berisi residu zat padat tersebut didinginkan di dalam desikator
sebelum ditimbang.
7) Langkah 5 dan 6 diulang sampai didapat berat yang konstan atau
berkurang berat lebih kecil 4% berat semula atau 0,5 mg, biasanya
pemanasan 1-2 jam sudah cukup. Penimbangan harus dikerjakan dengan
cepat untuk mengurangi galat.
8) Kandungan TS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
(A - B) 1000
mg padatan total/L  (3.2)
volume sampel,
mL
Keterangan: A = berat residu kering + cawan porselen, mg
B = berat cawan porselen, mg

3.3.1.4 Analisis Volatile Solids (VS)


Adapun prosedur analisis Volatile solids (VS) adalah [61, 62]:
1) Cawan penguap setelah dari TS dipanaskan dengan menggunakan muffle
furnace pada suhu 550oC selama 1 jam.
2) Setelah itu cawan penguap didinginkan di dalam desikator hingga
mencapai suhu kamar.
3) Berat cawan penguap ditimbang.
4) Kandungan VS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
(A - B) 1000
mg padatan volatil/L  (3.3)
volume sampel,
mL
Keterangan: A = berat residu+cawan porselen sebelum pembakaran, mg
B = berat residu + cawan porselen setelah pembakaran, mg
3.3.1.5 Analisis Total Suspended Solids (TSS)
Adapun prosedur analisis Total Suspended Solids (TSS) adalah [61]:
1) Berat kertas saring kering yang digunakan ditimbang.
2) Kertas saring dibasahi dengan sedikit air suling.
3) Sampel diaduk dengan magnetic stirrer untuk memperoleh sampel yang
lebih homogen.
4) Sampel dipipetkan ke penyaringan dengan volume tertentu pada waktu
contoh diaduk dengan magnetic stirer.
5) Kertas saring dicuci atau disaring dengan 3 x 10 ml aquadest.
6) Kertas saring dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring ke
wadah timbang dengan aluminium sebagai penyangga.
7) Dikeringkan di dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103ºC
sampai dengan 105ºC, didinginkan dalam desikator untuk
menyeimbangkan suhu dan massanya.
8) Tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator, dan penimbangan
diulangi sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih
kecil dari 4% terhadap penimbangan sebelumnya atau 0,5 mg.
9) Kandungan TSS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
(A - B) 1000
mg padatan tersuspensi total/L 
volume sampel,mL (3.4)

Keterangan: A = berat kertas saring + berat residu, mg


B = berat kertas saring, mg

3.3.1.6 Analisis Volatile Suspended Solids (VSS)


Adapun prosedur analisis Volatile Solids (VSS) adalah [61]:
1) Sampel residu hasil analisa TSS dibakar mengunakan api bunsen di dalam
cawan porselen yang telah dikering dan diketahui beratnya.
2) Setelah terbakar sempurna atau bebas asap, selanjutnya sampel diabukan
di dalam furnace pada suhu 550oC selama 1 jam.
3) Setelah 1 jam, furnace dimatikan dan sampel diambil setelah suhu furnace
sekitar 100oC dan disimpan di dalam desikator selama 15 menit lalu
ditimbang.
4) Kandungan VSS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
(A - B) 1000
mg padatan tersuspensi volatil/L  (3.5)
volume sampel,
mL
Keterangan: A = berat residu + cawan porselen sebelum pembakaran, mg
B = berat residu + cawan porselen setelah pembakaran, mg

3.3.1.7 Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)


Adapun prosedur analisis Chemical Oxygen Demand (COD) adalah [63]:
1) Dimasukkan 10 ml contoh uji ke dalam erlenmeyer 250 ml.
2) Ditambahkan 0,2 g serbuk raksa (II) sulfat (HgSO4) dan beberapa batu didih.
3) Ditambahkan 5 ml larutan kalium dikromat, (K2Cr2O7) 0,25 N.
4) Ditambahkan 15 ml pereaksi asam sulfat (H2SO4) – perak sulfat (Ag2SO4)
perlahan-lahan sambil didinginkan dalam air pendingin.
5) Dihubungkan dengan pendingin Liebig dan dididihkan di atas hot plate
selama 2 jam.
6) Didinginkan dan dicuci bagian dalam dari pendingin dengan air suling hingga
volume contoh uji menjadi lebih kurang 70 ml.
7) Didinginkan sampai temperatur kamar, ditambahkan indikator ferroin 2
sampai dengan 3 tetes, dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat atau
FAS 0,1 N sampai warna merah kecoklatan, dicatat kebutuhan larutan FAS.
8) Langkah 1 sampai dengan 7 dilakukan terhadap air suling sebagai blanko.
Kebutuhan larutan FAS dicatat. Analisis blanko ini sekaligus melakukan
pembakuan larutan FAS dan dilakukan setiap penentuan COD.
9) Kandungan COD dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

mg/l O  (A  B)(N)8000 (3.6)


2 ml sampel

Keterangan: A = ml FAS untuk titrasi blanko


B = ml FAS untuk titrasi sampel
N = Normalitas FAS
8000 = berat miliekivalen oksigen  1000 ml/l
3.3.2 Loading Up dan Operasi Target
Adapun prosedur loading up dan operasi target adalah:
1) Starter asidogenesis sebanyak 2 L dimasukkan ke dalam fermentor.
2) Bahan baku LCPKS dimasukkan ke dalam tangki umpan.
3) Kecepatan di dalam tangki umpan LCPKS segar diatur hingga kecepatan
150 rpm agar larutan LCPKS akan tercampur dengan baik.
4) Bahan baku LCPKS dialirkan dari tangki umpan ke dalam fermentor.
5) Suhu di dalam fermentor selama proses loading up dan operasi target
dijaga pada suhu kamar dengan kecepatan pengadukan pada 250 rpm.
6) HRT awal dimulai dengan HRT 20 hari karena untuk adaptasi hidrolitik
bakteri dengan umpan dimasukkan secara bertahap yaitu 2 kali sehari.
7) Setelah 15 hari, percobaan dilanjutkan untuk HRT 15, 10, 5 dan 4.
Dilakukan analisis untuk tiap HRT.
8) pH di dalam fermentor di atur 6 untuk loading up dan 5,5; 5 dan 4,5 pada
operasi target dengan penambahan NaHCO3 hingga pH yang dinginkan
tercapai. Dilakukan analisis untuk setiap run.

3.3.3 Pengujian Sampel (Sampling)


Adapun prosedur yang dilakukan untuk pengujian sampel adalah sama
seperti prosedur yang dilakukan untuk analisis bahan baku, ditambah dengan
analisis VFA, sedangkan analisis gas dilakukan jika pada penelitian ada terbentuk
gas yaitu gas CO2 dan H2S.

Tabel 3.1 Jadwal Analisis Influent dan Effluent


Hari ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Analisis
pH
M-Alkalinity
TS
VS
TSS
VSS
COD
VFA
Gas

Keterangan: = Analisis influent


= Analisis effluent
3.4 JADWAL PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian direncanakan selama 7 (tujuh) bulan. Jenis kegiatan dan jadwal pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jenis Kegiatan dan Jadwal Pelaksanaan Penelitian


No Kegiatan Bulan ke 1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5 Bulan ke-6 Bulan ke-7
. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Persiapan penelitian
2. Survei dan pembelian
bahan
3. Pelaksanaan
penelitian dan
pengumpulan data
4. Kompilasi data dan
penarikan kesimpulan
5. Penulisan karya
ilmiah
6. Penulisan karya
ilmiah

36
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT


(LCPKS)
Bahan baku LCPKS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari PKS
Adolina PTPN IV. Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik LCPKS yang digunakan.

Tabel 4.1 Karakteristik LCPKS dari PKS Adolina PTPN IV


No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji
1. pH - 3,5–4,7 APHA 4500-H
2. Chemical Oxygen mg/L 41.818 SNI 06–6989.15–2004
Demand (COD)
3. Total Solid (TS) mg/L 16.040–61.000 APHA 2540B
4. Volatile Solid (VS) mg/L 16.060–52.360 APHA 2540E
5. Total Suspended mg/L 2.920–24.700 APHA 2540D
Solid (TSS)
6. Volatile Suspended mg/L 9.100–22.680 APHA 2540E
Solid (VSS)
7. Lemak* % 31,80 Ekstraksi Sokletasi
8. Protein* % 0,14 Kjeldahl
9. Karbohidrat* % 1,99 Lane Eynon
10. Volatile fatty mg/L
1.508,987
acids*
560,030
- Asam asetat
1.088,613
- Asam propionat
- Asam butirat
* Laporan hasil uji laboratorium terlampir

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP–


51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri
menyatakan bahwa baku mutu limbah cair industri minyak sawit yang
diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan mengandung parameter COD dan
TSS masing-masing sebesar 500 mg/L dan 300 mg/L, serta pH yang
diperbolehkan sebesar 6–9 [29]. Tabel 4.1 menunjukkan hasil analisis
karakteristik LCPKS dari PTPN IV PKS Adolina yang digunakan sebagai bahan
baku, dimana nilai COD dan TSS yang diperoleh sebesar 41.818 mg/L dan 2.920–
24.700 mg/L serta pH sebesar 3,5–4,7. Konsentrasi COD dan TSS yang tinggi
menunjukkan tingginya kandungan organik dari LCPKS yang berpotensi sebagai

37
polutan apabila dibuang langsung ke lingkungan. Namun, kandungan organik
pada LCPKS juga tinggi yang ditunjukkan oleh nilai VS yaitu sebesar 16.060–
52.360 mg/L. Oleh karena itu, LCPKS dapat diolah secara biologis. Sedangkan
pH LCPKS yang rendah menurut Chris O, et al, 2010 [63] disebabkan oleh
adanya asam-asam fenolik dan oksidasi dari asam-asam organik yang ditunjukkan
dari terdapatnya kandungan VFA dalam konsentrasi asam asetat, asam propionat
dan asam butirat dalam LCPKS.
Menurut Anna Schurer, et al, 2009 [42], jumlah biogas yang dapat
dihasilkan dari proses digestasi anaerobik dengan menggunakan bahan baku yang
mengandung lemak, protein dan karbohidrat masing-masing sebesar 1 m 3/kg VS,
0,53 m3/kg VS dan 0,38 m3/kg VS. Hasil analisis dari Tabel 4.1 menunjukkan
adanya kandungan lemak, protein dan karbohidrat dalam LCPKS segar dengan
kandungan tertinggi berupa lemak, kemudian protein dan yang terendah adalah
karbohidrat. Oleh karena itu, LCPKS cocok untuk diolah menggunakan proses
digestasi anaerobik.

4.2 HASIL PENELITIAN VARIASI HRT (PROSES LOADING UP)


Loading up merupakan langkah penting untuk kelancaran proses digestasi
anaerobik. Tujuan dari loading up adalah proses adaptasi, menumbuhkan dan
mempertahankan konsentrasi mikroorganisme yang cukup di dalam fermentor
[65], sehingga proses asidogenesis dapat berlangsung pada HRT operasi target.
Selama proses loading up, dilakukan variasi HRT yang dimulai dari HRT 20
kemudian dilakukan penurunan menjadi HRT 15; 10; 5 hingga HRT 4 hari pada
keadaan ambient dengan pengadukan sebesar 250 rpm dan pH fermentor dijaga
konstan 6 (±0,2) dengan penambahan natrium bikarbonat (NaHCO 3) yang dapat
digunakan sebagai buffer untuk menstabilkan nilai pH. Metabolisme dan
pertumbuhan mikroba pada saat loading up dapat dilihat dari analisis pH,
alkalinitas, TS, VS, TSS, VSS, COD dan VFA.

4.2.1 Pengaruh HRT terhadap Profil pH dan Alkalinitas


Menurut DJ Batstone, et al, 2011 [40], proses asidogenesis berlangsung
antara pH 5,5 dan 8. Sedangkan menurut K.Stamatelaou, et al, 2011 [53],
mikroorganisme asidogenik dapat tumbuh dan menghasilkan asam pada pH
rendah (5-6), hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme metanogen
yang optimum antara pH 7 dan 8 sehingga pada rentang ini akan menurunkan
aktivitas mikroorganisme asidogenik. Oleh sebab itu, pada proses loading up
dipilih menggunakan pH 6 (±0,2) agar proses asidogenesis yang diharapkan dapat
tercapai. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh HRT terhadap profil pH dan
alkalinitas.
7
4.000 6
Alkalinitas (mg/L)

3.000 5
4

pH
2.000 3
2
1.000 Alkalinitas pH 1
0 0
0 20
Hari ke- 40 60 80

HRT 20 HRT 15 HRT 10 HRT 5 HRT 4


Gambar 4.1 Pengaruh HRT terhadap Profil pH dan Alkalinitas

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa profil pH pada proses loading up relatif


stabil dengan rentang pH antara 5,8-6,2. Proses asidogenesis menghasilkan
senyawa asam yang dapat menyebabkan penurunan nilai pH pada fermentor [6].
Alkalinitas dapat digunakan untuk mengontrol senyawa asam yang dihasilkan,
dengan cara melakukan resirkulasi pada digester atau penambahan soda dan
garam bikarbonat [25]. Pada penelitian ini, digunakan NaHCO3 sebagai garam
bikarbonat yang dapat menetralkan sejumlah senyawa asam pada LCPKS
sehingga pH lebih sta
il dan tidak berdampak signifikan terhadap perbedaan
kondisi pH antara LCPKS yang diumpankan dengan LCPKS di dalam fermentor.
Adanya perbedaan pH menyebabkan nilai alkalinitas mengalami fluktuasi dengan
rentang antara 2.100–4.200 mg/L.
Penelitian Bambang Trisakti, et al, 2015 [10], menggunakan LCPKS
dilangsungkan pada
Continous Stirred Tank Reactor (CSTR) dengan
memvariasikan HRT
pada temperatur ruangan mendapatkan hasil profil
alkalinitas yang berfluktuasi terhadap variasi HRT namun masih dalam rentang
proses asidogenesis yaitu berkisar antara 542–3580 mg/L. Sedangkan penelitian
Yee Shian, et al, 2013 [24], menggunakan LCPKS dilangsungkan pada Suspended
Closed Anaerobic Bioreactor (SCABR) dengan memvariasikan HRT pada
temperatur mesofilik mendapatkan rentang alkalinitas proses asidogenesis yang
lebih tinggi, yaitu berkisar antara 5.902–7.712 mg/L dengan pH pada SCABR
antara 5,20–5,24.
Oleh sebab itu, pada proses loading up tahapan asigogenesis LCPKS pada
keadaan ambient, penurunan HRT tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap nilai pH dan alkalinitas, dimana nilai alkalinitas yang diperoleh masih
dalam rentang proses asidogenesis.

4.2.2 Pengaruh HRT terhadap Volatile Suspended Solid (VSS)


Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi digestasi anaerobik
diantaranya adalah pH, alkalinitas dan HRT. Mikroba sangat sensitif terhadap
perubahan pH [25], sehingga pH harus dijaga konstan agar proses adaptasi
mikroba terhadap perubahan pH lebih mudah dan stabil data cepat tercapai. HRT
harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang mati
pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme
direproduksi [9].
Menurut Bambang Trisakti, et al, 2015 [10], profil pertumbuhan mikroba
dapat digambarkan dari perubahan konsentrasi VSS, begitu pula menurut Hina
Rizvi, et al, 2014 [66], dimana peningkatan konsentrasi VSS dapat menjadi
indikator pertumbuhan biomassa aktif dalam reaktor. Gambar 4.2 menunjukkan
pengaruh HRT terhadap VSS.

30.000 Alkalinitas VSS pH


7
25.000
Alkalinitas (mg/L) VSS (mg/L)

6
20.000 5
15.000 4
pH

10.000 3
5.000 2
1
0
0
0
20 40 60 80
Hari ke-

HRT 20 HRT 15 HRT 10 HRT HRT

Gambar 4.2 Pengaruh HRT terhadap Volatile Suspended Solid (VSS)


Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada HRT 20 dan 15 terjadi penurunan
konsentrasi VSS dengan rentang nilai masing-masing antara 11.260–24.060 mg/L
dan 11.960–19.820 mg/L. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dalam
proses digestasi anaerobik yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dalam
mengkonsumsi substrat yang diumpankan ke dalam fermentor [24]. Pada HRT 10
dan 5 konsentrasi VSS mengalami fluktuasi dengan rentang nilai masing-masing
antara 11.520–13.520 mg/L dan 12.960–14.340 mg/L, namun perbedaan nilai
VSS tidak terlalu jauh, sehingga pada HRT ini pertumbuhan mikroba mulai stabil.
Konsentrasi VSS mengalami peningkatan pada HRT 4 dengan rentang nilai antara
16.120–19.080, yang menandakan bahwa pertumbuhan mikroba pada fermentor
mencapai tahapan stabil yaitu mampu beradaptasi dan efektif dalam
mengkonsumsi substrat yang diumpankan ke dalam fermentor.
Penelitian Bambang Trisakti, et al, 2015 [10], memperoleh nilai konsentrasi
VSS yang tertinggi pada HRT 4 meskipun merupakan HRT tersingkat, dimana
menurut Yee-Shian, et al, 2011 [24], dengan HRT yang singkat, beban organik
yang akan diolah akan meningkat sehingga pertumbuhan mikroba juga akan
mengalami peningkatan di dalam reaktor. Pada proses digestasi anaerobik terdapat
mikroba yang aktif dalam setiap tahapan yaitu Clostridium yang dapat
mendegradasi substrat menjadi VFA dan dapat dilanjutkan menjadi biogas [42].
Menurut Thomas Schmidt, et al, 2014 [67], kondisi washout dari mikroba
metanogen dapat terjadi pada CSTR yang menggunakan HRT singkat, sehingga
pada HRT singkat cukup baik untuk melangsungkan proses asidogenesis karena
generasi dari mikroba metanogen lebih lambat dari HRT yang digunakan.
Oleh sebab itu, pada proses loading up tahapan asigogenesis LCPKS pada
keadaan ambient, penurunan HRT memberikan dampak yang signifikan terhadap
konsentrasi VSS, dimana seiring dengan menurunnya HRT diperoleh konsentrasi
VSS yang stabil.

4.2.3 Pengaruh HRT terhadap Reduksi Chemical Oxygen Demand (COD)


Chemical Oxygen Demand (COD) menunjukkan banyaknya senyawa
organik yang terdapat dalam LCPKS segar sebagai inffluent dan keluaran
fermentor sebagai effluent. Menurut Bambang Trisakti, et al, 2015 [10], parameter

41
pertumbuhan mikroba selain konsentrasi VSS, dapat dilihat juga dari penurunan
nilai COD, dimana penurunan nilai COD pada proses asidogenesis diharapkan
tidak terlalu besar karena produk dari proses asidogenesis adalah VFA yang
merupakan asam-asam organik terlarut. Reduksi COD merupakan pengurangan
nilai COD umpan dengan COD dari fermentor. Gambar 4.3 menunjukkan
pengaruh HRT terhadap reduksi COD.
70
60 59,04
53,97 56,52
Reduksi COD (%)

50
40
31,38
30
20 29,93
10
0
0 10
20 30 40 50 60 70 80 90
Hari ke-

HRT 20 HRT HRT


HRT HRT 10
15 5 4
Gambar 4.3 Pengaruh HRT terhadap Reduksi Chemical Oxygen Demand (COD)

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa dengan penurunan HRT, reduksi COD


cenderung menurun meskipun pada HRT 10 mengalami peningkatan. Hal ini
dapat dikaitkan dengan konsentrasi VSS pada subbab 4.2.2, dimana pada HRT 20
dan 15 terdapat konsentrasi VSS tertinggi pada stabil data pertama kemudian terus
menurun, hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan mikroba lebih tinggi
dibandingkan substrat yang diumpankan. Adanya jenis mikroba yang sama dalam
setiap tahapan digestasi anaerobik dengan substrat yang berjuml h sedikit,
memungkinkan proses asidogenesis yang dilakukan berlanjut ke tahapan
pembentukan metan meskipun kondisi asidogenesis dijaga konstan, sehingga pada
HRT 20 dan 15 diperoleh reduksi COD yang bernilai tinggi yaitu sebesar 59,04%
dan 53,97%. Pada HRT 10 dan 5 konsentrasi VSS mengalami fluktuasi namun
dalam rentang kecil sehingga pada HRT ini mikroba yang dibutuhkan dalam
asidogenesis mulai mendapatkan substrat yang cukup dan mulai mampu
beradaptasi sehingga diperoleh reduksi COD yang menurun dari HRT
sebelumnya, masing-masing sebesar 56,52% dan 31,38%. Pada HRT 4 diperoleh
konsentrasi VSS yang meningkat dengan reduksi COD terkecil yaitu sebesar
29,93%, dimana pada HRT ini mikroba mendapatkan cukup substrat dan telah
mampu beradaptasi dalam proses asidogenesis. Menurut Jingxin Zhang, et al,
2015 [68], HRT singkat yang digunakan dalam proses asidogenesis dapat menjadi
penyebab rendahnya reduksi COD.
Oleh sebab itu, pada proses loading up tahapan asigogenesis LCPKS pada
keadaan ambient, penurunan HRT memberikan dampak yang signifikan terhadap
reduksi COD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yee-Shian, et al, 2013 [69],
juga mendapatkan profil reduksi COD yang serupa dimana dengan menurunnya
HRT diperoleh reduksi COD yang menurun, dimana reduksi COD terbaik untuk
proses asidogenesis dicapai pada HRT 4 hari.

4.2.4 Pengaruh HRT terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA)


Proses asidogenesis merupakan tahapan degradasi dari substrat organik
terlarut menjadi VFA, alkohol, ammonia, CO 2 dan H2 [42]. Asam asetat dan asam
propionat merupakan asam organik yang paling dominan untuk menggambarkan
kinerja digestasi anaerobik [70]. Namun VFA juga dapat terdiri dari asam-asam
organik dengan rantai karbon hingga enam atom [9]. Produksi VFA pada tahapan
asidogenesis diharapkan bernilai tinggi karena merupakan substrat yang akan
dikonversi menjadi biogas pada tahapan digestasi anaerobik berikutnya. Gambar
4.4 menunjukkan pengaruh HRT terhadap pembentukan VFA berupa konsentrasi
asam asetat, asam propionat dan asam butirat.
8.000
7.000 A. Asetat A. Propionat A. Butirat Total

6.000
VFA (mg/L)

5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
20
15 10 5 4

HRT (hari)
Gambar 4.4 Pengaruh HRT terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA)
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa profil pembentukan total VFA yang
meningkat dari HRT 20 hingga HRT 10, kemudian terus mengalami penurunan
pada HRT 5 dan 4. Total VFA dari masing-masing HRT bernilai lebih besar dari
total VFA LCPKS segar yang bernilai 3.158 mg/L yang menandakan bahwa
selama proses loading up terjadi pembentukan VFA. Meskipun konsentrasi VSS
tertinggi terdapat pada HRT 20, namun total VFA tertinggi diperoleh pada HRT
10. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan mikroba yang tinggi tidak
menjamin hasil VFA yang tinggi pula. VFA yang diproduksi dapat bernilai tinggi
apabila efektivitas kinerja mikroba juga tinggi.
Asam propionat, asam butirat dan asam organik lain yang terbentuk pada
proses asidogenesis akan dikonversi oleh mikroba menjadi asam asetat [71], tetapi
menurut Kaushalya C, et al, 2011 [72], asam propionat merupakan senyawa yang
paling sulit untuk dikonversi menjadi asetat akibatnya dapat menjadi inhibitor
dalam proses asidogenesis apabila konsentrasi asam propionat yang terbentuk
lebih besar dari 1.000–2.000 mg/L sedangkan konsentrasi asam butirat dapat
ditolerir hingga 10.000 mg/L.
Hasil penelitian menunjukkan adanya konsentrasi asam propionat dan
butirat yang lebih rendah dari standar konsentrasi penyebab inhibitor dengan
rentang masing-masing sebesar 692–1.936 mg/L dan 979–1.634 mg/L. Oleh sebab
itu, pada proses loading up tahapan asigogenesis LCPKS pada keadaan ambient,
penurunan HRT tidak menyebabkan dampak inhibitor pada reaktor asidogenesis.

4.2.5 Pengaruh HRT terhadap Rasio VFA/Alkalinitas


Parameter yang lebih sensitif untuk memantau kinerja dari digester dan
mengukur kestabilitasan proses digestasi anaerobik adalah parameter rasio
VFA/alkalinitas [6]. Pada proses digestasi anaerobik tahapan asidogenesis, produk
yang diharapkan adalah VFA. Produk ini umumnya dihasilkan pada pada rentang
pH asam agar kinerja dari mikroba metanogen berkurang sehingga diperoleh VFA
yang tinggi. Kondisi asam yang optimal dapat dicapai apabila selama proses
asidogenesis, VFA yang dihasilkan bernilai lebih besar daripada alkalinitas yang
digunakan untuk menstabilkan pH. Gambar 4.5 menunjukkan pengaruh HRT
terhadap rasio VFA/alklinitas.

44
3
2,48

1,94
1,72

VFA/Alkalinitas
2 1,72

1,22

0
20 15 10 5 4
HRT

Gambar 4.5 Pengaruh HRT terhadap VFA/Alkalinitas

Gambar 4.5 menunjukkan profil pengaruh HRT terhadap rasio


VFA/alkalinitas yang
meningkat dari HRT 20 hingga HRT 10, kemudian
menurun hingga HRT 4. Rasio VFA/alkalinitas pada HRT 20, 15, 10, 5 dan 4
masing-masing bernilai 1,22; 1,72; 2,48; 1,94; 1,72 dengan rasio VFA/alkalinitas
tertinggi dicapai pada HRT 10 yang menunjukkan total VFA yang diproduksi
pada HRT 10 bernilai lebih tinggi dari HRT lainnya. Menurut Dhanalakshmi
Sridevi, et al, 2014 [12] proses asidogenesis dapat diasumsikan stabil apabila
rasio VFA/alkalinitas bernilai > 1,4 sedangkan menurut Bambang Trisakti, et al,
2015 [10] rasio VFA/alkalinitas yang bernilai > 1 sudah dapat menunjukkan
proses asidogenesis yang stabil.
Hasil penelitian menunjukkan rasio VFA/alkalinitas yang > 1 untuk semua
variasi HRT yang dilakukan. Oleh karena itu, pada proses loading up tahapan
asigogenesis LCPKS pada keadaan ambient, penurunan HRT tidak mengganggu
kestabilan proses asidogenesis.

4.3 HASIL PENELITIAN VARIASI pH


Pada tahapan asidogenesis terdapat rentang pH yang optimal untuk
pertumbuhan mikroba
asidogenik sehingga perlu dilakukan variasi pH untuk
mendapatkan pH terbaik yang dapat menghasilkan konsentrasi VFA tertinggi.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada proses loading up, diperoleh hasil
terbaik untuk pertumb han mikroba dan reduksi COD terkecil pada HRT 4,
sehingga pada operasi target (variasi pH) digunakan HRT 4 yang dilangsungkan
pada keadaan ambient dengan pengadukan 250 rpm. Pada operasi target,
pengaruh pH fermentor pada proses asidogenesis ditinjau dari perubahan pH
fermentor dengan variasi 4,5; 5; 5,5 dan 6 (±0,2). Pengaturan pH dilakukan
dengan penambahan
natrium bikarbonat (NaHCO3). Metabolisme dan
pertumbuhan mikroba
di dalam fermentor pada saat variasi pH dilangsungkan
dapat dilihat dari hasil analisis pH, alkalinitas, TS, VS, TSS, VSS, COD dan VFA.

4.3.1 Pengaruh Alkalinitas terhadap pH


Mikroorganisme yang berperan dalam proses asidogenesis umumnya dapat
tumbuh dan optimal menghasilkan asam pada pH rendah (5-6), akan tetapi
memungkinkan hingga pH 4 [40, 53]. Pada proses asidogenesis, pH yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme penghasil metana berkembangbiak
melebihi mikroorganisme penghasil asam sedangkan penggunaan pH yang lebih
rendah juga dapat menghambat aktivitas mikroorganisme asam [6]. Alkalinitas
menggambarkan kemampuan dari proses di dalam reaktor untuk menetralisir asam
organik yang berlebihan dan menjaga pH agar tetap konstan [73]. Gambar 4.6
menunjukkan pengaruh alkalinitas terhadap pH.
4.500 7
4.000
6
3.500
Alkalinitas (mg/L)

3.000 5

2.500 4
pH

2.000
3
1.500
Alkalinitas pH 2
1.000
500 1
0 0
60 70 80 90 100 110 120
Hari ke-

pH 6 pH 5,5 pH 5,0 pH 4,5


Gambar 4.6 Pengaruh Alkalinitas terhadap pH

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada variasi pH 6; 5,5 dan 5 diperoleh


profil alkalinitas yang mengalami fluktuasi terhadap penurunan pH. Adapun nilai
alkalinitas pada pH 6 memiliki rentang nilai antara 2.650–3.900 mg/L, pada pH
5,5 memiliki rentang nilai antara 1.250–2.900 mg/L dan pada pH 5 memiliki
rentang nilai antara 300–1.400 mg/L. Sedangkan pada pH 4,5 nilai alkalinitas
tidak dapat diukur dengan metode analisis yang digunakan. Meskipun diperoleh
nilai alkalinitas yang berfluktuasi, namun alkalinitas cenderung menurun terhadap
penurunan pH. Profil pengaruh pH terhadap rata-rata alkalinitas dapat dilihat pada
Gambar 4.7 berikut.
4.000
3.500
3.000
Alkalinitas (mg/L)

2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
6 5,5 5

pH

Gambar 4.7 Pengaruh Rata-Rata Alkalinitas terhadap pH


(Error Bar Menyatakan Standar Deviasi)

Gambar 4.7 menunjukkan profil rata-rata alkalinitas yang menurun dengan


penurunan pH. Untuk menjaga nilai pH agar sesuai dengan variasi dan standar
deviasi ±0,2 digunakan NaHCO3 sebagai buffer. Jumlah NaHCO3 yang
ditambahkan dalam setiap variasi berbeda. Semakin tinggi alkalinitas
menunjukkan semakin besar kapasitas buffer yang akan digunakan dalam proses
untuk menstabilkan pH [42]. Rata-rata alkalinitas dan standar deviasi pada pH 6
bernilai 3.250±430 mg/L, pada pH 5,5 bernilai 911±432 mg/L dan pada pH 5
bernilai 730±355 mg/ . Standar deviasi terbesar terdapat pada pH 5 yang
menunjukkan bahwa terdapat banyak fluktuasi alkalinitas. Namun, rata-rata
alkalinitas yang diperoleh masih sesuai dengan rentang nilai alkalinitas yang
diperbolehkan proses asidogenesis menurut Bambang Trisakti, et al, 2015 [10],
yaitu berkisar antara 542–3580 mg/L dan antara 5.902–7.712 mg/L menurut Yee
Shian, et al, 2013 [24].
Oleh sebab itu, pada variasi pH tahapan asigogenesis LCPKS pada
keadaan ambient, penurunan pH memberikan dampak yang signifikan terhadap
alkalinitas, dimana dengan menurunnya pH diperoleh nilai rata-rata
alkalinitas
yang menurun.

4.3.2 Pengaruh pH terhadap Volatile Suspended Solid (VSS)


Pertumbuhan mikroba asidogenesis selama di dalam fermentor dengan
menggunakan variasi pH, dapat digambarkan dari adanya perubahan konsentrasi
VSS seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di subbab 4.2.2 dimana
mikroba yang berperan dalam proses asidogenesis LCPKS ini tumbuh dengan
cara tersuspensi. Gambar 4.8 menunjukkan pengaruh pH terhadap konsentrasi
VSS.

25.000
7
VSS
20.000 pH 6
5
VSS (mg/L)

15.000
4

pH
10.000 3
2
5.000
1
0
0
60 70 80 90 100 110 120
Hari ke-

pH 6,0 pH 5,5 pH 5,0 pH 4,5

Gambar 4.8 Pengaruh pH terhadap VSS

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa profil konsentrasi VSS cenderung


berfluktuasi yang menandakan bahwa terdapat pertumbuhan mikroba. Konsentrasi
VSS meningkat pada pH 6 dan mengalami fluktuasi pada pH 5,5; 5 dan 4,5
dengan standar deviasi
pH ±0,2. Pada pH 6 diperoleh konsentrasi VSS yang
meningkat dengan rentang nilai antara 16.120–19.080 mg/L. Sedangkan pada pH
5,5 diperoleh konsentasi VSS yang berfluktuasi dengan rentang nilai antara 12.320–
15.060 mg/L, pada pH 5 diperoleh konsentasi VSS tertinggi namun terus menurun
dengan rentang nilai antara 8.780–19.380 mg/L, dan pada pH 4,5
diperoleh konsentasi V S yang berfluktuasi dengan rentang nilai antara 10.880–
13.320 mg/L. Kecenderungan profil pengaruh pH terhadap rata-rata VSS dapat
dilihat dari Gambar 4.9 berikut.
25.000

VSS (mg/L) 20.000

15.000

10.000

5.000

0
6 5,5 5 4,5
pH
Gambar 4.9 Pengaruh pH terhadap Rata-Rata VSS
(Error Bar Menyatakan Standar Deviasi)

Gambar 4.9 menunjukkan rata-rata VSS yang mengalami fluktuasi


terhadap penurunan pH. Rata-rata VSS tertinggi terdapat pada pH 6 dengan nilai
17.367±1.534 mg/L, menurun pada pH 5,5 dengan nilai 13.487±1.415 mg/L,
kemudian meningkat pada pH 5 dengan nilai 14.947±5.508 mg/L dan menurun
kembali serta menjadi rata-rata VSS terendah pada pH 4,5 dengan nilai
11.987±1.236 mg/L. Standar deviasi tertinggi diperoleh pada pH 5 yang
menandakan terdapat ni ai fluktuasi terbesar dari konsentrasi VSS.
Konsentrasi VSS yang tertinggi pada pH 6 dapat disebabkan oleh
penggunaan pH yang sama selama proses loading up sehingga mikroba telah
terlebih dahulu beradaptasi pada rentang pH ini. Konsentrasi VSS yang
berfluktuasi pada pH 5,5; 5 dan 4,5 menandakan bahwa mikroba masih dalam
tahap beradaptasi terha ap perubahan pH seperti yang disebutkan oleh Jeremiah
David, et al, 2014 [25], bahwa mikroba sangat sensitif terhadap perubahan pH.
Sehingga mikroba memerlukan waktu untuk menyesuaikan regenerasinya
terhadap pH. Menurut Han Qing, et al, 2003 [74], perubahan pH dapat
menyebabkan perubahan drastis pada jumlah mikroba yang terdapat dalam reaktor
asidogenik, karena perubahan pH mempengaruhi metabolisme dari mikroba
seperti efisiensi degradasi substrat dan pelepasan produk metabolisme dari sel
mikroba.
Oleh sebab itu, pada variasi pH tahapan asigogenesis LCPKS pada
keadaan ambient, penurunan pH memberikan dampak yang signifikan terhadap
konsentrasi VSS, dimana seiring dengan menurunnya pH diperoleh konsentrasi
VSS yang berfluktuasi.

4.3.3 Pengaruh pH terhadap Volatile Solids (VS)


Proses asidogenesis merupakan tahapan digestasi anaerobik, dimana
senyawa-senyawa sederhana dan substrat organik terlarut hasil hidrolisis
didegradasi menjadi VFA (misalnya asam asetat, asam propionat, asam butirat,
asam suksinat, asam laktat dan lain-lain), alkohol, ammonia, CO 2 dan H2 [42].
Kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa organik menjadi salah satu
parameter keberhasilan dari proses asidogenesis yang dapat dinyatakan sebagai
Volatile Solids (VS), karena VS menandakan banyaknya padatan organik yang
terbakar pada temperatur 550°C. Gambar 4.10 menunjukkan pengaruh pH
terhadap perubahan VS influent.
45.000 7
40.000
6
35.000
30.000 5
VS (mg/L)

25.000 4

pH
20.000 3
15.000
2
10.000 VS influent VS effluent pH
5.000 1
0 0
60 70 80 90 100 110 120
Hari ke-

pH 6,0 pH 5,5 pH 5,0 pH 4,5


Gambar 4.10 Pengaruh pH terhadap Volatile Solid (VS)

Gambar 4.10 menunjukkan profil VS influent dan VS effluent yang


berfluktuasi terhadap penurunan pH, dimana rentang konsentrasi VS influent
adalah sebesar 20.400–42.780 mg/L dengan rentang konsentrasi VS effluent
sebesar 14.080–39.140 mg/L. Rata-rata konsentrasi VS effluent yang dihasilkan
masih dalam rentang VS reaktor asidogenik yang diperoleh dari hasil penelitian
Jey-R, et al, 2014 [75], yaitu bernilai antara 15.000–50.000 mg/L. Penyimpangan
terjadi pada hari keem at pH 6 dengan nilai VS effluent sebesar 14.080 mg/L
namun pada hari berikutnya nilai VS kembali normal. Kecenderungan onsentrasi
VS influent rata-rata umpan terhadap perubahan VS effluent rata-rata fermentor
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.11.
40.000
VS effluent VS influent
35.000
VS (mg/L)

30.000

25.000

20.000
6 5,5 5 4,5
pH
Gambar 4.11 Pengaruh pH terhadap Rata-Rata Volatile Solid (VS)
(Error Bar Menyatakan Standar Deviasi)

Gambar 4.11 menunjukkan profil rata-rata VS effluent yang menurun


terhadap penurunan pH. Rata-rata VS influent untuk variasi pH 6; 5,5; 5 dan 4,5
masing-masing bernilai 29.947±4.230 mg/L, 31.091±3.871 mg/L, 29.240±5.578
mg/L dan 26.735±4.021. Sedangkan rata-rata VS effluent untuk variasi 6; 5,5; 5
dan 4,5 masing-masing bernilai 27.915±4.485 mg/L, 27.300±5.373 mg/L,
26.107±4.468 mg/L dan 23.705±2.918 mg/L. Standar deviasi menunjukkan
kestabilan konsentrasi VS, dimana standar deviasi yang tinggi menandakan
terdapat banyak data yang fluktuatif. Standar deviasi tertinggi pada VS influent
terdapat pada pH 5 sebesar 5.578 mg/L sedangkan standar deviasi tertinggi pada
VS effluent terdapat pada pH 5,5 sebesar 5.373 mg/L.
Berdasarkan perubahan konsentrasi VS influent dan VS effluent maka
diperoleh persen reduksi VS untuk variasi pH 6; 5,5; 5 dan 4,5 masing-masing
sebesar 6,79%, 12,19%, 10,72% dan 11,33% dengan persen reduksi terbesar
dicapai pada pH 5,5. Nilai reduksi VS menunjukkan banyaknya bahan organik
padat dalam umpan yang mampu direduksi oleh mikroba. Dimana pada proses
asidogenesis senyawa organik padat akan dikonversi oleh mikroba menjadi VFA
yang merupakan senyawa terlarut. Meskipun konsentrasi VSS tertinggi diperoleh
pada pH 5, namun reduksi VS pada pH ini masih di bawah pH 5,5. Semakin tinggi
nilai reduksi VS maka semakin banyak senyawa organik padat yang berhasil
direduksi oleh mikroba asidogenesis. Oleh sebab itu, pada penelitian ini, pH 5,5
merupakan pH terbaik bagi mikroba untuk dapat mereduksi LCPKS.

4.3.4 Pengaruh pH terhadap Reduksi Chemical Oxygen Demand (COD)


Chemical Oxygen Demand (COD) sebagaimana telah dijelaskan pada
subbab 4.2.3 dapat menunjukkan banyaknya senyawa organik yang terdapat
dalam influent dan effluent. Menurut A. E. Ghaly, et al, 2000 [73], reduksi COD
dapat menjadi parameter keberhasilan sistem pengolahan yang dilakukan. Reduksi
COD merupakan rasio COD influent dan COD effluent yang dapat didegradasi
oleh mikroba [76]. Gambar 4.12 menunjukkan pengaruh pH terhadap reduksi
COD.
35
30 29,93
25,96
Reduksi COD (%)

25
20 23,22
15 20,54
10
5
0
60 70 80 90 100 110 120 130
Hari ke-

pH 6 pH 5,5 pH 5 pH 4,5
Gambar 4.12 Pengaruh pH terhadap Reduski Chemical Oxygen Demand (COD)

Gambar 4.12 menunjukkan bahwa dengan penurunan pH diperoleh reduksi


COD yang fluktuatif. Reduksi COD tertinggi terdapat pada pH 6 dengan nilai
29,93%, menurun pada pH 5,5 menjadi reduksi COD terendah dengan nilai
20,54% kemudian meningkat pada pH 5 dengan nilai 25,96% dan kembali
menurun pada pH 4,5 dengan nilai 23,22%. Pada subbab 4.2.3 telah dijelaskan
bahwa pada proses asidogenesis diharapkan reduksi COD tidak terlalu besar
karena VFA yang dihasilkan merupakan senyawa-senyawa organik yang terlarut.
Reduksi COD dapat dihubungkan dengan reduksi VS, dimana pada subbab
4.3.3 diperoleh reduksi VS tertinggi pada pH 5,5 yang menandakan pengurangan
padatan terbanyak sedangkan nilai reduksi COD yang terendah diperoleh juga
pada pH 5,5. Pengurangan padatan dengan nilai reduksi COD yang rendah dapat
menunjukkan adanya senyawa organik terlarut yang terbentuk selama proses
asidogenesis. Penelitian Bambang Trisakti, et al, 2015 [10] mendapatkan reduksi
COD terendah yang sama dengan penelitian ini, dimana reduksi COD terendah
diperoleh pada pH 5,5 meskipun proses asidogenesis LCPKS yang dilakukan
menggunakan temperatur yang berbeda dengan penelitian ini.

4.3.5 Pengaruh pH terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA)


VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahapan
asidogenesis dengan rantai karbon hingga enam atom. Dalam proses asidogenesis,
produksi VFA secara terus-menerus akibat kinerja mikroba dapat menurunkan pH
fermentor. Namun, akumulasi VFA tidak selalu dinyatakan dengan penurunan
nilai pH, karena terdapat kapasitas buffer pada fermentor [9]. Oleh karena itu,
diperlukan analisis VFA agar diperoleh jumlah konsentrasi VFA yang terbentuk
selama proses asidogenesis. Pada penelitian ini, VFA ditunjukkan oleh
konsentrasi asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Gambar 4.13
menunjukkan pengaruh pH terhadap pembentukan VFA.
10.000
A. Asetat A. Propionat A. Butirat Total
9.000
8.000
VFA (mg/L)

7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
6 5,5 5 4,5
pH
Gambar 4.13 Pengaruh pH terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA)

Gambar 4.13 menunjukkan profil pembentukan total VFA yang


berfluktuasi dengan penurunan pH. Total VFA meningkat pada pH 5,5 dari pH 6
kemudian mengalami penurunan pada pH 5 dan meningkat kembali pada pH 4,5.
VFA dari masing-masing variasi pH bernilai lebih besar dari total VFA LCPKS
segar sebesar 3.157,63 mg/L yang menandakan bahwa pada setiap variasi pH
terjadi pembentukan VFA. Pembentukan total VFA tertinggi pada pH 5,5 sesuai
dengan reduksi VS tertinggi dan reduksi COD terendah pada pembahasan pada
subbab 4.3.4 yang dicapai pada pH yang sama.
Konsentrasi VFA tertinggi yang diperoleh pada penelitian Bambang
Trisakti, et al, 2015 [10] dan penelitian Jianguo Jiang, et al, 2013 [13] dicapai
pada pH 6 sedangkan pada penelitian ini berhasil dicapai pada pH yang lebih
rendah yaitu pH 5,5. Hal ini tentu lebih menguntungkan karena pada proses
digestasi anaerobik membutuhkan penambahan senyawa NaHCO3 untuk
menstabilkan pH. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab 4.3.1 bahwa jumlah
NaHCO3 yang ditambahkan dalam setiap variasi pH berbeda-beda tergantung
pada kemampuan buffer untuk menstabilkan pH. Semakin tinggi alkalinitas maka
semakin besar jumlah NaHCO3 yang diperlukan untuk menstabilkan pH
fermentor, dengan pH yang lebih rendah maka jumlah NaHCO 3 yang diperlukan
dalam proses asidogenesis menjadi berkurang.
Standar maksimum konsentrasi asam-asam organik yang terbentuk pada
proses asidogenesis telah dijelaskan pada subbab 4.2.4 dengan konsentrasi asam
propionat yang diharapkan < 2.000 mg/L dan konsentrasi asam butirat yang
diharapkan < 10.000 mg/L agar tidak menjadi inhibitor. Adapun rentang nilai
konsentrasi asam propionat dan asam butirat yang diperoleh dari penelitian ini
masing-masing dengan nilai sebesar 996–1.936 mg/L dan 1.087–2.695 mg/L yang
bernilai lebih rendah dari standar maksimum yang diperbolehkan. Oleh sebab itu,
pada variasi pH tahapan asigogenesis LCPKS pada keadaan ambient, penurunan
pH tidak menyebabkan dampak inhibitor pada reaktor asidogenesis.

4.3.6 Pengaruh pH terhadap Rasio VFA/Alkalinitas


Rasio VFA/alkalinitas sebagaimana telah dijelaskan pada subbab 4.2.5
dapat dijadikan sebagai parameter kestabilan proses digestasi anaerobik. Gambar
4.14 menunjukkan pengaruh pH terhadap Alkalinitas pada variasi pH.

54
10
9
8 9,10 7,90

VFA/Alkalinitas
7
6
5
4
3
2 1,72
1
0
6 5,5 5
pH
Gambar 4.14 Pengaruh pH terhadap Rasio VFA/Alkalinitas

Gambar 4.14 menunjukkan profil pengaruh pH terhadap rasio


VFA/alkalinitas yang berfluktuasi. Pada pH 6; 5,5 dan 5 diperoleh nilai rasio
VFA/alkalinitas masing-masing sebesar 1,72; 9,10 dan 7,90 sedangkan pada pH
4,5 tidak dapat diperoleh nilai rasio VFA/alkalinitas. Hal ini dapat disebabkan
oleh metode yang digunakan dalam menganalisis alkalinitas pada penelitian ini
tidak dapat mengukur perubahan alkalinitas pada pH 4,5. Menurut Dhanalakshmi
Sridevi, et al, 2014 [12] proses asidogenesis dapat diasumsikan stabil apabila
rasio VFA/alkalinitas bernilai > 1,4 yang menunjukkan bahwa nilai VFA lebih
tinggi dari alkalinitas.
Meskipun profil penurunan pH terhadap rasio VFA/alkalinitas mengalami
fluktuasi, namun pada penelitian proses asidogenesis LCPKS pada keadaan
ambient ini berhasil diperoleh hasil yang sama dengan penelitan Bambang
Trisakti, et al, 2015 [10] yang dilangsungkan pada temperatur 55°C, dimana rasio
VFA/alkalinitas terhadap variasi pH yang diperoleh > 1,4. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan melakukan variasi pH 6; 5,5; 5 dan 4,5 pada fermentor, proses
asidogenesis masih dapat berlangsung.
Berdasarkan pengaruh variasi pH terhadap alkalinitas, konsentrasi VSS,
reduksi COD, VFA yang terbentuk dan rasio VFA/alkalinitas yang diperoleh,
maka pada penelitian ini dicapai pH 5,5 sebagai pH terbaik dalam proses
asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian pengaruh HRT dan pH
pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient adalah:
1. HRT terbaik pada proses loading-up (variasi HRT) dicapai pada HRT 10
dengan total VFA tertinggi sebesar 7.297 mg/L.
2. Kondisi terbaik pada variasi pH dicapai pada pH 5,5 dengan total VFA
tertinggi sebesar 8.287 mg/L, reduksi VS sebesar 12,19% dan reduksi COD
sebesar 20,54%.
3. Konsentrasi VSS yang tinggi dapat menunjukkan pertumbuhan mikroba
yang meningkat, tetapi tidak menjadi indikator bahwa VFA yang dihasilkan
akan meningkat pula.

5.2 SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan untuk peneliti berikutnya adalah:
1. Melakukan proses loading up pada pH 5,5 berdasarkan hasil terbaik pada
penelitian ini.
2. Melakukan pengukuran mikroba dengan microbial count untuk
mengklarifikasi data pertumbuhan mikroba yang diperoleh dari konsentrasi
VSS.

56
DAFTAR PUSTAKA

[1] Policy Paper, Saatnya Memajukan Kepentingan Nasional dan Kemakmuran


Rakyat Tani, Maret 2011. (Jakarta: Serikat Petani Indonesia, 2011).

[2] ”Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia”, Laporan World


Growth, Februari 2011.

[3] N. Abdullah, F. Sulaiman (2013). Biomass Now-Sustainable Growth and


Use: The Oil Palm Wastes in Malaysia. Diakses 29 Desember 2014, dari
Sciencedirect. http://dx.doi.org/10.5772/55302.

[4] Joo-Young Jeong, Sung-Min Son, Jun-Hyeon Pyon, Joo-Yang Park,


“Performance Comparison Between Mesophilic and Thermophilic Anaerobic
Reactors for Treatment of Palm Oil Mill Effluent”, Bioresource Technology, 165
(2014), hal.74-82.

[5] Sumate Chaiprapat, Tanyaluk Laklamsumate, ”Enhancing Digestion


Efficiency of POME in Anaerobic Sequencing Batch Reactor with Ozonation
Pretreatment and Cycle Time Reduction”, Bioresource Technology, 102 (2011):
hal. 4061-4068.

[6] R. Borja, ”Biogas Production”, Downstream Processing and Product


Recovery, Subbab 2.55 (2011): hal. 785-798.

[7] Elizabeth L. Wust. Single-Phase and Two-Phase Cheese Wastewater


Treatment by Anaerobic SBRs. Thesis Submitted to the Faculty of the Graduate
School, Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, 2003.

[8] WC Solomon, SU Muhammad, MY Egoh, “A Preliminary Investigation into


the Effect of Ambient Temperature on Biogas Generation Using Cow-Dung from
Afaka-Kaduna for Household Cooking”, International Journal of Engineering
Trends and Technology (IJETT), 6(8) 2013, hal: 405-409.

[9] Teodorita Al Seadi, et al. Biogas Handbook. (Biogas for Eastern Europe,
2008). ISBN 978-87-992962-0-0.

[10] Bambang Trisakti, Veronica Manalu, Irvan, Taslim, Muhammad Turmuzi.


“Acidogenesis of Palm Oil Mill Effluent to Produce Biogas: Effect of Hydraulic
Retention Time and pH”, Procedia: Social and Behavioral Sciences, 195 (2015),
hal: 2466-2474.

[11] Margarita Andreas Dareioti, Aikaterini Ioannis Vavouraki, Michael


Kornaros, ”Effect of pH on the Anaerobic Acidogenesis of Agroindustrial
Wastewaters for Maximization of Bio-hydrogen Production: a Lab-scale
Evaluation Using Batch Tests”, Bioresource Technology, 162 (2014): hal. 218-
227.

[12] Dhanalakshmi Sridevi V, Srinivasan S V, ”Energy from Biomass-


Comparison of Biogas Production at Ambient Temperature and at Mesophilic
Temperature in Semicontinuous Anaerobic Digester Using Vegetable Market
Wastes”, Carbon-Science and Technology, 6/1(2014): hal. 349-355.

[13] Jianguo Jiang, Yujing Zhang, Kaimin Li, Quan Wang, Gong Changxiu,
Menglu Li (2013), ”Volatile Fatty Acid Production from Food Waste: Effects of
pH, Temperature, and Organic Loading Rate”, Bioresource Technology, 143
(2013), hal: 525–530.

[14] Wayan R. Susila, Peluang Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia:


Perspektif Jangka Panjang 2025, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor,
2008.

[15] Willy Verheye,”Growth and Production of Oil Palm”, Soils, Plants Growth
and Crop Production, II (2011).

[16] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Kelapa Sawit Indonesia.

[17] Bambang Drajat, Upaya Mengatasi Black Campaign Kelapa Sawit dan
Langkah Strategis ke depan, Lembaga Riset Perkebunan Nusantara, Bogor, 2012.

[18] Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia, 2010, nomor: 13/M-


IND/PER/1/2010.

[19] Heinz Stichnothe, Frank Schuchardt, Greenhouse Gas Reduction Potential


Due to Smart Palm Oil Mill Residue Treatment, Institute of Agricultural
Technology and Biosystems Engineering, Germany, 2010.

[20] United States Department of Agriculture, Oilseeds: World Markets and


Tradee, Desember 2014.

[21] Ta Yeong Wu, Abdul Wahab Mohammad, Jamaliah Md. Jahim, Nurina
Anuar, “Pollution Control Technologies for the Treatment of Palm Oil Mill
Effluent (POME) Through end-of-pipe Processes”, Journal of Environmental
Management, 91 (2010): hal. 1467-1490.

[22] A.N. Ma, Augustine S.H. Ong, “Treatment of Palm Oil Steriliser
Condensate by an Anaerobic Process”, Biological Wastes, XXIII (1988) hal. 85-
97.

[23] Man Kee lam, Keat Teong Lee, “Renewable and Sustainable Bioenergies
Production from Palm Oil Mill Effluent (POME): Win-Win Strategies Toward
Better Environmental Protection”, Biotechnology Advances, 29 (2011): hal. 124-
141.
[24] Yee-Shian Wong, Soon-An Ong, Kok-Keat Lim and Hong-Chen Lee,
“Acclimatization and Performance Study of Acidogenesis Anaerobic Degradation
Process for Palm Oil Mill Effluent”, International Conference on Environmental
and Industrial Innovation, 12 (2011).

[25] Jeremiah David Bala, Japareng Lalung, Norli Ismail, “Palm Oil Mill
Effluent (POME) Treatment Microbial Communities in an Anaerobic Digester: a
Review”, International Journal of Scientific and Research Publications, 4 (juni
2014). ISSN 2250-3153.

[26] Jurnal Sumatera (2013). ”Pemkab Muratara Imbau Perusahaan Kendali


Limbah Sawit”. Diakses 06 Januari 2015 dari Google. http://www.jurnalsumatra.
com/2014/05/28/pemkab-muratara-imbau-perusahaan-kendali-limbah-sawit/.

[27] Henry Loekito, “Teknologi Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit”,


Jurnal Teknologi Lingkungan, 3(3) 2002: hal. 242-250.

[28] Nasiman Sapari, T.Y. Chew, M.I. Yaziz, “Treatment of Palm Oil Mill
Effluent by Mesophilic Anaerobic Digestion with Flocculant Addition”, Pertanika
Journal Science and Technology, 4(2) 1996: hal. 263-273.

[29] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1995, Nomor: KEP-


51/MENLH/10/1995.

[30] Thomas B. Fricke. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil untuk
Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN). Environmental Services
Program, Agustus 2009.

[31] Edwi Mahajoeno, Bibiana Widiyati Lay, Surjono Hadi Sutjahjo, Siswanto,
“Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas”,
Biodiversitas, 9(1) 2008: hal. 48-52. ISSN: 1412-033X.

[32] Chin May Ji, Poh Phaik Eong, Tey Beng Ti, Chan Eng Seng, Chin Kit Ling,
“Biogas from Palm Oil Mill Effluent (POME): Opportunities and Challenges from
Malaysia’s Perspective”, Renewable and Suistainable Energy Reviews, 26 (2013):
hal. 717-726.

[33] Ziyan Teng, Jing hua, Changsong Wang, Xiaohua Lu, “Design and
Optimization Principles of Biogas Reactors in large Scale Applications”, Reactor
and Process Design in Sustainavle Energy Technology, Chapter 4 (2014): hal. 99-
134.

[34] Volkmar Schroeder, Bernd Schalau, Maria Molnarne, “Explosion Protection


in Biogas and Hybrid Power Plants”, Procedia Engineering, 84 (2014): hal. 259-
272.
[35] American Biogas Council, “Advantages of vehicle Fuel vs Other Biogas
Uses in Agricultural AD Systems”, Conference Indianapolis IN (2013).

[36] Dieter Deublein, Angelika Steinhauster, 2008 Biogas from Waste and
Renewable Resources. An Introduction (Singapore: WILEY-VCH Verlag GmbH
& Co. KGaA, Weinheim)., 2008.

[37] Mario Andres Hernandez, Manuel Rodriguez Susa, Yves Andres, “Use of
Coffee Mucilage as a New Substrate for Hydrogen Production in Anaerobic Co-
digestion with Swine Manure”, Bioresource Technology, 168 (2014): hal. 112-
118.

[38] Aliyu Salihu, Md. Zahangir alam, “Palm Oil Mill Effluents: a Waste or a
Raw Material”, Journal of Applied Sciences Research, 8(1) 2012: hal. 466-473,
ISSN 1819-544X. 44 (2013): hal. 1-7.

[39] NREL. 2013. Biogas Potential in the United States. National Laboratory of
the U.S Department of Energy.

[40] DJ Batstone, PD Jensen, “Anaerobic Processes”, Subbab 4.17 (2011): hal.


615-639.

[41] N. Gray, “Anaerobic Treatment”, Chapter 19 (2005): hal. 518-534.

[42] Anna Schurer, Asa Jarvis. Microbiological Handbook for Biogas Plants.
(Svenskt Gastekniskt Center AB: Victoria, British Columbia, Canada, 2009).

[43] D.Buntner, A.Sanchez, J.M.Garrido, “Feasibility of Combined UASB and


MBR System in Dairy Wastewater Treatment at Ambient Temperatures”,
Chemical Engineering Journal, 230 (2013): hal. 475-481.

[44] Joshua Rapport, Ruihong Zhang, Bryan M.Jenkins, Robert B.Williams.


Current Anaerobic Digestion Technologies Used for Treatment of Municipal
Organic Solid Waste. Contractor’s Report to the Board, 2008.

[45] XJ Zhang, “Anaerobic Process”, Comprehensive Water Quality and


Purification, Volume 3 Subbab 3.7 (2014): hal. 108-122.

[46] Ken Anderson, Paul Sallis, Sinan Uyanik, “Anaerobic Treatment Processes”
The Handbook of Water and Wastewater Microbiology, Chapter 24 (2003): hal.
391-426, ISBN 0-12-470100-0.

[47] Alistair David Broughton, Hydrolysis and Acidogenesis of Farm Dairy


Effluent for Biogas Production at Ambient Temperatures, Thesis for Master of
Engineering in Environmental Engineering, 2009.
[48] Jin-Young Jung, Sang-Min Lee, Pyong-Kyun Shin, Yun-Chul Chung,
“Effect of pH on Phase Separated Anaerobic Digestion”, Biotechnology
Bioprocess Engineering, 5(6) 2000: hal 456-459.

[49] Denise Cysneiros, Charles J.Banks, Sonia Heaven, Kimon-Andreas


G.Karatzas, “The Role of Phase Separation and feed Sysle Length in Leach Beds
Coupled to Methanogenic Reactors for Digestion of a Solid Substrate (part 1):
Optimisation of Reactor Performance”, Bioresource Technology, 103(2012): hal.
56-63.

[50] Noha Nasr, Elsayed Elbeshbishy, Hisham Hafez, George Nakhla,


M.Hesham El Naggar, “Comparative Assessment of Single-Stage and Two-Stage
Anaerobic Digestion for the Treatment of Thin Stillage”, Bioresource Technology,
111 (2012): hal. 122-126.

[51] JE Hernandez, RGJ Edyvean, “Comparison Between a Two-Stage and Single-


Stage Digesters When Treating a Synthetic Wastewater Contaminated With
Phenol”, Water SA, 37(1) 2011: hal. 27-32. ISSN 1816–7950.

[52] Prawit Kongjan, Rattana Jariyaboon, Sompong O-Thong, “Anaerobic


Digestion of Skim Latex Serum (SLS) for Hydrogen and Methane Production
Using a Two-Stage Process in a Seies of Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket
(UASB) Reactor”, International Journal of Hydrogen Energy, 39 (2014): hal.
19343-19348.

[53] K. Stamatelatou G.Antonopoulou, G.Lyberatos, “Production of Biogas Via


Anaerobic Digestion”, Handbook of Biofuels Production, Chapter 12 ( 2011): hal.
266-304.

[54] Michael H Gerardi, “The Microbiology of Anaerobic Digesters”,


Wastewater Microbiology Series, Part I (John Willey and Sons: New Jersey
2003).

[55] Qigui Niu, Toshimasa Hojo, Wei Qiao, Hong Qiang, Yu-You Li,”
Characterization of Methanogenesis, Acidogenesis and Hydrolysis in
Thermophilic Methane Fermentation of Chicken Manure”, Chemical Engineering
Journal, 244 (2014): hal. 587–596.

[56] Rene Moletta. 2011. Anaerobic Digestion Monitoring and Control.


Laboratoire de Biotechnologie de l’Environment.

[57] A.K. Kivaisi dan M. Mtila, ”Production of Biogas from Water Hyacinth
(Eichhornia crassipes) (Mart) (Solms) in a Two-Stage Bioreactor”, World Journal
of Microbiology and Biotechnology, 14 (1998), hal: 125–131.

[58] Rongpin Li, Shulin Chen, Xiujiu Li, ” Biogas Production from Anaerobic
Co-digestion of Food Waste with Dairy Manure in a Two-Phase Digestion
System”, Biochem Bioethanol, 160 hal: 643–654.
[59] Cavinato C, Bolzonella D, Fatone F, Cecchi F dan Pavan P, ”Optimization
of Two-Phase Thermophilic Anaerobic Digestion of Biowaste for Bio-Hythane
Production Through Reject Water Recirculation”, Bioresource Technology, 102
(18), hal: 8.605–8.611.

[60] Pertamina (2015). Harga LPG 12 kg Ditingkat Agen tmt 1 April 2015.
http://www.pertamina.com.

[61] APHA. 1999. Standard Methods for the Examination of Water and Waste
Water. Edisi 20. Washington DC : APHA, AWWA, WEF.

[62] Yoshimassa, Tomiuchi. 2009. Current Strategy of Metawater on Methane


Fermentation of Palm Oil Plant Wastewater. Metawater Co.,Ltd.

[63] Standar Nasional Indonesia. Air dan Air Limbah – Bagian 15: Cara uji
Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) Refluks Terbuka dengan Refluks Terbuka
secara Titrimetri. SNI 06-6989.15-2004.

[64] Chris O. Nwoko, Sola Ogunyemi, ”Evaluation of Palm Oil Mill Effluent to
Maize (Zea mays. L) Crop: Yields, Tissue Nutrient Content and Residual Soil
Chemical Properties”, Australian Journal of Crop Sciences, 4 (1), hal: 16–22
(2010).

[65] Yin Jing Chan, Mei Fong Chong, Chung Lim Law, “An Integrated Anaerobic-
Aerobic Bioreactor (IAAB) for the Treatment of Palm Oil Mill Effluent (POME):
Start-up and Steady State Performance”, Process Biochemistry, 47 (2012), hal:
485–495.

[66] Hina Rizvi, Nasir Ahmad, Farhat Abbas, Iftikhar Hussain Bukhari, Abdullah
Yasar, Shafaqat Ali, Tahira Yasmeen, Muhammad Riaz, “Start-Up of UASB
Reactors Treating Municipal Wastewater and Effect of Temperature/Sludge Age
and Hydraulic Retention Time (HRT) on Its Performance”, Arabian Journal of
Chemistry, 2014.

[67] Thomas Schmidt, Ayrat M. Ziganshin, Marcell Nikolausz, Frank Scholwin,


Michael Nelles, Sabine Kleinteuber, Jurgen Proter, ”Effects og the Reduction of
the Hydraulic Retention Time to 1,5 Days at Constant Organic Loading in CSTR,
ASBR, and Fixed-Bed-Reactor – Performance and Methanogenic Community
Composition”, Biomass and Bioenergy, 69 (2014), hal: 241–248.

[68] Jingxin Zhang, Yaobin Zhang, Xie Quan, Shuo Chen, “Enhancement of
Anaerobic Acidogenesis by Integrating an Electrochemical System into an
Acidogenic Reactor: Effect of Hydraulic Retention Times (HRT) and Role of
Bacteria and Acidophilic Methanogenic Archaea”, Bioresource Technology, 179
(2015), hal: 43–49.

[69] Yee-Shian Wong, Tjoon Tow Teng, Soon-An Ong, M. Norhashimah, M.


Rafatullah, Hong-Chen Lee, “Anaerobic Acidogenesis Biodegradation of Palm
Oil Mill Effluent Using Suspended Closed Anaerobic Bioreactor SCABR) at
Mesophilic Temperature”, Procedia Environmental Sciences, 18 (2013), hal: 433–
441.

[70] Chunseng Zhang, Haija Su, Jan Baeyens, Tianwei Tan, “Reviewing the
anaerobic digestion of food waste for biogas production”, Renewable and
Suistainable Energy Reviews, 38 (2014), hal: 383–392.

[71] R. E. Speece, 1996. Anaerobic Biotechnology for Industrial Wastewaters.


Archae Press: USA. ISBN 0–9650226–0–9.

[72] Kaushalya C. Wijekoon, Chettiyappan Visvanathan, Amila Abeynayaka,


“Effect of Organic Loading Rate on VFA Production, Organic Matter Removal
and Microbial Activity of a Two-Stage Thermophilic Anaerobic Membrane
Bioreactor”, Bioresouce Technology, 102 (2011): 5353–5360.

[73] A.E. Ghaly, D.R. Ramkumar, S.S. Sadaka, J.D. Rochon, “ Effect of
Reseeding and pH Control on The Performance of a Two-Stage Mesophilic
Anaerobic Digester Operating on Acid Cheese Whey”, Canadian Agricultural
Engineering, vol 42, no.4, hal: 173–183.

[74] Han Qing Yu, Herbert H.P. Fang, “Acidogenesis of Gelatin-Rich


Wastewater in an Upflow Anaerobic Reactor: Influence of pH and Temperature”,
Water Research, 37 (2003), hal: 55–66.

[75] Jey-R Sabado Ventura, Jehoon Lee, Deokjin Jahng, “A Comparative Study
on the Alternating Mesophilic and Thermophilic Two-Stages Anaerobic Digestion
on Food Waste”, Journal of Environmental Sciences, 26 (2014), hal: 1274-1283.

[76] Joseph R. Asztalos, Younggy Kim, “Enhanced Digestion of Waste


Activated Sludge Using Microbial Electrolysis Cells at Ambient Temperature”,
Water Research, (2015), hal: 1–10.
LAMPIRAN A
METODOLOGI PENELITIAN

A.1 LOKASI PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

A.2 BAHAN DAN PERALATAN


A.2.1 Bahan-Bahan
1. Starter dari penelitian sebelumnya
Fungsi: sebagai sumber mikroba untuk proses digestasi anaerobik
2. POME dari fat pit PTPN IV PKS Adolina
Fungsi: Bahan baku atau umpan dalam penelitian
3. Asam klorida (HCl) 0,1 N
Fungsi: Zat pentiter untuk analisis alkalinitas
4. Aquadest (H2O)
Fungsi: Pelarut dalam analisis alkalinitas dan sebagai pencuci dalam analisis
TSS dan VSS
5. Natrium Bikarbonat (NaHCO3)
Fungsi: Pengontrolan pH untuk variasi pH yang telah ditentukan

A.2.2 Peralatan
A. Peralatan Utama
1. Fermentor tangki berpengaduk/jar fermentor (EYELA model No.: MBF
300ME)
Fungsi: Tempat berlangsungnya proses digestasi aanerobik asidogenesis
2. Pompa sludge/slurry pump (HEISHIN, model No.:3NY06F)
Fungsi: memompa umpan (influent) masuk ke dalam fermentor dan
effluent keluar dari fermentor
3. Gas meter (SHINAGAWA, model No.:W-NK-0.5B)
Fungsi: mengukur volume gas yang kemungkinan terbentuk
4. Tangki umpan (service tank)
Fungsi: wadah penampungan umpan POME sebelum diumpankan ke
dalam fermentor
5. Pengaduk
Fungsi: menghomogenkan umpan POME di dalam tangki umpan
6. pH elektroda
Fungsi: mengukur pH
7. Timer (OMRON, model No.:H5F)
Fungsi: mengatur waktu dan lama pemompaan umpan masuk dan keluaran
(effluent) dari fermentor
8. Botol penampungan keluaran fermentor
Fungsi: Menampung keluaran (effluent) dari fermentor
9. Gas collector
Fungsi: menampung gas-gas yang mungkin terbentuk selama proses
asidogenesis

B. Peralatan Analisis
1. Buret 25 ml
Fungsi: mengukur volume zat pentiter HCl melalui titrasi dalam analisis
alkalinitas
2. Timbangan analitik
Fungsi: mengukur massa zat/sampel
3. Oven
Fungsi: memanaskan sampel dalam analisis TS dan TSS sampel
4. Desikator
Fungsi: mendinginkan sampel keluaran oven dan furnace sebelum
penimbangan
5. Karet penghisap
Fungsi: digunakan pada pipet ukur untuk menghisap zat pentiter HCl
6. Pengaduk magnetic
Fungsi: mengaduk dan menghomogenkan campuran dalam analisis
alkalinitas
7. Furnace
Fungsi: memanaskan sampel dalam analisis VS dan VSS sampel

Gambar A.1 menunjukkan rangkaian peralatan yang dilakukan dalam


proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

Gambar A.1 Rangkaian Peralatan


A.3 FLOWCHART PROSEDUR PENELITIAN
A.3.1 Flowchart Prosedur Analisis pH

Gambar A.2 Flowchart Prosedur Analisis pH


A.3.2 Flowchart Prosedur Analisis M-Alkalinity
Mulai

Dimasukkan 5 ml sampel ke dalam beaker glass

Ditambahkan aquadest hingga volume larutan menjadi 80 ml


Diaduk campuran hingga homogen dengan magnetic stirrer

Dimasukkan pH elektroda ke dalam beaker glass

Dititrasi campuran dengan HCl 0,1 N

Apakah bacaan pH mencapai 4,8±0,02?


Tidak
Ya

Dicatat volume HCl yang terpakai

Gambar A.3 Flowchart Prosedur Analisis M-Alkalinity


Dihitung nilai alkalinitas menggunakan persamaan 3.1

Selesai
A.3.3 Flowchart Prosedur Analisis Total Solids (TS)
Mulai

Dipanaskan cawan penguap selama 2 jam pada suhu 105 oC

Didinginkan cawan penguap selama 15 menit di dalam desikator

Ditimbang berat cawan

Didinginkan cawan penguap selama 15 menit di


dalam desikator

Diambil sampel dan masukkan ke dalam cawan

Dimasukkan cawan berisi sampel ke oven


pada suhu 103-105oC selama 1 jam

Didinginkan cawan penguap selama 15 menit


di dalam desikator

Ditimbang berat cawan

Apakah berat cawan sudah konstan?


Tidak
Ya

Dihitung nilai total solids (TS) menggunakan persamaan 3.2

Selesai

Gambar A.4 Flowchart Prosedur Analisis Total Solids (TS)


A.3.4 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Solids (VS)

Gambar A.5 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Solids (VS)

A.3.5 Flowchart Prosedur Analisis Total Suspended Solids (TSS)


Gambar A.6 Flowchart Prosedur Analisis Total Suspended Solids (TSS)

A.3.6 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Suspended Solids (VSS)

Gambar A.7 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Suspended Solids (VSS)


A.3.7 Flowchart Prosedur Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)

Gambar A.8 Flowchart Prosedur Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)


A.3.8 Flowchart Prosedur Loading Up dan Operasi Target

Gambar A.9 Flowchart Prosedur Loading Up dan Operasi Target


LAMPIRAN B
DATA HASIL ANALISIS

B.1 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT


Tabel B.1 Hasil Analisis Karakteristik LCPKS dari PTPN IV PKS Adolina
No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji
.
1. pH - 3,5–4,8 APHA 4500-H
2. Chemical Oxygen mg/L 41.818 SNI 06–6989.15–2004
Demand (COD)
3. Total Solid (TS) mg/L 16.040–61.000 APHA 2540B
4. Volatile Solid (VS) mg/L 16.060–52.360 APHA 2540E
5. Total Suspended mg/L 2.920–24.700 APHA 2540D
Solid (TSS)
6. Volatile Suspended mg/L 9.100–22.680 APHA 2540E
Solid (VSS)
7. Oil and Grease* mg/L 0 SNI 06–6989.10–2004
8. Protein* % 0 Kjeldahl
9. Karbohidrat* % 0 Lane Eynon
10. Volatile fatty acids* mg/L
- Asam asetat 1.508,987
560,030
- Asam propionat
- Asam butirat 1.088,613
* Laporan hasil uji laboratorium terlampir

B.2 DATA HASIL PENELITIAN


B.2.1 Data Hasil Penelitian pada Variasi Hydraulic Retention Time (HRT)
Tabel B.2 Data Hasil Analisis pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS pada Variasi
Hydraulic Retention Time (HRT)
HRT Hari ke pH Alkalinitas TS VS TSS VSS
1 5,8 2.200 26.240 19.620
2 5,9 3.000 30.580 24.060
3 6,0 4.200 31.080 25.020
4 6,0 3.600 22.260 16.700
5 6,2 3.300 24.720 19.500
6 6,1 4.100 26.500 20.200
20
7 6,0 3.000 28.040 21.540
8 6,0 3.350 30.740 21.240
9 6,0 3.400 27.920 21.200
10 6,0 3.100 32.600 23.280 19.540 24,060
11 5,9 3.000 31.300 22.440
12 6,1 2.900 27.760 21.000

74
HRT Hari ke pH Alkalinitas TS VS TSS VSS
13 6,0 3.000 35.380 27.880 14.280 12.500
20 14 6,1 3.350 30.440 23.220
15 6,0 3.150 26.500 20.200 14.760 11.260
1 6,0 2.400 29.660 24.140
2 6,0 2.300 33.980 27.940
3 6,1 2.800 27.220 20.480
4 6,1 2.550 38.480 31.740
5 6,1 2.600 32.200 25.200
6 5,9 2.550 29.460 22.900
7 5,9 3.000 28.400 22.380
15 8 5,9 3.400 32.320 25.040
9 6,0 3.000 26.240 20.080
10 6,0 2.900 28.640 21.740 24.880 19.820
11 6,1 3.250 29.480 23.000
12 6,1 3.100 30.040 23.360
13 6,0 3.200 30.460 23.440 18.500 15.140
14 6,0 2.500 29.580 21.560
15 6,0 2.550 31.840 25.100 12.760 11.960
1 6,0 2.100 33.660 25.060
2 5,9 2.500 38.580 28.760
3 5,9 2.650 35.960 27.380
4 6,2 3.200 38.020 28.560
5 6,2 3.300 40.440 28.780
6 6,1 3.150 35.240 25.940
7 6,0 3.000 31.940 24.580
10 8 6,0 3.100 34.340 25.160
9 6,0 3.250 36.000 26.980
10 6,0 3.000 38.520 28.120 15.880 13.520
11 5,9 2.700 36.260 27.420
12 6,1 2.900 34.860 24.680
13 6,0 3.000 33.620 23.960 13.760 11.520
14 6,0 3.250 33.380 24.260
15 6,0 3.000 42.500 31.520 14.820 13.520
1 6,1 3.800 40.840 28.200
2 6,2 3.700 42.560 28.760
3 6,0 3.350 33.520 22.360
4 5,8 2.650 39.020 24.740
5 5,8 3.500 37.860 26.300
6 5,8 2.700 43.240 31.980
7 6,1 3.500 42.340 30.580
5
8 6,2 3.050 57.000 38.480
9 6,2 3.200 44.460 31.160 16,300 13.180
10 6,1 3.400 42.500 26.900
11 6,2 3.900 42.500 27.780
12 6,2 3.250 44.660 28.880 18.040 14.340
13 6,0 3.200 43.240 27.700
14 6,0 3.000 43.880 29.180
HRT Hari ke pH Alkalinitas TS VS TSS VSS
5 15 6,0 3.100 37.680 25.900 14.980 12.960
1 5,8 2.900 41.900 27.800
2 5,9 2.750 43.900 29.220
3 5,9 3.000 48.320 33.840
4 6,2 3.500 26.320 14.080
5 6,0 3.250 46.860 31.020
6 6,0 3.000 41.160 29.140
7 6,1 3.100 40.920 28.580
4 8 6,0 3.150 40.680 29.960
9 6,0 3.100 40.660 27.740
10 6,0 3.050 37.100 25.480 19.920 16.120
11 5,9 2.650 40.320 29.000
12 6,1 4.200 37.320 24.280
13 6,0 3.900 39.360 27.920 22.120 16.900
14 6,0 3.550 43.300 3.2000
15 6,0 3.650 45.280 28.660 26.160 19.080
(Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS dalam satuan mg/L)

Tabel B.3 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) pada Variasi
Hydraulic Retention Time (HRT)
Hari COD
HRT
ke Influent (mg/L) Effluent (mg/L) Reduksi (%) Rata-Rata (%)
10 18.210 51,95
20 13 37.824 12.67 66,49 59,04
15 15.493 59,04
10 19.231 52,38
15 13 40.385 11.539 71,43 53,97
15 25.000 38,10
10 23.077 47,83
10 13 44.231 13.462 69,57 56,52
15 21.154 52,17
10 35.211 34,02
5 13 53.368 32.39 39,30 31,38
15 42.254 20,83
10 25.35 34,76
4 13 38.860 26.761 31,14 29,93
15 29.578 23,89

Tabel B.4 Data Hasil Analisis Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) pada
Variasi Hydraulic Retention Time (HRT)
VFA (mg/L)
HRT Hari ke
Asetat Propionat Butirat Total
10 2.217 1.033 2.079 5.328
20 13 1.043 426 290 1.758
15 1.807 616 2.322 4.744
VFA (mg/L)
HRT Hari ke
Asetat Propionat Butirat Total
10 2.126 535 1.383 4.043
15 13 1.884 1.403 1.680 4.968
15 2.873 1.226 1.397 5.495
10 4.193 1.737 1.440 7.370
10 13 3.407 1.428 1.770 6.604
15 4.529 1.698 1.691 7.917
10 4.650 2.194 959 7.803
5 13 3.092 1.532 1.111 5.736
15 2.795 1.942 866 5.603
10 2.212 2.040 1.057 5.308
4 13 2.540 1.818 987 5.345
15 2.931 1.949 1.216 6.097

Tabel B.5 Data Perhitungan Rasio VFA/Alkalinitas pada Variasi Hydraulic


Retention Time (HRT)
Rata-Rata
Rata-Rata
HRT Total VFA VFA/Alkalinitas
Alkalinitas (mg/L)
(mg/L)
20 3.944 3.243 1,22
15 4.835 2.807 1,72
10 7.297 2.940 2,48
5 6.380 3.287 1,94
4 5.583 3.250 1,72

B.2.2 Data Hasil Penelitian pada Variasi pH


Tabel B.6 Data Hasil Analisis pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS pada Variasi
pH
Hari
pH pH Alkalinitas TS VS TSS VSS
ke
1 5,8 2.900 41.900 27.800
2 5,9 2.750 43.900 29.220
3 5,9 3.000 48.320 33.840
4 6,2 3.500 26.320 14.080
5 6 3.250 46.860 31.020
6 6 3.000 41.160 29.140
7 6,1 3.100 40.920 28.580
6,0 8 6 3.150 40.680 29.960
9 6 3.100 40.660 27.740
10 6 3.050 37.100 25.480 19.920 16.120
11 5,9 2.650 40.320 29.000
12 6,1 4.200 37.320 24.280
13 6 3.900 39.360 27.920 22.120 16.900
14 6 3.550 43.300 3.200
15 6 3.650 45.280 28.660 26.160 19.080
5,5 1 5,5 2.250 37.540 26.940
Hari
pH pH Alkalinitas TS VS TSS VSS
ke
2 5,4 1.700 40.840 29.980
3 5,3 2.000 41.200 31.140
4 5,3 1.600 38.720 31.280
5 5,3 2.400 39.240 28.720
6 5,5 1.250 34.580 24.460
7 5,4 2.700 35.840 25.480
8 5,5 1.950 36.020 27.060
5,5
9 5,6 2.200 34.320 26.980
14.260 12.320
10 5,6 2.900 34.360 34.460
11 5,5 2.000 31.180 21.700
12 5,4 1.700 30.360 20.720
26.600 15.060
13 5,5 1.900 48.880 39.140
14 5,5 1.800 30.440 20.720
14.180 13.080
15 5,5 1.700 30.440 20.720
1 5,2 1.400 38.500 32.080
2 5,0 600 37.100 29.020
3 5,0 450 39.480 31.640
4 4,9 350 39.840 31.900
5 4,8 300 41.280 32.840
6 4,9 450 38.020 25.800
7 4,9 600 35.840 28.580
5,0 8 4,9 600 34.460 24.860
9 5,1 1.050 34.420 24.060
10 5,3 1.40 30.140 21.720 21.540 19.380
11 5,2 950 30.260 22.060
12 5,1 700 33.540 22.860
13 5,0 700 31.160 22.200 19.140 16.680
14 5,0 1.000 30.460 20.860
15 4,9 400 30.060 21.120 10.160 8.780
1 4,7 – 29.500 21.260
2 4,7 – 29.160 20.860
3 4,7 – 26.940 19.220
4 4,7 – 27.380 20.500
5 4,7 – 31.500 25.440
6 4,6 – 31.440 23.920
7 4,6 – 32.440 25.120
4,5 8 4,6 – 29.420 22.060
9 4,6 – 30.040 23.800
10 4,5 – 27.120 21.000 12.880 10.880
11 4,5 – 31.200 23.960
12 4,5 – 29.700 24.140
13 4,6 – 33.460 28.620 14.840 13.320
14 4,5 – 33.220 27.120
15 4,6 – 35.220 28.560 13.120 11.760
(Alkalinitas, TS, VS, TSS dan VSS dalam satuan mg/L)
Tabel B.7 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) pada Variasi pH
Hari COD
pH
ke Influent (mg/L) Effluent (mg/L) Reduksi (%) Rata-Rata (%)
10 25.352 34,76
6,0 13 38.860 26.761 31,14 29,93
15 29.578 23,89
10 40.845 16,71
5,5 13 49.038 39.437 19,58 20,54
15 36.620 25,32
10 34.715 27,96
5,0 13 48.187 35.526 26,27 25,96
15 36.788 23,66
10 35.233 23,60
4,5 13 46.114 36.788 20,22 23,22
15 34.197 25,84

Tabel B.8 Data Hasil Analisis Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) pada
Variasi pH
VFA (mg/L)
pH Hari ke
Asetat Propionat Butirat Total
10 2.212 2.040 1.057 5.308
6,0 13 2.540 1.818 987 5.345
15 2.931 1.949 1.216 6.097
10 5.400 2.665 4.337 12.402
5,5 13 3.079 1.261 2.212 6.551
15 2.992 1.378 1.536 5.907
10 3.120 1.358 1.762 6.240
5,0 13 2.985 1.131 1.845 5.961
15 2.627 818 1.654 5.099
10 2.843 946 1.899 5.688
4,5 13 3.553 1.023 1.865 6.441
15 3.032 1.019 1.878 5.929

Tabel B.9 Data Perhitungan Rasio VFA/Alkalinitas pada Variasi pH


Rata-Rata
Rata-Rata
pH Total VFA VFA/Alkalinitas
Alkalinitas (mg/L)
(mg/L)
6,0 5.583 3.250 1,72
5,5 8.287 911 9,10
5,0 5.767 730 7,90
4,5 6.019 – –
LAMPIRAN C
CONTOH PERHITUNGAN

C.1 PERHITUNGAN REDUKSI COD


Dari Tabel B.4 diperoleh:
Pada HRT 20
COD influent = 37.823,83 mg/L
COD effluent = 18.209,86 mg/L

Degradasi COD (%) = COD influent  COD effluent


COD influent 100%

= 37.823,83  18.209,86
37.823,83 100%

= 51,95 %

C.2 PERHITUNGAN STANDAR DEVIASI


Contoh perhitungan standar deviasi pada VS untuk variasi pH 6 adalah
sebagai berikut dan Tabel C.1 menunjukkan data VS pada variasi pH 6.

Tabel C.1 Data VS untuk variasi pH 6


Hari ke VS (mg/L) Hari ke VS (mg/L)
1 27.800 9 27.740
2 29.220 10 25.480
3 33.840 11 29.000
4 14.080 12 24.280
5 31.020 13 27.920
6 29.140 14 3.2000
7 28.580 15 28.660
8 29.960

 2 iX  2
nX i
Standar deviasi =
nn 1

 X 2 = 175.326.438.400
i

 X = 418.720
i

15 (175.326.438.400) - 418.720 2
Standar deviasi = = 4.485
1515  1

80
LAMPIRAN D
DOKUMENTASI

Gambar D.1 Tangki Umpan

Gambar D.2 Fermentor


Gambra D.3 Botol Keluaran Fermentor (Discharge)

Gambar D.4 Botol Penampung Biogas (Gas Collector)

Gambar D.5 Gas Meter


Gambar D.6 Rangkaian Peralatan

Gambar D.7 Peralatan Analisis M-Alkalinity

Gambar D.8 Detecting Tube Hasil Analisis Gas H2S dan CO2
Gambar D.9 Peralatan Analisis Padatan Tersuspensi

Gambar D.10 Peralatan Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)

Gambar D.11 Timbangan Analitik


Gambar D.12 Desikator

Gambar D.13 Oven

Gambar D.14 Furnace


LAMPIRAN E
HASIL UJI LABORATORIUM

E.1 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS LEMAK DALAM


LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)
E.2 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS PROTEIN
DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)

E.3 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS KARBOHIDRAT


DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)
E.4 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS VOLATILE FATTY
ACID (VFA)

Anda mungkin juga menyukai