FARMAKOTERAPI IV
Disusun Oleh :
Kristiana Yuliatika
F201801175
B4
PROGRAM S1 FARMASI
KENDARI
2021
REVIEW JURNAL
ARTIKEL PENELITIAN
Derajat Toksisitas Trombosit pada Penderita Kanker Kolorektal
yang Mendapat Kemoterapi CapeOX
Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox Chemotherapy
Artikel info
Artikel history: Abstrak
Received; 18 April 2020 Pengobatan kanker kolorektal salah satunya adalah
Revised: 19 April 2020 kemoterapi, Regimen/obat kemoterapi salah satunya adalah
Accepted;22 April 2020 CapeOX (Capecitabine + Oxaliplatin). Penggunaan oxaliplatin
yang merupakan kemoterapi berbasis platinum memiliki
efek samping antara lain berupa toksisitas hematologi
(myelosupresi) antara lain ialah kadar trombosit.
Trombositopenia adalah jumlah trombosit yang kurang dari
100.000/mm3hal ini merupakan salah satu toksisitas
hematologi yang dapat ditemukan pada pasien kanker
kolorektal yang menjalani kemoterapi.Tujuan Penelitian :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan rerata kadar trombosit pre dan post kemoterapi
CapeOX dan derajat toksisitas trombosit pada penderita
kanker kolorektal yang mendapat kemoterapi CapeOX.
Metode : Penelitian ini berbentuk historical (retrospective)
cohort. Sampel penelitian ini adalah 70 pasien yang
didapatkan dari perhitungan consecutive sampling. Analisis
data menggunakan uji T-Test Berpasangan.Hasil :Usia
pasien kanker kolorektal berkisar antara 18 tahun sampai
dengan 73 tahun dengan frekuensi tertinggi 56-65 (38,6%).
Perbandingan wanita 34(48,6%) dan laki-laki 36(51,4%).
Didapatkan jenis operasi paling banyak digunakan adalah
Low Anterior Resction sebanyak 40(57,1%). Terdapat
penurunan rerata kadar trombosit tertinggi terjadi pada
siklus keenam sebesar 54,186/mm3 dengan simpangan baku
sebesar 16,127/mm3, dan didapatkan toksisitas trombosit
derajat satu pada siklus ke-5 dan ke-6 masing-masing
sebanyak 3(4,3%) dan 18(25,7%) dan yang mengalami
derajat dua pada siklus ke-5 dan ke-6 masing-masing
sebanyak 1(1,4%) dan 10(14,3%).
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
314
Abstract
Colorectal cancer treatment one of which is chemotherapy.
One of the regimens/chemotherapy medicine is CapeOX
(Capecitabine + Oxaliplatin). The use of oxaliplatin which is
platinum-based chemotherapy has side effects in the form of
hematological toxicity (myelosuppression) one of which is
platelet count. Thrombocytopenia is a platelet count of less
than 100,000 / mm3this is one of the hematological toxicity
that can be found in colorectal cancer patients who received
chemotherapy. Research Objective: The purpose of this study
was to determine the difference average of platelet levels and
pre and post-chemotherapy CapeOX and the form of the
degree of platelet toxicity in colorectal cancer patients
receiving CapeOX chemotherapy.Method: This study is a
historical (retrospective) cohort. The sample of this study
was 70 patients obtained from a consecutive sampling
calculation. Data analysis using Paired T-Test.Results: The
age of colorectal cancer patients ranged from 18 to 73 years,
with the highest frequency of 56-65 (38.6%), comparison of
female 34 (48.6%) and male 36 (51.4%). The most widely
used type of surgery was a Low Anterior Resection of 40
(57.1%). In this study, the highest decrease in platelet levels
occurred in the sixth series of 54.186/mm3 with a standard
deviation of 16.127/mm3. There was a decrease in average
platelet levels highest occurred in the sixth cycle of 54,186 /
mm3 with a standard deviation of 16,127 / mm3, and
obtained first-degree platelets) toxicity in the 5th and 6th
cycles of 3 (4.3%) and 18 (25.7) and who experienced second
degree in the 5th and 6th cycles of 1 (1.4%) and 10 (14.3%).
Keywords: Coresponden author:
Kanker kolorektal; Email: bilqisnabilah99@gmail.com
Kemoterapi;
Trombosit; artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi CC BY -4.0
Pendahuluan
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/mm 3
(SI: 0,1 x 1012/L). Ketika jumlahnya turun hingga 20.000 sampai 50.000/mm 3 (SI: 0,02
sampai 0,05 x 1012/L), risiko terhadap perdarahan meningkat. Jumlah kurang dari
20.000/mm3 (SI: 0,02 x 1012/L) berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap perdarahan
spontan dan sering membutuhkan transfusi keping darah (Smeltzer, 2001). Dan hal ini
sering terjadi pada pasien-pasien kanker yang dikemoterapi khususnya kanker kolorektal.
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari
kolon dan/atau rectum (American Cancer Society, 2014). Insidensi kanker kolorektal di
dunia menempati urutan ketiga (1,8 juta per tahun) serta penyebab kematian kedua
terbanyak (881.000 kasus) dan juga kejadian dan tingkat kematian yang disebabkan oleh
kanker kolorektal meningkat seiring bertambahnya usia. Secara keseluruhan, 90% kasus
baru dan 94% kematian terjadi pada umur 50 tahun atau lebih. Pada umur 50 tahun,
angka insidensi kanker kolorektal 15 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia
20 sampai 49 tahun (American Cancer Society, 2011; Globocan, 2018).
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
315
Di Asia, kanker kolorektal juga merupakan masalah yang penting karena merupakan
penyebab kematian terbanyak keenam. Bedasarkan studi epidemiologi sebelumnya
menunjukkan bahwa di Indonesia usia pasien kanker kolorektal lebih muda daripada
pasien kanker kolorektal di Negara maju.Lebih dari 30% kasus didapat pada pasien yang
berumur 40 tahun atau lebih muda, sedangkan di negara maju, pasien yang umurnya
kurang dari 50 tahun hanya 2-8 % saja.Kanker kolorektal merupakan jenis kanker
keempat terbanyak. Angka kejadian kanker kolorektal di Indonesia adalah 30.017 kasus
baru (19.113 pada laki-laki dan 10.904 pada wanita) dengan angka mortalitas sebanyak
16.034 kasus.Abdullah, 2012) Di Provinsi Lampung sendiri, khususnya Kota Bandar
Lampung juga telah dilakukan penelitian bertempat di RSUD dr. H. Abdul Moeloek yang
menunjukkan peningkatan kejadian kanker kolorektal setiap tahunnya. Disebutkan bahwa
terdapat 31 kasus pada tahun 2004−2005 dan meningkat menjadi 86 kasus pada tahun
2007−2009 (Harahap, 2019).
Terapi pada kanker kolorektal salah satunya adalah terapi adjuvan. Terapi adjuvan yang
dikembangkan adalah dengan kemoterapi dan radioterapi. Radioterapi sebagai terapi
adjuvan tidak menunjukkan perbaikan hasil akhir dari penyakit kanker kolorektal. Oleh
karena itu kemoterapi adjuvan telah menjadi terapi standar pada tatalaksana kanker
kolorektal akibat adanya bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan penurunan risiko
rekurensi dan kematian.(Kelompok Kerja Kanker Kolorektal Indonesia). Kemoterapi
kanker berusaha keras menyebabkan kejadian sitotoksik yang letal atau apoptosis
terhadap sel kanker sehingga dapat menghentikan perkembangan tumor. Idealnya, obat-
obat anti kanker seharusnya hanya mengganggu proses sel yang bersifat unik pada sel-sel
maligna. Sayangnya, sebagian besar obat antikanker saat ini tidak mengenali sel-sel
neoplastik secara spesifik, tetapi memengaruhi seluruh jenis sel yang berproliferasi-baik
yang normal maupun abnormal. Oleh karena itu, hampir seluruh obat kemoterapi
mempunyai efek toksik (Harvey RA, 2013) Salah satu efek samping yaitu toksisitas
hematologi yang bisa terjadi pada pemberian obat kemoterapi dapat berupa
trombositopenia.(Keputusan Menteri Kesehatan Republi Indonesia, 2018)
Pemberian kemoterapi yang menggunakan regimen CapeOX dimana mengandung
oxaliplatin sebagai salah satu modalitas terapi kanker telah terbukti dapat memperbaiki
hasil pengobatan kanker kolorektal baik untuk meningkatkan angka kesembuhan,
ketahanan hidup, maupun masa bebas penyakit dan kualitas hidup penderita.Namun,
kemoterapi tersebut juga menyebabkan berbagai efek samping dan komplikasi (Taleghani
BM, 2005). Toksisitas hematologi (myelosupresi) merupakan efek samping pemberian
kemoterapi berbasis platinum (oxaliplatin) yang paling sering ditemukan (25% dengan
stadium III-IV) selama tiga siklus pemberian, dibandingkan dengan efek toksik terhadap
system lainnya. Karena sifat toksisitas hematologi kemoterapi dapat mengalami efek
toksik salah satunya berupa trombositopenia (Huq F, 2009).
Pada obat kemoterapi kanker kolorektal, trombositopenia terjadi karena semakin
habisnya megakariosit, menurunnya pelepasan trombosit dari sumsum tulang, atau
bertambahnya konsumsi perifer. Setelah menjalani kemoterapi, maka evaluasi sumsum
tulang biasanya memperlihatkan penurunan absolut jumlah megakariosit akibat toksisitas
langsung (Sugiarti M, 2015).
Metodelogi
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan historical
(retrospective) cohort.Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Raflesia (Ruang kemoterapi)
dan Ruang Rekam Medik RSUD DR. H Abdul Moeloek.Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Februari 2020.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kanker
kolorektal yang mendapat kemoterapi CapeOX selama 6 siklus pada tahun 2018-2019
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
316
yaitu sebanyak 85, lalu sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive
sampling yaitu sebanyak 70 sampel. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik
untuk melihat kadar pre dan post kemoterapi CapeOX sepanjang tahun 2018 hingga 2019.
Data penelitian diolah dengan program SPSS dengan menggunakan analisis univariat
untuk menjabarkan tabel distribusi variabel penelitian, kemudian dilanjutkan analisis
bivariat dengan ujiT-Test berpasangan untuk mengetahui perbedaan kadar trombosit pre
dan post kemoterapi CapeOX.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Karakteristik Penderita Kanker Kolorektal Pre dan Post Kemoterapi
CapeOX
Karakteristik Frekuensi (%)
Usia (tahun)
Anak (0-11) 0 0
Dewasa (12-45) 23 32,9
Lansia (46->65) 47 67,1
Jenis Kelamin
Wanita 34 48,6
Laki-laki 36 51,4
Jenis Operasi
Hemicolectomi Dextra 4 5,7
Hemicolectomi Sinistra 7 10,0
Anterior Resection 0 0
Low Anterior Resection 40 57,1
Abdominoperineal Resection 19 27,1
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
317
Karakteristik Responden
Sampel penelitian ini terdiri dari 70 pasien kanker kolorektal yang mendapat kemoterapi
CapeOX. Dari keseluruhan sampel didapatkan usia pasien berkisar 18 tahun sampai
dengan 73 tahun, dengan didapatkan frekuensi tertinggi usia pasien 45 sampai > 65 tahun
sebanyak 67,6%.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Izzaty (2015) bahwa pada rentang
umur 20-49 tahun pasien yang terdiagnosis kanker kolorektal sebanyak 19 orang (36,5%)
dan pada rentang umur 50-79 tahun pasien yang terdiagnosis kanker kolorektal sebanyak
33 orang (63,5%) (Izzaty AH, 2015).
Data tersebut sesuai dengan penelitian American Cancer Society (2011) yang menyatakan
bahwa angka insidensi kanker kolorektal lebih tinggi pada usia 50 tahun ke atas
dibandingkan dengan usia 20-49 tahun (American Cancer Society, 2011).
Menurut Lao dan Grady (2012), usia merupakan faktor resiko yang penting dalam
perkembangan kanker kolorektal. Kanker kolorektal muncul sebagai salah satu akibat dari
akumulasi beberapa perubahan genetik dan epigenetik yang menyebabkan transformasi
dari epitel normal menjadi adenokarsinoma (Sakai, 2014).
Pada penelitian ini didapatkan hasil antara penderita kanker kolorektal pada laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita sebanyak 34 orang (48,6%) dan laki-laki
sebanyak 36 orang (51,4%). Insiden kanker kolorektal di Indonesia pada tahun 2018
menurut GLOBOCAN pada laki-laki sebesar 19.113 dan pada wanita sebesar 10.904 kasus.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Izzaty (2015) dimana
didapatkan 52 pasien terdiagnosis kanker kolorektal, dengan 30 pasien laki-laki (57,7%)
dan 22 pasien wanita (42,3%). Demikian juga dengan penelitian Wahidin dkk (2012) yang
menyatakan bahwa laki-laki lebih sering terserang kanker kolorektal (4.13 per 100.000)
dibandingkan dengan wanita (3.15 per 100.000).
Menurut penelitian Lin dkk (2013), banyaknya kejadian kanker kolorektal pada laki-laki
berhubungan dengan tingkat estradiol. Estradiol dalam jumlah normal berfungsi dalam
spermatogenesis dan fertilitas. Namun, jumlah estradiol yang berlebihan menghambat
sekresi protein gonadotropin seperti LH yang selanjutnya akan mengurangi sekresi
testosterone. Jumlah testosterone yang tinggi terbukti memiliki hubungan dengan
berkurangnya resiko kanker kolorektal.
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
318
Dari hasil penelitian ini didapatkan jenis operasi paling sering digunakan terhadap pasien
kanker kolorektal adalah Low Anterior Resection sebanyak 40 orang (57,1%). Hal ini juga
sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Li Guo-Liu (2017) dimana Low Anterior
Resectiontelah menjadi metode yang lebih banyak dipilih untuk pasien kanker rektal, dan
juga Low Anterior Resection memiliki hasil yang lebih baik dan lebih menguntungkan
dalam hal kualitas hidup pasien pasca operasi kanker rektal dibandingkan dengan metode
Abdomino Pereneal Resection.
Perbandingan Rerata Kadar Trombosit pada Penderita Kanker Kolorektal Pre dan
Post Kemoterapi CapeOX
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan rerata kadar trombosit pre dan post kemoterapi
CapeOX, dan juga didapatkan peningkatan perbandingan jumlah rerata kadar trombosit
yang mengalami penurunan yaitu dari siklus ke-1 sampai siklus ke-6 dimana pada siklus
ke-1 didapatkan rerata kadar trombsoit pre dan post kemoterapi CapeOX sebesar
15.429/mm3 dan terus meningkat sampai 54.186/mm 3 pada siklus ke-6 dan bermakna
secara statistik dengan p<0,005 pada setiap siklus setelah pemberian kemoterapi CapeOX.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mimi Sugiarti di RSUD. DR. H.
Abdul Moeloek pada tahun 2015 yaitu dimana terdapat efek samping yang dapat terjadi
akibat kemoterapi ialah penurunan kadar trombosit setelah dilakukannya kemoterapi.
Kejadian trombositopenia ini akan meningkat karena terpaparnya regimen kemoterapi
CapeOX secara berulang.
Depresi sumsum tulang yang dapat mengakibatkan trombositopenia adalah senyawa
oksalat yang terdapat pada derivat senyawa berbasis platinum yaitu oxaliplatin.12 Depresi
sumsum tulang terjadi karena mekanisme kerja dari senyawa oxaliplatin adalah dengan
cara menghambat replikasi DNA dan sintesis RNA. Sitotoksisitas dapat terjadi pada
tahapan siklus sel manapun, tetapi sel-sel paling rentan terhadap kerja obat ini pada fase
sitesis zat dan replikasi DNA. Kerja obat ini juga tidak hanya menyerang sel kanker tetapi
menyerang sel yang sedang berproliferasi dengan baik juga akan terganggu, salah satunya
yaitu megakariosit menjadi habis/menurun, sehingga pelepasan trombosit dari sumsum
tulang juga menurun (Harvey RA, 2013).
Derajat Toksisitas Hematologi (Trombosit) Penderita Kanker Kolorektal yang
mendapat Kemoterapi CapeOX
Dari penelitin ini didapatkan insidensi terjadinya toksisitas hematologi (trombosit)
setelah dilakukan kemoterapi CapeOX enam siklus seperti pada tabel 4 di mana tidak
terjadi toksisitas hematologi (trombosit) pada siklus ke-1 sampai siklus ke-4, tetapi
sebanyak 3 pasien (4,3%) mengalami toksisitas hematologi (trombosit) derajat satu pada
siklus ke-5 dan terus meningkat hingga siklus ke-6 sebanyak 18 pasien (25,7%). Dan juga
pada siklus ke-5 dan siklus ke-6 terdapat toksisitas hematologi (trombosit) derajat dua
masing-masing 1 pasien (1,4%) dan 10 pasien (14,3%). Hal ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Faturahman (2017) dimana hampir tiap siklus kemoterapi
terjadi toksisitas hematologi (trombosit). Toksisitas merupakan dimana terapi yang
ditujukan membunuh sel-sel kanker yang membelah secara cepat, juga mengenai sel-sel
normal yang sedang berproliferasi cepat, menyebabkan manifestasi yang toksik. Dalam hal
ini toksisitas yang ditunjukan adalah toksisitas hematologi yaitu depresi sumsum tulang
yang menyebabkan trombositopenia. (Harvey RA, 2013)
Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan terdapat
perbedaan rerata kadar trombosit berupa penurunan yang bermakna secara statistik post
kemoterapi pada siklus pertama sampai siklus ke enam dengan p<0,005, dan didapatkan
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
319
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
320
Liu, L. G., Yan, X. B., Shan, Z. Z., Yan, L. L., Jiang, C. Y., Zhou, J., ... & Jin, Z. M. (2017). Anorectal
functional outcome following laparoscopic low anterior resection for rectal
cancer. Molecular and clinical oncology, 6(4), 613-621.
Sakai, E., Nakajima, A., & Kaneda, A. (2014). Accumulation of aberrant DNA methylation
during colorectal cancer development. World Journal of Gastroenterology:
WJG, 20(4), 978.
Sugiarti, M. (2017). Pengaruh Khemoterapi Terhadap Jumlah Trombosit Pasien Penderita
Kanker di RS Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Analis Kesehatan, 4(2), 450-
455.
Wahidin, M., Noviani, R., Hermawan, S., Andriani, V., Ardian, A., & Djarir, H. (2012).
Population-based cancer registration in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, 13(4), 1709-1710.
Yusmaidi, eatall, Degrees of Platelets Toxicity in Colorectal Cancer Patients who Received Capeox
Chemotherapy, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
REVIEW JURNAL
Abstrak
Latar Belakang
Penyakit kanker darah atau yang sering disebut dengan leukemia adalah salah satu penyakit yang mematikan.
Penyakit ini merupakan kurangnya sel darah merah pada system produksi darah di tubuh manusia dan
memproduksi sel darah putih dengan jumlah yang berlebihan.
Laporan Kasus
Tn I, Laki-laki, 37 tahun dikonsul oleh bagian Interna dengan Chronic Myelocystic Leukimia. Keluhan utama
Asupan makan berkurang dialami sejak 5 bulan yang lalu dan memberat dalam 2 bulan terakhir karena nafsu
makan menurun, mual , tidak muntah, riwayat muntah ada, Ada gangguan menelan ,rasa cepat kenyang , ada
demam ,ada riwayat demam , batuk, tidak sesak, penurunan berat badan ada tetapi besarnya tidak diketahui.
Asupan 24 jam 550 Kkal. Pasien didiagnosis dengan status gizi buruk ( LLA = 59,32%), status metabolik
anemia normositik normokrom (Hb 7,9 g/dl ), Hipoalbuminemia ( Albumin 2,9 gr/dl ), Hipoglikemia ( GDS 67
mg/dl ), leukositosis ( 53.550 /uL ) , dan status gastrointestinal fungsional. Penatalaksanaan Nutrisi dengan
pemberian Energi 1600 Kkal yang diberikan secara bertahap sesuai toleransi pasien dan manajemen peningkatan
berat badan dilakukan bertahap jika kebutuhan energi telah tercapai. Protein diberikan 1,5 gram/KgBBI/ hari (
19%), Karbohidrat 50% dan lemak 31%. Pemberian asupan via oral berupa makanan lunak, formula peptisol,
buah, dan putih telur 3 butir / hari. Suplementasi diberikan berupa zinc 20 mg/24 jam, Curcuma 40 mg/8 jam,
ekstrak ikan gabus 2 kapsul/8 jam, Vitamin B1 100 mg, Vitamin B6 200 mg, Vitamin B12 200 mg, Vitamin C
100 mg/24 jam. Setelah perawatan selama 16 hari, terjadi peningkatan LLA dari 17,5 cm menjadi 19 cm, Hb 7,9
gr/dl menjadi 11,9 gr/dl dengan transfusi PRC 3 kantong. Kadar sel darah putih saat masuk rumah sakit adalah
53.550/uL dan saat dipulangkan 29.000/uL . Pada saat awal di rawat, kadar albumin pasien adalah 2,9 g/dL.
Kemudian turun menjadi 2.5 g/dL. Pada saat albumin turun menjadi 2.5 g/dL, pasien di anjurkan untuk
mengkonsumsi makanan yang tinggi protein, memberikan formula tinggi protein dan pemberian ekstra putih
telur dan setelahnya kadar albumin pasien naik menjadi 3.2 g/dL sebelum dipulangkan untuk rawat jalan.
Kesimpulan
Malnutrisi pada penderita kanker secara negatif berpengaruh terhadap respon terapi, komplikasi, kualitas hidup
dan survival penderita. Intervensi nutrisi yang optimal, monitoring serta edukasi gizi menunjukkan perbaikan
status gizi serta perbaikan status metabolik.
Pada saat awal di rawat, kadar albumin pasien belum mencapai nilai normal/
pasien adalah 2,9 g/dL. Kemudian turun diharapkan, karena pasien sudah bisa
menjadi 2.5 g/dL. Pada saat albumin rawat jalan
turun menjadi 2.5 g/dL, pasien di 2. Melakukan Koreksi terhadap
anjurkan untuk mengkonsumsi Anemia
Pada pemeriksaan fisik pasien
makanan yang tinggi protein, dan
ditemukan adanya anemis pada
memberikan formula tinggi protein dan
konjungtiva yang disertai dengan hasil
pemberian ekstra putih telur dan
pemeriksaan laboratorium Hb 7,9 gr/dl.
setelahnya kadar albumin pasien naik
Kurangnya asupan pasien, ketersediaan
menjadi 3.2 g/dL sebelum dipulangkan
besi dan berkurangnya aktivitas biologi
untuk rawat jalan.
eritropoietin menyebabkan
Intervensi gizi yang diberikan pada
terhambatnya eritropoiesis yang
pasien untuk mengatasi
menyebabkan terjadinya anemia4.
hipoalbuminemia adalah dengan
Anemia penyakit kronis merupakan
pemberian asupan tinggi protein 1,5 gr /
konsekuensi dari aktivasi sitokin
kgBBI /hari atau 18 % dari total energi
inflamasi jaringan dengan penekanan
yang dipenuhi dari makanan. Selain itu
simultan dari produksi erythropoietin
penanganan terhadap inflamasi juga
dan kemampuan progenitor eritroid.
diberikan dengan memberikan
Intervensi gizi yang dilakukan pada
suplementasi curcuma . Asupan protein
pasien ini untuk mengatasi anemia
pada pasien ini diperoleh dari makanan
adalah dengan menjamin asupan makro
lunak dengan lauk hewani dan nabati,
dan mikronutrien serta memberikan
susu formula peptisol serta putih telur.
curcuma yang berperan sebagai anti
Jenis asupan protein yang diberikan
inflamasi dan juga untuk meningkatkan
sebagian besar sebaiknya terdiri dari
selera makan pasien. Peranan curcuma
protein dengan nilai biologis tinggi
sebagai antiinflamasi yaitu dengan
dalam hal ini pasien di anjurkan
menghambat sejumlah molekul yang
konsumsi putih telur. Kadar albumin
berperan dalam proses inflamasi.
pasien yang sebelum intervensi 2,9
Penelitian telah mengidentifikasi
g/dL kemudian menurun menjadi 2.5
peranan curcuma pada molekul yang
g/dL dan sebelum pulang meningkat
terlibat dalam proses inflamasi yaitu
menjadi 3.2 g/dL. Kadar albumin
62 | Indonesian Journal of Clinical Nutrition Physician. Hal 57-66
p-ISSN: 2597-4297
Volume 1, Nomor 1 Oktober 2018
mg, Vitamin B12 200 mg, Vitamin C 2. Sanz Ortiz J, Moreno Noguiera JA,
García de Lorenzo y Mateos A. 2008,
100 mg/24 jam.
Protein energy malnutrition (PEM) in
Kesimpulan cancer patients. Clin Transl Oncol;
Component of Tumeric (Curcuma longa). 10. Fearon K, Strasser F, Anker SD, Bosaeus
The journal of alternative and I, Bruera E, Fainsinger RL, et al. 2011.
complementary medicine Volume 9 Definition and classification of cancer
8. Bagian Gizi Klinik Universitas cachexia: An International consensus.
Hasanuddin. 2011, Standar Pelayanan Lancet Oncol;12:489–95.
Medis 11. Kristine Krafts, 2011, Pathology
9. Nemeth E, Ganz T. 2014, Anemia of Students, University of Minnesota School
inflammation. Hematol Oncol Clin N of Medicine
Am. Peckenpaugh, 2005,. Nutrition 12. Riset Kesehatan Dasar, 2013, Badan
Essentials and Diet Therapy 10th ed Penelitian dan pengembangan kesehatan,
USA: SAUNDERS ELSEVIER Kementerian Kesehatan RI, 3.5.3, Hal-85
3000
2500
2000
1500 Asupan
Target
1000
500
0
I III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV
90
80
70
60
50
asupan
40
target
30
20
10
0
I III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 DOI
10.1186/s13046-014-0106-5
Abstrak
Stres oksidatif (OS) telah ditandai dengan ketidakseimbangan antara produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan
kemampuan sistem biologis untuk memperbaiki kerusakan oksidatif atau untuk menetralkan zat antara reaktif termasuk
peroksida dan radikal bebas. Produksi ROS yang tinggi telah dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam
mekanisme pertahanan antioksidan yang menyebabkan kerusakan protein, lipid dan DNA dan selanjutnya gangguan fungsi
seluler. Pada manusia, OS telah dilaporkan berperan dalam patogenesis penyakit neurodegeneratif seperti penyakit
Alzheimer, penyakit Huntington, penyakit Lou Gehrig, multiple sclerosis dan penyakit Parkinson, serta aterosklerosis,
autisme, kanker, gagal jantung, dan infark miokard. . Meskipun OS telah dikaitkan dengan etiologi dan perkembangan
penyakit kronis, banyak obat kemoterapi telah terbukti mengerahkan aktivitas biologisnya melalui induksi OS pada sel yang
terkena. Tinjauan ini menyoroti peran kontroversial OS dalam pengembangan dan perkembangan kanker leukemia dan
aplikasi terapi peningkatan OS dan pendekatan antioksidan untuk pengobatan pasien leukemia.
Kata kunci: Stres oksidatif, Leukemia, Antioksidan, Spesies oksigen reaktif, Pengobatan, Apoptosis
© 2014 Udensi dan Tchounwou; pemegang lisensi BioMed Central. Ini adalah artikel Akses Terbuka yang didistribusikan di bawah persyaratan
Lisensi Atribusi Creative Commons (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), yang mengizinkan penggunaan, distribusi, dan reproduksi
tanpa batas dalam media apa pun, asalkan karya aslinya dikreditkan dengan benar. Pengabaian Dedikasi Domain Publik Creative Commons
(http://creativecommons.org/publicdomain/zero/1.0/) berlaku untuk data yang disediakan dalam artikel ini, kecuali dinyatakan lain.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 2 dari 15
Regulasi OS merupakan faktor penting dalam perkembangan efek spesies reaktif diimbangi oleh aksi antioksidan antioksidan
tumor dan respons terhadap terapi antikanker. Banyak jalur enzimatik dan non-enzimatik. Fungsi seluler esensial, seperti
sinyal yang terkait dengan tumorigenesis juga dapat ekspresi gen, dipengaruhi oleh keseimbangan antara kondisi pro
mengatur metabolisme spesies oksigen reaktif (ROS) melalui dan antioksidan [35]. Pertahanan antioksidan sangat penting
mekanisme langsung atau tidak langsung [32]. Tergantung karena mewakili penghilangan langsung radikal bebas (pro-
pada kondisi dan lingkungan, OS dapat mempengaruhi peran oksidan), memberikan perlindungan maksimal untuk situs
ROS untuk menguntungkan pembentukan kanker ganas atau biologis. Proses fisiologis sel termasuk proliferasi seluler dan
pengobatan kanker. Ulasan ini mengeksplorasi peran OS pertahanan inang dapat terganggu ketika ROS melebihi atau
dalam leukemogenesis dan menyoroti pentingnya dalam antioksidan turun di bawah titik setel homeostatik seperti yang
pengobatan leukemia. Memahami mekanisme molekuler diilustrasikan pada Gambar 1. Peningkatan ROS dapat merusak
oksidatif akan membantu dalam mengembangkan dan menyebabkan kematian sel atau mempercepat penuaan dan
pengobatan baru dan dapat diandalkan serta tindakan penyakit terkait usia. ROS berkontribusi terhadap disfungsi seluler
pencegahan untuk berbagai jenis leukemia. dan kematian sel dengan merusak protein, lipid, dan DNA. Mereka
juga dapat berfungsi sebagai sinyal stres yang mengaktifkan jalur
Stres oksidatif pensinyalan redosensitif tertentu [36]. Produksi ROS, Reactive
OS terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara generasi Oxygen Intermediate (ROI) dan Reactive Nitrogen Intermediate
radikal bebas oksigen atau spesies oksigen reaktif (ROS) dan (RNI) merupakan bagian dari proses fisiologis tubuh manusia [37].
respon dari sistem pertahanan antioksidan [33]. Radikal bebas Baik aktivitas ROI dan RNI mempengaruhi sel dengan cara yang
adalah molekul atau fragmen molekul yang mengandung satu sama, dengan demikian, konsep OS telah diperluas untuk
atau lebih elektron tidak berpasangan yang membuatnya mencakup; hidroksil dan superoksida
sangat reaktif [34]. Dalam keadaan normal
Gambar 1 Jenis oksidan dan antioksidan yang tidak seimbang akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif (OS). OS digambarkan sebagai kelebihan produksi ROS dibandingkan
dengan pertahanan antioksidan.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 3 dari 15
radikal, hidrogen peroksida dan oksigen singlet, spesies anion superoksida dan hidrogen peroksida setelah
nitrogen reaktif (RNS) atau RNI termasuk oksida nitrat (NO), pemecahan atau pelepasan siklus katalitik P450 [47]. Sumber
peroksinitrit dan, S-nitrosothiols [38]. eksogen mungkin termasuk paparan berbagai xenobiotik,
Secara alami, tubuh manusia menjaga keseimbangan iradiasi oleh sinar UV, sinar-X dan sinar gamma. Dan reaksi
redoks dengan aksi gabungan enzim antioksidan yang katalis logam yang menghasilkan radikal bebas, senyawa
meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), terklorinasi, dan barbiturat [48]. Mitokondria dianggap
glutathione (GSH), glutathione peroksidase (GPx) dan sebagai sumber fisiologis yang paling penting dari radikal
glutathione reduktase, monoamine oksidase (MAO), askorbat , dalam organisme hidup karena menghasilkan sekitar 2-3 nmol
-tokoferol, sistein, tioredoksin, dan vitamin [33,39]. Koenzim superoksida/menit per mg protein [45]. Radikal superoksida
Q10 (CoQ10) adalah antioksidan endogen yang sangat penting dianggap sebagai prekursor stoikiometri untuk hidrogen
[40]. Juga penting adalah peroxiredoxins (Prx), keluarga peroksida (H2HAI2) [49]. Ubisemiquinone adalah reduktor
peroksidase non-seleno kecil yang mengatur ROS seluler [41]. oksigen dalam membran mitokondria [45]. Sumber radikal
Dalam studi mereka, Valko dan rekan kerja mengamati bahwa superoksida endogen lainnya selain mitokondria termasuk
ROS yang dihasilkan oleh mitokondria, nicotinamide adenine xanthine oxidase (XO), enzim yang ditemukan dalam berbagai
dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase berdampak pada jaringan mamalia dan yang dapat diperoleh dari bakteri [50].
perkembangan siklus sel, motilitas sel, dan pensinyalan faktor XO mengkatalisis konversi hipoksantin menjadi xantin dan
pertumbuhan dalam berbagai tipe sel normal [4]. Lebih xantin menjadi asam urat yang mereduksi oksigen molekuler
banyak ROS diproduksi ketika ada ketidakteraturan dengan membentuk anion superoksida yang selanjutnya
sistem pertahanan antioksidan tubuh karena penyakit kondisi menghasilkan hidrogen peroksida [34]. Selama proses katalitik
lingkungan negatif lainnya [39]. Misalnya, produksi ROS normal, enzim yang ditemukan di peroksisom dapat
melonjak saat sel bertransisi dari jaringan normal ke menghasilkan hidrogen peroksida (H2HAI2), superoksida (O-
karsinoma invasif yang disebabkan oleh peningkatan 2•),
penyimpangan metabolisme dalam sel yang bertransformasi atau oksida nitrat (NO•) yang dapat dengan mudah bereaksi
[42]. Juga, tingkat oksidan meningkat sesuai dengan membentuk ROS dan RNS lain seperti peroksinitrit (ONOO-), radikal
penurunan tingkat antioksidan pada leukemia [43]. hidroksil (•OH), dan alkil peroksida (ROOH). Peroksisom memainkan
Pandangan ini didukung oleh penelitian pada SEMUA pasien peran penting dalam metabolisme lemak terutama di hati dan
yang menunjukkan bahwa kemiringan keseimbangan ROS/ organ lain yang menyebabkan produksi H2HAI2, tapi tidak
antioksidan menyebabkan peningkatan kadar serum penanda HAIsebagian
-
2• besar setelah kelaparan berkepanjangan [51,52]. Superoksida
OS seperti zat reaktif asam tiobarbiturat (TBARS), dan dapat bertindak sebagai reduktor atau oksidan dan
karbonilasi protein serum pada SEMUA pasien dibandingkan merupakan molekul kunci dalam beberapa reaksi fisiologis
normal. kontrol [10]. Sastra penuh dengan laporan tentang berikutnya. Sebagian besar superoksida yang dihasilkan in
efek berbahaya dari ROS, namun, beberapa konsep berbahaya vivo diubah menjadi H2HAI2 terutama oleh tindakan dismutase
sedang dieksploitasi sebagai target potensial untuk superoksida, yang ada di sitosol (SOD1), mitokondria (SOD2),
pengembangan obat [34]. Misalnya, konsentrasi ROS yang dan ekstraseluler (SOD3) isoform [51]. Aktivator dan inhibitor
rendah diamati untuk menginduksi respons mitogenik dan ROS diilustrasikan pada Gambar 2.
memicu serangkaian respons seluler selama noksia yang
membantu melawan infeksi. Tetapi konsentrasi ROS yang Mekanisme aksi ROS
lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan struktur sel, Ada mekanisme yang berbeda di mana ROS menyebabkan
termasuk lipid dan membran, protein dan asam nukleat [44]. kerusakan sel. Misalnya kerusakan endogen terjadi ketika
intermediet reduksi oksigen (dioksigen) - radikal bebas
Sumber/Aktivator Reactive Oxygen Species (ROS) oksigen (OFR) menyerang basa dan tulang punggung
Produksi ROS dapat dipicu oleh faktor endogen dan deoksiribosil DNA. Kerusakan DNA endogen ini
eksogen. Sumber endogen berasal dari metabolisme menunjukkan sifat induksi genotoksik, karsinogenik, dan
seluler terutama selama reaksi transpor elektron yang mutasi dari ROS [34]. Mekanisme penting lainnya adalah
dikatalisis mitokondria, metabolisme sitokrom P450, dan gangguan aktivitas faktor transkripsi. Memahami regulasi
aktivitas peroksisom, neutrofil, eosinofil, dan makrofag redoks kompleks dari transkripsi gen eukariotik spesifik
selama inflamasi [45]. Makrofag yang teraktivasi dapat akan memberikan lebih banyak wawasan tentang peran
memulai peningkatan pengambilan oksigen yang memicu faktor transkripsi peka redoks dalam proses ini. Gambar 3
peningkatan spesies oksigen reaktif yang berbeda, seperti menunjukkan diagram skema faktor transkripsi yang
anion superoksida, oksida nitrat dan hidrogen peroksida dimodulasi oleh ROS. Faktor transkripsi yang diinduksi
[46]. Sitokrom P . Hewan450 Enzim diduga memiliki peran hipoksia HIF-1 memediasi upregulasi ekspresi
ganda yaitu memberikan perlindungan terhadap bahan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) di bawah tekanan
kimia beracun alami dari tanaman dan sebaliknya oksigen rendah (hipoksia) dan mendorong angiogenesis
menginduksi produksi spesies oksigen reaktif terutama [54]. Pembaruan diri sel induk hematopoietik (HSC),
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 4 dari 15
Gambar 2 Representasi skema dari berbagai aktivator dan penghambat produksi spesies oksigen reaktif [53].
efek kelangsungan hidup pada sel APL dengan melindungi ledakan dari dismutasi dari O-2• juga2 dan untuk spesies yang kurang reaktif
pasien APL dengan leukemia promyelocytic akut (APL) terhadap hidrogen peroksida (H2HAI2) [72]. Enzim CAT di sisi lain
kematian yang disebabkan oleh lini pertama anti-leukemia antrasiklin mengkatalisis konversi H2HAI2 menjadi air dan oksigen
seperti daunorubicin (DNR) [62]. molekuler. Sebuah studi berbasis kanker serviks untuk
Peroksisom proliferator-activated receptor gamma (PPARγ) menguji hubungan antara OS dan status antioksidan
terlibat dalam proses patologis berbagai penyakit dan enzimatik dalam eritrosit pasien kanker serviks dewasa
merupakan target terapi potensial untuk pengobatan dan subyek sehat menunjukkan peningkatan yang
beragam gangguan termasuk AML, di mana pengobatan signifikan dalam peroksidasi lipid dan gangguan aktivitas
tambahan disarankan untuk memasukkan deregulasi antioksidan enzimatik dalam eritrosit pasien kanker serviks
pensinyalan PPARγ [ 63]. Kemampuan penekan tumor p53 di [73]. Antioksidan non-enzimatik seperti antioksidan tiol
bawah tekanan untuk secara berbeda mengatur gen dan vitamin E juga memainkan peran antioksidan penting.
targetnya yang mengatur penghentian siklus sel, apoptosis Vitamin E mencegah peroksidasi lipid dan penuaan sel
atau penuaan sel induk hematopoietik (HSC) bisa menjadi [69]. Tiol non-protein memiliki berbagai fungsi dalam
target pengobatan yang mungkin untuk leukemia [64]. proses bioreduksi dan detoksifikasi. Homeostasis redoks
Namun, ada kemajuan dalam pengembangan obat intraseluler diatur oleh molekul yang mengandung tiol,
berdasarkan mekanisme OS. Beberapa sedang dalam tahap seperti glutathione dan thioredoxin [74]. Catalina dkk.
uji klinis, misalnya inhibitor NF-kB yang kuat, Deferasirox mengevaluasi efek apoptosis Cellfood™ (CF), suplemen
dalam uji klinis untuk pengobatan AML dan MDS [65]. Target nutrisi yang mengandung deuterium sulfat, mineral, asam
lain yang menarik adalah faktor transkripsi antiapoptosis, amino, dan enzim, pada tiga garis sel leukemia termasuk
transduser sinyal dan aktivator transkripsi 3 (STAT3) yang sel Jurkat, U937, dan K562, dan melaporkan bahwa anti-
dimodulasi oleh OS. STAT3 diaktifkan ketika limpa tirosin oksidan alami ini diekstraksi dari ganggang merah
kinase (SYK) diinduksi dalam sistem ekspresi mamalia yang calcareum litothamnion, memodulasi pensinyalan sel dan
diinduksi ecdysone. Hubungan antara SYK dan STAT3 sedang apoptosis pada sel kanker dengan mengaktifkan caspase
dieksplorasi sebagai target potensial untuk tujuan terapeutik 3, menginduksi frangmentasi DNA nukleosom, dan
pada sel leukemia/limfoma B-lineage manusia [66]. mengubah metabolisme sel melalui down-regulation
ekspresi HIF-1α dan GLUT-1 [75]. Dalam sebuah studi
tentang jalur mitokondria dari apoptosis dalam sel HepG2,
Sumber/aktivator antioksidan Chang et al. [76] melaporkan bahwa Norcantharidin,
Untuk melawan efek merusak dari radikal bebas dan analog demethylated cantharidin yang berasal dari
OS di organel, mitokondria juga menyimpan pengobatan tradisional Cina, Mylabris, memberikan efek
antioksidan termasuk GSH dan enzim, (superoxide anti-kankernya melalui induksi stres oksidatif yang
dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx),) menyebabkan hilangnya potensi membran mitokondria,
yang ada di kedua sisi membrannya [67]. pelepasan sitokrom c dari mitokondria ke sitosol. , down-
Antioksidan dapat berupa endogen atau eksogen. regulasi Bcl-2, up-regulasi Bax , caspase 3 dan caspase 9,
Antioksidan endogen yang paling banyak diproduksi dan pembelahan PARP selanjutnya.
di mitokondria antara lain superoksida dismutase,
(SOD), asam alfa lipoat (ALA), Koenzim Q10 (CoQ10), Leukemia
katalase (CAT), dan glutation peroksidase (Gpx), Leukemia adalah salah satu dari 10 kanker teratas yang
glutathion (GSH), feritin, asam urat. , bilirubin, mempengaruhi semua ras di Amerika Serikat [77]. Leukemia
metallothionein, L-karnitin dan melatonin [68]. tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat meskipun
Antioksidan eksogen diperoleh dari makanan seperti terjadi penurunan angka kematian tahunan jika dibandingkan
vitamin E (α-tokoferol) yang terdapat dalam minyak dengan angka kematian pada tahun 1991 [78]. Menurut
nabati dan bibit gandum. Vitamin E dapat mencegah perkiraan American Cancer Society, sekitar 1.660.290 kasus
peroksidasi lipid membran plasma karena larut kanker baru dan 580.350 kematian akibat kanker terjadi di
dalam lemak [69]. Amerika Serikat pada tahun 2013 dan Leukemia menyumbang
48.610 kasus baru dan sekitar 23.720 kematian [78]. Leukemia
adalah kanker darah atau sumsum tulang yang ditandai
dengan proliferasi dan sirkulasi abnormal sel hematopoietik
klonal yang belum matang. Penyakit yang berhubungan
dengan leukemia sering disebut sebagai neoplasma
Mekanisme kerja antioksidan hematologi dan merupakan salah satu dari 10 kanker
Antioksidan enzimatik yang paling efisien adalah superoksida pembunuh di AS dan kanker yang paling sering didiagnosis
dismutase (SOD) dan katalase (CAT). Aktivitas SOD melindungi sel dan penyebab utama kematian akibat kanker pada anak-anak
dari kerusakan akibat radikal bebas dengan mengkatalisasi berusia 0-19 tahun [79,80].
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 6 dari 15
laporan program, sekitar 302.800 orang hidup dengan leukemia di Jenis-jenis leukemia
Amerika Serikat. Sekitar 52.380 kasus baru diperkirakan pada tahun Leukemia diklasifikasikan berdasarkan; onset (akut atau
2014, yang menyumbang 3,1% dari semua kasus kanker baru. Juga, kronis), jenis sel darah yang terkena (limfoblastik/limfositik
24.090 kematian diperkirakan terjadi di AS pada tahun 2014 karena atau myeloid/myelogenous), tahap kematangan sel darah
leukemia yang mewakili 4,1% dari semua kematian akibat kanker [81]. dan ekspresi fenotipik penyakit. Ada empat jenis klinis
Kematian global akibat leukemia pada tahun 2010 adalah sekitar utama leukemia dan ada juga subtipe patologis yang
281.500 [82]. Pada tahun 2000, leukemia menyumbang sekitar 3% dari berbeda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Jenis
tujuh juta kematian akibat kanker dan sekitar 0,35% dari semua leukemia yang umum adalah; leukemia myeloid akut
kematian akibat penyebab apa pun di seluruh dunia [83]. Ada (AML), leukemia limfoblastik akut (ALL), leukemia myeloid
perbedaan ras dalam prevalensi leukemia; anak-anak Amerika kulit kronis (CML), leukemia limfositik kronis (CLL), dan leukemia
putih hampir dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan leukemia promyelocytic akut (APL) [87] seperti yang diilustrasikan
daripada anak-anak Amerika kulit hitam dan anak laki-laki lebih pada Gambar 4. AML selanjutnya dibagi menjadi delapan
mungkin terkena daripada anak perempuan. Hispanik di bawah usia 20 subtipe berdasarkan sel leukemia berkembang dari:
tahun berada pada risiko tertinggi untuk leukemia, sementara orang Myeloblastik (M0), Myeloblastik (M1) - tanpa pematangan,
kulit putih, penduduk asli Amerika, Asia, dan Penduduk Asli Alaska Myeloblastik (M2) - dengan pematangan, Promyeloctic
berisiko lebih tinggi daripada orang kulit hitam. Sekitar 30 persen lebih (M3), Myelomonocytic (M4), Monocytic (M5), Eritroleukemia
banyak pria daripada wanita yang didiagnosis menderita leukemia dan (M6) dan Megakariosit (M7) [89]. Sub-tipe lainnya
meninggal karena penyakit tersebut [78]. Tetapi lebih dari 90% dari termasuk; leukemia sel berbulu, leukemia myelomonocytic
semua leukemia didiagnosis pada orang dewasa dengan insiden kronis (CMML), leukemia myelomonocytic remaja (JMML)
puncak antara 40 dan 60 tahun [84]. terlihat sebagian besar pada anak-anak dan dapat
disembuhkan menggunakan transplantasi sel induk
Leukemogenesis hematopoietik (HSCT) [79,90,91].
Leukemia berkembang ketika sel punca
hematopoietik kehilangan kapasitas untuk Leukemia mieloid akut
berdiferensiasi secara normal menjadi sel darah Leukemia mieloid akut (AML) yang dikenal dengan nama yang
matur pada berbagai tahap pematangan dan berbeda seperti leukemia myelogenous akut, leukemia
diferensiasinya [85]. Dalam proses normal, semua granulositik akut atau leukemia non-limfositik akut adalah
sel darah berasal dari sel induk darah dengan jalur neoplasma ganas yang berasal dari sel-sel di dalam sumsum
myeloid menghasilkan sel darah merah, trombosit, tulang. AML dapat dibagi menjadi lima jenis utama: AML
dan sel darah putih, dan jalur limfoid menghasilkan dengan kelainan genetik (misalnya t[8;21], t(15;17), t(9;22) ),
berbagai jenis limfosit [80]. Sistem hematopoietik ini AML dengan mutasi FLT3, AML dengan displasia multilineage,
menghasilkan jumlah sel darah yang dibutuhkan terkait terapi AML, dan AML tidak dikategorikan [84]. Namun,
selama hidup individu dan melibatkan mekanisme Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kompres jenis AML
diferensiasi, proliferasi, dan pembaruan diri yang menjadi tiga subkelompok: (1) AML dengan kelainan genetik
seimbang secara hati-hati [86]. berulang, (2) AML dengan displasia multilineage, dan (3) AML
dan MDS (sindrom myelodysplastic), terkait terapi [92]. AML
adalah jenis leukemia kedua yang paling umum pada anak-
anak [93] dan mempengaruhi kelompok heterogen populasi
sel tumor termasuk myeloblast, myelocyte, promyelocyte, dan
mielomonosit. Dia
Hiperdiploidi
TDT+
Myelogenous Akut (AML) 15 - 39 Insiden yang sama Tidak ada mieloblas TDT-
Mielosit t(9;22)
Promielosit t(15;17)
mielomonosit
Mielogen Kronis (CML) > 50 laki-laki Tidak ada Sel mieloid Ph1 kromosom
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 7 dari 15
Gambar 4 Jenis utama leukemia: AML- leukemia myeloid akut; SEMUA- leukemia limfoblastik akut; CML- leukemia myeloid kronis;
CLL- leukemia limfoblastik kronis.
digambarkan sebagai akut karena AML berkembang dengan cepat termasuk kemoterapi, terapi radiasi, transplantasi sel
tanpa pengobatan. Sel myeloid primitif tidak berkembang dengan induk dan/atau imunoterapi [81,89].
baik dan tidak dapat menjalankan fungsi normal sel darah [79].
Akibatnya aktivitas seluler dan molekuler mengalami malfungsi Leukemia Mielogenus Kronis (CML)
yang menyebabkan kerusakan DNA, peningkatan proliferasi, CML juga disebut sebagai mieloid kronis, mielositik kronis
kematian sel yang kurang, ketidakstabilan genetik dan OS yang atau leukemia granulositik kronis, adalah kelainan
diinduksi ROS [10,94,95]. MDS adalah tumor ganas yang sangat mieloproliferatif klonal di mana sel-sel progenitor
mirip dengan AML dan dapat berkembang menjadi AML [96]. MDS hematopoietik primitif yang diubah didorong ke dalam
ditandai dengan sitopenia yang merupakan predisposisi infeksi, sirkulasi. CML ditandai dengan peningkatan proliferasi sel
perdarahan, dan kematian [96]. Sebagian besar AML dapat granulosit tanpa kehilangan kapasitasnya untuk
dicirikan oleh ekspresi antigen leukemia limfoblastik akut umum berdiferensiasi. CML dicirikan oleh Philadelphia (Ph1)
(CALLA) yang merupakan protein membran integral 749- asam kromosom dan merupakan penyakit keganasan manusia
amino tipe II [97]. WHO merekomendasikan penggunaan pertama yang terkait dengan translokasi gen di mana
parameter sitogenetika berikut untuk menentukan AML untuk kelainan spesifik kariotipe dapat dikaitkan dengan proses
menghindari ambiguitas, kesalahan karakterisasi, dan kesalahan patogen leukemogenesis [103]. Philadelphia (Pho1)
diagnosis AML; pasien dengan kelainan sitogenetik berulang kromosom dibuat dari gen fusi bcr-abl, yang merupakan
spesifik t(8;21)(q22;q22), inv(16) (p13q22) atau t(16;16)(p13;q22), hasil dari translokasi resiprokal antara bisa onkogen pada
dan t(15;17)(q22;q12 ) terlepas dari persentase ledakan [84]. Baik lengan panjang kromosom 9 dan bcr daerah pada lengan
predisposisi genetik dan faktor risiko lingkungan seperti radiasi, panjang kromosom 22, t(9;22) (q34;q11). Gen fusi bcr-abl
merokok dan paparan karsinogen lingkungan lainnya telah terlihat pada lebih dari 90% kasus CML [104,105].
dikaitkan dengan patogenesis AML. Sebuah studi sebelumnya oleh Prognosis umumnya buruk dan lebih buruk jika tidak ada
Zhuo et al. [98] menunjukkan bahwa polimorfisme CYP1A1 MspI Ph1 kromosom. Pada CML fase kronis sering diikuti oleh
mungkin menjadi faktor risiko yang mungkin untuk AML pada fase blastik yang dipercepat, fase penyakit yang lebih akut,
populasi Asia. Prognosis AML umumnya buruk tetapi prognosis yang umumnya berakibat fatal [103]. Dalam studi
terbaik adalah dengan transplantasi sumsum tulang [99]. patogenesis CML, Long et al. [106] mengevaluasi peran
Leukemia akut mungkin juga memiliki sel blas yang Sudan Black jalur pensinyalan Hedgehog (Hh), dan melaporkan bahwa
dan terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) positif [100]. gen terkait Hh seperti Sonic hedgehog (Shh), Smoothened
Tingkat kelangsungan hidup AML sangat tipis sehingga (Smo), dan gen Gli1 secara signifikan diregulasi pada
memerlukan pengembangan terapi pengobatan yang lebih efektif pasien CML bila dibandingkan dengan orang normal.
[101.102]. Pengobatan untuk AML mungkin Mereka menyimpulkan bahwa pensinyalan Hh mungkin
terkait dengan perkembangan CML [106].
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 8 dari 15
Perawatan untuk CML mungkin termasuk terapi radiasi, asam retinoat (ATRA) dan arsenik trioksida (ATO) telah efektif
kemoterapi, transplantasi sel induk dan/atau imunoterapi. dalam mengobati APL terutama pada pasien yang baru
Pengobatan umum untuk leukemia kronis adalah kemoterapi didiagnosis. Namun, ATRA dengan kemoterapi berbasis
oral seperti Gleevec (imatinib), Sprycel (dasatinib) dan Tasigna antrasiklin untuk induksi dan konsolidasi dan penggunaan
(nilotinib) [89]. tambahan pemeliharaan dosis rendah ATRA dianggap sebagai
protokol pengobatan standar [110]. ATRA telah dilaporkan
Leukemia Mielomonositik Kronis (CMML) untuk mengerahkan tindakan terapeutik melawan kanker APL
CMML adalah keganasan agresif yang ditandai dengan melalui induksi diferensiasi sel melalui mekanisme yang
hematopoiesis yang tidak efektif dan monositosis perifer. Itu mencakup degradasi gen PML-RARA [119] dan penghambatan
sebelumnya diklasifikasikan sebagai subtipe dari sindrom jalur metabolisme asam arakidonat di sel kanker lainnya [119].
myelodysplastic (MDSs) tetapi baru-baru ini ditunjukkan
sebagai entitas yang berbeda dengan karakteristik yang
berbeda [107]. Namun, itu ditempatkan di bawah penyakit Leukemia Limfoblastik Akut (ALL)
myelodysplastic/myeloproliferative campuran dalam klasifikasi ALL adalah penyakit yang ditandai dengan proliferasi dan
WHO [108]. Sekitar 20 hingga 40 persen pasien CMML terhentinya maturasi sel-sel progenitor limfoid di sumsum tulang
memiliki kelainan kromosom dengan 1 hingga 4 persen yang tidak terkontrol yang mengakibatkan kelebihan sel-sel ganas.
mengalami translokasi yang melibatkan gen PDGFR-β dan TEL Limfoblas menggantikan elemen sumsum normal, menghasilkan
[90]. Kemoterapi dengan imatinib telah berhasil dalam penurunan yang nyata dalam produksi sel darah normal yang
pengobatan atau pasien dengan mutasi gen PDGFR-β dan TEL menyebabkan berbagai tingkat anemia, trombositopenia, dan
[109]. neutropenia [120]. ALL adalah kanker yang paling umum
ditemukan pada anak-anak dan menyumbang lebih dari 50%
Leukemia Promielositik Akut (APL) keganasan hematopoietik pada masa kanak-kanak. Tapi itu relatif
APL adalah bentuk leukemia myeloid akut di mana promyelocytes jarang pada orang dewasa, terhitung hanya 2-3% dari keganasan
abnormal mendominasi dan dapat mempengaruhi orang dewasa hematopoietik [120]. Ekspresi gen yang abnormal, yang biasanya
dan anak-anak tetapi kebanyakan anak-anak [110]. Produksi merupakan akibat dari translokasi kromosom, diduga sebagai
promyelocytes yang berlebihan menyebabkan kekurangan sel salah satu penyebab LLA. Pemeriksaan lesi sitogenetik pada Ph(+)
darah putih normal, sel darah merah dan trombosit dalam pada ALL menunjukkan bahwa translokasi sebagian besar kasus
sirkulasi, yang menyebabkan banyak tanda dan gejala yang ALL dengan break point pada minor cluster region (m-BCR)
diamati pada APL. Tanda dan gejala umum dapat terjadi seperti menimbulkan protein fusi (P190) [121]. Sebuah studi in-vitro
demam, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan sebelumnya menggunakan inhibitor glikogen sintase kinase-3β
tetapi koagulasi intravaskular diseminata adalah gejala yang (GSK-3β) menemukan bahwa itu terakumulasi secara signifikan
umum dan dapat mengancam jiwa. Tanda-tanda lain dari dalam inti sel SEMUA dibandingkan dengan sel kontrol; mengarah
keganasan termasuk leukopenia, kerentanan untuk ke downregulation NF-κB-target gen Survivin dan promosi
mengembangkan memar, titik-titik merah kecil di bawah kulit apoptosis di SEMUA sel in vitro [122]. Ini adalah penyakit yang
(petechiae), mimisan, perdarahan dari gusi, darah dalam urin dapat disembuhkan dengan tingkat kelangsungan hidup jangka
(hematuria), atau perdarahan menstruasi yang berlebihan [111], panjang yang diharapkan setidaknya 70%, bila diobati dengan
rendahnya jumlah merah sel darah (anemia), dan rasa lelah yang rejimen terapi modern. Perawatan kemoterapi umum untuk ALL
berlebihan (fatigue). Beberapa pasien mengalami nyeri tulang dan dimulai dengan kemoterapi induksi, di mana kombinasi obat
persendian ketika sel leukemia menyebar ke tulang dan digunakan untuk menghancurkan sel leukemia sebanyak mungkin
persendian [110]. Studi genetik menunjukkan bahwa sel-sel dari dan membuat jumlah darah menjadi normal [123]. Ini diikuti
sebagian besar pasien memiliki translokasi timbal balik yang dengan kemoterapi konsolidasi, untuk menghancurkan sel-sel
seimbang antara kromosom 15 dan 17 [112], yang menghasilkan leukemia yang tersisa yang tidak dapat dilihat dalam darah atau
transkrip fusi yang bergabung denganPML(promielosit) dan RAR-α sumsum tulang. Pasien dengan ALL juga dapat menerima
(gen reseptor asam retinoat-α) [113]. Gen leukemia promyelocytic kemoterapi pemeliharaan. Kursus kemoterapi yang kurang
(PML) yang terlibat dalam translokasi t(15;17) (q22;q12) adalah intensif ini digunakan untuk mengurangi risiko penyakit berulang
penekan pertumbuhan dan faktor pro-apoptosis [114,115]. setelah pengobatan selesai [123].
Gangguan gen PML oleh translokasi t (15:17) di APL bisa menjadi
penting dalam leukemogenesis karena proliferasi sel yang
dipercepat diamati ketika gen PML tersingkir [116.117]. APL paling Leukemia Limfositik Kronis (CLL)
sering didiagnosis sekitar usia 40, meskipun dapat didiagnosis CLL dimulai di sel B di sumsum tulang sebelum menyerang darah.
pada usia berapa pun. Prognosis pada orang dewasa lebih buruk Sel leukemia membutuhkan waktu lama untuk menumpuk di
daripada pada anak-anak tetapi prognosisnya lebih baik daripada darah tepi, sumsum tulang, dan jaringan limfoid dan mungkin
pada AML dan dapat disembuhkan pada anak-anak [118]. memakan waktu beberapa tahun sebelum gejala mulai muncul
Gabungan dari Semua-trans pada banyak orang [124]. Di Amerika Serikat
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 9 dari 15
sekitar 15.720 kasus baru CLL dan 4.600 kematian akan terjadi pada tahun 2014 [125]. Sebagian agen seperti iradiasi, sitokin inflamasi dan karsinogen kimia.
besar pasien CLL adalah orang tua, dengan usia rata-rata saat diagnosis 72 tahun dengan lebih ROS dan potensi redoks yang diubah dapat dianggap sebagai
banyak laki-laki daripada perempuan yang terkena. Juga, lebih banyak Kaukasia daripada Afrika- perubahan intraseluler utama yang mengatur protein kinase,
Amerika memiliki CLL dan jarang terlihat di antara penduduk Hispanik, penduduk asli Amerika, dan sehingga berfungsi sebagai komponen seluler penting yang
Asia [126]. Prognosisnya buruk dan merupakan satu-satunya leukemia dengan kemungkinan menghubungkan rangsangan eksternal dengan transduksi
kecenderungan genetik [124.126]. Gambaran CLL termasuk hipogammaglobulinemia dan infeksi sinyal dalam respons stres [137]. Seperti yang diamati
berulang karena gangguan imunitas humoral dan seluler [127]. Fitur lain yang diamati pada CLL sebelumnya, berbagai antioksidan menurun pada kanker,
adalah Trisomi 12 dan merupakan salah satu kelainan kromosom yang sering terlihat pada CLL sel aktivitas SOD dan CAT menurun pada SEMUA pasien. Aktivitas
B [128]. OS telah diakui berperan dalam pengembangan CLL dan respons pengobatan. Sebuah CAT yang berkurang diamati pada pasien yang baru
studi baru-baru ini mengevaluasi kerusakan terkait ROS pada limfosit dari pasien dengan limfosit B didiagnosis dan pasien pada kedua kelompok perlakuan yang
monoklonal dan CLL melaporkan peningkatan kadar DNA dan lipid yang dimodifikasi secara menunjukkan gangguan peran protektif enzim ini terhadap
oksidatif dalam serum pasien CLL yang tidak diobati karena peningkatan fosforilasi oksidatif dalam radikal bebas pada ALL dan leukemia limfositik kronis (CLL)
sel CLL. Selanjutnya, sel CLL beradaptasi dengan OS intrinsik dengan meningkatkan regulasi heme- [10,138]. Nishiura dkk. melaporkan peningkatan aktivitas SOD
oksigenase-1 (HO-1) yang responsif terhadap stres [117]. Ibrutinib disetujui untuk pengobatan serum pada leukemia akut dan menunjukkan bahwa regresi
pasien dengan CLL yang telah menerima setidaknya satu terapi sebelumnya. Ini juga disetujui leukemia disertai dengan penurunan kadar serum SOD [139].
untuk pasien limfoma sel mantel yang kambuh / refrakter [129]. Leukemia sel berbulu adalah jenis Demikian juga, ada penipisan GSH dalam limfosit yang
leukemia limfositik kronis [130]. Sel CLL beradaptasi dengan OS intrinsik dengan meningkatkan diisolasi dari darah pasien dengan CLL [140]. Temuan ini
regulasi heme-oksigenase-1 (HO-1) yang responsif terhadap stres [117]. Ibrutinib disetujui untuk menunjukkan bahwa ada perubahan dalam pertahanan
pengobatan pasien dengan CLL yang telah menerima setidaknya satu terapi sebelumnya. Ini juga antioksidan enzimatik, yang dapat mengganggu penghapusan
disetujui untuk pasien limfoma sel mantel yang kambuh / refrakter [129]. Leukemia sel berbulu langsung radikal bebas (pro-oksidan) dan dalam perlindungan
adalah jenis leukemia limfositik kronis [130]. Sel CLL beradaptasi dengan OS intrinsik dengan situs biologis [141].
meningkatkan regulasi heme-oksigenase-1 (HO-1) yang responsif terhadap stres [117]. Ibrutinib
disetujui untuk pengobatan pasien dengan CLL yang telah menerima setidaknya satu terapi Stres oksidatif dalam pengobatan leukemia
sebelumnya. Ini juga disetujui untuk pasien limfoma sel mantel yang kambuh / refrakter [129]. Secara tradisional, pengobatan yang tepat untuk setiap
Leukemia sel berbulu adalah jenis leukemia limfositik kronis [130]. penyakit leukemia tergantung terutama pada jenis leukemia,
usia, dan kesehatan umum pasien [89]. Obat sitotoksik saat ini
yang digunakan dalam terapi leukemia standar dirancang
Leukemia dan spesies oksigen reaktif untuk menyerang proses replikasi DNA dalam sel ganas, dan
Diakui dengan baik bahwa oksidan berperan dalam beberapa tahap karsinogenesis [53]. OS dikaitkan dengan berbagai tidak membedakan antara sel ganas dan tidak ganas karena
fenomena patologis, termasuk infeksi, peradangan, radiasi ultraviolet dan , peningkatan frekuensi mutasi [79] dan leukemia menargetkan proliferasi sel [142]. Menambah efek samping
promyelocytic akut [131]. Peningkatan generasi radikal bebas, terutama anion superoksida pada pasien leukemia dan toksik dari kemoterapi standar adalah masalah resistensi obat
peningkatan enzim pertahanan antioksidan, yang merupakan respon protektif adaptif, merupakan indikasi OS ringan [43]. dari klon diam [143]. Ini membuat penemuan langkah-langkah
Beberapa penelitian telah mengimplikasikan OS sebagai faktor dalam karsinogenesis [132.133]. Beberapa oksidan endogen pengobatan baru untuk leukemia sangat penting.
dianggap sebagai karsinogen alami yang penting dan dapat berkontribusi pada beberapa tahap transformasi ganas Menargetkan level ROS bisa menjadi pendekatan baru karena
[134,135]. ROS dapat menginduksi mutasi genetik serta perubahan kromosom dan dengan demikian berkontribusi pada level ROS lebih tinggi pada sel ganas daripada sel non-ganas.
perkembangan kanker dalam karsinogenesis bertingkat [133,136]. ROS juga dapat memicu utusan sekunder antar sel dan Terlepas dari efek negatif oksidan, beberapa mekanisme
dengan demikian memodulasi berbagai aspek fungsi seluler termasuk proliferasi, apoptosis, dan ekspresi gen [137]. ROS kerjanya telah ditemukan aplikasinya dalam pengobatan
memulai karsinogenesis dengan mengaktifkan kinase, mendenaturasi DNA melalui induksi poli ADP-ribosilasi protein penyakit ganas [6]. Sebaliknya, ada laporan yang
kromosom [134]. Kerusakan sel dari radikal bebas oksigen (OFR) ada di mana-mana dan mungkin signifikan dalam perluasan menunjukkan bahwa kondisi antioksidan mendorong
klon tumor dan perolehan sifat ganas [135]. Kaskade pensinyalan yang diaktifkan oleh stres dipengaruhi oleh potensi redoks beberapa proses karsinogenik [144]. Kedua proses
yang diubah karena ROS yang dibentuk oleh genotoksik eksogen ROS juga dapat memicu utusan sekunder antar sel dan antioksidan dan oksidan sedang dieksplorasi untuk
dengan demikian memodulasi berbagai aspek fungsi seluler termasuk proliferasi, apoptosis, dan ekspresi gen [137]. ROS pengobatan keganasan hematologi. Lau dan rekan penulis
memulai karsinogenesis dengan mengaktifkan kinase, mendenaturasi DNA melalui induksi poli ADP-ribosilasi protein dalam ulasan mereka membahas aplikasi potensial ROS dalam
kromosom [134]. Kerusakan sel dari radikal bebas oksigen (OFR) ada di mana-mana dan mungkin signifikan dalam perluasan pengobatan leukemia [6]. Seperti yang diilustrasikan pada
klon tumor dan perolehan sifat ganas [135]. Kaskade pensinyalan yang diaktifkan oleh stres dipengaruhi oleh potensi redoks Gambar 5, ada dua pendekatan yang diterapkan dalam
yang diubah karena ROS yang dibentuk oleh genotoksik eksogen ROS juga dapat memicu utusan sekunder antar sel dan menggunakan ROS untuk pengobatan leukemia; pengobatan
dengan demikian memodulasi berbagai aspek fungsi seluler termasuk proliferasi, apoptosis, dan ekspresi gen [137]. ROS oksidan dan pengobatan antioksidan. Pendekatan oksidan
memulai karsinogenesis dengan mengaktifkan kinase, mendenaturasi DNA melalui induksi poli ADP-ribosilasi protein dapat menyebabkan kematian sel dengan: meningkatkan
kromosom [134]. Kerusakan sel dari radikal bebas oksigen (OFR) ada di mana-mana dan mungkin signifikan dalam perluasan ROS, peroksidasi lipid, oksidasi dan mutasi protein,
klon tumor dan perolehan sifat ganas [135]. Kaskade pensinyalan yang diaktifkan oleh stres dipengaruhi oleh potensi redoks meningkatkan stres mitokondria, apoptosis, dan aktivasi pos
yang diubah karena ROS yang dibentuk oleh genotoksik eksogen Kerusakan sel dari radikal bebas oksigen (OFR) ada di pemeriksaan siklus sel fase G2/M [145]. Mekanisme
mana-mana dan mungkin signifikan dalam perluasan klon tumor dan perolehan sifat ganas [135]. Kaskade pensinyalan yang antioksidan menggunakan reaksi berikut untuk
diaktifkan oleh stres dipengaruhi oleh potensi redoks yang diubah karena ROS yang dibentuk oleh genotoksik eksogen menyeimbangkan efek negatif dari proses oksidan:
berkurangnya
Kerusakan sel dari radikal bebas oksigen (OFR) ada di mana-mana dan mungkin signifikan dalam perluasan klon tumor dan perolehan sinyal yang
sifat ganas [135]. Kaskade pensinyalan ROS, berkurangnya
diaktifkan dorongan
oleh stres dipengaruhi oleh proliferasi,
potensi redoks yang diubah karena ROS yang dibentuk oleh genotoks
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 10 dari 15
Gambar 5 Pengobatan antioksidan versus pengobatan pro-oksidan sebagai terapi untuk keganasan hematologi.
membebani dan menyangga sel-sel nonmalignant dari kerusakan pengobatan leukemia nonlimfositik akut dan stres oksidatif
oksidatif [146]. Kombinasi antioksidan dan agen kemoterapi merupakan salah satu pemicu respon tubuh terhadap obat ini
memiliki efek sinergis yang menjanjikan, namun, beberapa [152]. Dalam sebuah penelitian dari laboratorium kami, kami
berpendapat bahwa penekanan siklus sel dan antagonisme ROS menunjukkan bahwa suplemen makanan seperti bawang
yang diinduksi kemoterapi juga dapat mempengaruhi kemanjuran putih menginduksi sitotoksisitas dan apoptosis pada sel HL-60
pengobatan [147]. Antioksidan vitamin telah terbukti mengurangi melalui eksternalisasi fosfatidilserin, aktivasi caspase-3, dan
risiko berbagai kanker dengan menekan keadaan OS [148.149]. fragmentasi DNA nukleosom yang terkait dengan
Demikian juga, antioksidan vitamin C dan E dari suplemen telah pembentukan malondialdehid, produk sampingan dari
menunjukkan harapan dalam mengurangi risiko kanker ovarium peroksidasi lipid. dan biomarker OS [153].
[149]. Penerapan prinsip antioksidan dapat menimbulkan efek yang sama, misalnya
Pengobatan pro-oksidan dapat menyebabkan penghambatan antioksidan intraseluler seperti GSH [154] dan heme oksigenase-1
penipisan pertahanan antioksidan yang mengarah ke (HO-1) [155]. Isothiocyanates dan adaphostine adalah obat prooksidan lainnya.
lebih banyak produksi ROS di luar tingkat yang Isothiocyanates bertindak dengan menghabiskan kumpulan GSH, dan secara
dihasilkan oleh sel ganas [31]. Meskipun mungkin sulit, efisien membunuh sel leukemia limfositik kronis (CLL) yang resisten terhadap
sangat penting untuk menentukan tingkat ROS optimal fludarabine [156] dan sel CML yang resistan terhadap imatinib, [157] secara selektif
yang paling efisien dan efektif dalam pengobatan tanpa menyerang sel hematopoietik normal. Adaphostine, inhibitor tyrphostin
Leukemia, hanya garis tipis yang memisahkan tingkat kinase mampu menginduksi up-regulasi ROS dan menyebabkan kerusakan DNA
yang menguntungkan dan tingkat yang merusak dari yang diinduksi apoptosis pada CML yang mengekspresikan BCR-ABL [158]. Obat
ROS [150]. Misalnya ketika stres intrinsik yang sudah leukemia lain yang memiliki sifat pro-oksidan termasuk arsenik trioksida (ATO)
ada dalam sel-sel ganas digandakan oleh pengobatan yang saat ini digunakan untuk pengobatan APL yang kambuh yang dapat berfungsi
yang diinduksi sel-sel ganas OS dapat peka terhadap dengan menghambat thioredoxin [159], menginduksi produksi ROS [160] atau
pengobatan andalan atau memulai jalur apoptosis [31]. aktivasi NOX [161]. Namun, Jeanne dan peneliti inti menyarankan bahwa produksi
Hal ini sebaliknya dapat memicu peroksidasi lipid, ROS yang diinduksi ATO memainkan peran penting dalam degradasi protein fusi
oksidasi residu redokssensitif dalam protein, dan PML-RARα dalam sel APL yang diobati dengan ATO [162]. Isothiocyanate ketika
oksidasi DNA yang menyebabkan peningkatan beban digunakan bersama dengan ATO efektif dalam membunuh garis sel turunan CML
tumor [147.150]. Seperti yang diamati dengan dan AML secara in vitro [163]. Dalam penelitian in vitro baru-baru ini, kami
mitokondria, aktivasi caspase, dan kematian sel apoptosis memainkan peran kunci dalam jalur apoptosis mitokondria yang diinduksi ATO
[151]. Daunorubisin antrasiklin banyak digunakan dalam dalam sel HL-60. Kami menemukan bahwa pensinyalan apoptosis ini
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 11 dari 15
dikaitkan dengan kerusakan DNA, perubahan Peningkatan OS pada beberapa leukemia myeloid mungkin
potensial membran mitokondria, aktivasi dan menjadi target terapi yang menjanjikan. Terlepas dari efek negatif
translokasi protein proapoptosis, dan OS ke sel, memanfaatkan kemungkinan penerapan aktivitasnya
downregulation protein anti-apoptosis [2]. Temuan untuk kemampuan terapeutik patut dilakukan karena bahkan obat
ini mendukung penelitian sebelumnya dari pengobatan leukemia saat ini memiliki efek sitotoksik juga.
laboratorium kami yang melaporkan eksternalisasi Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan sumber dan
fosfatidilserin dan aktivasi caspase 3 dan spesies ROS yang dihasilkan oleh sel leukemia dan apakah ROS
fragmentasi DNA nukleosom dalam sel HL-60 yang yang memiliki efek terapeutik berasal dari metabolisme sel normal
terpapar ATO [164]. Sebuah studi terbaru dari atau dari populasi sel ganas. Pengetahuan bahwa OS menginduksi
laboratorium kami juga telah menunjukkan bahwa peroksidasi lipid dan karbonilasi protein dengan menonaktifkan
vitamin D3 (Vit D3) mempotensiasi efek antitumor enzim antioksidan dapat digunakan untuk menentukan cara yang
ATO dalam sel HL-60. Potensiasi ini dimediasi efisien dan efektif untuk meningkatkan produksi endogen dan
setidaknya sebagian, melalui induksi eksternalisasi penggabungan antioksidan ke dalam makanan untuk menetralkan
fosfatidilserin dan fragmentasi DNA nukleosom radikal bebas yang dihasilkan oleh metabolisme seluler. Ini dapat
[165]. Juga, kami sebelumnya melaporkan potensiasi berfungsi sebagai profilaksis ampuh untuk berbagai leukemia
serupa dari efek ATO oleh vitamin C [166.167]. karena sebagian besar kanker berkembang di bawah lingkungan
OS. Sangat menggembirakan bahwa beberapa obat berdasarkan
mekanisme oksidatif sedang dalam tahap uji klinis. Studi lebih
Molekul antioksidan dapat digunakan untuk menekan tingkat lanjut diperlukan untuk memahami efektivitas, efek jangka
tinggi ROS yang diamati pada beberapa sel kanker. Misalnya panjang dan konsekuensi dari penggunaan obat tersebut.
menargetkan ROS yang diturunkan dari NOX4 yang meningkatkan
kelangsungan hidup di beberapa kanker pankreas bisa efektif
dalam penghentian pertumbuhan [168]. Juga, pengobatan Singkatan
ALA: asam alfa lipoat; SEMUA: Leukemia limfoblastik akut; AML: Leukemia mieloid
antioksidan dapat mengurangi toksisitas terkait kemoterapi, akut; Ang II: Angiotensin II; ATO: Arsenik trioksida; ATRA: Semua-trans asam
mengurangi persyaratan pengurangan dosis pada beberapa retinoat; CALLA: Antigen leukemia limfoblastik akut yang umum; CAT: Katalase;
pasien dan memungkinkan peningkatan proporsi pasien untuk CLL: Leukemia limfoblastik kronis; CML: Leukemia mieloid kronis; CMML: Leukemia
mielomonositik kronis; CoQ10: Koenzim Q10; GPx: Glutathione peroksidase; GSH:
menyelesaikan terapi mereka [169]. Studi lain menunjukkan tren Glutation; GSK-3β: Glikogen sintase kinase-3β; Hh: Landak; HO-1: Heme-
kelangsungan hidup bebas perkembangan klinis yang lebih lama oksigenase-1; HSC: Sel induk hematopoietik; HSCT: Transplantasi sel induk
dan kelangsungan hidup secara keseluruhan pada pasien CML hematopoietik; JMML: Leukemia mielomonositik remaja; MBL: limfositosis sel B
monoklonal;
ketika mereka diobati dengan vitamin A dalam kombinasi dengan MDS: Sindrom mielodisplastik; MMP-1: Matriks metalopeptidase 1; NADPH:
kemoterapi standar, meskipun tren ini tidak signifikan [170]. Nikotinamida adenin dinukleotida fosfat; NCI: Institut Kanker Nasional; OFR:
Gambar 5 mengilustrasikan keterlibatan pengobatan oksidan dan Radikal bebas oksigen; OS: Stres oksidatif; PML: Gen leukemia promyelocytic;
PPARγ: Gamma reseptor yang diaktifkan proliferator peroksisom; RNI: Zat antara
antioksidan dalam pengendalian kanker leukemia. nitrogen reaktif; RNS: Spesies nitrogen reaktif;
ROS: Spesies oksigen reaktif; SIER: Pengawasan, epidemiologi, dan hasil
Kesimpulan akhir; Sst: Landak sonik; SOD: Superoksida dismutase; STAT3: Transduser
sinyal dan penggerak transkripsi 3; SYK: tirosin kinase limpa; TBARS: Zat
OS memiliki efek menguntungkan dan negatif pada reaktif asam tiobarbiturat; TdT: Deoxynucleotidyl transferase; WHO:
leukemogenesis. Sebagian besar gen yang mengatur proses Organisasi Kesehatan Dunia; XO: Xantin oksidase.
redoks memiliki aktivitas pedang bermata dua. Hal ini membuat
sulit untuk menentukan titik optimal untuk memanfaatkan atribut Kepentingan yang bersaing
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan yang bersaing.
terapeutik karena hanya garis yang sangat tipis yang memisahkan
sifat onkogenik dari aktivitas penekan tumor. Pemahaman yang
Kontribusi penulis
lebih baik tentang hubungan antara OS dan leukemogenesis akan UKU dan PBT menyusun penelitian tersebut. UKU mengumpulkan literatur.
memberikan lebih banyak wawasan tentang bagaimana PBT merancang naskah. Kedua penulis menulis dan mengedit naskah. Kedua
penulis membaca dan menyetujui naskah akhir.
memperbaiki efek merusaknya dan bagaimana memanfaatkan
atribut yang bermanfaat. Diketahui bahwa ROS menyebabkan
Pengakuan
kerusakan oksidatif nonspesifik pada biomolekul dalam sel Pekerjaan ini didukung oleh NIH Grant # G12MD007581.
myeloid, dalam kondisi ini terjadi peningkatan kadar ROS secara
Diterima: 25 November 2014 Diterima: 1 Desember 2014
terus-menerus dan penipisan pertahanan antioksidan sel yang
berpuncak pada induksi kanker. Proses lain adalah hiperaktivasi
jalur pensinyalan ROS. Kemajuan yang signifikan telah dibuat Referensi
dalam mengembangkan langkah-langkah terapi untuk berbagai 1. Finkel T: Sinyal oksidan dan stres oksidatif. Curr Opin Cell Biol 2003, 15:247–
jenis leukemia dan beberapa dapat disembuhkan sementara 254.
2. Kumar S, Yedjou CG, Tchounwou PB: Arsenik trioksida menginduksi stres
pengobatan untuk beberapa seperti, leukemia myeloid masih oksidatif, kerusakan DNA, dan jalur mitokondria dari apoptosis pada sel
sulit. Strategi terapi baru yang efektif diperlukan. leukemia manusia (HL-60). J Exp Klinik Kanker Res 2014, 33:42.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 12 dari 15
3. Ristow M, Zarse K: Bagaimana peningkatan stres oksidatif meningkatkan umur 27. Maraldi T, Prata C, Vieceli Dalla Sega F, Caliceti C, Zambonin L, Fiorentini D, Hakim G:
panjang dan kesehatan metabolisme: Konsep hormesis mitokondria NAD(P)H oksidase isoform Nox2 memainkan peran prosurvival dalam sel leukemia
(mitohormesis). Exp Gerontol 2010, 45:410–418. manusia. Resolusi Radikal Bebas 2009, 43:1111-1121.
4. Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MT, Mazur M, Telser J: Radikal bebas dan 28. Naughton R, Quiney C, Turner SD, Cotter TG: Regulasi redoks yang
antioksidan dalam fungsi fisiologis normal dan penyakit manusia. dimediasi Bcr-Abl dari jalur PI3K / AKT. Leukemia 2009, 23:1432–1440.
Biokimia Sel Biochem Int J 2007, 39:44–84. 29. Arnold RS, He J, Remo A, Ritsick D, Yin-Goen Q, Lambeth JD, Datta MW, Young AN,
5. Weinberg F, Chandel NS: Pensinyalan yang bergantung pada spesies oksigen reaktif Petros JA: Ekspresi Nox1 menentukan oksigen reaktif seluler dan memodulasi
mengatur kanker Ilmu Kehidupan Sel Mol 2009, 66:3663–3673. faktor pertumbuhan yang diinduksi c-fos, interleukin-8, dan Cav-1. Am J Pathol
6. Lau AT, Wang Y, Chiu JF: Spesies oksigen reaktif: pengetahuan dan 2007, 171:2021–2032.
aplikasi terkini dalam penelitian dan terapi kanker. Biokimia Sel J 2008, 30. Wu WS, Wu JR, Hu CT: Pembicaraan silang sinyal untuk aktivasi MAPK
104:657–667. berkelanjutan dan migrasi sel: peran potensial spesies oksigen reaktif.
7. Renschler MF: Peran yang muncul dari spesies oksigen reaktif dalam terapi Metastasis Kanker Rev 2008, 27:303–314.
kanker. Kanker Eur J 2004, 40:1934–1940. 31. Trachootham D, Alexandre J, Huang P: Menargetkan sel kanker dengan
8. Kumar B, Koul S, Khandrika L, Meacham RB, Koul HK: Stres oksidatif melekat mekanisme yang dimediasi ROS: pendekatan terapi radikal? Penemuan Obat
pada sel kanker prostat dan diperlukan untuk fenotipe agresif. Res Nat Rev 2009, 8:579–591.
Kanker 2008, 68:1777–1785. 32. Gorrini C, Harris IS, Mak TW: Modulasi stres oksidatif sebagai strategi
9. Goreng L, Arbiser JL: Tumor yang digerakkan oleh oksigen reaktif: relevansi antikanker. Penemuan Obat Nat Rev 2013, 12:931–947.
dengan melanoma. Pigmen Sel Melanoma Res 2008, 21:117-122. 33. Jones DP: Biologi bebas radikal dari stres oksidatif. Am J Physiol Sel Fisiol 2008,
10. Battisti V, Maders LD, Bagatini MD, Santos KF, Spanevello RM, Maldonado PA, 295:C849–C868.
Brulé AO, Araújo Mdo C, Schetinger MR, Morsch VM: Pengukuran stres 34. Valko M, Izakovic M, Mazur M, Rhodes CJ, Telser J: Peran radikal oksigen dalam
oksidatif dan status antioksidan pada pasien leukemia limfoblastik akut. kerusakan DNA dan kejadian kanker. Biokimia Sel Mol 2004, 266:37–56.
Klinik Biokimia 2008, 41:511–518. 35. Arrigo AP: Ekspresi gen dan keadaan redoks tiol. Gratis Radic Biol Med 1999,
11. Farquhar MJ, Bowen DT: Stres oksidatif dan sindrom 27:936–944.
myelodysplastic. Int J Hematol 2003, 77:342–350. 36. Finkel T, Holbrook NJ: Oksidator, stres oksidatif dan biologi
12. Sallmir A, Fan J, Rassool FV: Ketidakstabilan genom pada keganasan myeloid: penuaan. Alam 2000, 408:239–247.
peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS), pemutusan untai ganda DNA (DSB) dan 37. Natan C: Kekhususan jenis ketiga: oksigen reaktif dan zat antara
perbaikan rawan kesalahan. Kanker Lett 2008, 270:1–9. nitrogen dalam pensinyalan sel. J Clin Invest 2003, 111:769–778.
13. Wilson JN, Pierce JD, Clancy RL: Spesies oksigen reaktif pada sindrom 38. Kroncke KD: Stres nitrosatif dan transkripsi. Biol Kimia 2003,
gangguan pernapasan akut. Paru-Paru Jantung 2001, 30:370–375. 384:1365–1377.
14. Dugan LL, KL Cepat: Spesies oksigen reaktif dan penuaan: pertanyaan yang 39. Halliwell B, Gutteridge J: Radikal bebas dalam biologi dan kedokteran. edisi ke-3.
berkembang. Lingkungan Pengetahuan Penuaan Sains 2005, 2005:e20. Oxford: Clarendon; 1999.
15. Hensley K, Butterfield DA, Hall N, Cole P, Subramaniam R, Mark R, Mattson 40. Niklowitz P, Wiesel T, Andler W, Menke T: Konsentrasi koenzim Q10 dalam
MP, Markesbery WR, Harris ME, Aksenov M, Aksenova M, Wu JF, Carney JM: plasma anak-anak yang menderita leukemia limfoblastik akut sebelum dan
Spesies oksigen reaktif sebagai agen penyebab dalam neurotoksisitas dari selama pengobatan induksi. Biofaktor 2007, 29:83–89.
peptida beta amiloid terkait penyakit Alzheimer. Ann NY Acad Sci 1996, 786: 41. Liu CX, Zhou HC, Yin QQ, Wu YL, Chen GQ: Menargetkan peroxiredoxins
120–134. melawan leukemia. Exp Cell Res 2013, 319:170-176.
16. Halliwell B: Radikal bebas, spesies oksigen reaktif dan penyakit manusia: 42. Valko M, Rhodes CJ, Moncol J, Izakovic M, Mazur M: Radikal bebas, logam dan
evaluasi kritis dengan referensi khusus untuk aterosklerosis. Br J Exp Pathol antioksidan pada kanker yang diinduksi stres oksidatif. Interaksi Chem Biol 2006,
1989, 70:737–757. 160:1–40.
17. Touyz RM: Spesies oksigen reaktif dan pensinyalan angiotensin II dalam sel 43. Devi GS, Prasad MH, Saraswathi I, Raghu D, Rao DN, Reddy PP: Enzim
vaskular – implikasi pada penyakit kardiovaskular. Braz J Med Biol Res 2004, antioksidan radikal bebas dan peroksidasi lipid dalam berbagai jenis
37:1263–1273. leukemia. Clin Chim Acta 2000, 293:53–62.
18. Muhammad S, Bierhaus A, Schwaninger M: Spesies oksigen reaktif pada kerusakan 44. Poli G, Leonarduzzi G, Biasi F, Chiarpotto E: Stres oksidatif dan
pembuluh darah yang diinduksi diabetes, stroke, dan penyakit Alzheimer. pensinyalan sel. Curr Med Chem 2004, 11:1163-1182.
J Alzheimers Dis 2009, 16:775–785. 45. Inoue M, Sato EF, Nishikawa M, Park AM, Kira Y, Imada I, Utsumi K: Generasi
19. Di VF: Jalur baru untuk generasi spesies oksigen reaktif dalam peradangan mitokondria spesies oksigen reaktif dan perannya dalam kehidupan aerobik.
dan target farmakologis baru yang potensial. Curr Farm Des 2004, 10: Curr Med Chem 2003, 10:2495–2505.
1647–1652. 46. Conner EM, Grisham MB: Peradangan, radikal bebas, dan antioksidan.
20. Moulton PJ: Penyakit sendi inflamasi: peran sitokin, Nutrisi 1996, 12:274–277.
siklooksigenase, dan spesies oksigen reaktif. Br J Biomed Sci 47. Ames BN, Shigenaga MK, Hagen TM: Oksidan, antioksidan, dan penyakit
1996, 53:317–324. degeneratif penuaan. Proc Natl Acad Sci USA 1993, 90:7915–7922.
21. Bolanos JP, Moro MA, Lizasoain I, Almeida A: Mitokondria dan
spesies oksigen dan nitrogen reaktif pada gangguan neurologis 48. Cadenas E: Biokimia toksisitas oksigen. Annu Rev Biochem 1989,
dan stroke: Implikasi terapeutik. Rev Pengiriman Obat Adv 2009, 58:79–110.
61:1299–1315. 49. Loschen G, Flohe L, Peluang B: Rantai pernapasan terkait produksi
22. Furukawa S, Fujita T, Shimabukuro M, Iwaki M, Yamada Y, Nakajima Y, Nakayama O, H(2)O(2) di mitokondria jantung merpati. FEBS Lett 1971, 18:261–264.
Makishima M, Matsuda M, Shimomura I: Peningkatan stres oksidatif pada obesitas 50. Li C, Jackson RM: Mekanisme spesies reaktif dari cedera hipoksiareoksigenasi
dan dampaknya pada sindrom metabolik. J Clin Invest 2004, 114:1752–1761. seluler. Am J Physiol Sel Fisiol 2002, 282:C227–C241.
51. Gupta M, Dobashi K, Greene EL, Orak JK, Singh I: Studi tentang cedera hati dan
23. Tieu K, Ischiropoulos H, Przedborski S: Oksida nitrat dan spesies oksigen reaktif aktivitas enzim antioksidan pada organel subseluler tikus setelah iskemia
pada penyakit Parkinson. Kehidupan IUBMB 2003, 55:329–335. dan reperfusi in vivo. Biokimia Sel Mol 1997, 176:337–347.
24. Kinnula VL, Fattman CL, Tan RJ, Oury TD: Stres oksidatif pada fibrosis paru: 52. Fransen M, Nordgren M, Wang B, Apanasets O: Peran peroksisom dalam
kemungkinan peran terapi modulasi redoks. Am J Respir Crit Care Med metabolisme ROS / RNS: implikasi untuk penyakit manusia. Biochim Biophys Acta
2005, 172:417–422. 1822, 2012:1363–1373.
25. Gelderman KA, Hultqvist M, Olsson LM, Bauer K, Pizzolla A, Olofsson P, 53. Reuter S, Gupta SC, Chaturvedi MM, Aggarwal BB: Stres oksidatif, peradangan, dan
Holmdahl R: Rheumatoid arthritis: peran spesies oksigen reaktif dalam kanker: bagaimana hubungannya? Gratis Radic Biol Med 2010, 49:1603–1616.
pengembangan penyakit dan strategi terapi. Sinyal Redoks Antioksidan
2007, 9:1541–1567. 54. Görlach A, Berchner-Pfannschmidt U, Wotzlaw C, Cool RH, Fandrey J, Acker H,
26. Jeremy JY, Shukla N, Muzaffar S, Handley A, Angelini GD: Spesies oksigen reaktif, Jungermann K, Kietzmann T: Spesies oksigen reaktif memodulasi ekspresi
penyakit pembuluh darah dan operasi kardiovaskular. Curr Vasc Pharmacol 2004, 2: PAI-1 yang dimediasi HIF-1: keterlibatan GTPase Rac1. Tromb Haemost
229–236. 2003, 89:926–935.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 13 dari 15
55. Velasco-Hernandez T, Hyrenius-Wittsten A, Rehn M, Bryder D, Cammenga J: HIF-1alpha 78. Siegel R, Naishadham D, Jemal A: Statistik kanker, 2013. CA Kanker J Klinik
dapat bertindak sebagai gen supresor tumor pada Leukemia Myeloid Akut murine. 2013, 63:11–30.
Darah 2014, 124(24):3597–3607. 79. Chung YJ, Robert C, Gough SM, Rassool FV, Aplan PD: Stres oksidatif
56. Surh YJ, Kundu JK, Na HK, Lee JS: Faktor transkripsi peka redoks menyebabkan peningkatan frekuensi mutasi pada model murine
sebagai target utama kemoprevensi dengan fitokimia anti- sindrom myelodysplastic. Leuk Res 2014, 38:95-102.
inflamasi dan antioksidan. J nutr 2005, 135:2993S–3001S. 80. CDC: Kanker Pada Anak, Pencegahan dan Pengendalian Kanker. http://
57. Eferl R, Wagner EF: AP-1: pedang bermata dua dalam tumorigenesis. www.cdc.gov/cancer/dcpc/data/children.htm. Diakses 6/5/2014. 2014.
Kanker Nat Rev 2003, 3:859–868. 81. NCI: Program Surveilans, Epidemiologi, dan Hasil Akhir (SIER), Stat Fact Sheets:
58. Verde P, Casalino L, Talotta F, Yaniv M, Weitzman JB: Menguraikan fungsi AP-1 Leukemia. http://seer.cancer.gov/statfacts/html/leuks.html. Diakses 6/5/2014.
dalam tumorigenesis: persaudaraan pada promotor target. Siklus sel 2007, 6: 2014. Institut Kanker Nasional.
2633–2639. 82. Lozano R, Naghavi M, Foreman K, Lim S, Shibuya K, Aboyans V, Abraham J,
59. Browatzki M, Larsen D, Pfeiffer CA, Gehrke SG, Schmidt J, Kranzhofer A, Katus HA, Adair T, Aggarwal R, Ahn SY, Alvarado M, Anderson HR, Anderson LM,
Kranzhofer R: Angiotensin II merangsang sekresi matriks metaloproteinase dalam Andrews KG, Atkinson C, Baddour LM, Barker-Collo S, Bartels DH, Bell ML,
sel otot polos pembuluh darah manusia melalui faktor-kappaB nuklir dan protein Benjamin EJ, Bennett D, Bhalla K, Bikbov B, Bin Abdulhak A, Birbeck G,
aktivator 1 dengan cara yang peka terhadap redoks. J Vasc Res 2005, 42:415–423. Blyth F, Bolliger I, Boufous S, Bucello C, Burch M, dkk: Kematian global dan regional
dari 235 penyebab kematian untuk 20 kelompok usia pada tahun 1990 dan 2010:
60. Saito T, Itoh H, Yamashita J, Doi K, Chun TH, Tanaka T, Inoue M, Masatsugu K, analisis sistematis untuk Global Burden of Disease Study 2010. Lanset 2012, 380:
Fukunaga Y, Sawada N, Sakaguchi S, Arai H, Tojo K, Tajima N, Hosoya T, 2095–2128.
Nakao K: Angiotensin II menekan ekspresi homeobox (Gax) spesifik penghambat 83. CD Mathers, Shibuya K, Boschi-Pinto C, Lopez AD, Murray CJ: Estimasi global dan
pertumbuhan melalui redoks-sensitif mitogen-activated protein kinase (MAPK). regional dari kematian dan insiden kanker berdasarkan lokasi: I.
Reguler Pept 2005, 127:159–167. Penerapan model kelangsungan hidup kanker regional untuk memperkirakan distribusi
61. Gorski DH, LePage DF, Patel CV, Copeland NG, Jenkins NA, Walsh K: Kloning molekuler kematian akibat kanker berdasarkan lokasi. Kanker BMC 2002, 2:36.
dari gen homeobox yang menyimpang yang dengan cepat diatur ke bawah selama 84. Vardiman JW, Harris NL, Brunning RD: Organisasi Kesehatan Dunia
transisi G0/G1 dalam sel otot polos pembuluh darah. Sel Mol Biola 1993, 13:3722– (WHO) klasifikasi neoplasma myeloid. Darah 2002, 100:2292–2302.
3733.
62. Gausdal G, Wergeland A, Skavland J, Nguyen E, Pendino F, Rouhee N, McCormack E, 85. Vyas P, Jacobsen SE: Sel induk leukemia pintar bercabang. Sel Induk Sel 2011,
Herfindal L, Kleppe R, Havemann U, Schwede F, Bruserud O, Gjertsen BT, Lanotte 8:242–244.
M, Ségal-Bendirdjian E, Døskeland JADI: AMP siklik dapat meningkatkan 86. Kennedy JA, Barabe F: Menyelidiki leukemogenesis manusia: dari garis sel
perkembangan APL dan melindungi sel leukemia myeloid terhadap apoptosis yang hingga model leukemia manusia in vivo. Leukemia 2008, 22:2029–2040.
diinduksi antrasiklin. Kematian Sel Dis 2013, 4:e516. 87. NCI: Leukemia, National Cancer Institute (NCI). http://www.cancer.gov/
63. Faber K, Bullinger L, Ragu C, Garding A, Mertens D, Miller C, Martin D, Walcher D, cancertopics/wyntk/leukemia/page1. Diakses 6/5/2014. 2014.
Döhner K, Döhner H, Claus R, Plass C, Sykes SM, Lane SW, Scholl C, Fröhling S: 88. Notta F, Mullighan CG, Wang JC, Poeppl A, Doulatov S, Phillips LA, Ma J,
Leukemogenesis yang digerakkan CDX2 melibatkan represi KLF4 dan Minden MD, Downing JR, Dick JE: Evolusi sel-sel pemicu leukemia
pensinyalan PPARgamma yang dideregulasi. J Clin Invest 2013, 123:299–314. limfoblastik BCR-ABL1 manusia. Alam 2011, 469:362–367.
89. CTCA: Jenis leukemia. http://www.cancercenter.com/leukemia/types/tab/
64. Liu Y, Elf SE, Asai T, Miyata Y, Liu Y, Sashida G, Huang G, Di Giandomenico S, chronic-myeloid-leukemia/, Pusat Perawatan Kanker Amerika (CTCA).
Koff A, Nimer SD: Protein penekan tumor p53 adalah pengatur penting Diakses pada 8/04/2014.
perilaku sel induk hematopoietik. Siklus sel 2009, 8:3120–3124. 90. Orazi A, Germing U: Neoplasma myelodysplastic/myeloproliferative: penyakit
65. Breksi M, Alimena G: Khasiat dan keamanan deferasirox pada myeloproliferative dengan fitur displastik. Leukemia 2008, 22:1308–1319.
sindrom myelodysplastic. Ann Hematol 2013, 92:863–870.
66. Uckun FM, Qazi S, Ma H, Tuel-Ahlgren L, Ozer Z: STAT3 adalah substrat SYK 91. Niemeyer CM, Kratz CP, Hasle H: Sindrom myelodysplastic pediatrik.
tirosin kinase dalam sel leukemia/limfoma garis B yang terpapar stres Pilihan Perawatan Curr Oncol 2005, 6:209–214.
oksidatif. Proc Natl Acad Sci USA 2010, 107:2902–2907. 92. Germing U, Gattermann N, Strupp C, Aivado M, Aul C: Validasi
67. Cadenas E, Davies KJ: Generasi radikal bebas mitokondria, stres oksidatif, proposal WHO untuk klasifikasi baru sindrom myelodysplastic
dan penuaan. Gratis Radic Biol Med 2000, 29:222–230. primer: analisis retrospektif dari 1600 pasien. Leuk Res 2000, 24:
68. Rizzo AM, Berselli P, Zava S, Montorfano G, Negroni M, Corsetto P, Berra B: 983–992.
Antioksidan endogen dan pemulung radikal. Adv Exp Med Biola 2010, 698: 93. Bhatia S, Neglia JP: Epidemiologi leukemia myelogenous akut masa
52–67. kanak-kanak. J Pediatr Hematol Oncol 1995, 17:94–100.
69. Burton GW, Ingold KU: Vitamin E sebagai antioksidan in vitro dan in vivo. 94. Austin C: Apakah kerusakan oksidatif berkontribusi pada pembentukan
Ann NY Acad Sci 1989, 570:7–22. leukemia? Leuk Res 2009, 33:1297.
70. Cai Y, Sun M, Corke H: Aktivitas antioksidan betalains dari tanaman 95. Zhou F, Zhang W, Wei Y, Zhou D, Su Z, Meng X, Hui L, Tian W:
amaranthaceae. J Agric Food Chem 2003, 51:2288–2294. Perubahan stres oksidatif dan ekspresi gen manusia 8-hidroksiguanin
71. Zheng W, Wang SY: Aktivitas antioksidan dan senyawa fenolik dalam glikosilase1 pada pasien depresi dengan leukemia akut. Leuk Res
herbal terpilih. J Agric Food Chem 2001, 49:5165–5170. 2007, 31:387–393.
72. Oberley LW, Buettner GR: Peran superoksida dismutase pada kanker: 96. Troy JD, Atallah E, Geyer JT, Saber W: Sindrom myelodysplastic di Amerika
ulasan. Res Kanker 1979, 39:1141-1149. Serikat: pembaruan untuk dokter. Ann Med 2014, 46(5):283–289.
73. Manoharan S, Kolanjiappan K, Kayalvizhi M: Peningkatan peroksidasi lipid 97. Shipp MA, Vijayaraghavan J, Schmidt EV, Masteller EL, D'Adamio L, Hersh LB,
dan gangguan aktivitas antioksidan enzim dalam eritrosit pasien dengan Reinherz EL: Antigen leukemia limfoblastik akut umum (CALLA) adalah
karsinoma serviks. Sel Mol Biol Lett 2004, 9:699–707. endopeptidase netral aktif 24.11 (“enkephalinase”): bukti langsung dengan
74. Oktyabrsky AKTIF, Smirnova GV: Regulasi redoks fungsi seluler. analisis transfeksi cDNA. Proc Natl Acad Sci USA 1989, 86:297–301.
Biokimia (Mosc) 2007, 72:132–145.
75. Catalani S, Carbonaro V, Palma F, Arshakyan M, Galati R, Nuvoli B, Battistelli 98. Zhuo W, Zhang L, Wang Y, Zhu B, Chen Z: Polimorfisme CYP1A1 MspI dan risiko
S, Canestrari F, Benedetti S: Modifikasi metabolisme dan induksi apoptosis leukemia myeloid akut: meta-analisis berdasarkan 5018 subjek.
setelah pemberian Cellfood ke garis sel leukemia. J Exp Klinik Kanker Res J Exp Klinik Kanker Res 2012, 31:62.
2013, 32:63. 99. Penaut CA: Transplantasi sel induk autologus untuk leukemia myeloid akut.
76. Chang C, Zhu YQ, Mei JJ, Liu SQ, Luo J: Keterlibatan jalur mitokondria dalam Transplantasi Sumsum Tulang 2003, 31:731–738.
sitotoksisitas yang diinduksi NCTD dalam sel hepG2 manusia. J Exp Klinik Kanker 100. Marcus RE, Matutes E, Drysdale H, Catovsky D: Konversi fenotipik TdT+
Res 2010, 29:145. AML dewasa menjadi CALLA+ ALL. Scan J Hematol 1985, 35:343–347.
77. Yamamoto JF, Goodman MT: Pola kejadian leukemia di Amerika Serikat
menurut subtipe dan karakteristik demografi, 1997-2002. Pengendalian 101. Smits EL, Berneman ZN, Van Tendeloo VF: Imunoterapi leukemia
Penyebab Kanker 2008, 19:379–390. myeloid akut: pendekatan saat ini. Ahli onkologi 2009, 14:240–252.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 14 dari 15
102. Marbello L, Ricci F, Nosari AM, Turrini M, Nador G, Nichelatti M, Tedeschi A, 122. Hu Y, Gu X, Li R, Luo Q, Xu Y: Penghambatan glikogen sintase kinase-3beta
Vismara E, Morra E: Hasil leukemia myeloid akut hiperleukositik dewasa: menginduksi apoptosis yang dimediasi faktor-kappaB nuklir dalam sel leukemia
studi retrospektif pusat tunggal dan tinjauan literatur. Leuk Res 2008, 32: limfosit akut pediatrik. J Exp Klinik Kanker Res 2010, 29:154.
1221–1227. 123. Bassan R, Rossi G, Pogliani EM, Di Bona E, Angelucci E, Cavattoni I,
103. Faderl S, Kantarjian HM, Talpaz M: Leukemia myelogenous kronis: pembaruan biologi Lambertenghi-Deliliers G, Mannelli F, Levis A, Ciceri F, Mattei D, Borlenghi E,
dan pengobatan. Onkologi (Taman Williston) 1999, 13:169–180. Terruzzi E, Borghero C, Romani C, Spinelli O, Tosi M, Oldani E, Intermesoli T,
104. Bartram CR, de Klein A, Hagemeijer A, van Agthoven T, Geurts van Kessel A, Rambaldi A: Denyut imatinib fase kemoterapi meningkatkan hasil jangka
Bootsma D, Grosveld G, Ferguson-Smith MA, Davies T, Stone M, panjang pasien dewasa dengan leukemia limfoblastik akut kromosom positif
Heisterkamp N, Stephenson JR, Groffen J: Translokasi onkogen c-ab1 Philadelphia: protokol Grup Leukemia Italia Utara 09/00. J Clin Oncol 2010,
berkorelasi dengan adanya kromosom Philadelphia pada leukemia 28:3644–3652.
myelocytic kronis. Alam 1983, 306:277–280. 124. Chavez JC, Sahakian E, Pinilla-Ibarz J: Ibrutinib: tinjauan berbasis bukti
105. Rowley JD: Surat: Kelainan kromosom baru yang konsisten pada leukemia tentang potensinya dalam pengobatan leukemia limfositik kronis lanjut.
myelogenous kronis yang diidentifikasi oleh fluoresensi quinacrine dan Bukti Inti 2013, 8:37–45.
pewarnaan Giemsa. Alam 1973, 243:290–293. 125. Siegel R, Ma J, Zou Z, Jemal A: Statistik kanker, 2014. CA Kanker J Klinik
106. Panjang B, Zhu H, Zhu C, Liu T, Meng W: Aktivasi jalur Hedgehog 2014, 64:9–29.
pada pasien leukemia myelogeneous kronis. J Exp Klinik Kanker Res 126. Gribben JG: Bagaimana saya memperlakukan CLL di depan. Darah 2010, 115:187–197.
2011, 30:8. 127. Hamblin AD, Hamblin TJ: Imunodefisiensi leukemia limfositik
107. Padron E, Komrokji R, Daftar AF: Penatalaksanaan klinis leukemia kronis. Br Med Bull 2008, 87:49–62.
myelomonocytic kronis. Clin Adv Hematol Oncol 2014, 12:172–178. 128. Hjalmar V, Kimby E, Matutes E, Sundstrom C, Wallvik J, Hast R: Limfosit atipikal
108. Emanuel PD: Leukemia mielomonositik remaja dan leukemia pada leukemia limfositik kronis sel B dan trisomi 12 dipelajari dengan
mielomonositik kronis. Leukemia 2008, 22:1335–1342. pewarnaan konvensional yang dikombinasikan dengan hibridisasi in situ
109. Pardanani A, Tefferi A: Imatinib menargetkan selain bcr/abl dan relevansi fluoresensi. Limfoma Leuk 2000, 37:571–576.
klinisnya pada gangguan myeloid. Darah 2004, 104:1931–1939. 129. Parmar S, Patel K, Pinilla-Ibarz J: Ibrutinib (imbruvica): terapi bertarget baru
110. Tallman MS, Altman JK: Bagaimana saya mengobati leukemia promyelocytic akut. untuk leukemia limfositik kronis. Proc Natl Acad Sci USA 2014, 39:483–519.
Darah 2009, 114:5126-5135.
111. Paulson K, Serebrin A, Lambert P, Bergeron J, Everett J, Kew A, Jones D, Mahmud S, 130. Zhang X, Machii T, Matsumura I, Ezoe S, Kawasaki A, Tanaka H, Ueda S, Sugahara H,
Meloche C, Sabloff M, Sharif I, Storring J, Turner D, Seftel MD: Leukemia Shibayama H, Mizuki M, Kanakura Y: Rho guanosin trifosfatase yang diaktifkan
promyelocytic akut ditandai dengan insiden yang stabil dan peningkatan secara konstitutif mengatur pertumbuhan dan morfologi sel-sel leukemia sel
kelangsungan hidup yang terbatas pada pasien yang dikelola di pusat rujukan berbulu. Int J Hematol 2003, 77:263–273.
leukemia: sebuah studi epidemiologi pan-Kanada. Br J Hematol 2014, 166(5):660– 131. Wrede JE, Sundram U, Kohler S, Cherry AM, Arber DA, George TI:
666. Investigasi hibridisasi fluoresensi in situ dari lesi kulit pada leukemia
112. Rowley JD, Golomb HM, Dougherty C: 15/17 translokasi, perubahan promyelocytic akut. Mod Pathol 2005, 18:1569–1576.
kromosom yang konsisten pada leukemia promyelocytic akut. Lanset 132. Moriya K, Nakagawa K, Santa T, Shintani Y, Fujie H, Miyoshi H, Tsutsumi T,
1977, 1:549–550. Miyazawa T, Ishibashi K, Horie T, Imai K, Todoroki T, Kimura S, Koike K:
113. Grignani F, Ferrucci PF, Testa U, Talamo G, Fagioli M, Alcalay M, Mencarelli Stres oksidatif tanpa adanya peradangan pada model tikus untuk
A, Grignani F, Peschle C, Nicoletti I, Pelicci PG: Protein fusi alfa PML-RAR spesifik hepatokarsinogenesis terkait virus hepatitis C. Res Kanker 2001, 61:4365–
leukemia promyelocytic akut menghambat diferensiasi dan meningkatkan 4370.
kelangsungan hidup sel prekursor myeloid. Sel 1993, 74:423–431. 133. Wiseman H, Halliwell B: Kerusakan DNA oleh spesies oksigen dan nitrogen reaktif:
114. Wang ZG, Ruggero D, Ronchetti S, Zhong S, Gaboli M, Rivi R, Pandolfi PP: PML berperan dalam penyakit inflamasi dan perkembangan menjadi kanker.
sangat penting untuk beberapa jalur apoptosis. Nat Genet 1998, 20:266–272. Biokimia J 1996, 313(Pt 1):17–29.
134. Cerutti PA, Trump BF: Peradangan dan stres oksidatif dalam
115. Quignon F, De BF, Koken M, Feunteun J, Ameisen JC, de Thé H: PML karsinogenesis. Sel kanker 1991, 3:1–7.
menginduksi proses kematian caspase-independen baru. Nat Genet 135. Dreher D, Junod AF: Peran radikal bebas oksigen dalam perkembangan kanker.
1998, 20:259–265. Kanker Eur J 1996, 32A:30–38.
116. Hallek M, Cheson BD, Catovsky D, Caligaris-Cappio F, Dighiero G, Döhner H, 136. Cerutti PA: Oxy-radikal dan kanker. Lanset 1994, 344:862–863.
Hillmen P, Keating MJ, Montserrat E, Rai KR, Kipps TJ, Lokakarya Internasional 137. Adler V, Yin Z, Tew KD, Ronai Z: Peran potensial redoks dan spesies
tentang Leukemia Limfositik Kronis: Pedoman untuk diagnosis dan oksigen reaktif dalam pensinyalan stres. Onkogen 1999, 18:6104–6111.
pengobatan leukemia limfositik kronis: laporan dari Lokakarya Internasional 138. Oltra AM, Carbonell F, Tormos C, Iradi A, Saez GT: Aktivitas enzim
tentang Leukemia Limfositik Kronis yang memperbarui pedoman National antioksidan dan produksi MDA dan 8-oxo-dG pada leukemia limfositik
Cancer Institute-Working Group 1996. Darah 2008, 111:5446–5456. kronis. Gratis Radic Biol Med 2001, 30:1286–1292.
139. Nishiura T, Suzuki K, Kawaguchi T, Nakao H, Kawamura N, Taniguchi M, Kanayama
117. Jitschin R, Hofmann AD, Bruns H, Giessl A, Bricks J, Berger J, Saul D, Eckart MJ, Y, Yonezawa T, Iizuka S, Taniguchi N: Peningkatan serum mangan superoksida
Mackensen A, Mougiakakos D: Metabolisme mitokondria berkontribusi terhadap dismutase pada leukemia akut. Kanker Lett 1992, 62:211–215.
stres oksidatif dan mengungkapkan target terapeutik pada leukemia limfositik
kronis. Darah 2014, 123:2663–2672. 140. Silber R, Farber CM, Papadopoulos E, Nevrla D, Liebes L, Bruck M, Brown R,
118. Lo CF, Nervi C, Avvisati G, Mandelli F: Leukemia promyelocytic akut: penyakit yang dapat Canellakis ZN: Deplesi glutathione pada limfosit B leukemia limfositik
disembuhkan. Leukemia 1998, 12:1866–1880. kronis. Darah 1992, 80:2038–2043.
119. Chlapek P, Redova M, Zitterbart K, Hermanova M, Sterba J, Veselska R: 141. Flora SJ: Aspek struktural, kimia dan biologis antioksidan untuk strategi
Peningkatan diferensiasi sel neuroblastoma yang diinduksi ATRA dengan melawan paparan logam dan metaloid. Oxid Med Cell Longev 2009, 2:191–
inhibitor LOX / COX: studi profil ekspresi. J Exp Klinik Kanker Res 2010, 29:45. 206.
142. Estey E, Dohner H: Leukemia mieloid akut. Lanset 2006, 368:
120. Faderl S, Jeha S, Kantarjian HM: Biologi dan terapi leukemia 1894–1907.
limfoblastik akut dewasa. Kanker 2003, 98:1337–1354. 143. Moore N, Lyle S: Populasi sel induk yang diam dan siklusnya lambat pada kanker:
121. Espérou H, Boiron JM, Cayuela JM, Blanchet O, Kuentz M, Jouet JP, Milpied N, Cahn Tinjauan tentang bukti dan diskusi tentang signifikansi. J Oncol 2011, 2011:ID
JY, Faucher C, Bourhis JH, Michallet M, Tanguy ML, Vernant JP, Gabert J, Bordigoni Artikel: 396076.
P, Ifrah N, Baruchel A, Dombret H, Sumsum Tulang Prancis 144. Augustin W, Wiswedel I, Noack H, Reinheckel T, Reichelt O: Peran
Transplantasi: Potensi efek graft-versus-leukemia setelah transplantasi sel antioksidan endogen dan eksogen dalam pertahanan terhadap
induk hematopoietik alogenik untuk pasien dengan leukemia limfoblastik kerusakan fungsional dan peroksidasi lipid dalam mitokondria hati
akut kromosom positif Philadelphia: hasil dari French Bone Marrow tikus. Biokimia Sel Mol 1997, 174:199-205.
Transplantation Society. Transplantasi Sumsum Tulang 2003, 31:909–918. 145. Guachalla LM, Rudolph KL: Kerusakan DNA yang diinduksi ROS dan respons pos
pemeriksaan: pengaruh pada penuaan? Siklus sel 2010, 9:4058–4060.
Udensi dan Tchounwou Jurnal Penelitian Kanker Eksperimental & Klinis (2014) 33:106 Halaman 15 dari 15
146. Blok KI, Koch AC, Mead MN, Tothy PK, Newman RA, Gyllenhaal C: 166. Yedjou C, Thuisseu L, Tchounwou C, Gomes M, Howard C, Tchounwou P: Potensiasi
Dampak suplementasi antioksidan pada toksisitas kemoterapi: asam askorbat dari aktivitas antikanker arsenik trioksida terhadap leukemia
tinjauan sistematis bukti dari uji coba terkontrol secara acak. promyelocytic akut. Informasi Obat Arch 2009, 2:59–65.
Kanker Int J 2008, 123:1227–1239. 167. Yedjou CG, Rogers C, Brown E, Tchounwou PB: Efek diferensial asam
147. Lubang PS, Darley RL, Tonks A: Apakah spesies oksigen reaktif berperan dalam askorbat dan n-asetil-L-sistein pada stres oksidatif yang dimediasi
leukemia myeloid? Darah 2011, 117:5816–5826. trioksida arsenik dalam sel leukemia manusia (HL-60). J Biochem Mol
148. Schuurman AG, Goldbohm RA, Brants HA, van den Brandt PA: Sebuah studi kohort Toxicol 2008, 22:85–92.
prospektif pada asupan retinol, vitamin C dan E, dan karotenoid dan risiko kanker 168. Mochizuki T, Furuta S, Mitsushita J, Shang WH, Ito M, Yokoo Y, Yamaura M,
prostat (Belanda). Pengendalian Penyebab Kanker 2002, 13:573–582. Ishizone S, Nakayama J, Konagai A, Hirose K, Kiyosawa K, Kamata T:
Penghambatan NADPH oksidase 4 mengaktifkan apoptosis melalui jalur
149. Fleischauer AT, Olson SH, Mignone L, Simonsen N, Caputo TA, Harlap S: kinase 1 pengatur sinyal AKT/apoptosis dalam sel PANC-1 kanker pankreas.
Antioksidan makanan, suplemen, dan risiko kanker ovarium epitel. Kanker Onkogen 2006, 25:3699–3707.
Nutrisi 2001, 40:92-98. 169. Conklin KA: Kemoterapi kanker dan antioksidan. J nutr 2004, 134:
150. Rodrigues MS, Reddy MM, Sattler M: Regulasi siklus sel oleh tirosin kinase 3201S–3204S.
onkogenik pada neoplasia myeloid: dari mekanisme redoks molekuler hingga 170. Meyskens FL Jr, Kopecky KJ, Appelbaum FR, Balcerzak SP, Samlowski W, Hynes H:
implikasi kesehatan. Sinyal Redoks Antioksidan 2008, 10:1813–1848. Efek vitamin A pada kelangsungan hidup pada pasien dengan leukemia
myelogenous kronis: percobaan acak SWOG. Leuk Res 1995, 19:605–612.
151. Yu C, Rahmani M, Dent P, Grant S: Hubungan hierarkis antara pensinyalan MAPK
dan generasi ROS dalam sel leukemia manusia yang menjalani apoptosis sebagai
respons terhadap penghambat proteasome Bortezomib. Exp Cell Res 2004, 295:
555–566.
152. Laurent G, Jaffrezou JP: Jalur pensinyalan diaktifkan oleh daunorubicin.
Darah 2001, 98:913–924.
153. Yedjou CG, Tchounwou PB: Penilaian in vitro stres oksidatif dan
mekanisme apoptosis ekstrak bawang putih dalam pengobatan leukemia
promyelocytic akut. J Cancer Sci There 2012, 2012:6.
154. Townsend DM, Findlay VL, Tew KD: Glutathione S-transferases sebagai
pengatur jalur kinase dan target obat antikanker. Metode Enzim 2005, 401:
287–307.
155. Miyazaki T, Kirino Y, Takeno M, Samukawa S, Hama M, Tanaka M, Yamaji S,
Ueda A, Tomita N, Fujita H, Ishigatsubo Y: Ekspresi heme oxygenase-1 dalam
sel leukemia manusia dan regulasinya oleh penekan transkripsi Bach1. Ilmu
Kanker 2010, 101:1409–1416.
156. Trachootham D, Zhang H, Zhang W, Feng L, Du M, Zhou Y, Chen Z,
Pelicano H, Plunkett W, Wierda WG, Keating MJ, Huang P:
Penghapusan efektif sel CLL tahan fludarabine oleh PEITC melalui
mekanisme yang dimediasi redoks. Darah 2008, 112:1912–1922.
157. Zhang H, Trachootham D, Lu W, Carew J, Giles FJ, Keating MJ, Arlinghaus
RB, Huang P: Pembunuhan efektif sel CML tahan Gleevec dengan mutasi
T315I oleh senyawa alami PEITC melalui mekanisme yang dimediasi
redoks. Leukemia 2008, 22:1191-1199.
158. Chandra J, Tracy J, Loegering D, Flatten K, Verstovsek S, Beran M, Gorre M, Estrov Z,
Donato N, Talpaz M, Sawyers C, Bhalla K, Karp J, Sausville E, Kaufmann SH: Stres
oksidatif yang diinduksi adaphostin mengatasi resistensi imatinib yang
bergantung pada mutasi dan -independen BCR/ABL. Darah 2006, 107:2501–2506.
159. Lu J, Chew EH, Holmgren A: Menargetkan tioredoksin reduktase adalah dasar untuk
terapi kanker dengan arsenik trioksida. Proc Natl Acad Sci USA 2007, 104:
12288-12293.
160. Pelicano H, Feng L, Zhou Y, Carew JS, Hileman EO, Plunkett W, Keating MJ, Huang P:
Penghambatan respirasi mitokondria: strategi baru untuk meningkatkan apoptosis
yang diinduksi obat dalam sel leukemia manusia dengan mekanisme yang
dimediasi spesies oksigen reaktif. J Biol Chem 2003, 278:37832–37839.
161. Wang J, Li L, Cang H, Shi G, Yi J: Spesies oksigen reaktif yang diturunkan dari NADPH
oksidase bertanggung jawab atas kerentanan tinggi terhadap sitotoksisitas arsenik
dalam sel leukemia promyelocytic akut. Leuk Res 2008, 32:429–436.
162. Jeanne M, Lallemand-Breitenbach V, Ferhi O, Koken M, Le BM, Duffort S, Kirimkan naskah Anda berikutnya ke BioMed Central dan
Peres L, Berthier C, Soilihi H, Raught B, de Thé H: Oksidasi PML/RARA dan manfaatkan sepenuhnya:
pengikatan arsenik memulai respon antileukemia dari As2O3. Sel Kanker
2010, 18:88–98.
• Pengajuan online yang nyaman
163. Doudican NA, Bowling B, Orlow SJ: Peningkatan sitotoksisitas arsenik
trioksida oleh isothiocyanates diet dalam sel leukemia manusia melalui • Tinjauan sejawat yang menyeluruh
mekanisme tergantung spesies oksigen reaktif. Leuk Res 2010, 34:229– • Tidak ada batasan ruang atau biaya figur warna
234.
164. Yedjou C, Tchounwou P, Jenkins J, McMurray R: Mekanisme dasar apoptosis yang
• Publikasi langsung tentang penerimaan
diinduksi arsenik trioksida (ATO) pada sel leukemia manusia (HL-60). J Hematol • Penyertaan di PubMed, CAS, Scopus, dan Google Cendekia
Oncol 2010, 3:28.
• Penelitian yang tersedia secara bebas untuk didistribusikan kembali
165. Rogers CS, Yedjou CG, Sutton DJ, Tchounwou PB: Vitamin D3 mempotensiasi
efek antitumorigenik dari arsenik trioksida dalam sel leukemia manusia
(HL-60). Exp Hematol Oncol 2014, 3:9. Kirimkan naskah Anda di
www.biomedcentral.com/submit
REVIEW JURNAL
Mengulas artikel
Kata kunci: Pasien dengan penyakit radang usus (IBD) berada pada peningkatan risiko mengembangkan kanker kolorektal (CRC). Pedoman saat ini merekomendasikan kolonoskopi pengawasan yang sering untuk pasien dengan setidaknya kolitis ulserativa sisi kiri,
Ulasan neoplasma terkait atau penyakit Crohn yang melibatkan lebih dari 30% usus besar. Pengawasan memungkinkan deteksi dini dan pengobatan displasia kolorektal dan kanker. Kolonoskopi pertama harus dilakukan 8 sampai 10 tahun setelah timbulnya gejala penyakit.
kolitis
Pedoman Eropa dan Inggris menggunakan algoritma stratifikasi risiko yang menetapkan pasien untuk interval pengawasan satu, tiga atau lima tahun, sedangkan pedoman Amerika merekomendasikan untuk melakukan pengawasan setiap 1 sampai 3
Kolitis ulseratif
tahun berdasarkan (gabungan) adanya faktor risiko. Pasien dengan primary sclerosing cholangitis bersamaan berada pada risiko tambahan, dan harus menjalani surveilans tahunan yang dimulai segera setelah diagnosis. Praktik surveilans saat ini
Penyakit Crohn
didasarkan pada bukti yang terbatas, intensif sumber daya dan tidak dapat mencegah terjadinya karsinoma interval. Untungnya, kemajuan dalam teknik endoskopi untuk visualisasi mukosa, bersama dengan kontrol inflamasi yang lebih baik, telah
menghasilkan penurunan insiden CRC pada pasien dengan IBD. Lebih lanjut, teknik reseksi endoskopi yang canggih diharapkan dapat menghasilkan perubahan dari manajemen bedah ke manajemen endoskopi pada lesi displastik. Dalam ulasan ini,
kami memberikan gambaran terkini tentang patofisiologi CRC terkait kolitis, epidemiologi, praktik pengawasan, dan manajemen displasia. adalah sumber daya intensif dan tidak dapat menghalangi terjadinya karsinoma interval. Untungnya, kemajuan
dalam teknik endoskopi untuk visualisasi mukosa, bersama dengan kontrol inflamasi yang lebih baik, telah menghasilkan penurunan insiden CRC pada pasien dengan IBD. Lebih lanjut, teknik reseksi endoskopi yang canggih diharapkan dapat
menghasilkan perubahan dari manajemen bedah ke manajemen endoskopi pada lesi displastik. Dalam ulasan ini, kami memberikan gambaran terkini tentang patofisiologi CRC terkait kolitis, epidemiologi, praktik pengawasan, dan manajemen displasia.
adalah sumber daya intensif dan tidak dapat menghalangi terjadinya karsinoma interval. Untungnya, kemajuan dalam teknik endoskopi untuk visualisasi mukosa, bersama dengan kontrol inflamasi yang lebih baik, telah menghasilkan penurunan
insiden CRC pada pasien dengan IBD. Lebih lanjut, teknik reseksi endoskopi yang canggih diharapkan dapat menghasilkan perubahan dari manajemen bedah ke manajemen endoskopi pada lesi displastik. Dalam ulasan ini, kami memberikan gambaran
terkini tentang patofisiologi CRC terkait kolitis, epidemiologi, praktik pengawasan, dan manajemen displasia. teknik reseksi endoskopi canggih dapat diharapkan menghasilkan pergeseran dari bedah ke manajemen endoskopi lesi displastik. Dalam
ulasan ini, kami memberikan gambaran terkini tentang patofisiologi CRC terkait kolitis, epidemiologi, praktik pengawasan, dan manajemen displasia. teknik reseksi endoskopi canggih dapat diharapkan menghasilkan pergeseran dari bedah ke
manajemen endoskopi lesi displastik. Dalam ulasan ini, kami memberikan gambaran terkini tentang patofisiologi CRC terkait kolitis, epidemiologi, praktik pengawasan, dan manajemen displasia.
1. Perkenalan memungkinkan visualisasi rinci dari mukosa kolon, dan teknik reseksi baru
memungkinkan pengobatan endoskopi lesi yang sebelumnya harus
Hampir seabad yang lalu, Crohn dan Rosenberg menggambarkan kasus diangkat melalui pembedahan. [10] Kemajuan teknologi ini, bersama
pertama kolitis ulserativa (UC) yang diperumit oleh karsinoma kolorektal (CRC). dengan perluasan armamentarium terapeutik untuk mengendalikan
[1] Saat ini, diakui secara luas bahwa pasien dengan penyakit radang usus peradangan, [11, 12] kemungkinan menjelaskan mengapa kejadian CRC
(IBD), termasuk UC dan penyakit Crohn (CD), berada pada peningkatan risiko terkait kolitis telah menurun dari waktu ke waktu. [3]
CRC dan oleh karena itu pasien ini terdaftar dalam program pengawasan. Mengingat perkembangan ini, tinjauan ini bertujuan untuk memberikan
[2-8] Surveilans endoskopi bertujuan untuk mendeteksi dan menghilangkan gambaran terkini tentang patofisiologi, epidemiologi, strategi pengawasan
lesi prekursor atau CRC stadium awal, dan telah dikaitkan dengan dan pengelolaan displasia dan kanker terkait kolitis. Selanjutnya, kami akan
penurunan risiko CRC dan mortalitas terkait berdasarkan data retrospektif. menyoroti beberapa bidang minat untuk penelitian lebih lanjut.
[9]
Perkembangan teknologi endoskopi baru memiliki dampak besar
pada praktik endoskopi. Endoskopi definisi tinggi
Singkatan: 5-ASA, asam 5-aminosalisilat; CD, penyakit Crohn; CRC, Kanker kolorektal; EMR, Reseksi mukosa endoskopik; ESD, Diseksi submukosa endoskopi; HD,
Definisi tinggi; HGD, displasia tingkat tinggi; IBD, penyakit radang usus; LGD, Displasia tingkat rendah; pks, operon sintase peptida nonribosomal poliketida; PSC,
kolangitis sklerosis primer; RCT, uji coba terkontrol secara acak; TNF-alpha, Tumor necrosis factor-alpha; UC, kolitis ulserativa; UDCA, asam ursodeoksikolat.
* Penulis korespondensi di: Departemen Gastroenterologi dan Hepatologi, Pusat Medis Universitas Utrecht, PO Box 85500, surat internal no F02.618, Heidelberglaan,
100 3584 CX Utrecht, Belanda.
Alamat email: boldenbu@umcutrecht.nl (B.Oldenburg).
https://doi.org/10.1016/j.ejim.2021.08.010
Diterima 4 Juni 2021; Diterima dalam bentuk revisi 10 Agustus 2021; Diterima 12 Agustus 2021
Tersedia online 1 September 2021
0953-6205 /© 2021 Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier BV atas nama European Federation of Internal Medicine. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah CC BY
lisensi (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
2. Patofisiologi studi dibandingkan dengan studi berbasis populasi (1,7-3,0 per 1.000 pasien-
tahun dan 0,8-1,3 per 1.000 pasien-tahun, masing-masing). [31-33, 35-37]
Menurut diterima secara luas urutan adenoma-karsinoma paradigma, Studi kohort pasien yang menjalani pengawasan melaporkan insiden IBD-
sebagian besar kasus KKR sporadis berkembang dari polip adenomatosa CRC tertinggi (3,1-4,7 per 1.000 pasien-tahun). [30, 38Studi penting
dalam jangka waktu yang lama. [13] CRC terkait kolitis diperkirakan Beaugerie menunjukkan bahwa pasien IBD dengan durasi penyakit lebih
berkembang melalui beberapa tahap lesi prekursor juga, dari epitel yang dari sepuluh tahun dan keterlibatan lebih dari setengah dari mukosa kolon
meradang tetapi non-displastik hingga displasia tingkat rendah (LGD), berada pada 5,2 kali lipat (UC) dan 9,0 kali lipat (CD) peningkatan risiko CRC
displasia tingkat tinggi (HGD) dan akhirnya CRC. [14, 15] Di sini, peradangan dibandingkan dengan populasi umum. Sebaliknya, pasien yang tidak
kronis dianggap sebagai pendorong utama tumourigenesis. [14] Memang, memiliki kolitis ekstensif yang sudah berlangsung lama memiliki risiko CRC
peradangan endoskopi atau histologis, dan penyakit yang luas merupakan yang sama dengan kontrol non-IBD.[31]
faktor risiko independen yang terkenal untuk displasia kolorektal dan kanker Menariknya, kelebihan risiko CRC pada pasien dengan IBD telah
pada IBD. [16, 17] ditemukan menurun dari waktu ke waktu di sebagian besar wilayah di mana
Sebuah fitur unik dari patogenesis kolitis terkait CRC adalah bahwa ini telah diperiksa, [3, 32] tapi tidak semua. [3, 35] Penurunan ini dapat
peradangan kronis menyebabkan 'cacat lapangan' DNA yang rusak dalam sel dijelaskan dengan kemajuan dalam teknik pengawasan dan pengelolaan
epitel kolon, daripada klon menyimpang unifokal. [14] Perubahan genomik kecil peradangan yang lebih baik. [2, 3Dari catatan, hasil dari kohort pengawasan
dapat terjadi di seluruh (seluruh) kolon yang terkena kolitis pada mukosa non- terlama pada pasien dengan UC awalnya menunjukkan penurunan kejadian
displastik yang tampak normal. [18] Dari area ini, lesi displastik muncul, yang CRC, tetapi kemudian melaporkan peningkatan CRC awal. Para penulis
biasanya terlihat secara endoskopi, menggunakan endoskopi definisi tinggi saat menghubungkan fenomena ini dengan pergeseran dari penanganan
ini. [19] Cacat lapangan atau 'kankerisasi lapangan' ini menjelaskan mengapa displasia melalui pembedahan (yaitu kolektomi) ke reseksi endoskopik.[30]
displasia pada IBD seringkali multifokal. [19-21] Yang meyakinkan, kejadian CRC lanjut terus menurun dalam dekade
Pada tingkat genetik, sejalan dengan CRC sporadis, sebagian besar CRC terakhir.
terkait kolitis berkembang melalui jalur ketidakstabilan kromosom sebagai
lawan dari jalur ketidakstabilan mikrosatelit (yaitu malfungsi gen perbaikan 3.2. Faktor risiko
ketidakcocokan DNA, yang terlibat dalam sindrom Lynch). [14, 22, 23] Jalur
ketidakstabilan kromosom bermanifestasi dengan perubahan jumlah Faktor risiko untuk HGD dan CRC gabungan ('neoplasia kolorektal
salinan kromosom atau bagian kromosom (yaitu aneuploidi) dan termasuk lanjut', titik akhir komposit yang umum digunakan dalam penelitian)
perubahan pada gen APC, TP53 dan K-RAS, [14] diantara yang lain. pada pasien dengan IBD termasuk penyakit kolon yang luas, adanya
Diperkirakan bahwa perubahan ini terjadi dalam urutan yang berbeda polip pasca inflamasi, striktur kolon dan keparahan peradangan
dalam CRC terkait kolitis versus sporadis. Misalnya, mutasi APC lebih sering histologis. [17] Faktor-faktor ini semua terkait erat dengan beban
terjadi pada lesi prekursor CRC sporadis (adenoma sporadis),[23] sementara inflamasi kumulatif, [16] dan mendukung peran sentral peradangan
lesi prekursor terkait kolitis biasanya menyimpan mutasi TP53. [24, 25] dalam patogenesis kolitis terkait CRC. Oleh karena itu, tantangan
Urutan diferensial ini dapat menjelaskan mengapa displasia terkait kolitis utama adalah menciptakan skor pragmatis untuk inflamasi kumulatif
dapat secara morfologis berbeda dari adenoma sporadis, karena seringkali (baik berdasarkan histologi atau endoskopi), yang dapat segera
non-polipoid. [20, 21] diimplementasikan dalam praktik rutin.
Mikrobioma usus berbeda antara pasien IBD dan individu sehat, Selain fitur fenotip yang disebutkan di atas terkait dengan peradangan,
[26] dan ini baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan risiko CRC primary sclerosing cholangitis (PSC) adalah faktor risiko yang sangat kuat
pada pasien dengan IBD. [27] Strain spesifik dari Escherichia coli ( untuk HGD dan CRC pada pasien dengan IBD juga. [17, 39] PSC adalah
polyketide non-ribosomal peptide synthase operon [pks] strain positif) penyakit hati kolestatik progresif kronis yang menyebabkan peradangan
memiliki prevalensi dua kali lipat lebih tinggi pada pasien IBD dan fibrosis bilier, [39] yang sangat jarang pada populasi umum, tetapi
dibandingkan dengan individu yang sehat. [27] Ini pks-positif terdapat pada 3-5% pasien dengan IBD (terutama pasien UC). [30, 40] Mirip
Escherichia coli strain menghasilkan toksin (colibactin) yang merusak dengan CRC sporadis, usia yang lebih tua, riwayat keluarga CRC yang positif
DNA dan menginduksi mutasi spesifik (termasuk mutasi pada gen APC dan jenis kelamin laki-laki juga meningkatkan risiko HGD dan CRC terkait
dan gen yang terlibat dalam sumbu TP53, antara lain) pada organoid kolitis. [17] Selain itu, pasien IBD dengan displasia tidak pasti sebelumnya
usus. [28,29] Temuan awal ini mungkin, di masa depan, mengarah atau LGD juga berisiko tinggi mengalami HGD dan CRC. [17] Yang terakhir
pada target baru untuk strategi pencegahan. ini dapat dijelaskan oleh berbagai faktor, termasuk kekambuhan lokal
Akhirnya, perlu dicatat bahwa pasien dengan IBD juga dapat (reseksi yang tidak memadai), lesi sinkron yang tidak terjawab, atau "cacat
mengembangkan adenoma sporadis. Karena prognosis berbeda untuk bidang" DNA yang rusak yang melampaui lesi displastik. Khususnya,
displasia terkait kolitis versus adenoma sporadis pada pasien IBD,[30] aneuploidi dalam biopsi dari mukosa yang tampak normal dapat
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik mengindikasikan defek lapangan dan memang dikaitkan dengan
endoskopik atau histopatologis yang dapat membantu membuat peningkatan risiko HGD atau CRC lebih dari lima kali lipat.[17]
perbedaan ini. Saat ini, perbedaannya didasarkan pada morfologi lesi,
adanya displasia multifokal, dan apakah lesi terletak di area yang 4. Pengawasan
sebelumnya terkena peradangan.
4.1. Strategi pengawasan
3. Epidemiologi
Pedoman terkemuka merekomendasikan untuk melakukan surveilans pada
3.1. Kelebihan risiko CRC pada pasien dengan IBD pasien dengan IBD kolon. Kolonoskopi pengawasan pertama harus dijadwalkan
pada semua pasien dengan IBD kolon baik 8 sampai 10 tahun setelah timbulnya
Pasien dengan IBD berada pada 1,4-2,2 kali lipat peningkatan risiko CRC gejala.[4-8] Pengawasan lanjutan dianjurkan jika keterlibatan kolon melebihi
dibandingkan dengan populasi umum. [3, 31-33] Selanjutnya, kelangsungan hidup proktitis (UC) atau lebih dari 30% (CD). Pedoman Eropa dan Inggris
terkait CRC lebih rendah di antara pasien dengan IBD, bahkan setelah mengelompokkan pasien dalam salah satu dari tiga kategori risiko (kelompok
penyesuaian untuk stadium tumor saat diagnosis. [32-34] Dengan demikian, baik risiko tinggi, menengah, atau rendah) dengan interval pengawasan mulai dari
insiden CRC yang lebih tinggi maupun hasil klinis yang lebih buruk dari CRC terkait setiap tahun hingga setiap lima tahun (Gambar 1). [4, 5] Pedoman Amerika
kolitis berkontribusi pada peningkatan tingkat kematian terkait CRC secara merekomendasikan untuk melakukan surveilans setiap 1 sampai 3 tahun dan
keseluruhan pada pasien dengan IBD. [32, 33] untuk mempertimbangkan (gabungan) adanya faktor risiko ketika menentukan
Insiden IBD-CRC jauh lebih tinggi di rumah sakit interval surveilans berikutnya. [6-8] Yang penting, pasien IBD dengan
36
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
Kolonoskopi adalah standar emas untuk surveilans CRC pada pasien IBD.
Persiapan usus yang optimal dan remisi penyakit merupakan persyaratan mutlak
untuk pengawasan yang memadai. [42, 45] Pedoman saat ini merekomendasikan
untuk melakukan kolonoskopi pengawasan menggunakan chromoendoscopy. [4-6
, 8, 46] Chromoendoscopy menciptakan gambar yang disempurnakan dengan
langsung menyemprotkan pewarna pada mukosa kolon selama endoskopi (
Gambar 2.). Lichtenstein et. Al. menerbitkan video pendidikan yang
menggambarkan teknik ini.[47] Kelemahan dari chromoendoscopy adalah bahwa
teknik ini memperpanjang waktu prosedur, membutuhkan pelatihan tambahan,
dan mungkin dianggap tidak praktis oleh ahli endoskopi. [48] Dapat
dipertanyakan apakah munculnya endoskopi definisi tinggi (HD) telah membuat
kromoendoskopi menjadi berlebihan. Meta-analisis sebelumnya termasuk hanya
uji coba terkontrol secara acak (RCT) melaporkan tingkat deteksi displasia yang
sama dengan dan tanpa chromoendoscopy pada pasien dengan IBD.[48-50]
Sebaliknya, superioritas pengawasan menggunakan chromoendoscopy dilaporkan
Gambar 1. Strategi pengawasan dari European Crohn's and Colitis Organization dalam RCT yang dilakukan baru-baru ini dari Swedia (Tabel Tambahan 1
(ECCO) [4] memberikan data ringkasan RCT ini). [51] Saat ini, sebagian besar pedoman masih
* Adanya peradangan didasarkan pada peradangan endoskopik atau histologis. merekomendasikan kromoendoskopi, tetapi juga menyatakan bahwa endoskopi
CRC=kanker kolorektal, PSC=kolangitis sklerosis primer. cahaya putih menggunakan endoskopi HD adalah alternatif yang baik.
Peran biopsi acak, empat biopsi setiap sepuluh sentimeter, dalam
PSC bersamaan adalah kategori yang berbeda. Untuk pasien ini, semua kolonoskopi pengawasan, menggunakan endoskopi HD, juga menjadi tidak
pedoman merekomendasikan pengawasan tahunan, dimulai segera setelah jelas. [46] Alasan untuk biopsi acak adalah bahwa mereka dapat mendeteksi
diagnosis karena risiko CRC yang sangat meningkat pada pasien dengan lesi displastik yang tidak dapat diidentifikasi secara endoskopi. Seperti
PSC. [4-8, 17] halnya kromoendoskopi, pengambilan biopsi acak memperpanjang waktu
Efektivitas (biaya) dari algoritme yang direkomendasikan dalam pedoman saat ini prosedur dan menambah biaya evaluasi histopatologi. Di era endoskopi HD
belum pernah diselidiki secara prospektif dan bukti yang tersedia tidak cukup untuk ini, hasil neoplastik darihanya biopsi acak pada pasien IBD dalam
secara objektif menentukan interval pengawasan individual yang optimal. Akibatnya, pengaturan pengawasan cukup rendah, 1,2-3,0% per-kolonoskopi dan
rejimen pengawasan saat ini tidak diragukan lagi mengarah pada pemanfaatan sumber 0,09-0,2% per biopsi. [51, 52] Non-inferioritas dalam deteksi neoplasia
daya perawatan kesehatan yang berlebihan, karena sebagian besar pasien IBD tidak dilaporkan untuk pengawasan dengan hanya biopsi target versus target dan
akan pernah mengembangkan CRC. Hal ini digarisbawahi oleh studi pemodelan biopsi acak dalam studi RCT, meskipun tidak ada data tentang hasil jangka
efektivitas biaya sebelumnya yang menemukan pendekatan stratifikasi risiko untuk panjang yang dilaporkan. [53] Hasil biopsi acak lebih tinggi pada pasien
surveilans menjadi lebih hemat biaya daripada surveilans tahunan atau dua tahunan.[41] dengan PSC bersamaan (3,7% per-kolonoskopi dan 0,3% per biopsi), [51, 52,
Sementara itu, 30% kasus CRC di IBD terlewatkan selama surveilans dan oleh karena itu 54, 55] displasia sebelumnya, atau usus besar berbentuk tabung. [52] Nilai
dapat diklasifikasikan sebagai karsinoma interval. [42] Selanjutnya, setengah dari CRC tambah dari biopsi acak pada pasien berisiko tinggi ini harus diimbangi
yang didiagnosis pada pasien dengan IBD yang menjalani kolonoskopi dalam lima tahun dengan biaya tambahan dan risiko potensial, misalnya prosedur bedah.
terakhir, dapat dikaitkan dengan Dalam studi kohort retrospektif termasuk 71 pasien UC dengan PSC
bersamaan, diagnosis tak terlihat (tanpa terlihat)
37
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
displasia dalam biopsi acak, terdeteksi pada delapan pasien, berdampak ditemukan pada lesi terkait kolitis), jumlah reseksi radikal (R0) yang tinggi
pada hasil klinis. [55] Karena pasien berisiko tinggi sudah sering menerima pada pemeriksaan histopatologi, dan dikaitkan dengan risiko efek samping
pengawasan, dampak tambahan dari mendeteksi displasia yang tidak yang rendah seperti perdarahan atau perforasi. [10] Selanjutnya, penelitian
terlihat mungkin terlalu tinggi. sebelumnya tentang ESD pada pasien IBD melaporkan tingkat kekambuhan
Jadi, untuk menentukan teknik surveilans yang optimal saat lokal yang rendah dan sejumlah kecil lesi metachronous, meskipun
menggunakan endoskopi HD, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk penelitian ini memiliki periode tindak lanjut yang relatif singkat dan ukuran
menentukan efektivitas (biaya) endoskopi HD dengan versus tanpa sampel yang kecil. [10] Tabel 1 merangkum keuntungan dan kerugian
kromoendoskopi dan/atau biopsi acak. utama dari reseksi endoskopi menggunakan teknik EMR atau ESD. Video
pendidikan tentang teknik ini telah diterbitkan sebelumnya. [47, 64, 65] Yang
4.3. Kebutuhan yang belum terpenuhi penting, ketika lesi berhasil direseksi secara endoskopi, tindak lanjut
endoskopi yang ketat diperlukan. [46]
Untuk lebih meningkatkan strategi pengawasan pada pasien IBD, kami Pembedahan adalah pengobatan pilihan untuk lesi yang tidak dapat direseksi
percaya model prediksi baru diperlukan. Model seperti itu harus mudah secara endoskopi, displasia yang tidak terlihat (terutama pada kasus HGD), dan/
diterapkan dalam praktik klinis, sambil memperhitungkan adanya beberapa faktor atau kolon 'berisiko tinggi'. [46, 66] Proktokolektomi total direkomendasikan
risiko dan ukuran efeknya. Tempat potensial biomarker (misalnya aneuploidi) dalam kasus HGD atau CRC, untuk juga mengurangi risiko displasia dan kanker di
sebagai faktor prognostik juga harus dievaluasi. Selain itu, strategi keluar untuk masa depan. [8, 67] Setelah proctocolectomy total, kantong (reservoir) dapat
pengawasan harus dieksplorasi. Satu studi menunjukkan bahwa setelah dua dibangun dari ileum terminal dengan anastomosis ke lubang anus, sebagai
kolonoskopi pengawasan berturut-turut tanpa kelainan (didefinisikan sebagai alternatif ileostomi permanen. Pedoman menyatakan bahwa pada pasien yang
tidak ada polip pasca-inflamasi, striktur, displasia atau CRC, atau aktivitas penyakit didiagnosis dengan LGD yang tidak melibatkan rektum, atau dengan adanya
endoskopi), risiko HGD atau CRC selanjutnya dapat diabaikan.[56] Penghentian komorbiditas, kolektomi subtotal dengan anastomosis atau ileostomi ileorektal,
pengawasan pada pasien dengan risiko CRC terendah, seperti yang atau reseksi segmen dapat dipertimbangkan.[67] Yang penting, setelah kolektomi
direkomendasikan dalam pedoman Belanda, subtotal (atau bahkan reseksi kolon segmental), mukosa kolon yang tersisa tetap
[57] akan sangat mengurangi beban pasien dan sistem perawatan berisiko mengalami displasia dan kanker. [68] Juga, kolektomi dikaitkan dengan
kesehatan. Saat ini tidak jelas strategi apa yang harus diterapkan pada 1% risiko kematian perioperatif, risiko komplikasi jangka panjang (misalnya
pasien IBD yang pengawasannya dihentikan. Pendaftaran dalam inkontinensia atau kebocoran feses, ileus atau obstruksi usus halus, fistula) dan
program skrining tes darah gaib berbasis tinja (FOBT) nasional penurunan kualitas hidup. [69, 70]
tampaknya praktis, tetapi akurasi FOBT berkurang oleh peradangan
mukosa,[58] membuat jenis pengawasan ini kurang efektif. Untuk lebih meningkatkan pengelolaan displasia, penelitian di masa
depan harus memeriksa keamanan dan kemanjuran onkologis jangka
5. Penatalaksanaan displasia panjang dari kedua teknik reseksi endoskopi canggih dan reseksi bedah
terbatas (reseksi segmen atau kolektomi subtotal untuk lesi yang tidak
Sampai saat ini, pedoman direkomendasikan untuk melakukan dapat direseksi secara endoskopi).
proctocolectomy dalam kasus displasia kolorektal pada pasien dengan IBD,
berdasarkan risiko tinggi yang dirasakan displasia sinkron dalam 6. Pencegahan Kemo
pengaturan ini. Saat ini, pengobatan lesi ini semakin bergerak ke arah
pilihan endoskopi, di mana intervensi disesuaikan berdasarkan karakteristik Secara teori, setiap agen terapeutik yang secara efektif menginduksi dan
pasien dan lesi. mempertahankan remisi pada IBD akan menurunkan risiko CRC, karena
Harus ditekankan bahwa diagnosis displasia kolorektal atau kanker pada peradangan adalah pendorong utama di balik tumourigenesis pada CRC
pasien IBD harus dikonfirmasi oleh ahli patologi kedua dengan keahlian di terkait kolitis. Namun, peran terapi pemeliharaan dalam pencegahan
bidang ini. [4, 6, 8, 46, 59] Rekomendasi ini didasarkan pada tingkat displasia dan kanker terkait kolitis saat ini tidak jelas. Sebagian besar bukti
variabilitas interobserver yang tinggi (terutama untuk LGD dan displasia tak untuk kemoprevensi didasarkan pada studi retrospektif dengan berbagai
tentu) [60, 61] yang, setidaknya sebagian, dapat dikaitkan dengan adanya definisi penggunaan obat. Selain itu, sebagian besar penelitian tidak
peradangan histologis. [61, 62] menyesuaikan peradangan (kumulatif) dan karenanya harus ditafsirkan
Pertama, perbedaan antara displasia yang terlihat secara endoskopi dan tidak dengan hati-hati.
terlihat harus dibuat. [46] Jika displasia tak terlihat terdeteksi dalam biopsi acak, Meta-analisis sebelumnya melaporkan hubungan negatif penggunaan asam 5-
pedoman ini menyarankan untuk mempertimbangkan pengawasan lanjutan yang aminosalisilat (5-ASA) dan perkembangan displasia dan CRC pada IBD
ketat, penilaian ulang oleh ahli IBD, atau perawatan bedah. [46] Pilihan ini (kebanyakan pasien UC). [17, 71, 72] Temuan ini mungkin dijelaskan oleh
didasarkan pada tingkat displasia, adanya displasia tak terlihat unifokal versus
multifokal, displasia tampak sinkron serta karakteristik pasien (misalnya usia,
Tabel 1
komorbiditas) dan preferensi. Dalam kasus lesi yang terlihat, langkah pertama
Kelebihan dan kekurangan EMR dan ESD.
adalah menentukan apakah lesi dapat direseksi secara endoskopi, dan jika
demikian, teknik mana yang harus digunakan. Hal ini tergantung pada ukuran lesi, mukosa endoskopi Submukosa endoskopi
reseksi (EMR) diseksi (ESD)
bentuk, lokasi (area terkait kolitis atau tidak), permukaan, dan area sekitarnya
(bersama-sama dikenal sebagai karakteristik Lima “s”), risiko invasi (antara lain Pesawat reseksi + Submukosa + Submukosa
Lesi yang sesuai - Lesi polipoid dan non- + Besar (>20mm), lesi
berdasarkan kriteria Lima “s”) dan endoskopi aksesibilitas. [46, 63] Lesi kecil
polipoid yang lebih kecil berisiko tinggi
polipoid dan non-polipoid dapat dihilangkan dengan teknik reseksi endoskopi dan lesi non-polipoid
sederhana menggunakan jerat. [8] Untuk lesi yang lebih besar, reseksi mukosa Waktu prosedur + Relatif pendek - Panjang
endoskopik (EMR) digunakan, teknik yang melibatkan pengangkatan lesi dari kurva belajar + Relatif pendek - Relatif lama
muskularis propria menggunakan injeksi submukosa dengan salin untuk Kejadian buruk + Rendah + /- Rendah, tetapi lebih tinggi
dari EMR
memungkinkan pengangkatan lesi yang aman dengan jerat. Diseksi submukosa
Histopatologi - Sulit, karena sering dilakukan + Bagus, karena tingkat yang
endoskopi (ESD) harus dipertimbangkan untuk>20mm) lesi, terutama jika ini non- penyelidikan reseksi sedikit demi sedikit1 tinggi serentak reseksi
polipoid atau menampilkan fitur berisiko tinggi. Pada ESD, lesi diangkat dari Reseksi radikal (R0) - Relatif rendah + Tinggi
muskularis propria, diikuti dengan diseksi lesi dari lapisan yang lebih dalam kecepatan
menggunakan endo-knife. ESD memiliki keunggulan tinggiserentak tingkat reseksi EMR=Reseksi mukosa endoskopik, ESD=Diseksi submukosa endoskopik.
(bahkan dalam kasus fibrosis submukosa yang sering 1) yaitu reseksi terfragmentasi, terutama ketika merawat lesi yang lebih besar dengan
EMR.
38
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
[17] Wijnands AM, de Jong ME, Lutgens M, dkk. Faktor Prognostik untuk Neoplasia
Kontribusi penulis Kolorektal Lanjutan pada Penyakit Radang Usus: Tinjauan Sistematis dan
Metaanalisis. Gastroenterologi 2021;160:1584–98.
AW, RM: konsepsi karya, penyusunan naskah. BO: konsepsi [18] Lai LA, Risques RA, Bronner MP, dkk. Cacat bidang pan-kolon dideteksi oleh CGH di
usus besar pasien UC dengan displasia/kanker. Kanker Lett 2012;320: 180–8.
pekerjaan. ML, BO: merevisi karya secara kritis untuk konten
intelektual. Semua penulis menyetujui versi final naskah. [19] Ten Hove JR, Mooiweer E, van der Meulen de Jong AE, dkk. Implikasi klinis dari displasia
tingkat rendah yang ditemukan selama pengawasan penyakit radang usus: sebuah studi
retrospektif yang membandingkan chromoendoscopy dan white-light endoscopy.
Endoskopi 2017;49:161–8.
Pernyataan Kepentingan Bersaing
[20] Mahmoud R, Shah SC, Torres J, dkk. Hubungan antara displasia tidak terbatas dan
neoplasia lanjut pada pasien dengan penyakit radang usus yang menjalani
Tidak ada. pengawasan. Klinik Gastroenterol Hepatol 2020;18:1518–27. e3.
39
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
[21] Choi CH, Ignjatovic-Wilson A, Askari A, dkk. Displasia tingkat rendah pada kolitis ulserativa: [51] Alexandersson B, Hamad Y, Andreasson A, dkk. Kromoendoskopi definisi tinggi lebih unggul
faktor risiko untuk mengembangkan displasia tingkat tinggi atau kanker kolorektal. Am J daripada endoskopi cahaya putih definisi tinggi dalam pengawasan penyakit radang usus
Gastroenterol 2015;110:1461–71. kuis 1472. dalam uji coba secara acak. Klinik Gastroenterol Hepatol 2020;18:2101–7.
[22] Hirsch D, Hardt J, Sauer C, dkk. Karakterisasi molekuler kolitis ulserativa terkait [52] Moussata D, Allez M, Cazals-Hatem D, dkk. Apakah biopsi acak masih berguna untuk
karsinoma kolorektal. Mod Pathol 2020. mendeteksi neoplasia pada pasien IBD yang menjalani kolonoskopi pengawasan dengan
[23] Wanders LK, Cordes M, Voorham Q, dkk. Lesi Displastik Terkait IBD Menunjukkan Lebih kromoendoskopi? Gut 2018;67:616–24.
Banyak Ketidakstabilan Kromosom Dibandingkan Adenoma Sporadik. Radang Usus Dis [53] Watanabe T, Ajioka Y, Mitsuyama K, dkk. Perbandingan biopsi target vs acak
2020; 26:167–80. untuk pengawasan kanker kolorektal terkait kolitis ulserativa. Gastroenterologi
[24] Xie H, Xiao SY, Pai R, dkk. Utilitas diagnostik imunohistokimia TP53 dan 2016;151:1122–30.
sitokeratin 7 pada neoplasia terkait penyakit radang usus idiopatik. Mod [54] Coelho-Prabhu N, Bruining DH, Faubion WA, dkk. Kohort pengawasan penyakit usus
Pathol 2014;27:303–13. inflamasi cross-sectional 1 tahun yang membandingkan endoskopi cahaya putih
[25] Horvath B, Liu G, Wu X, dkk. Ekspresi berlebihan p53 memprediksi risiko neoplasia definisi tinggi dan chromoendoscopy. Radang Usus Dis 2021; 27:594–602.
kolorektal pada pasien dengan penyakit radang usus dan perubahan mukosa yang tidak
terbatas untuk displasia. Gastroenterol Rep (Oxf) 2015; 3:344–9. [55] Navaneethan U, Kochhar G, Venkatesh PG, dkk. Biopsi acak selama kolonoskopi
[26] Pittayanon R, Lau JT, Leontiadis GI, dkk. Perbedaan mikrobiota usus pada pasien pengawasan meningkatkan deteksi displasia pada pasien dengan kolangitis
dengan vs tanpa penyakit radang usus: tinjauan sistematis. sklerosis primer dan kolitis ulserativa. J Crohns Colitis 2013;7:974–81.
Gastroenterologi 2020;158:930–46. e1. [56] Ten Hove JR, Shah SC, Shaffer SR, dkk. Temuan negatif berturut-turut pada
[27] Arthur JC, Perez-Chanona E, Muhlbauer M, dkk. Peradangan usus menargetkan kolonoskopi selama pengawasan memprediksi risiko rendah neoplasia lanjut
aktivitas mikrobiota yang memicu kanker. Sains 2012;338:120–3. pada pasien dengan penyakit radang usus dengan kolitis lama: hasil studi kohort
[28] Pleguezuelos-Manzano C, Puschhof J, Rosendahl Huber A, dkk. Tanda tangan mutasi pada multinasional multisenter selama 15 tahun. Gut 2019;68:615–22.
kanker kolorektal yang disebabkan oleh genotoksik pks(+) E. coli. Alam 2020;580: 269–73. [57] Nederlandse Vereniging van Maag-, Darm- en Leverartsen, Menangani behandeling
IBD - 2014-2015. (Diakses pada 8 April 2021, dihttps://www.mdl.nl/sit es/
[29] Iftekhar A, Berger H, Bouznad N, dkk. Penyimpangan genom setelah paparan jangka www.mdl.nl/files/richlijnen/Document_volledig_Handleiding_met_literatuu
pendek terhadap E. coli penghasil kolibaktin mengubah sel epitel kolon primer. Nat r_def.pdf).
Commun 2021;12:103. [58] Mooiweer E, Fidder HH, Siersema PD, dkk. Hemoglobin tinja dan calprotectin sama-
[30] Choi CH, Rutter MD, Askari A, dkk. Analisis empat puluh tahun program pengawasan kolonoskopi sama efektif dalam mengidentifikasi pasien dengan penyakit radang usus dengan
untuk neoplasia pada kolitis ulserativa: tinjauan umum yang diperbarui. Am J Gastroenterol peradangan endoskopi aktif. Radang Usus Dis 2014;20:307–14.
2015;110:1022–34. [59] Magro F, Langner C, Driessen A, dkk. Konsensus Eropa tentang histopatologi
[31] Beaugerie L, Svrcek M, Seksik P, dkk. Risiko displasia tingkat tinggi kolorektal dan penyakit radang usus. J Crohns Colitis 2013; 7:827–51.
kanker dalam kohort observasional prospektif pasien dengan penyakit radang [60] Odze RD, Goldblum J, Noffsinger A, dkk. Variabilitas interobserver dalam diagnosis
usus. Gastroenterologi 2013;145:166–75. e8. displasia terkait kolitis ulserativa oleh telepatologi. Mod Pathol 2002;15: 379–86.
[32] Olen O, Erichsen R, Sachs MC, dkk. Kanker kolorektal pada kolitis ulserativa:
studi kohort berbasis populasi Skandinavia. Lancet 2020;395:123–31. [61] van Schaik FD, sepuluh Kate FJ, Offerhaus GJ, dkk. Kesalahan klasifikasi displasia
[33] Olen O, Erichsen R, Sachs MC, dkk. Kanker kolorektal pada penyakit Crohn: studi pada pasien dengan penyakit radang usus: konsekuensi untuk tingkat
kohort berbasis populasi Skandinavia. Lancet Gastroenterol Hepatol 2020;5: 475– perkembangan ke neoplasia lanjut. Radang Usus 2011;17:1108–16.
84. [62] DeRoche TC, Xiao SY, Liu X. Evaluasi histologis pada kolitis ulserativa.
[34] Ou B, Zhao J, Guan S, dkk. Kelangsungan hidup kanker kolorektal pada pasien dengan atau Gastroenterol Rep (Oxf) 2014;2:178–92.
tanpa penyakit radang usus: meta-analisis. Dig Dis Sci 2016;61:881–9. [63] Adamina M, Feakins R, Iacucci M, dkk. Ulasan topikal ECCO mengoptimalkan pelaporan
[35] Gordon C, Chee D, Hamilton B, dkk. Analisis akar penyebab dari peluang yang terlewatkan dalam operasi, endoskopi, dan histopatologi. Kolitis J Crohns 2021.
untuk diagnosis kanker kolorektal pada pasien dengan penyakit radang usus. Aliment [64] Iacopini F, Saito Y, Yamada M, dkk. Diseksi submukosa endoskopi kuratif neoplasma
Pharmacol There 2021;53:291–301. superfisial nonpolypoid besar pada kolitis ulserativa (dengan video).
[36] Selinger CP, Andrews JM, Titman A, dkk. Tindak lanjut jangka panjang mengungkapkan Endosc Gastrointest 2015;82:734–8.
insiden kanker kolorektal yang rendah, tetapi sering membutuhkan reseksi, di antara [65] Draganov PV, Wang AY, Othman MO, dkk. Pembaruan praktik klinis lembaga AGA:
pasien Australia dengan penyakit radang usus. Clin Gastroenterol Hepatol 2014; 12: 644– diseksi submukosa endoskopik di Amerika Serikat. Klinik Gastroenterol Hepatol
50. 2019;17:16–25. e1.
[37] Wintjens DSJ, Bogie RMM, van den Heuvel TRA, dkk. Insiden dan klasifikasi kanker [66] Oresland T, Bemelman WA, Sampietro GM, dkk. Konsensus berdasarkan bukti Eropa
kolorektal pascakolonoskopi pada penyakit radang usus: studi kohort berbasis pada operasi untuk kolitis ulserativa. J Crohns Colitis 2015; 9:4–25.
populasi Belanda. J Crohns Colitis 2018;12:777–83. [67] Bemelman WA, Warusavitarne J, Sampietro GM, dkk. Konsensus ECCO-ESCP tentang
[38] Shah SC, Ten Hove JR, Castaneda D, dkk. Risiko tinggi neoplasia kolorektal lanjut operasi untuk penyakit Crohn. J Crohns Colitis 2018;12:1–16.
pada pasien dengan kolangitis sklerosis primer yang terkait dengan penyakit [68] Ten Hove JR, Bogaerts JMK, Bak MTJ, dkk. Komplikasi ganas dan tidak ganas dari
radang usus. Klinik Gastroenterol Hepatol 2018;16:1106–13. e3. tunggul rektum pada pasien dengan penyakit radang usus. Radang Usus Dis
[39] Lazaridis KN, LaRusso NF. Kolangitis sklerosis primer. N Engl J Med 2016;375: 1161– 2019;25:377–84.
70. [69] Peyrin-Biroulet L, Germain A, Patel AS, dkk. Tinjauan sistematis: hasil dan
[40] Olsson R, Danielsson A, Jarnerot G, dkk. Prevalensi kolangitis sklerosis primer pada komplikasi pasca operasi setelah kolektomi untuk kolitis ulserativa. Aliment
pasien dengan kolitis ulserativa. Gastroenterologi 1991;100:1319–23. Pharmacol There 2016;44:807–16.
[41] Lutgens M, van Oijen M, Mooiweer E, dkk. Pendekatan profil risiko untuk [70] Woehl A, Hawthorne A, McEwan P. Hubungan antara aktivitas penyakit, kualitas hidup dan
pengawasan penyakit radang usus-karsinoma kolorektal lebih hemat biaya: utilitas kesehatan pada pasien dengan kolitis ulserativa. Gut 2008. 57[Suppl 1]: A153-4.
analisis efektivitas biaya komparatif antara pedoman internasional. Endosc
Gastrointest 2014;80:842–8. [71] Bonovas S, Fiorino G, Lytras T, dkk. Tinjauan sistematis dengan meta-analisis:
[42] Mooiweer E, van der Meulen-de Jong AE, Ponsioen CY, dkk. Insiden kanker kolorektal penggunaan 5-aminosalisilat dan risiko neoplasia kolorektal pada pasien dengan
interval di antara pasien penyakit radang usus yang menjalani pengawasan penyakit radang usus. Aliment Pharmacol Ada 2017;45:1179–92.
kolonoskopi reguler. Clin Gastroenterol Hepatol 2015; 13:1656–61. [72] Qiu X, Ma J, Wang K, dkk. Efek kemopreventif asam 5-aminosalisilat pada penyakit
[43] Prentice RE, Hollingsworth L, Middleton C, dkk. Surat: surveilans kanker kolorektal radang usus terkait kanker kolorektal dan displasia: tinjauan sistematis dengan
pada penyakit radang usus-seruan untuk reformasi sistematis. Aliment Pharmacol meta-analisis. Oncotarget 2017;8:1031–45.
There 2021;53:953–4. [73] Lopez A. Peyrin-Biroulet L. 5-Asam aminosalisilat dan pencegahan kemo: apakah itu
[44] Mahmoud R, Itzkowitz SH. Editorial: kehilangan peluang untuk mendeteksi kanker kolorektal berhasil? Gali Dis 2013;31:248–53.
pada penyakit radang usus - sampai ke akarnya. Aliment Pharmacol There 2021;53:335–6. [74] Wijnands AM, de Jong ME, Lutgens M, dkk. Faktor prognostik untuk neoplasia
kolorektal lanjut pada penyakit radang usus: tinjauan sistematis dan metaanalisis.
[45] Clark BT, Protiva P, Nagar A, dkk. Kuantifikasi persiapan usus yang memadai untuk Gastroenterologi 2020.
skrining atau pengawasan kolonoskopi pada pria. Gastroenterologi 2016;150: 396– [75] Zhu Z, Mei Z, Guo Y, dkk. Mengurangi risiko penyakit radang usus terkait neoplasia
405. kuis e14-5. kolorektal dengan penggunaan tiopurin: tinjauan sistematis dan metaanalisis. J
[46] Laine L, Kaltenbach T, Barkun A, dkk. Pernyataan konsensus internasional SCENIC Crohns Colitis 2018;12:546–58.
tentang pengawasan dan pengelolaan displasia pada penyakit radang usus. [76] Lu MJ, Qiu XY, Mao XQ, dkk. Tinjauan sistematis dengan meta-analisis: tiopurin
Gastroenterologi 2015;148:639–51. e28. menurunkan risiko neoplasia kolorektal pada pasien dengan penyakit radang
[47] Lichtenstein GR, Picco MF, Solomon S, dkk. Penggunaan chromoendoscopy usus. Aliment Pharmacol Ada 2018;47:318–31.
untuk pengawasan penyakit radang usus. VideoGIE 2018; 3:35–42. [77] Singh S, Khanna S, Pardi DS, dkk. Pengaruh penggunaan asam ursodeoxycholic pada risiko
[48] Iannone A, Ruospo M, Wong G, dkk. Chromoendoscopy untuk surveilans pada neoplasia kolorektal pada pasien dengan kolangitis sclerosing primer dan penyakit
kolitis ulserativa dan penyakit crohn: tinjauan sistematis uji coba secara acak. radang usus: tinjauan sistematis dan meta-analisis. peradangan
Klinik Gastroenterol Hepatol 2017;15:1684–97. e11. Usus Dis 2013;19:1631–8.
[49] Feuerstein JD, Rakowsky S, Sattler L, dkk. Meta-analisis kromoendoskopi berbasis pewarna
dibandingkan dengan endoskopi cahaya putih standar dan definisi tinggi pada pasien
dengan penyakit radang usus dengan peningkatan risiko kanker usus besar. Endosk
Gastrointest 2019;90:186–95. e1.
[50] Resende RH, Ribeiro IB, de Moura DTH, dkk. Pengawasan pada penyakit radang
usus: apakah chromoendoscopy satu-satunya cara untuk pergi? Tinjauan
sistematis dan metaanalisis dari uji klinis acak. Endosc Int Open 2020;8:E578–90.
40
AM Wijnands dkk. European Journal of Internal Medicine 93 (2001) 35–41
[78] Lindor KD, Kowdley KV, Luketic VA, dkk. Asam ursodeoxycholic dosis tinggi untuk [80] Chapman MH, Thorburn D, Hirschfield GM, dkk. British Society of
pengobatan primary sclerosing cholangitis. Hepatologi 2009;50:808–14. Gastroenterology dan pedoman UK-PSC untuk diagnosis dan tatalaksana
[79] Eaton JE, Silveira MG, Pardi DS, dkk. Asam ursodeoxycholic dosis tinggi dikaitkan primary sclerosing cholangitis. Usus 2019;68:1356–78.
dengan perkembangan neoplasia kolorektal pada pasien dengan kolitis ulserativa
dan kolangitis sklerosis primer. Am J Gastroenterol 2011;106:1638–45.
41
REVIEW JURNAL
Khoirunnisa’ Munawaroh
STIKes Mitra Bunda Persada Batam
email: anieza17@gmail.com
Doi : 10.30787/gaster.v16i2.291
Received: August 2018 | Revised: August2018 | Accepted: August 2018
ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pada pasien kanker kolorektal merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan yang terjadi pada pasien akibat dari adanya penekanan sel tumor dan juga
efek samping obat kemoterapi. Nyeri pada pasien kanker perlu dikaji untuk menentukan
intervensi keperawatan yang tepat sesuai dengan tingkatan nyerinya. Tujuan dari penelitian
untuk mendeskripsikan skala nyeri pada pasien kanker kolorektal yang menjalani kemoterapi.
Metode: Metode penelitian merupakan penelitian deskriptif. Subyek penelitian sebanyak 24 pasien
kanker kolorektal dengan kemoterapi ditentukan dengan teknik simple random sampling. Data
dikumpulkan menggunakan instrumen buku harian yang didalamnya terdapat numeric rating
scaleuntuk nyeri. Hasil: Nilai rata-rata nyeri pasien hari pertama hingga hari kesembilan yaitu
4,33SD 1,09 hingga 3,45 SD 1,06. Kesimpulan: Nyeri pada pada pasien kanker kolorektal yang
menjalani kemoterapi ada pada kategori sedang. Perawat hendaknya mengkaji nyeri pada pasien
kanker kolorektal yang menjalani kemoterapi dan memberikan intervensi yang tepat.
Kata kunci: nyeri; kanker kolorektal
ABSTRACT
Background: Pain in patients with colorectal cancer is an unpleasant experience that occurs
in patients due to tumor cell suppression and also the side effects of chemotherapy drugs. Pain
in cancer patients needs to be studied to determine the right nursing intervention according to
the level of pain. The aim of this study was to describe pain scale in colorectal cancer patients
undergoing chemotherapy. Method: The research method is descriptive research. Research
subjects were 24 patients with colorectal cancer with chemotherapy determined by simple
random sampling technique. Data is collected using a diary instrument in which there is a
numeric rating scale for pain. Results: The average value of pain of patients on the first day to
the ninth day is 4.33SD 1.09 to 3.45 SD 1.06. Conclusion: Pain in colorectal cancer patients
undergoing chemotherapy is in the moderate category. Nurses should assess pain in colorectal
cancer patients who undergo chemotherapy and provide appropriate interventions.
Keywords: Pain; Colorectal cancer
tahun 2008 menjadi 14,1 juta kasus di tahun dilakukan antara lain dengan pembedahan
2012. Jumlah kematian meningkat dari 7,6 dan kemoterapi. Kemoterapi merupakan
juta jiwa pada tahun 2008 menjadi 8,2 juta suatu metode pemberian sitostatika untuk
jiwa pada tahun 2012.(WHO 2012) Menurut menghambat dan membunuh sel-sel dalam
Riskesdas tahun 2013 angka kejadian kanker tubuh yang aktif membelah.(Henry 2007;
di Indonesia yaitu 1,4 per 1000 penduduk atau Smelter et al. 2010; Rasjidi 2013)Kemoterapi
sekitar 33.000 jiwa dengan prevalensi kanker merupakan terapi yang diberikan pada
tertinggi berada pada Provinsi DI Yogyakarta, pasien kanker kolorektal stadium II yang
yaitu sebesar 4,1%. (Depkes RI, 2013) beresiko terjadi kekambuhan, stadium III
dan satdium IV. Jenis obat kemoterapi untuk
Kanker merupakan penyakit yang
kanker kolorektal antara lain, 5-flurourasil,
disebabkan oleh peningkatan dan pertumbuhan
leucovorin, oxaliplatin, capecitabine, atau
sel dalam tubuh secara tidak normal.
kombinasi dari obat-obat tersebut.
Pertumbuhan dan pertambahan sel kanker ini
dapat bersifat destruktif atau merusak sel-sel Adanya penekanan jaringan kanker pada
sehat dengan cara menginfiltrasi ke jaringan syaraf sehat dan juga efek samping obat
lain melalui pembuluh limfe atau pembuluh kemoterapi menyebabkan pasien mengalami
darah.(Smelter et al. 2010; Rasjidi 2013; nyeri. Nyeri merupakan suatu pengalaman
Nasional Cancer Institute 2015) Kanker kolon yang tidak menyenangkan secara fisik dan
merupakan pertumbuhan sel epiteal secara emosional akibat adanya kerusakan jaringan.
tidak normal pada lapisan usus. Kanker kolon (Rice 2008) Nyeri pada pasien kanker bersifat
kronik. Nyeri kronik merupakan nyeri yang Rentang rata-rata nyeri pasien yaitu 4-9
terjadi dengan onset tiba-tiba atau lambat atau pada rentang nyeri sedang hingga berat
dari intensitas rendah hingga berat yang (Ovayolu et al. 2014).
terjadi lebih dari 3 bulan (Herdman 2015). Nyeri kanker berdampak pada fisik,
Hasil penelitian menunjukkan insidensi nyeri psikologis, sosial, dan spiritual. Dampak
sejumlah 28% dari penderita kanker pada awal fisik antara lain; kelelahan, nafsu makan
diagnosis dan akan meningkat menjadi 40% menurun, muntah, penurunan kekuatan
hingga 80%(O’Connor M, Weir J, Butcher I otot. Dampak psikologis yaitu; kesulitan
n.d.; Van den Beuken-van Everdingen MH, konsentrasi, ketakutan, depresi dan juga
de Rijke JM, Kessels AG 2007; Mercadante kecemasan. Dampak sosial yaitu penurunan
2007). Nyeri dapat dipengaruhi oleh beberapa hubungan sosial dan gangguan penampilan.
hal antara lain jenis kanker dan kondisi tubuh, Dampak spiritual yaitu; peningkatan perasaan
jenis kelamin, budaya dan kondisi klinis dari menderita, gangguan arti dan tujuan hidup,
pasien.(Rice 2008; Fillingim RB, King CD, gangguan dalam keyakinan religius.(Beck
Ribeiro-Dasilva MC, Rahim-Williams B 2009) et al. 2005; Miaskowski C, Dodd M 2004;
Nyeri akibat efek samping obat kemoterapi Gehdoo 2006). Nyeri mengakibatkan berbagai
yaitu neuropati dengan gejala kesemutan dan dampak sehingga perawat perlu mengetahui
nyeri pada tangan dan kaki. Nyeri pasien kanker gambaran nyeri pada pasien kanker kolorektal
kolorektal dengan terapi dirasakan dibeberapa dengan kemoterapi. Penelitian ini bertujuan
tempat antara lain, tungkai atau kaki (52.2%), untuk mengetahui gambaran nyeri pada
pasien kanker kolorektal yang menjalani
punggung (30.4%), pelvis/rektum/genitalia
kemoterapi pada saat di rumah sakit dan satu
(17.4%), lengan/tangan (17.4%), abdomen
minggu di rumah.
(13%), and leher (8.7%). Faktor-faktor yang
mengakibatkan peningkatan nyeri yaitu
B. METODE DAN BAHAN
naik tangga (34.8%), berjalan (30.4%),
mengangkat (21.7%), overextending (17.4%), Penelitian ini merupakan penelitian
(8.7%), tidur (8.7%), dan hal lain seperti diet, Ruang Cenderawasih RSUP dr Kariadi
stres dan cuaca (39%). (Lowery et al. 2013) Semarang pada Desember 2016-Januari 2017.
Penelitian ini direview oleh Komite etik 3. Buku harian tersebut diisi setiap pasien
kesehatan Universitas Diponegoro-RS Kariadi hendak tidur selama pasien 3 hari
pasien kanker kolorektal yang menjalani sakit dan selama 6 hari pasien di rumah.
kemoterapi. Sampel diambil dengan teknik 4. Buku harian pasien dikumpulkan kembali
simple random sampling sejumlah 24 pasien kepada peneliti pada hari ke 10.
5. Pada saat pasien di rumah peneliti
dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai
melakukan telepon setiap 3 hari pada
berikut:
pasien untuk memastikan bahwa buku
Kriteria inklusi
harian sudah terisi.
1. Pasien kanker kolon yang menjalani
6. Data yang diperoleh oleh peneliti dianalisis
kemoterapi
menggunakan software SPSS 20.
2. Stadium kanker 3-4
3. Pasien berusia 18-60 tahun
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. Mampu menulis
Data karakteristik responden disajikan
Kriteria eksklusi
pada tabel 1. Usia rata-rata responden yaitu
Pasien mendapatkan tambahan terapi
49,58 SD 9,79. Responden laki-laki lebih
radioterapi
banyak dari responden perempuan dengan
penelitian ini yaitu dengan buku harian pasien antara lain ca colon, ca rectum, ca
nyeri yang di dalamnya terdapat numeric colon metas hepar, ca recti metas hepar dan
rating scale. Metode pengambilan data pada ca colorectal. Responden paling banyak yaitu
1. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan Tabel 1 Data Karakteristik Responden
eksklusi menandatangani inform concent karakteristik n (%) atau mean (SD)
sebagai keterangan jika pasien bersedia usia
Mean (SD) 49.58 (9.79)
berpartisipasi dalam penelitian. 18-45 6 (25.00)
46-60 18 (75.00)
2. Pasien diberikan buku harian nyeri pada Jenis kelamin
laki-laki 14 (58.30)
saat hari pertama menjalani kemoterapi
perempuan 10 (47.70)
Gambaran Skala nyeri penekanan tumor pada area kolon dan atau
rektum menyebabkan kerusakan jaringan di
Pada hari pertama rata-rata skala nyeri
sekitar kanker menyebabkan nyeri. Luka post
pasien yaitu 4.33 SD 1.09 sedangkan nyeri
operatif masih dalam masa penyembuhan
pada hari ke 9 menunjukkan nilai rata-rata
dan adaptasi awal dari obat kemoterapi
3,45 SD 1.06 . Gambaran nyeri pada pasien
yang mempunyai efek merusak sel-sel saraf
kanker kolorektal yang menjalani kemoterapi
menyebabkan pasien mengalami nyeri.
mengalami penurunan dapat dilihat pada tabel
2 berikut Pada kondisi pasien yang mengalami
metastasis obat kemoterapi yang digunakan
Tabel 2 Gambaran skala nyeri pada pasien
kanker kolorektal yang menjalani adalah avastin sehingga menimbukan
kemoterapi
kerusakan saraf yang lebih banyak daripada
hari mean SD
1 4,33 1,09 kemoterapi pada pasien dengan stadium
2 4,45 1,14 III(Rasjidi 2013). Nyeri pada pasien ini disebut
3 4,41 1,34
4 4,33 1,34 dengan nyeri neuropatik. Adanya gangguan
5 4,04 1,04 pada sistem saraf akan menyebabkan lepasnya
6 4,00 1,28
7 3,79 0,93 muatan spontan dan paroksismal pada sistem
8 3,58 1,05
saraf perifer dan pusat atau menyebabkan
9 3,45 1,06
hilangnya modulasi inhibitor pusat. (Farastuti Pada penelitian ini sampel yang digunakan
& Windiastuti 2005; Lukman & Harjanto masih kecil yaitu dibawah 50 dengan proporsi
2007) sampel di setiap siklus tidak sama sehingga
perlu ditambahkan untuk jumlah sampel secara
Nilai mean pre tes hari pertama pada
proporsif disetiap siklus. Perlu penelitian
kelompok intervensi menunjukkan nilai 4,33
lebih lanjut terkait dengan pengkajian
SD 1,09 sedangkan pada kelompok kontrol
komprehensif nyeri meliputi provocating,
yaitu 3,45 SD 1,06. Hal ini sesuai dengan hasil
quality,region, scala, dantime. Selain itu perlu
penelitian lowery bahwa nilai nyeri pada pasien
adanya penelitian lanjut terkait intervensi
kanker kolorektal yaitu antara 4-6.(Lowery
keperawatan untuk mengatasi nyeri pasien.
et al. 2013). Nyeri pada pasien meningkat
pada pada hari kedua dilakukan pemberian
D. KESIMPULAN
obat kemoterapi dan menurun setelah pasien
di rumah. Pasien menyatakan bahwa obat Nyeri pada pada pasien kanker
kemoterapi di hari kedua mempunyai efek kolorektal yang menjalani kemoterapi ada
lebih nyeri dibandingkan dengan obat hari pada kategori sedang (4-6). Perawat hendaknya
pertama. Hasil penelitian (Brant et al. 2011) mengkaji nyeri pada pasien kanker kolorektal
nyeri pasien kanker kolorektal mengalami mandiri dan kolaboratif dapat diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Beck, S., Dudley, W. & Barsevick, A., 2005. Pain, sleep disturbance, and fatigue in patients with
cancer: using a mediation model to test a symptom cluster. Oncol Nurs Forum, 32, p.542.
Van den Beuken-van Everdingen MH, de Rijke JM, Kessels AG, et al, 2007. Prevalence of
pain in patients with cancer: a systematic review of the past 40 years. Ann Oncol, 18,
pp.1437–1449.
Brant, J.M. et al., 2011. Symptom trajectories during chemotherapy in outpatients with lung
cancer colorectal cancer , or lymphoma. European Journal of Oncology Nursing, 15(5),
pp.470–477. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.ejon.2010.12.002.
Farastuti, D. & Windiastuti, E., 2005. Penanganan Nyeri pada Keganasan. Sari Pediatri, 7(3),
pp.153–159.
Fillingim RB, King CD, Ribeiro-Dasilva MC, Rahim-Williams B, R.J., 2009. Sex, gender,
and pain: a review of recent clinical and experimental findings. journal pof pain, 10,
pp.447–485.
Gehdoo, R.P., 2006. CANCER PAIN MANAGEMENT. Indian J. Anaesth, 50(5), pp.375–390.
Henry, N., 2007. Pencegahan dan terapi kanker, jakarta: Universitas Indonesia.
Herdman, T.., 2015. Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2015-2017, Oxford:
Wiley-Blackwell.
Lowery, A.E. et al., 2013. Frequency , Characteristics , and Correlates of Pain in a Pilot
Study of Colorectal Cancer Survivors 1 – 10 Years Post-Treatment. Pain Medicine, 14,
pp.1673–1680.
Lukman, G. & Harjanto, E., 2007. Tata laksana Nyeri Farmakologis Kanker. Indonesian Journal
Of Cancer, 3, pp.121–123.
Mercadante, S., 2007. Why are our patients still suffering pain? Nat Clin Pract Oncol, 4,
pp.138–139.
Miaskowski C, Dodd M, L.K., 2004. Symptom clusters: the new frontier in symptom management
research. Natl Cancer Inst Monogr, pp.17–21.
O’Connor M, Weir J, Butcher I, et al, Pain in patients attending a specialist cancer service:
prevalence and association with emotional distress. Journal Pain Symptom Manage,
43(29-38).
Ovayolu, Ö., Ovayolu, N. & Aytaç, S., 2014. Pain in cancer patients : pain assessment by patients
and family caregivers and problems experienced by caregivers. Support Care Cancer.
Rice, A., 2008. Clinical Pain management : cancer Pain two. D. Justin et al., eds., London:
Hodder Arnold.
Smelter, S. et al., 2010. Textbook of Medical Surgical Nursing Twelfth ed., Philadhelpia:
Lippincott William and Wilkins.
Keywords: ABSTRACT
Chronic Mieloid
Leukemia, Oral Background: Oral lesion is one the clinical signs found in chronic myeloid leukemia
Lesion (CML). CML is a myeloid cell neoplasm that have oral manifestations such as
gingival hyperplasia, spontaneous haemorrhage, petechiae, oral infection, mucosal
pallor, and ulceration. The purpose is to find out how to diagnose and oral lesions
associated CML to occure, so the dentist could provide the right therapy
Case Management: 46 years old male was referred from Internal Medicine
Department with diagnosis CML. The patient complained of pain at the right upper
gum. Cheilitis exfoliative was found at the extra oral examination, while intra
oral examination found ulcer at the palate. Blood test result showed decreases
of Haemoglobin, Hematocrite, erythrocytes which showed iron deficiency anemia
causes disruption of oral mucosal integrity, thereby facilitating oral ulcerations.
Based on history, clinical examination and laboratory investigation, intra-oral
abnormality was diagnosed as oral lesion associated CML. Triamcinolone acetonide
0.1% in orabase as theraphy oral lesion, vaseline album for management exfoliative
cheilitis, and Surbex Z® as multivitamin. Oral ulcer improved within 6 weeks.
Conclusion: The diagnosis oral lesions associated CML can be diagnosed based
on history, clinical examination and laboratory investigation. Oral ulcers in this
patient caused by iron deficiency anemia.
*Department of Periodontology, Faculty of Dentistry Universitas Islam Sultan Agung,** Department of Periodontolo-
gy, Faculty of Dental Medicine Universitas Airlangga
Korespondensi: megarafika@gmail.com
LAPORAN KASUS
meriksaan ekstraoral ditemukan bibir eksfolia- foliatif, dan Surbex Z® sebagai multivitamin.
tif. Pemeriksaan intraoral pada palatum ar 17 Pada kunjungan ke-2 atau 7 hari setelah
ditemukan ulser disertai nyeri, berukuran 1x0,5 kunjungan pertama, keluhan pada rongga
cm, dasar cekung, warna merah, tepi ireguler mulut khususnya terkait lesi ulser bertambah
membulat dikelilingi batas putih, kedalaman besar dan dalam. Pada pemeriksaan intra
±3mm. (Gambar 2a-c). oral daerah ulser pada regio 17 memperlihat-
Hasil pemeriksaan darah memperlihatkan kan lesi ulser disertai nyeri sedang, berukuran
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan 1,5x0,5 cm, dasar cekung, warna merah, tepi
eritrosit (Tabel 1a-c). ireguler membulat dikelilingi batas putih dan
Terapi dari bagian Ilmu penyakit dalam ada- kedalaman ±4 cm. (Gambar 3a-c).
lah glivec® 100 mg 2-0-2 dan pasien selalu Terapi yang diberikan adalah mengganti
kontrol rutin ke bagian Hemato-onkologi RSHS triamcinolone acetonide 0,1% dengan salep
Bandung. racikan yang terdiri dari triamcinolone ace-
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan tonide 0,1% in orabase tube no I dengan dek-
klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan sametasone tab 1 mg.
penunjang, ditegakkan diagnosis lesi ulsera- Pada kunjungan terakhir (±1 bulan setelah
tif terkait LMK, dan cheilitis eksfoliatif. Terapi kunjungan kedua), keluhan nyeri pada pala-
yang diberikan dari Departemen Ilmu Penyakit tum sudah tidak ada dan lesi ulser telah men-
Mulut (IPM) adalah triamcinolone acetonide galami penyembuhan (gambar 4a-c). Pasien
0,1% in orabase sebagai terapi untuk lesi oral, kontrol rutin ke bagian Hemato-onkologi dan
vaseline album untuk tatalaksana cheilitis eks- diberikan terapi yang sama dari Ilmu Penyakit
ODONTO Dental Journal. Volume 6. Nomor 1. Juli 2019
Rafika/Setiadhi 65
Gambar 3. a. Wajah simetris b.dan c Ulser tunggal dengan ukuran 1,5x0,5cm pada palatum
Gambar 4.a. Wajah simetris b.dan c Ulser pada palatum telah mengalami penyembuhan
Dalam yaitu glivec® 100 mg 2-0-2. saan darah lengkap. Terdapat 3 fase LMK yai-
tu fase kronis, fase akselerasi dan fase blast.
DISKUSI Pada LMK fase kronis terdapat tanda dan ge-
jala umum yaitu anemia dan splenomegali,
Leukemia Mieloid kronik (LMK) merupakan kelelahan, penurunan berat badan, malaise,
kelainan keganasan mieloproliferatif (MPN) serta rasa sakit pada kuadran kiri atas yang
yang sering terjadi, disebabkan oleh translo- juga dikeluhkan pada pasien ini.6,13,14
kasi resiprokal sehingga menghasilkan pem- Diagnosis leukemia ditegakkan berdasar-
bentukan cimerik onkogen yang disebut BCR/ kan anamnesis, pemeriksaan klinis serta pe-
ABL, menyebabkan pembelahan tidak terkon- meriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah
trol dari sel mieloid.4 Insidensi LMK berva- lengkap. Pemeriksaan darah lengkap dilaku-
riasi menurut usia, ras dan etnis serta lokasi kan sebagai skrining awal, jika pasien diduga
geografis. Insiden tertinggi LMK terjadi pada menderita leukemia. Pada skrining awal, leu-
usia 30-50 tahun yang berjalan lambat dan kopeni disertai anemia ditemukan pada leuke-
bertambah parah dengan bertambahnya usia.5 mia kronis yang berkesesuaian dengan hasil
Pasien dalam laporan kasus ini berusia 46 ta- pemeriksaan hematologi pasien dalam laporan
hun. kasus ini yaitu adanya penurunan hemoglobin,
Berdasarkan anamnesis, terdapat keluhan hematokrit, dan eritrosit yang menunjukkan
sakit pada perut sebelah kiri atas dengan diag- anemia.15 Leukosit berperan dalam memfa-
nosis LMK fase kronis. Sekitar 30-50% pasien gosit patogen yang masuk ke dalam tubuh dan
LMK asimptomatik dan penyakit ini didiagnosis pada pasien ini, nilai leukosit di bawah normal
berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemerik- yang menyebabkan menurunnya imunitas tu-