Anda di halaman 1dari 73

PROPOSAL SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


PERILAKU SEKS SAAT BERPACARAN PADA SISWA/I DI
SMAN 11 KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2020

DI SUSUN OLEH :
SITI BARKATUNNISA
1705019002

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2020

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan World Health Organization WHO, (2015) sebanyak


11% remaja di dunia yang berumur 15-19 tahun sudah hamil seperti di
negara Cina sebanyak 2%, Amerika Latin 18%, dan Afrika 50%. Remaja
merupakan populasi terbesar hampir 1,2 milyar yang berumur 10-19
tahun di seluruh dunia. Di beberapa negara, remaja membentuk hingga
seperempat dari populasi dan jumlah negara diperkirakan akan
meningkat hingga tahun 2050.
Hasil survei Departemen of Health & Human Services, (2019)
terhadap siswa sekolah menengah di Amerika serikat didapatkan Remaja
berpacaran kurang dari sekarang dibandingkan masa lalu. Perubahan ini
paling mencolok bagi siswa kelas 12, di mana persentase remaja yang
tidak berkencan meningkat dari 14 p.ersen pada tahun 1991 menjadi 38
persen pada tahun 2013. Aktivitas seksual remaja juga telah menurun
dari beberapa dekade sebelumnya.5 Persentase siswa sekolah menengah
Amerika Serikat yang pernah berhubungan seks menurun dari 54 persen
pada 1992 menjadi 40 persen pada 2017.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017 tentang wanita dan pria menurut karakteristik, secara umum
80% wanita dan 84% pria yang melaporkan pernah berpacaran. Menurut
kelompok umur 15-17 tahun merupakan umur mulai pacaran pertama
kali yang paling banyak disebutkan yaitu 45% pada wanita dan 44% pada
pria. Diantara pria dan wanita mengaku pernah berpacaran paling banyak
pada pendidikan SMA yaitu 92% wanita dan 94% pria.
Di Indonesia pada perilaku berpacaran, berpegangan tangan
paling banyak dilakukan wanita dan pria (64% dan 75%), pria cenderung
lebih banyak melaporkan perilaku cium bibir (50%) dan berpelukan
(33%) dibandingkan dengan wanita (30% dan 17%) (SDKI, 2017)

1
Presentasi wanita dan pria umur 15-24 tahun yang setuju terhadap
perilaku seksual pranikah menunjukkan alasan menurut karakteristik.
Alasan tertinggal adalah saling mencintai (83%) dan suka sama suka
(82%) (SDKI, 2017).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017, perilaku seks pranikah remaja di Indonesia mencapai 14,6%.
Angka ini terbilang tinggi. Hal ini mengejutkan, sebagian besar remaja
beralasan berhubungan seks pranikah karena penasaran
Di indonesia, ada sekitar 4,5% remaja laki-laki dan 0,7% remaja
perempuan usia 15-19 tahun yang mengaku pernah melakukan seks
pranikah. Pada remaja usia 15-19 tahun, proporsi terbesar berpacaran
pertama kali pada usia 15-17 tahun. Sekitar 33,3% remaja perempuan
dan 34,5% remaja laki-laki yang berusia 15-19 tahun mulai berpacaran
pada saat mereka belum memiliki keterampilan hidup (life skills) yang
memadai, sehingga mereka berisiko memiliki perilaku pacaran yang
tidak sehat antara lain melakukan hubungan seks pranikah (D. N. Sari,
Darmana, & Muhammad, 2018).
Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), jumlah remaja perempuan di Indonesia, menurut
Sensus Penduduk 2010 adalah 21.489.600 atau 18,11% dari jumlah
perempuan. Pada 2035, menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-
2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA 2013) remaja perempuan akan
berjumlah 22.481.900 atau 14,72% dari jumlah perempuan. Jadi
meskipun jumlahnya proporsinya sedikit menurun, namun jumlah
tersebut masih cukup besar (BKKBN, 2016)
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun
2014, menemukan 46% remaja berusia 15-19 tahun sudah berani
melakukan hubungan seksual pranikah. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mendapati bahwa 62,7% remaja Sekolah Menegah
Pertama (SMP) di Indonesia sudah tidak perawan. BKKBN mencatat
meningkatnya kasus hubungan seksual dikalangan remaja Indonesia
akibat mudahnya mengakses informasi mengenai masalah seksual

2
melalui internet.Remaja saat ini sudah menganggap hubungan seksual
adalah hal yang biasa dilakukan ketika remaja sedang berpacaran.
Menurut data Kemenkes RI tahun (2015), usia 15-17 tahun
adalah proporsi terbesar berpacaran pertama kali sekitar 33,3% remaja
perempuan dan 34,5% remaja laki-laki berusia 15-19 tahun telah
berpacaran saat usia mereka di bawah 15 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan (Agustini & Reztya, 2013)
perilaku pacaran dan seksual dikalangan remaja pada siswa siswi kelas 3
SMA Negeri 3 Cilegon Banten di ketahui proporsi responden beresiko
perilaku seksual pranikah yaitu berciuman bibir 53%, meraba-raba dada
18,4%, kegiatan meraba-raba kelamin 7,7%, menggesek-gesek kelamin
5,7%, hubungan seksual 6,5%. Dan perilaku seksual yang tidak beresiko
yaitu berpacaran sebesar 94,3%, kegiatan berpegangan tangan 90,8%,
berangkulan 80,1%, berpelukan 69,3% dan berciuman pipi 73,9%. Hasil
penelitian ini dibuktikan oleh penelitian Ariyanto mengungkapkan bahwa
41,3% melakukan ciuman bibir dengan pasangannya, 16,7% melakukan
ciuman pipi, 1,4% tidak melakukan perilaku seksual dalam berpacaran.
Berciuman bibir merupakan perilaku seksual yang paling banyak
dilakukan oleh partisipan (Agustini & Reztya, 2013)
Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo dkk, (2014) di SMA
Muhammadiyah 2 Tangerang, bahwa jawaban dari setiap pertanyaan
diketahui bahwa 65% responden sahabat/teman menganggap wajar jika
remaja seumurnya berciuman pipi dengan pacar/pasangannya. Sebagian
besar responden telah mengetahui bahwa sahabat/temannya telah
melakukan perilaku seks pranikah seperti berpegangan tangan (95%),
berpelukan (72%), mencium pipi (76%), berciuman bibir (49%), saling
meraba bagian tubuh yang sensitif (28%), petting (14%),
masturbasi/onani (21%) dan berhubungan badan/intercourse (15%). Dan
terdapat 45 responden (45%) pernah diajak menonton film porno oleh
sahabat/temannya. Serta 33 responden (33%) pernah diajak untuk
membaca majalah pornografi oleh sahabat/temannya. Sedangkan
responden yang merasa terdorong atas ajakan/pengaruh dari

3
sahabat/temannya untuk melakukan hubungan seks sebanyak 14
responden (14%) (Purnomo dkk, 2014)
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang, melalui wawancara dan observasi dengan salah satu guru
BK, bahwa dilingkungan sekolah banyak siswa yang berstatus pacaran
dan melakukan kegiatan seperti ngobrol, duduk berdua, berpegangan
tangan, meraba-raba pada daerah tertentu, serta memisahkan diri dari
teman-temannya. Diketahui terdapat 5 kasus siswa yang dikeluarkan
karena diketahuinya siswa/i berhubungan seksual yang diketahui namun
tidak hamil, 5 kasus seperti hamil diluar nikah pada siswi, dan 2 kasus
video porno yang dilakukan siswa/i SMAN 11 Kabupaten Tangerang di
7 tahun terakhir. Perilaku tersebut dilakukan berawal dari seringnya
menonton video porno, rasa penasaran dan dipengaruhi pergaulan
lingkungan dan siswi yang diketahui hamil akan langsung dikeluarkan
oleh sekolah.
Melihat gambaran diatas peneliti ingin mengetahui Faktor-faktor
Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Pada Siswa/i
Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dengan total 12 kasus terberat
diantaranya adalah 5 kasus siswa/i dikeluarkan sekolah dengan kasus
berhubungan seksual yang diketahui namun tidak hamil, 5 kasus hamil
diluar nikah, dan 2 kasus video porno yang dilakukan siswa/i yang
beredar, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul
Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran
Pada Siswa/i Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020. Selain
itu, dikarenakan belum pernah diteliti sebelumnya sehingga belum
diketahuinya Pengaruh Berpacaran dengan Perilaku Seks Pranikah pada
Siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020.

4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran pada Siswa/i di
SMA11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran perilaku seks saat berpacaran pada
siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
b. Diketahuinya gambaran religiusitas pada siswa/i di SMAN 11
Kabupaten Tangerang Tahun 2020
c. Diketahuinya gambaran pengetahuan pada siswa/i di SMAN 11
Kabupaten Tangerang Tahun 2020
d. Diketahuinya gambaran sikap pada siswa/i di SMAN 11
Kabupaten Tangerang Tahun 2020
e. Diketahuinya gambaran media massa (pornografi) pada siswa/i di
SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
f. Diketahuinya gambaran pengaruh teman sebaya pada siswa/i di
SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
g. Diketahuinya gambaran peran orang tua pada siswa/i di SMAN
11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
h. Diketahuinya hubungan religiusitas dengan perilaku seks saat
berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020
i. Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan perilaku seks saat
berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020
j. Diketahuinya hubungan sikap dengan perilaku seks saat
berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020
k. Diketahuinya hubungan media massa (pornografi) dengan
perilaku seks saat berpacaran pada siswa/i di SMAN 11
Kabupaten Tangerang Tahun 2020

5
l. Diketahuinya hubungan pengaruh teman sebaya dengan perilaku
seks saat berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020
m. Diketahuinya hubungan peran orang tua dengan perilaku seks saat
berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Remaja
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat pada remaja
agar dapat lebih peduli pada sikap cinta dari kasih sayang yang kuat,
sehingga dapat berperilaku secara wajar dan tidak melanggar norma-
norma yang berlaku.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi salah satu literatur bagi seluruh komponen
sekolah khususnya bagi siswa siswi dalam penelitian selanjutnya, dan
menjadi tolak ukur khususnya dalam gaya cinta, sikap, dan perilaku
siswa siswi dengan perilaku seks pranikah di sekolah.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai gaya cinta remaja terhadap perilaku seksual pranikah,
sehingga dapat menjadi langkah awal bagi peneliti untuk
merencanakan pemberian pendidikan dan pelayanan di bidang
kesehatan masyarakat peminatan reproduksi remaja. Selain itu,
sebagai tindakan preventif dan promotif untuk mencegah dampak
negatif yang ditimbulkan dari sikap remaja yang mendukung
terhadap perilaku seksual pranikah.
E. Ruang lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk melihat Faktor-faktor apa saja
yang berhubungan dengan perilaku seks saat berpacaran pada siswa/i di
SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020 dengan menggunakan
metode cross sectional dengan pengambilan sampel Simple Random
sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner dengan google

6
form yang dishare melalui whatssap kepada siswa/i kelas X, XII dan XII
dengan bantuan pengarahan bagian kurikulum sekolah, wali kelas dan
guru BK. Penelitian ini dilakukan di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020, dikarenakan belum pernah ada penelitian sebelumnya.
Populasi dalam penelitian dengan jumlah 360 siswa/i dengan sampel 189
siswa/i yang pernah/sedang berpacaran. Lokasi penelitian dilakukan di
SMAN 11 Kabupaten Tangerang. Waktu penelitian di mulai pada bulan
Juni tahun 2020 dan dilakukan pengambilan data penelitian pada bulan
Oktober tahun 2020.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, di mana
terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai
fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif.1
WHO mengindentifikasikan remaja sebagai periode pertumbuhan dan
perkembangan manusia yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan
sebelum dewasa, dari usia 10 sampai 19 tahun (WHO, 2016)
Remaja merupakan sumber daya manusia (SDM) yang paling
potensial sebagai tunas dan penerus bagi bangsa. Menurut WHO satu dari
lima manusia yang hidup di dunia ini adalah remaja (Usia 10-19 tahun)
dan 85% berada di negara berkembang. Oleh sebab itu masa remaja perlu
diperhatikan secara serius agar dapat menjadi manusia yang mempunyai
daya guna yang berarti bagi suatu bangsa serta dapat meningkatkan
kualitas dan kemampuannya yang maksimal (Aritonang, 2015)
Karyanti (2018) masa remaja adalah peralihan dari masa pubertas
menuju masa dewasa. Remaja merupakan masa perkembangan sikap
tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian
(independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian
terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Seseorang disebut remaja
apabila dia telah berkembang ke arah matangan seksual dan memantapkan
identitasnya sebagai individu terpisah dari keluarga, persiapan diri
menghadapi tugas, menentukan masa depannya, dan berakhir saat
mencapai usia matang secara hukum (Pieter & Lubis, 2010). Dalam
budaya Amerika, periode remaja dipandang sebagai masa “Strom &
Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi
dan melamun tentang cinta dan perasaan teraliansi (tersisihkan) dari
kehidupan sosial budaya orang dewasa (Karyanti, 2018).

8
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014,
remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun, sedangkan
menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.
2. Perkembangan Remaja
Pada usia remaja, terjadi perkembangan psikososial dan
kepribadian. Memasuki masa remaja diawali dengan terjadinya
kematangan seksual. Kematangan seksual yang terlalu cepat atau lambat
juga dapat mempengaruhi kehidupan psikososial, yaitu status mereka di
dalam kelompok sebaya. Kematangan seksual yang terjadi pada remaja
juga mengakibatkan mereka mulai tertarik terhadap anatomi fisiologi
tubuhnya, mulai muncul kecemasan – kecemasan dan pertanyaan-
pertanyaan seputar menstruasi, mimpi basah, masturbasi, ukuran buah
dada, penis dan sebagainya (Nilasari & Sari, 2019).
Pada masa remaja pertengahan, para remaja sudah mengalami
pematangan fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami
mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah mengalami haid. Pada
masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak sehingga mereka
mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan
sentuhan fisik. Mereka tidak jarang melakukan pertemuan untuk bercumbu
bahkan kadangkadang mencari kesempatan untuk melakukan hubungan
seksual (Nilasari & Sari, 2019).
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait (seperti
Biologi dan ilmu faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan
fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Pada
akhir peran perkembangan fisik ini akan terjadi seorang pria yang berotot
dan berkumis/berjanggut yang mempu menghasilkan beberapa ratus juta
sel mani (spermatozoa) setiap kali ia berejakulasi, atau seorang wanita
yang berpayudara dan berpinggul besar yang setiap bulannya
mengeluarkan sebuah sel telur dari indungnya (S. wirawan Sarwono,
2015).

9
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap
perkembangan remaja (S. wirawan Sarwono, 2015).
a. Remaja awal (early adolescent) usia 12-15 tahun
Pada tahap ini remaja masih heran dengan perubahan yang terjadi pada
tubuhnya dan dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu.
Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada
lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Sulit mengerti dan
dimengerti orang dewasa karena memiliki kepekaan yang berlebihan
ditambah dengan kekurangannya kendali terhadap ego.
b. Remaja madya (middle adolescent) usia 15-18 tahun
Tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan naristic yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat
yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi
kebingungan karena tidak tahu memilih antara peduli atau tidak peduli,
ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimitis, idealis atau
materialis, dan sebagainya. Remaja mencari identitas diri, timbul
keinginan untuk kencan dan mengembangkan kemampuan berfikir
abstrak.
c. Remaja akhir (late adolescent) usia 18-21 tahun
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu minat yang makin mantap
terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk
bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru,
terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme
(terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan
keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan
tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut
Havighurst (1972) yang dikutip oleh (S. wirawan Sarwono, 2015)
adalah sebagai berrikut:

10
1) Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara
efektif.
2) Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
laki-laki maupun perempuan
3) Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau
perempuan)
4) Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap
orang tua dan orang dewasa lainnya.
5) Mempersiapkan karier ekonomi.
6) Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
7) Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
8) Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah
lakunya.
B. Berpacaran
1. Pengertian Berpacaran
Pacaran dapat didefinisikan sebagai hubungan yang melibatkan
dua orang yang saling jatuh cinta yaitu laki-laki dan perempuan untuk
berinteraksi dan melakukan suatu kegiatan bersama dengan tujuan tertentu
sampai salah satu pihak memutuskan untuk berkomitmen dalam hubungan
yang lebih serius. Misalnya bertunangan, atau menikah (Nurhaniyah,
2016)
Menurut Kemenkes, (2015) permasalahan remaja saat ini
dipengaruhi oleh gaya berpacaran yang tidak sehat sehingga dapat
melakukan hubungan seks pranikah. Hubungan seks pranikah yang terjadi
pada remaja disebabkan oleh rasa penasaran/ingin tahu (57,5% laki-laki),
terjadi begitu saja (38% perempuan), dan dipaksa oleh pasangan (12,6%
perempuan). Hal tersebut mencerminkan kurangnya pemahaman remaja
tentang risiko hubungan seksual dan kemampuan untuk menolak
hubungan yang tidak mereka inginkan.
Pacaran bukan merupakan hal yang asing bagi remaja bahkan
sudah merupakan tuntutan jaman dan jika tidak punya pacar akan dicap
kuno dan tidak gaul. Bila sudah punya pacar pun sudah ada “standarnya”

11
apa yang harus dilakukan, karena itu remaja yang tidak mempunyai
dasar/konsep diri yang kuat dapat terjebak pengaruh
lingkungan.Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak
hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa
menimbulkan salah persepsi (Rahmadani, Agushybana, Dharmawan,
Biostatistika, & Masyarakat, 2018)
Pintu masuk masalah kesehatan reproduksi remaja adalah melalui
pacaran. Pacaran merupakan pintu gerbang masuknya pada perilaku seks
pranikah (seks bebas). Apalagi pada saat ini pacaran dianggap sebagai
suatu hal wajar, yang seringkali dianggap sebagai cara untuk saling
mengenal satu sama lain (El-Hakim, 2014).
2. Alasan Berpacaran
Menurut Rice (1990) dikutip oleh (S. P. Sari, 2016) beberapa hal yang
menjadi alasan mengapa remaja berpacaran adalah:
a. Rekreasi atau bersenang-senang
Salah satu alasan remaja berpacaran adalah bersenang-senang, karena
pacaran adalah bentuk dari rekreasi dan sumber dari kegembiraan.
b. Kebersamaan
Untuk mendapatkan rasa pertemanan atau persahabatan yang dekat
dengan lawan jenisnya adalah alasan yang kuat dalam berpacara
c. Mencari status dan prestasi
Remaja menggunakan pacaran sebagai cara untuk mendapatkan status
dan prestasi (penghargaan)
d. Bersosialisasi
Melalui pacaran remaja belajar bekerja sama, bertanggung jawab,
kecakapan sosial dan etika dan cara untuk berinteraksi serta
menyesuaikan diri dengan orang lain.
e. Untuk eksperimental atau kepuasan seksual
Beberapa penelitian menunjukkan adanya remaja-remaja melakukan
hubungan seksual selama pacaran, tetapi perilaku ini tergantung dari
sikap, perasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh remaja itu sendiri.
f. Penyeleksi pasangan

12
Jika remaja pria dan wanita memiliki persamaan dalam karakteristik
kepribadian, hal ini lebih disukai untuk mengembangkan hubungan
daripada tidak ada persamaan dalam karakteristik fisik, psikologi dan
sosial.
g. Untuk mendapat keintiman
Keintiman yang dimaksud disini adalah berkembangnya rasa saling
keterbukaan, saling berbagi, saling percaya, rasa hormat atau
penghargaan, afeksi atau emosi dan kesetiaan. Sehingga dalam
berhubungan dengan lawan jenisnya ditandai dengan adanya
kedekatan.

Menurut (S. P. Sari, 2016) remaja awal dan tengah lebih


berorientasi untuk mendapat kesenangan, keintiman dan terutama status.
Sedangkan remaja akhir, lebih mementingkan aspek hubungan timbal
balik, kebersamaan dan sosialisasi. Pada dasarnya remaja memilih pacaran
karena pertumbuhannya yang membuat hormon seseorang naik dan
ketertarikan pada lawan jenis kian menarik.

C. Perilaku Seksual Saat Berpacaran


1. Pengertian perilaku seksual remaja
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (S.
wirawan Sarwono, 2015). Menurut (Abrori & Qurbaiah, 2017) Perilaku
seks pranikah adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat
baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum
adanya hubungan resmi sebagai suami istri.
Perilaku seksual adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan seksual yang datang baik dari dalam dirinya maupun
dari luar dirinya (Notoatmodjo, 2011).
Perilaku seks pranikah pada remaja memiliki risiko terhadap
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang terjadi dapat berlanjut
pada aborsi yang tidak aman dan pernikahan remaja. Hasil SKDI 2012
menunjukkan 10% remaja wanita umur 15−19 tahun sudah menjadi ibu,

13
7% remaja pernah melahirkan, dan 3% sedang hamil anak pertama.
Kehamilan pada usia remaja (muda) memiliki risiko terjadinya anemia,
hipertensi, eklamsi, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi, dan perdarahan persalinan yang dapat meningkatkan kematian ibu
dan bayi. Penularan penyakit menular seksual juga menjadi risiko tinggi
pada perilaku seks pranikah. Prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS)
tertinggi terjadi pada wanita belum menikah (24%) dan remaja perempuan
umur 15−19 tahun (19%) (Kemenkes, 2015)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks saat berpacaran
a. Religiusitas
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, religi (religion, kata benda)
agama, kepercayaan, penyembuhan, penghambaan, terhadap satu
kekuatan supranatural yang dianggap sebagai Tuhan yang menentukan
nasib manusia, suatu ungkapan terlembaga atau formal dari
kepercayaan tersebut. Sedangkan, religius (kata sifat) bersifat agamis,
berhubungan dengan agama, sesuai dengan prinsip-prinsip suatu agama.
Keberagaman (religiousness, kata benda) keadaan atau kualitas
seseorang menjadi religious. Dan religiusitas (religiosity, kata benda)
ketaatan pada agama atau keberagamaan.
Religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri
seseorang. Internalisasi disini berkaitan dengan kepercayaan terhadap
ajaran-ajaran agama baik dalam hati maupun dalam ucapan.
Kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan dan
tingkah laku sehari-hari (Kosati, 2018). Sedangkan (Jalaludin, 2012)
mendefinisikan religiusitas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap agama.
Pada dasarnya, etika agama mampu mengendalikan tatanan
normatif yang diakibatkan oleh seksualitas pada remaja. Agama
menjadi pedoman dan pegangan hidup oleh individu di sepanjang
hidupnya (Kosati, 2018). Adanya pendidikan agama dalam keluarga
memberikan kontribusi karakter dari remaja itu sendiri. Hal ini sebagai

14
upaya dan dukungan keluarga dalam mendorong perilaku pencegahan
seks pranikah pada remaja (Rahmawati & Devy, 2018). Agama yang
menjadi pedoman dan pegangan hidup oleh individu di sepanjang
hidupnya.
Menurut (Stark & Glock, 1968) agama adalah sistem simbol,
sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan
dimana semua berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi. Sedangkan menurut (Daradjat, 1996), agama
adalah kumpulan keadaan emosi, perasaan dan keinginan yang
mempunyai sumber-sumber atau dasar-dasar khusus.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Stark & Glock,
mendefinisikan lima macam dimensi keberagaman, antara lain:
(1) Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan
seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan
taat.
(2) Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap
agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas
dua kelas penting, yaitu yang pertama adalah ritual seperti
pernikahan, khitanan. Kedua adalah ketaatan seperti rukun-rukun
Islam yaitu shalat, zakat, puasa.
(3) Dimensi Pengalaman
Dimensi yang berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua
agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski
tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan
baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan
langsung mengenai kenyataan terakhir. Dalam dimensi ini

15
pengaplikasiannya adalah percaya bahwa Allah yang mengabulkan
semua do’a kita dan memberi rezeki pada umatnya.

(4) Dimensi Pengetahuan Agama


Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.
Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain,
karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat untuk
penerimanya. Keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat
pengetahuan, dan sebaliknya. Misal agama Islam dengan mengikuti
pengajian, membaca buku-buku yang berkaitan dengan ajaran
agama Islam.
(5) Dimensi Pengalaman atau Konsekuensi
Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi
diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan
seseorang dari hari kehari. Dimensi ini tercermin dalam perilaku
yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya seperti
jujur dan tidak berbohong
(Ancok & Suroso, 2015).

Konsep religius yang digagas oleh (Stark & Glock, 1968)


didasarkan pada konteks masyarakat Amerika yang mayoritas beragama
Kristen. Sehingga konsep ini masih mengacu pada komitmen religius
dalam agama Kristen. (Ancok & Suroso, 2015) dalam bukunya yang
berjudul “Psikologi Islam” mengemukakan bahwa lima dimensi dalam
tingkat kesesuaian dalam Islam, yaitu:

(1) Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa


tingkat keyakinan muslim terhadap ajaran-ajaran yang bersifat
fundamental dan dogmatik. Di dalam keberIslaman, isi dimensi
keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para Malaikat,

16
Nabi atau Rasul, Kitab-kitab Allah, Surga dan Neraka serta qadha
dan qadar.
(2) Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk
pada seberapa tingkat kepada Tuhan muslim dalam mengerjakan
kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana dianjurkan oleh agamanya.
Dalam Islam, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat,
puasa, zakat, haji, membaca Al-qur’an, do’a, zikir, ibadah kurban
dan itikaf di masjid di bulan Ramadhan.
(3) Dimensi pengalaman atau akhlak menunjuk pada seberapa
tingkatan muslim berprilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran
agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya,
terutama dengan manusia lain. Dalam Islam dimensi ini meliputi
perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, mensejahterakan
dan menumbuh kembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup,
menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak
berjudi dan tidak minum-minuman yang memabukkan, mematuhi
norma-norma Islam dalam perilaku seksual, dan berjuang untuk
hidup sukses menurutukuran Islam.
(4) Dimensi pengetahuan dan ilmu menunjuk pada seberapa tingkat
pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran
agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya,
sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam Islam dimensi ini
menyangkut tentang pengetahuan isi Al-Qur’an, pokok-pokok
ajaran agama yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam
dan rukun iman), hukum-hukum Islam, sejarah Islam.
(5) Dimensi pengalaman atau penghayatan adalah dimensi yang
menyertai keyakinan, pengalaman dan peribadatan. Dimensi
penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat muslim dalam
merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-
pengalaman religius. Dalam Islam, dimensi ini terwujud dalam
perasaan dekat dengan Allah, perasaan do’anya sering terkabul,

17
perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah SWT,
perasaan bertawakal (pasrah diri secara positif) kepada Allah,
perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdo’a, perasaan
tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an,
perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan
atau pertolongan dari Allah.

Pada dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Stark


dan Glock, (Ancok & Suroso, 2015) mengemukakan dimensi tersebut
mengarah pada perspektif Islam yang meliputi dimensi keyakinan atau
akidah Islam, peribadatan atau praktik agama, pengamalan atau akhlak,
penghayatan dan ilmu. Namun, dalam islam umat muslim dan
muslimah mengacu pada kitab sucinya yaitu Al-Qur’an seperti yang
disebutkan dalam surat Al-Isra’ ayat 32 menyatakan:

‫ٱلزن ٰ َٓى ۖ إِنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِي ًل‬ ۟ ‫َواَل تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
Artinya: “Dan Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu
adalah perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Berdasarkan hasil analisis (D. N. Sari et al., 2018) menunjukkan
ada pengaruh faktor agama terhadap perilaku seksual remaja di SMA
Asuhan Daya Medan Tahun 2018. Hal tersebut didukung oleh hasil
penelitian lain yang membuktikan bahwa terdapat pengaruh religiusitas
terhadap perilaku seksual pada remaja SMA yang berpacaran. Hal ini
dibuktikan dengan koefisien determinasi yang ditunjukkan oleh R
square yaitu 0,036. Hal ini menunjukkan bahwa religiusitas
memberikan sumbangan sebesar 3,6% terhadap perilaku seksual remaja
dan sisanya 96,4% ditentukan oleh variabel lain.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja
SMA yang berpacaran berada pada kategori rendah dan religiusitas
remaja berada pada kategori tinggi. Menurut asumsi peneliti,
didapatkan hasil penelitian mayoritas remaja memiliki agama yang
baik. Ciri-ciri remaja yang memiliki tingkat agama yang tinggi dapat
dilihat dari tingkah laku, sikap, dan perkataan. Demikian juga dengan

18
remaja yang memiliki tingkat agama yang tinggi maka keyakinan serta
ketaatan terhadap ajaran agama akan mengendalikan aktivitasnya
terutama aktivitas seksual. Remaja yang tidak memiliki tingkat
keyakinan yang kuat, ajaran agama atau norma, tidak memiliki batasan
dalam beraktivitas, apa yang boleh dilakukan atau yang tidak boleh
dilakukan, aktivitas seksual yang dilakukan akan cenderung tinggi.
Berdasarkan hasil kuesioner penelitian, dapat diketahui bahwa
mayoritas remaja memiliki agama yang baik. Namun pada
kenyataannya, diantara mereka yang memiliki agama baik mereka
masih mau melakukan perilaku seksual baik dalam kategori ringan
maupun berat. Hal ini juga didapatkan dari hasil uji multivariat dimana
keseluruhan variabel memiliki koefisien regresi negatif, yang artinya
berbanding terbalik dan berlawanan dari yang seharusnya (D. N. Sari et
al., 2018)
b. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yaitu indera pengelihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif
merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2014)
Berdasarkan hasil penelitian (Aritonang, 2015) bahwa remaja yang
memiliki pengetahuan Kurang sebanyak 53 orang (51,5%),
pengetahuan Cukup sebanyak 30 orang (29,1%) dan pengetahuan Baik
20 orang (19,4%). Hasil tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Irianti dan Herlina (2012:15), yaitu permasalahan remaja yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi semuanya berakar dari
kurangnya informasi, pemahaman, dan kesadaran untuk mencapai
keadaan sehat secara reproduksi, antara lain pemahaman mengenai
perlunya pemeliharaan kebersihan alat reproduksi, mengenai proses-
proses reproduksi serta dampak dari perilaku yang tidak bertanggung

19
jawab seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan penyakit
menular seksual lainnya
Dalam artikel penelitian, (Lindawati & Rindu, 2017) Hasil analisis
hubungan pengetahuan responden dengan perilaku berpacaran
didapatkan bahwa perilaku berpacaran yang positif terdapat 15 (93,8%)
responden yang berpengetahuan tinggi. Hasil uji analisa bivariat antara
pengetahuan responden dengan perilaku berpacaran didapatkan p-value
= 0,014 lebih kecil dari α = 0,05 memberikan arti bahwa terdapat
hubungan bermakna antara pengetahuan responden dengan perilaku
berpacaran. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam
menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang
mendukung tindakan seseorang.
c. Sikap
Menurut (Notoatmodjo, 2014) sikap adalah evaluasi umum yang
dilakukan manusia terhadap dirinya sendiri, orang tua, objek atau isu.
Sikap juga merupakan respon (reaksi) seseorang yang masih terkesan
tertutup terhadap stimulus atau objek. Struktur sikap dibagikan menjadi
tiga komponen yang terdiri dari sebagai berikut:
(1) Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh individu
pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan yang dimiliki
oleh individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan
(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem
yang kontroversial.
(2) Komponen afektif merupakan peraaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling
dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling
bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah
mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
(3) Komonen konatif merupakan aspek yang dalam hal ini lebih terjadi
kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang

20
dimiliki oleh seseorang. Dan kecenderungan tersebut digunakan
untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara
tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian (Aritonang, 2015) bahwa remaja yang
memiliki sikap sangat tidak baik sebanyak 42 orang (40,8%), sikap
tidak baik 25 orang (24,3%), sangat baik 20 orang (19,4%), dan sikap
baik 16 orang (15,5%) yaitu dapat disimpulkan bahwa sikap tentang
kesehatan reproduksi relatif kurang baik. Sikap sangat tidak baik pada
remaja usia 15-17 tahun di SMK Yadika 13 yang dimaksud kesiapan
untuk bereaksi terhadap suatu objek baik itu lingkungan fisik maupun
non fisik hal ini dapat dibuktikan dengan perbuatan nyata yaitu dengan
kurangnya menjaga kebersihan alat reproduksi, adanya tindakan aborsi,
sampai dengan kurangnya pencegahan dini terhadap penyakit menular
lainnya.
d. Paparan media massa (pornografi)
Media massa adalah sarana untuk mencari informasi, hiburan
maupun berkomunikasi dengan teman untuk membicarakan berbagai
hal. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat memberikan pengaruh jangka pedek yang mengahsilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru (Notoatmodjo, 2012).
Pornografi bagi remaja merupakan sesuatu yang baru dan sangat
menarik perhatian. Semakin menarik informasi media pornografi
semakin banyak pengulangan informasi seksualitas yang terjadi. Selain
itu juga bentuk efek paparan yang paling banyak dialami oleh remaja
dalam penelitian ini adalah adiksi (ketagihan). Seseorang yang
ketagihan tentu saja berkaitan dengan meningkatnya terutama dalam hal
jumlah atau frekuensi keterpaparan. Jika seseorang terlalu sering
mendapat paparan pornografi, maka ia akan cepat terangsang untuk
melakukan tindakan– tindakan yang nyata (Rahmadani et al., 2018)

21
Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis
Obstetri dan Ginekologi, penyebabnya antara lain maraknya peredaran
gambar dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama,
keliru dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang
seksualitas serta belum adanya pendidikan seks secara reguler-formal di
sekolah-sekolah (Nilasari & Sari, 2019)
Pada penelitian sebelumnya (Rahmadani et al., 2018) menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan paparan pornografi dengan
perilaku seksual remaja bahwa paparan pornografi berdampak pada
peniruan perilaku (secara eksplisit) dalam konten pornografi, yang
dapat berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan, IMS, HIV dan
AIDS. Hasil analisis diperoleh nilai PR = 1,611 dengan 95% (CI) =
1,151-2,254, artinya responden yang terpapar media pornografi
mempunyai peluang melakukan perilaku seks pranikah 1,611 kali
dibandingkan dengan responden yang tidak terpapar media pornografi.
Berdasarkan hasil per item menunjukkan bahwa sebagian besar
responden menonton video porno dari Hp sebesar 51,0% dan 22,1%
melihat pornografi 1 kali per bulanserta 8,3% diantaranya mengoleksi
video porno.
e. Pengaruh teman sebaya
Menurut SKRRI, faktor yang mempengaruhi remaja untuk
melakukan hubungan seksual antara lain: pertama, pengaruh teman
sebaya atau pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan
seks pranikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan
seks pranikah (Nilasari & Sari, 2019).
Menurut kutipan buku Alex Pangkahila dalan Soetjiningsih, (2004)
Salah satu faktor pengaruh dilakukannya hubungan seksual yang
pertama kali oleh remaja adalah adanya tekanan dari teman sebaya.
Kelompok sebaya kadang-kandang ingin saling menunjukkan
penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya, misal
mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk

22
seorang perempuan untuk melayani kepuasannya (Nilasari & Sari,
2019).
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan ada pengaruh faktor teman
sebaya terhadap perilaku seksual remaja di SMA Asuhan Daya Medan
Tahun 2018. Sedangkan menurut (Maryatun, 2013) mengenai peran
teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja di SMA
Muhammadiyah 3 Surakarta bahwa sebagian besar remaja (84%) yang
berperilaku seksual pranikah sebanyak (62%) menyebutkan adanya
peran/pengaruh dari teman sebaya. Serta remaja yang memperoleh
informasi seksualitas dari teman sebaya akan 19.272 kali berisiko
melakukan perilaku seksual pranikah dibandingkan dengan remaja yang
tidak memperoleh peran informasi seksualitas dari teman sebaya
mereka.
f. Peran orang tua
Orang tua memegang peranan penting dalam memberikan
pengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja. Hal ini karena peran
orang tua sebagai titik awal proses identifikasi diri untuk remaja. Oleh
karena itu, dukungan sosial yang diberikan orang tua kepada remaja
sangat diperlukan. Serta Peran orang tua merupakan suatu hal yang
penting untuk mencegah terjadinya resiko – resiko yang menyerang
remaja, terutama dengan pergaulan remaja yang dapat mengancam
terserangnya penyakit kelamin sehingga Pemberian informasi melalui
penyuluhan - penyuluhan sangat di butuhkan (Yuhanah, 2020).
Penyebab terjadinya perilaku seksual pada remaja adalah
pengawasan dan perhatian orang tua yang longggar, pola pergaulan
bebas, lingkungan yang bebas, semakin banyaknya hal-hal yang
memberikan rangsangan seksual yang sangat mudah dijumpai dan
fasilitas seperti televisi, handphone, komputer dan media massa yang
sering diberikan oleh keluarga tanpa menyadari efek dari media massa
yang sering diberikan. Efek dari penggunaan fasilitas tersebut dapat
menyebabkan remaja ingin meniru tokoh yang diidolakan seperti
perilaku remaja yang ingin pacaran. Masa pacaran telah diartikan

23
sebagai masa untuk belajar aktivitas seksual dengan lawan jenis, mulai
dari ciuman, saling masturbasi, seks oral, bahkan sampai hubungan
seksual (Haryani, Wahyuningsih, & Haryani, 2015).
Bentuk dukungan yang diberikan orang tua kepada remaja yaitu
dengan mengarahkan anak tentang masalah seks pranikah dan selalu
mengingatkan agar tidak salah pergaulan, serta mengajarkan ibadah dan
memberikan nasihat untuk lebih tekun beribadah. Hal ini merupakan
suatu upaya orang tua dalam pencegahan seks pranikah bagi anak-anak.
Sebagian dari orang tua memberikan bentuk dukungan dengan
mengarahkan dan mengingatkan agar tidak salah pergaulan. Arahan
tersebut dapat berupa penjelasan mengenai masalah seks pranikah
seperti pengertian dan akibat yang akan terjadi, sehingga remaja
mengetahui informasi tentang seks pranikah dari orang yang tepat yaitu
orang tua.
Orang tua lebih merasa khawatir jika anak mereka mendapatkan
informasi melalui teman-temannya. Menurut orang tua, teman sebaya
dapat memberikan penjelasan yang salah kepada anak tentang seks
pranikah. Sebagian orang tua lainnya memberikan dukungan kepada
remaja dengan mengajarkan ibadah atau shalat untuk yang beragama
islam sejak dari kecil, sehingga diharapkan remaja dapat mempunyai
pondasi agama yang kuat ketika berada di lingkungan masyarakat.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Haryani et al., 2015)
terhadap 78 responden siswa kelas XII SMKN 1 Sedayu, bahwa
mayoritas orang tua siswa mempunyai peran yang baik. Orang tua
berperan dalam memberikan dasar pendidikan agama, menciptakan
suasana rumah yang hangat dan menyenangkan, serta memberikan
pemahaman akan norma baik dan buruk yang ada dalam masyarakat.
Selain itu orang tua juga berperan dalam memberikan contoh yang baik
bagi anak dengan penuh kasih sayang atau dengan cara bersahabat
dengan anak agar anak merasa lebih nyaman. Adanya peran orang tua
yang baik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

24
antara peran orang tua dengan perilaku seks pranikah remaja di SMKN
1 Sedayu.
g. Lingkungan
Lingkungan pergaulan juga berpengaruh terhadap sikap dan
kepribadiaan seseorang, sekolah merupakan pendidikan sekunder yang
dapat mempengaruhi pola fikir sehingga dapat mempasilitasi
lingkungan, dengan demikian perilaku remaja terkait masalah kesehatan
reproduksi dikalangan remaja menunjukan adanya penggeseran nilai-
nilai dan norma yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap termasuk
teman sebaya (Sirupa, Wantania, & Suparman, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian (Rohmawati & Sukanto, 2020) di
dapatkan data 79,4 % responden yang mempunyai pengetahuan baik
mempunyai sikap yang favorabel, tetapi 68,8% dari yang mempunyai
pengetahuan kurang baik juga mempunyai perilaku yang favorabel.
Artinya perilaku tidak semata-mata di pengaruhi oleh pengetahuan,
tetapi ada faktor lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap
terbentuknya perilaku remaja salah satunya yaitu lingkungan.
h. Guru
Menurut hasil penelitian (Ulfah, 2019), Peran guru terhadap
kesehatan reproduksi dan pacaran yang sehat mempengaruhi 18,6%
terhadap perilaku seksual pranikah. Hal ini sejalan dengan Foucault, M.
(2010) dimana remaja yang berada pada masa sekolah sangat
dipengaruhi oleh pendidik. Pendidik (guru) seharusya tidak hanya
efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja, terlebih pada
pribadinya ”modelingnya” baik pada peserta didik maupun kepada
seluruh anggota komunitas sekolah.
Sedangkan menurut (S. wirawan Sarwono, 2015), terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual remaja,
diantaranya adalah perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan
hasrat seksual (libido seksualitas) remaja, kecenderungan pelanggaran
makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan
rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi

25
canggih, (video cassete, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam,
internet, dan lainlain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang
sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa
yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena
mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual
secara lengkap dari orang tuanya, kurangnya pendidikan dan
pengetahuan mengenai seks serta pergaulan yang semakin bebas.
3. Bentuk perilaku seksual saat berpacaran
Menurut Sarwono, (2015) perilaku seksual bermula dari perasaan
tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.
Objek dari perilaku seksual tersebut bisa berupa orang lain, orang dalam
khayalan, atau diri sendiri.
a. Perasaan tertarik, yaitu minat dan keinginan remaja untuk melakukan
perilaku seksual berupa perasaan suka, perasaan sayang, dan perasaan
cinta.
b. Berkencan, yaitu aktivitas remaja ketika berpacaran berupa berkunjung
ke rumah pacar, saling mengunjungi dan berduaan.
c. Bercumbu, yaitu aktivitas seksual di saat pacaran yang dilakukan
remaja berupa berpegangan tangan, mencium pipi, mencium bibir,
meraba payudara, meraba alat kelamin diatas baju, dan meraba alat
kelamin di balik baju.
d. Bersenggama, yaitu kesediaan remaja untuk melakukan hubungan
seksual dengan pacarnya atau lawan jenis.
Sedangkan Perilaku seksual menurut (Abrori & Qurbaiah, 2017)
bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian
samapi intercourse meliputi :
a. Kissing
Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual,
seperti dibibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang
dapat menimbulkan rangsangan seksual.Berciuman dengan bibir
tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan
mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut

26
french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/soul
kiss.
b. Necking
Berciuman disekitar leher ke bawah.Necking merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan
yang lebih mendalam.
c. Petting
Perilaku menggesek-gesekan bagian tubuh yang sensitif, seperti
payudara dan organ kelamin.Merupakan langkah yang lebih mendalam
dari necking.Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh
pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang
daerah kemaluan, baik didalam atau diluar pakaian.
d. Intercrouse
Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria
dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk kedalam
vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Menurut (S. wirawan Sarwono, 2015) masalah seksualitas pada
remaja timbul karena faktor-faktor berikut ini:
a. Meningkatnya libido seksual
Perubahan-perubahan hormonal meningkat hasrat seksual (libido
seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu
b. Penundaan usia perkawinan
Penyaluran hasrat seksual tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan baik secara hukum karena adanya undang-
undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah,
maupun karena norma sosial yang semakin lama menuntut persyaratan
yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan
mental, dan lain-lain).
c. Tabu-larangan
Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku
dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum

27
menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah
laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Remaja yang tidak
dapat menahan diri akan cenderung untuk melanggar larangan-larangan
tersebut. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun
karena sikapnya yang masih menganggap tabu pembicaraan mengenai
seks secara terbuka malah cenderung membuat jarak dengan anak
dalam masalah ini. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan perilaku
seksual yang tidak diharapkan.
d. Kurangnya informasi tentang seks
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya
penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa
serta teknologi canggih (video cassette, VCD, telepon genggam,
internet dan lain-lain). Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu
dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari
media massa, karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui
masalah seksualitas secara lengkap dari orang tuanya.
e. Pergaulan yang semakin bebas
Kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan
pendidikan perempuan sehingga kedudukan perempuan makin sejajar
dengan laki-laki.
4. Dampak Perilaku Seksual Saat Berpacaran
Pengaruh buruk akibat hubungan seks pranikah bagi remaja adalah
kematangan organ seks dapat berpengaruh buruk bila remaja tidak mampu
mengendalikan rangsangan seksualnya, sehingga tergoda untuk melakukan
hubungan seks pranikah. Bagi remaja laki-laki tidak lagi perjaka dan
remaja putri tidak lagi perawan, resikonya akan berdampak penyakit
menular seperti gonore, sifilis, herpes simpleks (genitalis) klamidia,
kondiloma akuminata dan HIV/AIDS. Kehamilan yang tidak diinginkan,
pengguguran kandungan, infeksi organ produksi, trauma kejiwaan,
kemungkinan tidak dapat melanjutkan dan kesempatan bekerja,
melahirkan bayi cacat fisik atau kurang sehat.Bagi keluarga, menimbulkan

28
aib keluarga, menambah beban ekonomi, memengaruhi kejiwaan bagi
anak karena adanya tekanan (ejekan) dari masyarakat. Bagi masyarakat,
meningkatkan remaja putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat
menurun, selanjutnya meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Untuk
meningkatkan beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan
masyarakat menurun (Kumalasari & Andhyantoro, 2012)
Menurut (S. wirawan Sarwono, 2015) dampak negative perilaku
seksual pranikah yang dapat timbul pada remaja, diantaranya sebagai
berikut :
a. Dampak psikologis meliputi perasaan bersalah, rendah diri, depresi,
marah, takut, dan berdosa.
b. Dampak fisik meliputi dapat menyebabkan kehamilan tidak diinginkan
(KTD) sampai tindakan aborsi, tertular penyakit menular seksual
(PMS) seperti syphiliss, herpes, ghonorhoe hingga HIV/AIDS.
c. Dampak sosial yang timbul seperti dikucilkan di lingkungan sekitar,
putus sekolah karena menanggung aib dan merasa malu, perubahan
peran menjadi ibu dan belum memiliki keisapan untuk beralih peran
menjadi ibu, timbulnya tekanan dari masyarakat yang mencela.

Dampak dari meningkatnya jumlah remaja yang melakukan hubungan


seks yaitu meningkatnya angka kejahatan seksual yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja. Kasus kejahatan seksual yang dilaporkan kepada
Komnas Anak pada tahun 2013, dari 3.339 kasus sejumlah 58% adalah
kasus kejahatan seksual dan 16% pelakunya merupakan anak-anak
(BKKBN, 2014).

Penelitian dari Sari dan Muis (2014), didapatkan bentuk perilaku


seksual remaja yaitu: berpegangan tangan (90%), berpelukan (78%),
berciuman (75%), meraba bagian tubuh yang sensitif (56%), petting
(37%), oral seks (33%), berhubungan seksual (27%), serta kekerasan
seksual (25%). Salah satu penyebab meningkatnya kasus kehamilan yang
tidak diinginkan oleh remaja adalah adanya perilaku seks pranikah.

29
Pencegahan perilaku seks pranikah dapat dilakukan oleh remaja jika
remaja mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik.

5. Upaya pencegahan terhadap perilaku seksual pranikah


Menurut (Irianto, 2015) Perilaku seks pranikah dikalangan remaja
saat ini sudah cukup parah, peranan agama dan keluarga sangat penting
untuk mengantisipasi perilaku remaja tersebut.Pada masa remaja, mereka
selalu mempunyai keinginan untuk mengetahui, mencoba dan mencontoh
segala hal. Oleh karena itu perlu adanya upaya pencegahan pada remaja
untuk terhindar dari perilaku seks yang menyimpang yaitu dengan upaya-
upaya sebagi berikut :
a. Mempertebal keimanan guna membentangi diri dari perilaku seks
pranikah.
b. Membatasi pergaulan antara remaja pria dan wanita agar tidak terlalu
bebas.
c. Membuat peraturan yang melarang ditampilkan dan ditayangkan acara
tontonan yang berbau pornografi dan porno aksi.
d. Peran orang tua sebagai penanggung jawab utama terhadap kebaikan
perilaku anak harus mencurahkan perhatiannya bagi perkembangan dan
pergaulan anak agar tidak terjerumus kedalam pergaulan bebas.
6. Kerangka Teori Penelitian
Pacaran dapat didefinisikan sebagai hubungan yang melibatkan
dua orang yang saling jatuh cinta yaitu laki-laki dan perempuan untuk
berinteraksi dan melakukan suatu kegiatan bersama dengan tujuan tertentu
sampai salah satu pihak memutuskan untuk berkomitmen dalam hubungan
yang lebih serius. Misalnya bertunangan, atau menikah (Nurhaniyah,
2016). Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah perilaku seks yang
dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum
maupun menurut agama kepercayaan masing-masing individu (S. W.
Sarwono, 2011).

30
Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan teori precede-
proceede (Green & Kreuter, 2005), yang menjelaskan bahwa kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor lingkungan (non behavior causes).
Model konsep teori Lawrence Green mengkaji masalah perilaku manusia
dan faktor-faktor yang mempengaruhi, serta cara menindaklanjuti dengan
berusaha mengubah, memelihara atau meningkatkan perilaku tersebut
kearah yang lebih positif. Proses pengkajian ini pada tahap precede dan
proses penindaklanjutan pada tahap proceed. Perilaku kesehatan
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:
a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor internal yang berada pada diri individu, keluarga,kelompok,
atau masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku.
Faktor-faktor ini mencakup sikap, kepercayaan, keyakinan terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat.
b. Faktor-faktor Pendukung (Enabling factors)
Faktor-faktor yang memungkinkan individu berperilaku seperti yang
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas atau sarana kesehatan. Dalam berperilaku, masyarakat perlu
sarana prasarana yang memungkinkan untuk terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor ini disebut faktor pemungkin.
c. Faktor-faktor Pendorong (Reinforcing factors)
Faktor yang memperkuat terjadinya perilaku, yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan, teman sebaya, orang tua, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

31
Faktor Predisposisi:
1. Religiusitas
2. Tingkat Pendidikan
3. Sosial Ekonomi
4. Pengetahuan
5. Sikap
6. Kepercayaan
7. Keyakinan
8. Nilai-nilai

Faktor Pemungkin:
1. Ketersediaan
Perilaku
Fasilitas/sarana
prasarana
2. Keterpaparan Informasi

Faktor Pendorong:
1. Teman Sebaya
2. Orang tua
3. Petugas Kesehatan
4. Guru

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Sumber: (Notoatmodjo, 2014)

32
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

1. Kerangka Konsep
Tahap yang penting dalam suatu penelitian adalah menyusun
kerangka konsep. Konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan
menggeneralisasikan suatu hal yang khusus. Oleh sebab itu, konsep tidak
dapat diamati dan diukur secara langsung. Agar dapat diamati dan dapat
diukur, maka konsep hanya dapat diamati melalui nama variabel. Dari
variabel itulah konsep dapat diamati dan diukur (Notoatmodjo, 2012)
Kerangka konsep merupakan turunan dari kerangka teori yang
telah disusun sebelumnya dalam telaah pustaka. Kerangka konsep
merupakan visualisasi hubungan antara berbagai variabel, yang
dirumuskan oleh peneliti setalah membaca berbagai teori yang ada dan
kemudian menyusun teorinya sendiri yang akan digunakannya sebagai
landasan untuk penelitiannya. Pengertian lainnya tentang kerangka konsep
yaitu kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diukur atau
diamati melalui penelitian yang akan dilakukan. Diagram dalam kerangka
konsep harus menunjukkan hubungan antara variabel-variabel yang akan
diteliti. Kerangka yang baik dapat memberikan informasi yang jelas
kepada peneliti dalam memilih desain penelitian (Masturoh & Anggita,
2018)
Pada penelitian ini, tidak semua variabel diteliti oleh penulis
melainkan hanya beberapa varibabel saja, dikarenakan adanya
keterbatasan waktu dan keadaan pandemic yang sedang melanda negeri
Indonesia. Pada variabel dependen variabel yang diambil adalah perilaku
seks saat berpacaran pada remaja. Pada variabel Independen, variabel yang

33
diambil adalah pengetahuan, sikap, agama (religius), ketersediaan fasilitas
(film/situs pornografi), keterpaparan informasi ( pengaruh teman sebaya),
lingkungan dan peran orang tua.

Faktor Predisposisi
1. Religiusitas
2. Pengetahuan
3. Sikap

Faktor Pemungkin
Perilaku Seks Saat
1. Media Massa
Berpacaran
(Pornografi)

Faktor Pendorong
1. Pengaruh teman
sebaya
2. Peran orang tua

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran
Pada Siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 20

34
2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Dependen

Aktifitas seks yang


dilakukan oleh siswa/i
sebelum adanya ikatan sah
1. Tidak Beresiko, Jika
yaitu pernikahan. Seperti
total skor ≤ 18
kissing (berciuman), Kuesioner
Perilaku Seks Saat Mengisi 2. Beresiko, jika total
necking (mencium leher dalam bentuk Ordinal
Berpacaran sendiri skor ≥19
sampai meraba-raba tubuh), g-form
petting (saling menggosok-
gosok alat kelamin), dan
intercrouse (hubungan (Rahmawati & Devy, 2018)
seksual).

35
Variabel Independen

Sebagai dasar pedoman 1. Baik, jika total skor


Kuesioner
hidup yang dapat mencegah Mengisi ≥6
Religiusitas dalam bentuk Ordinal
siswa/i berperilaku seks saat Sendiri 2. Tidak Baik, jika total
g-form
berpacaran. skor ≤ 5

(Rahmawati & Devy, 2018)

Wawasan yang dimiliki oleh 1. Tinggi, jika total skor

siswa/i dalam pemahaman Kuesioner ≥ 16


Mengisi 2. Rendah, jika total skor
Pengetahuan arti berpacaran, seks dalam bentuk Ordinal
Sendiri < 15
pranikah dan dampak yang g-form
akan terjadi.
(Berdasarkan nilai Q3 dari
skor tertinggi)

36
Skala likert:

1. Sangat Setuju (SS)


2. Setuju (S)
Tingkah laku yang 3. Netral (N)
dilakukan siswa/i dimana 4. Tidak Setuju (TS)
Kuesioner 5. Sangat Tidak Setuju
mencerminkan sikap baik Mengisi (STS)
Sikap dalam bentuk Ordinal
atau buruk dalam Sendiri
g-form Kategori:
berpacaran dan berperilaku
1. Sikap positif (baik),
seks. jika total skor ≥ 30
2. Sikap negatif (tidak
baik), jika total skor
≤ 29
(Berdasarkan nilai Q3 dari
skor tertinggi)
1. Tidak Terpapar ≤ 9
Media yang menjadi tempat
2. Terpapar ≥10
sumber informasi bagi Kuesioner
Mengisi
Media Massa (Pornografi) siswa/siswi yang dapat dalam bentuk Ordinal
Sendiri
mempengaruhi perilaku seks g-form
(Berdasarkan nilai Q3 dari
saat berpacaran
skor tertinggi)
1. Berpengaruh, ≥ 16
Pengaruh Teman Sebaya Seseorang yang dekat Kuesioner Mengisi Ordinal

37
2. Tidak berpengaruh,
dengan responden, dan
≤15
dapat mempengaruhi
responden baik dalam
dalam bentuk (Rahmawati & Devy, 2018)
informasi maupun Sendiri
g-form
pembicaraan terkait
mengenai perilaku seks saat
berpacaran

1. Berperan, ≥ 14
Peran Orang Tua Segala sikap yang
2. Tidak berperan, ≤ 13
memberikan dukungan, Kuesioner
Mengisi
motivasi, serta mencegah dalam bentuk Ordinal
Sendiri (Rahmawati & Devy, 2018)
terjadinya perilaku seks saat g-form
berpacaran

38
3. Hipotesis
Menurut (Masturoh & Anggita, 2018) hipotesis adalah pernyataan
sementara yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis ini merupakan
jawaban sementara berdasarkan pada teori yang belum dibuktikan dengan
data atau fakta. Pembuktian dilakukan dengan pengujian hipotesis melalui
uji statistik. Fungsi hipotesis dalam penelitian adalah mengarahkan dalam
mengidentifikasi variabel-variabelyang akan diteliti, memberikan batasan
penelitian, lebih fokus dan memberikan arah dalam pengumpulan data,
dan sebagai panduan pengujian hipotesis melalui uji statistik yang sesuai.

Penelitian ini menetapkan hipotesa sebagai berikut:

1. Ada hubungan religiusitas dengan perilaku seks saat berpacaran pada


siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
2. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku seks saat berpacaran pada
siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
3. Ada hubungan sikap dengan perilaku seks saat berpacaran pada siswa/i
di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
4. Ada hubungan media massa dengan perilaku seks saat berpacaran pada
siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020
5. Ada hubungan pengaruh teman sebaya dengan perilaku seks saat
berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun
2020
6. Ada hubungan peran orang tua dengan perilaku seks saat berpacaran
pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain analitik kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional, yaitu data yang termasuk variabel independen
(bebas) dan variabel dependen (terikat) akan diteliti dan dikumpulkan pada
waktu yang sama ((Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini variabel
independen yaitu religiusitas, pengetahuan, sikap, media massa
(pornografi), pengaruh teman sebaya, dan peran orang tua. Sedangkan,
variabel dependennya adalah perilaku seks saat berpacaran.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMAN 11 Kabupaten Tangerang.
Waktu penelitian dimulai pada bulan Juni Tahun 2020 dan waktu
pengambilan data dilakukan di bulan Oktober Tahun 2020.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang
akan kita lakukan (Sabri & Hastono, 2014). Sedangkan menurut
(Mahdiyah, 2014) Populasi terbagi dua, yaitu populasi dalam dan
populasi sasaran. Populasi dalam statistika dapat berarti populasi

benda hidup, benda mati, ataupun benda abstrak. Sedangkan


populasi sasaran merupakan kelompok subjek yang ingin diketahui
karakteristiknya pada suatu penelitian. Populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah siswa/i di SMAN 11 Kabupaten Tangerang tahun
2020 yang mengaku pernah/sedang berpacaran dengan lawan jenisnya
berjumlah 360 siswa/i.
2. Sampel
Menurut (Mahdiyah, 2014), sampel adalah bagian dari populasi
yang diambil dan digunakan sebagai bahan penelaahan, dengan
harapan data sampel tersebut dapat mewakili (representative) terhadap

40
populasinya. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 189 siswa/i.
Teknik pengambilan data ini adalah multistage random sampling:

Kabupaten
Tangerang
Cluster

Kecamatan

1. Kec. Balaraja 11. Kec. Kosambi 21. Kec. Rajeg


2. Kec. Cikupa 12. Kec. Kresek 22. Kec. Sepatan
3. Kec. Cisauk 13. Kec. Kronjo 23. Kec. Sepatan T
4. Kec. Cisoka 14. Kec. Legok 24. Kec. Sindang J
5. Kec. Curug 15. Kec. Mauk 25. Kec. Solear
6. Kec. Gunung Kaler 16. Kec. Mekar Baru 26. Kec. Sukadiri
7. Kec. Jambe 17. Kec. Pagedangan 27. Kec. Sukmulya
8. Kec. Jayanti 18. Kec. Pakuhaji 28. Kec. Teluknaga
9. Kec. Kelapa Dua 19. Kec. Panongan 29. Kec. Tigaraksa
10. Kec. Kemiri 20. Kec. Pasar Kemis

Kelurahan

1. Kelurahan sepatan
2. Desa pisangan jaya
3. Desa kayu bongkok
4. Desa karet
Purposive
5. Desa mekar jaya
Sampling
6. Desa sarakan
7. Desa kayu agung
8. Desa pondok jaya

MA Nurul
MA Al MA Nurul
Falah
MA Sepatan Mansyuriah Falah Cadas
Sepatan

Simple
SMAN 11 MA Al Random
Kab Mansyurian Sampling
Tangerang Kanza

41
Gambar 4.1
Teknik Multistage Sampling
Teknik Pengambilan sampel pada gambar 4.1 yaitu menggunakan
multistage random sampling yaitu dengan cara pengocokkan pada kecamatan
yang akan diteliti, didapatkan hasil Kecamatan Sepatan. Pada pengocokkan
kedua, didapatkan hasil Kelurahan Sepatan. Dalam kelurahan sepatan terdapat
6 Sekolah Menengah Atas, salah satu yang didapatkan paling banyak terdapat
kasus adalah SMAN 11 Kabupaten Tangerang. Teknik yang kedua yaitu
menggunakan simple random sampling, yaitu sample yang didapatkan
sebanyak 189 responden yang mengisi secara lengkap dari 224 responden
yang mengisi google form yang telah disebar.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kriteria sampel yang meliputi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan
dapat atau tidaknya sampel digunakan. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi
adalah sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2017).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Siswa dan siswi yang bersedia menjadi responden
b. Siswa/i yang bersekolah di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
2. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
tidak memenuhi kriteria dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,
2017).
a. Siswa/i yang sedang sakit
b. Siswa yang tidak mengisi google form
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan menggunakan kuesioner
dengan memberikan sejumlah pertanyaan dan pernyataan kepada
responden melalui google form yang disebar melalui group whattsap kelas
masing-masing yang telah memenuhi izin dari bagian bidang kurikulum
sekolah, walikelas dan guru BK. Google form dikerjakan langsung secara

42
online oleh siswa/i yang sedang belajar dirumah dan hasilnya pun otomatis
masuk secara online dalam drive peneliti.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila
peneliti tahu dengan pasti variabel apa yang akan diukur dan tahu apa yang
diharapkan dari responden (Herlina, 2019). Google form yang disebar
terdiri dari 9 bagian. Bagian pertama adalah perkenalan dari peneliti
kepada responden, bagian kedua berisi karakteristik responden, bagian ke
tiga sampai ke sembilan berisi pernyataan dan pertanyaan kuesioner yang
berisi mengenai perilaku seks, religiusitas, pengetahuan, sikap, media
massa (pornografi), pengaruh teman sebaya dan peran orang tua.
Persetujuan etik penelitian diajukan melalui Komisi Etik Universitas
Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka.
E. Pengolahan Data
Menurut (Notoatmodjo, 2018) langkah-langkah data dalam penelitian ini
adalah:
1. Editing
Pada tahap ini dilakukan pengecekan pada jawaban responden, apakah
jawaban responden sudah lengkap dan relevan. Jika terdapat
ketidaklengkapan jawaban responden, maka harus melakukan
pengumpulan data ulang.
2. Coding
Merubah data numerik atau berbentuk angka menjadi data
berkelompok atau disebut data kategorik, untuk memudahkan pada
saat analisis data.

Tabel 4.1 Coding

No Variabel Kategori
1. Tidak Berisiko
1 Perilaku Seks Pranikah
2. Berisiko
1. Baik
2 Religiusitas
2. Tidak Baik

43
1. Tinggi
3 Pengetahuan
2. Rendah
1. Sikap Positif/Baik
4 Sikap 2. Tidak Negatif/Tidak
baik
1. Tidak Terpapar
5 Media Massa
2. Terpapar
1. Tidak Berpengaruh
6 Teman Sebaya
2. Berpengaruh
0. Tidak Berperan
7 Peran Orang Tua
1. Berperan

3. Entry Data
Data entry adalah mengisi kolom dengan kode sesuai dengan jawaban
masing-masing pertanyaan.
4. Cleaning Data
Cleaning data adalah pengecekan kembali data yang sudah dientry.
5. Skoring
Skroing data yaitu pemberian bobot jawaban responden yang dilakukan
dengan memberi nilai sesuai dengan yang ditentukan:
a. Religiusitas
Variabel Religiusitas terdiri dari 5 pertanyaan dengan menggunakan
skala guttman. Responden yang menjawab Ya diberi skor 0 dan jika
menjawab Tidak diberi skor 1. Peneliti mengkategorikan variabel
religiusitas menggunakan kriteria objektif atau Q3 (kuartil atas) 75%
dari total skor tertinggi.

75/100 x 5

1) Baik, jika total skor ≥ 6


2) Tidak Baik, jika total skor ≤ 5
b. Pengetahuan
Variabel pengetahuan terdiri dari 10 pernyataan. Pernyataan “positif”
jika responden menjawab benar skor 0 dan jika salah skor 1.

44
Pernyataan “negatif” jika responden menjawab benar skor 1 dan jika
menjawab salah skornya 0. Peneliti mengkategorikan variabel
pengetahuan menggunakan kriteria objektif atau Q3 (kuartil atas) 75%
dari total skor tertinggi.

75/100 x10

1) Tinggi, jika total skor ≥ 16


2) Rendah, jika total skor ≤ 15
c. Sikap
Variabel sikap terdiri dari 10 pernyataan positif dan negatif
menggunakan skala likert yang terditi dari Sangat Tidak Setuju (STS),
Tidak Setuju (TS), Netral (N), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS).
Pernyataan “positif” jika responden menjawab benar diberi skor 0 dan
jika salah diberi skor 1. Pernyataan “negatif” jika responden jawab
benar skornya 1 dan jika salah skornya 0. Peneliti mengkategorikan
variabel pengetahuan menggunakan kriteria objektif atau Q3 (kuartil
atas) 75% dari total skor tertinggi.

75/100 x10
1) Baik, jika total skor ≥ 30
2) Tidak baik, jika total skor ≤ 29
d. Media Massa
Variabel media massa terdiri dari 5 pernyataan dengan menggunakan
skala guttman. Responden yang menjawab Tidak Pernah diberi skor 0
dan jika menjawab Pernah diberi skor 1. Peneliti mengkategorikan
variabel pengetahuan menggunakan kriteria objektif atau Q3 (kuartil
atas) 75% dari total skor tertinggi.

75/100 x10
1) Terpapar, jika total skor ≥ 10
2) Tidak terpapar, jika total skor ≤ 9
e. Pengaruh Teman Sebaya

45
Variabel pengaruh teman sebaya terdiri dari 10 pernyataan. Responden
yang menjawab Ya diberi skor 0 dan jika responden menjawab tidak
diberi skor 1. Peneliti mengkategorikan variabel pengetahuan
menggunakan kriteria objektif atau Q3 (kuartil atas) 75% dari total skor
tertinggi.

75/100 x10
1) Berpengaruh, jika total skor ≥ 16
2) Tidak berpengaruh, jika total skor ≤ 15
f. Peran Orang Tua
Variabel peran orang tua terdiri dari 10 pernyataan. Responden yang
menjawab Ya diberi skor 0 dan jika menjawab tidak diberi skor 1.
Peneliti mengkategorikan variabel pengetahuan menggunakan kriteria
objektif atau Q3 (kuartil atas) 75% dari total skor tertinggi.

75/100 x10
1) Berperan, jika total skor ≥ 14
2) Tidak berperan, jika total skor ≤ 13
F. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran, hipotesis-hipotesis dalam penelitian yang telah di
rumuskan dan memperoleh kesimpulan secara umum (Swarjana, 2016)
1. Analisis Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoatmodjo, 2018). Analisis univariat digunakan untuk
mendeskripsikan karakter dari setiap variabel yang akan diteliti berupa
faktor predisposisi (religiusitas, pengetahuan, sikap). Faktor
pemungkin (media massa “pornografi”) dan faktor pendorong
(pengaruh teman sebaya dan peran orang tua)

46
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel, yaitu variabel independen dengan variabel dependen.
Analisis pada penelitian ini menggunakan uji chi square untuk melihat
hubungan antara dua variabel berdasarkan batas nilai kemaknaan
alpha 5% artinya, bila p-valuenya ≤ 0,05 maka terdapat hubunganyang
bermakna secara statistik antara variabel independen dan dependen,
dan jika diperoleh p-valuenya ≥ 0,05 maka tidak ada hubungan yang
signifikan antara variabel.
Adapun pembuktian dengan uji chi kuadrat dengan formula sebagai
berikut :

(O−E)2
X2 = ∑
E

Keterangan:
X2 = Chi Square
∑ = Jumlah
O = Nilai Observasi
E = Nilai Ekspetasi (Harapan)
Mengukur perbandingan antara prevalensi suatu penyakit atau
efek pada subjek dari kelompok yang mempunyai faktor risiko dengan
menggunakan Prevalensi Ratio (PR) yang menunjukkan peran faktor
risiko pada studi cross sectional.

Tabel 4.2 Cross Sectional

Efek
Ya Tidak Total
Ya A B A+B
Faktor Resiko
Tidak C D C+D
Total A+C B+D A+B+C+D
Keterangan :

47
A = Subjek dengan faktor risiko positif dan efek positif
B = Subjek dengan faktor risiko positif dan efek negatif
C = Subjek dengan faktor risiko negative dan efek positif
D = subjek dengan faktor risiko negative dan efek negatif
Untuk menghitung PR (Pravelnesi Ratio) dilakukan
perhitungan pembagian antara faktor risiko positif dengan faktor risiko
negatif, adapun rumus sebagai berikut :

a
a+b
PR =
c
c +d
Hasil dari pembagian akan masuk kedalam ketentuan:

a. PR > 1 ada asosiasi terdiri dari meningkatkan risiko terhadap suatu


hasil/penyakit/kondisi faktor risiko
b. PR = 1 netral, tidak kesehatan terjadi asosiasi
c. PR < 1 ada asosiasi terdiri menurunkan risiko terhadap suatu hasil,
faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor pendukung.

BAB V

HASIL PENELITIAN

48
A. Gambaran Lokasi Penelitian
SMA Negeri 11 Kabupaten Tangerang adalah Sekolah Menengah
Atas yang terletak dijalan K.H. Hasyim Ashari KM. 1 kecamatan Sepatan
Kabupaten Tangerang berbatasan dengan kota Tangerang yang
Terakreditasi “A”. SMA Negeri 11 Kabupaten Tangerang didirikan pada
tanggal 09 Maret 2004 dengan nama sebelumnya adalah SMA Negeri 1
Sepatan. SMAN 11 ini memiliki visi, yaitu terselenggaranya layanan
prima pendidikan bermutu untuk mencerdaskan peserta didik yang
berkarakter dan kompetetif berdasarkan IMTAQ dan IPTEK 2024, serta
memiliki misi (1) Mewujudkan peserta didik yang cerdas, kompetetif
dalam bidang akademik, ekstrakulikuler, dan berahlakul karimah. (2)
Menumbuhkembangkan kewirausahaan pada peserta didik yang berbasis
keunggulan local dan kreatifitas. (3) Menumbuhkembangkan penguatan
budi pekerti, karakter, budaya, bersih, disiplin pada peserta didik, guru dan
tenaga kependidikan. (4) Membangun kultur budaya sekolah berintegritas
dan religius serta lingkungan sekolah yang rapih, resik, rindang dan
nyaman. (5) Menerapkan regulasi sekolah sesuai dengan asas hukum,
norma, sosial, dan etik. (6) Mengembangkan kebutuhan sarana prasarana
sekolah berstandar nasional. (7) Meningkatkan kualitas personal guru,
tenaga administrasi sekolah, siswa yang religius, maju, mandiri dan
sejahtera. (8) Meningkatkan mutu proses KBM dan kurikulum sekolah
secara efektif dan efisien. (9) Mensosialisasikan prestasi hasil pendidikan
menjadi milik publik. (10) Mewujudkan akses pendidikan yang luas,
merata dan berkeadilan. (11) Mewujudkan tata kelola administrasi sekolah
yang efektif, transparan, dan akuntabel. (12) Mewujudkan sekolah yang
sigap dalam pencegahan, penanggulangan pandemic Covid-19, tindak
kekerasan dan penyalahgunaan narkoba.
Sekolah ini memiliki empat program pengajaran, yaitu Program
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kurikulum 2006, Program Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) kurikulum 2006, Program Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA) kurikulum 2013, dan Program Ilmu

49
Pengetahuan Sosial (IPS). Sekolah ini memiliki tiga sistem pembelajaran,
yaitu Akselerasi, Sistem Kredit Semester (SKS), dan Reguler.
B. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik
responden dan variabel yang diteliti. Variabel yang akan diteliti meliputi
perilaku seks saat berpacaran (variabel dependen) dan faktor-faktor yang
mempengaruhi (variabel independen), yaitu religiusitas, pengetahuan,
sikap, media massa, pengaruh teman sebaya, dan peran orang tua.
1. Variabel Dependen
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan
Perilaku Seks Pranikah Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

Perilaku Seks Frekuensi (n) Presentase (%)


Pranikah
Tidak Berisiko 93 49
Berisiko 96 51
Total 189 100
Perilaku Seks Pranikah dikelompokkan 2 kategori yaitu menjadi
perilaku Tidak berisiko jika skor 0 dan berisiko bila skornya 1.
Berdasarkan tabel 5.1. Menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki perilaku berisiko melakukan perilaku seks pranikah yaitu
sebanyak 96 orang (51%) sedangkan responden yang tidak berisiko
melakukan perilaku seks pranikah yaitu sebanyak 93 orang (49%).

2. Variabel Independen
a. Religiusitas
Tabel 5.2.a Distribusi Responden Berdasarkan
Religiusitas Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

50
Religiusitas Frekuensi (n) Presentase (%)
Baik 58 31
Tidak Baik 131 69
Total 189 100
Religiusitas responden dikelompokkan menjadi 2 kategori
yaitu religiusitas baik jika skor 0 dan religiusitas tidak baik jika
skor 1. Berdasarkan tabel 5.2.a Menunjukkan sebagian besar
responden religiusitas tidak baik yaitu sebanyak 131 orang (69%)
dan religiusitas baik sebanyak 58 orang (31%).
b. Pengetahuan
Tabel 5.3.b Distribusi Responden Berdasarkan
Pengetahuan Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

Pengetahuan Frekuensi (n) Presentase (%)


Tinggi 87 46
Rendah 102 54
Total 189 100
Pengetahuan responden dikelompokkan menjadi 2 kategori
yaitu berpengetahuan tinggi jika skor 0 dan berpengathuan rendah
jika skor 1. Berdasarkan tabel 5.2.b. Menunjukkan bahwa sebagian
besar responden berpengetahuan rendah mengenai perilaku seks
yaitu 102 orang (54%) dan berpengetahuan tinggi sebanyak 87
orang (46%).
c. Sikap
Tabel 5.4.c Distribusi Responden Berdasarkan
Sikap Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

Sikap Frekuensi (n) Presentase (%)


Positif 49 26
Negatif 140 74
Total 189 100
Sikap responden dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu
sikap positif dan negatif. Sikap positif bila skor 0 dan sikap negatif
bila skornya 1. Berdasarkan tabel 5.2.c Menunjukkan bahwa
sebagian besar responden bersikap negatif/tidak baik yaitu

51
sebanyak 140 responden (74%) dan bersikap positif/baik sebanyak
49 orang (26%).
d. Media Massa
Tabel 5.5.d Distribusi Responden Berdasarkan
Media Massa Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

Media Massa Frekuensi (n) Presentase (%)


Tidak Terpapar 101 53
Terpapar 88 47
Total 189 100
Media massa dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu tidak
terpapar jika skor 0 dan terpapar jika skor 1. Berdasarkan tabel
5.2.d Menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak terpapar
media massa yaitu 101 orang (53%) dan responden yang terpapar
sebanyak 88 orang (47%).

e. Pengaruh Teman Sebaya


Tabel 5.6.e Distribusi Responden Berdasarkan
Pengaruh Teman Sebaya Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang
Tahun 2020

Peran Teman Frekuensi (n) Presentase (%)


Sebaya
Tidak Berpengaruh 73 39
Berpengaruh 116 61
Total 189 100
Pengaruh teman sebaya dikelompokkan menjadi 2 kategori
yaitu teman yang tidak berpengaruh jika skornya 0 dan
berpengaruh jika skornya 1. Berdasarkan tabel 5.2.e Menunjukkan
bahwa sebagian besar teman berpengaruh sebanyak 116 orang
(61%) dan tidak berpengaruh sebanyak 73 orang (39%).
f. Peran Orang Tua
Tabel 5.7.f Distribusi Responden Berdasarkan
Peran Orang Tua Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang

52
Tahun 2020

Peran Orang Tua Frekuensi (n) Presentase (%)


Berperan 122 65
Tidak Berperan 67 35
Total 189 100
Peran orang tua dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu
orang tua yang berperan jika skonya 0 dan tidak berperan jika
skornya 1. Berdasarkan tabel 5.2.f Menunjukkan bahwa sebagian
besar orang tua berperan yaitu sebanyak 122 orang (65%) dan tidak
berperan sebanyak 67 orang (35%).

3. Rekapitulasi Analisis Univariat


Tabel 5.8 Rekapitulasi Analisis Univariat Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Pada
Siswa/i Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020

Variabel n %
Perilaku Seks
Tidak Beresiko 93 49
Beresiko 96 51
Religiusitas
Baik 58 26
Tidak Baik 131 59
Pengetahuan
Tinggi 87 46
Rendah 102 54
Sikap
Positif/baik 49 26
Negatif/Tidak Baik 140 74
Media Massa
Tidak Terpapar 101 53
Terpapar 88 47
Pengaruh Teman
Sebaya
Tidak Berpengaruh 73 39
Berpengaruh 116 61
Peran Orang Tua
Berperan 122 65
Tidak Berperan 67 35

53
C. Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel
yaitu variabel dependen perilaku seks saat berpacaran dengan variabel
independen faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks saat
berpacaran.
1. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan
Religiusitas Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11
Kabupaten Tangerang Tahun 2020

Perilaku Seks Saat

Religiusitas Berpacaran
Tidak Beresiko Total PR Pvalu
Beresiko (95% Cl) e
n % n % n %

Baik 19 33 39 67 58 100 0,580


Tidak Baik 74 57 57 43 131 100 (0,389-
0,003
0,864)
Total 93 49 96 51 189 100
*) nilai-p signifikan jika <0,05

Hasil uji statistik antara religiusitas dengan perilaku seks saat


berpacaran diperoleh sebanyak 19 orang (33%) dengan religiusitas baik
tidak berisiko, sedangkan responden dengan religiusitas tidak baik tidak
berisiko sebanyak 74 responden (57%). Hasil uji diperoleh pvalue= 0,003
yaitu <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara religiusitas responden dengan perilaku seks saat berpacaran.

2. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Perilaku Seks Saat


Berpacaran
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020

54
Perilaku Seks Saat
Pengetahua
Berpacaran
n
Tidak Beresiko Total PR Pvalue
Beresiko (95% Cl)
n % n % n %

Tinggi 39 45 48 55 87 10
0,847
0
Rendah 54 53 48 47 102 10 (0,630-
0,308
0 1,139)
Total 93 49 96 51 189 10
0
*) nilai-p signifikan jika <0,05

Hasil uji statistik antara pengetahuan dengan perilaku seks saat


berpacaran diperoleh bahwa ada sebanyak 39 orang (45%) dengan
pengetahuan tinggi tidak berisiko saat berpacaran, sedangkan responden
dengan pengetahuan rendah tidak berisiko saat berpacaran sebanyak 54
orang (53%). Hasil uji diperoleh nilai pvalue= 0,308 yaitu >0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan perilaku seks saat berpacaran.

3. Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran


Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020

Perilaku Seks Saat


Sikap Berpacaran

55
Tidak Beresiko Total PR Pvalue
Beresiko (95% Cl)
n % n % n %

Sikap 12 25 37 75 49 100
0,423
Positif
Sikap 81 58 59 42 14 100 (0,254-
0,000
Negatif 0 0,706)
Total 93 49 96 51 18 100
9
*) nilai-p signifikan jika <0,05

Hail uji statistik antara sikap dengan perilaku seks saat berpacaran
diperoleh bahwa ada sebanyak 12 orang (25%) dengan sikap positif tidak
berisiko dalam perilaku seks saat berpacaran, sedangkan responden dengan
sikap negatif tidak berisiko sebanyak 81 orang (58%) Hasil uji diperoleh
nilai pvalue= 0,000 yaitu <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara sikap responden dengan perilaku seks
saat berpacaran.

4. Hubungan Antara Media Massa Dengan Perilaku Seks Saat


Berpacaran
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Media Massa
Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020

56
Perilaku Seks Saat
Berpacaran
Media
Tidak Beresiko Total PR Pvalue
Massa
Beresiko (95% Cl)
n % n % n %
Tidak 37 37 64 63 101 10
0,576
Terpapar 0
Terpapar 56 64 32 36 88 10 (0,426-
0,000
0 0,778)
Total 93 49 96 51 189 10
0
*) nilai-p signifikan jika <0,05
Hasil uji statistik antara media massa dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh bahwa ada sebanyak 37 orang (37%) responden yang
tidak terpapar tidak berisiko, sedangkan responden terpapar tidak berisiko
sebanyak 56 orang (64%). Hasil uji diperoleh nilai pvalue= 0,000 <0,05,
maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
media massa dengan perilaku seks saat berpacaran.

5. Hubungan Antara Teman Sebaya Dengan Perilaku Seks Saat


Berpacaran
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020

57
Perilaku Seks Saat
Berpacaran
Pengaruh
Teman Sebaya Tidak Berisiko Total PR Pvalue
Beresiko (95% Cl)
n % n % n %
Tidak 36 49 37 51 73 10 1,000
1,004
Berpengaruh 0
Berpengaruh 57 49 59 51 11 10 (0,746-
6 0 1,351)
Total 93 49 96 51 18 10
9 0
*) nilai-p signifikan jika <0,05

Hasil uji statistik antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku seks
saat berpacaran diperoleh bahwa sebanyak 36 orang (49%) tidak
berpengaruh dan tidak berisiko perilaku seks, sedangkan responden
berpengaruh dan tidak berisiko sebanyak 57 orang (49%). Hasil uji
diperoleh nilai pvalue= 1,000 >0,05 artinya disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku
seks saat berpacaran. Sementara hasil PR= 1,004 artinya artinya teman
sebaya yang tidak berpengaruh mempunyai peluang 1,004 kali tidak
berisiko dibandingkan dengan teman sebaya berpengaruh tidak berisiko..

6. Hubungan Antara Peran Orang Tua Dengan Perilaku Seks Saat


Berpacaran
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua
Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020

58
Perilaku Seks Saat

Peran Berpacaran
Tidak Beresiko Total PR Pvalue
Orang Tua
Beresiko (95% Cl)
n % n % n %
Berperan 61 50 61 50 122 100 1,047 0,879
Tidak 32 48 35 52 67 100 (0,770-
Berperan 1,423)
Total 93 49 96 51 189 100
*) nilai-p signifikan jika <0,05

Hasil uji statistik antara peran orang tua dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh bahwa sebanyak 61 orang (50%) orang tua berperan
dalam perilaku seks tidak berisiko, sedangkan orang tua yang tidak
bereperan dalam perilaku seks tidak beresiko sebanyak 32 orang (48%).
Hasil Uji diperoleh nilai pvalue= 0,879 yaitu >0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara peran orang
tua dengan perilaku seks saat berpacaran. Sementara hasil PR = 1,047
artinya orang tua yang berperan cenderung mempunyai peluang 1,047 kali
tidak berisiko mendidik anak-anaknya dalam pencegahan perilaku seks
saat berpacaran dibandingkan dengan orang tua yang tidak berperan.

7. Rekapitulasi Analisis Bivariat


Berikut hasil rekapitulasi analisis bivariat yang sudah dianalisis agar
lebih mudah melihat keseluruhan data yang telah diperoleh:
Tabel 5.15 Rekapitulasi Analisis Bivariat Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat Berpacaran Pada
Siswa/i Di SMAN 11 Kabupaten Tangerang Tahun 2020

59
Variabel PR (95% Cl) Pvalue Keterangan
0,580
Religiusitas 0,003 Ada Hubungan
(0,389-0,864)
0,847 Tidak Ada
Pengetahuan 0,308
(0,630-1,139) Hubungan
0,423 (0,254-
Sikap 0,000 Ada Hubungan
0,706)
0,576
Media Massa 0,000 Ada Hubungan
(0,426-0,778)
Pengaruh Teman 1,004 Tidak Ada
1,000
Sebaya (0,746-1,351) Hubungan
1,047 Tidak Ada
Peran Orang Tua 0,879
(0,770-1,423) Hubungan

BAB VI
PEMBAHASAN

A. Perilaku Seks Saat Berpacaran Siswa/i Di SMAN 11 Kabupaten


Tangerang Tahun 2020
Hasil penelitian Perilaku Seks saat berpacaran pada siswa/i di
SMAN 11 Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebagian besar
sebanyak 96 orang (43%) menunjukkan perilaku beresiko seks saat
berpacaran. Hal ini didukung karena religiusitas, pengetahuan, sikap,
pengaruh teman sebaya, dan media massa (pornografi) pada siswa buruk

60
berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan. Tentunya hal ini perlu
adanya perhatian khusus kepada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang Tahun 2020 agar menjadi perilaku yang lebih baik.
Hasil serupa disampaikan oleh (Aryati dkk, 2019) menunjukkan 75
orang (51,7%) remaja yang melakukan perilaku seks pranikah saat
berpacaran di Kabupaten Sekadu Provinsi Kalimantan Barat. Hasil dari
(Ohee, 2019) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu sebanyak 51 orang
(72,9%) remaja yang melakukan perilaku seks saat berpacaran.
(Sarwono, 2015), menyebutkan bahwa perilaku seksual bermula dari
perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan
bersenggama. Apabila responden telah sampai kepada aktivitas hubungan
seksual, tentunya responden telah melalui berbagai tahap dari aktivitas
perilaku seksual ringan yaitu dimulaiddengan memandang mesra,
berpelukan dan sampai pada hubungan seksual yang termasuk dalam
kategori perilaku seks pranikah berat.
Perilaku seksual yang dilakukan oleh pelajar saat ini sangat
mengkhawatirkan, hubunganryang terjadi karena pemahamanryang salah
atas modernisasi, kebebasan dan individu berdampak pada
masalahrpendidikannya sehingga peluang untuk melanjutkan kejenjang
yang lebih tinggi akan sangat sulit serta canggihnya teknologi yang
dipergunakan pada hal-hal yang negatif mengarah pada perilaku seks
pranikah.
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seks Saat
Berpacaran
1. Religiusitas
Hasil uji statistik antara religiusitas dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh sebanyak 19 orang (33%) dengan religiusitas
baik tidak berisiko, sedangkan responden dengan religiusitas tidak
baik tidak berisiko sebanyak 74 responden (57%). Hasil uji diperoleh
pvalue= 0,003 yaitu <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara religiusitas responden dengan
perilaku seks saat berpacaran.

61
Hal ini juga disampaikan (Alfie dkk, 2019) bahwa ada hubungan
yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku seks pranikah
(p=0,000). Pangandaheng dkk, (2020) juga menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku seks
pranikah yaitu dengan hasil (p=0,005).
Hubungan negatif yang kuat antar variabel tersebut
mengartikan, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka
semakin rendah kecenderungan seks pranikah seseorang tersebut
(Mastuhu, 2010). Menurut Pratiwi dkk, (2019) menyatakan
religiusitas berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perilaku seks pranikah pada remaja. Semakin tinggi
keimanan dan ketaqwaan remaja maka akan membuat perilaku seksual
pranikah menjadi rendah dan sebaliknya.
2. Pengetahuan
Hasil uji statistik antara pengetahuan dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh bahwa ada sebanyak 39 orang (45%) dengan
pengetahuan tinggi tidak berisiko saat berpacaran, sedangkan
responden dengan pengetahuan rendah tidak berisiko saat berpacaran
sebanyak 54 orang (53%). Hasil uji diperoleh nilai pvalue= 0,308
yaitu >0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan perilaku seks saat berpacaran.
Hal ini juga disampaikan oleh (Ohee, 2019) didapat hasil
responden dengan pengetahuan tinggi. Lestari dkk, (2014) juga
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan
perilaku seks pranikah (p=0,610>0,05). Alfiah dkk, (2017) juga
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dan perilaku seks pranikah (p=0,157).
Pengetahuan diperlukan untuk menghasilkan suatu perilaku
tertentu ketika menghadapi suatu keadaan tertentu. Pengetahuan atau
kognitif merupakan dominan yang sangat penting bagi terbentuknya
perilaku dan perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan

62
(Notoatmodjo, 2012). Menurut Truitje dkk, (2015) menyatakan
pengetahuan dan pendidikan tentang seks pranikah yang paling efektif
diterima oleh remaja melalui orang tua. Pengetahuan yang baik adalah
pengetahuan yang diaplikasikan melalui sikap dan praktik.
Pengetahuan tentang seks pranikah yang harus diketahui oleh seorang
siswa seperti pengetahuan tentang pengertian seks pranikah, dampak
seks pranikah seperti penyakit kelamin, kehamilan tak diharapkan,
hilangnya harga diri, dan melakukan aborsi tidak aman, salah satu
bentuk tindakan seks pranikah seperti berpelukan, berciuman basah,
menyentuh bagian-bagian sensitif, melakukan ciuman ke alat vital,
dan melakukan hubungan seksual merupakan perilaku seks pranikah.
3. Sikap
Hail uji statistik antara sikap dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh bahwa ada sebanyak 12 orang (25%) dengan
sikap positif tidak berisiko dalam perilaku seks saat berpacaran,
sedangkan responden dengan sikap negatif tidak berisiko sebanyak 81
orang (58%) Hasil uji diperoleh nilai pvalue= 0,000 yaitu <0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap
responden dengan perilaku seks saat berpacaran.
Hal ini juga disampaikan oleh (Naja dkk, 2017) bahwa ada
hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku seks pranikah
(p=0,001). Aritonang, (2015) menyatakan hal yang sama pada
penelitiannya bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap denga
perilaku seks pranikah (p= 0,001)
Sikap adalah evaluasi umum yang dilakukan manusia terhadap
dirinya sendiri, orang tua atau suatu objek. Sikap juga merupakan
reaksi seseorang yang masih terkesan tertutup terhadap stimulus atau
objek (Notoatmodjo, 2014). Hasil penelitian ini sejalan oleh (Naja,
2017) yang menyatakan bahwa suatu objek mengandung dua aspek,
yaitu sikap positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan
menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek

63
yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap yang makin positif
terhadap objek tertentu.
4. Media massa (pornografi)
Hasil uji statistik antara media massa dengan perilaku seks saat
berpacaran diperoleh bahwa ada sebanyak 37 orang (37%) responden
yang tidak terpapar tidak berisiko, sedangkan responden terpapar tidak
berisiko sebanyak 56 orang (64%). Hasil uji diperoleh nilai pvalue=
0,000 <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara media massa dengan perilaku seks saat berpacaran.
Hal ini juga disampaikan (Aryati, 2019) bahwa hasil responden
terpapar, yaitu ada hubungan antara media massa (pornografi) dengan
perilaku seks saat berpacaran. Mauliyana, (2019) juga menyatakan
responden yang diteliti terpapar media massa yaitu responden yang
menonton video porno (95% Cl 13,418-3,841)
Media massa adalah sarana untuk mencari informasi, hiburan
maupun berkomunikasi dengan teman untuk membicarakan berbagai
hal. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
non formal dapat memberikan pengaruh jangka pedek yang
mengahsilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya
teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru
(Notoatmodjo, 2012). Adanya penyebaran media informasi dan
rangsangan seksual melalui media massa seperti internet, majalah,
televisi, maupun video yang membuat siswa/i cenderung ingin tahu
dan ingin mencoba-coba serta ingin meniru apa yang dilihat dan
didengarnya, khususnya karena remaja SMA pada umumnya belum
mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. Media
elektronik merupakan media yang paling banyak dipakai oleh siswa/i
sebagai media tontonan pornografi.
5. Pengaruh Teman Sebaya
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan Hasil uji statistik antara
pengaruh teman sebaya dengan perilaku seks saat berpacaran

64
diperoleh bahwa sebanyak 36 orang (49%) tidak berpengaruh dan
tidak berisiko perilaku seks, sedangkan responden berpengaruh dan
tidak berisiko sebanyak 57 orang (49%). Hasil uji diperoleh nilai
pvalue= 1,000 >0,05 artinya disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku seks
saat berpacaran. Sementara hasil PR= 1,004 artinya teman sebaya
yang tidak berpengaruh mempunyai peluang 1,004 kali tidak berisiko
dibandingkan dengan teman sebaya berpengaruh tidak berisiko.
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang memperoleh nilai
(p=0,001) yang menyatakan adanya hubungan pengaruh teman sebaya
dengan perilaku seks. (PR= 1,34 95% Cl 1,16-1,56) yang
menunjukkan bahwa semakin besar pengaruh negatif teman sebaya
maka remaja semakin memiliki kecenderungan untuk berperilaku
seksual beresiko.
Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku.
Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif dan negatif. Penaruh
positifnya adalah ketika invidu bersama teman-teman sebaya
melakukan aktifitas yang bermanfaat seperti membentuk kelompok
belajar dan patuh pada norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan
pengaruh negatif dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma
sosial. Dan salah satu faktor pengaruh dilakukannya hubungan seksual
yang pertama kali oleh remaja adalah adanya tekanan dari teman
sebaya. Kelompok sebaya kadang-kandang ingin saling menunjukkan
penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya, misal
mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk
seorang perempuan untuk melayani kepuasannya (Nilasari, 2019).
6. Peran Orang Tua
Hasil uji statistik antara peran orang tua dengan perilaku seks
saat berpacaran diperoleh bahwa sebanyak 61 orang (50%) orang tua
berperan dalam perilaku seks tidak berisiko, sedangkan orang tua yang
tidak bereperan dalam perilaku seks tidak beresiko sebanyak 32 orang
(48%). Hasil Uji diperoleh nilai pvalue= 0,879 yaitu >0,05, maka

65
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
peran orang tua dengan perilaku seks saat berpacaran. Sementara hasil
PR = 1,047 artinya orang tua yang berperan cenderung mempunyai
peluang 1,047 kali tidak berisiko mendidik anak-anaknya dalam
pencegahan perilaku seks saat berpacaran dibandingkan dengan orang
tua yang tidak berperan
Hal ini juga disampaikan (Aryati, 2019) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara peran orang tua dengan perilaku seks
saat berpacaran pada remaja. Maryatun dkk, (2012) juga menyatakan
bahwa pada penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara peran orang tua dengan perilaku seksual pranikah
pada remaja (p= 1,000)
Orang tua memegang peranan penting dalam memberikan
pengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja. Hal ini karena peran
orang tua sebagai titik awal proses identifikasi diri untuk remaja. Oleh
karena itu, dukungan sosial yang diberikan orang tua kepada remaja
sangat diperlukan. Serta Peran orang tua merupakan suatu hal yang
penting untuk mencegah terjadinya resiko-resiko yang menyerang
remaja, terutama dengan pergaulan remaja yang dapat mengancam
terserangnya penyakit kelamin sehingga Pemberian informasi melalui
penyuluhan - penyuluhan sangat di butuhkan (Yuhanah, 2020)

VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Penelitian ini melihat adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku seks saat berpacaran pada siswa/i di SMAN 11 Kabupaten
Tangerang. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan ialah:

66
1. Terdapat 189 responden , sebanyak 93 orang (49%) memiliki perilaku
tidak berisiko melakukan seks pranikah saat berpacaran dan 96 orang
(51%) berisiko dalam perilaku seks pranikah saat berpacaran.
2. Hasil analisis univariat menunjukkan sebanyak 131 orang (69%)
responden dengan religiusitas tidak baik. Sebanyak 102 orang (54%)
responden dengan pengetahuan rendah. Responden dengan sikap
negatif sebanyak 140 orang (74%), Responden yang terpapar media
massa sebanyak 88 orang (47%), Sebanyak 116 orang (61%)
responden dipengaruhi oleh teman sebaya, dan responden dengan
peran orang tua sebanyak 122 orang (65%).
3. Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang ada hubungan
dengan perilaku seksual yaitu religiusitas (Pvalue=0,003), sikap
(Pvalue=0,000 dan PR 0,423; 95% Cl 0,254-0,76) dan media massa
(Pvalue=0,000 dan PR 0,576; 95% Cl 0,426-0,778). Sedangkan,
variabel yang tidak memiliki hubungan adalah pengetahuan (Pvalue=
0,308 dan PR 0,847; 95% Cl 0,630-1,139), pengaruh teman sebaya
(Pvalue= 1,000 dan PR 1,004 95% Cl 0,746-1,351) dan peran orang
tua (Pvalue= 0,879 PR 1,047 95% Cl 0,770-1,423).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang dibuat
peneliti, antara lain:
Bagi siswa/i
1. Diharapkan kepada siswa/i untuk lebih menahan diri dari dorongan-
dorongan seks yang dimasa remaja begitu besar, tidak mudah terjebak
dalam pergaulan bebas, sehingga masa depan siswa/i yang masih
terbentang luas optimis tercapai. Kemampuan menahan diri dari
berbagai dorongan seks ini dapat dilakukan dengan berolahraga secara
teratur maupun membudayakan membaca buku, atau melakukan hal
positif lainnya, sehingga pikiran mengenai seks dapat dialihkan
kepada hal-hal yang bersifat positif.
2. Untuk Pihak Sekolah

67
Disarankan kepada pihak sekolah agar berkenan membantu
mengadakan kegiatan religiusitas kepada setiap siswa/i. Membantu
membangun sikap siswa/i dengan sikap yang jauh lebih baik
kedepannya serta memperketat siswa/i dalam pengawasan media
elektronik yang digunakan agar dapat mencegah siswa/i dalam
perilaku seks pranikah.
3. Untuk Peneliti Yang Lain
Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan metode yang berbeda
dan dapat menganalisis faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
perilaku seks saat berpacaran sehingga dapat menambah hasil yang
lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Abrori, & Qurbaiah, M. (2017). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual (Edisi Nove).
UM Pontianak Pers.
Agustini, T., & Reztya, F. (2013). Faktor Berhubungan Dengan Perilaku Seksual
Remaja SMA Negeri 3 Cilegon-Banten Tahun 2013. Jurnal Ilmiah.
Alfiah Rahmawati, & Friska Realita. (2017). Pengetahuan Dan Perilaku Seksual

68
Pranikah Remaja. Jurnal Komunikasi Kesehatan, 8(1), 45–61.
Alfie, A. R. T., & Sanjaya, E. L. (2019). Hubungan Antara Religiusitas Dengan
Kecenderungan Seks Pranikah Pada Remaja Di Pesantren Islam X , Asrama
Katolik Y , dan Asrama Kristen Z, 3(2), 73–80.
Ancok, D., & Suroso, F. N. (2015). Psikologi Islam: Solusi Islam Atas Problem-
problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aritonang, T. rina. (2015). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Kesehatan
Reproduksi Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Usia 15-17 Tahun
Di SMK Yadika 13 Tambun Bekasi. Jurnal IImiah, 3(2), 61–67.
Aryati, H., Suwarni, L., & Ridha, A. (2019). Paparan Pornografi, Sosial, Budaya,
Dan Peran Orang Tua Dalam Perilaku Berpacaran Remaja Di Kabupaten
Sekadau Provinsi Kalimantan Barat. Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa,
127–136.
BKKBN. (2014). Remaja Pelaku Seks Bebas. Jakarta: BKKBN. Retrieved from
www.bkkbn.go.id
Daradjat, Z. (1996). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Green, L., & Kreuter, M. (2005). An Educational and Ecological Approach.
Health Program Planning (Fourth). New York: McGraw Hill.
Haryani, D. S., Wahyuningsih, & Haryani, K. (2015). Peran Orang Tua
Berhubungan dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja di SMKN 1 Sedayu.
Ners and Midwifery Indonesia, Vol 3(No 33), 140–144.
Herlina, V. (2019). Panduan Praktis Mengolah Data Kuesioner Menggunakan
SPSS. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ika Ayu Lestari , Arulita Ika Fibriana, G. N. P. (2014). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Mahasiswa Unnes.
Unnes Journal of Public Health, 3(4), 27–38.
https://doi.org/10.15294/ujph.v3i4.3903
Irianto, K. (2015). Kesehatan reproduksi. Bandung: Alfabeta.
Jalaludin. (2012). Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan
Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Kemenkes. (2015). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Pusdatin
Kemkes. Retrieved from www.pusdatin.kemkes.go.id
Kosati, T. W. (2018). hubungan antara peran orang tua, teman sebaya dan
religiusitas dengan perilaku seksual berisiko pada remaja awal di SMP
Negeri “A” Surabaya. Retrieved from http://repository.unair.ac.id/85161/
Kumalasari, I., & Andhyantoro, I. (2012). Kesehatan Reproduksi untuk

69
Mahasiswa Kebidanan dan keperawatan. jakarta Selatan: Salemba Medika.
Lindawati, R. D., & Rindu, R. (2017). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan dan
Keterampilan Hidup (Life Skill) Remaja Tentang Perilaku Berpacaran.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 5(4), 24–29.
https://doi.org/10.33221/jikm.v5i4.16
Mahdiyah. (2014). Statistik Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Maryatun. (2013). Peran Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah
Pada Remaja di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Jurnal Kesehatan, Vol
10, No 1.
Maryatun, & Purwaningsih, W. (2012). Hubungan pengetahuan dan peran
keluarga dengan perilaku seks pranikah pada remaja anak jalanan di Kota
Surakarta. Gaster, 9(1), 22–29.
Mastuhu. (2010). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu kajian Tentang
Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INISH.
Masturoh, I., & Anggita, N. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. In
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Edisi Tahu, p. 307). Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Mauliyana, A. (2019). FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PERILAKU SEKS Factors Related To Adolescent Premarital Sex
Behavior In High School Students In Kendari, 2(2).
Naja, Z. S., Agushybana, F., & Mawarni, A. (2017). Hubungan Pengetahuan,
Sikap Mengenai Seksualitas Dan Paparan Media Sosial Dengan Perilaku
Seksual Pranikah Pada Remaja Di Beberapa SMA Kota Semarang Triwulan
II Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 5(4). Retrieved from
http//ejournal13.undip.ac.id/index.php/jkm
Nilasari, N., & Sari, I. K. (2019). Pengaruh Teman Sebaya, Persepsi Remaja,
Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Usia 16-17 Tahun di SMK PGRI 2
Kediri, 4(2), 37–48.
Notoatmodjo, S. (2011). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2014). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurhaniyah, A. (2016). Hubungan Perilaku Seksual Pranikah Dengan
Pernikahan Usia Dini Pada Reamaja Di Wilayah Kecamatan Kenjeran Kota
Surabaya. Gastrointestinal Endoscopy. Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah. https://doi.org/10.1542/peds.2006-2099

70
Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Ohee, C. (2019). Pengaruh Status Hubungan Berpacaran Terhadap Perilaku
Pacaran Berisiko Pada Mahasiswa Perantau Asal Papua Di Kota Surabaya.
The Indonesian Journal of Public Health, 13(2), 269.
https://doi.org/10.20473/ijph.v13i2.2018.269-287
Pangandaheng, M. S. S., Korompis, G. E. C., & Rumayar, A. A. (2020). Faktor-
Faktot Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Berisiko Pada Remaja
Di SMP NEGERI 3 MANADO. Jurnal Ilmiah, 9(4), 152–159.
Pieter, H. Z., & Lubis, N. L. (2010). Pengantar Psikologi dalam Keperawatan.
Kencana Prenada Media Group.
Pratiwi, D. S., Rohmatun, & Zamroni. (2019). Hubungan Antara Religiusitas Dan
Harga Diri Dengan Perilaku Seks Pranikah Di SMA X Demak The
Relationship Between Religiusity And Self-Esteem With Premarital Sex
Behavior In SMA X Demak, 823(2720-91–48), 249–257.
Purnomo1, S. T., & Intan Silviana Mustikawati2. (2014). Hubungan Pengetahuan
Dan Keterpaparan Media Dengan. Jurnal Inohim, 2(2013).
Rahmadani, I., Agushybana, F., Dharmawan, Y., Biostatistika, B., & Masyarakat,
F. K. (2018). Hubungan Persepsi Lingkungan Tempat Tinggal Dan
Pemanfaatan Smartphone Dengan Perilaku Berpacaran Yang Berisiko Pada
Remaja Yang Tinggal Di Daerah Lokalisasi Gambilangu Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(1), 110–119.
Rahmawati, C. D., & Devy, S. R. (2018). Dukungan Sosial Yang Mendorong
Perilaku Pencegahan Seks Pranikah Pada Remaja Sma X Di Kota Surabaya.
Jurnal PROMKES, 4(2), 129. https://doi.org/10.20473/jpk.v4.i2.2016.129-
139
Rohmawati, I., & Sukanto. (2020). Pengetahuan Dan Perilaku Kesehatan
Reproduksi Remaja Terkait Pola Pacaran , Sex Bebas , Kehamilan
Knowledge and Behavior of Adolescent Reproductive Health Related To
Dating Patterns , Free Sex , Pregnancy Out of Marriage and Abortion, 12(1),
147–152.
Sabri, L., & Hastono, S. P. (2014). Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sari, D. N., Darmana, A., & Muhammad, I. (2018). Pengaruh Faktor Predisposisi,
Pemungkin, dan Pendorong Terhadap Perilaku Seksual di SMA Asuhan
Daya Medan. Jurnal Kesehatan Global, 1(2), 53.
https://doi.org/10.33085/jkg.v1i2.3943
Sari, S. P. (2016). Dampak Film Pornografi Terhadap Psikososial Di Kalangan
Remaja (Studi Kasus Pada Remaja Yang Berpacaran).

71
Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Sarwono, S. wirawan. (2015). Psikologi Remaja Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
SDKI. (2017). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia. https://doi.org/0910383107
[pii]\r10.1073/pnas.0910383107
Sirupa, T. A., Wantania, J. J. E., & Suparman, E. (2016). Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi. E-CliniC, 4(2).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14370
Stark, R. W., & Glock, C. Y. (1968). The Nature Of Religion Commitment.
University Of California Press.
Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. (Aditya Ari C, Ed.) (1 st).
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Truitje, S., Umboh, P. J. M. L., & Kandou, G. . (2015). Hubungan Antara
Pengetahuan Siswa , Peran Orang Tua Dan Peran Media Massa Dengan
Perilaku Seks Pranikah Siswa SMK Negeri 1 Atinggola. Jikmu, 5(2), 397–
405. Retrieved from file:///C:/Users/USER/Downloads/7463-14673-1-
SM.pdf
Ulfah, M. (2019). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Pada Remaja SMP Dan SMA Di Wilayah Eks-Kota Administratip Cilacap.
Medisains, 16(3), 137. https://doi.org/10.30595/medisains.v16i3.3733
WHO. (2016). Adolescent development. Retrieved April 1, 2016, from
www.who.int/maternal_child-
adolescent/topics/maternal/adolescent_pregnancy/en/.

Yuhanah. (2020). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kespro


Remaja Pada Siswa SMA I Samaturu Kabupaten Kolaka. Jurnal
Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, 7(1),
48–54.

72

Anda mungkin juga menyukai