Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) DAN KEBIJAKAN

PERLINDUNGAN TANAMAN

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang (1) unsur-unsur dasar dan komponen PHT: pengendalian
mekanik, fisik, dan cara bercocok tanam, (2) kebijakan perlindungan serta kelembagaan
perlindungan di Indonesia

A. PHT

Kita mengetahui bahwa menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman pasal 20 “Perlindungan Tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian
Hama Terpadu” atau Sistem PHT. Dinyatakan juga bahwa sistem PHT adalah upaya
pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau lebih
dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk
mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam
sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir. Dari definisi menurut UU
12/1992 ini jelas dapat dimengerti bahwa ciri yang dimaksud dengan sistem PHT adalah:
1. Penerapan PHT harus dilakukan secara bersistem, terpadu, terkoordinasikan yang
memadukan berbagai komponen dan pihak baik dari segi teknis, sumber daya
manusia, sumber dana maupun kelembagaan. Kita ketahui sistem adalah suatu
kesatuan yang terjadi karena interaksi antara berbagai komponen sistem menuju ke
suatu tujuan yang sama.
2. Teknik-teknik pengendalian merupakan komponen-komponen PHT dari segi teknologi
yang dipadukan sedemikian rupa sehingga sasaran produksi dan ekonomi tercapai
tanpa merusak atau membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
3. Dalam memadukan berbagai teknik pengendalian hama tersebut penggunaan
pestisida kimia sintetik merupakan alternatif terakhir, setelah teknik-teknik
pengendalian hama lainnya tidak mampu menurunkan populasi hama yang sudah
melampaui Ambang Ekonomi/Ambang Kendali/Ambang Tindakan.
4. Tujuan atau sasaran PHT adalah:
a. Mempertahankan populasi hama atau tingkat serangan hama di bawah AE/AK/AT
b. Meningkatkan produksi dan kualitas produk pertanian
c. Mengurangi atau membatasi penggunaan pestisida kimia
d. Meningkatkan penghasilan, keuntungan usaha tani, dan kesejahteraan petani
atau produsen pertanian
e. Memanfaatkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup
5. Meskipun UU menyatakan bahwa pestisida kimia merupakan alternatiff terakhir, tetapi
hal ini tidak berarti bahwa PHT anti pestisida kimia tetapi pestisida kimia hanya
digunakan BILA PERLU sehingga diharapkan sedikit saja. Karena itu dalam sistem
PHT pengendalian kimiawi tetap dimasukkan sebagai salah satu komponen PHT.

Unsur Dasar dan Komponen PHT


Sistem PHT dan pengendalian OPT pada khususnya dikatakan oleh UU 12/1992
“BERSIFAT DINAMIS”, artinya sistem PHT diterapkan tidak dalam bentuk paket teknologi,
yang seragam berlaku untuk seluruh keadaan, tempat dan kondisi ekosistem, tetapi harus
1
dalam bentuk yang lentur, dinamis dan khas lokasi atau khas ekosistem lokal. Agar sistem
PHT dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lokal, maka penerapan dan pengembangan
PHT harus didukung oleh informasi dan pengetahuan yang oleh Watson et al. (1975)
dikelompokkan dalam Unsur Dasar dan Komponen PHT.

A. Unsur Dasar:
1. Pengendalian alami
2. Pengambilan sampel
3. Aras Ekonomi
4. Ekologi dan Biologi

Unsur-unsur dasar merupakan pengetahuan dasar tentang biologi, ekologi,


dinamika populasi hama dan musuh alami, teknik sampling dan pengamatan serta
ekonomi kerusakan oleh hama dan pengendalian hama. Pengetahuan tentang unsur-
unsur dasar ini telah kita bahas dan pelajari pada kuliah-kuliah minggu yang lalu.

B. Komponen PHT merupakan berbagai teknik pengendalian hama yang kita kenal
termasuk pengendalian kimiawi dengan pestisida kimia.

Komponen PHT terdiri dari:


1. Pengendalian Fisik
2. Pengendalian Mekanik
3. Pengendalian Cara bercocok tanaman atau kultur teknis
4. Pengendalian Varietas tahan
5. Pengendalian Hayati
6. Pengendalian dengan Peraturan/Regulasi/Karantina
7. Pengendalian Kimiawi

Untuk menunjukkan kaitan erat antar unsur-unsur dasar dan komponen-


komponen PHT Watson et al. menggambarkan sistem PHT sebagai suatu rumah dimana
pilar-pilar adalah unsur-unsur dasar dan atap-atapnya adalah komponen-komponen PHT
(Gambar 1).
Agar perpaduan antar komponen PHT dapat berjalan secara kompatibel dan
optimal perlu dilandasi oleh pengetahuan tentang unsur-unsur dasar PHT termasuk sifat
biologi dan ekologi hama dan musuh alaminya.
Berdasarkan pada pendekatan dan cara berpikir tersebut, pada kuliah berikut ini
akan kita bahas secara garis besar beberapa komponen PHT serta bagaimana setiap
komponen PHT dapat dipadukan dengan komponen-komponen PHT lainnya.

1. Pengendalian Fisik
Pengendalian fisik merupakan usaha kita menggunakan atau mengubah faktor
lingkungan fisik sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kematian dan pengurang
populasi hama. Kematian hama disebabkan karena faktor fisik seperti suhu, kelembaban,
suara yang dikenakan di luar batas toleransi serangga hama sasaran. Batas toleransi di
sini dapat berupa batas toleransi terendah dan dapat batas toleransi tinggi. Setiap
organisme mempunyai batas terendah dan tertinggi untuk dapat hidup dan bertahan
terhadap suatu faktor fisik tertentu seperti suhu. Di atas suhu batas tertinggi atau di bawah
batas terendah serangga tersebut tidak dapat hidup dan berkembang biak. Beberapa

2
perlakuan atau tindakan yang termasuk dalam pengendalian fisik antara lain adalah:
a. Pemanasan
b. Pembakaran
c. Pemanasan dengan energi radio-frekuensi
d. Pendinginan
e. Pembasahan
f. Pengeringan
g. Lampu perangkap
h. Radiasi sinar infra merah
i. Gelombang suara
j. Penghalang

2. Pengendalian Mekanik
Pengendalian mekanik bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama
secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Caranya
cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh setiap orang tetapi yang jelas memerlukan
tenaga yang banyak yang berarti cukup mahal, harus dilakukan secara terus menerus,
efisiensi dan efektivitasnya rendah. Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian
mekanik perlu dipelajari fenologi hama, perilaku makan dan penyebaran hama. Dengan
demikian dapat ditetapkan waktu pengendalian mekanik yang tepat, dan fase hidup yang
menjadi sasaran.
Ada beberapa teknik pengendalian mekanik yang sering dilakukan dalam praktek
pengendalian hama:
a. Pengambilan dengan tangan
Cara ini merupakan teknik yang paling sederhana dan murah tentunya untuk
daerah banyak tersedia tenaga manusia. Yang dikumpulkan adalah fase hidup hama yang
mudah ditemukan dan dikumpulkan seperti telur dan larva. Pengumpulan kelompok telur
dan ngengat oleh penduduk dan anak sekolah dilakukan di jalur Pantai Utara Jawa Barat
sebagai bagian dari gerakan massal pengendalian hama penggerek batang padi putih
(Schirpophaga innotata) pada musim tanam 1990/1991. Pengumpulan kelompok telur
dan larva instar ke-3 juga dianjurkan untuk pengendalian hama ulat grayak (Spodoptera
litura).Pengendalian hamalalatbibit kedelai (Agromyza phaseoli) dapat dilakukan dengan
mencabut tanaman yang terserang. Saat yang tepat untuk melakukan pencabutan adalah
+13 hari setelah tanam. Pencabutan juga dilakukan terhadap tanaman yang terserang
nematoda.
Kecuali pengambilan dan pengumpulan dilakukan terhadap hama dapat juga
diadakan pengumpulan bagian-bagian tanaman yang terserang. Salah satu cara
pengendalian hama penggerek pucuk tebu, Schirpophaga nivella adalah dengan
"rogesan" yaitu dengan memotong dan mengumpulkan pucuk tanaman tebu yang
terserang. Pronggolan/pemangkasan pohon-pohon kelapa yang terserang Artona
catoxantha harus dimulai apabila ulat sudah mencapai panjang 8 mm. Sebab untuk
memberi kesempatan kepada parasit-parasit Apanteles dan Euplectrus untuk
membinasakan dulu ulat-ulat Artona yang masih muda.Pohon-pohon kelapa yang masih
muda (cikal) juga harus dipangkas daunnya dan disisakan pucuknya serta 1 atau 2
pelepah daun yang paling muda. Hal ini bertujuan untuk mencegah penularan.Rampasan
adalah petikan semua buah coklat dari yang berukuran kecil sampai besar. Tujuannya
memutuskan siklus hidup atau kesinambungan generasi penggerek buah coklat dan
hama-hama lainnya seandainya terjadi serangan.

3
b. Gropyokan
Gropyokan biasanya dilakukan untuk pengendalian hama tikus yaitu dengan
membunuh tikus baik yang berada di dalam liang maupun yang sedang berada di luar
sarang. Tikus dibunuh secara langsung dengan menggunakan alat bantu seperti cangkul
dan alat pemukul. Agar gropyokan berhasil harus dilakukan pada waktu sawah sedang
tidak ada tanamannya atau dalam keadaan bero. Usaha tersebut harus dilakukan secara
rutin, massal dengan koordinasi yang baik antara pemerintah daerah, petugas lapangan,
petani dan masyarakat umum. Usaha gropyokan hanya dapat berhasil apabila dilakukan
terus-menerus dan merupakan bagian dari budidaya tanaman meskipun saat populasi
tikus rendah.

c. Memasang Perangkap
Serangga hama diperangkap dengan berbagai jenis alat perangkap yang dibuat
sesuai dengan jenis hama dan fase hama yang akan ditangkap. Alat perangkap diletakkan
pada tempat atau bagian tanaman yang sering dilewati oleh hama. Sering juga pada alat
perangkap diberi zat-zat kimia yang dapat menarik atau melekatkan maupun yang
membunuh hama. Kepiting mati yang diletakkan di sekeliling pertanaman padi mampu
menekan populasi walang sangit. Bau busuk yang ditimbulkan oleh kepiting yang sudah
mati dapat menjadi penarik bagi walang sangit. Apabila sudah terkumpul, walang sangit
dapat dimusnahkan segera. Gadung atau jagung dapat dijadikan sebagai umpan untuk
mengendalikan hama tikus. Perangkap yang berupa gadung maupun jagung yang telah
dicampur racun tersebut mampu memabukkan bahkan mematikan hama tikus.
Perangkap yang terbuat dari bahan kawat atau bambu sering digunakan untuk
mengendalikan hama tikus.

d. Pengusiran
Sasaran teknik pengusiran adalah mengusir hama yang sedang berada di
pertanaman atau yang sedang menuju ke pertanaman. Sampai saat ini petani sering
memasang patung-patungan terbuat dari kertas berwarna-warni di tengah sawah, juga
dikeluarkan suara-suara gaduh yang semuanya untuk menakut-nakuti dan mengusir
burung yang biasanya menyerang bulir-bulir padi yang sedang masak.

e. Cara-cara lain
Beberapa cara pengendalian mekanik lain dapat dilakukan sesuai dengan jenis
hama, bentuk tanaman, bagian tanaman yang terserang dan fase hama yang menyerang.
Teknik-teknik lain di sini termasuk menggoyang-goyang pohon, menyikat, mencuci,
memisahkan bagian tanaman terserang, memukul, menggunakan alat penghisap
serangga, dll.

Pengendalian Fisik dan Mekanik dalam PHT


Pengendalian fisik dan mekanik pelaksanaannya sangat sederhana dan tidak
memerlukan banyak peralatan yang mahal sehingga relatif murah. Keuntungan lainnya
bahwa cara pengendalian ini tidak mengakibatkan pengaruh negatif bagi lingkungan.
Apabila dilakukan secara tepat dan terus-menerus pengendalian fisik dan mekanik
mampu menurunkan populasi hama secara nyata dan dapat menyelamatkan pertanaman
kita. Suatu contoh saat ini dengan digunakan secara luas teknik pembungkusan buah
kakao dengan plastik untuk pengendalian hama utama tanaman kakao yaitu penggerek
buah kakao, perkebunan kakao dapat diselamatkan dari kehancuran.
4
Untuk meningkatkan efektivitas itu pengendalian fisik dan mekanik kecuali harus
dilaksanakan secara luas, dan berkesinambungan juga harus dikombinasikan dengan
teknik pengendalian hama lainnya dalam kerangka sistem PHT.

3. Pengendalian Secara Bercocok Tanam


Sebagian besar teknik pengendalian secara bercocok tanam dikelompokkan
dalam 4 kelompok sasaran yaitu:
a. Mengurangi kesesuaian ekosistem.
b. Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup hama.
c. Mengalihkan populasi hama menjauhi tanaman.
d. Mengurangi dampak kerusakan tanaman.

a. Pengurangan Kesesuaian Ekosistem


1. Sanitasi
2. Penghancuran atau modifikasi inang atau habitat pengganti
3. Pengerjaan tanah
4. Pengelolaan Air

b. Gangguan Kontinuitas Penyediaan Keperluan Hidup Hama


1. Pergiliran tanaman
2. Pemberoan lahan
3. Penanaman serentak
4. Penetapan jarak tanam
5. Lokasi tanaman
6. Memutuskan sinkronisasi tanaman dan hama
7. Menghalangi peletakan telur

c. Pengalihan Populasi Hama Menjauhi Pertanaman


1. Penanaman tanaman perangkap
2. Panenan bertahap

d. Pengurangan Dampak Kerusakan Hama


1. Mengubah toleransi inang
2. Mengubah jadwal panen

B. KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN


LANDASAN HUKUM
Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan atau landasan hukum
yang berkaitan dengan kegiatan Perlindungan Tanaman. Yang dimaksud peraturan
perundang-undangan di sini meliputi:
 Undang-Undang (disyahkan oleh DPR dan Pemerintah),
 Peraturan Pemerintah (disyahkan oleh Pemerintah/Presiden dengan pemberitahuan
pada DPR)
 Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan dan
ditandatangani oleh Presiden
 Keputusan Menteri Pertanian dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Pertanian

5
Peraturan-peraturan yang tingkatannya di bawah KepmenTan mulai dari
Peraturan Direktorat Jenderal sampai Peraturan Daerah tidak akan dibahas.

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan dan


pelaksanaan perlindungan tanaman yaitu:
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
2. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
3. PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida
4. Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat
pada Tanaman Padi.
5. KepmenTan No.434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida
6. KepmenTan No. 517/Kpts/2002 tentang Pengawasan Pestisida
7. Kpts Bersama Mentan dan Menkes 711/Kpts/1996 tentang Batas Maksimum Residu
Pestisida Pada Hasil Pertanian.

Semua kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh


Pemerintah, petani maupun masyarakat harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan tersebut, termasuk pasal-pasal mengenai Tindakan Pidana
yang diberlakukan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

SEJARAH PHT SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL

Dilihat dari sejarah, PHT dalam kebijakan perlindungan tanaman telah lama
dibahas dan disarankan oleh para pakar perlindungan tanaman kepada Pemerintah.
Sejak tahun 1970 Komisi Perlindungan Tanaman telah mendesak Pemerintah untuk
menerapkan PHT dalam setiap program perlindungan tanaman. Namun karena
Pemerintah masih asyik melaksanakan program BIMAS dengan Panca Usaha Tani
dimana pada usaha ke-4 (Pengendalian Hama dan Penyakit) lebih mengutamakan
penggunaan pestisida kimia, maka usulan Komisi Perlindungan Tanaman kurang
diperhatikan. Saran para pakar tentang penerapan PHT baru diperhatikan Pemerintah
setelah terjadi letusan wereng coklat yang menyerang tanaman padi seluas hampir 1 juta
hektar pada tahun 1979-1980. Akhirnya pada tahun 1986 Presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden No. 3/1986 yang terdiri atas banyak butir, yang paling penting
diantaranya:
1. Pengendalian hama wereng coklat padi dengan prinsip PHT, antara lain dengan
penanaman VUTW, tanam serentak, pergiliran tanaman, penggunaan pestisida kimia
secara selektif terutama yang berbahan aktif buprofezin (kelompok IGR)
2. Sebanyak 57 formulasi pestisida kimia dinyatakan dilarang digunakan untuk
pengendalian hama padi.
3. Para petugas lapangan dan petani harus ditingkatkan kemampuannya dalam
menerapkan PHT melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Sebagai tindak lanjut
Inpres 3/1986, dengan bantuan dana internasional yang berasal dari Pemerintah
Belanda, Amerika Serikat dan Bank Dunia, sejak tahun 1989 Pemerintah
menyelenggarakan kegiatan SLPHT sebagai wahana pelatihan petugas dan petani

6
padi dalam menerapkan dan mengembangkan PHT. Empat Prinsip PHT yang
dikembangkan sendiri oleh petugas dan petani dalam SLPHT yaitu:
1. Budidaya Tanaman Sehat
2. Pelestarian dan Pemanfaatan Musuh Alami
3. Pengamatan Mingguan
4. Petani sebagai “Ahli” PHT
Sampai akhir tahun 1998 sekitar satu juta petani dan ribuan petugas (PHP dan
PPL) telah mengikuti SLPHT. Peranan sivitas akademika UGM dalam persiapan Inpres
3/1986, persiapan dan pelaksanaan program SLPHT di tingkat nasional sangat menonjol,
bahkan diakui oleh dunia internasional. Secara politik pelaksanaan SLPHT memberikan
tekanan yang kuat pada Pemerintah dan DPR sehingga pada tahun 1992 disyahkan UU
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Sebagai tindak lanjut UU tersebut,
Pemerintah mengeluarkan PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

PHT MENURUT UNDANG-UNDANG

Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dikatakan


bahwa “Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada
budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan”.
OPT diartikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. OPT dapat dikelompokkan dalam
kelompok hama, penyakit dan gulma.
UU No. 12 pada Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20
menyatakan dua hal:
(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama
Terpadu (Sistem PHT).
(2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1), menjadi
tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah.

Menurut UU dan PP tersebut yang dimaksud Sistem PHT adalah upaya


pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau lebih
dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk
mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam
sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir. Pengendalian OPT bersifat
dinamis.

TEKNOLOGI PENGENDALIAN TERPADU

Sebagai landasan kebijakan perlindungan tanaman, UU tersebut telah


menentukan bahwa untuk pengendalian setiap jenis OPT harus dilakukan dengan
memadukan berbagai teknik pengendalian hama yang kompatibel. Dalam pemilihan
teknologi pengendalian, UU menekankan bahwa penggunaan pestisida kimia sebagai
alternatif terakhir. Apabila sampai saat ini ada pejabat, petugas atau mahasiswa yang
berpendapat bahwa penggunaan pestisida kimia harus dilaksanakan, berarti bahwa
mereka belum mengetahui mengenai kebijakan perlindungan tanaman nasional.
Sebagai penjabaran UU No. 12 Tahun 1992, PP No. 6 Tahun 1995 tentang

7
Perlindungan Tanaman telah merinci mengenai penerapan teknologi pengendalian OPT
secara terpadu khususnya pada pasal 8 sampai pasal 16. Pasal-pasal tersebut
menekankan pentingnya kegiatan pemantauan dan pengamatan OPT sebelum
dilaksanakan tindakan pengendalian (pasal 9). Pasal 10 menguraikan beberapa
komponen PHT yang meliputi:
a. cara fisik melalui pemanfatan unsur fisika tertentu,
b. cara mekanik, melalui penggunaan alat dan atau kemampuan fisik manusia,
c. cara budidaya, melalui pengaturan kegiatan bercocok tanam
d. cara biologi, melalui pemanfaatan musuh alami OPT
e. cara genetik, melalui manipulasi gen baik terhadap OPT maupun tanaman
f. cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida, dan atau
g. cara lain sesuai perkembangan teknologi

PERLINDUNGAN TANAMAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT

UU menyatakan bahwa teknik pengendalian OPT tidak seragam atau statis tetapi
dinamis sesuai dengan keadaan ekosistem lokal. UU juga menyatakan bahwa tujuan PHT
bukan membasmi atau memusnahkan hama tetapi mencegah kerugian secara ekonomis,
dan lingkungan.
Kalau kita ke desa-desa di pulau Jawa apalagi di luar Jawa ada kecenderungan
yang memprihatinkan tentang kesadaran dan pengertian masyarakat tentang siapa yang
bertanggung jawab terhadap kegiatan pengendalian OPT serta perbaikan teknologi
budidaya di tempatnya masing-masing. Petani cenderung menyerahkan kegiatan
pengendalian pada aktivitas petugas Pemerintah khususnya Dinas Pertanian atau Dinas
Perkebunan. Petani banyak pasif dan menunggu tindakan pemerintah dalam
menanggulangi OPT yang sedang eksplosif. Keadaan ini tidak baik karena kegiatan
pengendalian selalu terlambat, menjadi tidak efektif karena populasi hama telah
meningkat dan menyebar di daerah yang luas. Dalam kondisi populasi dan serangan OPT
yang sedang dalam keadaan eksplosif pengendalian sangat sulit dilakukan. Kegiatan
pengendalian yang paling baik harus dilakukan sedini mungkin oleh masyarakat petani
sendiri tidak bergantung pada inisiatif pemerintah.
Kalau kita baca UU 12/1992 pasal 20 dikatakan bahwa “Pelaksanaan
perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah”. UU tersebut
menyatakan bahwa pada dasarnya perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab
masyarakat. Dalam hal-hal tertentu seperti terjadinya eksplosi suatu jenis OPT yang luas,
pelaksanaan perlindungan tanaman dilakukan oleh masyarakat bersama Pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini akan memberikan fasilitasi dalam hal penyediaan teknologi,
ketrampilan dan sarana pengendalian di lapangan. Dalam melaksanakan kegiatan
pengendalian di lapangan atau pada lahan milik petani sepenuhnya dilaksanakan oleh
masyarakat petani.
Apa sebab petani pasif, acuh tak acuh serta menyerahkan sepenuhnya tindakan
pengendalian OPT pada Pemerintah? Penyebab utama karena rendahnya kualitas
kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan petani dalam melakukan pengelolaan
ekosistem pertanian mereka termasuk dalam melakukan pengendalian OPT. Dengan
rendahnya kualitas SDM petani kita, mereka tidak mampu mengelola lahan pertaniannya
secara produktif dan profesional. Keadaan ini diperparah dengan kepemilikan modal kerja

8
dan tanah garapan yang sangat marginal. Akibatnya hasil, kualitas dan harga produk
pertanian dan perkebunan rakyat lebih sering rendah sehingga tidak dapat memberikan
penghasilan yang cukup bagi keluarga petani.
Kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan PHT) memberikan alternatif yang terbaik
untuk meningkatkan kualitas petani dan pekebun sehingga mereka secara mandiri dan
aktif dapat mengelola lahan pertanian atau perkebunannya secara profesional dan dapat
memanfaatkan sebanyak mungkin sumber daya alam yang ada di sekitarnya sehingga
dapat menghasilkan produk yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil yang tinggi. Tujuan
pelatihan dalam SLPHT tidak hanya untuk penerapan pengendalian hama dengan prinsip
dan teknologi PHT tetapi lebih komprehensif yaitu mengelola ekosistem pertanian secara
terpadu sehingga diperoleh produksi dan hasil yang menguntungkan petani dengan
mempertahankan populasi hama dan OPT pada umumnya pada tingkat yang tidak
merugikan hasil.
Kegiatan pemberdayaan petani dengan SLPHT sangat berbeda dengan kegiatan
penyuluhan pertanian konvensional yang masih sering dilaksanakan oleh para petugas
penyuluh lapangan secara rutin yang dikenal dengan kegiatan LAKU (Latihan
Kunjungan). Perbedaan utama adalah pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran
pada penyuluhan konvensional dari atas (petugas penyuluh) ke bawah (petani), tetapi
pada SLPHT adalah pembelajaran bersama dari bawah (petani) ke atas (kelompok tani
dan masyarakat). Para Pemandu lapangan (PL) di SLPHT tidak berperan sebagai
instruktor tetapi sebagai teman belajar dan fasilitator petani peserta SLPHT.

PELAKSANAAN SLPHT

Sebanyak 20-25 petani dipilih sebagai peserta kelompok SLPHT yang dipandu
oleh 2 PL. Program pelatihan dilaksanakan selama satu musim tanam atau sekitar 3 bulan
untuk tanaman musiman (padi, kedelai, bawang merah, cabe, kubis, kentang, kapas), dan
sekitar 3-4 bulan untuk tanaman tahunan (kopi, kakao, teh, lada, jambu mete).
Kelompok tani bertemu setiap minggu sekali pada hari yang ditetapkan kelompok.
Mereka belajar tidak di ruang tertutup tetapi langsung di lapangan, pada petak
pembelajaran yang dibagi dua sub petak yaitu petak PHT dan petak Kebiasaan
Petani sebagai pembanding.
Atas bimbingan para PL petani belajar mengamati, mengumpulkan OPT dan
musuh alami, melakukan analisis ekosistem serta mengambil keputusan pengelolaan
ekosistem sesuai dengan analisis hasil pengamatan. Mereka mempelajari dinamika
ekosistem, dinamika hama dan musuh alami serta mengambil keputusan secara
berkelompok. Hasil keputusan kelompok segera dilaksanakan di kebun pembelajaran,
pembahasan hasil pada minggu berikutnya, dan seterusnya sampai tanaman dipanen.
Petani membandingkan hasil yang diperoleh dari petak PHT dengan petak Non PHT yang
masih mengandalkan penggunaan pestisida.
Pada setiap hari pertemuan SLPHT dari jam 7 pagi sampai 13.00 siang diisi
dengan acara:
 Pengamatan dan pengambilan sampel hama dan musuh alami
 Analisis Agroekosistem
 Pengambilan Keputusan Secara Berkelompok
 Topik Khusus untuk melakukan kajian topik-topik tertentu sesuai kebutuhan kelompok
 Dinamika Kelompok untuk meningkatkan kekompakan kelompok
Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh tim independen baik terhadap SLPHT
9
Pangan maupun SLPHT Perkebunan diperoleh kesimpulan yang hampir sama yaitu:
1. Produksi petak PHT lebih tinggi
2. Kualitas produk lebih baik sehingga memperoleh penghargaan yang lebih tinggi
3. Penggunaan insektisida dan fungisida sangat menurun
4. Penggunaan pengendalian hayati dengan agens pengendalian hayati meningkat
5. Kemampuan dan kepercayaan diri petani terhadap konsep dan teknologi PHT
meningkat
6. Keuntungan usaha petani meningkat.
Sayangnya saat ini perhatian Pemerintah terhadap tindak lanjut program pelatihan
SLPHT Pangan menurun karena diserahkan kepada pembiayaan Pemerintah Daerah,
sedangkan kegiatan SLPHT Perkebunan masih berjalan sampai akhir 2005. Jumlah
petani yang telah mengikuti SLPHT masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah petani
pangan dan perkebunan di Indonesia yang bekisar antara 30-40 juta.

KEBIJAKAN TENTANG PENDAFTARAN, PEREDARAN DAN PENGGUNAAN


PESTISIDA

Pada dasarnya pestisida merupakan bahan kimia yang memiliki risiko bahaya bagi
kesehatan manusia dan lingkungan sehingga penggunaannya perlu dilakukan secara
hati-hati dengan pengawasan yang ketat. Karena itu setiap negara harus membuat
peraturan yang berhubungan dengan pendaftaran, perijinan, peredaran, penggunaan dan
pengawasan pestisida. Secara historis sejak tahun 1970 Pemerintah telah menerapkan
prosedur pendaftaran dan perijinan pestisida yang mengacu tatacara yang berlaku secara
internasional. Pada tahun 1973 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 7/1973 tentang
Pengawasan atas Peredaran, penyimpanan dan penggunaan Pestisida.

Pasal 2 PP 7/1973 menyatakan bahwa:


1) Setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan pestisida yang tidak
didaftarkan atau memperoleh izin Menteri Pertanian
2) Prosedur permohonan pendaftaran dan izin diatur lebih lanjut oleh Menteri Pertanian
3) Peredaran dan penyimpanan pestisida diatur oleh Menteri Perdagangan atau Menteri
Pertanian

Pasal 3
1) Izin yang dimaksudkan diberikan sebagai IZIN TETAP, IZIN SEMENTARA atau IZIN
PERCOBAAN
2) Izin sementara dan izin percobaan diberikan untuk jangka waktu 1 tahun
3) Izin tetap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun, dengan ketentuan bahwa izin tersebut
dalam jangka waktu itu dapat ditinjau kembali atau dicabut apabila dianggap perlu
karena pengaruh samping yang tidak diinginkan.

Meskipun sudah ada UU No. 12 Tahun 1992 dan PP 6 Tahun 1995 yang di
dalamnya juga mengandung pengaturan tentang pestisida, namun PP No.7 Tahun 1973
belum dicabut sehingga masih diberlakukan sampai saat ini. Mengenai pengaturan
pestisida UU No. 12/1992 menyatakan bahwa:

“Pestisida yang akan diedarkan dalam wilayah Negara RI wajib terdaftar, memenuhi

10
standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta
diberi label”

“Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran serta


penggunaan pestisida”.

“Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau penggunaan pestisida


tertentu”

Dalam melaksanakan tugas pendaftaran dan pengelolaan pestisida secara nasional,


Menteri Pertanian dibantu oleh KOMISI PESTISIDA atau terkenal dengan nama
KOMPES. Komisi mempunyai tugas:
1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Pertanian sebagai bahan dalam
pengambilan keputusan mengenai kebijakan di bidang pestisida.
2. Mengkoordinasikan instansi/pihak terkait baik di dalam dan di luar Departemen
Pertanian di bidang pestisida kepada Menteri Pertanian,
3. Melakukan evaluasi data/informasi dalam rangka pendaftaran pestisida,
4. Melakukan evaluasi terhadap pestisida yang telah terdaftar dan telah memperoleh izin
Menteri Pertanian.
Saat ini Komisi Pestisida di bawah koordinasi Dirjen Bina Sarana Pertanian dan
anggota-anggotanya dari seluruh jajaran Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan
pengelolaan pestisida seperti dari DepKes, Kementerian Lingkungan Hidup, Dep. Tenaga
Kerja, dll beserta beberapa pakar pestisida. Untuk melaksanakan tugas ke-3 dan ke-4
Kompes membentuk Tim Pakar Evaluasi Pestisida.
Peraturan tentang prosedur perijinan pestisida telah beberapa kali direvisi yang
terbaru adalah SK Mentan No. 434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran
Pestisida. Pendaftaran pestisida dipersyaratkan dalam bentuk Bahan Teknis dan Bahan
Formulasi. Sampai bulan Mei 2004 ini sekitar 1000 formulasi pestisida telah terdaftar
untuk pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pengendalian vektor penyakit
manusia, pengendalian rayap, pestisida rumah tangga, fumigasi, pestisida industri, dll.

KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN


Dengan telah diundangkannya UU tentang Otonomi Daerah yaitu UU 22/1999
maka terjadi perubahan struktur, wewenang serta status kepegawaian beberapa lembaga
perlindungan tanaman nasional. BPTPH (Balai Proteksi Tanaman dan Hortikultura)
Propinsi yang dahulu berada di bawah struktur Departemen Pertanian Pusat sekarang
berada di bawah Pemerintah Daerah Propinsi.

Kelembagaan Pemerintah Pusat


Dalam organisasi Departemen Pertanian, lembaga-lembaga yang tugas dan
fungsi khususnya perlindungan tanaman terdapat di 4 Direktorat Jenderal dan 1 (satu)
Badan yaitu:
1. Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yang membawahi Direktorat Pupuk dan
Pestisida
2. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan yang membawahi Direktorat
Perlindungan Pangan
3. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura yang membawahi Direktorat
11
Perlindungan Hortikultura
4. Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan yang membawahi Direktorat
Perlindungan Perkebunan
5. Badan Karantina Pertanian yang membawahi Karantina Tumbuhan

Dalam struktur organisasi Pemerintah Pusat dan Daerah dikenal lembaga dengan
status dan fungsi pelaksanaan aspek-aspek teknis tertentu yang disebut Unit Pelaksana
Teknis (UPT). UPT Perlindungan Tanaman yang dibentuk Pemerintah Pusat cukup
banyak baik yang berada di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat
Perlindungan Hortikultura dan Direktorat Perlindungan Perkebunan.
Sebagian besar UPT di bawah Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan
Ditlin Hortikultura sudah diserahkan ke daerah sehingga berubah statusnya menjadi UPT
Pemerintah Daerah. Dua unit kerja yang termasuk UPT Ditlin Pangan adalah Sentra
Peramalan Jasad Pengganggu Tanaman Pangan di Jatisari Cikampek, dan Laboratorium
Analisis Pestisida di Pasar Minggu Jakarta. Sedangkan UPT Direktorat Perlindungan
Perkebunan sampai tahun ini masih belum diserahkan ke Daerah. UPT Ditlin Perkebunan
adalah BPTP (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan) di Medan, Bandung, Jombang dan
Ambon, dan beberapa Laboratorium (Lab. Lapangan/LL, Laboratorium Utama
Pengendalian Hayati/LUPH, Lab Utama Vertebtara/LUV, dan Laboratorium Analisis
Pestisida/LAP).

Perlindungan Tanaman di Organsiasi Pemerintah Propinsi


Sebagai konsekuensi kebijakan otonomi daerah struktur organisasi Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sangat beragam, tergantung pada kebijakan dan
program kerja daerah yang bersangkutan. Sampai tahun 2003 Indonesia memiliki 33
propinsi, 273 kabupaten, dan 63 kotamadya yang mempunyai struktur organisasi yang
sangat beragam. Hal ini termasuk mengenai keberadaan, kedudukan, dan letak lembaga
yang berwewenang dalam mengelola perlindungan tanaman.
Operasionalisasi kegiatan pengkajian dan pengendalian OPT di tingkat daerah
dilakukan oleh BPTPH Propinsi sebagai UPT Daerah. BPTPH di lapangan mempunyai
beberapa laboratorium perlindungan tanaman seperti BPTPH DIY memiliki laboratorium
di Bantul. Karena itu pada struktur organisasi Dinas-dinas yang ditetapkan oleh SK Kepala
Daerah seringkali posisi perlindungan tanaman tidak ada terutama di Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan/atau Hortikultura. Di Dinas Perkebunan seperti di Jawa Tengah
dan DIY bagian perlindungan tanaman masih tampak kadangkala sebagai eselon II (Sub
Dinas Perlindungan Tanaman) atau sebagai eselon III (Seksi Perlindungan Tanaman).

12

Anda mungkin juga menyukai