Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

“ Filsafat Essensialisme dan Filsafat Konstruksionalisme“

Disusun Oleh:

Anggi Septiani ( 06101381924040 )

Mira Rahmawati (06101381924046)

Miranda Ayu Rahmadini (06101381924052)

Ari Dwi Permana (06101381924033)

Rahmad Holamba (06101381924035)

Kelas: Palembang

Dosen Pengampu : SOFIA, S.PD., M.SI.

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT karena seluruh berkat dan
anugerah dari-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat pendidikan yang berjudul
Filsafat essensialisme dan Filsafat Konstruksionisme. Salawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, Penulis berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah
yang akan Penulis buat di masa yang akan datang. Penulis mengucapkan terima kasih atas
kritik dan saran mengingat tidak ada yang sesuatu yang sempurna tanpa kritik yang
membangun.

Palembang, 4 Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II

PEMBAHASAN

A. FILSAFAT ESSENSIALISME
 Sejarah
 Hakikat
 Pandangan Ontologi
B. FILSAFAT KONSTRUKSIVESME
 Macam-macam Konstruksivisme
 Pandangan Filsafat Konstrukvisme terhadap Pendidikan

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan
penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Secara
filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus
dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya,
sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dalam
filsafat terdapat berbagai aliran, seperti aliran Essensialisme. Karena filsafat pendidikan
merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran,
maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun
aliran essensialisme dalam filsafat pendidikan akan dibahas pada makalah ini.
Essensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme sangat menekankan
pada pendidikan dimasa lalu dan cenderung tidak mendukung dengan pola pendidikan
masa kini atau yang sering disebut sebagai modernisasi pendidikan. Bagi esensialisme
pola-pola pendidikan masa lalu lebih memberikan banyak kemutakhiran pola berpikir
yang ada dalam diri siswa. Modernisasi dianggap sebagai zaman yang hanya
menambahkan banyak nilai-nilai baru yang kalah dengan nilai-nilai lama dalam hal
menghasilkan siswa yang berkompeten, sehingga nilai-nilai lamalah yang mempunyai
peranan penting jika dilihat dari kacamata esensialisme. Essensialisme muncul pada
zaman Renaissance, dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya
konsep-konsep pikir yang disebut essensialisme.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam
Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glaserdfeld menegaskan bahwa
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari
suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan
(Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat
tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia
sejauh dialaminya. Piaget (Suparno, 1997) menyatakan proses pembentukan ini
berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya
suatu pemahaman yang baru.
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik
dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif
mengembangkan pengetahuan, sehingga peserta didik memiliki kreativitas untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, aliran ini mengutamakan peran peserta didik
dalam berinisiatif.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia.
Pendidikan merupakan interaksi antara pendidikan dan peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses
bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan,
siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi
pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban
yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang munculnya aliran filsafat essensialisme?
2. Bagaimana peranan aliran filsafat essensialisme dalam pendidikan?
3. Apa fungsi aliran filsafat essensialisme dalam pendidikan?
4. Bagaimana pengaruh aliran filsafat essensialisme dalam pendidikan?
5. Apa itu filsafat dan filsafat konstruktivisme?
6. Apa itu filsafat konstruktivisme?
7. Bagaimana pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan ?
8. Bagaimana filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme.
2. Untuk mengetahui peranan aliran filsafat esensialisme.
3. Untuk mengetahui fungsi aliran filsafat essensialisme terhadap pendidikan.
4. Mengetahui apa itu filsafat.
5. Mengetahui apa itu filsafat konstuktivisme.
6. Mengetahui pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan.
7. Mengetahui aliran filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Essensialisme
Secara etimologi essensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential (inti atau
pokok dari sesuatu) dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld
bahwa essensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat
yakni idealisme dan realisme. Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan
yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut the dark middle age (zaman
ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh
dogma-dogma gerejani). Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan
kebebasan dalam berpikir.
Essensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak peradaban umat manusia. Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat
idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya,
dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Essensialisme yang berpendapat bahwa
pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang
menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat
memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama
empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaissance. Menurut essensialisme pendidikan
harus bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhannya, dan kekuatannya
sepanjang masa sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya atau sosial
adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja
keras dan susah payah selama beratus tahun.
B. Sejarah Munculnya Aliran Essensialisme
Gerakan ini muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya,
seperti William C. Bagley, Thomas Brigger, Frederick Breed, dan Isac L Kandel. Pada
tahun 1983 mereka membentuk suatu lembaga yang di sebut "The esensialist commite
for the advanced of American Education" Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah
seorang guru besar pada "teacher college" Columbia University, ia yakin bahwa fungsi
utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi
muda. Kesalahan dari kebudayaan sekarang menurut essensialisme yaitu terletak pada
kecenderungan bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah
ditanamkan kebudayaan warisan itu. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak
diingini kita sekarang, hanya dapat di atasi dengan kembali secara sadar melalui
pendidikan, yaitu kembali ke jalan yang telah ditetapkan itu, dengan demikian kita
boleh optimis terhadap masa depan kita dan masa depan kebudayaan umat manusia.
Esensialisme didukung oleh idelisme modern yang mempunyai pandangan yang
sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada, dan juga didukung oleh
Realisme yang berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung ada apa dan bagaimana
keadaannya apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pola pada
subjek tersebut.
C. Peranan dan Fungsi Aliran Essensialisme
Karena prinsip utama dan watak dari essensialisme ialah semangat ingin kembali
kepada warisan kebudayaan masa silam yang agung dan ideal. Maka pendidikan
baginya ialah sebagai pemeliharaan kebudayaan yang ada. Essensialisme sebagai teori
pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga dan praktek-
praktek kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan
zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaan, harus
diusahakan melalui pendidikan.
Secara sadar essensialisme memelihara kebudayaan warisan secara bijaksana dan
dengan efektif melalui dua cara:
1. Percaya pada praktek-praktek, kebiasaan-kebiasaan, dan lembaga-lembaga yang
telah terbina dan terpuji.
2. Mengembangkan kesadaran atas dalil-dalil, kebenaran-kebenaran, hukum-
hukum, dan asas yang ada di bawah praktek, kebiasaan dan lembaga-lembaga
yang telah ada dan terbina.
A. Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa
Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita
sendiri.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan
objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan
merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengecap air, dan menimbang air,
seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya
bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang (pendidik) ke kepala orang lain
(peserta didik). Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin,
dalam Suparno, 1997: 19).
Menurut Von Glaserfekd (Suparno, 1997: 19), pengetahuan itu dibentuk oleh struktur
konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat
berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan
menunjuk pada keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari
pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan
menunjuk pada sekeliling hal itu yang telah kita sosialisasikan. Dalam hal ini, baik hal
itu maupun sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia
objektif yang lepas dari pengamat.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 19) menjelaskan struktur konsepsi tersebut
membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi
pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan
mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila konsep ataupun abstraksi
seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang berkaitan,
maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan hal itu. Misalnya konsepsi
seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan seorang lelaki akan
menjadi suatu pengetahuan tentang “ciri-ciri wanita”, bila konsepsi itu dapat digunakan
dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara
wanita dan lelaki yang dijumpainya.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 26-27) membedakan adanya tiga taraf
konstruktivisme diantaranya sebagai berikut.
Kostruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak
merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan
organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Konstruktivisme
radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi
oleh pikiran kita. Bentukan itu harus berjalan dan tidak harus selalu merupakan
representasi dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu
memberikan gambaran akan dunia nyata.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka
tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus
mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan,
hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus
menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah
bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah
dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita
membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita bertanya dari mana
dan apa itu sebenarnya.
Realisme Hipotesis
Menurut Realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu
hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang
sejati, yang dekat dengan realitas (Munevar, 1981 dalam Bettencourt, 1989). Menurut
Manuvar, pengetahuan kita memunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna.
Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistimolog evolusioner dapat
dikatakan termasuk realisme hipotesis.
Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini,
pengetahuan kita merupakan gambaran dari relaitas itu. Pengetahuan kita dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.

C. Pandangan Filsafat Konstruktivisme terhadap Pendidikan


Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membantu generasi muda menjadi
manusia yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur,
peka terhadap orang lain, beriman, dan lain-lain; pendidikan juga mempunyai peran
untuk membantu orang muda masuk ke dalam masyarakat dan ikut terlibat di dalam
masyarakat secara bertanggungjawab. Secara konkret dalam situasi Indonesia dewasa ini,
pendidikan nasional juga mempunyai tujuan untuk membantu orang muda menjadi
warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Artinya, pendidikan nasional dapat ikut
terlibat dalam meningkatkan hidup bernegara dan bermasyarakat. Tentu yang diharapkan
bahwa mereka dapat terlibat sebagai warga yang aktif, yang ikut menegakkan
demokratisasi negara ini (Suparni dkk, 2002: 14).
Maka proses pendidikan juga perlu membentuk peserta didik mengenal masyarakatnya,
peka terhadap situasi masyarakatnya, aktif ikut berpikir dan bertanggungjawab terhadap
masyarakatnya. Dalam proses masyarakat yang demokratis, mereka harus ikut berpikir
kritis, menyumbang kepada masyarakat, dan diberi peran oleh masyarakat (Suparni dkk,
2002: 15).
Bagian yang penting dalam pendidikan formal di sekolah adalah membantu peserta
didik untuk mengetahui sesuatu, terutama pengetahuan. Secara sederhana, bagaimana
membantu peserta didik untuk menguasai bahan pelajaran yang diberikan oleh pendidik.
Tugas pendidik adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak peserta didik,
sehingga peserta didik menjadi tahu. Maka, peserta didik tinggal membuka otaknya dan
menerima pengetahuan itu, atau seringkali diungkapkan bahwa peserta didik itu seperti
tabula rasa, kertas putih kosong. Sedangkan tugas pendidik adalah memberi tulisan-
tulisan pada kertas kosong tersebut.
Menurut filsafat konstruktivisme (dalam Suparni dkk, 2002: 16) yang berbeda dengan
filsafat klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) peserta didik sendiri yang
sedang belajar. Pengetahuan peserta didik akan anjing adalah bentukan peserta didik
sendiri yang terjadi karena peserta didik megolah, mencerna, dan akhirnya merumuskan
dalam otaknya pengertian akan anjing. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat
pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar, dan akhirnya
merumuskannya dalam pikiran. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu
merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Sebagai
contoh, pengetahuan peserta didik tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang
sederhana, tidak lengkap, dan semakin peserta didik dewasa serta mendalami banyak hal
tentang kucing, maka pengetahuannya tentang kucing akan bertambah lengkap.
1. Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan suatu proses pembelajaran yang mengondisikan
peserta didik untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru,
dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong peserta didik untuk
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Teori ini
mencerminkan peserta didik memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya
peserta didik dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat
tercapai.
2. Tujuan Umum Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu
mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui
asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan
pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi
bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan
bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang
didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan
serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara pendidik
dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-
rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi,
yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang
jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik
di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang pendidik
perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni
mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada
diri peserta didik.
3. Hakikat Pendidik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran pendidik dalam aliran konstruktivisme ini
adalah sebagai fasilitator dan mediator yang memiliki tugas memotivasi dan membantu
peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu
pendidik juga berkewajiban untuk mengevaluasi gagasan-gagasan peserta didik itu,
sesuaikah dengan tujuan pendidikan atau tidak. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator
ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggung
jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian.
Pendidik menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-
tahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan
atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta
didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Pendidik membantu
dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan peserta didik.
Paham konstruktivisme menuntut pendidik umtuk menguasai dan mengenai
pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan
memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang
berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu
jalan atau tidak.
4. Hakikat Peserta Didik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Para peserta didik menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui
tingkatan atau interaksi dengan dunia. Peserta didik tidak lagi diposisikan bagaikan
bejana kosong yang siap diisi. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mencari arti
sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan
ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan peserta
didik bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Peserta didik membawa pengertian yang
lama dalam situasi belajar yang baru. Peserta didik sendiri yang membuat penalaran atas
apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa
yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
5. Hakikat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan
arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan
pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.
Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian
yang telah ia punyai.
Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun
lemah.
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan,
melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan
yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan
yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-
konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari
(Paul Suparno, 2001:61).

D. Filsafat Konstruktivisme dalam Praksis Pendidikan


Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan
bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah
bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses
belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau
objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi
struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran
adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-
pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek
pemaknaan.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu
atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses
belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat
berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat
perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang
pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh
terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah
dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan
yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal
development of knowledge.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses
konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif,
sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar
adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Dalam aliran kostruktivisme, pendidik bukanlah seseorang yang maha tahu dan
peserta didik bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses
belajar, peserta didik aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan
pendidik membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal Pendidik dan
peserta didik bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan pendidik
dan peserta didik lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aliran filsafat Essensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan
agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Esensialisme ini
memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan
fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang terarah, tidak menentu dan kurang
stabil. Dasar dari aliran ini adalah pandangan humanisme yang merupakan
reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, selain itu juga
diwarnai oleh pandangan konsep-konsep idealisme dan realisme.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian
dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum
sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa
dijadikan ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Pandangan esensialisme
dalam pendidikan meliputi, pandangan esensialisme mengenai belajar,
kurikulum, peranan sekolah, penilaian kebudayaan, teori pendidikan dan
prinsip sekolah esensialisme yang semuanya saling berkaitan.
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi
mereka dengan objek, fenomen, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu
pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang tidak sesuai. Bagi
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh maing-masing
orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan
bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus
menerus.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu,
dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan
orang tersebut. Konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam
diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini
berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta
didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk
mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas
dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat
merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk
pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh
dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Salam. (1988). Pengantar Filsafat. Jakarta: Yayasan Kanisius


http://makalahe19.blogspot.co.id/2015/09/makalah-filsafat-pendidikan-
aliran.html
Paul Suparno. (2001). Teori Perkembanga Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta:
Kanisius.
Suparni, P dkk. (2002). Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi.
Yogyakarta: Kanisius
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Filsafat
Rapar, Jan Hendrik. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Wibowo, Wahyu. (2006). Berani Menulis Artikel: Babak Baru Kiat Menulis
Artikel untuk Media Massa Cetak. Jakarta: Granedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai