analisa ini disusun sebagai syarat memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kepemimpinan
Oleh:
KEMENTERIAN AGAMA
3
Pertama saya mengaitkan bahwa SBY bergaya pemimpin yang bertipe militeristik. Hal
ini disebabkan karena yang mempengaruhi corak kepemimpinan seseorang bisa berupa
pendidikan dan pengalaman. Dari segi pendidikan dan pengalaman inilah yang mengindikasikan
bahwa SBY memiliki gaya militeristik karena SBY merupakan lulusan AKABRI terbaik dan
mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun, serta meraih pangkat Jendral TNI tahun 2000.
Meskipun cukup lama di dunia militer, SBY juga berkembang dalam pendidikan sipil seperti
memperoleh Master in Management dari Webster University, Amerika Serikat tahun 1991.
Lanjutan studinya berlangsung di Institut Pertanian Bogor, dan di 2004 meraih Doktor Ekonomi
Pertanian. Pada 2005, beliau memperoleh anugerah dua Doctor Honoris Causa, masing-masing
dari almamaternya Webster University untuk ilmu hukum, dan dari Thammasat University di
Thailand ilmu politik. Serta SBY dikenal aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil.
Beliau pernah menjabat sebagai Co-Chairman of the Governing Board of the Partnership for the
Governance Reform, suatu upaya bersama Indonesia dan organisasi-organisasi internasional
untuk meningkatkan tata kepemerintahan di Indonesia.
Meskipun SBY telah lama menyesuaikan diri dengan kepemimpinan sipil yang egaliter
dan demokratis tetapi budaya militer sebagai dasar pembentukan karakter kepemimpinan SBY
tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa contoh kasus gaya
kepemimpinan militeristik SBY yang masih melekat, seperti beberapa kali memarahi menterinya
didepan umum, memarahi para bupati dan walikota seluruh Indonesia yang tidur “takalok ”
ketika SBY sedang berpidato. Selain itu gaya militeristik SBY tergambar dari tindakan-
tindakannya SBY dalam pelaksanaan administrai negara yang formalitas dan kaku. Ini
merupakan salah satu karakteristik dari gaya kepemimpinan militeriktik yaitu segala sesuatu
bersifat formal. Terlihat dari pelaksanaan pemerintahan SBY yang berjalan dengan prinsip
bahwa segala sesuatunya sesuai dengan peraturan artinya setiap pikiran baru harus bersabar
untuk menunggu sampai peraturannya berubah dulu, terobosan menjadi barang langka.
4
Karisma adalah hal yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Semua pemimpin
sebenarnya dengan gampang bisa mempunyai karisma, tergantung caranya memimpin. Buat
kami, Pak SBY adalah orang yang berkarisma. Kharismanya bukan hanya tebar pesona atau
main yoyo tapi benar-benar diperhitungkan matang.Terus terang belum ada pemimpin yang
berkarisma seperti pak SBY pada saat ini. Dibandingkan dengan calon-calon presiden yang akan
datang, Karisma Pak SBY masih di atas mereka. Pak SBY jelas memiliki kharisma yang
berkarakter. Karakter seorang pemimpin masa depan yang mampu memimpin rakyatnya dengan
baik2.
Karisma beliau bukan hanya tebar pesona seperti apa yang pernah disampaikan lawan
politiknya. Karisma yang ada dalam diri beliau adalah karisma yang telah menyatu karena
memiliki kepribadian yang unggul. Unggul dalam segala bidang. Baik bidang ideologi, politik,
ekonomi, budaya, sosial, ataupun pendidikan.
Menurut kami, kepemimpinan SBY juga masuk dalam tipe demokratik mungkin
disebabkan karena tuntutan reformasi, situasi dan kondisi saat ini yang semakin liberal. Dimana
tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil keputusan selalu mengajak beberapa
perwakilan bawahan, namun keputusan tetap berada di tangannya. Selain itu pemimpin yang
demokratis berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun dan menganalisa pendapat-
pendapat tersebut untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat. Tidak jarang hal ini
menimbulkan persepsi bahwa SBY seorang yang lambat dalam mengambil keputusan dan tidak
jarang mengurangi tingkat determinasi dalam mengambil keputusan. Pemimpin ini kadang tidak
kokoh ketika melaksanakan keputusan karena ia kadang goyah memperoleh begitu banyak
masukan dalam proses implementasi kebijakan.3
2
Djohar, Hendra Andrianto, ”Perbedaan Tipe Kepemimpinan Antara SBY, JK,dan Boediono Dalam Proses
Pengambilan Keputusan,“,http://www.scribd.com/doc/24364039/Analisa-Politik?autodown=doc.Muhtadi,
Burhanudin,”Political Show Ala SBY”,
3
Mustain,Akhmad, SBY Harus Ubah Gaya Kepemimpinan. http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?
mib=beritadetail&id=104668
5
Secara teoritis pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik dibalas pula dengan kontra
kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana SBY
melakukan kontra kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya. SBY percaya bahwa
kebenaran hanya bisa diperoleh dari wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin elemen
masyarakat. Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan berorientasi pada orang,
apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari manapun.4
Reformasi birokrasi diharapkan dapat membawa perubahan mendasar, yaitu terciptanya tata
kelola pemerintahan yang baik, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi. Reformasi
birokrasi juga diharapkan dapat menghasilkan birokrat yang profesional, bekerja dengan
4
Analisis gaya kepemimpinan SBY. http://hasanthardiant.wordpress.com/2012/04/16/analisa-tipe-kepemimpinan-
sby/
6
produktif, dan memiliki kinerja yang baik.Kenyataannya, perjalanan reformasi birokrasi di
Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda berhasil memenuhi harapan-harapan tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari masih banyaknya aparat negara yang belum bekerja dengan sepenuh hati dalam
memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat.
Selain itu, masih banyak penyimpangan yang dilakukan oleh aparat negara, misalnya praktik
pungli dan korupsi, jual beli jabatan, hingga memperdagangkan pengaruh (trading influence).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan dalam lingkungan birokrasi yang
dikehendaki melalui proses reformasi birokrasi belum tercapai.Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan, apa yang salah dengan penerapan reformasi birokrasi di negeri ini? Salah satu hal
yang diidentifikasi menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan reformasi birokrasi di
Indonesia adalah karena reformasi birokrasi belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek
budaya (culture).
Aspek-aspek pembentuk budaya itu sendiri umumnya meliputi nilai-nilai, keyakinan, dan
norma (values, belief, and norms). Nilai-nilai adalah segala sesuatu yang dianggap berharga oleh
masyarakat tertentu. Di Indonesia, contoh nilai-nilai yang berlaku adalah kesetiakawanan dan
saling membantu (gotong royong) dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan yang
dihadapi.
Keyakinan biasanya berasal dari ajaran agama, seperti ajaran amanah dan kejujuran dalam
bekerja, sabar menghadapi orang-orang, dan kesediaan memaafkan kesalahan pihak lain. Norma
adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku di masyarakat tertentu. Contoh norma, antara lain,
adalah kebiasaan (folkways), adat istiadat (customs), hingga aturan hukum (law) yang berlaku
resmi di masyarakat tertentu.Dalam kaitannya dengan reformasi birokrasi, seandainya setiap
aparat negara mampu bekerja dengan menggunakan budaya bangsa Indonesia, seperti bekerja
dengan jujur dan amanah, saling membantu satu sama lain di antara seluruh aparat sipil negara
dalam melakukan pekerjaannya atau gotong royong, serta mampu menghargai pendapat individu
lain di dalam organisasi pemerintah, maka reformasi birokrasi akan dapat berjalan dengan lebih
baik.
Reformasi birokrasi berbasis budaya dapat menekan praktik korupsi dan penyimpangan
karena setiap aparat negara akan bekerja berdasarkan prinsip amanah dan kejujuran.
7
Kenyataannya, aspek budaya tersebut justru lebih banyak disalahgunakan. Sebagai contoh,
banyak oknum aparat negara yang justru saling bekerja sama untuk melakukan korupsi dengan
menyalahgunakan nilai-nilai gotong royong.Nilai-nilai yang seharusnya digunakan untuk
kebaikan organisasi justru digunakan untuk melakukan korupsi, yang dikenal sebagai ‘korupsi
berjamaah’ (organized corruption).Di sisi lain, reformasi birokrasi juga dapat dilihat dari budaya
organisasi. Salah satu pendekatan untuk memahami budaya organisasi adalah competing values
framework yang digagas oleh Quinn dan Rohrbaugh (1983). Framework ini melihat
kecenderungan budaya organisasi yang diklasifikasikan ke dalam empat kuadran: kekeluargaan
(clan), hirarki (hierarchy), temporer (adhocracy), dan pasar (market).
Pada organisasi yang cenderung kekeluargaan, mereka menekankan pada hubungan kerja
yang bersifat fleksibel dan kedekatan, adanya komunikasi antar individu yang bersifat cair, serta
adanya partisipasi pegawai yang kuat dalam organisasi. Organisasi yang memiliki orientasi
budaya seperti ini biasanya akan menghasilkan kerja sama yang baik dan pegawai yang loyal
terhadap organisasi.Di sisi lain, pada organisasi yang berorientasi hirarki, organisasi ditandai
dengan kebijakan, proses, dan prosedur kerja yang bersifat formal dan terstruktur. Selain itu,
terdapat otoritas dan pimpinan yang harus dipatuhi dalam pembuatan keputusan dan adanya
mekanisme pengendalian kegiatan yang jelas.
Pada organisasi yang berorentasi temporer, budaya organisasi cenderung mengutamakan visi
dan inovasi. Organisasi ini juga fleksibel dan kreatif dalam menghadapi situasi dan kondisi yang
cepat berubah atau tidak pasti (uncertainty).Sementara itu, pada organisasi yang berorientasi
pasar, organisasi menekankan pada pencapaian hasil dan kinerja yang terbaik. Organisasi pada
tipe ini cenderung melakukan transaksi serta kegiatan dengan efisien dan efektif guna mencapai
tujuan yang dikehendaki.Dari keempat kuadran, budaya organisasi yang berbasis hirarki
umumnya bersifat kaku dan berwawasan internal, sedangkan yang berorientasi pasar cenderung
terkendali dan berwawasan eksternal. Kecenderungannya, neo-liberal reformyang diusung di
Indonesia oleh para donor seperti WorldBank, IMF, dan ADB adalah membawa birokrasi sektor
publik menuju pada budaya berbasis pasar.
Namun, usaha tersebut tidak selalu berhasil. Di sebuah negara maju seperti Australia saja,
suatu penelitian menunjukkan mereka masih berbasis budaya organisasi kekeluargaan.Penelitian
ini menemukan pada pemerintahan Victoria, sebuah negara bagian di Australia, 40 dari 44
8
pejabat strukturalnya ternyata masih berorientasi pada budaya kekeluargaan.Dengan demikian,
tidaklah mudah ide-ide neo-liberal reform mengubah budaya organisasi publik di Indonesia
menuju budaya organisasi berbasis pasar.Salah satu ide mengubah budaya organisasi publik
menjadi lebih berorientasi pasar sebenarnya sering didengungkan oleh rejim Jokowi dengan
jargon ‘kerja, kerja, kerja’. Secara tidak sadar, Jokowi membawa pegawai sektor publik agar bisa
lebih beriorientasi pasar. Salah satu bukti terakhir adalah ketika Jokowi menegur menterinya
karena masih ada peraturan di internal kementerian/lembaga yang tidak berorientasi ke investor
(kapitalis).
Usaha Jokowi tersebut akan terus berbenturan dengan nilai-nilai yang diresapi oleh pegawai
sektor publik Indonesia. Sebagai contoh, bagaimanapun pegawai sektor publik akan lebih
mementingkan lingkungan sekitar daripada investor.Ketika terjadi benturan apakah kepentingan
investor yang akan diutamakan atau kepentingan meminimalkan konflik dengan rekan kerjanya,
maka mereka akan cenderung memilih kepentingan lingkungan kerjanya. Karenanya, diperlukan
usaha keras oleh Jokowi jika ingin mengubah organisasi publik Indonesia menuju organisasi
berbasis budaya pasar. Lalu, bagaimana cara memastikan agar Jokowi mampu mengubah
organisasi sektor publik Indonesia menuju organisasi berbasis budaya pasar? Pertama, tentunya
Jokowi mesti memahami perubahan juga dikondisikan (conditioned) oleh budaya lokal
Indonesia. Kedua, ia mesti terus memimpin perubahan. Melalui kepemimpinan ini, ia bisa
membawa organisasi publik menuju orientasi pasar, tetapi tetap memperhatikan budaya lokal
Indonesia.
Kepemimpinan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendorong dan mengajak seluruh
pihak agar bersedia bekerja sama untuk melakukan perubahan. Salah satu bentuk kepemimpinan
yang dapat mendorong perubahan ini adalah kepemimpinan transformatif.Kepemimpinan
transformatif mentransformasikan budaya organisasi menuju suatu budaya organisasi baru. Para
pemimpin dalam model ini dapat mendorong bawahannya mencapai kinerja yang lebih baik,
tanpa perlu melalui ancaman ataupun tekanan melalui kepemimpinan transformatif yang
ditunjukkan oleh Jokowi, pegawai sektor publik akan merasa dipercaya dan dihargai. Hal ini
akan memunculkan loyalitas dan kesetiaan pegawai sektor publik kepada pemimpin tertingginya
dan mereka memiliki motivasi luar biasa dalam bekerja. Kepemimipinan transformatif biasanya
memiliki beberapa indikator. Pertama, ia berkarisma. Melalui karisma yang dimiliki, seorang
9
pemimpin transformatif akan dapat mengarahkan bawahan dengan mudah. Karisma mampu
memunculkan ikatan emosional dengan anak buah. Kedua, mereka mampu memberikan
dukungan bagi orang-orang yang dipimpinnya ketika mereka menghadapi masalah. Adanya
dukungan dari pemimpin ini akan menimbulkan kedekatan emosional antara pimpinan dengan
bawahan. Ketiga, mereka dapat menyelaraskan visi organisasi dengan nilai-nilai yang dimiliki
oleh bawahan agar menghasilkan nilai-nilai yang disetujui bersama (shared values) dan
meminimalkan resistensi dari bawahan. Keempat, mereka dapat menerapkan standar moral serta
perilaku yang ideal, seperti integritas, kejujuran, berperilaku dengan adil, memiliki komitmen
terhadap keputusan yang telah diambil, serta tidak memihak individu tertentu dalam kegiatan dan
pekerjaan sehari-hari. Mereka menjadi role model bagi bawahannya. Kelima, mereka memiliki
antusiasme dan semangat kerja yang tinggi yang dapat menular ke seluruh bawahannya.
Pemimpin transformatif memiliki rasa percaya diri dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri
bawahannya bahwa mereka akan dapat menyelesaikan pekerjaan seperti apapun. Keenam,
mereka mampu mendorong bawahan untuk berpikir kreatif dan out of the box dalam menghadapi
berbagai masalah. Melalui stimulan intelektual yang diberikan kepada bawahan, pemimpin
transformatif dapat memunculkan ide-ide dari bawahan mengenai bagaimana cara-cara terbaik
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketujuh, mereka memberikan perhatian terhadap
berbagai ide-ide, gagasan, harapan, hingga berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh
bawahannya. Mereka biasanya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bersedia berdiskusi
dengan bawahannya, dan memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki bawahan.
Satu hal yang tentu perlu dibangun di sisi Jokowi adalah karisma. Bagaimanapun, pemimpin
produk sipil tentu tidak sekarismatik produk militer atau hasil dari perlawanan bersenjata setelah
kemerdekaan. Namun, karisma Jokowi bisa dibangun jika ia mau berafiliasi dengan berbagai
pemimpin karismatik di Indonesia. Afiliasi Jokowi dengan berbagai pemimpin karismatik ini
bisa membawa organisasi sektor publik Indonesia lebih berorientasi pasar, tetapi tetap berbasis
budaya Indonesia.
KESIMPULAN
Kesimpulannya adalah bahwa setiap pemimpin tentu mengharapkan sesuatu yang terbaik untuk
masyarakat, bangsa dan negaranya. Begitupun dengan SBY dan joko widodo yang mempunyai
tipe kepemimpinan yang lebih dari satu dan tidak hanya seperti yang sudah kami jelaskan diatas
10
tetapi lebih dari itu, seperti tipe sopportif, partisifatif, instrumental dan yang lainnya,
kesemuanya itu disesuaikan dengan situsi, dan perkembangan zaman yang ada. Intinya setiap
pemimpin selalu mengharapkan agar wilayah yang dipimpinnya tersebut dapat tercipta suasana
yang aman, tentram dan damai sesuai dengan tujuan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
http://katarizon.blogspot.com/2013/09/analisis-gaya-kepemimpinan-sby.html
11
Djohar, Hendra Andrianto, ”Perbedaan Tipe Kepemimpinan Antara SBY, JK,dan Boediono Dalam Proses
Pengambilan Keputusan,“,http://www.scribd.com/doc/24364039/Analisa-Politik?autodown=doc.Muhtadi,
Burhanudin,”PoliticalShowAlaSBY”,
12