Anda di halaman 1dari 13

A.

PENDAHULUAN

Sistem pemerintahan yang dipraktikkan islam dari masa ke masa


menpunyai perbedaan sesuai kondisi konstektual umatnya pada masa itu.
Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 masehi hingga
sekarang, umat islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan
yang meliputi sistem pemerintahan Khilafah (Khilafah berdasarkan syura dan
khilafah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM


1. Khilafah
Khilafah adalah sitem pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh
teritorial, sehinngga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.
Ikatan yang mempersatukaan kekhalifaan adalah islam sebagai agama. Pada
intinya khilafah adalah sistem pemerinttahan islam yang dipimpin oleh
pemimpin umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari
nabi Muhammad SAW. Menurut ibnu khaldun, kekhalifahan adalalah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syariat islam dan memikul da’wah islam ke
seluruh dunia1. Jabatan khalifah sejatinya merupakan pengganti nabi
Muhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni mempertahankan agama
dan menjalankan kepemimpinan dunia. Sistem ini disebut dengan khalifah,
sedangkan orang yang menjalankan tugas kekhalifahan disebut dengan
khalifah.
Khilafah merupakan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang menjadi
tumpuan dan arah sistem pemerintahan dalam masa nabi Muhammad SAW
dan masa Khulafa’ur al-rasyidun2. Umat islam menamakan sistem khilafah
ini sebagai “khilafah yang adil dan benar (al-Khilafah al-Rasyidah)”, dan itu
adalah kata-kata yang menjelaskan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara
yang benar dalam penggantian kedudukan nabi Muhammad SAW menurut
pandangan umat islam.
1
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.205
2
Abul a’la al-maududi, Khilafah Dan Kerajaan, Ter. Muhammad al-Baqir, Kuwait, Daar al-
Qalam, 1978 M, hal 103

[1]
Menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi semua kaum muslimin di
seluruh penjuru dunia. Dan menjalanakan kewajiban yang demikian itu
sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah atas semua
kaum muslimin. Melalaikan berdirinya kekhalifahan merupakan ma’siat
(kedurhakaan) yang disiksa Allah dengan siksaan yang paling pedih.
Berdasarkan ijma; sahabat, wajib mendirikan kekhalifahan. Setelah
rasulullah wafat, mereka bersepakat untuk mendirikan kekhalifahan yang
dipimpin oleh abu bakar, dilanjutkan oleh sahabat Umar, kemudian Usman
dan Ali. Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas
kewajiban mendirikan khilafah, meski mereka berbeda pendapat tentang
orang yang akan dipilih menjadi khalifah, tetapi mereka tidak berbeda
pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Sistem khilafah
berfungsi sebagai penegak agama dan pengatur soal-soal duniawi dipandang
dari segi agama.
Tentang penamaan khalifah Allah masih sering muncul pertentangan.
Sebagian ulama’ membolehkannya berdasarkan kekhalifahan umiversal
yang diperuntukkan seluruh anak adam yang dikandung firman Allah surat
al-baqarah ayat 30 yang artinya “sesungguhnya aku ingin menjadikan
khalifah di muka bumi”. Sedangkan Jumhur ulama’ melarang memberi
nama demikian, karena menurut mereka ayat tersebut tidak bermaksud
begitu. Lagi pula, Abu Bakar menolah ketika beliau dipanggil dengan nama
tersebut kemudian beliau berkata “saya bukan khalifah Allah tapi khalifah
Rasululllah”.
a. Khalifah Berdasarkan Syura
Sistem pemerintahan Khilafah islamiyah berdasarkan syura pernah
dipraktekkan pada masa khulafa al-rasyidun ketika mereka memimpin
umat islam di beberapa kawasan yang didasarkan pada sistem
musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaannya. Abu bakar al-
shiddiq, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
telah menjalankan sistem pemerintahan khilafah yang dilandasi oleh
semangat musyawarah. Khilafah yang ada setelah wafatnya rasulullah
tidak berbentuk kerajaan, tetapi lebih dekat dengan sistem republik.

[2]
Kepala negara dipilih dan tidak berdasarkan turun temurun sebagaimana
kerajaan.
Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama merupakan awal
terbentuknya pemerintahan model khalifah dalam sejarah islam yang
berpusat di Madinah. Setelah Abu Bakar wafat kekuasaan khalifah
digantikan oleh Umar bin al-Khattab. Beliau terpilih sebagai pengganti
Abu Bakar karena wasiat dari abu bakar sendiri, Abu bakar
mengumpulkan penduduk islam di masjid nabi SAW kemudian berkata
kepada mereka “apakah kalian menyetujui orang yang kutunjuk untuk
menggantikan kedudukanku sepeningggalku? Sesungguhnya aku, demi
Allah, telah bersungguh-sungguh di dalam memikirkan hal ini, dan aku
tidak mengangkat orang dari sanak keluuargaku, tapi aku telah menunjuk
Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka dengarlah dan taatlah
kepadanya”. Kemuadian umat islam yang hadir saat itu menjawab
“sami’na wa atha’na (kami dengan dan kami taat)”. Jadi khalifah Umar
bin Khattab terpilih sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan
dalam satu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan atau
wasiat oleh pendahulunya. Sementara itu, Usman bin Affan menjadi
khalifah ketiga dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari enam
orang yang diangkat oleh Umar sebelum beliau wafat. Pasca wafatnya
Umar, keenam orang tersebut berkumpul untuk bermusyawarah. Atas
Inisiatif Abdurrahman ibn Auf, terjadilah permusyawaratan yang
akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan sebagai pengganti Umar
dengan pertimbangan lebih tua dan lebih lunak sikapnya. Pasca
pembunuhan Usman oleh para pemberontak, Ali bin Abi thalib diangkat
menjadi khalifah keempat melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu
menurut muunawir sjadzali jauh dari sempurna. Ali menjadi Khalifah
selama lima tahun dan kemudian beliau dibunuh oleh para pemberontak3.
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan
terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan.
Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan
3
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.208

[3]
kekuasaannya kepada sanak kerabatnya. Musyaarah menjadi cara yang
ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasulullah.

b. Khilafah monarki
Pasca berakhirnya Khulafa’ur Al-Rasyidun, kekhalifahan
dilanjutkan Bani Umayah dengan Muaiyah bin Abi Sofyan sebagai
khalifah pertama. Sejak saat itulah khilafah islamiyah yang sudah
berdasarkan syura digantikan dengan sistem keturunan, menjadi negara
kerajaan (monarki) mengikuti sistem yang diberlakukan di persia dan
romawi.
Sistem khalifah monarki ini disebut oleh Antony Black dengan
khilafah patrimonial4. Patrimonialisme yang dimaksudkan di sini adalah
sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin untuk
menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan kepada
keluarganya (turun temurun), sementara rakyat dipandang sebagai
bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Menurut
konsep ini kekuasaan pemimpin bersifat mutlak dan tidak bisa dicampuri
orang lain, tetapi ia tunduk kepada aturan tak tertulis yang
memosisikannya sebagai kepala keluarga (bapak) yang dermawan.
Sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan
raja sebagai sentral kekuasaan. Seorang raja berhak menetapkan aturan
bagi rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang yang tertinggi yang
harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat.
Raja memiliki kekebalan hukum, dan kekuasaan kenegaraan tak terbatas.
Pada satu tempat, raja hanya berfungsi sebagai simbol negara saja,
sedangkan urusan negara diatur orang lain, seperti halnya raja-raja Eropa.
Dan pada tempat lain raja berfungsi sebagai simbol sekaligus memiliki
kekuasaan mutlak dalam mengendalikan urusan rakyat, seperti raja
Maroko, Saudi Arabia dan Yordania.

4
Ibid

[4]
Berubahnya Khalifah berdasarkan syura menjadi khalifah monarki
ini terjadi ketika muawiyah melantik puteranya, Yazid sebagai khalifah
atas saran Mughirah bin Syu’bah. Lebih lanjut Hasan basri mengatakan,
karena rencana inilah, kepala-kepala negara menjadikan pemerintahan
turun-temurun kepada puteranya.
Bani Abbasiyah sebagai penerus Bani Umayah menganut sistem
yang tidak jauh berbeda dengan sistem yang dijalankan pemerintahan
yang sebelumnya, ia mempertahankan khilafah monarki yang diterapkan
oleh dinasti umayah. Musyawarah tidak dijadikan sistem pergantian
kekuasaan. Sirkulasi kekuasaan diserahkan kepada keluarga khalifah,
akibatnya suri tauladan yang telah diwariskan Khulafa’ur al-Rasyidin
hilang begitu saja.5
Sistem khalifah monarki terus berlanjut hingga kekuasaan islam
dipegang oleg turki Usmani yang berpusat di Istanbul yang dipimpin oleh
Usman I yang kemudian terkenal dengan sebutan dinasti ustmaniyah.
Dinasti ini memerintah hingga 1342 H/1924 M dengan khalifah terakhir
Abdul Hamid II. Pada dinasti Ustmaniyah sistem yang digunakan sama
dengan pemerintahan sebelumnya, yaitu khilafah monarki.

2. Imamah
pada awalnya, imamah adalah suatu istilah yang netral untuk
menyebut sebuah negara. dalam literatur-literatur klasik, istilah imamah dan
khilafah disandingkan secara bersamaan untuk menunjukan pada pengertian
yang sama, yakni negara dalam sejarah islam. tetapi dalam
perkembangannya imamah kemudian menjadi istilah khusus yang
dipergunakan di kalangan syiah yang dikontekstualisasikan dalam bentuk
wilayah al-faqih.
kunci utama sistem imamah dalam politik syiah terletak pada posisi
imam. karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial
dalam mazhab syiah imamiyah. mereka dianggap sebagai penerus yang sah
dari Nabi Muhammad SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus
5
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.210

[5]
harus ditunjuk oleh Allah melalui nabi-nya. Para imam dianggap sebagai
penerus Nabi dan pewaris yang sah otoritasnya6. hal ini yang orang-orang
yang saleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi
prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama.
Demikian juga tidak ditunjuk melalui konsensus rakyat.
Imamah adalah institusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah
yang paling tahu siapa yang memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan
untuk memenuhi tugas ini. oleh karena itu hanya dialah yang mampu
menunjuk mereka. Syiah menganggap imamah seperti kenabian, menjadi
kepercayaan yang fundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah
sebuah kewajiban agama. meski para imam tidak menerima wahyu ilahi,
namun para imam mempunyai kualitas, tugas, dan otoritas dari nabi.
bimbingan politik dan agama bersumber dari mereka dan mereka adalah
wali bagi pengikut mereka.
Doktrin politik syiah muncul dari konsep kepemimpinan imamiyah
selama periode ghaib besar (greater occultation) di mana imam yang kedua
belas ghaib. Akidah imamiyah mengadopsi sistem niyabah dimana otoritas
(wilayat) dikuasakan kepada seorang faqih yang adil yang bertindak sebagai
deputi dari imam yang ghaib. dengan demikian, perwalian dari seorang ahli
fiqh disahkan dan otoritasnya dihubungkan dengan otoritas yang asli dan
mutlak dari Allah. para imam yang otoritasnya dibentuk atas pengukuhan
secara eksplisit dari Nabi mendelegasikan dan mempercayakan suatu derajat
tertentu dari otoritasnya pada mereka yang memiliki kualitas spesifik
(seperti keadilan dan kemampuan jurisprudensi fuqaha). pengetahuan akan
hukum dan keadilan adalah dua syarat yang mendasar dalam permasalahan
imamah.
Meskipun dimasa kegaiban imam, namun masih diperlukan
terpelihara dan terjaganya aturan-aturan islam yang berhubungan dengan
pemerintahan yang dapat mencegah terjadinya anarki. saat ini tidak ada
individu tertentu yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin sebuah
pemerintahan di masa keghaiban. karena itulah, dengan sifat-sifat yang
6
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.211

[6]
dimilikinya (pengetahuan hukum dan keadilan), jika para fuqaha bergabung,
maka mereka akan dapat menegakkan pemerintahan yang adil. jika
seseorang yang memiliki dua syarat tersebut menegakkan pemerintahan
islam, ia akan memiliki kewenangan Nabi dalam mengatur masyarakat dan
menjadi kewajiban bagi semua orang untuk menaatinya.
Konsep politik syiah yang berpusat pada imam (yang kemudian
diterjemahkan menjadi wilayat al-faqih) diterjemahkan dalam periode
modern dalam bentuk negara iran. iran menjadi penjelmaan konsep politik
syiah setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam
Khomeini. Setelah diterimanya konstitusi Iran melalui referendum tanggal 2
dan 3 desember 1979, Iran melangkah ke arah normalisasi kehidupan
politik. kontitusi yang terdiri dari 175 artikel ini dibuatkan berdasarkan
hukum islam yang di tafsirkan oleh Dewan Ahli dan telah disetujui oleh
Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting di dalamnya, yakni faqih,
presiden, perdana mentri, parlemen, dan dewan pelindung konstitusi.
Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli
dengan syarat-syarat tertentu. Seandainya tidak ada yang memenuhi syarat,
maka wewenang faqih akan dipegang oleh sebuah dewan yang
beranggotakan tiga sampai lima fuqaha.
Wewenang faqih antara lain: (1) mengangkat ketua pengadilan
tertinggi; (2) mengangkat dan memberhentikan seluruh pimpinan Angkatan
Bersenjata Iran; (3) mengangkat pimpinan pengawal revolusi; (4)
mengangkat anggota dewan pelindung konstitusi Iran, dan (5) membentuk
Dewan Pertahanan Nasional yang anggota-anggotanya terdiri presiden,
perdana menteri, menteri pertahanan, KSAB, kepala pasdaran, dan dua
orang penasihat yang diangkat oleh faqih. pemegang kekuasaan terbesar
kedua adalah presiden yang dipilih setiap empat tahun. tugas-tugas
pokoknya antara lain menjalankan konstitusi negara, menjadi kepala
pemerintahan, serta mengkoordinasi ketiga lembaga negara; eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintah
iran dalam hubungan dengan dunia internasional. Ia menandatangani
seluruh perjanjian dan berhak mengangkat perdana menteri setelah parlemen

[7]
memberikan persetujuannya. presiden dapat meminta kabinet untuk
bersidang kapan saja langsung di bawah pimpinannya
Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270
orang, yang dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. parlemen bertugas
mengawasi, mengontrol, dan membahas seluruh kebijakan pemerintah.
seluruh keputusan dan perjanjian yang dibuat pemerintah harus mendapat
persetujuan parlemen. Di samping parlemen, terdapat sebuah badan yang
disebut dewan pelindung konstitusi Iran (syura-ne-Gahdan) yang
beranggotakan dua belas orang, enam orang anggotanya adalah para ahli
hukum islam (fuqaha) yang diangkat oleh faqih, sedangkan enam orang
lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan oleh Dewan
Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui oleh parlemen. Tanpa persetujuan
Dewan Pelindung Konstitusi, seluruh kegiatan parlemen tidaklah sah. tugas
utama dewan ini adalah melindungi islam dan konstitusi Negara Islam Iran.
Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menafsirkan Konstitusi Iran dan
bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden dan pemilihan
anggota parlemen.

3. Demokrasi

Selain sistem pemerintahan khilafah dan imamah, ada sistem


pemerintahan lain yang dipraktikan oleh umat Islam oleh konteks negara
bangsa (nation-state), yaitu sistem pemerintahan demokrasi yang sekarang
ini banyak dipraktekkan sejumlah negara-negara muslim. Dalam dunia yang
telah modern ini penggunaan kata demokrasi mengandung arti bahwa
kekuasaan tertinggi dalam urusan-urusan politik merupakan hak rakyat.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan diamana keputusan-keputusan
penting pemerintah atau garis kebijaksanaan di belakang keputusan-
keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat
berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa
yang berada dalam posisi diperintah. Dalam demokrasi klasik, seluruh
warga negara hadir dan secara kolektif membuat perundang-undangan,

[8]
sebagaimana dipraktekkan pada negara Yunani kuno (Athena) atau seperti
kasus pertemuan kota di Inggris7.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai demokrasi itu sendiri, ada


beberapa perbedaan dan persamaan antara islam dan demokrasi. Segi
persamaannya ialah adanya pengankatan dan pemilihan dan tentang
pertanggung jawaban kepala negara. Kalau diperhatikan apa yang telah
diterangkan tentang dasar negara, kedudukan rakyat dan pengaruh-pengaruh
suara dan keinginannya, maka nyatalah bahwa ada segi-segi persamaan
daari segi politik antra islam dan tata aturan yang demokratis, bahkan unsur
yang penting yang dilengkapi oleh demokrasi dan sifat-sifat yang utama
yang dimiliki semuanya dilengkapi oleh Islam. Lalu, adapun segi
perbedaannya ada tiga pokok perbedaan antara islam dan demokrasi,
diantaranya: Pertama, bahwasanya yang dikehendaki dengan rakyat oleh
demokrasi modern sebagai yang terkenal didunia Barat, ialah bangsa yang
warga negaranya dibatasi oleh batas-batas geografi, yang hidup dalam suatu
negra, anggota-anggotanya diikat oleh persamaan darah, jenis , bahasa, dan
adat istiadat. Tidak demikian halnya Islam, umat di dalam islam tidak diikat
oleh hal seperti diatas. Semua ini dipandang sebagai pengikat-pengikat yang
sekunder. Tetapi, pengikat yang pokok ialah aqidah. Kedua, tujuan
demokrasi Barat, baik yang modern ataupun demokrasi kuno, adalah
terbatas untuk tujuan kuduniaan atau materiil belaka. Dia hanya bermaksud
mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu seperti meningkatkan pendapatan
dan sebagainya. Tetapi tata aturan islam, selain melengkapi maksud
keduniaan, dengan menjauhkan fikiran fanatik kebangsaan, meliputi pula
maksud kejiwaan. Ketiga, kekuasaan umat dalam demokrasinadalah mutlak.
Tetapi dalam islam, kekuasaan umat itu gidak mutlak, tetapi dibatasi oleh
syariat agama Allah8.

7
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.215
8
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi. Islam dan politik bernegara. (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra.
2002) hlm.185

[9]
Paling tidak ada tiga model demokrasi, yaitu demokrasi formal,
permukaan dan substansif. Demokrasi formal ditandai dengan pemilihan
umum yang teratur, bebas, adil dan kompetitif. Biasanya ditandai dengan
tidak digunakannya paksaan secara berlebihan oleh negara terhadap
masyarakat, secara teoritis lewat pertanggung jawaban pemerintah terhdap
yang diperintah melalui kotak suara, dan direkatkan rule of law. Ada
kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam
pemilihan umum. Intinya demokrasi formal adalah bahwa ada aturan dan
ketentuan yang bermakna untuk menetukan prilaku dan kandungan dari
pemilihan umum, sementara pemerintahan harus mengaturnya dengan
memperhatikan proses hukumnya. Dengan demikian, terutama sekali
demokrasi formal meliputi ide tentang pilihan; sehingga pemerintah yang
tidak populer dapat tersingkir karna keputusan masyarakat dalam pemilihan
umum yang teratur.

Lalu demokrasi “permukaan” merupakan demokrasi yang umum


dipraktekkan di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tetapi
sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini
lazim terdapat di Amerika Latin juga umum di Timur Tengah. Misalnya,
presiden Saddam Hussein (Irak), Hafez al Assad (Syria) dan Husni Mubarak
(Mesir) dimana rezim penguasa tidak memiliki keinginan demokrasi yang
sebenarnya.

Sedangkan demokrasi substantif memperluas ide demokrasi diluar


mekanisme formal, ia mengintensifkan konsep dengan memasukkan
penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum
publik yang dipilh dan dengan partisipasi kelompok. Ia merupakan
pendalaman demokrasi dimana semua warga negara mempunya akses yang
mudah pada proses pemerintaha dan suara di dalam pengambilan keputusan
secara kolektif. Demokrasi substantif menaruh perhatian pada
berkembangnya kesetaraan dan keadilan, kebebasan sipil dan hak asasi
manusia atau partisipasi murni dalam pemrintahan oleh mayoritas warga
negara.

[10]
Di zaman sekarang, beberapa negara mayoritas penduduknya muslim
menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan. Namun
demokrasii, pengaruh islam dan pemerintahan masih begitu nampak dengan
banyaknya perundang-undangan yang berbasis pada syariat. Demokrasi
tidak dijalankan secara sekuler seperti di negara-negara Barat, melainkan
demokrasi yang mendapat pengaruh islam9.

4. Monarki Dan Monarki Konstitusional

Monarki adalah sistem pemerintahn yang berbentuk kerajaan, dimana


yang berhak menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak
memiliki hak untuk menggantikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh
rakyatnya. Sehingga ada ketundukan penuh dari rakyat yang diperintah.

Pada zaman klasik, pemerintahan monarki dalam sejarah islam


berbentuk khilafah yang dicirikan wilayah kekuasannya yang luas karena
diikat oleh islam. Maka monarki di zaman sekarang, menggunakan bentuk
nation-state. Yakni monarki dalam bentuk kebangsaan yang mana
kekuasannya tidak lagi seluas di zaman klasik. Contoh yang konkret adalah
Kerajaan Arab Saudi yang masih menggunakan sistem monarki murni
dengan Al-Quran sebagai undang-undang dasar negara dan syariat sebagai
hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah syariah. Kepala
negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar saud.

Ada bentuk lain dari monarki, yakni monarki konstitusional yang


secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai negara kerajaan.
Contohnya ialah Maroko dan Jordania. Maroko sebagaimana dalam
konstitusinya adalah negara kerajaan yang demokratis. Juga di dalam
konstitusi ditegaskan bahwa maroko menganut sistem banyak partai politik.
Maroko mendasarkan sistem politiknya atas prinsip kedaulatan rakyat. Di
Jordania juga hampir sam sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi,
Jordania adalah negara kerajaan dan berparlemen. Kekuasaan eksekutif ada

9
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.217

[11]
ditangan raja yang dilaksanakan oleh para mentri, sedangkan kekuasan
kehakiman dipercayakan kepada berbagai mahkamah yang mandiri dan
yang menjatuhkan keputusan-keputusan atas nama raja10.

C. KESIMPULAN
Umat islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang
meliputi sistem pemerintahan Khilafah (Khilafah berdasarkan syura dan
khilafah monarki), imamah, demokrasi dan monarki.

Khilafah adalah sitem pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh


teritorial, yang dipimpin oleh pemimpin umum yang mengurusi agama dan
kenegaraan sebagai wakil dari nabi Muhammad SAW. Imamah adalah institusi
yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang paling tahu siapa yang
memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan diamana keputusan-keputusan
penting pemerintah hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh
mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi diperintah. Monarki
adalah sistem pemerintahn yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak
menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak memiliki hak untuk
menggantikan kekuasaan.

10
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta:
Erlangga. 2008) hlm.218

[12]
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, Mujar Ibnu, dan Khamami Zada. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Erlangga
Al-maududi, Abul a’la. 1978 M Khilafah Dan Kerajaan, Ter. Muhammad al-Baqir,
Kuwait ;Daar al-Qalam
Ash Shiddiqi, Tengku Muhammad Hasbi. 2002. Islam dan politik bernegara. Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra

[13]

Anda mungkin juga menyukai