Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MERESUME MK HIV/AIDS

NAMA : KARTIKA SARI BR GURUSINGA


NPM : 21.111.085
DOSEN PENGAMPU : Ns. REISY TANE, M.KEP., Sp. KEP,An

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN JALUR TRANSFER


FAKULTAS KEPERAWATAN
INSTITUSI KESEHATAN DELI HUSADA DELITUA
T.A 2021/2022

HIV AIDS
HIV : Human Immunodeficiency Virus.
Merupakan virus penyebab AIDS. Terdapat dalam cairan tubuh pengidapnya seperti
darah, air mani, atau cairan vagina. Pengidap HIV akan tampak sehat sampai HIV
menjadi AIDS dalam waktu 5-10 tahun.
AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome
AIDS merupakan suatu sindrom yang menurunkan kekebalan tubuh yang disebabkan
HIV, sehingga tubuh tidak dapat memerangi penyakit.

Tipe: viral
Cara penularan:
• hubungan seks vaginal, oral dan anal.
• Darah/produk darah yang terinfeksi
• Penggunaan jarum suntik bergantian
• Penularan dari ibu ke bayi saat mengandung, melahirkan maupun
menyusui
• Prinsip penularan : ESSE
Gejala:
• Tidak ada gejala pada saat terinfeksi pertama kali
• Gejala awal seperti flu, demam, kehilangan nafsu makan, BB menurun,
lemah dan pembengkakan saluran getah bening (menghilang setelah
seminggu sampai satu bulan)
• Virus akan dormant selama beberapa tahun
Virus melemahkan sistem kekebala tubuh sehingga menimbulkan infeksi
Gejala AIDS :
Setelah terinfeksi HIV biasanya tidak ada gejala dalam waktu 5-10 tahun, kemudian
AIDS mulai berkembang dan menunjukkan gejala sebagai berikut :
• Kehilangan berat badan secara drastis.
• Diare yang berkelanjutan.
• Pembengkakan pada leher dan/atau ketiak.
• Batuk terus menerus.
• Bila anda terinfeksi HIV, segera lakukan tes darah.
Tidak menular melalui:
• Bersentuhan, pelukan, ciuman
• Sharing alat makan dan minum
• Gigitan nyamuk
• Keringat, air mata, air kencing, ludah
• Berenang bersama
• Memakai WC umum
Deteksi dini hanya dengan tes HIV
• VCT
• PITC
Pengobatan:
• Belum ada pengobatan
• Anti retroviral terapi untuk memblok perkembangan virus
• Pengobatan infeksi oportunistik
Konsekuensi yang mungkin:
• Hampir semua penderita akan menjadi AIDS dan meninggal karena IO
• Pada bayi dengan ibu Hiv kemungkinan tertular 20-30% tanpa adanya
pencegahan
Pencegahan:
• Tidak melakukan hubungan seksual dengan penderita HIV
• Penggunaan kondom menurunkan resiko penularan
• Pemeriksaan pada darah donor
• Jika membutuhkan transfusi darah, mintalah kepastian bahwa darah yang
akan diterima bebas HIV
• Gunakan alat suntik sekali pakai
• Hindari mabuk-mabukan dan narkotik yang membuat Anda lupa diri.

TREN DAN ISU ANAK DENGAN HIV/AIDS


Konsep Dasar HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yang termasuk
kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Bentuk
lanjut dari HIV adalah AIDS, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.

Cara Penularan

Menurut Kemenkes RI (2014), Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga
cara, yakni :

1. Hubungan seksual

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi

3. Penularan dari ibu-ke-anak

Penegakan Diagnosis pada Anak

Menurut petunjuk dari Kemenkes RI (2014) ada beberapa pengujian untuk menegakkan diagnosis atau
menetapkan pajanan anak dengan HIV, antara lain :

a. Uji Virologis

1) untuk anak umur < 18 bulan, digunakan untuk menegakkan diagnosa klinik (6 bulan)

2) Paling cepat bisa digunakan pada umur 4-6 bulan

3) Spesifitas minimal 98%, spesifitas minimal 98%

4) Uji HIV DNA kualitatif menggunakan plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bisa juga digunakan
HIV RNA kuantitatif (Viral Load, VL) dan plasma EDTA

5) Jika uji virologis positif maka berikan terapi ARV dan lanjutkan uji virologis lagi

b. Uji Serologis

1) Spesifitasi minimal 99%, spesifitas minimal 98%

2) Untuk umur < 18 bulan (memeriksa pajanan HIV), untuk umur > 18 bulan (menegakkan diagnosa
konfirmasi)

3) Untuk anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji virologis,
dianjurkan dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila positif diikuti uji virologis untuk identifikasi
perlu ARV. Jika uji serologi dan virologis belum tersedia, perlu pemantauan klinis ketat dan uji serologis
ulang pada usia 18 bulan

4) Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani uji
serologis dan jika positif diikuti uji virologis
5) Pada anak umur < 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi uji virologis tidak
dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan

6) Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik dilakukan tanpa perlu
menghentikan pemberian ASI

7) Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada orang dewasa

Kebutuhan Nutrisi pada Anak dengan HIV/AIDS

Menurut Kemenkes RI (2010), orang dengan HIV/AIDS (ODHA) membutuhkan penatalaksanaan gizi
dengan baik untuk menunjang kehidupannya. Berikut ini penjelasannya :

a. Asuhan Gizi

Bayi yang lahir dari ibu positif HIV, umumnya mempunyai berat lahir rendah. Bayi yang terbukti HIV
positif biasanya akan mengalami kenaikan berat badan dan panjang badan yang tidak adekuat.

1) Bayi usia 0-6 bulan


Makanan terbaik untuk anak usia 0-6 bulan adalah ASI, karena itu bayi yang lahir dari seorang
ibu dengan HIV positif, harus diberikan pendampingan dan konseling mengenai pemilihan cara
pemberian makanan untuk bayinya dan dijelaskan mengenai risiko dan manfaat masing-masing
pilihan tersebut. Ibu juga harus diberikan petunjuk khusus dan pendampingan hingga anak
berusia 2 tahun agar dapat tercapai asupan nutrisi yang adekuat sehingga tercapai tumbuh
kembang yang optimal. Apabila ibu memutuskan untuk tetap menyusui bayinya, maka harus
diberikan secara eksklusif 0-6 bulan. Artinya hanya diberikan ASI saja, bukan mixed feeding (ASI
dan susu formula bergantian). Pemberian mixed feeding ini terbukti memberikan resiko lebih
tinggi terhadap kejadian infeksi daripada pemberian ASI ekslusif. Makanan Pendamping ASI
(MPASI) diberikan mulai usia yang dapat digunakan untuk memperkecil resiko transmisi melalui
ASI, yaitu :
1. memberikan ASI ekslusif dengan (Inisiasi Menyusu Dini)/early cessation dan
2. memanaskan ASI perah pada suhu tertentu (suhu 660C).

b. Anak usia 6-24 bulan


Setelah bayi berusia 6 bulan, pemberian ASI atau susu saja tidak dapat memenuhi kebutuhan
bayi, oleh karena itu makanan padat harus segera diberikan. Jika bayi berusia 4 bulan terdapat
tanda-tanda gagal tumbuh dengan ODHA atau ibu dengan HIV Positif memutuskan untuk tidak
memberikan ASI-nya lagi, maka makanan padat dapat segera diberikan. Susu sebagai komponen
dari makanan bayi masih diperlukan, tetapi semakin lama semakin berkurang porsinya. Pada
usia 6-12 bulan, susu paling banyak memenuhi setengah kebutuhan bayi, sedangkan pada usia
12-24 bulan hanya memenuhi sepertiga kebutuhan per harinya. Pada usia usia diatas 24 bulan,
makanan yang diberikan sama dengan makanan keluarga, usahakan untuk menghindari
makanan jajanan dan memperhatikan kebersihan. Pada anak yang sudah mengalami kurang gizi,
intervensi harus segera dilakukan dan dapat lebih agresif. Pada dasarnya tata laksana gizi
tersebut harus meliputi : Konseling dan edukasi gizi, untuk mencapai kecukupan gizi agar
tumbuh kembang optimal dapat tercapai .

c. Anak usia 2-12 tahun


Sekitar 90% dari anak dengan HIV positif mengalami kurang gizi. Hal ini akan meningkatkan
risiko terjadinya gagal tumbuh pada anak. Oleh karena itu, diperlukan tatalaksana gizi yang
adekuat agar dapat mencegah terjadinya malnutrisi serta dapat memacu tumbuh kembang anak
secara optimal.

d. Remaja 12-18 tahun


Pengkajian gizi meliputi data antropometri, data biokimia, data klinis dan fisik, data kebiasaan
makan dietary history / serta data riwayat personal. Informasi yang diperoleh melalui
pengkajian gizi selanjutnya dibandingkan dengan standar baku/nilai normal, sehingga dapat
dievaluasi dan diidentifikasi seberapa besar masalahnya. Indeks Masa Tubuh (IMT) dapat
diigunakan untuk menentukan status gizi orang dewasa. Rumus IMT adalah: pembagian berat
badan (kg) dengan tinggi badan kuadrat (m). Hasil perhitungannya dapat diinterpretasikan
dengan cara membandingkannya dengan klasifikasi IMT yang tersedia. Berikut adalah kalsifikasi
IMT untuk orang Indonesia.

PMTCT

PMTCT (Prevention Mother to Children Transmission) atau di Indonesia disebut juga PPIA (Pecegaham
Penularan dari Ibu ke Anak) merupakan sebuah program pencegahan penularan infeksi HIV dari Ibu
kepada anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat
menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil
diperkirakan sekitar 15- 45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan
peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui
(Kemenkes RI, 2012).

Prinsip Pencegahan Kemenkes RI (2016) menyebutkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu:

b. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)

c. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif

d. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya

e. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibuyang terinfeksi HIV dan
bayi serta keluarganya

Penanganan Nasional dan Global HIV/AIDS

Program Penanganan HIV/AIDS di Indonesia

Pemerintah melalui Kemenkes telah mencanangkan tiga zero ukuran penanggulangan HIV-AIDS yaitu:
zero kematian karena AIDS; zero penularan HIV; zero perlakuan diskriminatif terhadap ODHA. Dalam
konteks zeroperlakuan diskriminatif terhadap ODHA, maka Kementerian Sosial dapat berperan secara
nyata melalui dukungan dan rehabilitasi sosial Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, mengatur secara komprehensif
dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan
rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Tujuan dari pengaturan penanggulangan HIV
dan AIDS adalah: menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; menurunkan hingga meniadakan
kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; meniadakan diskriminasi
terhadap ODHA; meningkatkan kualitas hidup ODHA; mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit
HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat Berdasarkan analisis situasi dan evaluasi
kebijakan, diperlukan pengaturan dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial tentang Pemberian Dukungan
Lingkungan Sosial dan Perlakuan Non Diskriminasi bagi ODHA.

Program “Getting to Zero”

Komitmen global UNAIDS (2010) yakni pencapaian akses universal dalam pencegahan, penanganan,
perawatan dan dukungan HIV. Arah dan strategi dari UNAIDS yakni : revolusi pencegahan HIV, katalisasi
fase selanjutnya dari penanganan, perawatan dan dukungan HIV, memajukan keseteraan gender
sebagai respons terhadap HIV. Visi dan tujuan dari strategi ini adalah :

a. Zero New Infection (Tidak ada Infeksi Baru) Penularan HIV berkurang setengahnya, termasuk di
kalangan anak muda, laki-laki yang memiliki hubungan seks dengan laki-laki dan transmisi dalam konteks
kerja seks , penularan vertikal HIV dihilangkan dan kematian terkait AIDS pada ibu berkurang
setengahnya.

b. Zero AIDS-related death (Tidak ada Kematian karena AIDS) Akses universal untuk terapi antiretroviral
untuk orang yang hidup dengan HIV yang memenuhi syarat untuk pengobatan. Kematian TB di antara
orang yang hidup dengan HIV dikurangi setengahnya.

c. Zero Discrimination (Tidak Ada Diskriminasi) Negara-negara dengan hukum dan praktek hukuman
sekitar penularan HIV, pekerja seks, obat, penggunaan atau homoseksualitas yang menghalangi
tanggapan efektif berkurang setengahnya

Program “90-90-90”

Program 90-90-90 adalah sebuah target ambisius dari UNAIDS (2014) untuk membantu mengakhiri
epidemik HIV. Saat dunia merenungkan jalan ke depan batas waktu 2015 untuk target dan deklarasi
politik mengenai HIV dan AIDS, sebuah target akhir diperlukan untuk menggerakkan kemajuan menuju
bab penutup dari epidemi AIDS, meningkatkan akuntabilitas dan menyatukan keaneka-ragaman
pemangku kepentingan dalam upaya umum. Sedangkan target AIDS sebelumnya berusaha untuk
mencapai kemajuan tambahan dari respon, tujuan di era pasca-2015 adalah tidak kurang dan tidak lebih
adalah mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 (UNAIDS, 2014). Pada bulan Desember 2013, Program
UNAIDS meminta dukungan negara dan upaya daerah untuk menetapkan target baru untuk pengobatan
HIV skala tinggi melampaui tahun 2015. Sebagai tanggapan, konsultasi para pemangku kepentingan
pada target baru telah diadakan di semua wilayah di dunia. Di tingkat global, pemangku kepentingan
berkumpul di berbagai konsultasi tematik difokuskan pada masyarakat sipil, laboratorium kedokteran,
pengobatan HIV pediatrik, remaja dan isu-isu penting lainnya (UNAIDS, 2014) Sebuah momentum yang
kuat sekarang sedang dibangun menuju narasi baru pada pengobatan HIV kepada sebuah target baru,
terakhir, ambisius, dapat dicapai:

a. Pada tahun 2020, 90% dari semua orang yang hidup dengan HIV akan mengetahui status HIV mereka.
b. Pada tahun 2020, 90% dari semua orang dengan didiagnosa Infeksi HIV akan menerima ART secara
berkelanjutan.

c. Pada tahun 2020, 90% dari semua orang yang menerima ART akan memiliki penekanan
perkembangan virus HIV

Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Upaya Pencegahan

Upaya Pencegahan di Masyarakat Tujuan Untuk mencegah terjadinya penularan terutama bagi orang
yang belum tertular dan membantu orang yang telah terinfeksi untuk tidak menularkan kepada orang
lain atau pasangan.

Panduan Pelaksanaan

1. Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu penyebaran informasi,
promosi penggunaan kondom, skrining darah pada darah donor, pengendalian IMS yang adekuat,
penemuan kasus HIV dan pemberian ARV sedini mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke anak,
pengurangan dampak buruk, sirkumsisi, pencegahan dan pengendalian infeksi di Faskes dan profilaksis
pasca pajanan untuk kasus pemerkosaan dan kecelakaan kerja.

2. Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang menyebabkan ketakutan, stigma
dan diskriminasi

3. Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan pengobatan ARV

4. Penyebaran informasi perlu disesuaikan dengan budaya dan bahasa atau kebiasaan masyarakat
setempat

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Faskes

Tujuan Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dari infeksi di Faskes

Panduan Pelaksanaan

1. Pada prinsipnya PPI pada HIV sama dengan kegiatan PPI pada umumnya

2. Infeksi pada pajanan okupasional di layanan kesehatan dapat dicegah dengan mentaati praktek
pencegahan dan pengendalian infeksi yang standar.

o Kebersihan tangan

o Alat Pelindung Diri (APD)


o Etika batuk/kebersihan pernafasan

o Penempatan pasien

o Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai

o Pengelolaan lingkungan

o Pengelolaan linen

o Praktik penyuntikan yang aman

o Praktik pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi

o Perlindungan dan kesehatan karyawan dengan melaksanakan tatalaksana pasca pajanan

Tatalaksana Pasca Pajanan HIV

Tujuan Untuk mencegah terjadinya infeksi HIV pada pajanan okupasional dan non-okupasional.

Panduan Pelaksanaan

1. Telaah pajanan
o Cara pajanan
o Bahan pajanan
o Status infeksi sumber pajanan
o Kerentanan

2. Tentukan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP) yang dibutuhkan

3. Pencatatan

4. Tes HIV atau anti HBs segera setelah terjadinya pajanan

5. Tindak lanjut

o Evaluasi laboratorium

o Follow-up dan dukungan psikososial

Pemberian obat ARV untuk PPP

Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan dalam waktu tidak lebih
dari 3 kali 24 jam, dan jika perlu, tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber
pajanan. Strategi ini sering digunakan jika yang memberikan perawatan awal adalah bukan ahlinya,
tetapi selanjutnya dirujuk kepada dokter ahli dalam waktu singkat. Langkah selanjutnya setelah dosis
awal diberikan, adalah agar akses terhadap keseluruhan pasokan obat PPP selama 28 hari dipermudah
Penegakan Diagnosis

Tujuan Menegakkan diagnosis pada seseorang yang kemungkinan terinfeksi HIV. (Kecurigaan
kemungkinan terinfeksi didasarkan pada tanda dan gejala penyakit yang terkait HIV atau adanya faktor
risiko tertular HIV).

Panduan Pelaksanaan

1. Gunakan tes cepat HIV (rapid test) sebagai sarana penegakan diagnosis.

2. Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis reagen yang berbeda sesuai dengan
pedoman nasional.

3. Penyimpanan reagen HIV dilakukan sesuai dengan instruksi yang tertera dilembar informasi dan
digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa.

4. Bila tidak tersedia petugas laboratorium maka tes HIVdapat dilakukan oleh petugas kesehatan
lainseperti petugas medis atau para medis yang terlatih.

5. Interpretasi hasil tes dan keputusan tindak lanjut dilakukan oleh dokter yang meminta pemeriksaan
tes.

Intepretasi hasil pemeriksaan anti-HIV

Hasil positif:

 Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif

Hasil Negatif :

 Bila hasil A1 non reaktif

 Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif

 Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko

Hasil indeterminate

 Bila dua hasil reaktif

 Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindak lanjut hasil pemeriksaan anti-HIV

Tindak lanjut hasil positif

 Rujuk ke pengobatan HIV Tindak lanjut hasil negatif

 Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan
dari pemeriksaan pertama

 Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku sehat Tidak lanjut hasil indeterminate
 Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimum setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama
 Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR

 Bila tidak ada akses ke pemeriksaan PCR, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari
pemeriksaan pertama. Bila sampai satu tahun tetap “indeterminate“ dan faktor risiko rendah, hasil
dinyatakan sebagai negatif.

Pemberian ARV

Tujuan:

Memulihkan kekebalan tubuh dan mencegah penularan

Panduan Pelaksanaan

1. Pastikan status HIV pasien.

2. Pasien dengan IO berat yang tidak dapat ditangani di FKTP dirujuk ke FKRTL/RS agar penyulit ditangani
dan ARV diberikan di FKRTL/RS pada saat penanganan IO.

3. Pastikan ketersediaan logistik ARV.

4. Pasien perlu diberikan informasi tentang cara minum obat dengan bahasa yang mudah dimengerti,
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan budaya setempat.

5. Petugas mendukung pasien untuk minum obat secara patuh dan teratur dengan melakukan analisis
faktor pendukung dan penghambat.

6. Pemberian informasi efek samping obat diberikan tanpa membuat pasien takut minum obat.

7. Obat ARV diminum seumur hidup.

8. Obat ARV perlu diberikan sedini mungkin setelah memenuhi persyaratan terapi untuk mencegah
pasien masuk ke stadium lebih lanjut.

9. Terapi ARV pada kekebalan tubuh yang rendah meningkatkan kemungkinan timbulnya Sindroma Pulih
Imun (SPI)

10. Pemberian ARV, khususnya pada daerah dengan epidemi meluas, dapat dilakukan di tingkat
puskesmas oleh perawat/bidan terlatih di bawah tanggung jawab dokter terdekat.

11. ARV diberikan kepada pasien sebulan sekali untuk mengontrol kepatuhan minum obat. Pemberian
obat ARV dapat diberikan sampai tiga bulan bila pasien sudah stabil dengan riwayat kepatuhan minum
obat yang tinggi.

12. Sebisa mungkin gunakan rejimen ARV yang mudah untuk pasien seperti kombinasi dosis tetap
(KDT :Tenofovir-Lamivudin-Efavirenz 42 atau Tenofovir-Emtricitabine-Efavirenz)

13. Puskesmas dapat melatih tenaga kader kesehatan, kelompok agama dan lembaga masyarakat
lainnya untuk menjadi pengingat minum obat.
14. Bila tersedia pemeriksaan laboratorium maka dapat dilakukan pemeriksaan untuk menjadi dasar
memulai ARV, namun bila tidak tersedia, jangan menunda terapi ARV. Untuk obat-obat ARV dengan efek
samping rendah seperti KDT maka pemeriksaan pra-ARV tidak menjadi syarat dan dapat dilakukan
kemudian.

15. Informasi lebih lengkap tentang penggunaan ARV dapat dilihat pada Pedoman Nasional Tatalaksana
klinis infeksi HIV dan terapi Antiretroviral.

Indikasi untuk memulai terapi ARV

 Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau;

 Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya;

 Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4 :

o Semua pasien ko-infeksi TB

o Semua pasien ko-infeksi HBV

o Semua ibu hamil

o ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative (sero discordant)

o Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)

o Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat Faktor yang
memerlukan rujukan ke FKRTL/RS

 Sakit berat atau stadium 4 kecuali kandidiasis esofagus dan ulkus herpes simpleks.

 Demam yang tidak diketahui penyebabnya.

 Faktor penyulit lainnya seperti sakit ginjal, jantung, DM dll.

 Riwayat pernah menggunakan obat ARV dan putus obat berulang sebelumnya untuk melihat
kemungkinan adanya kegagalan atau resistensi obat lini pertama. 43 Obat ARV lini pertama yang
tersedia di Indonesia

 Tenofovir (TDF)300 mg

 Lamivudin (3TC) 150 mg

 Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg

 Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg

 Nevirapine (NVP) 200 mg

 Kombinasi dosis tetap (KDT):

o TDF+FTC 300mg/200mg

o TDF+3TC+EFV300mg/150mg/600mg
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

Salah satu cara penularan HIV adalah dari ibu HIV positif ke bayinya, dimana penularan ini dapat
berlangsung mulai dari kehamilan, persalinan maupun menyusui. Faktor penyebab penularan yang
terpenting adalah jumlah virus dalam darah sehingga perlu mendeteksi ibu hamil HIV positif dan
memberikan pengobatan ARV seawal mungkin sehingga kemungkinan bayi tertular HIV menurun.

Tujuan: Mencegah terjadinya kasus baru HIV pada bayi dan terjadinya sifilis kongenital Panduan
Pelaksanaan

 Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga Berencana (KB) dan Konseling
Remaja;

 Menghitung/memperkirakan jumlah: o sasaran ibu hamil yang akan dites HIV dan sifilis; o perempuan
usia reproduksi (15-49 tahun), termasuk remaja, pasangan usia subur (PUS) dan populasi kunci.

 Pemberian KIE tentang HIV-AIDS dan IMS serta kesehatan reproduksi, baik secara individu atau
kelompok kepada masyarakat dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi;

 Memberikan pelayanan KB serta konseling mengenai perencanaan kehamilan dan pemilihan metode
kontrasepsi yang sesuai dan kehidupan seksual yang aman termasuk penanganan komplikasi KB kepada
PUS dengan HIV;

 Tes HIV dan sifilis diintegrasikan dalam pelayanan antenatal terpadu kepada semua ibu hamil mulai
dari kunjungan pertama sampai menjelang persalinan;

 Tes HIV dan sifilis dapat dilakukan oleh bidan/perawat terlatih;

 Di daerah epidemi terkonsentrasi dengan tenaga kesehatan yang terbatas jumlahnya maka perawat
dan bidan di Pustu, Polindes/Poskesdes yang sudah dilatih, dapat melakukan tes HIV dan sifilis untuk
skrining pada ibu hamil di layanan antenatal. Jika hasil tes HIV I dan/atau sifilis adalah reaktif (positif),
maka ibu 45 hamil dirujuk ke puskesmas yang mampu memberikan layanan lanjutan dengan
melengkapkan alur diagnosis;

 Di daerah epidemi meluas, bidan dan perawat terlatih dapat melakukan tes HIV strategi III, namun
diagnosis tetap ditegakkan oleh dokter;

 Pada ANC terpadu berkualitas dilakukan: o Anamnesis lengkap dan tercatat; o Pemeriksaan kehamilan
tercatat di kartu ibu meliputi:

 T1: Tinggi dan berat badan

 T2: Tekanan darah dan denyut nadi ibu

 T3: Tentukan status gizi ibu (ukur lingkar lengan atas / LILA)

 T4: Tinggi fundus uteri

 T5: Tentukan presentasi janin dan DJJ

 T6: Tentukan status imunisasi tetanus


 T7: Tablet tambah darah (tablet besi)

 T8: Tes darah, urin dan sputum (darah: gol. darah, Hb; GDS, malaria, sifilis dan HIV; urin: proteinuri;
sputum: BTA

 T9: Tatalaksana kasus ibu hamil

 T10: Temu wicara dan konseling

o Hasil pemeriksaan di atas menentukan tatalaksana, temuwicara dan konseling yang dilakukan

o Bila pada pemeriksaan ditemukan malaria, HIV, sifilis dan TB harus dilakukan pengobatan

 Setiap ibu hamil HIV harus mendapatkan terapi ARV. Kehamilan dengan HIV merupakan indikasi
pemberian ARV dan diberikan langsung seumur hidup tanpa terputus. Pemberian ARV pada bumil tidak
ada bedanya dengan pasien lainnya;

 Setiap ibu hamil HIV harus diberikan konseling mengenai :

o Pilihan pemberian makanan bagi bayi. o Persalinan aman serta KB pasca persalinan.

o Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.

o Asupan gizi.

o Hubungan seksual selama kehamilan (termasuk pengunaan kondom secara teratur dan benar).

 Konseling menyusui diberikan secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan
menyampaikan pilihan yang ada , yaitu ASI eksklusif atau susu formula eksklusif. Pilihan yang diambil 46
haruslah ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). Tidak dianjurkan untuk mencampur ASI
dengan susu formula;

 Pelaksanaan persalinan ibu hamil HIV dilakukan di FASKES;

 Persalinan baik pervaginam atau melalui bedah sesarea dilakukan berdasarkan indikasi medis
ibu/bayinya dan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi. Ibu hamil HIV dapat
bersalin secara pervaginam bila ibu telah minum ARV teratur > 6 bulan atau diketahui kadar viral load <
1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36;

 Semua bayi lahir dari ibu HIV harus diberi ARV Profilaksis (Zidovudin) sejak hari pertama (umur 12
jam) selama 6 minggu;

 Pemberian kotrimoksasol profilaksis bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dimulai pada usia enam
minggu, dilanjutkan hingga diagnosis HIV dapat disingkirkan atau hingga usia 12 bulan;

 Semua bayi lahir dari ibu HIV harus dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk pemantauan dan
mendapatkan perawatan lanjutan

 Pemberian imunisasi tetap dilakukan mengikuti standar pemberian imunisasi pada anak. Semua
vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk vaksin hidup (BCG, Polio oral, campak),
kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV;
 Pada tempat yang mempunyai akses pemeriksaan PCR, pemeriksaan early infant diagnosis (EID) atau
diagnosis HIV dini pada bayi dengan metoda kertas saring perlu dilakukan untuk memastikan apakah
bayi tertular atau tidak;

 Bila tidak memilki akses pemeriksaan PCR, maka diagnosis HIV pada bayi dapat ditegakkan dengan tes
antibodi HIV pada usia setelah 18 bulan atau dilakukan diagnosis presumtif;

 Memberikan dukungan keperawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya;

 Pada ibu hamil, bila tidak tersedia RPR, pemeriksaan sifilis dapat dilakukan dengan tes cepat TPHA
/TP-Rapid;

 Sifilis pada kehamilan merupakan indikasi untuk pengobatan. Setiap ibu hamil dengan tes serologi
postisif (dengan metode apapun) minimal diobati dengan suntikan 2,4 juta UI Benzatin benzyl Penicilin
IM. Bila memungkinkan diberikan 3 dosis dengan selang 1 minggu, sehingga total 7,2 juta unit;

 Terapi dengan Benzatin benzyl Penicillin didahului dengan skin 47 test. Diberikan dengan dua dosis
terbagi di bokong kanan dan bokong kiri;

 Pemantauan tumbuh kembang anak pada bayi lahir dari ibu HIV dan sifilis;

 Edukasi dan anjuran tes HIV dan sifilis bagi pasangan ibu hamil HIV dan sifilis;

Pengendalian dan Pengobatan IMS

Tujuan: Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat IMS yang sebenarnya bisa dicegah dan
diobati, serta mencegah infeksi HIV

Panduan Pelaksanaan

 Pengendalian IMS merupakan upaya kesehatan masyarakat esensial yang wajib dilakukan oleh
puskesmas.

 Pemeriksaan IMS dilakukan secara terpadu dengan layanan kesehatan lainnya seperti layanan KIA dan
KB. Penapisan IMS perlu dilakukan pada pekerja seks, penasun, LSL, waria, pria dan wanita usia subur,
dan pada ibu hamil saat ANC.

 FKTP melakukan layanan IMS sesuai dengan standar pelayanan IMS, dengan memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia di FKTP.

 Deteksi dini IMS pada ibu hamil dapat dilakukan di FKTP dan jaringan Puskesmas (Pustu, Pusling dan
Bidan Desa).

 Setiap PUS yang datang ke layanan KB dilakukan penapisan IMS.

 Puskesmas membuat perencanaan untuk kebutuhan tenaga, alat, bahan habis pakai, reagen dan obat
sesuai standar layanan IMS.
 Puskesmas memetakan lokasi transaksi seksual berisiko (hot spot) dan keberadaan populasi kunci di
wilayah kerjanya. Pemutakhiran dilakukan tiap 1–2 tahun sekali, sehingga puskesmas dapat menentukan
dan menjalankan upaya pencegahan dan pengendalian IMS yang akan dilakukan.

 Puskesmas yang di wilayah kerjanya terdapat hotspot, melakukan penapisan IMS bekerjasama dengan
para pengelola hotspot atau LSM.

 Minimal pada 80% populasi kunci dilakukan pemeriksaan IMS secara rutin setidaknya setiap 3 bulan.

 Kerjasama dengan para pengelola dan pemilik bar/panti pijat agar mereka dapat mendukung
penapisan dan pengobatan IMS secara rutin

 FKTP melakukan tata laksana IMS melalui pendekatan sindrom 49 dan pemeriksaan laboratorium
sederhana dengan hasil pada hari yang sama. Apabila fasilitas terbatas dapat menggunakan pendekatan
sindrom saja.

 Seluruh pasien IMS diberikan pengobatan sesuai dengan pedoman termasuk pemberian kondom
sebagai paket pengobatan dan informasi pencegahan.

 Lakukan pemeriksaan dan pengobatan pasangan seksual pasien IMS

 Semua tatalaksana kasus IMS wajib dicatat dalam rekam medis atau didokumentasikan dengan
lembar pencatatan SIHA

 Lakukan pencatatan secara rutin dan lakukan evaluasi secara internal. Hasil evaluasi disampaikan
kepada para pemangku kepentingan di wilayah kerja puskesmas.

 Diseminasi hasil evaluasi disampaikan juga kepada pengelola hotspot dan komunitas populasi kunci.
Dalam keterbatasan sumber daya manusia maka dapat dilakukan pendelegasianwewenang kepada
tenaga lain yang terlatih, misalnya, bila tidak ada dokter,bidan/ perawat dapat melakukan tatalaksana
klinis IMS.

Obat Infeksi Menular Seksual yang direkomendasikan sesuai Pedoman Nasional PenangananIMS,
Kemenkes,2011, yaitu:

1. Azithromycin 1000mg+ Cefixime 400 mg

2. Benzathine Penicillin G 2.4 juta IU

3. Asiklovir 200 mg dan 400 mg

4. Flukonazol 150 mg

5. Metronidasol 500 mg

6. Eritromisin 500 mg

Layanan HIV-IMS Komprehensif Berkesinambungan (LKB)

Tujuan: Mendekatkan dan meningkatkan akses tesHIV dan pengobatan ARV serta membantu pasien
untuk tetap patuh minum obat
Panduan Pelaksanaan

 FKTP membina jejaring dengan Rumah Sakit dan faskes lainnya, komunitas, dan layanan terkait lain di
wilayahnya, sesuai dengan tingkat

 Layanan HIV dan IMS diintegrasikan dengan layanan dasar yang tersedia di dalam FKTP seperti KB,
Kespro, KIA, Remaja, BP

 Puskesmas selalu mendapatkan bimbingan teknis dari Rumah Sakit untuk penanganan pasien,
laboratorium, pencatatan pelaporan, dengan cara melakukan mentoring secara regular.

 Puskesmas mendapatkan dukungan dari Dinas Kesehatan untuk penguatan implementasi program,
mengetahui proyeksi dan target, mendapatkan umpan balik dari laporan bulanan, penguatan
manajemen logistik secara regular.

 Puskesmas melatih dan melibatkan kader untuk menjadi pengawas minum obat ARV atau OAT.
Puskesmas merupakan salah satu simpul jejaring layanan HIV di suatu Kabupaten/kota sesuai dengan
kerangka kerja LKB yang berdasarkan 6 pilar di bawah ini:

1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini.

2. Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan keluarga.

3. Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat.

4. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan.

5. Sistem rujukan dan jejaring kerja.

6. Akses layanan terjamin.

Diagnosis HIV pada anak usia lebih dari 18 bulan, remaja dan dewasa ditegakkan berdasarkan tiga hasil
tes anti-HIV sekuensial yang reaktif, sedangkan pada anak berusia kurang dari 18 bulan berdasarkan
hasil uji virologis.

Terapi ARV saat ini dimulai pada semua ODHA anak, remaja, dan dewasa tanpa memandang stadium
klinis ataupun jumlah CD4. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk
memulai terapi ARV setelah diagnosis HIV dengan tetap memperhatikan kesiapan ODHA. Pada ODHA
yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, terapi ARV dimulai segera dalam 7 hari setelah diagnosis
dan penilaian klinis. Pada ODHA yang sudah siap untuk memulai ARV, dapat ditawarkan untuk memulai
ARV pada hari yang sama, terutama pada ibu hamil. Sedangkan pada ODHA dengan gejala infeksi
oportunistik, seperti TB dan meningitis kriptokokus, terapi ARV dimulai setelah pengobatan infeksi
oportunistik.

Pilihan paduan terapi lini pertama pada remaja dan dewasa adalah kombinasi TDF + 3TC (atau FTC) +
EFV; pada anak usia 3-10 tahun adalah ABC atau AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (atau NVP); ABC
atau AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r. Pemeriksaan viral load rutin dilakukan pada bulan ke 6 dan
ke 12 setelah memulai ARV dan berikutnya setiap 12 bulan. Pada kondisi pemeriksaan viral load dapat
dilakukan rutin, pemeriksaan CD4 direkomendasikan untuk dilakukan pada saat didiagnosis HIV, 6 bulan
setelah pengobatan, sampai indikasi menghentikan profilaksis kotrimoksazol.

Penatalaksanaan HIV secara komprehensif, juga menyertakan upaya pencegahan penularan kepada
orang lain, pencegahan dan penanganan infeksi oportunistik, pencegahan dan penanganan
komorbiditas, dan penatalakanaan penyakit kronis lainnya.

MANAJEMEN KASUS HIV dan AIDS


TUJUAN MK
Fokus : MK Klinis, koordinasi pelayanan (psikososial komprehensif) :
 Meningkatkan kualitas pelayanan bagi klien
 Mengendalikan biaya pelayanan

Tersedianya akses pelayanan dan koordinasi :


 Yang mencakup bantuan berbasis masyarakat
 Memungkinkan orang-orang yang mempunyai masalah untuk menjalani
kehidupan secara normal dalam lingkungan alamiah
Manfaat Bagi ODH :
 Menjamin kontinuitas pelayanan (holistik, terpadu dan berkesinambungan)
 Memperoleh akses pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan
 Memperoleh pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga mengurangi risiko HIV
(seperti munculnya infeksi oportunistik)
 Penyediaan pelayanan yang menekankan hubungan yang aman, konfidensial,
dan menghargai

KONSELING HIV
Konseling dalam VCT
Kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
masalah terkait degan HIV dan AIDS
VCT
Salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan
kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan

PRINSIP PELAYANAN VCT


1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

TAHAPAN PENATALAKSANAAN
1. PENERIMAAN KLIEN
2. KONSELING PRA TESTING
3. KONSELING PRA TESTING DALAM KEADAAN KHUSUS

KONSELING PRA TESTING


NOMOR KODE KLIEN DALAM FORMULIR
PERKENALAN DAN ARAHAN
MEMBANGUN KEPERCAYAAN
ALASAN KUNJUNGAN DAN KLARIFIKASI MITOS FAKTA
PENILAIAN RISIKO
IMPLIKASI TERINFEKSI ATAU TIDAK TERINFEKSI HIV
KESEIMBANGAN PENGETAHUAN, PENILAIAN DAN EMOSI KLIEN
PENILAIAN SISTEM DUKUNGAN
PERSETUJUAN / INFORM CONSENT

KONSELING PRA TESTING DALAM KEADAAN KHUSUS


KLIEN TERBARING
KLIEN TIDAK STABIL
KLIEN KRITIS

KONSELING PASCA TESTING


PERIKSA ULANG SELURUH HASIL KLIEN DALAM CATATAN MEDIK.
(SEBELUM BERTEMU KLIEN)
SAMPAIKAN HASIL KEPADA KLIEN SECARA TATAP MUKA
BERHATI-HATILAH DALAM MEMANGGIL KLIEN DARI RUANG TUNGGU
KONSELOR TIDAK BOLEH MEMBERIKAN HASIL SECARA VERBAL MAUPUN
NONVERBAL SAAT KLIEN BERADA DI RUANG TUNGGU
HASIL TESTING TERTULIS

PEDOMAN PENYAMPAIAN HASIL TESTING NEGATIF


Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
Buat ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks aman,
pemberian makanan pada bayi dan penggunaan jarum suntik steril
Periksa reaksi emosi yang ada
Buat rencana lebih lanjut

PEDOMAN PENYAMPAIAN HASIL TESTING POSITIF


Perhatikan komunikasi non verbal saat memanggil klien masuk ruang konseling
Pastikan klien siap menerima hasil
Tekankan kerahasiaan
Lakukan secara jelas dan langsung
Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil
Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil testing
Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
Galilah ekspresi dan ventilasi emosi
MANAJEMEN KASUS PADA KLIEN DENGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Langkah Kegiatan Manajemen Kasus Pada Klien dengan Penyalahgunaan NAPZA


a.       Orientasi dan identifikasi klien.
Manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan yang
ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda dan kompleks
dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat. Kasus di sini
adalah orang dalam situasi meminta atau mencari pertolongan. Dalam masalah
penyalahgunaan NAPZA, orang yang mencari pertolongan dapat pada para
penyalahguna NAPZA langsung, keluarga atau orang lain.

b.      Assessment informasi dan memahami situasi klien.


Fungsi ini merujuk pada pengumpulan informasi dan memformulasikan suatu asesment
kebutuhan klien, situasi kehidupan dan sumber-sumber yang ada serta penggalian
potensi klien.
c.      Merencanakan program pelayanan.
Pekerja social mengidentifikasi berbagai pelayanan yang dapat diakses untuk
memenuhi kebutuhan klien. Klien dan keluarganya serta orang lain yang berpengaruh
secara bersama-sama merumuskan tujuan dan merancangnya dalam suatu rencana
intervensi yang terintegrasi.

d.      Menghubungkan dan Mengkoordinaksikan pelayanan.


■ Seperti peranannya sebagai broker, manaer kasus harus menghubungkan klien
dengan sumber-sumber yang tepat. Peranan manager kasus dapat berbeda –
beda walaupun pekerja social yang utamanya sebagai partisipan aktif dalam
menyampaikan pelayanan kepada individu atau keluarga. Manager kasus
menekankan pada koordinasi dengan sumber sumber yang digunakan klien
dengan menjadi saluran dan berkomunikasi dengan sumber-sumber pelayanan.
e.       Memberikan pelayanan tindak lanjut dan monitoring.
■ Manager kasus secara regular menindaklanjuti hubungan dengan klien dan
penyedia pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan yang dibutuhkan dapat
diterima dan dimanfaatkan oleh klien.
f.       Memberikan support pada klien
■ Selama pelayasnan berlangsung yang disediakan oleh berbagai sumber,
manager kasus membantu klien dan keluarganya yang meliputi pemecahan
konflik pribadi, konseling, menyediakan informasi, memberi dukungan emosional
dan melakukan pembelaan yang tepat untuk menjamin bahwa mereka menerima
pelayanan yang tepat. 

Penanggulangan penyalahgunaan NAPZA


1. Suppy Reduction
a. Pemberantasan terhadap NAPZA di pasaran gelap
b. Pengawasan yang efektif terhadap NAPZA yang bermanfaat dalam dunia
pengobatan dan manfaat lain 
2. Demand Reduction
1. Prevensi ( Pencegahan ) dilakukan dengan cara :
a. Penyuluhan, yaitu memberikan informasi berdasarkan fakta, tidak menakut-nakuti,
melalui berbagai jenis NAPZA, akibat penyalahgunaan, perudang-undangan yang
terkait, kemana harus meminta pertolongan profesional
b. Pendidikan Afektif, yang bertujuan untuk meningkatkan harga diri, citra diri, percaya
diri, mengenal keterbatasan dan kelebihan dirinya, cara mengatasi stress, mampu
untuk mengemukakan perasaan dan isi pikirannya secara sehat.
c. Menyediakan berbagai kegiatan dan fasilitas untuk pengambangan diri, aktualisasi
diri, kesenian, dan lain-lain.
d. Memberikan ketrampilan sosial agar anak mampu mengambil keputusan yang
bijaksana, dapat menolak suatu tawaran dari teman, terlatih untuk tidak mau diajak
pergi atau menerima sesuatu dari orang yang tidak dikenal
e. deteksi dini atau intervensi dini, yaitu memberi pengetahuan dan ketrampilan kepada
orang tua, guru, pembina anak muda umumnya agar dapat mendeteksi sendiri mungkin
anak atau remaja mulai menggunakan NAPZA
2.  Tetapi, ditunjukkan dalam keadaan kelebihan dosis, intoksinasi akut, sindroma putus
zat,  komplikasi medkia lainbaik fisik maupun psikiatrik  ( psikisd, depresi, gangguan
cemas, dan gangguan panik ). Untuk fasilitas detoksifikasi dapat diperoleh di rumah
sakit
3. Rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi fisik, metal, spiritual, edukasional, vokasional.
Program kegiatan rehabilitasi itu meliputi :
a. memperbaiki gizi dengan makanan bermutu
b. memulihkan kesehatan dengan olahraga
c.menanamkan nilai-nilai luhur dengan pendalaman iman menurut keyakinan imannya
masing-masing.
d.meningkatkan konsep diri melalui psikoterapi kognitif- behavioral, membangkitkan
kembali kepercayaan diri melalui psikoterasi supportif, meingkatkan kemampuan
komunikasi interpersonal melalui konseling, dinamika kelompok, terapi kelompok, dan
terapi keluarga.
e.bekerjamembantu memasak, mempersiapkan makanan, mengepel, mecuci pakaian,
menyapu, dan memproduksi sesuatu untuk dijual.
f. rekreasi

Pencegahan HIV/AIDS

1. PRIMER
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini
diberikan pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini
tidak bersifat terapeutik, tidak menggunakan tindakan yang terapeutik dan tidak
menggunakan identifikasi gejala penyakit.
Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu:
 Peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan kesehatan
reproduksi tentang HIV/AIDS, standarisasi nutrisi, menghindari seks
bebas screening, dan sebagainya.
 Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi, kebersihan pribadi, atau
pemakaian kondom.

2. SEKUNDER
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar
tidak mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini
dilakukan melalui pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat
sehingga dapat mengurangi keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap
bertahan melawan penyakitnya. Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining
dan pengobatan penyakit pada tahap dini. Hal ini dilakukan dengan
menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan dari
perkembangan penyakit atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain.

3. TERTIER
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS
dan mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan.
Pencegahan ini terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau
ketidakmampuan melalui intervensi yang bertujuan mencegah komplikasi dan
penurunan kesehatan.
Selain hal-hal tersebut, pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya
pencegahan penularan infeksi HIV/AIDS adalah penyuluhan untuk
mempertahankan perilaku tidak beresiko. Hal ini bisa dengan menggunakan
prinsip ABCDE yang telah dibakukan secara internasional sebagai cara efektif
mencegah infeksi HIV/AIDS lewat hubungan seksual. ABCDE ini meliputi:
■ A = abstinensia, tidak melakukan hubungan seks terutama seks berisiko tinggi
dan seks pranikah.
■ B = be faithful, bersikap saling setia dalam hubungan perkawinan atau
hubungan tetap.
■ C = condom, cegah penularan HIV dengan memakai kondom secara benar dan
konsisten untuk para penjaja seksual.
■ D = drugs, hindari pemakaian narkoba suntik.
■ E = equipment , jangan memakai alat suntik bergantian.

Prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS

Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau Konseling dan Testing


Sukarela merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu
masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS yang berkelanjutan. Melalui tes
HIV, seseorang dapat mengetahui status HIV-nya setelah melalui proses konseling.
Tes HIV yang umum adalah dengan mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh system
kekebalan tubuh dalam merespons infeksi HIV.
Prinsip pelayanan VCT HIV adalah intinya tidak boleh dipaksa, pembicaraan ini rahasia,
privasi konselor dan klien sehingga konselor tidak boleh cerita pada orang lain, dan
sukarela.
Tujuan dilakukannya konseling dalam menanggulangi penularan HIV/AIDS untuk
mengetahui status lebih dini akan memudahkan perencanaan penanganan,
meningkatkan kualitas hidup sehingga mengurangi angka kesakitan dan kematian
(walaupun tidak dapat disembuhkan, penyakit dapat dikendalikan dengan baik), dan
memutus mata rantai penularan HIV yang meluas

Prinsip dasar pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah:


1. Klien dating secara sukarela, diberikan layanan pre tes konseling, dan
secara sukarela bersedia dites HIV (atas kehendak sendiri tanpa
paksaan/manipulasi) ditandai dengan informed consent yang
ditandatangani oleh pasien
2. Percakapan antara klien dan konselor VCT serta hasil tes HIV bersifat
rahasia, tidak boleh dibocorkan dalam bentuk dan cara apapun pada pihak
Ketiga
3. Berorientasi pada klien serta menerapkan prinsip Greater Involment of
People with AIDS (GIPA) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2008).

Pelaksanaan Konseling dibagi menjadi tiga, yakni


■ Pelaksanaan Konseling Pre Tes
Dalam konseling pre tes hal-hal yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan
diri dan menanamkan rasa nyaman, akrab, familiar kepada klien sehingga
tercipta
kepercayaan dari klien bahwa apa yang dibicarakan merupakan rahasia dan
hanya
konselor dan klien yang mengetahuinya. Hasil wawancara juga ditemukan dalam
konseling pre tes perlu ditekankan mengenai pemahaman klien tentang VCT,
HIV, detail penularan, pencegahan sampai bersedia untuk tes HIV, maka tugas
konselor adalah memberikan informasi, edukasi dan support yang benar kepada
klien tentang HIV AIDS

■ Konseling Pre tes mempunyai 5 prinsip :


a. Motif pelaksanaan hasil tes;
b. Interpretasi hasil tes yaitu mengenai penapisan, adanya gejala atau tidak,
pemahaman klien bahwa infeksi HIV dan dampak nya tidak dapat sembuh
namun ODHA dapat tetap produktif, infeksi oportunistik dapat diobati;
c. Estimasi hasil meliputi : kesiapan mental emosional penerimaan hasil
pemeriksaan, kajilah resiko bukan harapan akan hasil, periode jendela
(window period);
d. Membuat rencana jika didapatkan hasil;
e. Membuat keputusan : melaksanakan tes atau tidak. (Modul Pelatihan
Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

2. Pelaksanaan Tes HIV


Tes HIV dilakukan setelah klien mendapat konseling pre tes dan
menandatangani informed consent. Klien yang menolak untuk tes HIV maka
konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Tes HIV hanya
boleh dilakukan setelah klien menandatangai informed consent sebagai bukti
bahwa klien bersedia dan secara sukarela melakukan tes HIV. Aspek penting
didalam informed consent adalah :
a. Klien telah diberi penjelasan cukup tentang risiko dan dampak sebagai
akibat dari tindakannya dan klien menyetujuinya.
b. Klien mempunyai kemampuan menagkap pengertian dan mampu
menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan psikiatris).
c. Klien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan meski
konselor memahami bahwa mereka memang sangat memerlukan
pemeriksaan HIV.
d. Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya
karena keterbatasan dalam memahami informasi maka tugas konselor
untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi
sehingga klien memahami dengan benar dan dapat menyatakan
persetujuannya. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 200

3. Pelaksanaan Konseling Post Tes


Pelaksanaan konseling post tes dilakukan setelah klien mendapatkan hasil
pemeriksaan tes HIV. Sebelum melakukan konseling post tes, konselor
terlebih dahulu menanyakan kesiapan klien, ekspresi wajah, dan keadaan
psikologis klien. Tujuan dari konseling post tes adalah membuat klien mampu
menerima hasil pemeriksaan status HIVnya dan menyesuaikan diri dengan
konsekuensinya dan risikonya, membuat perubahan perilaku menjadi perilaku
sehat, dilakukan oleh konselor yang memahami masalah psikologis / psikiatrik
dan pemeriksaan serta penilaian hasil pemeriksaan laboratorium HIV,
penyakit dan terapi. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 2004)

ANAK DENGAN IBU HIV +

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan


Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem
imun progresif. Sedangkan AIDS berarti kumpulan gejala akibat menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Dalam penularan vertikal
HIV dari ibu ke anak ada tiga faktor utama yang berpengaruh, yaitu faktor ibu,
bayi/anak, dan tindakan obstetric. Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi,
anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya
normal.

Diagnosis HIV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil


pemeriksaan laboratorium.
Tatalaksana awal adalah memberi konseling pada orang tua kondisi infeksi HIV dan
resiko infeksi opurtunistik, pemberian nutriSI yang cukup, pengawasan tumbuh
kembang, imunisasi dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV). Infeksi HIV pada
umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannnya cara yang efektif untuk
menanggulanginya, maka pada umunya penyakit beerjalan progresif hingga prognosis
nya umumnya buruk.

Prinsip Komunikasi Konseling pada klien dengan Penyalahgunaan NAPZA

Prinsip Komunikasi Terapeutik Yang Digunakan Untuk Konseling : Komunikasi


merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik. Dalam proses komunikasi
terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran. Maksud
komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan intervensi
perawatan tergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan untuk
merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Dalam membina
hubungan terapeutik dengan pasien, perawat perlu mengetahui proses komunikasi dan
keterampilan berkomunikasi dalam membantu pasien memecahkan masalahnya, serta
mengerti tentang peran yang dimainkan oleh pasien dan orang lain dalam masalah
yang diindentifikasi.
Prinsip konseling pada penyalahgunaan NAPZA dilakukan dengan tujuan mencegah
sebelum terjadi korban dan juga dilakukan sesudah telanjur menjadi korban
pengguna.
■ Menghormati pasien, menghormati adalah memandang positif sebagai sesame
manusia. Konselor menghormati pasien dengan tidak bertindak semena-mena dan
saling bertoleransi satu dengan yang lain baik dalam menjalankan program rehabilitasi
maupun dalam kegiatan sehari-hari.
■ Menunjukkan kesungguhan penuh kepada pasien, kesungguhan untuk
membantu
pasien lepas dari kecanduan narkoba. Kesungguhan untuk membantu pasien
ditunjukkan dengan bersikap sabar terhadap pasien, termasuk ketika pasien melakukan
pemberontakan pada saat menjalani rehabilitasi.
■ Menumbuhkan rasa empati, empati kepada pasien adalah kasih sayang dan
kepedulian dari dalam hati. Konselor mampu merasakan kondisi, situasi dan perasaan
yang dirasakan oleh pasien
■ Menciptakan kepercayaan, pasien memiliki kepercayaan dalam diri bahwa
konselor dapat membantu pasien keluar dari permasalahan yang dihadapi. Untuk
menumbuhkan kepercayaan, konselor melakukan pendekatan individu melalui
konseling dan memberikan motivasi terhadap pasien
■ Menjaga kerahasian, kerahasiaan menjadi hak privasi setiap pasien. Dengan
menjaga kerahasiaan berarti sama halnya menjaga kepercayaan pasien

PENYALAHGUNAAN NAPZA

Narkotika
UU RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun
Semisintetis
 penurunan kesadaran,
 mengurangi/menghilangkan rasa nyeri
 menimbulkan ketergantungan

Psikotropika
UU RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika
zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat adiftif lainnya


bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar
yang disebut Narkotika dan Psikotropika

Faktor Napza
 Tersedia dan mudah mendapatkannya
 Khasiat yang diinginkan : menghilangkan rasa
 sakit, menenangkan, menidurkan dsb
 Informasi yang berlebihan mengenai khasiatTersebut

Faktor individu
 Ingin tahu dan coba-coba
 Ingin diterima dan masuk dalam lingkungan tertentu, yang/ sudah biasa
menyalahgunakan obat (narkoba)
 Ingin mendemonstrasikan kebebasan
 Ingin memperoleh kenikmatan dari efek narkoba (obat) yangada
 Ingin mencapai ketenangan yang maksimal
 Ingin melarikan diri dari suatu masalah
 Ingin dapat menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasa
 Ingin dibilang dewasa dan modern/ mengikuti zaman 

Faktor Lingkungan
 Masyarakat menerima penggunaan obat tertentu, bersikap
masa bodoh dan kurangnya kontrol sosial
 Mudahnya sarana komunikasi dan gencarnya informasi
 Peranan keluarga (tidak harmonis, broken home, dsb)
 Peranan kelompok sebaya yang menyalahgunakan narkoba
 Bergaul dengan penyalahguna dan pengedar
 Bersekolah dilingkungan yang rawan dan sering terjadi penyalahgunaan narkoba
 Bertempat tinggal dilingkungan peredaran dan penyalahgunaan narkoba
 Kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap anak

Anda mungkin juga menyukai