Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ISLAM DAN PLURALISME


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
METODE STUDI ISLAM

Dosen Pengampu: Ujang Hanief, M.Ag.

Disusun Oleh:

o Annisa Maydiyanti, 2051040229


o Alkausar Krisna Wijaya, 2051040010
o Handarto Ermawan, 2051040359
o Helen Yolanda, 2051040235
o Imam Mukti Alan Nuari, 2051040327
o Irani Agustina, 2051040337
o Melinda Septriyani, 2051040403
o M. Ilham Diky Prtama, 2051040326
o Nabila Hasanah Ummah, 2051040111
o Novian Lanarahmat, 2051040125
o Putri Rahmawati, 2051040226
o Sri Wahyuni, 2051040171
o Yunita Aryani, 2051040187

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga kami dapat
menyelesaikan dan menyusun makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul
“ISLAM DAN PLURALISME“. semoga makalah ini bisa membantu para
pembaca dan pelajar. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam. Dan untuk menamba wawasan
tentang Islam dan Pluralisme .

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Ujang Hanief, M.Ag.


selaku dosen mata kuliah Metode Studi Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.

Demikian makalah ini, semoga bermanfat bagi kita semua yang emmbaca
dan mempelajarinya.

Bandar Lampung, 26 Mei 2021

(Penulis)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................

B.  Rumusan Masalah.......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Islam dan Gender........................................................................................
B. Islam Dan Pluralisme Agama.....................................................................

C. Islam & Civil Society.................................................................................

BAB III KESIMPULAN

A. Simpulan.....................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

B. Latar Belakang

Islam merupakan agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai


kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme
agama yang ada di dalam Islam merupakan aturan yang telah ditetapkan didalam
sunnatullah yang tidak bisa dirubah maupun di tolak oleh manusia. Hal ini berarti
Islam sangat menghargai adanya pluralisme dengan mengakui adanya hak-hak
penganut agama maupun ajaran-ajaran masing-masing. Sesuai dengan dali al-
Qur’an Surat al-Maidah ayat 69.
‫هّٰلل‬
ۡ‫ف َعلَ ۡي ِهم‬ َ ‫ص ٰرى َم ۡن ٰا َمنَ بِا ِ َو ۡاليَ ۡو ِم ااۡل ٰ ِخ ِر َو َع ِم َل‬
ٌ ‫صالِحًـا فَاَل خَ ۡو‬ ٰ َّ‫اِ َّن الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا َوالَّ ِذ ۡينَ هَاد ُۡوا َوالصَّابُِئونَ َوالن‬
َ‫َواَل هُمۡ يَ ۡح َزنُ ۡون‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabi'in


dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan
mereka tidak bersedih hati”. (QS. Al-Maidah:69)

Ayat ini menjelaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh
semua kelompok agama yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan
agamanya berhubungan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat yaitu
memenuhi kaidah  iman kepada Allah, hari akhir,dan beramal shalih.

Selain itu, Indonesia merupakan negara multikultural yang sangat beragam


etnis, suku, bahasa, budaya, agama dan gender. Negeri ini secara fisik terdiri dari
13.000 pulau, dimana di dalam pulau-pulau tersebut terdapat subetnis yang
memiliki berbagai corak bahasa dan adat istiadat. Olehkarena itu, pluralitas dalam
negeri ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin ditolak karena pluralisme bisa
dikatakan sebagai ibu kandung atau bapak moyang negeri ini.
B.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa


rumusan masalah diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Apakah pengertian Islam?

2.      Apasajakah ruang lingkup Islam?

3.      Apa yang dimaksud dengan Pluralisme?

4.      Bagaimana Pandangan Islam terhadap Pluralisme?

5.      Bagaimana Pluralisme di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam dan Gender

Masalah manusia merupakan masalah yang selalu dibicarakan oleh


manusia itu sendiri, yang tak habis-habisnya dan terus-menerus. Dari pembicaraan
yang terus-menerus tersebut kemudian menghasilkan pelbagai ilmu pengetahuan
yang berkenaan dengan manusia itu sendiri seperti antropologi, sosiologi,
psikologi, kesehatan, hukum dan sebagainya.

Manusia merupakan sebaik-baik bentuk ciptaan Tuhan. Pada diri manusia


tersebut terdapat pemberian istimewa berupa akal pikiran yang berfungsi untuk
mempertahankan hidupnya dari segala macam rintangan dan halangan dalam
menjalankan kehidupan tersebut. Dengan kemampuan berpikir, berencana,
bertindak, menurut logika itulah kemudian manusia mampu menciptakan
pengetahuan modern seperti teknologi yang terus-menerus menawarkan
perubahan versi dan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dari waktu ke
waktu.

Pendayagunaan akal manusia yang tiada hentinya telah mampu


menaklukan makhluk lainnya dan  mampu mengeksploitasi berbagai hal yang ada
di atas bumi maupun di perut bumi hingga  pada akhirnya juga digunakan demi
kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian hal tersebut
menunjukkan bahwa manusia secara umum mampu untuk menjaga kehidupannya
agar tetap berjalan terus dari waktu ke waktu dan mampu menjaga kelestarian
jenisnya.

Gender merupakan pengelompokan manusia yang utama. Setiap


masyarakat menciptakan rintangan dalam hal ketidaksetaraan akses ke kekuasaan,
kepemilikan dan prestise atas dasar jenis kelamin. Alhasil, para sosiolog
mengelompokkan perempuan dalam minority group (kelompok minoritas). Jika
dilihat dari sisi kuantitas antara perempuan dan laki-laki maka hal ini sangatlah
berbanding terbalik, dikarenakan jumlah perempuan yang justru lebih banyak dari
laki-laki malah digolongkan kelompok minoritas. (James M. Henslin, 2006: 48)

Teori patriarchy – laki-laki yang mendominasi masyarakat- telah di mulai


sejak awal sejarah kehidupan manusia, rentang usia manusia yang relatif singkat
dan untuk melipatgandakan kelompok, perempuan harus melahirkan banyak anak.
Karena hanya kaum perempuan yang dapat hamil, melahirkan dan menyusui
sehingga sebagian besar kehidupan perempuan itu terbatas.  Alhasil, di seluruh
dunia perempuan mengerjakan tugas yang dikaitkan dengan rumah tangga  dan
pengasuhan anak, sedangkan laki-laki mengambil alih untuk berburu binatang,
menjalin kontak dengan yang lain, berdagang, dan berperang dengan kelompok
lainnya. Laki-laki pula yang membuat dan mengendalikan perlengkapan senjata
yang digunakan untuk berperang dan berburu. Sebaliknya hanya sebagian kecil
saja menjadi rutinitas perempuan, sehingga pada akhirnya laki-lakilah yang
mengambil alih peran di tengah masyarakat. Dengan demikian laki-laki
mendominasi kehidupan sebagai kaum yang mayoritas sedangkan perempuan
sebagai kaum yang minoritas. (James M. Henslin, 2006: 50)

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Hal ini


menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia
lainnya. Pribadi manusia yang senang hidup berkelompok tersebut telah tertuang
dalam teori seorang filsuf berkebangsaan Yunani yaitu Aristoteles (384-322 SM)
yang mengatakan manusia adalah zoon politicon yaitu makhluk sosial  yang
menyukai hidup berkelompok.

Berkenaan dengan hal itu Allah juga telah memberikan isyarat tentang
manusia merupakan zoon politicon dalam QS. Al-Hujurat : 13

َ‫ارفُ ۡوا‌ ؕ اِ َّن اَ ۡك َر َم ُكۡـم ِع ۡن َد هّٰللا ِ ا‬ ۤ


َ ‫ٰياَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ۡق ٰن ُكمۡ ِّم ۡن َذ َك ٍر َّواُ ۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكمۡ ُشع ُۡوبًاـ َّوقَبَ ِٕٓاٮ َل لِتَ َع‬
‫ۡت ٰقٮ ُكمۡ‌ ؕ اِ َّن‬
‫هّٰللا َ َعلِ ۡي ٌم َخبِ ۡي‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…” (QS. Al-
Hujurat:13)

Ayat ini berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Kata ‫ذكر و انثى‬  ( dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan) ditafsirkan sebagai Adam dan Hawa.
Ini menunjukkan bahwa umat manusia yang banyak dan tersebar di berbagai
belahan bumi ini berasal dari Ayah dan Ibu yang sama (Ali Ash-Shabuni, 2011:
46) , sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ishaq al-Mushilli yang dikutip oleh al-
Maraghi:

“ Manusia di alam nyata ini adalah sama. Ayah mereka


adalah Adam dan ibunya adalah Hawa. Jika mereka mempunyai
kemuliaan pada asal usul mereka yang patut dibanggakan, maka tak
lebih dari tanah dan air”.(Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1997: 234)

Tampak dari keterangan di atas, bahwa pada dasarnya seluruh umat


manusia itu sama. Kemudian dari keturunan yang sama itu berkembang menjadi
keluarga, komunitas, masyarakat dan dalam bentuk yang lebih besar lagi
tergabung dalam berbagai Negara yang berbeda di belahan Bumi ini.

Masyarakat yang sudah semakin banyak dan tersebar di berbagai wilayah,


dalam ayat di atas diharuskan untuk saling mengenal satu sama lainnya , agar di
antara mereka terjalin hubungan yang baik dan menumbuhkan sifat saling tolong
menolong dalam berbagai bentuk kemaslahatan. Sebab seluruh umat manusia ini
berasal dari keturunan yang satu  yaitu Adam dan Hawa.

Diriwayatkan dari Abu Mulaikah dia berkata, ketika peristiwa Fathul


Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah lalu mengumandangkan azan. Kemudian
berkata ‘Attab bin Sa’ad bin Abil ‘Ish, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
mencabut nyawa ayahku sehingga tidak menyaksikan hari ini’. Sementara al-
Haris bin Hisyam berkata, ‘Muhammad tidak menemukan selain burung gagak
yang hitam ini untuk dijadikan muazin”. Suhail bin Amr berkata, ‘Jika Allah
menghendaki sesuatu maka bisa saja Dia merubahnya’. Berkenaan dengan
peristiwa itu kemudian Jibril datang kepada Nabi Muhammad saw dan
memberitahukan kepada beliau tentang hinaan yang ditujukan kepada Bilal
tersebut. Maka Allahpun menurunkan ayat ini sebagai bentuk pencegahan bagi
mereka yang membanggakan nasab, harta dan yang suka menghina orang-orang
fakir. Ayat ini mengingatkan mereka bahwa tidak ada yang berbeda di sisi Allah
di antara sekalian umat manusia tidak pada nasab, harta, rupa dan selainnya
kecuali takwa. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1997: 234)

Sebagaimana juga diterangkan dalam hadis Nabi saw,

Diriwayatkan dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda,“


Sesungguhnya Allah swt tidak memandang kepada pangkat-pangkatmu, tidak
memandang pada nasab-nasabmu, tidak pada bentuk rupamu, dan tidak pula
memandang pada hartamu, melainkan yang Allah pandang adalah hatimu”

Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin mengajarkan pada umatnya


untuk saling mengenal (bersilaturrahim) dengan sesamanya baik menjalin
hubungan dengan sesama muslim maupun dengan non muslim. Hubungan yang
terjalin tersebut baik antara sesama laki-laki, sesama perempuan maupun
hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Di dalam ajaran Islam  laki-laki dan perempuan memiliki posisinya


masing-masing, sesuai dengan fitrahnya. Selama antara laki-laki dan perempuan
tetap menjaga fitrah tersebut, pada keduanya terdapat kesempatan yang sama
dalam menjalani kehidupan baik dalam bidang pendidikan, sosial-
kemasyarakatan, politik, seni, dan sebagainya.

Berbicara tentang bentuk hubungan yang terjalin antara laki-laki dan


perempuan di masa lalu dan masih berkembang di masa sekarang ini,  terdapat
dua aliran pendapat (Husein Muhammad, 2015) yang hidup di tengah lingkungan
masyarakat muslim yaitu:

Pertama,  Dimana posisi kaum laki-laki berada di atas kaum perempuan.


perempuan adalah makhluk kelas dua setelah laki-laki yang diciptakan Tuhan,
sebab penciptaan perempuan pertama (Hawa) berawal dari tulang rusuk laki-laki
(Adam) sehingga pada aliran ini perempuan merupakan subordinat. Perempuan
berada pada posisi inferior dan laki-laki superior. Posisi ini diyakini oleh beberapa
kalangan sebagai fitrah, kodrat, hakikat, dan hukum Tuhan yang berlaku yang
tidak dapat diubah. Perubahan terhadap hal tersebut sama halnya dengan
menyalahi hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an
dan Hadis yang berlaku sepanjang masa untuk segala tempat.

Atas dasar ini hak dan kewajiban perempuan tidaklah sama dengan laki-
laki, baik dalam hukum-hukum ibadah, hukum-hukum keluarga maupun hukum-
hukum publik. Dapat dikatakan  dalam pemahaman aliran ini hak perempuan
adalah sebagian hak laki-laki. Kelompok ini menentang keras persamaan
kedudukan (kesetaraan gender)  antara laki-laki dan perempuan.

Kedua, Posisi laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara. Perempuan


memiliki kesempatan yang sama dengan kesempatan yang dimiliki oleh kaum
laki-laki, sebab antara keduanya terdapat potensi kemanusiaan yang sama baik
dalam hal intelektual, fisik maupun mental-spiritualnya. Perbedaan dari sisi
biologis tidaklah menjadi penghalang yang membatasi gerak seorang perempuan
untuk mengekpresikan hak dan kewajibannya di mata hukum dan sosial.
Berdasarkan hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam
menjalankan kehidupan mereka baik dalam ranah pribadi maupun publik.

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan penduduk terbanyak di


dunia. Dewasa  ini penduduk Indonesia diperkirakan sudah lebih dari 210 juta
jiwa. Dari jumlah yag besar tersebut 65 persen merupakan kaum perempuan yang
masih dalam usia produktif yaitu berkisar 15-60 tahun. Jumlah penduduk yang
besar tersebut, apabila dimanfaatkan dengan baik dan efektif, akan mampu
menjadi asset bagi pembangunan nasional dan merupakan sumber daya
pembangunan potensial. Sebaliknya, jika potensi yang mereka miliki  tidak
dikembangkan secara efektif, justru akan menjadi beban bagi bangsa dan
mengurangi nilai hasil pembangunan yang hendak dicapai. Berdasarkan hal itu
optimalisasi penduduk sebagai salah satu upaya dalam pembangunan SDM
(Sumber Daya Manusia) harus mempertimbangkan berbagai langkah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan, baik perempuan maupun laki-laki agar sama-
sama dapat memperoleh kesempatan dan berperan optimal dalam pembangunan
dan pencapaian kualitas bangsa yang lebih maju dan sejahtera (Said Agil Husin al
Munawar, 2005: 105).

Beberapa ketimpangan yang terjadi di Indonesia dapat terlihat dalam


beberapa variabel sebagai berikut: Pertama, kualitas perempuan Indonesia
menduduki peringkat paling rendah di ASEAN; Kedua, angka kematian ibu yang
melahirkan menduduki posisi tertinggi di ASEAN yaitu sekitar 308 per 100.000
kelahiran atau rata-rata 15.000 ibu meninggal setiap tahun karena
melahirkan; Ketiga, tingkat pendidika perempuan yang jauh tertinggal dari kaum
laki-laki yaitu sekitar 39 % perempuan tidak sekolah, hanya 13 % yang lulus
SLTP dan kurang dari 5 % yang lulus perguruan tinggi; Keempat, tingkat
pastisipasi angkatan kerja yang masih rendah dan hanya menduduki sector
informal dengan upah yang rendah; Kelima, kurangnya akses terhdapa bidang
ekonomi; Keenam, tingkat kekerasan terhadap perempuan yang sangat
tinggi; Ketujuh, hak asasi perempuan yang terabaikan; dan Kedelapan, di dalam
lembaga pemerintahan baik bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif posisi
perempuan masih sangat marginal (Said Agil Husin al Munawar, 2005: 107).  

Pemberdayaan potensi perempuan merupakan hal yang sangat penting


untuk dilaksanakan. Usaha tersebut telah dirintis oleh Pemerintah RI dalam
bentuk progam pemberdayaan perempuan sejak taun 1978. Yang mana di awali
dengan mendorong agar perempuan dapat melakukan kerja ganda yaitu sebagai
pembina rumah tangga, pencari nafkah dan pelaku pembangunan. Kemudian pada
program selanjutnya diarahkan pada kemitrasejajaran antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Berlandaskan pada komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat


kaum perempuan di Indonesia kemudian dikukuhkan dalam UU RI No 7 tahun
1984, tentang “Pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan”. Selain itu pemerintah juga meratifikasi
sejumlah konvensi ILO seperti konvensi ILO No 111 tahun 1985 dengan UU RI
No 21 Tahun 1999 tentang penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
(Said Agil Husin al Munawar, 2005: 106).
Sejalan dengan hal itu, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
mengarahkan pemberdayaan perempuan dalam dua  penekanan. Pertama,
meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melalui kebijakan nasional yang mampu mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender. Kedua, menigkatkan kualitas dan kemandirian organisasi
perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan, serta nilai
historis dari perjuangan kaum perempuan Indonesia di masa lalu untuk di
lanjutkan demi tercapainya kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Agama Islam merupakan agama yang menjunjug tinggi harkat dan


martabat seorang perempuan, hal ini dapat terlihat dari sejumlah hadis Nabi saw
yang memuliakan kaum perempuan diantaranya,

َ‫اع ْب ِن ُش ْب ُر َمةَ ع َْن َأبِي ُزرْ َعةَ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرة‬ ِ َ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َح َّدثَنَا َج ِري ٌر ع َْن ُع َما َرةَ ْب ِن ْالقَ ْعق‬
ِ َّ‫ق الن‬
‫اس بِ ُح ْس ِن‬ ُّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ َم ْن َأ َح‬َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫َر‬
َ ‫ال ثُ َّم َأبُو‬
‫ك‬ َ َ‫ك قَا َل ثُ َّم َم ْن ق‬ َ ‫ص َحابَتِي قَا َل ُأ ُّمكَ قَا َل ثُ َّم َم ْن قَا َل ثُ َّم ُأ ُّمكَ قَا َل ثُ َّم َم ْن قَا َل ثُ َّم ُأ ُّم‬َ

 “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah


menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' bin
Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia
berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sambil berkata; "Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling berhak aku berbakti kepadanya?" beliau menjawab:
"Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab:
"Ibumu." Dia bertanya lagi; "kemudian siapa lagi?" beliau
menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dia
menjawab: "Kemudian ayahmu."

Dari hadis ini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw sangat memuliakan
seorang perempuan. Ini jelas terlihat ketika beliau memberikan posisi yang lebih
bagi seorang perempuan, yang mana di masa itu posisi wanita berada jauh di
bawah kata “layak”. Wanita hanya dijadikan permainan bagi kaum laki-laki,
disiksa, ditindas dan diperdagangkan. Di masa itu derajat wanita sangatlah jauh
jatuh ke dalam kegelapan hingga kemudian datanglah agama Islam yang
mengubah “langit mendung” kehidupan seorang wanita dengan cahaya matahari
yang terang.

Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang


sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk berbuat dalam kehidupan di
masyarakat. Hal ini telah diisyaratkan Allah dalam QS. Ibrahim ayat 1 yang
artinya:

“ Alif lam ra, (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.

Seperti yang dijelaskan pada surat Al-Hadid ayat 9 berikut:

ٌ ‫ت اِلَى النُّ ۡو ِر‌ؕ َواِ َّن هّٰللا َ بِ ُكمۡ لَ َر ُء ۡو‬


‫ف‬ ُّ َ‫ت لِّي ُۡخ ِر َج ُكمۡ ِّمن‬
ِ ٰ‫الظلُم‬ ٍ ۭ ‫ه َُو الَّ ِذ ۡى يُنَ ِّز ُل ع َٰلى ع َۡب ِد ٖۤه ٰا ٰي‬
ٍ ‫ت بَيِّ ٰن‬
‫َّر ِح ۡي ٌم‬
“Dialah yang menurunkan ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) kepada
hamba-Nya (Muhammad) untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sungguh, terhadap kamu Allah Maha Penyantun, Maha
Penyayang”. (QS. Al-Hadid:9)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa di antara fungsi al-Qur’an adalah


sebagai pembebas manusia baik itu laki-laki maupun perempuan dari kegelapan
menuju cahaya. makna kegelapan yang ditafsirkan sebagai penindasan dan
kebodohan yang menyelimuti kehidupan manusia dan  yang bermakna cahaya 
ditafsirkan sebagai ilmu pengetahuan dan keadilan. Dengan demikian Islam hadir
dalam kehidupan manusia sebagai kerangka dalam bidang kemanusiaan
(kemaslahatan)  yang pada puncaknya bermuara pada pengabdian terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.

Para pemikir Islam sejak generasi awal, sahabat, generasi ulama mazhab
sampai generasi para pemikir fiqh seperti Abu Hamid al-Ghazali Fakhruddin al-
Razi, Izzuddin bin Abdussalam, Syihabuddin al-Qarafi, Najmuddin al-Thufi, Ibnu
Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah sampai Muhammad Abduh dan
Muhammad al-Thahir bin Asyur,menyepakat kemaslahatan umum sebagai dasar
sekaligus tujuan utama dari penerapan hokum Islam. Sebagaimana diungkapkan
oleh Abu Hamid al-Ghazali (Husein Muhammad, 2015),

“Kemaslahatan bermakna membawa kebaikan dan menolak


keburukan. Tetapi bukan ini yang dimaksud, karena ini merupakan
tujuan manusia. Sementara kemaslahatan yang dimaksud adalah
menjaga tujuan syariat. Tujuan syariat itu adalah perlindungan
terhadap lima hal yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap yang lima hal ini
adalah kemafsadatan (keburukan, kerusakan, kekacauan).
Menghindarkan kerusakan merupakan salah satu bentuk
kemaslahatan”.

Demikian pula yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Abdussalam yang


bermazhab Syafi’I,

“Tugas pokok manusia yang diamanatkan Tuhan adalah


bekerja demi kepentingan (Kemaslahatan/Kesejahteraan) hamba-
hambaNya. Dia tidak membutuhkan siapapun. Ketaatan manusia
kepada Tuhan tidaklah membuatNya memperoleh manfaat, dan
kedurhakaan manusia terhadap Allah tidaklah merugikan Dia
sedikitpun”.

Oleh karena itu beliau menegaskan,

” Syariat sepenuhnya adalah kemaslahatan, baik melalui cara-


cara menolak segala hal yang merusak maupun mengupayakan hal-hal
yang membawaan kepada kemaslahatan”.

Sejalan dengan hal di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah lebih menegaskan


dengan menyatakan:

“ Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan


kemaslahatan manusia kini dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya
rahmat, sepenuhnya maslahat, dan sepenuhnya bijak. Setiap
persoalan yang menyimpang dari keadilan kepada kezaliman, dari
rahmat kepada laknat, dari maslahat kepada mafsadat, dan dari
kebijaksanaan kepada kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari
syariah (hokum agama), walaupun dilakukan melalui upaya-upaya
intelektual”.

Seorang ulama Islam kontemporer yaitu Muhammad Thahir bin Asyur,


pakar pemikir Islam dewasa ini, selain menyetujui penegasan-penegasan yang
diungkapkan oleh ulama terdahulu, beliau juga memiliki pandangan tersendiri
yang menarik (Husein Muhammad, 2015),

“ Syariat Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di


dunia ini dan tidak untuk di akhirat. Kemaslahatan (kebaikan dan
kebahagiaan) di akhirat merupakan akibat dari kemaslahatan yang
diperoleh di dunia. Jikalau hokum agama berfungsi mengatur
perilaku manusia di dunia, maka perwujudan kemaslahatan itu tidak
mungkin kecuali bersifat dunia, sebagai prioritas utama”.

Pandangan ini menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya


dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Rumusan tersebut dikemukakannya
dalam rangka menegaskan bahwa kaum muslimin perlu memberikan apresiasi
yang lebih besar dalam sector sosial kemasyarakatan daripada sektor individual
(Husein Muhammad).

Di balik semua penegasan tersebut, prinsip yang utama dalam hal


kemaslahatan khususnya term gender ini adalah prinsip tauhid. Prinsip tauhid
merupakan prinsip utama yang menegaskan bahwa Tiada Tuhan selain Allah,
Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Pernyataan ini mengukukuhkan makna bahwa di
jagat raya ini tidak ada yang lebih berkuasa selain Allah semata. Eksistensi
keMahaagungannya tidak memerlukan pemaknaan teoritis, tetapi lebih pada
kerangkan kemanusiaan. Pemaknaan tauhid yang sejati mengandung gagasan
tentang pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi),
diskriminasi dan penindasan atas martabat manusia (dignity). Pada sisi lain, secara
teologis hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah
yang terhormat dengan konsekuensi keharusan manusia memandang sesamanya
sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam posisi yang sama, setara dan
diperlakukan adil. Kesetaraan, kemandirian dan keadilan merupakan makna dari
kata “taqwa” yang telah berulang kali diungkapkan baik di dalam al-Qur’an
maupun di dalam hadis. ( Husein Muhammad, 2015).

Pemaknaan tauhid yang seperti ini menjadi sangat fundamental bagi isu-
isu gender. Para feminis muslim telah menempatkan prinsip ini sebagai titik
sentral dalam seluruh bangunan pemikiran dan tafsir mereka mengenai hak-hak
perempuan. Kesetaraan manusia merupakan cahaya dari tauhid.

Sumber-sumber utama ajaran Islam dikategorikan ke dalam bentuk teks


universal dan teks particular. Teks universal merupakan teks yang mengandung
pesan-pesan kemanusiaan untuk segala ruang dan waktu. Padanya termuat
prinsip-prinsip fundamental atau disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Sementara kategori kedua yaitu teks particular merupakan teks yang merujuk pada
kasus tertentu. Teks-teks ini sering muncul sebagai respon atas suatu kejadian.

Jika terjadi pertentangan antara teks universal dengan teks particular maka


teks particular membatasi berlakunya teks universal. Teks particular harus
diutamakan. Pandangan ini ditolak keras oleh al-Syatibi, yang mana menurutnya
aturan-aturan universal bersifat normative dan qath’i. sedangkan aturan-
aturan particular bersifat relatif dan spekulatif. Oleh sebab iu hukum umum dan
ketentuan universal harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam
menganalisis petunjuk hokum petunjuk-petunjuk hokum yang bersifat khusus.
Aturan-aturan khusus yang tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat
umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual)
bagi aturan-aturan umum (Husein Muhammad, 2015).

Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa laki-laki adalah qawwam


(pemimpin) bagi kaum wanita sebagaimana yang tertulis dalam QS. Al-Nisa’ ayat
34, yang artinya :

 “ Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”

Sementara dalam QS al-Hujurat ayat 13 disebutkan

َ‫ارفُ ۡوا‌ ؕ اِ َّن اَ ۡك َر َم ُكۡـم ِع ۡن َد هّٰللا ِ ا‬ ۤ


َ ‫ٰياَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ۡق ٰن ُكمۡ ِّم ۡن َذ َك ٍر َّواُ ۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكمۡ ُشع ُۡوبًاـ َّوقَبَ ِٕٓاٮ َل لِتَ َع‬
‫ۡت ٰقٮ ُكمۡ‌ ؕ اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ۡي ٌم خَ بِ ۡي‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…”

Dari dua ayat di atas terlihat bahwa QS al-Nisa’: 34 menjadi dasar utama
dalam menjustifikasi otoritas bagi kaum laki-laki sebagai kelompok superior dan
mayoritas. Sementara QS al-Hujurat: 13 menegaskan kesetaraan hubungan dan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan hal ini al-Syathibi
berpendapat bahwa ayat yang berkaitan dengan kesetaraan manusia bersifat pasti,
tetap dan berlaku universal. Sementara ayat kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan merupakan berlaku sesuai konteks. Kontekstualisasi itu bukan berarti
teks particular itu tidak dipakai atau terhapus, melainkan dimaknai kembali
sejalan dengan konteks sosialnya yag berubah. Ha ini terutama dilakukan oleh
ulama generasi awal terutama para mujahid besar Islam (Husein Muhammad,
2015)

Dapat dipahami bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki


kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama dalam mengekspresikan
gagasan pemikirannya di tengah kehidupan masyarakat global yang semakin hari
semakin mengalami kemajuan baik dalam hal tatanan kehidupan sosial-politik
maupun dalam ranah perkembangan teknologi.

Indonesia merupakan Negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN,


juga menaruh perhatian yang besar, berkenaan dengan isu gender tersebut.
Indonesia telah memulai pemberdayaan perempuan sejak zaman dahulu hingga di
masa sekarang ini. Hingga saat ini telah banyak perempuan di Indonesia yang
memperoleh haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan UUD. Berkaca pada
masa lalu, tepatnya pada masa perjuangan kemerdekaan, telah tercatat dalam
sejarah perjuangan masyarakat Indonesia khususnya perempuan Indonesia seperti
Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Raden Ajeng Kartini.

Di antara tokoh-tokoh perjuangan perempuan Indonesia tersebut, RA


Kartini dikenal sebagai tokoh feminis dan pendidikan, beliau merupakan symbol
emansipasi wanita di Indonesia. Berbicara soal pemikiran, pemikiran RA Kartini
telah jauh melampaui batas zamannya, apalagi di kalangan perempuan Bumi
putera (Rosalind Horton; Sally Simmons, 2006).

Buku yang berjudul Door Duisternis toot Licht (Habis Gelap Terbitlah


Terang), telah merangkum kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya.
Kumpulan surat-surat tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan Kartini
untuk memberantas buta huruf yang di nusantara. Penerbitan surat-surat tersebut
telah menarik perhatian pemerintah Belanda, pemikirannya mulai mengubah
pandangan Pemerintah Belanda tentang perempuan Jawa. Oleh karena jasanya
yang begitu besar bagi kesetaraan kesempatan bagi perempuan di masanya, di
tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan RA Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini
pada tanggal 21 April sebagai salah satu Hari Besar Nasional yang disebut sebagai
Hari Kartini (Rosalind Horton; Sally Simmons, 2006).

Kisah perjuangan RA Kartini di atas, telah menjadi salah satu bukti nyata
bahwa feminism (kesetaraan gender) telah masuk di Indonesia sejak masa
perjuangan kemerdekaan dan hingga saat ini masih tetap di jaga oleh rakyat
Indonesia sebagai salah satu hak dasar yang di miliki oleh setiap warga negaranya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa di Indonesia tidak hanya kaum laki-laki
yang bisa menjadi “nahkoda” penggerak Negara, namun di dalamnya juga
terdapat peran perempuan. Ini dapat dibuktikan dengan pernah Indonesia di
pimpin oleh seorang Presiden wanita, Megawati Soekarno Putri.

Berkaitan dengan hal ini, telah diterangkan Allah dalam firmanNya QS al-
Nisa ayat 34,yang artinya :

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.
Setiap manusia dianjurkan untuk berusaha dalam menjalani hidup, tidak
berpangku tangan dan bermalas-malasan, karena apa yang diperoleh oleh manusia
baik laki-laki maupun perempuan adalah karena usahanya sendiri. Jika
bersungguh-sungguh Allah akan memberi ganjaran yang setimpal, tetapi jika
sebaliknya, menjalani hidup hanya dengan berpangku tangan Allah pun akan
memberi ganjaran sesuai yang mereka usahakan.

Kata ‫اكتسبوا‬  dan ‫اكتسبن‬ diartikan dengan “yang mereka usahakan”, terambil


dari kata ‫كسب‬ kasaba. Penambahan huruf ta’ pada kata itu sehingga
menjadi ‫اكتســبوا‬  dalam berbagai bentuknya menunjukkan adanya kesungguhan
serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu
dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh (Sukma Sari
Dewi Chan, 2014).

Jika kata iktasabu dipahami sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ragib


al-Asfahani, maka ayat ini seakan-akan menyatakan, jangan mengangan-angankan
keistimewaan yang dimiliki seseorang atau jenis kelamin yang berbeda dengan
jenis kelaminmu, karena keistimewaan yang ada pada dirinya itu adalah usaha
sendiri, baik dengan bekerja keras membanting tulang dan pikiran, maupun karena
fungsi yang diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan
kecendrungan jenisnya. Lelaki mendapatkan dua bagian dari perempuan, atau
ditugaskan berjihad dan sebagainya, karena potensi yang terdapat di dalam
dirinya. Harta benda, kedudukan, dan nama adalah karena usahanya. Perempuan
pun demikian, melahirkan dan menyusukan, atau keistimewaannya memperoleh
maskawin dan dipenuhi kebutuhannya oleh suami, atau harta benda yang
diperolehnya ini semua karena usahanya sendiri atau karena potensi serta
kecenderungan yang ada pada dirinya sebagai jenis kelamin wanita (Sukma Sari
Dewi Chan, 2014).

Dari penjelasan yang panjang di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:

a. Perempuan memiliki kemampuan yang luar biasa yang jarang dimiliki


oleh laki-laki. Memperbolehkannya bekerja akan membuahkan
kemaslahatan untuk masyarakat, sedang menghalangi keterlibatannya
bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan
kelebihannya.
b. Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan,
apalagi kalau itu memang spesialisasinya perempuan, seperti menjadi
bidan dan lain-lain, maka pelanggaran terhadap hal tersebut adalah sesuatu
yang keliru. Yang perlu ditambahkan adalah ketika keluar rumah untuk
bekerja, perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian yang
terhormat.
c. Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya. Kalau di
wilayah pertanian dapat ditemukan contoh dengan mudah, di mana kaum
perempuan banyak yang terlibat di sawah dan juga perkebunan. Di
perkotaan misalnya, kalau suaminya dosen membantu mempersiakan
makalah, mencari referensinya, membantu pengetikan dan lain-lain.
d. Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan
kebutuhan hidup keluarganya, jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya
atau kalaupun ada itu tidak mencukupi. 

Pada prinsipnya Islam tidak melarang perempuan bekerja di dalam


maupun di luar rumah secara mandiri atau bersama-sama, dengan swasta atau
pemerintah, siang atau malam, selama pekerjaan itu ia lakukan dengan cara
terhormat, serta mereka dapat menjalankan tuntunan agama serta dapat
menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia lakukan itu
terhadap diri, keluarga, dan lingkungannya. Islam tidak juga menetapkan jumlah
jam-jam tertentu dan hati-hati tertentu untuk bekerja.

B. Islam Dan Pluralisme Agama

Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan wajah agama


secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat
Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan
dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau
kecurigaan di antara mereka.

Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu


teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang menempati
posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an
merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islam-
terhadap agama lain---pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas
umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah
SWT: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat 49:
13).

Bila kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan,
pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri
sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi
ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada orang
Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas
pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus
diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.
Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen
untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan
interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.

Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama
orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk
memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang
tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu
dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah)
dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan
kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian
berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka
berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat
kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang
perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah: 48).

Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya


dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak
kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an,
bahwa Islam telah memberi karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini
bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl al-kitab,
shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik,
Islam malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama Kristen sebagai
manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani
sebagai kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat
dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).

Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai


agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’
inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia
menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia
menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika
Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan
beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan
mereka sendiri? (Q.S. Yunus: 99).

Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan


beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita
semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita.
Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam.
Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan,
paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama.

Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya
menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah
paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah
menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia
tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru
berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan
keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar
Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama
yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama,
dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan
(kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab!
Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu
bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang
lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64).

Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun


dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak
mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan?
Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain
(termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih
luas: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi,
Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari
kemudian dan mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari
Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka” (Q.S
2: 62).

Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang
diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha
Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan
116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang
yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang
siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat
diampuni Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak
dapat diampuni Tuhan.
C. Islam & Civil Society

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-


nilai kemanusiaan, maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu dalam sejarah filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat islam
juga dikenal istilah madinah atau polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang
maju, berperadaban dan lebih mementingkan kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi.

Dalam al-Qur’an Allah memberikan instruksi masyarakat ideal, sebagai gambaran


dari masyarakat madani dengan firman-Nya:

“ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun”. (Saba:15)

Kata madani merupakan penyifatan terhadap kota madinah, yaitu sifat yang
ditunjukkan oleh kondisi dan system kehidupan yang berlaku di kota madinah.
Kondisi dan system kehidupan out menjadi popular dan dianggap ideal untuk
menggambarkan masyarakat yang islami, sekalipun penduduknya terdiri dari
berbagai macam keyakinan. Mereka hidup rukun, saling membantu, taat hukum
dan menunjukkan kepercayaan penuh terhadap pimpinan. Al-Qur’an menjadi
konstitusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang terjadi di antara
penduduk Madinah.

Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat


madani, yaitu:

1. Masyarakat negeri Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman AS.


Keadaan masyarakat Saba’ yang dikisahkan dalam al-Qur’an itu mendiami
negeri yang baik, subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan
tanaman yang subur, tesedia rizki yang melimpah, terpenuhi kebutuhan
hidup masyarakat. Oleh karena itu, Allah memerintahkan masyarakat
Saba’ untuk bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan
hidup mereka. Tapi sayangnya, setelah beberapa waktu berlalu, penduduk
negeri ini kemudian ingkar (kafir) dan maksiat kepada Allah, sehingga
mereka mengalami kebinasaan. ( Qs. Saba’:16).

16. tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir
yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari
pohon Sidr

1. Masyarakat kota Yastrib setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah


antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah
yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan
Khazraj. Madinah adalah nama kota di negara Arab Saudi, sebagai nama
baru kota Yastrib, tempat yang didiami oleh Rasulullah SAW sampai akhir
hayat beliau sesudah hijrah. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.

B.     Karakteristik Masyarakat Madani

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:


1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi
sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan
demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran
pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku
demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang
lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi
yang meliputi:
o Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
o Pers yang bebas
o Supremasi hukum
o Perguruan Tinggi
o Partai politik
1. Toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta
aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Tidak
mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allag
sebagai kebebasan manusia.
2. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu
terhadap lingkungannya
3. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan
sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
4. Damai, artinya masing-masing kelompok masyarakat, baik secara individu
maupun secara kelompok menghormati pihka lain secara adil.
5. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang
dapat mengurangi kebebasannya.
6. Berperadaban tinggi, yaitu masyarakat tersebut memiliki kencintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengtahuan
untuk memberikan kemudahan dan meningkat harkat martabat manusia.
7. Berakhlak Mulia.
8. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat
madani di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang
belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisi moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum teserap karena lapangan
kerja yang terbatas.
5. Pemutusn Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang
besar.
6. Kondisi sosial politik yang belum pasca reformasi.
 
Dalam QS. Ali Imran: 110, Allah menyatakan bahwa umat islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok umat manusia yang Allah ciptakan. Diantara
aspek kebaikan umat islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding
umat non islam.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan
dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup
dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan
motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran. Prinsip terciptanya
masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para
pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai
sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Pembangunan yang dilakukan oleh Rasulullah adalah pembangunan yang
mengacu pada sistem ilahi, dan dikerjakan secara bertahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan. Membersihkan mental masyarakat dari kemusyrikan,
kezaliman, dan kebodohan. Yakni memantapkan keyakinan atau aqidah
atau kepercayaan kepada Allah. Maka manusia akan bersikap jujur, adil,
berwibawa, tegas dan sopan santun. Kalau kebenaran sudah dijungkir
balikan, hukum diinjak-injak, mereka akan bangkit membelanya. Allah
menyatakan : (Surat Al-Fath/48:29 ).
“ Muhammad dan orang-orang yang bersamanya itu tegas terhadap
orang-orang kafir (yang mengganggunya), tetapi kasih sayang terhadap
sesamanya”.
2. Tahap Penggalangan. Rasulullah SAW tiba di yastrib pada hari Jum’at
tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama Hijriah. Pada hari itu juga Yatrib
diganti namanya menjadi Madinah. Langkah yang ditempuh adalah:
1. Menyatukan visi dan misi yang diikat dengan persaudaraan.
2. Menanamkan rasa kasih sayang dan persamaan derajat atau
tingkatan, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain,
kecuali takwanya.
3. Mengadakan perjanjian perdamaian, kerukunan umat beragama.
4. Toleransi dalam menjalankan keyakinan agama atau kepercayaan,
tidak adanya paksaan dalam beragama.
5. Menata sistem hukum, pranata perundang-undangan.
6. Tahap Pemberdayaan. Menerapkan diberikannya kepada mereka
kebebasan melakukan kegiatan, tetapi harus di dalam koridor
peraturan yang ada. Semangat iman, dan semangat disiplin itulah
yang mengantarkan manusia menjadi muttaqiin. Jiwa iman dan
taqwa inilah yang melandasi orang dalam setiap kegitaannya,
apapun pekerjaan dan profesinya. Rasulullah memberikan motivasi
kepada setiap orang, bahwa apa yang dikerjakan itu pasti akan
mendapat balasan, tidak hanya berupa upah di dunia tetapo pahala
juga di akherat. Bekerjalah setiap perkerjaan akan dimudahkan
Allah. Beliau bersabda:
“ Dari Ali Bin Abi Thalib r.a berkata: datang seseorang kepada Rasulullah SAW
dan berkata: apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada Allah? Rasul SAW
menjawab: tidak, bekerjalah kamu segala sesuatu itu dimudahkan, kemudian
membaca ayat: “maka barangsiapa yang memberi dan bertaqwa serta
membenarkan adanya pahala kebaikan pasti akan kami mudahkan baginya”.
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman maka
perlu ditekankan untuk mewujudkan masyarakat madani selain apa yang sudah
dilakukan oleh Rasulullah SAW, antara lain:
1. Membangkitkan semangat islam melalui pemikiran islamisasi ilmu
pengetahuan, islamisasi kelembagaan ekonomi melalui lembaga ekonomi
dan perbankan syariah dan lain-lain.
2. Kesadaran untuk maju dan selalu bersikap konsisten terhadap moral atau
akhlak islami.
3. Menegakkan hukum islam dan ditegakkannya keadilan dengan disertai
komitmen yang tinggi.
4. Ketulusan ikatan jiwa, sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang
lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini
5. Adanya pengawasan sosial.
6. Menegakkan nilai-nilai hubungan sosial yang luhur dan prinsip demokrasi
( musyawarah ). 
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam
terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan
di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi,
politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat
terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu,
seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain. Oleh
karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman pemberdayaan
civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:
1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan
pendapatan dan pendidikan.
2. Sebagai advokasi bagi masyarakat yang “teraniaya”, tidak berdaya
membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena
pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak
dan lain-lain).
3. Sebagai kontrol terhadap negara.
4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan
(pressure group).
5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak
antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang
lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat
sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara assosiasi
tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun
Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. SIMPULAN
Tantangan keberagamaan di masa mendatang bukan tantangan doktrinal
melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat
mendasar: konflik sosial, kekerasan dan ketidakadilan. Di sini dibutuhkan visi
keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi. Agama
sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan
kemanusiaan yang bersifat universal. Karenanya, agama mesti dipaksa beranjak
dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik dan budaya, sehingga mampu
memberikan dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu.
Karenanya, keberagamaan kita akan ditentukan sejauhmana pergulatan kita
dengan realitas kemanusiaan. Agama diharapkan dapat memberikan jawaban riil
dari sekadar mengedepankan simbol dan romantisme. Pandangan Sayyed Hussen
Nasr ini sejalan dengan pemahaman Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo,
Komaruddin Hidayat dan lain-lainnya bahwa Iman berimplikasi internal dan
eksternal, artinya pemahaman batiniyah (esoterik) mestinya terwujud dalam lokus
sosial (eksoterik), sehingga pluralisme agama bukanlah hambatan, namun
merupakan suatu rahmat Tuhan dalam merajut kehidupan bersama agama lain

B. SARAN
Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta
kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga
tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh
hati, sehingga akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah.
Pendidikan agama Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk
memperteguh keyakinan pada agamanya, juga harus diorientasikan untuk
menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal
ini, semua materi buku-buku yang diajarkannya tentunya harus menyentuh
tentang isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk
menyusun bentuk kurikulum pendidikan agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA

Afifi, al-Hadi, Muhammad, (1964), al-Tarbiyah wa al-Taghoyyur al-


Tsaqafi, Kairo: Maktabah Angelo al-Mishriyyah.

Allen, Dougles, 1978, Structure and Creativity in Religion. The Houge


the Netherlands: Mountan Publisher.
Arkoun, Mohammed, 2001, Islam Kontemporer: menuju Dialog antar
agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi, 1998, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan


Islam, Tradisi dan Modernisme Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Barnadib, Imam, 1994, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode,
Yogyakarta, Andi Ofset.
Basri, Ghazali at al, (1991), An Integrated Education System In A
Multifaith and Multi-Cultural Country, Malaysia: Muslim Yuth Movement
Malaysia.
Basuki, Singgih, A., (1999), “Kesatuan dan Keragaman Agama Dalam
Pandangan Hazrat Inayat Khan”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Nomor 21, TH.
VIII Januari-April, h. 151.
Beck, Clive, (1990), Better Schools: A Value Perspective, Britain: The
Falmer Press, Taylor and Francis ICC.

Bogdan, Robert, C. and Biklen, Knoop, Sari, Qualitative Research for


Education, an Introduction to Theory and Methode, Boston: Allyn and Bacon,
1993: 2
Bulac, Ali, 1998, “The Medina Document”, dalam Charles Kurzman
(eds.), Liberal Islam, New York: Oxford University Press.
Darmaningtyas, (1999), Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis,
Yogyakarta: 1999.

Anda mungkin juga menyukai