Disusun Oleh:
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga kami dapat
menyelesaikan dan menyusun makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul
“ISLAM DAN PLURALISME“. semoga makalah ini bisa membantu para
pembaca dan pelajar. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam. Dan untuk menamba wawasan
tentang Islam dan Pluralisme .
Demikian makalah ini, semoga bermanfat bagi kita semua yang emmbaca
dan mempelajarinya.
(Penulis)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Islam dan Gender........................................................................................
B. Islam Dan Pluralisme Agama.....................................................................
A. Simpulan.....................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Ayat ini menjelaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh
semua kelompok agama yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan
agamanya berhubungan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat yaitu
memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir,dan beramal shalih.
Berkenaan dengan hal itu Allah juga telah memberikan isyarat tentang
manusia merupakan zoon politicon dalam QS. Al-Hujurat : 13
Ayat ini berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Kata ذكر و انثى ( dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan) ditafsirkan sebagai Adam dan Hawa.
Ini menunjukkan bahwa umat manusia yang banyak dan tersebar di berbagai
belahan bumi ini berasal dari Ayah dan Ibu yang sama (Ali Ash-Shabuni, 2011:
46) , sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ishaq al-Mushilli yang dikutip oleh al-
Maraghi:
Atas dasar ini hak dan kewajiban perempuan tidaklah sama dengan laki-
laki, baik dalam hukum-hukum ibadah, hukum-hukum keluarga maupun hukum-
hukum publik. Dapat dikatakan dalam pemahaman aliran ini hak perempuan
adalah sebagian hak laki-laki. Kelompok ini menentang keras persamaan
kedudukan (kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan.
َاع ْب ِن ُش ْب ُر َمةَ ع َْن َأبِي ُزرْ َعةَ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرة ِ ََح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َح َّدثَنَا َج ِري ٌر ع َْن ُع َما َرةَ ْب ِن ْالقَ ْعق
ِ َّق الن
اس بِ ُح ْس ِن ُّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ َم ْن َأ َحَ ِ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى َرسُو ِل هَّللا ِ َر
َ ال ثُ َّم َأبُو
ك َ َك قَا َل ثُ َّم َم ْن ق َ ص َحابَتِي قَا َل ُأ ُّمكَ قَا َل ثُ َّم َم ْن قَا َل ثُ َّم ُأ ُّمكَ قَا َل ثُ َّم َم ْن قَا َل ثُ َّم ُأ ُّمَ
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw sangat memuliakan
seorang perempuan. Ini jelas terlihat ketika beliau memberikan posisi yang lebih
bagi seorang perempuan, yang mana di masa itu posisi wanita berada jauh di
bawah kata “layak”. Wanita hanya dijadikan permainan bagi kaum laki-laki,
disiksa, ditindas dan diperdagangkan. Di masa itu derajat wanita sangatlah jauh
jatuh ke dalam kegelapan hingga kemudian datanglah agama Islam yang
mengubah “langit mendung” kehidupan seorang wanita dengan cahaya matahari
yang terang.
“ Alif lam ra, (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Para pemikir Islam sejak generasi awal, sahabat, generasi ulama mazhab
sampai generasi para pemikir fiqh seperti Abu Hamid al-Ghazali Fakhruddin al-
Razi, Izzuddin bin Abdussalam, Syihabuddin al-Qarafi, Najmuddin al-Thufi, Ibnu
Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah sampai Muhammad Abduh dan
Muhammad al-Thahir bin Asyur,menyepakat kemaslahatan umum sebagai dasar
sekaligus tujuan utama dari penerapan hokum Islam. Sebagaimana diungkapkan
oleh Abu Hamid al-Ghazali (Husein Muhammad, 2015),
Pemaknaan tauhid yang seperti ini menjadi sangat fundamental bagi isu-
isu gender. Para feminis muslim telah menempatkan prinsip ini sebagai titik
sentral dalam seluruh bangunan pemikiran dan tafsir mereka mengenai hak-hak
perempuan. Kesetaraan manusia merupakan cahaya dari tauhid.
Dari dua ayat di atas terlihat bahwa QS al-Nisa’: 34 menjadi dasar utama
dalam menjustifikasi otoritas bagi kaum laki-laki sebagai kelompok superior dan
mayoritas. Sementara QS al-Hujurat: 13 menegaskan kesetaraan hubungan dan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan hal ini al-Syathibi
berpendapat bahwa ayat yang berkaitan dengan kesetaraan manusia bersifat pasti,
tetap dan berlaku universal. Sementara ayat kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan merupakan berlaku sesuai konteks. Kontekstualisasi itu bukan berarti
teks particular itu tidak dipakai atau terhapus, melainkan dimaknai kembali
sejalan dengan konteks sosialnya yag berubah. Ha ini terutama dilakukan oleh
ulama generasi awal terutama para mujahid besar Islam (Husein Muhammad,
2015)
Kisah perjuangan RA Kartini di atas, telah menjadi salah satu bukti nyata
bahwa feminism (kesetaraan gender) telah masuk di Indonesia sejak masa
perjuangan kemerdekaan dan hingga saat ini masih tetap di jaga oleh rakyat
Indonesia sebagai salah satu hak dasar yang di miliki oleh setiap warga negaranya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa di Indonesia tidak hanya kaum laki-laki
yang bisa menjadi “nahkoda” penggerak Negara, namun di dalamnya juga
terdapat peran perempuan. Ini dapat dibuktikan dengan pernah Indonesia di
pimpin oleh seorang Presiden wanita, Megawati Soekarno Putri.
Berkaitan dengan hal ini, telah diterangkan Allah dalam firmanNya QS al-
Nisa ayat 34,yang artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.
Setiap manusia dianjurkan untuk berusaha dalam menjalani hidup, tidak
berpangku tangan dan bermalas-malasan, karena apa yang diperoleh oleh manusia
baik laki-laki maupun perempuan adalah karena usahanya sendiri. Jika
bersungguh-sungguh Allah akan memberi ganjaran yang setimpal, tetapi jika
sebaliknya, menjalani hidup hanya dengan berpangku tangan Allah pun akan
memberi ganjaran sesuai yang mereka usahakan.
Bila kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan,
pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri
sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi
ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada orang
Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas
pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus
diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.
Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen
untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan
interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.
Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama
orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk
memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang
tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu
dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah)
dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan
kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian
berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka
berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat
kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang
perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah: 48).
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya
menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah
paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah
menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia
tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru
berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan
keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar
Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama
yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama,
dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan
(kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab!
Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu
bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang
lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64).
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang
diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha
Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan
116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang
yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang
siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat
diampuni Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak
dapat diampuni Tuhan.
C. Islam & Civil Society
“ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun”. (Saba:15)
Kata madani merupakan penyifatan terhadap kota madinah, yaitu sifat yang
ditunjukkan oleh kondisi dan system kehidupan yang berlaku di kota madinah.
Kondisi dan system kehidupan out menjadi popular dan dianggap ideal untuk
menggambarkan masyarakat yang islami, sekalipun penduduknya terdiri dari
berbagai macam keyakinan. Mereka hidup rukun, saling membantu, taat hukum
dan menunjukkan kepercayaan penuh terhadap pimpinan. Al-Qur’an menjadi
konstitusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang terjadi di antara
penduduk Madinah.
16. tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir
yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari
pohon Sidr
B. SARAN
Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta
kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga
tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh
hati, sehingga akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah.
Pendidikan agama Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk
memperteguh keyakinan pada agamanya, juga harus diorientasikan untuk
menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal
ini, semua materi buku-buku yang diajarkannya tentunya harus menyentuh
tentang isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk
menyusun bentuk kurikulum pendidikan agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA