Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN PALIATIF

PADA PENYAKIT LEUKIMIA


Dosen Pengampu: Ns.Dwi Retnaningsih,S.Kep.,M.Kes,M.Kep
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok keperawatan paliatif

Disusun Oleh:
Kelompok 8

1. Trisna Kurniasih Sundari 1905061


2. Wahyu Dyah Titis S 1905062
3. Widia Kristianti 1905063
4. Wulan Dhari 1905064
5. Yulius Andre C 1905065
6. Yusuf Eka Saputra 1905066
7. Yusuf Lutfi A 1905067
8. Alya Salsabila 1905068
9. Nur Fahmida 1905069

PROGRAM D III AKADEMIK KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN DAN KETEKNISAN MEDIS
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
T.A 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga makalah Trend Isue Keperawatan Paliatif ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Dan tidak lupa sholawat serta salam penulis hanturkan
kepada Junjungan kita Nabi Muhammad Saw semoga saya dan para pembaca
makalah ini mendapat syafaatnya diyaumul akhir nanti. Makalah ini bertujuan untuk
menjelaskan serta memaparkanmengenai trend dan issue keperawatan paliatif pada
penyakit leukimia pada mata kuliah keperawatan paliatif.

Dengan selesainya makalah trend dan isue keperawatan paliatif ini, penulis
berharap dapat berbagi pengetahuan tentang bagaimana trend dan issue keperawatan
paliatif pada penyakit stroke. Penulis sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga
makalah ini bermanfaat tidak hanya bagi penulis tapi bagai para pembaca.

Sekian makalah ini penulis buat jika ada kata kata yang berkenan penulis
memohon maaf, dan terimakasih atas partisipasinya.

Semarang, 14 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1. Latar Belakang................................................................................................................1
2. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI......................................................................................................3
1. Definisi Leukimia............................................................................................................3
2. Konsep Keperawatan Paliatif..........................................................................................3
2.1. Pengertian Perawatan Paliatif..................................................................................4
2.2. Penyakit Terminal....................................................................................................5
2.3. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif......................................................................5
2.4. Tujuan dan Sasaran Kebijakan................................................................................6
2.5. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif......................................................................7
2.6. Prinsip Dari Perawatan Paliatif Care.......................................................................7
2.7. Paliatif Care Plan (rencana asuhan keperawatan paliatif).......................................7
2.8. Peran Spiritual Dalam Paliatif Care.........................................................................7
2.9. Psyco Oncologi dalam paliatif care.........................................................................8
2.10. Tata Laksana Paliatif pada Pasien Kanker Dewasa..............................................13
2.11. Evaluasi Perawatan Paliatif..................................................................................14
3. Konsep Leukimia..........................................................................................................16
4. Etiologi Leukimia..........................................................................................................19
5. Pathofisiologi................................................................................................................20
6. Pathways.......................................................................................................................21
7. Tanda Gejala Leukimia.................................................................................................21
8. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................22
9. Komplikasi....................................................................................................................22
10. Keperawatan Paliatif Pada Leukimia..........................................................................23
11. Proses Keperawatan......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................51

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang

Leukimia merupakan salah satu penyakit kanker dimana perjalanan penyakit


dimulai di sumsum tulang dengan dihasilkannya jumlah sel darah yang lebih dari
jumlah normal dan tidak mengalami pematangan yang sempurna yang dikenal dengan
dengan blast atau sel leukemic. Leukimia pada awalnya menurut Virchow pada tahun
1847 sebagai “darah putih” yaitu penyakit neoplastic yang ditandai oleh poliferasi
abnormal dari sel-sel hematopietik.Leukimia merupakan kelompok penyakit yang
sangat heterogen dimana setiap penderita berbeda dalam hal pathogenesis, prognosis
dan respon terhadap pengobatan. Sel leukemia tersebut juga ditemukan dalam darah
perifer dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan
kelenjar limfe. Leukimia merupakan kanker yang insidensinya paling sering terjadi
pada anak-anak. Pada populasi anak, leukimia terjadi pada umumnya adalah Leukimia
Limfositik Akut (LLA) dan Leukimia Mielositik Akut (LMA).Salah satu penyakit
yang mengancam kehidupan seseorang adalah kanker. Terdapat berbagai jenis kanker
salah satunya kanker darah atau disebut Leukemia.
Perawatan paliatif merupakan perawatan total secara aktif terhadap tubuh,
pikiran, dan jiwa yang turut melibatkan pemberian dukungan kepada keluarga. Jenis
kegiatan paliatif meliputi: penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain,
asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan kultural dan
spiritual, dukungan persiapan dan selama masa berkabung (bereavement). Penelitian
tentang pengaruh perawatan paliatif terhadap pasien kanker stadium akhir (literature
review)yang dilakukan oleh Irawan berdasarkan 30 literatur yang
dianalisa,disimpulkan perubahan yang terjadi pada kanker stadium akhir
menyebabkan perubahan kualitas hidup karena kualitas hidup terdiri dari empat
dimensi yaitu, dimensi fisik, psikologis, hubungan social, dan lingkungan yang tidak
hanya ditangani dengan kuratif tapi perlu pendekatan yang lebih personal pada
fisik,psikologi, social dan spiritual sehingga dapat disimpulkan bahwa perawatan
paliatif sangat berperan dalam tercapainya kualitas hidup maksimal pada kanker
stadium IV sehingga mengurangi sakit ataupun persiapan kematian.
Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna
untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar keperawatan dan
kode etik dalam menangani pasien dengan diagnosa leukimia. Dalam makalah ini
kami sebagai penulis akan menerangkan asuhan keperawatan pada konsep teori
penyakit leukimia dengan asuhan keperawatan pada kasus penyakit leukimia.

2.2. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep keperawatan paliatif


2. Untuk mengetahui konsep leukimia
3. Untuk mengetahui etiologi atau penyebab dari leukimia
4. Untuk mengetahui pathofisiologi leukimia
5. Untuk mengetahui pathways leukimia
6. Untuk mengetahui tanda dan gejala leukimia
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang leukimia
8. Untuk mengetahui penyakit komplikasi leukimia
9. Untuk mengetahui keperawatan paliatif pada leukemia
10. Untuk mengetahui proses keperawatan leukimia
11. Untuk mengetahui penapisan paliatif pada leukimia

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Definisi Leukimia

Leukemia adalah kanker yang terjadi pada sel hematopoetik pembentuk sel
darah di sumsum tulang yang bisa menyebabkan infiltrasi atau penyebaran ke
peredaran darah, sistem limfatik, atau organ lainnya. ( Centers for Disease Control
and Prevention. cdc.gov). Leukemia merupakan penyakit kanker sistemik yang
menyerang sel darah putih yang dapat menimbulkan berbagai masalah pada semua
aspek kehidupan yaitu fisik, psikologis, dan sosial. Leukemia adalah kanker yang
disebabkan oleh pertumbuhan tidak normal pada sel darah putih (leukosit), dimana sel
darah putih muda tidak menjadi matang seperti seharusnya melainkan menjadi sel
yang dikenal sebagai sel leukemia (Yayasan Kanker Indonesia (YKI), 2008).
Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya poliferasi (pertumbuhan sel
imatur) sel leukosit yg ganas dan abnormal, serta sering disertai adanya leukosit
dengan jumlah yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia
trombositopenia. (Hidayat, 2006). WHO mengembangkan klasifikasi LLA
berdasarkan sitogenetik dan karakteristik molekular. LLA terbagi atas 2 kelompok
besar yaitu B lymphoblastic leukemia/lymphoma (LLA-B) dan T lymphoblastic
leukemia/ lymphoma (LLA-T). B lymphoblastic leukemia/lymphomaterdiri atas dua
tipe, yaitu B lymphoblastic leukemia/lymphoma not otherwise specified(NOS) dan B
lymphoblastic leukemia/lymphoma with reccurent genetic abnormalities, yang terdiri
atas 7 subtipe (Yenni, 2014).

2. Konsep Keperawatan Paliatif

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:


812/Menkes/SK/VII/2007 tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian
nyata sangat besar. Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis,stroke, Parkinson, gagal
jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/ AIDS yang
memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh

3
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada
stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga
perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan
keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan,
gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada
stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik,namun
juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukandengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
(Doyle & Macdonald, 2003: 5).
Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi
terminal yang akansegera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif
menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik,
psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan paliatif adalah
pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan
berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan
perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.(Doyle & Macdonald, 2003: 5).Rumah sakit
yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di
5 (lima) ibu kota propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan
Makassar. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah dokter yang mampu
memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas. Keadaan sarana
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata sedangkan pasien
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan
holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan
arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan
paliatif. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007)

2.3. Pengertian Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki


kualitas hidup pasien dankeluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan
melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan
masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI

4
NOMOR: 812, 2007). Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas
hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien
sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup,
harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup. Dimensi dari kualitas hidup
yaitu Gejala fisik, Kemampuan fungsional (aktivitas), Kesejahteraan keluarga,
Spiritual, Fungsi sosial, Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah
keuangan), Orientasi masa depan, Kehidupan seksual, termasuk gambaran
terhadap diri sendiri, Fungsi dalam bekerja. Menurut KEPMENKES RI NOMOR:
812, 2007 Palliative home care adalah pelayanan perawatan paliatif yang
dilakukan di rumah pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan/
pengawasan tenaga paliatif.
Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal
yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus
dilakukan di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit,
tetapi dapat memberikan pelayaan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada,
dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.Menurut KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007 Sarana (fasilitas) kesehatan adalah tempat yang
menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat.Kompeten adalah
keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampu menerima
dan memahami informasi yang diperlukan dan mampu membuat keputusan
secara rasional berdasarkan informasi tersebut (KEPMENKES RI NOMOR: 812,
2007).

2.4. Penyakit Terminal

Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang


menuju ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau
penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi
obat-obatan, tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di
atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian. (White, 2002).

2.5. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif

(Kepmenkes Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007


1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
- Penatalaksanaan nyeri

5
- Penatalaksanaan keluhan fisik lain
- Asuhan keperawatan
- Dukungan psikologis
- Dukungan sosial
- Dukungan kultural dan spiritual
- Dukungan persiapan dan selama masa duka cita
- Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap,rawat jalan, dan
kunjungan/rawat rumah.
Secara psikologis bila seseorang menghadapi proses kehilangan akan
mengalami serangkaian proses kejiwaan (menurut Dr.Elisabeth Kublerr-Ross,
1969)
1. Menolak/mengingkar (denial)
tidak siap menerima keadaan dengan menunjukkan berbagai reaksi
menolak
2. Marah (Anger) Karena tidak dapat mengingkari kenyataan dirinya
menderita penyakit serius yg mengancam kehidupan.
3. Tawar-menawar (Bargaining)
Kemarahan mereda, malahan kesannya sudahmenerima, pasien menawar
waktu untuk hiduplebih lama.
4. Kemurungan (Depresi) pasien cenderung untuktidak banyak bicara,
mungkin banyak menangis.Perawat sebaiknya duduk tenang dekat
pasiensambil melakukan sentuhan dan komunikasiterapeutik
5. Menerima atau Pasrah (Acceptance) pasien dan memahami dan
menerima kenyataan tentang hal-hal yang akan terjadi kematian.

2.6. Tujuan dan Sasaran Kebijakan

Tujuan umum kebijakan palliative sebagai payung hukum dan arahan bagi
perawatan paliatif di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah
terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di
seluruh Indonesia, tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan
paliatif, tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana
dan prasarana yang diperlukan.Sasaran kebijakan pelayanan paliatif adalah
seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang

6
memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di seluruh Indonesia.
Untuk pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya
dan tenaga terkait lainnya. Sedangkan Institusi-institusi terkait, misalnya:sDinas
kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, Rumah Sakit pemerintah
dan swasta, Puskesmas, Rumah perawatan/hospis, Fasilitas kesehatan pemerintah
dan swasta lain. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

2.7. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif

Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri,


penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis,
dukungan social, dukungan kultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama
masa dukacita (bereavement). Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap,
rawat jalan, dan kunjungan /rawat rumah. (KEPMENKES RI NOMOR: 812,
2007).

2.8. Prinsip Dari Perawatan Paliatif Care

Menghormati atau menghargai martabat dan harga diri dari pasient dan
keluarga pasien. Dukungan untuk caregiver, Palliateve care merupakan accses
yang competent dan compassionet, Mengembangkan professional dan social
support untuk pediatric palliative care, Melanjutkan serta mengembangkan
pediatrik palliative care melalui penelitian dan pendidikan (Ferrell, & Coyle,
2007: 52).

2.9. Paliatif Care Plan (rencana asuhan keperawatan paliatif)

Melibatkan seorang partnership antara anak, keluarga, orang tua, pegawai,


guru, staff sekolah dan petugas keseatan yang professional, Suport phisik,
emosinal, pycososial, dan spiritual khususnya, elibatkan anak pada self care,
Anak memerlukan atau membutuhkan gambaran dan kondisi (kondisi penyakit
terminalnya) secara bertahap, tepat dan sesuai, Menyediakan diagnostic atau
kebutuhan intervensi terapeutik guna memperhatikan/memikirkan konteks tujuan
dan pengaharapan dari anak dan keluarga (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003:
42)

2.10. Peran Spiritual Dalam Paliatif Care

7
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama
dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit
fisik yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan medis menyadari
pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan.
(Woodruff , 2004: 1)
Sebuah pendekatan kasihan kebutuhan ini meningkatkan kemungkinan
pemulihan atau perbaikan. Dalam contoh terburuk, ia menawarkan kenyamanan
dan persiapan untuk individu melalui proses traumatis penyakit terakhir sebelum
kematian. (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003 :101).Studi pasien dengan
penyakit kronis atau terminal telah menunjukkan insiden tinggi depresi dan
gangguan mental lainnya. Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi adalah
sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan hilangnya fungsi agunan.
Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu yang berkaitan dengan
spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam keadaan
seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian. (Ferrell & Coyle, 2007: 848).Spiritual dan
keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul dengan isu-isu sehari-hari
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka yang
menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah diamati
bahkan pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit untuk serius tetapi non-
terminal penyakit. (Ferrell & Coyle, 2007: 52). Studi lain telah menunjukkan
bahwa persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60 menemukan hiburan
dalam agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi,
sampai batas tertentu, dengan kehidupan. Agama kekhawatiran di sakit parah
mengasumsikan berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut
akan neraka dan perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka.
Sering menghormati dan memvalidasi individu dorongan agama dan keyakinan
adalah setengah pertempuran ke arah menyiapkan mereka untuk suatu 'baik'
kematian (Ferrell & Coyle, 2007: 1171)

2.11. Psyco Oncologi dalam paliatif care

Psycho Onkologi adalah berkaitan dengan sosial, psikologis, etika dan


perilaku segi kanker. Sebagai bidang studi dan praktek medis, onkologi dan
psikologi. Ini adalah studi tentang aspek-aspek kanker yang melampaui batas-

8
batas perawatan medis. (Ferrell & Coyle, 2007: 67). Ini adalah semua termasuk
wilayah yang bersangkutan dengan beberapa disiplin ilmu yang berhubungan
dengan onkologi bunga. Merangkul ini pembedahan dan obat-obatan, pediatri,
radioterapi, imunologi, epidemiologi, biologi, endokrinologi, patologi, rehabilitasi
obat-obatan, psikiatri dan psikologi dan uji klinis penelitian dengan pengambilan
keputusan. (Doyle, Hanks and Macdonald, 200 :213). Psycho Onkologi kadang-
kadang disebut sebagai psiko-onkologi sosial karena minat patuh perilaku dan
psikososial topik. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan pengobatan
psikologis, sosial, spiritual, emosional dan aspek fungsional kanker melalui
semua tahap, dari pencegahan, penyakit grafik, sampai kehilangan. Tujuan akhir
psiko-onkologi adalah untuk memperbaiki, di seluruh dunia, perawatan dan
kesejahteraan pasien kanker dan keluarga mereka.( Doyle, Hanks and Macdonald,
2003:103).
Perawatan paliatif mencakup berbagai layanan, namun tujuan jelas.
Sasarannya adalah untuk menawarkan pasien, terserang penyakit serius, terminal
atau sebaliknya, sistem pendukung memimpin menuju kehidupan senormal
mungkin. Ini berarti mengendalikan rasa sakit dan gejala menyedihkan lain
individu mungkin mengalami baik karena penyakit atau pengobatan yang
berkaitan dengannya. Perawatan paliatif mencakup perawatan rohani dan
psikologis. Hal ini juga berusaha untuk menawarkan sistem dukungan keluarga
dalam membantu individu beradaptasi dan mengatasi krisis. (Doyle, Hanks and
Macdonald, 2003 :7). Pada intinya, perawatan paliatif adalah setiap bentuk
perawatan medis atau perawatan untuk penyakit yang berfokus pada intensitas
mengurangi gejala penyakit. Oleh karena itu, dapat disimpulkanbahwa tujuan
psiko-onkologi dan perawatan paliatif berjalan sejajar satu sama lain. (Doyle,
Hanks and Macdonald, 2003: 108)
(Cemy, 2012)
Indikasi pelayanan paliatif
Pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila didapatkan satu
atau lebih kondisi di bawah ini :
a. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi
b. Stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi kanker
c. Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya

9
d. Permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang akan atau
sedang dilakukan
e. Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
f. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanofsky < 50%, metastasis
otak, dan leptomeningeal, metastasis di cairan interstisial, vena cava superior
sindrom, kaheksia, serta kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak
respon terhadap tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin ≥2,5 mg/dl,
kreatinin ≥3 mg/dl ). *tidak berlaku pada pasien kanker anak
g. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan terapi yang
diberikan .
Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Membantu pasien dalam membuat Advanced care planning (wasiat atau
keingingan terakhir)
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang muncul
4. Tata laksana gejala ( sesuai panduan dibawah )
5. Informasi dan edukasi perawatan pasien
6. Dukungan psikologis, kultural dan sosial
7. Respon pada fase terminal: memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan
keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya: penghentian atau tidak
memberikan pengobatan yang memperpanjang proses menuju kematian
(resusitasi, ventilator, cairan, dll)
Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal
Melakukan evaluasi seperti , apakah :
1. Nyeri dan gejala lain teratasi dengan baik
2. Stress pasien dan keluarga berkurang
3. Merasa memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi yang ada
4. Beban keluarga berkurang
5. Hubungan dengan orang lain lebih baik
6. Kualitas hidup meningkat
7. Pasien merasakan arti hidup dan bertumbuh secara spiritual
Jika Pasien MENINGGAL
1. Perawatan jenazah
2. Kelengkapan surat dan keperluan pemakaman

10
3. Dukungan masa duka cita ( berkabung )
5. Tim dan tempat pelayanan paliatif
Dalam mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien kanker, yaitu
mengurangi penderitaan pasien , beban keluarga, serta mencapai kualitas hidup
yang lebih baik, diperlukan sebuah tim yang bekerja secara terpadu ( lihat tabel
tim paliatif ). Pelayanan paliatif pasieen kanker juga membutuhkan keterlibatan
keluarga dan tenaga relawan. Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar
bidang ilmu dalam menentukan tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan
dilakukan guna mencapai tujuan ), tim paliatif secara berkala melakukan diskusi
untuk melakukan penilaian dan diagnosis, untuk bersama pasien dan keluarga
membuat tujuan dan rencana pelayanan paliatif pasien kanker, serta melakukan
monitoring dan follow up.
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program secara
keseluruhan harus memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan
kesehatan bekerja sebagai tim multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan
mengkoordinasikan erat dengan tokoh masyarakat dan organisasi yang terlibat
dalam program ini, untuk mencapai tujuan bersama. Komposisi tim perawatan
paliatif terdiri :
a. Dokter
Dokter memainkan peran penting dalam pelayanan paliatif
interdisipliner, harus kompeten di kedokteran umum, kompeten dalam
pengendalian rasa sakit dan gejala lain, dan juga harus akrab dengan prinsip-
prinsip pengelolaan penyakit pasien. Dokter yang bekerja di pelayanan paliatif
mungkin bertanggung jawab untuk penilaian, pengawasan dan pengelolaan
dari banyak dilema pengobatan sulit.
b. Perawat
Merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama
dengan pasiensehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui
pasien dan pengasuh,menilai secara mendalam apa yang terjadi dan apa yang
penting bagi pasien, dan untuk membantu pasien mengatasi dampak kemajuan
penyakit. Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam
membuat rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan
c. Pekerja sosial dan psikolog

11
Perannya membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi
masalah pribadi dan sosial,penyakit dan kecacatan, serta memberikan
dukungan emosional/konseling selama perkembangan penyakit dan proses
berkabung. Masalah pribadi biasanya akibat disfungsikeuangan, terutama
karena keluarga mulai merencanakan masa depan.
d. Konselor spiritual
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak
menghakimi, mampu menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna
kehidupan. Sering juga berfungsi sebagai orang yang dipercaya sekaligus
sebagai sumber dukungan terkait tradisi keagamaan,pengorganisasian ritual
keagamaan dan sakramen yang berarti bagi pasien kanker. Sehingga konselor
spiritual perlu dilatih dalam perawatan akhir kehidupan.
e. Relawan
Peran relawan dalam tim perawatan paliatif akan bervariasi sesuai
dengan pengaturan.Di negara sumber daya rendah atau menengah, relawan
dapat menyediakan sebagian besar pelayanan untuk pasien. Relawan yang
termasuk dalam rumah sakit dan tim pelayanan paliatif membantu profesional
kesehatan untuk memberikan kualitas hidup yang optimal bagi pasien dan
keluarga. Relawan datang dari semua sektor masyarakat, dan sering
menyediakan link antara institusi layanan kesehatan dan pasien. Memasukkan
relawan dalam tim pelayanan paliatif membawa dimensi dukungan masyarakat
dan keahlian masyarakat. Dengan pelatihan dan dukungan tepat, relawan dapat
memberikan pelayanan langsung kepada pasien dan keluarga, membantu
tugas-tugas administratif, atau bahkan bekerja sebagai konselor. Selain itu,
dapat berperan membantu meningkatkan kesadaran, memberikan pendidikan
kesehatan, menghasilkan dana, membantu rehabilitasi, atau bahkan
memberikan beberapa jenis perawatan medis.
f. Apoteker
Terapi obat merupakan komponen utama dari manajemen gejala
dalam pelayan paliatif, sehingga apoteker memainkan peranan penting.
Apoteker memastikan bahwa pasien dan keluarga memiliki akses penting ke
obat-obatan untuk pelayanan paliatif. Keahlian apoteker juga dibutuhkan untuk
mendukung tim kesehatan dengan memberikan informasi mengenai dosis obat,
interaksi obat, formulasi yang tepat, rute administrasi, dan alternatif

12
pendekatan.Morfin dan obat-obatan lain yang sesuai diperlukan untuk
pelayanan paliatif. Banyak negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah, akses terhadap obat-obatan tidak hanya dibatasi oleh kurangnya
apoteker untuk mengeluarkan obat-obatan, tetapi juga oleh biaya obat-obatan
yang relatif tinggi sehingga sulit dijangkau bagi banyak pasien kanker. Untuk
itu, apoteker, bahkan mereka dengan keterampilan dasar yang cukup dan
pelatihan yang terbatas sangat penting untuk pelayanan paliatif.
g. Dukun
Peran obat tradisional dan dukun juga diakui. Di seluruh dunia,
sekitar dua pertiga dari pasien kanker meminta pertolongan berobat pada terapi
komplementer atau alternatif (Ott, 2002). Dalam banyak hal, dukun biasanya
tidak menjadi anggota tim perawatan paliatif. Namun demikian, harus ada
ruang untuk sebuah wacana terbuka antara penyedia layanan kesehatan dan
dukun dengan maksud untuk mengkoordinasikan upaya-upaya mereka dalam
mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka, yang sensitif dan
menghormati, dengan mempertimbangkan beragam budaya masyarakat dan
individu

2.12. Tata Laksana Paliatif pada Pasien Kanker Dewasa

1. Komunikasi dan pembuatan keputusan


Komunikasi antara dokter dan petugas kesehatan lain dengan pasien
dan keluarga serta antara pasien dan keluarga merupakan hal yang penting
dalam perawatan paliatif. Pasien adalah pribadi yang harus dihargai haknya
untuk mengetahui atau tidak mengatahui kondisi penyakitnya. Pasien juga
merupakan individu yang berhak menentukan tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya jika pasien masih memilki kompetensi untuk membuat
keputusan. Pada fase akhir kehidupan banyak pasien yang tidak lagi mampu
membuat keputusan, sehingga pembicaraan tentang apa yang akan atau tidak
dilakukan sebaiknya diputuskan pada saat pasien masih memiliki kesadaran
penuh.
Walaupun demikian keluarga tetap dapat dilibatkan dalam
pengambilan keputusan. Dalam menyampaikan BERITA BURUK, hal hal
berikut ini harus diperhatikan: Apa, sejauh mana, kapan, dengan siapa dan
bagaimana cara menyampaikan berita tersebut. Dalam hal ini, dokter dan

13
petugas kesehatan lain harus memperhatikan kultur yang dianut pasien dan
keluarga.
2. Kualitas hidup
Meningkatnya kualitas hidup pasien kanker merupakan indikator
keberhasilan pelayanan paliatif. Kualitas hidup pasien kanker diukur dengan
Modifikasi dari Skala Mc Gill. Terdapat 10 indikator yang harus dinilai oleh
pasien sendiri, yaitu :
Indikator Nilai 1-10

Secara fisik saya merasa Sangat buruk Sangat baik


Saya tertekan atau cemas Selalu Tidak pernah
Saya sedih Selalu Tidak pernah
Dalam melihat masa depan Selalu takut Tidak takut
Keberadaan saya Sangat berarti tanpa tujuan Sangat berarti dan
bertujuan
Saya Tidak dapat Sangat dapat mengobrol
hidup
Saya sebagai pribadi Tidak baik Sangat baik
Hari saya sebagai Beban Sebagai angerah
Saya merasa Tidak mendapat dukungan Mendapat dukungan secara
penuh
Dalam mencapai tujuan Tidak mencapai Mencapai tujuan
hidup

2.13. Evaluasi Perawatan Paliatif

a. Evaluasi terhadap gejala yang ada:


1. Apa penyebab gejala tersebut (kanker, anti kanker dan pengobatan lain,
tirah baring, kelainan yang menyertai)
2. Mekanisme apa yang mendasari gejala yang muncul? (misalnya: muntah
karena tekanan intrakranial yang meningkat berlainan dengan muntah
karena obstruksi gastrointestinal)
3. Adakah hal yang memperberat gejala yang ada (cemas, depresi,
insomnia, kelelahan)

14
4. Apakah dampak yang muncul akibat gejala tersebut? (misalnya: tidak
bisa tidur, tidak nafsu makan, tidak dapat beraktifitas)
5. Pengobatan atau tindakan apa yang telah diberikan? Mana yang tidak
bermanfaat?
6. Tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebabnya?
b. Evaluasi terhadap pasien:
1. Seberapa jauh progresifitas penyakit ? Apakah gejala yang ada
merupakan
gejala terminal atau sesuatu yang bersifat reversible?
2. Apa pendapat pasien terhadap gejala tersebut?
3. Bagaimana respon pasien?
4. Bagaimana fungsi tubuh? (Gunakan KARNOFSKY RATING SCALE)
c. Penjelasan
Penjelasan terhadap penyebab keluhan yang muncul sangat
bermanfaat untuk mengurangi kecemasan pasien. Jika dokter tidak
menjelaskan, mungkin pasien bertambah cemas karena menganggap dokter
tidak tahu apa yang telah terjadi dalam dirinya.
d. Diskusi
Diskusikan dengan pasien pilihan pengobatan yang ada, hasil yang
dapat dicapai dengan pilihan yang tersedia, pemeriksaan yang diperlukan,
dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan pengobatan. Pengobatan
bersifat individual, tergantung pada pilihan yang tersedia, manfaat dan
kerugian pada masing masing pasien dan keinginan pasien dan keluarga.
Pengobatan yang diberikan terdiri dari:
1. Atasi masalah berdasarkan penyebab dasar : atasi penyebabnya bila
memungkinkan (Pasien dengan nyeri tulang karena metastase, lakukan
radiasi bila memungkinkan. Pasien dengan sesak nafas karena spasme
bronkus, berikan bronkodilator)
2. Prinsip pengobatan : setiap obat opioid dimulai dengan dosis terendah,
kemudian lakukan titrasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dan
dapat mencegah penderitaan dan penurunan kualitas hidup akibat efek
samping obat tersebut.

15
3. Terapi fisik : selain dengan obat, modalitas lain diperlukan untuk
mengatasi gejala misalnya relaksasi, pengaturan posisi, penyesuaian
lingkungan dll.
e. PERHATIAN KHUSUS
Walaupun gejala yang ada tidak dapat diatasi penyebabnya,
mengatasi keluhan secara simtomatis dengan memperhatikan hal hal kecil
sangat bermanfaat (misalnya jika operasi, kemoterapi atau radiasi pada
kanker esofagus tidak dapat lagi diberikan, pengobatan untuk jamur di
mulut akan bermafaat bagi pasien). Gunakan kata tanya “Mengapa” untuk
dapat mengatasi mencari penyebab gejala. (misalnya: seorang pasien kanker
paru muntah. Pasien tidak hiparkalsemia atau dengan opioid. Mengapa
pasien muntah?)
f. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien, gejala yang ada dan dampak pengobatan
yang diberikan sangat diperlukan karena pada stadium lanjut,karena
keadaan tersebut dapat berubah dengan cepat.
a. Nyeri
Nyeri adalah keluhan yang paling banyak dijumpai pada pasien
kanker stadium lanjut. Nyeri juga merupakan keluhan yang paling
ditakuti oleh pasien dan keluarga. 95% nyeri kanker dapat diatasi dengan
kombinasi modalitas yang tersedia, termasuk memberikan perhatian
terhadap aspek psikologi, sosial, dan spiritual

2.14. Konsep Leukimia


Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel
ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia diklasifikasikan akut,
sedangkan jika yang dominan adalah sel matur maka diklasifikasikan sebagai
leukemia kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia
mieloid dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia mieloid meliputi granulositik,
monositik, megakriositik dan eritrositik. Salah satu manifestasi klinis dari leukemia
adalah perdarahan. Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan berupa
ptekie, purpura atau ekimosis, yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukemia akut
pada saat didiagnosis. Lokasi perdarahan yang paling sering adalah pada kulit, mata,
membran mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna. Perdarahan yang mengancam

16
jiwa biasanya terjadi pada saluran cerna dan sistem saraf pusat, selain itu juga pada
paru, uterus dan ovarium. Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat dari
berbagai kelainan hemostasis.

Perdarahan yang mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akut dan
merupakan masalah yang serius. Perdarahan menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada leukemia akut terutama pada leukemia mielositik akut dengan
diferensiasi monositik dan leukemia promielositik akut. Komplikasi perdarahan
mengakibatkan mortalitas 7 – 10% pada pasien leukemia akut yang terjadi dalam
beberapa hari atau minggu pertama setelah diagnosis.
Penyebab tersering perdarahan pada leukemia adalah trombositopenia.
Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari
infiltrasi ke sumsum tulang atau kemoterapi, namun bisa juga karena koagulasi
intravaskuler diseminata, proses imunologis dan hipersplenisme sekunder terhadap
pembesaran limpa. Selain trombositopenia, perdarahan dapat juga akibat disfungsi
trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.

Trombositopenia

Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk mempertahankan


hemostasis normal. Pada keadaan normal jumlah trombosit darah berkisar 150.000 –
400.000/mm3 . Trombositopenia adalah istilah untuk jumlah trombosit yang kurang
dari nilai normal tersebut. Trombositopenia biasanya tidak mempunyai manifestasi
klinis hingga jumlah trombosit 100.000/mm3 , bahkan hingga 50.000/mm3
sekalipun. Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada jumlah trombosit <
20.000/mm3 . Perdarahan akibat trombositopenia merupakan komplikasi paling
sering dari leukemia akut. Gaydos et al. (1962) yang pertama kali melaporkan
adanya hubungan antara perdarahan dengan jumlah trombosit pada leukemia akut.
Manifestasi perdarahan akibat trombositopenia dapat berupa ptekie atau purpura,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga perdarahan
otak. Webert et al. (2006) melaporkan berbagai tingkat perdarahan yang terjadi pada
58,4% pasien leukemia mieolositik akut akibat trombositopenia. Berkurangnya
jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya merupakan akibat infiltrasi sumsum
tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain
seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan hipersplenisme

17
sekunder terhadap pembesaran limpa. Trombositopenia yang terjadi bervariasi dan
hampir selalu ditemukan pada saat leukemia didiagnosis /mm3 .

Penghitungan jumlah trombosit dapat dilakukan secara manual atau dengan


alat automatik. Hitung trombosit dengan alat automatik dipengaruhi oleh beberapa
hal seperti adanya agregat trombosit akibat agregasi spontan, cold aglutinin atau
partikel debris seperti fragmen eritrosit dan leukosit. Untuk itu penting dilalukan
konfirmasi dengan inspeksi pada sediaan hapus darah tepi. Sediaan hapus darah tepi
dapat memberikan informasi mengenai ukuran dan morfologi trombosit serta
konfirmasi jumlah trombosit. Perkiraan kasar jumlah trombosit dengan evaluasi
sediaan hapus darah tepi dalam keadaan normal terdapat kira-kira 10 – 20 trombosit
per lapangan imersi (kira-kira satu trombosit per 10 – 20 eritrosit). Jika perlu, hitung
trombosit dapat dilakukan dengan hemositometer menggunakan mikroskop fase
kontras.

Disfungsi trombosit

Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun


jumlah trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada ± 30%
pasien leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi
berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, serta kelainan pelepasan
PF3, defisiensi granula- penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari
trombosit. Manifestasi perdarahan yang muncul akibat gangguan fungsi trombosit
pada leukemia mielositik kronik dapat berupa perdarahan mukokutan, perdarahan
retina dan hematuria. Hal ini disebabkan oleh berkurang atau tidak adanya agregasi
trombosit dalam merespon ADP, epinefrin atau kolagen. Pada pasien ini akan
didapatkan waktu perdarahan yang memanjang. Patogenesis kelainan fungsi
trombosit yang ditemukan pada leukemia ini masih belum jelas. Beberapa faktor
diduga sebagai penyebab perubahan fungsional dari trombosit seperti kelainan
interaksi hemostasis di sirkulasi pada saat aktivasi dan reaksi pelepasan trombosit.
Kemungkinan lain adalah kelainan produksi trombosit yang primernya merupakan
gangguan struktur dan fungsi megakariosit. Transfusi trombosit harus diberikan pada
disfungsi trombosit meskipun jumlah trombositnya normal. Sitaferesis trombosit
dapat mengurangi perdarahan bila disfungsi trombosit berhubungan dengan
trombositosis yaitu jumlah trombosit > 700.000/mm3. Metode yang dapat digunakan

18
untuk menilai fungsi trombosit yaitu waktu perdarahan, tes agregasi trombosit dan
automated functional analyzers. Waktu perdarahan cara Ivy adalah tes fungsi
trombosit sederhana dengan mengukur lama waktu perdarahan pasien setelah
dilakukan insisi kecil pada kulit. Pemeriksaan ini banyak mempunyai keterbatasan
diantaranya reprodusibilitas rendah, sensitifitas masih dipertanyakan dan tidak cocok
untuk pemeriksaan serial serta korelasi yang lemah dengan tendensi perdarahan.

Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)

Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah suatu sindrom


yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan
dan penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga menimbulkan trombus
mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan
multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung menyebabkan konsumsi
faktor pembekuan dan trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan
komplikasi perdarahan berat. KID bukanlah suatu penyakit tetapi terjadinya
sekunder terhadap penyakit lain yang mendasari.

(Dia Rofinda, 2012)

2.15. Etiologi Leukimia

Penyebab dari penyakit leukemia tidak diketahui secara pasti. Faktor yang
diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia (Padila, 2013) yaitu:
a. Radiasi Berdasarkan laporan riset menunjukkan bahwa :
1) Para pegawai radiologi berisiko untuk terkena leukemia.
2) Pasien yang menerima radioterapi berisiko terkena leukemia.
3) Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan
Nagasak di Jepang.
b. Faktor Leukemogenik Terdapat beberapa zat kimia yang dapat mempengaruhi
frekuensi leukemia :
1) Racun lingkungan seperti benzena : paparan pada tingkat-tingkat yang tinggi
dari benzene pada tempat kerja dapat menyebabkan leukemia.
2) Bahan kimia industri seperti insektisida dan Formaldehyde.
3) Obat untuk kemoterapi : pasien-pasien kanker yang dirawat dengan obat-obat
melawan kanker tertentu adakalanya dikemudian hari mengembangkan

19
leukemia. Contohnya, obat-obat yang dikenal sebagai agen alkylating
dihubungkan dengan pengembangan leukemia bertahun-tahun kemudian.
4) Herediter Penderita sindrom down, suatu penyakit yang disebabkan oleh
kromosom abnormal mungkin meningkatkan risiko leukemia, yang memiliki
insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
5) Virus dapat menyebabkan leukemia menjadi retrovirus, virus leukemia feline,
HTLV- pada dewasa.

Adapun hal lain terkait etiologi leukemia akut berhubungan dengan obesitas
dan merokok. Kelainan genetic seperti Down Syndrome dan Li Fraumeni
Syndrome juga berperan meningkatkan risiko leukemia akut.Pasien yang mendapat
terapi imunosupresan dan/atau kemoterapi meningkatkan risiko terjadinya acute
myeloid leukemia (AML). Acute lymphocytic leukemia pada pasien dewasa
berhubungan dengan infeksi virus T-lymphotropic tipe 1, Epstein Barr, dan keadaan
imunodefisiensi, misalnya yang diakibatkan oleh HIV.

Etiologi chronic lymphocytic leukemia masih belum diketahui


sementara chronic myeloid leukemia diketahui berhubungan dengan paparan benzena
dan radiasi. Radiasi dapat menyebabkan mutasi, delesi, atau translokasi DNA. Hal ini
dibuktikan dengan meningkatnya insiden leukemia akut pada kelompok yang berhasil
selamat dari bom atom dan radiografer yang terpapar radiasi tinggi.

2.16. Pathofisiologi

LLA dicirikan oleh proliferasi limfoblas imatur. Pada tipe leukemia


akut, kerusakan mungkin pada tingkat sel puncak limfopoietik atau prekursor limfoid
yang lebih muda. Sel leukemia berkembang lebih cepat daripada sel normal, sehingga
menjadi crowding out phenomenon di sumsum tulang. Perkembangan yang cepat ini
bukan disebabkan oleh proliferasi yang lebih cepat daripada sel normal, tetapi sel-sel
leukemia menghasilkan faktor-faktor yang selain menghambat proliferasi dan
diferensiasi sel darah normal, juga mengurangi apoptosis dibandingkan sel darah
normal ( Yenni,2014). Perubahan genetik yang mengarah ke leukemia dapat
mencakup ( Yenni,2014) yaitu :
1) Aktivasi gen yang ditekan (protogen) untuk membuat onkogen yang menghasilkan
suatu produk protein yang mengisyaratkan peningkatan proliferasi;
2) Hilangnya sinyal bagi sel darah untuk berdiferensiasi;

20
3) Hilangnya gen penekan tumor yang mengontrol proliferasi normal; dan
4) Hilangnya sinyal apoptosis.

2.17. Pathways

21
2.18. Tanda Gejala Leukimia

Gejala klinis ( Nikmatiah dkk, 2016) , sebagai berikut:


- Kegagalan sumsum tulang belakang
a. Anemia (pucat, letargi, dan disnea)
b. Neutropenia (demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit,
saluran perianus, atau bagian lainya)
c. Trombositopenia (memar, spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragian
d. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak, selakangan atau perut
(akibat limpa atau hati yang membesar).
- Infiltrasi organ
a. Nyeri tulang
b. Limfadenopati
c. Splenomegaly
d. Sindrom menigen (nyeri kepala, mual dan muntah, penglihatan kabur, dan
diplopia)
e. Mimisan yang berulang
f. Kulit pucat
g. Kelelahan dan terasa lemah
h. Demam, menggil atau berkeringat yang berlebihan pada malam hari
i. Sakit kepala
j. Mudah berdarah atau memar

2.19. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (pada 43% kasus


kadar hemoglobin <7 g/dL) normokromik dan normositik (tanpa peningkatan
kompensatorik dari retikulosit), trombositopenia (pada 28% kasus hitung trombosit
<50.000/mm3), dan leukopenia atau leukositosis (pada 17% kasus hitung white blood
cell (WBC) 50.000/mm3 dan 53% dengan WBC <10.000 sel/mm3). Peningkatan
kadar asam urat darah dapat ditemukan karena pergantian seluler cepat pada pasien
dengan peningkatan jumlah WBC. Kadar elektrolit kalium dan fosfat dapat meningkat
dengan penurunan kompensatorik kalsium.
Biopsi sumsum tulang melalui pungsi lumbal perlu dilakukan untuk
menentukan proporsi sel punca dalam sumsum tulang. Dicurigai adanya suatu
leukemia bila populasi sel punca >5%. Pengecatan sitokimiawi dapat membantu
dalam menentukan jenis leukemia akut, limfoid atau mieloid. Immunophenotyping
dilakukan untuk menganalisis antigen spesifik pada permukaan sel hematopoietik.
Walaupun tidak terdapat antigen spesifik leukemia yang diidentifikasi, pola antigen

22
permukaan sel dapat menunjukkan perbedaan antara leukemia limphoid dan mieloid.
Analisis sitogenetik sumsum tulang bermanfaat untuk menentukan adanya non-
random numerical dan abnormalitas kromosom struktural pada sel-sel leukemia;
selain itu juga dapat membantu menentukan diagnosis, prognosis, dan evaluasi respon
terhadap terapi. Foto dada dilakukan untuk skrining massa mediastinal (umumnya
pada LLA sel T) ( Yenni,2014 ).

2.20. Komplikasi

Menurut Zelly, 2012 komplikasi leukimia yaitu :


1. Trombositopenia
Berkurangnya jumlah trombosit pada leukimia akut biasanya merupakan
akibat infiltrasi sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu dapat disebabkan oleh
beberapa factor lain seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis
dan hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa. Trombositopenia yang
terjadi bervariasi dan hamper selalu ditemukan pada saat leukimia didiagnosis.
2. Koagulasi intravaskuler diseminata (KD)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KD) adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan
dan penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga menimbulkan thrombus
mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan
multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung menyebabkan konsumsi
factor pembekuan dan trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan
komplikasi pendarahan berat. KID bukanlah suatu penyakit tetapi terjadinya
sekunder terhadap penyakit lain yanhg mendasari.
3. Fibronolisis Primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa leukosit pada leukimia akut memiliki
aktivitas fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibronolisis primer terutama pada
leukimia promielisitik akut. Pada fibrinolysis primer, perdarahan disebabkan oleh
degradasi factor pembekuan yang diinduksi plasmin seperti fibrinogen.

2.21. Keperawatan Paliatif Pada Leukimia

1. Perawatan paliatif

Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim


paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan

23
bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan kondisi
pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini,
penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain, baik
masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002) dan pelayanan masa
dukacita bagi keluarga (WHO, 2005) dalam Pedoman teknis pelayanan paliatif
kanker, 2013). Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang
bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Kemenkes (2013), menjelaskan prinsip pelayanan paliatif pasien kanker :

1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain


2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal
3. Tidak bertujuan mempercepat atau menunda kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa duka cita
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya
8. Menghindari tindakan sia-sia.
Perawatan paliatif berupaya menringankan penderitaan yang sudah
sakit parah dan tidak dapat disembuhkan seperti misalnya kanker stadium akhir,
penderita penyakit motor neuron, penyakit degeneratif saraf dan penderita
HIV/AIDS. Pada akhirnya penderita diharapkan dapat menjalani hari-hari
sakitnya dengan semangat dan tidak putus asa serta memberi dukungan agar
mampu melakukan hal-hal yang masih bisa dilakukan dan bermanfaat bagi
spiritual penderita.
Intinya perawatan ini lebih berupa dukungan dan motivasi ke
penderita. Perawatan paliatif bisa mengeksplorasi individu penderita dan
keluarganya bagaimana memberikan perhatian khusus terhadap penderita,
penanggulangannya serta kesiapan untuk menghadapi kematian. Langkah-
langkah dalam pelayanan paliatif (Kemenkes, 2013), adalah :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Memahami pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial
4. Tatalaksana gejala

24
5. Informasi dan edukasi
6. Dukungan psikologis, kultural dan sosial
7. Respon fase terminal
8. Pelayanan pasien fase terminal
Aktifitas perawatan paliatif pada penderita :
1. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam menjalani
kehidupan sehari-hari
2. Membantu kemampuan penderita untuk mentolerir penatalaksanaan medis
3. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan yang dipilih
Aktifitas perawatan paliatif pada keluarga :
1. Membantu keluarga memahami pilihan perawatan yang tersedia
2. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi kekhawatiran
dari orang yang dicintai (asuhan keperawatan keluarga)
3. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga
Pelayanan asuhan keperawatan penderita meliputi pemenuhan
kebersihan diri (mandi, berhias, kebersihan mulut, perawatan kuku), kebutuhan
nutrisi, kebutuhan tidur dan kenyamanan tempat tidur dan memfasilitasi
lingkungan ruang rawat yang kondusif. Kebutuhan saat-saat terminal adalah
memberikan dukungan pada penderita, menyediakan barang-barang yang
memberi rasa nyaman, menyediakan dukungan interdisiplin).
Selain mengurangi gejala-gejala yang muncul, perawatan paliatif juga
memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial, perawatan paliatif
setelah penderita meninggal dilakukan dengan memberikan dukungan moral
kepada keluarga yang berduka. Bagi tenaga kesehatan dibutuhkan empati yang
besar dan kemampuan khusus dalam melakukan perawatan paliatif. Salah satu
aspek penting dalam perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan
rasa syukur. Begitu pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya
penanganan nyeri yang mutlak harus dilakukan dalam perawatan paliatif.
Perawatan paliatif dapat memenuhi kebutuhan perbaikan kualitas
hidup penderita dan keluarganya melalui perawatan yang tidak hanya
menekankan pada gejala fisik seperti nyeri, tetapi juga terdapat aspek-aspek
emosional, psikososial dan spiritual. Banyak kasus yang ditemukan ketika para
penderita kanker, malu untuk bersosialisasi dan tidak percaya diri dalam
menjalani kehidupannya. Kondisi seperti ini membutuhkan perawatan paliatif

25
dalam meningkatkan kualitas hidup agar lebih baik. Selain kepada penderitanya,
perawatan paliatif juga memberi dukungan kepada seluruh anggota keluarga dan
pelaku rawat lainnya.
Bagi penderita kanker stadium dini, perawatan paliatif merupakan
pendamping pengobatan medis. Meningkatnya keualitas kehidupan penderita
karena perawatan paliatif diharapkan akan membantu proses penyembuhan
kanker secara keseluruhan. (Sugiaman, S, 2016)
1. Quality of Life (Kualitas Hidup)

Quality of life adalah bagaimana kualitas seseoarang apabila dilihat


dari interaksi dengan kehidupan di sekitarnya (Seotarjo, 2013). Konsep kualitas
hidup menjadi penting untuk dibahas dalam mengevaluasi hasil akhir kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para professional kesehatan sejalan
dengan tumbuhnya kesadaran bahwa kesejahteraan penderita menjadi
pertimbangan yang penting dalam memilih terapi pengobatan dan untuk
mempertahankan kehidupan. Kualitas hidup menjadi pertimbangan bermakna
untuk masyarakat pada umumnya, dan pada pelayanan kesehatan pada khusunya.

Penelitian Pratiwi. TF, dengan judul kualitas hidup penderita kanker,


menjelaskan bahwa penyakit kanker memberikan perubahan signifikan secara
fisik maupun psikis individu. Antara lain: kesendirian, kekhawatiran dan
ketakutan akan masa depan dan kematian. Kualitas hidup penderita kanker
dipengaruhi pemahaman individu terhadap penyakitnya sehingga seseorang tahu
cara menjaga kesehatan, serta faktor ekonomi dimana hal ini menjadi
kekhawatiran khusus terhadap biaya pengobatan. Aspek dominan pembentukan
kualitas hidup penderita kanker adalah aspek psikologis, meliputi spiritualis,
dukungan sosial dan kesejahteraan. Faktanya aspek psikologis sangat menentukan
kualitas hidup, penderita mendapatkan kekuatan dan merasa lebih sehat tanpa
obat, hal ini disebabkan karena sugesti dalam diri individu tersebut untuk tetap
sehat. Kecerdasan spiritualis menuntun penderita memiliki penerimaan diri
terhadap penyakitnya. Penderita mengalami peningatan spiritual dibandingkan
sebelum menderita kanker. Penderita merasa lebih dekat dengan tuhan dan tidak
menyalahkan tuhan. Melainkan menganggap sebagai sebuah anugerah Tuhan.
Rasa cinta dan nyaman dari dukungan sosial memberi motivasi untuk sembuh dan

26
kuat menjalani hidup. Akhirnya memberikan kesejahteraan yang penentukan
kualitas hidup penderita

1. Pengaruh perawatan paliatif terhadap perubahan kualitas hidup penderita kanker


Penelitian tentang pengaruh perawatan paliatif terhadap pasien
kanker stadium akhir (literature review)yang dilakukan oleh Irawan E,2013
berdasarkan 30 literatur yang dianalisa,disimpulkan perubahan yang terjadi pada
kanker stadium akhir menyebabkan perubahan kualitas hidup karena kualitas
hidup terdiri dari empat dimensi yaitu, dimensi fisik, psikologis, hubungan
social, dan lingkungan yang tidak hanya ditangani dengan kuratif tapi perlu
pendekatan yang lebih personal pada fisik,psikologi, social dan spiritual
sehingga dapat disimpulkan bahwa perawatan paliatif sangat berperan dalam
tercapainya kualitas hidup maksimal pada kanker stadium IV sehingga
mengurangi sakit ataupun persiapan kematian.
Berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktifitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengarui kualitas hidup penderita dan keluarganya.
Perawatan paliatiif merupakan bagian penting dalam perawatan penderita yang
terminal yang dilakukan menjadi prioritas utama adalah kualitas hidup dan
bukan kesembuhan penderita.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan
beban penderita, terutama yang tak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif yang
dimaksud adalah menghilangkan nyeri dan keluhan lain, serta mengupayakan
perbaikan dalam aspek psikologis, social, dan spiritual. Perawatan paliatif yang
baik mampu merubah kualitas hidup penderita kanker sesorang menjadi lebih
baik. Namun perawatan paliatif masih jarang dilakukandirumah sakit di
Indonesia, karena masih berfokus pada kuratif, sedangkan perubahan fisik,
social dan spiritual tidak bisa diintervensi seluruhnya dengan kuratif. Hal ini
dapat dikarenakan kurangnya pemahaman dan kesadaran rumah sakit terhadap
pentingnya perawatn paliatif bagi penderita kanker.
Agar kualitas hidup penderita kanker tetap tinggi, ada bebrapa hal yang
harus dilakukan. Diantaranya : dengan menerapkan perawatan paliatif yang
komprehensif dan terintegratif dari tim paliatif.
(Anita, 2016)

27
2.22. Proses Keperawatan

1. Pengkajian
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sering kali memberi tanda
pertama yang menunjukkan adanya penyakit neoplastik. Keluhan yang samar
seperti perasaan letih, nyeri pada ekstermitas, berkeringat dimalam hari,
penurunan selera makan, sakit kepala, dan perasaan tidak enak badan dapat
menjadi petunjuk pertama leukimia, (Wong‟s pediatric nursing 2009). Adapun
pengkajian yang sistematis pada sistem hamatologi (leukemia) meliputi :
1. Biodata
a. Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, dan pendidikan.
b. Identitas penanggung : nama, umur, jenis kelamin, agama, tingkat
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan alamat.
2. Riwayat kesehatan sekarang
a. Adanya kerusakan pada organ sel darah/sum-sum tulang.
b. Gejala awal biasanya terjadi secara mendadak panas dan perdarahan.
3. Riwayat kesehatan sebelumnya
a. Riwayat kehamilan/persalinan.
b. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
c. Riwayat pemberian imunisasi.
d. Riwayat nutrisi, pemberian makanan yang adekuat.
e. Infeksi-infeksi sebelumnya dan pengobatan yang pernah dialami.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum Meliputi : Baik, jelek, sedang.
b. Tanda-tanda vital
- TD : Tekanan Darah
- N : Nadi
- P : Pernapasan
- S : Suhu
c. Antropometri
- TB : Tinggi Badan
- BB : Berat Badan
d. Sistem pernafasan Frekuensi pernapasan, bersihan jalan napas, gangguan pola
napas, bunyi tambahan ronchi dan wheezing.
e. Sistem cardiovaskular
Anemis atau tidak, bibir pucat atau tidak, denyut nadi, bunyi jantung, tekanan
darah dan capylary reffiling time
f. Sitem Pencernaan
Mukosa bibir dan mulut kering atau tidak, anoreksia atau tidak, palpasi
abdomen apakah mengalami distensi dan auskultasi peristaltik usus adakah
meningkat atau tidak.
g. Sistem Muskuloskeletal

28
h. Bentuk kepala, extermitas atas dan ekstermitas bawah.
i. Sistem Integumen
Rambut : Warna rambut, kebersihan, mudah tercabut atau tidak.
Kulit : Warna, temperatur, turgor dan kelembaban.
Kuku : Warna, permukaan kuku, dan kebersihannya.
j. Sistem endokrin Keadaan kelenjar tiroid, suhu tubuh dan ekskresi urine.
k. Sistem Pengindraan
- Mata : Lapang pandang dan visus.
- Hidung : Kemampuan penciuman.
- Telinga : Keadaan telinga dan kemampuan pendengaran.
l. Sistem reproduksi Observasi keadaan genetalia, dan perubahan fisik sistem
reproduksi.
a. Sistem Neurologis
b. Fungsi cerebral
c. Status mental : orientasi, daya ingat dan bahasa.
d. Tingkat kesadaran (eye, motorik, verbal) : dengan menggunakan Gaslow
Coma Scale (GCS).
e. Kemampuan berbicara.
f. Fungsi Karnial :
- Nervus I (Olfaktorius) : Suruh Klien menutup mata dan menutup salah
satu lubang hidung, mengidentifikasi dengan benar bau yang berbeda
(misalnya jeruk dan kapas alkohol).
- Nervus II (Optikus) : Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa
diskus optikus, penglihatan perifer.
- Nervus III (Okulomotorius) : Kelopak mata terhadap posisi jika
terbuka, suruh anak mengikuti cahaya.
- Nervus IV (Troklearis) : Suruh Klien menggerakkan mata kearah
bawah dan kearah dalam.
- Nervus V (trigemenus) : Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang
ketika Klien merapatkan giginya dengan kuat, kaji terhadap
kesimetrisan dan kekuatan, tentukan apakah anak dapat merasakan
sentuhan diatas pipi (bayi muda menoleh bila area dekat pipi disentuh),
dekati dari samping, sentuh bagian mata yang berwarna dengan lembut
dengan sepotong kapas untuk menguji refleks berkedip dan refleks
kornea.
- Nervus VI (Abdusen) : Kaji kemampuan Klien untuk menggerakkan
mata secara lateral.
- Nervus VIII (Fasialis) : Uji kemampuan Klien untuk
mengidentifikasiLarutan manis (gula), Asam (jus lemon), atau hambar
(kuinin) pada lidah anterior. Kaji fungsi motorik dengan meminta anak
yang lebih besar untuk tersenyum, menggembungkan pipi, atau
memperlihatkan gigi, (amati bayi ketika senyum dan menangis).
- Nervus VIII (akustikus) : Uji pendengaran Klien.
- Nervus IX (glosofharingeus) : Uji kemampuan Klien untuk
mengidentifikasi rasa larutan pada lidah posterior.

29
- Nervus X (vagus) : Kaji Klien terhadap suara parau dan kemampuan
menelan, sentuhkan spatel lidah ke posterior faring untuk menentukan
apakah refleks muntah ada (saraf cranial IX dan X mempengaruhi
respon ini), jangan menstimulasi refleks muntah jika terdapat
kecurigaan epiglotitis, periksa apakah ovula pada posisi tengah.
- Nervus XI (aksesorius) : Suruh Klien memutar kepala kesamping
dengan melawan tahanan, minta anak untuk mengangkat bahu ketika
bahunya ditekan kebawah.
- Nervus XII (hipoglosus) : Minta Klien untuk mengeluarkan lidahnya.
periksa lidah terhadap deviasi garis tengah, (amati lidah bayi terhadap
deviasi lateral ketika anak menangis dan tertawa).dengarkan
kemampuan anak untuk mengucapkan “r”. letakkan spatel lidah di sisi
lidah 39 anak dan minta anak untuk menjauhkannya, kaji kekuatannya.
g. Fungsi motorik : Massa otot, tonus otot, dan kekuatan otot.
h. Funsi sensorik : Respon terhadap suhu, nyeri, dan getaran.
i. Funsi cerebrum : Kemampuan koordinasi dan keseimbangan.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hitung darah lengkap :
Menunjukkan normostik, anemia normostik.
- Hemoglobin : Dapat kurang dari 10 g/ 100 ml.
- Retikulosit : Jumlah biasanya rendah.
- Jumlah trombosit : Mungkin sangat rendah (<50.000/mm).
- SDP :
- Mungkin lebih dari 50.000/ cm dengan peningkatan SDP imatur
(“menyimpang ke kiri”), mungkin ada sel blast leukemia.
b. PT/ PTT : Memanjang.
c. LDH : Mungkin meningkat.
d. Asam urat serum/ urine : Mungkin meningkat.
e. Muramidase serum (lisozim) : Penikngkatan pada leukemia monositik Akut
dan mielomositik.
f. Copper serum : Meningkat.
g. Zink serum : Menurun.
h. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih
darin sel blast, dengan prekusor eritroid, sel imatur, dan megakariositis
menurun.
i. Foto dada dan biospy nodus limfe : Dapat mengidentifikasi derajat
keterlibatan.
4. Pengkajian paliatif
a. Dominan 1
- Nyeri
Ketika mengkaji pasien sangat penting untuk mendengarkan pasien,
memperhatikan pada bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan nyeri
akan membantu diagnosanya. Type nyeri dapat ditentukan dari obat apa
yang harus digunkaan perhatikan detail penting selama pengkajian.
b. Domain 2 kondisi sosial dan pekerjaan
- Dukungan keluarga

30
1.Siapa yang tinggal bersama anda ?
2.Adakah anak /orang lain yang masih tergantung pada anda?
3.Adakah pikiran lain mengenai hubungan dalam pikiran anda ?
- Dukungan emosional dan sosial
1.Apakah anda memiliki dukungan dari pihak lain? Keluarga besar, teman,
tetangga?
2. Apakah anad memerlukan dukungan dari pihak lain ?
- Kondisi praktikal
1. Apakah ada kesulitan dalam bergerak, melakukan pekerjaan?
2. Apakah ada pikiran lain mengenai siapa yang merawat untuk hari
kedepan, finansial?
- Harapan pasien
1. Apa harapan anda mengenai tujuan perawatan ?
2. Tempat untuk perawatan ? rumah sakit , rumah, atau tempat lain?
c. Domain 3 kondisi psikologis
- Kondisi pikiran dan suasana hati ( mood )
1. Apakah dalam bulan terakhir anda merasakan , putus asa atau merasa
tidak berdaya?
2. Kehilangan minat?
3. Apakah anda merasa depresi ?
4. Apakah anda merasa tegang atau cemas?
5. Apakah anda pernah mengalami seragam panik?
6. Apakah ada hal spesifik yang ada harapkan?
- Penyesuaian terhadap sakit
1. Apa pemahaman anda terhadap sakit ini ?( gali dengan hati-hati
ekspetasi pasien )
- Sumber sumber dan hal yang menguatkan
1. Apakah sumber dukungan anda?( misal orang – orang, hobi, iman , dan
kepercayaan )
- Total pain ( nyeri multidimensi yang tidak terkontrol )
1. Adakah masalah psikologis, sosial, spiritual yang berkontribusi terhadap
gejala yang dialami?
- Sakit sebelumnya ( dapat dikaji langsung atau pada keluarga)
1. Adakah resiko stres psikologi dan riwayat masalah kesehatan mental ?
d. Domain 4 kondisi spiritual ( gunakan format HOPE)
1. H ( sources of hope / sumber dari harapan )
Apa yang memberi anda harapan ( atau kekuatan, nyaman, dan damai ) pada
saat sakit?
2. O (Organised religion / organisasi agama )
Apakah anda bagian dari organisasi agama/ kepercayan ?
Dalam hal apa dan bagaimana hal tersebut mendukung anda?
3. P ( personal spiritually dan practices / tindakan spirirtualitas pribadi )
Bagian apa dalam kepercayaan spiritual anda yang paling bermakna secara
pribadi ?

31
4. E ( effect on medical care and end of life is issues/ efek dari perawatan dan
isu akhir kehidupan ).
Dari hal yang anda sebutkan tadi, apa yang anda harapkan dari kami
sebagai tim kesehatan untuk memfasilitasi kebutuhan anda dalam beberapa
hari ke depan ini? Bahkan minggu atau bulan kedepan ?
e. Siregar ( 2015 ) menyatakan 4 karakteristik spiritual
1. Hubungan dengan diri sendiri
Apa makna dan arti hidup anda atau apa yang anda pahami tentang tujuan
hidup? Bagaimana anda menyadari bahwa makna dan tujuan hidup saat ini
berdasarkan apa yang telah anda kerjakan ?
2. Hubungan dengan orang lain atau sesama
Bagaimana hubungan anda selama ini dengan orang orang sekitar ?
3. Hubungan dengan alam
Apakah anda menyukai tentang alam? Apakah ini membuat anda merasa
tenang dan damai disaat mengalami masalah ?
4. Hubungan dengan Tuhan
Apakah anda selama ini mengikuti acara kegamaan atau berkumpul dengan
keluarga atau teman dekat yang membantu anda dalam keagamaan ?
5. Diagnosa

32
a) Nyeri Kronis b.d kondisi kronis ( leukemia kronis ) D.0078
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
1. Mengeluh nyeri
2. Merasa depresi ( tertekan )

Objektif

1. Tampak meringis
2. gelisah
3. Tidak mampu menuntaskan aktivitas

Gejala dan tanda minor

Subjektif

1. Merasa takut mengalami cedera berulang

Objektif

1. Bersikap protektif ( menghindari posisi nyeri )


2. Waspada
3. Pola tidur berubah
33
4. Anoreksia
5. Fokus menyempit
6. Berfokus diri sendiri
b) Pola Nafas Tidak Efektif b.d hambatan upaya napas D.0005
( jaringan kurang oksigen ) Gejala dan tanda mayor
Subjektif
1. Dispnea

Objektif

1. Penggunaan otot bantu pernafasan


2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal

Gejala dan tanda minor

Subjektif

1. Ortopnea

Objektif

1. Pernapasan pursed lip


2. Pernapasan cuping hidung
3. Diameter thoraks anterior posterior meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanna inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah
c) Defisit Perawatan Diri b.d kelemahan otot D.0109
Gejala dan tanda mayor
Subjektif

1.Menolak melakukan perawatan diri

Objektif

1. Tidak mampu mandi / mengenakan pakaian/ makan/ ke toilet/berhias secara


mandiri

34
2. Minat melakukan perawatan berkurang

Gejala dan tanda minor

Subjektif ( tidak tersedia )

Objektif ( tidak tersedia )

d) Risiko Infeksi d.d leukopenia D.0142


e) Risiko ketidakseimbangan cairan d.d perdarahan D.0036
(PPNI, 2016)
5. Intervensi danLuaran

Diagnosa
Intervensi dan Luaran
Keperawata
Tujuan Intervensi Rasional
n
Nyeri Kronis Setelah dilakukan Manajemen Nyeri MANAJEMEN
b.d kondisi tindaka - Observasi NYERI
kronis(leuke keperawatan 1 x 1. Identifikasi lokasi 1. Untuk
mia kronis ) 24 jam maka nyeri, karakteristik, mengetahui
D.0078 nyeri menurun durasi, frrekuensi, lokasi,
dengan kriteria kualitas, intensitas karakteristik,
hasil : nyeri durasi,
1. Keluhan 2. Identifikasi lokasi kualitas,
nyeri nyeri intensitas nyeri
menurun 3. Identifikasi faktor 2. Untuk
2. Meringis yang memperberat mengetahui
menurun dan memperingan jenis nyeri
sikap nyeri 3. Untuk
protektif 4. Identifikasi mengetahui
menurun pengetahuan dan renspos nyeri
3. Gelisah keykinan nyeri secara non
menurun 5. Identifikasi verbal
4. Kesulitan pengaruh budaya 4. Untuk
tidur terhadap respon mengetahui
menurun nyeri faktor yang

35
5. Menarik diri 6. Identifikasi meperberat dan
menurun terhadap kualitas memperingan
6. Perasaan hidup nyeri
depresi 7. Monitor 5. Untuk
menurun kebersihasilan mengetahui
7. Perasaan terapi pengetahuan
takut secara komplementer yang nyeri klien
berulang sudah diberikan 6. Untuk
menurun 8. Monitor efek mengetahui
8. Pla napas samping budaya
membaik penggunaan mempengaruhi
9. Tekanan analgetik myeri atau
darah - Terapeutik tidak
membaik 1. Berikan teknik 7. Untuk
10. Fokus dan nonfarmakologis mengetahui
nafsu makan untuk mengurangi mempengaruhi
membaik nyeri ( tarik napas kualitas hidup
11. Pola tidur dalam ) 8. Untuk
membaik 2. Kontrol lingkungan menegtahui
yang memperberat berhasil
nyeri ( suhu tidaknya
ruangan ) tindakan
3. Fasilitasi istirahat 9. Untuk
tidur mengetahui
4. Pertimbangkan jenis efek samping
dan sumber nyeri dari pemberian
dalam pemulihan analgetik
strategi meredakan Terapeutik
nyeri 1. Agar dapat
5. Jelaskan penyebab, meringankan
periode, dan pemicu rasa nyeri
nyeri tanpa
6. Jelaskan strategi tergantung
dengan obat/
36
pereda nyeri farmakologis
7. Anjurkan monitor 2. Agar
nyeri secara mandiri lingkungan
8. Anjurkan yang tenang
menggunakan dapat
analgetik secara tepat mengurangi
9. Ajarkan teknik rasa nyeri
nonfamakologis 3. Agar klien
untuk mengurangi dapat istirahat
rasa nyeri dan tidak
- Kolaborasi merasakan
1. Pemberian analgetik nyeri
PEMBERIAN 4. Agar
ANALGESIK penanagannya
Observasi sesuai dengan
1. Identifikasi jenis nyeri dan
karakteristik nyeri
2. Identifikasi riwayat tepat
alergi Edukasi
3. Identifikasi
kesesuaian jenis 1. Agar klien
analgesik mengetahui
4. Monitor ttv sebelum
dan sesudah pemicu
pemberian analgesik periode dari
5. Monitor efektivitas
analgesik nyeri tersebut
Terapeutik 2. Agar klien
1. Diskusikan jeni
analgesik yang mengetahui
disukaiuntuk strategi dalam
mencapai analgesia
optimal, jika perlu penanganan
2. Pertimbangkan nyeri tersebut
penggunan infus
kontinu atau bolus 3. Agar klien
oploid untuk dapat
mempertahankan
kadar dalam serum mengetahui
3. Tetapkan target penangan
efektivitas untuk
mengoptimalkan nyeri tanpa
respons pasien mengguanaka
37
4. Dokumentasikan n obat dan
respons terhadap efek
jika
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan menggunakan
Edukasi
obat
1. Jelaskan efek terapi
dan efek samping mengetahui
obat
penggunaan
Kolaborasi
1. Pemberian dosis dan yang tepat
jenis analgesik sesuai
Kolaborasi
indikasi
Berkolaborasi
dengan tenaga
medis lain agar
mengahsilkan
penangan yang
maksimal
PEMBERIAN
ANALGESIK
Observasi
1. Untuk
mengetahui
karakteristik
nyeri
2. Untuk
menegtahui
adanya riwayat
alergi obat
3. Untuk
menegtahui
kesesuain jenis
anakgesik yang
akan diberikan
kepada pasien
4. Untuk
mengetahui
TTV sesudahh
dan sebelum
pemebrian
analgesik
5. Untuk
mengetahui
seberapa
efektifitas
analgesik
terhadap nyeri

38
Terapeutik
1. Untuk
mengetahui
jenis analgesik
yang disukai
agar mencapai
analgesia yang
optimal
2. Untuk
mempertimban
gkan
penggunaan
infus kontinu
atau blous
untuk
mempertahank
an dalam
serum terhadap
klien
3. Untuk acuan
yang akan
dicapai
sehingga
mengoptimalka
n respons
pasien
4. Agar terdapat
bukti tertulis
terkait respons
pasien
terhadap
pemberian
analgesik
Edukasi
1. Agar pasien
mengetahui
efek terapi dan
efek samping
obat yang telah
diberikan
Kolaborasi
Agar
menghasilkan
tindakan yang
diberikan kepada
pasien dengan
maksimal dan

39
sesuai indikasi
agar tidak
menimbulkan
kesalahan
Pola Nafas Setelah diberikan MANAJEMEN JALAN MANAJEMEN
NAPAS JALAN NAPAS
Tidak tindakan Observasi : Observasi
Efektif b.d keperawatan 1x - monitor pola napas - agar dapat
(frekuensi, kedalaman, mengetahui
hambatan 24 jam, maka usaha napas ) rekuensi,
- monitor bunyi napas kedalaman,
upaya napas pola napas usaha napas
tambahan
( jaringan membaik dengan klien
- monitor sputum - untuk
kurang kriteria hasil : Terapeutik mengetahui
- pertahankan adanya bunyi
oksigen ) 1. Ventilasi kepatenan jalan napas napas tambahan
Gejala dan semenit dengna head tilt dan atau tidak
chin lift - untuk
tanda meningkat - posisiskan semi mengetahui
semayor 2. Kapasitas fowler jumlah, warna,
- minum air hangat konsitensi dari
D.0005 vital sputum
- lakukan fisioterapi
Terapeutik
meningkat dada jika perlu - untuk
3. Diameter - lakukan penghisapan mengetahui
lendir kurang dari 15 adanya trauma
thoraks menit servikal atau
anterior edukasi tidak
- ajarkan teknik batuk - agar
posterior kolaborasi mempermudah
pemberian bronkodilator dalam
meningkat melakukan
4. Tekanan tindakan
keperawatan
ekspirasi dan - agar lebih
inspirasi mudah
mengeluarkan
meningkat lendir
- agar lebih
5. Dispnea mempermudah
menururn tindakan dalam
mengekuarkan
6. Penggunaan sputum
- agar tidak ada
otot bantu
sisa sputum di
napas jalan napas
edukasi
menurun - agar klien dapat
7. Pemanjangan melakukan
teknik batuk

40
fase ekspirasi secara mandiri
dan bisa
menurun melakukannya
8. Ortopnea dirumah tanpa
bimbingan
menurun perawat
kolaborasi
9. Pernapsan agar
pursed-tip dan memaksimalkan
cuping hidung tindakan dan
menurun kebersihan jalan
10. Frekuensi napas

napas
membaik
11. Kedalaman
napas
membaik
12. Ekskursi dada
membaik
Defisit Setelah dilakukanDukungan perawatan diri Dukungan
- Observasi
Perawatan tindakan perawatan diri
1. Identifikasi deficit
Diri b.d keperawatan 1 x tingkat aktivitas - Observasi
kelemahan 24 jam maka 2. Identifiksi sumber Agar untuk
daya untuk aktivitas
otot perawatan diri mengetahui sebab
yang di inginkan
D.0109 meningkat dengan 3. Monitor respon dan apa yang
kriteria hasil : emosional dinginkan pasien
1. kemampuan 4. Identifikasi strategi
agar dapat
meningkatkan
mandi prestisipasi dalam meningkatkan
meningkat aktifitas perawatan diri
2. kemampuan - Terapeutik pasien
5. Fasilitasi fokus pada
mengenakan kemampuan - Terapuetik
pakaian 6. Fasilitasi makna Agar klien dapat
meningkat aktivitas yang dipilih
menerapkan yang
7. Libatkan keluarga
3. kemampuan diajarkan
dalam aktifitas
makan 8. Fasilitasi perawatan serta
meningkat mengenbangkan memahami , dan
motivasi dan

41
4. kemampuan penguatan diri libatkan keluarga
ke toilet - Edukasi untuk mengawasi
1. Jelaskan metode
meningkat aktivitas fisik sehari- agar klien dalam
5. verbalisasi hari jika perlu melakukan
2. Anjurkan cara
kemampuan melakukan aktifitas perawatan diri
ingin yang dipilih meningkat secara
- Kolaborasi
perawatan diri 1. Kelaborasi dengan bertahap
meningkat terapis okupasi - Edukasi
dalam
6. minat merencanakan dan Agar klien dapat
melakukan memonitor mengetahui
progam aktifitas
perawatan diri manfaat apa saja
meningkat yang jka pasien
7. mempertahan melakukan
kan perawatan diri dan
kebersihan dampak jika tidak
diri meningkat melakukan
8. mempertahan perawatan diri, dan
kan bagaimana cara
kebersihan melakukan
mulut perawatan diri
meningkat yang benar
- Kolaborasi
Agar dapat
memaksimalka
n perawatan
dan
menghasilkan
perawatan
yang baik
untuk klien
Risiko Setelah dilakukan MANAJEMEN Manajemen
Infeksi d.d tindakan IMUNISASI Imunisasi
leukopenia keperawatan 1 x - Observasi - Observasi

42
D.0142 24 jam maka 1. Identifikasi riwayat Untuk mengetahui
tingkat infeksi kesehatan dan penyebab , atau hal
menurun dengan riwayat alergi. yang dapat
kriteria hasil : 2. Identifikasi memicu infeksi,
1. Kebersihan kontraindikasi serta dapat
tangan dan pemberian memberikan
badan imunisasi (mis. imuniasasi yang
meningkat reaksi anafilaksis sesuai agar tidak
2. Nafsu makan terhadap vaksin menimbulkan efek
meningkat sebelumnya dan atau kejadian yang
3. Demam, atau sakit parah tidak diinginkan
kemerahan, dengan atau tanpa - Terapeutik
nyeri, demam). Memberikan
bengkak 3. Identifikasi status imunisasi
menurun imunisasi setiap tujuan untuk
4. Cairan kunjungan ke membantu
berburu busuk pelayanan klien
menurun kesehatan. mempertaahan
5. Sputum - Terapeutik kan kekebalan
berwarna 1. Berikan suntikan tubuhnya dan
hijau menurun pada bayi di bagian dapat
6. Drainase paha anterolateral mencegah atau
purulen 2. Dokumentasikan mngurangi
menurun informasi vaksinasi risiko terkena
7. Pluria (mis. nama infeksi
menurun produsen, tanggal - Edukasi
8. Periode kadaluwarsa). Agar klien
malaise dan 3. Jadwalkan mengetahui
menggigil imunisasi pada imunisasi apa
menurun interval waktu yang yang diberikan,
9. Letargi dan tepat. manfaatnya,
gangguan - Edukasi serta imunisasi
kognitif 1. Jelaskan tujuan, apa yang tetap
menurun manfaat, reaksi untuk klien,
43
10. Kadar sel yang terjadi, jadwal, untuk
darah putih dan efek samping. mengetahui
membaik 2. Informasikan efek dari
11. Kultur darah, imunisasi yang imuninasi yang
urine, sputum, diwajibkan diberikan
area luka, pemerintah (mis.
feses Hepatitis B, BCG,
membaik difteri, tetanus,
12. Kadar sel pertusis, H.
darah putih influenza, polio,
membaik campak, measles,
rubela).
3. Informasikan
imunisasi yang
melindungi
terhadap penyakit
namun saat ini tidak
diwajibkan
pemerintah (mis.
influenza,
pneumokokus).
4. Informasikan
vaksinasi untuk
kejadian khusus
(mis. rabies,
tetanus).
5. Informasikan
penundaan
pemberian
imunisasi tidak
berarti mengulang
jadwal imunisasi
kembali.

44
6. Informasikan
penyedia layanan
Pekan Imunisasi
Nasional yang
menyediakan vaksin
gratis.
Risiko Setelah dilakukan MANAJEMEN MANAJEMEN
ketidakseim tindakan CAIRAN CAIRAN
bangan keperawatan 1 x - observasi - Obervasi
cairan d.d 24 jam maka 1. monitor status Untuk
perdarahan keseimbangan hidrasi mengetahui
D.0036 cairan meningkat 2. monitor berat badan status hidrasi ,
dengan kriteria harian berat badan
hasil : 3. monitor berat badan klien, hasil
1. Asupan cairan sebelum dan laboratorium,
dan keluaran sesudah dialisis dan untuk
urin 4. monitor hasil mengatahui
meningkat pemeriksaan status
2. Kelembaban laboratorium hemodinamik
membran 5. monitor status - Terapeutik
mukosa hemodinamik Untuk
meningkat - terapeutik memberikan
3. Asupan 1. catat intake output intake cairan
makanan hitung balane cairan yang balance
meningkat 24 jam selamam 24
4. Edema 2. berikan asupan jam, dan cairan
menurun cairan, sesuai yang tepat
5. Dehidrasi kebutuhan diberikan
menurun 3. berikan cairan untuk klien
6. Esites intravena, jika perlu sesuai keadaan
menurun - kolaborasi klien
7. Konfusi 1. kolaborasi - Kolaborasi
menurun pemberian dieuretik Untuk

45
8. Tekanan memaksimal
darah pemeberian
membaik perawatan
9. Denyut nadi
radial
membaik
10. Tekanan arteri
rata rata
membaik
11. Membran
mukosa
membaik
12. Mata cekung
membaik
13. Turgor kulit
membaik
14. Berat badan
membaik

(PPNI, 2016b)
(PPNI, 2016c)

f. Penapisan Paliatif Pada Leukimia


Skrining/penapisan merupakan proses pendeteksian kasus/kondisi kesehatan
pada populasi sehat pada kelompok tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang akan
dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran pencegahan dan diagnosis dini bagi
kelompok yang termasuk resiko tinggi. Pada negara maju, umumnya prose
skrining/penapisan dilakukan pada penyakit tidak menular, misalnya kanker payudara
yang dilakukan pada kelompok beresiko seperti wanita terlahir kembar, ada genetik
keluarga, wanita yang tidak menikah, wanita yang tidak menyusui (red ngASI) anaknya
dan pola diet dan gaya hidup yang tidak sehat, wanita pengguna KB hormonal, wanita
yang menstruasi pertama dibawah 12 tahun dan menopause diatas 55 tahun. Berikut
dijelaskan definisi skrining/penapisan menurut beberapa ahli Epidemiologi.Menurut
46
Webb (2005), skrining/penapisan merupakan metode test sederhana yang digunakan
secara luas pada populasi sehat atau populasi yang tanpa gejala penyakit (asimptomatik).
Skrining/penapisan tidak dilakukan untuk mendiagnosa kehadiran suatu penyakit, tetapi
untuk memisahkan populasi subjek skrining/penapisan menjadi dua kelompok yaitu
orang-orang yang lebih beresiko menderita penyakit tersebut dan orang-orang yang
cenderung kurang beresiko terhadap penyakit tertentu. Mereka yang mungkin memiliki
penyakit (yaitu, mereka yang hasilnya positif) dapat menjalani pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut dan melakukan pengobatan jika diperlukan.
Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951) dalam kamus Epidemiologi (A
Dictionary of Epidemiology), skrining/penapisan didefinisikan sebagai "identifikasi
dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali dengan menerapkan pengujian,
pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat. Tes
skrining/penapisan memilah/memisahkan orang-orang yang terlihat sehat untuk
dikelompokkan menjadi kelompok orang yang mungkin memiliki penyakit dan kelompok
orang yang mungkin sehat. Sebuah tes skrining/penapisan ini tidak dimaksudkan untuk
menjadi upaya diagnosa. Orang dengan temuan positif menurut hasil skrining/penapisan
atau suspek suatu kasus harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan menjalani
pengobatan yang diperlukan .Skrining/penapisan juga merupakan pemeriksaan untuk
membantu mendiagnosa penyakit (atau kondisi prekursor penyakit) dalam fase awal
riwayat alamiah atau di ujung kondisi yang belum parah dari spektrum dibanding yang
dicapai dalam praktek klinis rutin. . Sedangkan menurut Bonita et.al (2006),
skrining/penapisan adalah proses menggunakan tes dalam skala besar untuk
mengidentifikasi adanya penyakit pada orang sehat. Tes skrining/penapisan biasanya
tidak menegakkan diagnosis, melainkan untuk mengidentifikasi faktor resiko pada
individu, sehingga bisa menentukan apakah individu membutuhkan tindak lanjut dan
pengobatan. Untuk yang terdeteksi sebagai individu yang sehat pun, bukan berarti
terbebas 100% dari suatu penyakit karena tes skrining/penapisan dapat salah.Inisiatif
untuk skrining/penapisan biasanya berasal dari peneliti atau orang atau badan kesehatan
dan bukan dari keluhan pasien. Skrining/penapisan biasanya berkaitan dengan penyakit
kronis dan bertujuan untuk mendeteksi penyakit yang belum umum dalam pelayanan
medis. Skrining/penapisan dapat mengidentifikasi faktor - faktor risiko, faktor genetik,
dan pencetus, atau indikasi suatu
penyakit.

47
Untuk menghasilkan program skrining/penapisan yang bermanfaat bagi masyarakat luas,
harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit apa yang akan diskrining/penapisan.
Berikut beberapa katrakteristik penyakit yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan
kebijkan skrining/penapisan.
2. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif umum dan
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh masyarakat. Pada umumnya
memiliki prevalensi yang tinggi pada tahap pra-klinis. Hal ini berkaitan dengan biaya
relatif dari program skrining/penapisan dan dalam kaitannya dengan jumlah kasus
yang terdeteksi serta nilai prediksi positif. Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk
kegiatan skrining/penapisan harus selaras dengan mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas. Namun kriteria ini menjadi tidak berlaku pada kasus tertentu seperti
keganasan/keparahan dari suatu penyakit. Contohnya skrining/penapisan Fenilketouria
atau Phenylketouria (PKU) pada bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan
desakan autosomal genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin
hidroksilase (PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam amino
fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita mengkonsumsi sumber
protein yang mengandung asam amino ini, produk akhirnya akan terakumulasi di otak,
yang mengakibatkan retardasi mental. Meskipun hanya satu dari 15.000 bayi yang
terlahir dengan kondisi ini, karena faktor kemudahan, murah dan akurat maka
skrining/penapisan ini sangat bermanfaat untuk dilakukan kepada setiap bayi yang
baru lahir.

48
3. Skrining/penapisan harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Dalam proses
skrining/penapisan membutuhkan partisipasi dari masyarakat yang dinilai cocok untuk
menjalani pemeriksaan. Oleh karena itu skrining/penapisan harus aman dan tidak
mempengaruhi kesehatannya.
4. Skrining/penapisan harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi menggambarkan sejauh
mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari kondisi kesehatan/penyakit
yang diukur. Sedangkan reliabilitas biasanya berhubungan salah satu dengan
standardisasi atau kalibrasi peralatan pengujian atau keterampilan dan keahlian dari
orang-orang menginterpretasikan hasil tes.
5. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya bahwa dengan
melakukan skrining/penapisan maka akan menghasilkan kondisi kesehatan yang jauh
lebih baik. Misalnya pada Kanker Prostat, secara biologis penderita kanker tidak bisa
dibedakan, namun kemungkinan banyak pria yang kanker bisa terdeteksi oleh
pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun demiikian, skrining/penapisan kanker prostat
juga berbahaya sehingga umumnya skrining/penapisan ini tidak dianjurkan, meskipun
dapat digunakan.
6. Skrining/penapisan akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat yang tepat.
Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan dan periode kemunculan
gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead time). Namun jika penyakit
berkembang dengan cepat dari tahap pra-klinis ke tahap klinis maka intervensi awal
kurang begitu manfaat, dan akan jauh lebih sulit untuk mengobati penyakit tersebut.
7. Kebijakan, prosedur dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.Sistem pelayanan
kesehatan dapat mengatasi banyaknya diagnosis dan pengobatan tambahan karena
menemukan penyakit yang umum yang positif palsu. Sebelum memulai program
skrining/penapisan sangat penting untuk menilai infrastruktur yang dibutuhkan untuk
mendukung pelaksanaannya. Fasilitas-fasilitas tersebut tentu dibutuhkan untuk proses
skrining/penapisan tapi, sama pentingnya juga untuk konfirmasi lanjutan mengenai
pengujian dan diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut bagi yang positif. Perkiraan
(Nilai Prediktif) sangat dibutuhkan dalam sebagai kemungkinan pengambilan
skrining/penapisan, jumlah total yang hasilnya positif (termasuk positif palsu),
tersangka (berdasarkan prevalens penyakit dan sensitivitas serta spesifisitas hasil
pemeriksaan) dan kemungkinan dampak yang dihasilkan berupa peningkatan
permintaan pelayanan medis.

49
Indikasi pelayanan paliatif

Pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila didapatkan satu atau
lebih kondisi di bawah ini :

a. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi


b. Stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi kanker
c. Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya
d. Permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang
akan atau sedang dilakukan
e. Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
f. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanofsky <
50%, metastasis otak, dan leptomeningeal, metastasis di cairan
interstisial, vena cava superior sindrom, kaheksia, serta kondisi
berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak respon terhadap
tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin ≥2,5 mg/dl,
kreatinin ≥3 mg/dl ). *tidak berlaku pada pasien kanker anak
g. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan
terapi yang diberikan

Dikategorikan memerlukan perawatan paliatif jika penapisan


yang dilakukan sesuai dengan pengkajian penyakit yang diderita
klien melebihi score 4 maka, pasien tersebut dapat kategorikan
pasien dengan perawatan paliatif. Namun jika tidak atau dibawah 4
maka tidak dapat disebut sebagai perawatan paliatif, karena bisa
dinyatakan pasien tersebut dapat mendapat perawatan paliatif jika
hasil penapisannya lebih dari scrore
PENAPISAN PALIATIVE CARE PADA PENYAKIT
LEUKIMIA
Jadi kesimpulannya dari hasil penapisan untuk penyakit leukimia
membutuhkan perawatan paliatif karena penapisan menghasilkan
score > 4 ( 6 score ).

DAFTAR PUSTAKA

Anita, A. (2016). Perawatan Paliatif dan Kualitas Hidup Penderita Kanker.

50
Jurnal Kesehatan, 7(3), 508. https://doi.org/10.26630/jk.v7i3.237

Cemy, F. N. (2012). Palliative Care Pada Penderita Penyakit Terminal. Gaster | Jurnal Ilmu
Kesehatan, 7(1), 527–537.

Dia Rofinda, Z. (2012). Kelainan Hemostasis pada Leukemia. Jurnal Kesehatan Andalas,
1(2), 68–74. https://doi.org/10.25077/jka.v1i2.40

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesi (1st ed.). DPP PPNI.

PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). DPP PPNI.

PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

Togarotop, L. B. (2021). Keperawatan Sistem Imun dan Hematologi (A. Karim (ed.); 1st ed.).
Yayasan Kita Menulis. https://books.google.co.id/books?
id=uLczEAAAQBAJ&pg=PA126&dq=togarotop+2021+leukimia&hl=id&sa=X&ved=
2ahUKEwiyyM3uiv7yAhXXYH0KHVpzCUQQ6wF6BAgLEAU#v=onepage&q=togar
otop 2021 leukimia&f=false

Yenni, . (2014). Rehabilitasi Medik Pada Anak Dengan Leukemia Limfoblastik Akut. Jurnal
Biomedik (Jbm), 6(1), 1–7. https://doi.org/10.35790/jbm.6.1.2014.4156

51

Anda mungkin juga menyukai