Anda di halaman 1dari 177

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356720308

Psikologi Pendidikan

Book · November 2021

CITATIONS READS

0 181

1 author:

Teguh Fachmi
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Self-funded View project

All content following this page was uploaded by Teguh Fachmi on 02 December 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


media madani
Publishing
Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani KM. 2 KP3B
Pujuh Sukajaya Curug Kota Serang
Banten Kode Pos 42171
(0254) 7932066

media madani
Publishing
Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani KM. 2 KP3B
Pujuh Sukajaya Curug Kota Serang
Banten Kode Pos 42171
(0254) 7932066
PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Teguh Fachmi
Hak cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit. Isi diluar tanggung jawab percetakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta.

Fungsi dan Sifat Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksekutif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Hak Terkait Pasal 49:
1. Pelaku memiliki hak eksekutif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara
dan/atau gambar pertunjukannya.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00,- (lima milyar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah)
PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Teguh Fachmi

Editor :
Umayah

MEDIA MADANI FTK UIN SMH BANTEN

iii
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Penulis:
Teguh Fachmi
Editor :
Umayah
Lay Out & Design Sampul
Media Madani
Cetakan 1 November 2021
Hak Cipta 2021, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright@ 2021 by Media Madani Publisher
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, mengutip, menggandakan, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari Penerbit

Penerbit & Percetakan


Media Madani
Jl. Syekh Nawawi KP3B Palima Curug Serang-Banten email:
media.madani@yahoo.com & media.madani2@gmail.com
Telp. (0254) 7932066; Hp (087771333388)

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Teguh Fachmi ;Editor Umayah
Psikologi Pendidikan/ Oleh: Teguh Fachmi ;Editor Umayah
Cet.1 Serang: Media Madani, November 2021. viii + 167 hlm
ISBN. 978-623-5553-68-9
1. Psikologi Pendidikan 1. Judul

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT karena buku psikologi Pendidikan ini telah
selesai disusun. Buku ini disusun agar dapat membantu para
mahasiswa dalam mempelajari konsep-konsep Psikologi
Pendidikan terutama bagi para calo pendidik yang erat
kaitannya dengan psikologi Pendidikan.
Penulisan buku ini juga untuk menambah referensi bagi para
pendidik, mahasiswa, juga berbagai pihak yang memiliki minat
dan perhatian terhadap perkembangan keilmuan, khususnya di
bidang ilmu psikologi Pendidikan.
Penulis pun menyadari jika didalam penyusunan buku ini
mempunyai kekurangan, namun penulis meyakini sepenuhnya
bahwa sekecil apapun buku ini tetap akan memberikan sebuah
manfaat bagi pembaca.
Akhir kata, untuk penyempurnaan buku ini, maka kritik dan
saran dari pembaca sangatlah berguna untuk penulis
kedepannya.

Serang, 28 Oktober 2021

Penulis

v
vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii

BAB I KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN 1


A. Hakikat Psikologi Pendidikan 1
B. Objek Kajian Psikologi Pendidikan 5
C. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan 7

BAB II PERAN DAN SUMBANGAN PSIKOLOGI


PENDIDIKAN 8
A. Peran Psikologi Pendidikan 11
B. Sumbangsih Psikologi Pendidikan 15

BAB III PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN 25


A. Pengertian Tugas-Tugas Perkembangan 25
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan 26
C. Tugas-Tugas Perkembangan
Pada Setiap Fase Perkembangan 26
D. Teori Perkembangan 39
E. Teori Pertumbuhan 64

BAB IV KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS PESERTA DIDIK 67


A. Intelegensi 67
B. Emosi 70
C. Motivasi 71
D. Minat 75
E. Gaya belajar 77

BAB V HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 81


A. Pengertian Belajar 81
B. Jenis- Jenis Belajar 92
C. Pengertian Pembelajaran 95

vii
D. Ciri-Ciri Pembelajaran 96
E. Pembelajaran, Pengajaran, Pemelajar,
Dan Pembelajar 96

BAB IV MOTIVASI BELAJAR


79
A. Teori Motivasi: Pandangan Teori Behavior,
Kognitif, dan Humanis 101
B. Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik 102
C. Faktor- Faktor yang Memengaruhi
Motivasi Belajar 105

BAB VII PENGUKURAN DAN EVALUASI DALAM


PEMBELAJARAN 121
A. Pentingnya Evaluasi dalam Pendidikan
dan Pembelajaran 121
B. Sasaran dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran 126
C. Prinsip-Prinsip Evaluasi 127
D. Manfaat Evaluasi Pendidikan 130
E. Alat Evaluasi Pembelajaran 132
F. Ciri-Ciri Tes Yang Baik 136
G. Macam-Macam Evaluasi Pendidikan 154

PENUTUP 163

viii
BABI

KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Hakikat Psikologi Pendidikan

Psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu


berasal dari kata bahasa inggris psycology. kata psycology
merupakan dua akar kata yang bersumber dari kata greek
(yunani), yaitu satu) psyche yang berarti jiwa; dua) logos
yang berarti ilmu. jadi, secara harfiah psikologi memang
berarti ilmu jiwa. Psikologi lebih banyak dikaitkan dengan
kehidupan organisme manusia. alam hubungan ini, psikologi
didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha
memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka
melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana
makhluk tersebut berfikir dan berperasaan.

Bruno (1987) membagi pengertian psikologi dalam tiga


bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama,
psikologi adalah studi (pendidikan) mengenai “ruh”. Kedua,
psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan
mental”. ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai
“tingkah laku” organisme. Chaplin (1972) dalam dictionary of
Psychology mendefinisikan psikologi sebagai ilmu

1
pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga
penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan
kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan dalam
sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang
mengubah lingkungan.

“Psikologi” berasal dari perkataan Yunani “psyche”


yang artinya jiwa, dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan.
Jadi secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya
ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-
macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya,
atau disebut dengan ilmu jiwa. Berbicara tentang jiwa,
terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa
dengan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang adanya
tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan
badaniah, yaitu perbuatan yang di timbulkan oleh proses
belajar. Misalnya: insting, refleks, nafsu dan sebagainya. Jika
jasmani mati, maka mati pulalah nyawanya. Sedang jiwa
adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang
menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-
perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat
tinggi dan manusia.

Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses


belajar yang di mungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah,
sosial dan lingkungan. Proses belajar ialah proses untuk

2
meningkatkan kepribadian (personality) dengan jalan
berusaha mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru, dan
kecakapan baru, sehingga ia dapat berbuat yang lebih
sukses, dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam
hidup. Jadi jiwa mengandung pengertian-pengertian, nilai-
nilai kebudayaan dan kecakapan-kecakapan.

Pengertian psikologi diatas menunjukkan


beragamnya pendapat para ahli psikologi. Perbedaan
tersebut bermuasal pada adanya perbedaan titik berangkat
para ahli dalam mempelajari dan membahas kehidupan jiwa
yang kompleks ini. Dan dari pengertian tersebut paling tidak
dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan
individu, dimana individu tersebut tidak dapat dilepaskan dari
lingkungannya. Pendidikan dari kata “didik”, lalu kata ini
mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya
memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan
memberi akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya,
“pendidikan” menurut KBBI adalah peroses pengubahan
sikap dan tata laku sesorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Psikologi Pendidikan adalah sebuah disiplin
psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang terjadi
dalam dunia pendidikan. Sedangkan menurut ensiklopedia

3
amerika, Pengertian psikologi pendidikan adalah ilmu yang
lebih berprinsip dalam proses pengajaran yang terlibat
dengan penemuan – penemuan dan menerapkan prinsip –
prinsip dan cara untuk meningkatkan keefisien di dalam
pendidikan.

Dari uarian di atas, kita dapat mengetahu pengertian dari


psikologi dan pengertian pendidikan itu sendiri.Sepanjang
atau selagi kita masih berpendapat bahwa psikologi adalah
suatu ilmu yang berusaha menyelidiki semua aspek
keperibadian dasar tingkah laku manusia, baik yang bersifat
jasmaniah maupun rohaniah, baik secara teoritis maupun
dengan melihat kegunaannya di dalam praktek, baik secara
individual maupun dalam hubungannya dengan manusia lain
atau lingkungannya, mungkin kita akan mengatakan bahwa
‘psikologi pendidikan’ itu sebenarnya sudah termasuk di
dalam psikologi, dan tidak perlu dipersoalkan atau dipisahkan
menjadi sesuatu disiplin ilmu tersendiri. Psikologi pendidikan
dapat disimpulkan bahwa psikologi pendidikan adalah
cabang dari psikologi yang dalam penguraian dan
penelitiannya lebih menekankan pada maslah pertumbuhan
dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, yang
sangat erat hubungannya dalam masalah pendidikan
terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan
belajar.

4
B. Objek Kajian Psikologi dan Psikologi Pendidikan
1. Objek Kajian Psikologi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Objek Material adalah sesuatu yang dibahas,
dipelajari atau diselidiki, atau suatu unsure yang
ditentukan atau sesuatu yang dijadikan sasaran
pemikiran, objek material mencakup apa saja,
baik hal-hal konkret (kerohanian, nilai-nilai, ide-
ide). Objeknya yaitu manusia.
b. Objek formal adalah cara memandang, cara
meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti
terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip
yang digunakannya. Objek formal juga digunakan
sebagai pembeda ilmu yang satu dengan ilmu
yang lain (psikologi, antropologi, sosiologi, dan
lain-lain). Objeknya yaitu dari segi tingkah laku
manusia, objek tersebut bersifat empiris atau
nyata, yang dapat diobservasi untuk
memorediksi, menggambarkan sesuatu yang
dilihat. Caranya melihat gerak gerik seseorang
bagaimana ia melakukan sesuatu dan melihat
dari matanya.
2. Objek Kajian Psikologi Pendidikan

Objek kajian psikologi pendidikan tanpa


mengabaikan persoalan psikologi guru terletak pada

5
peserta didik. Karena hakikat pendidikan adalah
pelayanan khusus diperuntukkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu objek kajian psikologi pendidikan, selain
teori-teori psikologi pendidikan sebagai ilmu, tetapi lebih
condong pada aspek psikologis peserta didik, khususnya
ketika mereka terlibat dalam proses pembelajaran.

Menurut Glover dan Ronning bahwa objek kajian


psikologi pendidikan mencakup topik- topik tentang
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik,
hereditas dan lingkungan, perbedaan individual peserta
didik, potensi dan karakteristik tingkah laku peserta didik,
pengukuran proses dan hasil pendidikan dan
pembelajaran, kesehatan mental, motivasi dan minat,
serta disiplin lain yang relean. Sedangkan menurut
Syaodih Sukmadinata dalam Syaiful Sagala mengatakan
bahwa objek kajian psikologi pendidikan adalah interaksi
antara pendidik dengan peserta didik untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik, dengan
dukungan sarana dan fasilitas tertentu yang berlangsung
dalam lingkungan tertentu.

Psikologi pendidikan berusaha untuk mewujudkan


tindakan psikologis yang tepat dalam interaksi antar
setiap faktor pendidikan. Pengetahuan psikologis
tentang peserta didik menjadi hal yang sangat penting

6
dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang
psikologi pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan
bagi para guru, bahkan bagi tiap orang yang menyadari
dirinya sebagai pendidik. Secara garis besar banyak ahli
membatasi objek kajian psikologi pendidikan menjadi
tiga macam:

1. Mengenai “belajar”, yang meliputi teori-teori,


prinsip-prinsip, dan ciri-ciri khas perilaku belajar
peserta didik, dan sebagainya;
2. Mengenai “proses belajar”, yakni tahapan
perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam
kegiatan belajar peserta didik;
3. Mengenai “situasi belajar”, yakni suasana dan
keadaan lingkungan, baik bersifat fisik maupun
nonfisik yang berhubungan dengan kegiatan
belajar peserta didik.

C. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan

Mengingat bahwa psikologi pendidikan merupakan


ilmu yang memusatkan dirinya pada penemuan dan aplikasi
prinsip-prinsip dan teknik-teknik psikologi ke dalam
pendidikan, maka ruang lingkup psikologi pendidikan
mencakup topik-topik psikologi yang erat hubungannya
dengan pendidikan. Crow & Crow mengemukakan bahwa

7
data yang dicoba didapatkan oleh psikologi pendidikan, yang
dengan demikian merupakan ruang lingkup psikologi
pendidikan, antara lain:

1. Sampai sejauh mana faktor-faktor pembawaan dan


lingkungan berpengaruh terhadap belajar;
2. Sifat-sifat dari proses belajar;
3. Hubungan antara tingkat kematangan dengan
kesiapan belajar (learning readiness);
4. Signifikasi pendidikan terhadap perbedaan-
perbedaan individual dalam kecepatan dan
keterbatasan belajar;
5. Perubahan-perubahan jiwa (inner changes) yang
terjadi selama dalam belajar;
6. Hubungan antara prosedur-prosedur mengajar
dengan hasil belajar;
7. Teknik-teknik yang sangat efektif bagi penilaian
kemajuan dalam belajar;
8. Pengaruh/akibat relatif dari pendidikan formal
dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman
belajar yang insidental dan informal terhadap suatu
individu;
9. Nilai/manfaat sikap ilmiah terhadap pendidikan bagi
personil sekolah;

8
10. Akibat/pengaruh psikologis (psycologica impact) yang
ditimbulkan oleh kondisi-kondisi sosiologis terhadap
sikap para siswa.

9
10
BAB II
PERAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN
SUMBANGAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Peran Psikologi Pendidikan

Pada dasarnya psikologi pendidikan mempelajari


seluruh tingkah laku manusia yang terlibat dalam proses
pendidikan. Manusia yang terlibat dalam proses pendidikan
ini ialah guru dan siswa, maka objek yang dibahas dalam
psikologi pendidikan adalah tingkah laku siswa yang
berkaitan dengan proses belajar dan tingkah laku guru yang
berkaitan dengan proses pembelajaran. Sehingga objek
utama yang dibahas dalam psikologi pendidikan adalah
masalah belajar dan pembelajaran. Pendidikan pada
hakekatnya adalah suatu pelayanan yang diperuntukkan
pada siswa, oleh karena itu dalam psikologi pendidikan juga
dibahas aspek-aspek psikis atau gejala kejiwaan yang
terdapat pada siswa terutama ketika terlibat dalam proses
belajar.

Landasan psikologi memberikan sumbangan dalam


dunia pendidikan. Kita ketahui bahwa Subjek dan objek
pendidikan adalah manusia (peserta didik). Setiap peserta
didik memiliki keunikan masing–masing dan berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itulah, kita sebagai guru memerlukan

11
psikologi. Dengan adanya psikologi memberikan wawasan
bagaimana memahami perilaku individu dalam proses
pendidikan dan bagaimana membantu individu agar dapat
berkembang secara optimal serta mengatasi permasalahan
yang timbul dalam diri individu (siswa) terutama masalah
belajar yang dalam hal ini adalah masalah dari segi
pemahaman dan keterbatasan pembelajaran yang dialami
oleh siswa. Psikologi dibutuhkan di berbagai ilmu
pengetahuan untuk mengerti dan memahami kejiwaan
seseorang.

Psikologi memiliki peran dalam dunia pendidikan baik


itu dalam belajar dan pembelajaran. Pengetahuan tentang
psikologi sangat diperlukan oleh pihak guru atau instruktur
sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pembimbing, dan
pengasuh dalam memahami karakteristik kognitif, afektif, dan
psikomotorik peserta secara integral. Pemahaman psikologis
peserta didik oleh pihak guru atau instruktur di institusi
pendidikan memiliki kontribusi yang sangat berarti dalam
membelajarkan peserta didik sesuai dengan sikap, minat,
motivasi, aspirasi, dan kebutuhan peserta didik, sehingga
proses pembelajaran di kelas dapat berlangsung secara
optimal dan maksimal.

Pengetahuan tentang psikologi diperlukan oleh dunia


pendidikan karena dunia pendidikan menghadapi peserta

12
didik yang unik dilihat dari segi karakteristik perilaku,
kepribadian, sikap, minat, motivasi, perhatian, persepsi, daya
pikir, inteligensi, fantasi, dan berbagai aspek psikologis
lainnya yang berbeda antara peserta didik yang satu dengan
peserta didik yang lainnya. Perbedaan karakteristik
psikologis yang dimiliki oleh para peserta didik harus
diketahui dan dipahami oleh setiap guru atau instruktur yang
berperan sebagai pendidik dan pengajar di kelas, jika ingin
proses pembelajarannya berhasil. Beberapa peran penting
psikologi dalam proses pembelajaran adalah:

1. Memahami siswa sebagai pelajar, meliputi


perkembangannya, tabiat, kemampuan, kecerdasan,
motivasi, minat, fisik, pengalaman, kepribadian, dan
lain-lain
2. Memahami prinsip – prinsip dan teori pembelajaran
3. Memilih metode – metode pembelajaran dan
pengajaran
4. Menetapkan tujuan pembelajaran dan pengajaran
5. Menciptakan situasi pembelajaran dan pengajaran
yang kondusif
6. Memilih dan menetapkan isi pengajaran
7. Membantu peserta didik yang mengalami kesulitan
belajar
8. Memilih alat bantu pembelajaran dan pengajaran

13
9. Menilai hasil pembelajaran dan pengajaran
10. Memahami dan mengembangkan kepribadian dan
profesi guru
11. Membimbing perkembangan siswa

Menurut Abimanyu (1996) mengemukakan bahwa


peranan psikologi dalam pendidikan dan pengajaran ialah
bertujuan untuk memberikan orientasi mengenai laporan
studi, menelusuri masalah-masalah di lapangan dengan
pendekatan psikologi serta meneliti faktor-faktor manusia
dalam proses pendidikan dan di dalam situasi proses belajar
mengajar. Psikologi dalam pendidikan dan pengajaran
banyak mempengaruhi perumusan tujuan pendidikan,
perumusan kurikulum maupun prosedur dan metode-metode
belajar mengajar. Psikologi ini memberikan jalan untuk
mendapatkan pemecahan atas masalah-masalah sebagai
berikut:

1. Perubahan yang terjadi pada anak didik selama


dalam proses pendidikan
2. Pengaruh pembawaan dan lingkungan atas hasil
belajar
3. Teori dan proses belajar
4. Hubungan antara teknik mengajar dan hasil belajar.
5. Perbandingan hasil pendidikan formal dengan
pendidikan informal atas diri individu.

14
6. Pengaruh kondisi sosial anak didik atas pendidikan
yang diterimanya.
7. Nilai sikap ilmiah atas pendidikan yang dimiliki oleh
para petugas pendidikan.
8. Pengaruh interaksi antara guru dan murid dan antara
murid dengan murid.
9. Hambatan, kesulitan, ketegangan, dan sebagainya
yang dialami oleh anak didik selama proses
pendidikan
10. Pengaruh perbedaan individu yang satu dengan
individu yang lain dalam batas kemampuan belajar.

B. Sumbangan Psikologi Pendidikan

Psikologi Pendidikan sebagai ilmu memberikan


sumbangan terhadap pendidikan secara teoritis maupun
praktis, adapun sumbangan psikologi pendidikan adalah
sebagai berikut:

1. Tiap tingkat perkembangan berbeda karakteristiknya.


Setiap tingkat perkembangan memiliki karakteristik
sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu Sama lain.
Apabila seorang guru sudah memahami bahwa pada
setiap tingkat perkembangan karakteristik anak itu
berbeda, maka guru dalam menyelesaikan tugas
mendidik dan mengajar akan menyesuaikan diri

15
terhadap karakteristik anak didiknya. Dengan
demikian pelajaran oleh guru kepada para siswa akan
berbeda di tiap-tiap tingkat perkembangan anak.
2. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan berupa
pemahaman secara alami aktivitas belajar di ruang
kelas. Psikologi pendidikan memberikan bekal
kepada guru mengenai proses pembelajaran secara
umum di ruang kelas dan mengembangkan teori yang
lebih luas lagi di ruang kelas. Keberhasilan guru di
dalam kelas disebabkan karena guru itu memahami
atau mengerti betul tentang karakteristik anak
didiknya. Anak didik bukan benda tetapi merupakan
objek yang memiliki pikiran, perasaan dan kemauan.
Oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran siswa
dipandang sebagai subjek bukan sebagai objek.
Dengan demikian pengetahuan tentang kondisi siswa
di dalam kelas mutlak harus dipahami oleh seorang
guru.
3. Psikologi pendidikan memberikan pemahaman
mengenai perbedaan individual. Di dunia ini tidak ada
dua atau lebihindividu yang sama. Demikian pula guru
dalam tugasnya akan menghadapi para siswa di
dalam kelas dengan berbagai variasi. Dengan
demikian guru hendaknya memberikan pelayanan

16
yang berbeda kepada peserta didik sesuai dengan
karakteristiknya.
4. Psikologi pendidikan juga memberikan pemahaman
tentang metode-metode mengajar yang efektif.
Psikologi pendidikan mamberikan pengetahuan
tentang cara mengajar yang tepat, dan
mengembangkan pola mengajar dengan strategi-
strategi baru. Dengan demikian seorang guru yang
telah memahami pengetahuan psikologi pendidikan
akan memahami metode-metode mana yang paling
efektif dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik
dan pengajar.
5. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan
kepada guru sehingga mampu memahami problem
anak didik dan memahami sebab-sebab timbuInya
problem. Masalah, sesungguhnya berbeda-beda
dalam pengatasannya tergantung kepada tingkat
umur, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Pada akhirnya dengan memahami problem anak didik
ini guru dapat membantu anak mengatasi
problemnya.
6. Dengan pengetahuan tentang kesehatan mental
dalam psikologi pendidikan, guru akan dapat
memahami beberapa faktor yang menjadi penyebab

17
timbulnya mental tidak sehat sehingga pada akhirnya
guru dapat membantu memecahkan masalah yang
dialami oleh para siswanya dan mampu
mempersiapkan para siswanya sehingga memiliki
mental yang sehat.
7. Penyusunan kurikulum hendaknya menggunakan
prinsip-prinsip psikologi.Prinsip ini menyatakan
bahwa tiap-tiap tingkat umur berbeda tingkat
perkembangannya. Pada setiap tingkat
perkembangan, materi yang harus diberikan akan
berbeda begitu pula teknik pengajarannya.
8. Pengukuran tentang hasil belajar. Dengan
pengetahuan tentang psikologi pendidikan maka guru
mampu mendalami hasil belajar siswa, metode
proses pembelajaran maupun performance para
siswanya.
9. Riset. Psikologi pendidikan menolong di dalam
pengembangan alat-alat pengukur berbagai variabel
yang besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa-
siswa. Guru dapat mengontrol secara langsung dan
meramalkan tingkah laku para siswanya berdasarkan
hasil riset tersebut.
10. Bimbingan untuk anak-anak luar biasa. Psikologi
pendidikan memberikan sumbangan terhadap cara

18
memberikan layanan kepada anak-anak luar biasa
baik di atas normal maupun di bawah normal.
Pengetahuan psikologi pendidikan sangat diperlukan
untuk memberikan layanan kepada anak-anak yang
genius maupun anak di bawah normal.

11. Pemahaman tentang dinamika kelompok. Dalam


psikologi pendidikan dikembangkan pula
pengetahuan tentang dinamika kelompok. Seorang
guru harus mampu memahami dinamika kelompok
siswa di dalam kelas beserta kegiatannya secara total
karena hal tersebut memiliki pengaruh yang besar
terhadap keberhasilan proses belajar dan
pembelajaran.

Disamping sumbangan-sumbangan tersebut di atas,


psikologi pendidikan memberikan sumbangan terhadap
praktik pendidikan antara lain:

a. Problem Disiplin
Guru tradisional dalam memecahkan problem disiplin
menggunakan hukuman badan. Orang sudah tahu
bahwa hukuman badan adalah tidak
berperikemanusiaan dan akan menimbulkan reaksi
keras dari orang tua siswa. Dengan pengetahuan
psikologi pendidikan sebenarnya ada banyak cara

19
dalam memecahkan masalah disiplin siswa, tidak
harus dengan hukuman badan. Pendekatan yang
manusiawi memberikan siswa yang bermasalah
kesempatan untuk berdialog dengan guru.
b. Menggunakan audio visual sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Dulu guru tidak pernah
menggunakan alat audio visual dalam proses
pembelajaran. Psikologi pendidikan mengembangkan
alat berupa audio visual dalam proses belajar
mengajar sehingga mempermudah proses
pembelajaran.
c. Jadwal pelajaran.
Untuk menyusun jadwal pelajaran diperlukan
pengetahuan psikologi pendidikan. Tingkat
kesukaran mata pelajaran berbeda-beda untuk setiap
mata pelajaran. Agar seluruh materi pelajaran dapat
diterima dengan baik oleh siswa, perlu penyusunan
jadwal pelajaran dengan mempertimbangkan tingkat
kesukarannya baik urutannya maupun waktunya.
Misalnya mata pelajaran matematika ditempatkan
pada jam pertama agar dapat diterima dengan baik
oleh siswa, sedangkan mata pelajaran seni
ditempatkan pada jam terakhir untuk meningkatkan

20
gairah belajar siswa yang sudah lelah oleh berbagai
materi pelajaran yang berat sebelumnya.
d. Administrasi sekolah dan kelas
Petugas administrasi dan guru harus bekerjasama
dengan baik sehingga masalah- masalah administrasi
dapat diatasi dengan penuh keterbukaan melalui
diskusi antara guru dengan petugas administrasi di
sekolah

Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru


melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya
diharapkan dapat :

1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.


Dengan memahami psikologi pendidikan yang
memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat
dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang
dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya,
dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom
tentang taksonomi perilaku individu dan
mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan
individu.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang
sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang
memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi

21
atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai,
dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan
keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan
tingkat perkembangan yang sedang dialami
siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan
konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan
pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing
para siswanya. Dengan memahami psikologi
pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat
memberikan bantuan psikologis secara tepat dan
benar, melalui proses hubungan interpersonal yang
penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk
mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat.
Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya
memberikan dorongan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan
belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan
yang memadai, tampaknya guru akan mengalami

22
kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator
maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim
belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman
psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan
untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang
kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar
dengan nyaman dan menyenangkan.
6. Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan
memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan
siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi
sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat
mambantu guru dalam mengembangkan penilaian
pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis
penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian
maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

23
24
BAB III

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

A. Pengertian Tugas-Tugas Perkembangan

Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang


muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan
individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan
akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam
menuntaskan tugas berikut; sementara apabila gagal, maka
akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang
bersangkutan, menimbulkan penolakkan masyarakat, dan
kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas- tugas
berikutnya (Robert Havighurst, 1961).

Hurlock (1981) menyebut tugas-tugas perkembangan ini


sebagai social expectations. Dalam arti, setiap kelompok
budaya mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan
tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang
disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.

Kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa tugas-


tugas perkembangan merupakan salah satu bidang psikologi
yang dapat membawa pengaruh penting selama rentang
kehidupannya yang dapat memfokuskan kajian atau

25
pembahasannya mengenai perubahan tingkah laku dan
proses perkembangan dari masa konsepsi (pra-natal)
sampai mati.

B. Sumber Faktor-Faktor Perkembangan

1. Kematangan fisik, misalnya (a) belajar berjalan


karena kematangan otot-otot kaki; (b) belajar
bertingkah laku, bergaul dengan jenis kelamin yang
bebeda pada masa remaja karena kematangan
organ-organ seksual.
2. Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya (a)
belajar membaca; (b) belajar menulis; (c) belajar
berhitung; (d) belajar berorganisasi.
3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri,
misalnya (a) memilih pekerjaan; (b) memilih teman
hidup.
4. Tuntutan norma-norma agama, misalnya (a) taat
beribadah kepada Allah SWT; (b) barbuat baik
kepada sesama manusia.

C. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Setiap Fase


Perkembangan

1. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Usia Bayi Dan Kanak-


Kanak (0,0-6,0);

26
a. Belajar berjalan. Belajar berjalan terjadi pada usia antara
9 sampai 15 bulan, pada usia ini tulang kaki, otot dan
susunan syarafnya telah matang untuk belajar berjalan.
b. Belajar memakan makanan padat . Hal ini terjadi pada
tahun kedua, sistem alat-alat pencernaan makanan dan
alat-alat pengunyah pada mulut telah matang untuk hal
tersebut.
c. Belajar berbicara, yaitu mengeluarkan suara yang berarti
dan menyampaikannya kepada orang lain dengan
perantaraan suara itu. Untuk itu, diperlukan kematangan
otot-otot dan syaraf dari alat-alat bicara.
d. Belajar buang air kecil dan buang air besar. Tugas ini
dilakukan pada tempat dan waktu yang sesuai dengan
norma masyarakat. Sebelum usia 4 tahun, anak pada
umumnya belum dapat mengatasi (menahan) ngompol
karena perkembangan syaraf yang mengatur
pembuangan belum sempurna. Untuk memberikan
pendidikan kebersihan terhadap anak usia di bawah 4
tahun, cukup dengan pembiasaan saja, yaitu setiap kali
mau buang air, bawalah anak ke WC tanpa banyak
memberikan penerangan kepadanya.
e. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin. Melalui
observasi (pengamatan) anak dapat melihat tingkah
laku, bentuk fisik dan pakaian yang berbeda antara jenis

27
kelamin yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara
tersebut, anak dapat menganal perbedaan anatomis pria
dan wanita, anak menaruh perhatian besar terhadap alat
kelaminnya sendiri maupun orang lain. Agar pengenalan
terhadap jenis kelamin (sex) itu berjalan normal, maka
orang tua perlu memperlakukan anaknya, baik dalam
memberikan alat mainan, pakaian, maupun aspek
lainnya sesuai dengan jenis kelamin anak.
f. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis. Keadaan
jasmani anak sangat labil apabila dibandingkan dengan
orang dewasa, anak cepat sekali merasakan perubahan
suhu sehingga temperatur badannya mudah berubah.
Perbedaan variasi makanan yang diberikan dapat
mengubah kadar garam dan gula dalam darah dan air di
dalam tubuh. Untuk mencapai kestabilan jasmaniah,
bagi anak diperlukan waktu sampai usia 5 tahun. Dalam
proses mencapai kestabilan jasmaniah ini, orangtua
perlu memberikan perawatan yang intensif, baik
menyangkut pemberian makanan yang bergizi maupun
pemeliharaan kebersihan.
g. Membentuk konsep-konsep (pengertian) sederhana
kenyataan sosial dan alam. Pada mulanya dunia ini bagi
anak merupakan suatu keadaan yang kompleks dan
membingungkan. Lama kelamaan anak dapat

28
mengamati benda-benda atau orang- orang
disekitarnya. Perkembangan lebih lanjut, anak
menemukan keteraturan dan dapat membentuk
generalisasi (kesimpulan) dari berbagai benda yang
pada umumnya mempunyai ciri yang sama. Anak belajar
bahwa bayangan tertentu dengan suara tertentu yang
nyaring memenuhi kebutuhannya disebut “orang”,”ibu”
dan ”ayah”. Anak belajar bahwa benda-benda khusus
dapat dikelompokkan dan diberi satu nama, seperti
kucing, ayam, kambing, dan burung dapat disebut
binatang. Untuk mencapai kemampuan tersebut
(mengenal pengertian-pengertian) diperlukan
kematangan sistem syaraf, pengalaman dan bimbingan
dari orang dewasa.
h. Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang
tua, saudara dan orang lain. Anak mengadakan
hubungan dengan orang-orang yang ada disekitarnya
dengan menggunakan berbagai cara, yaitu isyarat,
menirukan dan menggunakan bahasa. Cara yang
diperoleh dalam belajar mengadakan hubungan
emosional dengan orang lain, sedikit banyaknya akan
menentukan sikapnya di kemudian hari. Apakah ia
bersikap bersahabat, bersikap dingin, introvert,
extrovert, dan sebagainya. Misalnya, apabila anak

29
memperoleh pergaulan dengan orang tuanya itu
menyenangkan, maka cenderung akan bersikap ramah
dan ceria.
i. Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk, yang
berarti mengembangkan kata hati. Anak kecil dikuasai
oleh hedonisme naif, dimana kenikmatan dianggapnya
baik, sedangkan penderitaan dianggapnya buruk
(hedonisme adalah aliran yang menyatakan bahwa
manusia dalam hidupnya bertujuan mencari kenikmatan
dan kebahagiaan). Apabila anak bertambah besar ia
harus belajar pengertian tentang baik dan buruk, benar
dan salah, sebab sebagai makhluk sosial
(bermasyarakat), manusia tidak hanya memperhatikan
kepentingan/kenikmatan sendiri saja, tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan/kenikmatan sendiri saja,
tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
Anak mengenal pengertian baik dan buruk, benar dan
salah ini dipengaruhi oleh pendidikan yang diperolehnya.
Pada mulanya, anak belajar apa yang dilarang itu berarti
buruk atau salah dan apa yang diperbolehkan itu berarti
baik dan benar. Pengalaman ini merupakan permulaan
pembentukkan kata hati anak. Perkembangan
selanjutnya terjadi melalui nasihat, bimbingan, buku-
buku bacaan dan analisis pikiran sendiri. Sesuatu yang

30
penting dalam mengembangkan kata hati anak adalah
suri teladan dari orang tua dan bimbingannya. Hal ini
lebih baik daripada penggunaan hukuman dan ganjaran,
meskipun dalam situasi tertentu masih tetap diperlukan.

2. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Sekolah (6,0-


12,0)

a. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk


melakukan permainan. Pada masa sekolah anak
sudah sampai pada taraf penguasaan otot, sehingga
sudah dapat berbaris, melakukan senam pagi dan
permainan-permainan ringan, seperti sepak bola,
loncat tali, berenang, dan sebagainya.
b. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya
sendiri sebagai makhluk biologis. Hakikat tugas ini
ialah (1) mengembangkan kebiasaan untuk
memelihara badan, meliputi kebersihan, keselamatan
diri, dan kesehatan; (2) mengembangkan sikap positif
terhadap jenis kelaminnya (pria atau wanita) dan juga
menerima dirinya (baik rupa wajahnya maupun postur
tubuhnya) secara positif.
c. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya. Yakni
belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
situasi yang baru serta teman-teman sebayanya.
Pergaulan anak di Indonesia atau teman sebayanya

31
mungkin diwarnai perasaan senang, karena secara
kebetulan temannya berbudi baik, tetapi mungkin juga
diwarnai oleh perasaan tidak senang karena teman
sepermainannya suka mengganggu atau nakal.
d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis
kelaminnya. Dari segi permainan umpamanya akan
tampak bahwa anak laki-laki tidak akan
memperbolehkan anak perempuan mengikuti
permainannya yang khas laki-laki, seperti main
kelereng, main bola, dan layang-layang.
e. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis,
dan berhitung. Salah satu sebab masa usia 6-12
tahun disebut masa sekolah karena pertumbuhan
jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup
matang untuk menerima pengajaran. Untuk dapat
hidup dalam masyarakat yang berbudaya, paling
sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena
dari sekolah dasar anak sudah memperoleh
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan
berhitung.
f. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila
kita telah melihat sesuatu, mendengar, mengecap,
mencium, dan mengalami, tinggallah suatu ingatan

32
pada kita. Ingatan mengenai pengamatan yang telah
lalu itu disebut konsep (tanggapan).

Demikianlah kita mempunyai tanggapan tentang


ayah, ibu, rumah, pakaian, buku, sekolah, dan juga mengenai
gerak-gerik yang dilakukan, seperti berbicara, berjalan,
berenang, dan menulis. Bertambahnya pengalaman akan
menambah perbendaharaan konsep pada anak. Tugas
sekolah yaitu menanamkan konsep-konsep yang jelas dan
benar. Konsep-konsep itu meliputi kaidah-kaidah atau ajaran
agama (moral), ilmu pengetahuan, adat istiadat, dan
sebagainya. Untuk mengembangkan tugas perkembangan
anak ini, maka guru dalam mendidik/mengajar di sekolah
sebaiknya memberikan bimbingan kepada anak untuk:

a. Banyak melihat, mendengar, dan mengalami


sebanyak-banyaknya tentang sesuatu yang
bermanfaat untuk peningkatan ilmu dan kehidupan
bermasyarakat.
b. Banyak membaca buku-buku atau media cetak
lainnya. Semakin dipahami konsep-konsep tersebut,
semakin mudah untuk memperbincangkannya dan
semakin mudah pula bagi anak untuk
mempergunakannya pada waktu berpikir.
Mengembangkan kata hati. Hakikat tugas ini ialah
mengembangkan sikap dan perasaan yang

33
berhubungan dengan norma-norma agama. Hal ini
menyangkut penerimaan dan penghargaan terhadap
peraturan agama (moral) disertai dengan perasaan
senang untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Tugas perkembangan ini berhubungan dengan
masalah benar-salah, boleh-tidak boleh, seperti jujur
itu baik, bohong itu buruk, dan sebagainya.
c. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.
Hakikat tugas ini ialah untuk dapat menjadi orang
yang berdiri sendiri, dalam arti dapat membuat
rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang bebas dari pengaruh orang tua dan
orang lain.
d. Mengembangkan sikap yang positif terhadap
kelompok sosial dan lembaga-lembaga. Hakikat
tugas ini ialah mengembangkan sikap sosial yang
demokratis dan menghargai hak orang lain.
Umpamanya, mengembangkan sikap tolong-
menolong, sikap tenggang rasa, mau bekerjasama
dengan orang lain, toleransi terhadap pendapat orang
lain dan menghargai hak orang lain.

34
3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja (12,0-
18,0)

a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman


sebaya. (1) Belajar melihat kenyataan, anak wanita
sebagai wanita, dan anak pria sebagai pria; (2)
berkembang menjadi orang dewasa di antara orang
dewasa lainnya; (3) belajar bekerja sama dengan orang
lain untuk mencapai tujuan bersama; dan (4) belajar
memimpin orang lain tanpa mendominasinya.

b. Mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita. Remaja


dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau
wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

c. Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara


efektif. Tugas ini bertujuan agak remaja merasa bangga,
atau bersikap toleran terhadap fisiknya, menggunakan
dan meemlihara fisiknya secara efektif, dan merasa puas
dengan fisiknya tersebut.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang


dewasa lainnya. (1) membebaskan diri dari sikap dan
perilaku yang kekanak-kanakan atau bergantung pada
orangtua,(2) mengembangkan afeksi (cinta kasih) kepada
orangtua, dan (3) mengembangkan sikap respek terhadap
orang dewasa lainnya tanpa bergantung kepadanya.

35
e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi. Tujuannya agar
remaja merasa mampu menciptakan suatu kehidupan
(mata pencaharian). Penting buat remaja pria dan tidak
terlalu penting buat remaja wanita.

f. Memilih dan mempersiapkan karier (pekerjaan). (1)


memilih suatu pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya, dan (2) mempersiapkan diri-memiliki
pengetahuan dan keterampilan- untuk memasuki
pekerjaan tersebut.

g. pernikahan dan hidup berkeluarga. (1) mengembangkan


sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga, dan
memiliki anak. (2) memperoleh pengetahuan yang tepat
tentang pengelolaan keluarga dan pemeliharaan anak.

h. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-


konsep yang diperlukan bagi warga negara. (1)
Mengembangkan konsep-konsep hukum, pemerintahan,
ekonomi, politik, geografi, hakikat manusia, dan lembaga-
lembaga sosial yang cocok dengan dunia modern, dan (2)
mengembangkan keterampilan berbahasa dan
kemampuan nalar (berfikir) yang penting bagi upaya
memecahkan masalah-masalah secara efektif.

i. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara


sosial. (1) berpartisipasi sebagai orang dewasa yang

36
bertanggung jawab sebagai masyarakat, dan (2)
memperhitungkan nilai-nilai sosial dalam tingkah laku
dirinya.

j. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai


petunjuk/pembimbing dalam bertingkah laku. (1)
membentuk seperangkat nilai yang mungkin dapat
direalisasikan, (2) mengembangkan kesadaran untuk
merealisasikan nilai-nilai, (3) mengembangkan kesadaran
akan hubungannya dengan sesama manusia dan juga
alam sebagai lingkungan tempat tinggalnya, dan (4)
memahami gambaran hidup dan nilai-nilai yang
dimilikinya, sehingga dapat hidup selaras (harmoni)
dengan orang lain.

k. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. a)


Mencapai kematangan sikap, kebiasaan dan
pengembangan wawasan dalam mengamalkan nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari, baik pribadi maupun sosial.

4. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa

Havinghurts membagi kehidupan masa dewasa tersebut


atas tiga fase, yaitu: dewasa muda, dewasa, usia lanjut.
Yaitu:

37
a. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa muda

1) Memilih pasangan hidup.

2) Belajar hidup bersama pasangan hidup

3) Memulai hidup berkeluarga

4) Memelihara dan mendidik anak.

5) Mengelola rumah tangga.

6) Memulai kegiatan pekerjaan.

7) Bertanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warga


negara

8) Menemukan persahabatan dalam kelompok sosial.

b. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa

1) Memiliki tanggung jawab sosial dan kenegaraan sebagai

orang dewasa.

2) Mengembangkan dan memelihara standar kehidupan


ekonomi.

3) anak dan remaja agar menjadi orang dewasa yang


bertanggung jawab dan berbahagia.

4) Mengembangkan kegiatan-kegiatan waktu senggang


sebagai orang dewasa, hubungan dengan pasangan-
pasangan keluarga lain sebagai pribadi.

38
5) Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan fisik sebagai orang setengah baya.

6) Menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai orang tua


yang bertambah tua.

c. Tugas-tugas perkembangan pada masa usia lanjut

1) Menyesuaikan diri dengan kondisi fisik dan kesehatan


yang semakin menurun.

2) Menyesuaikan diri dengan situasi pensiun dan


penghasilan yang semakin berkurang.

3) Menyesuaikan diri dengan kematian dari pasangan hidup.

4) Membina hubungan dengan sesama usia lanjut.

5) Memenuhi kewajiban-kewajiban sosial dan kenegaraan

6) Memelihara kondisi dan kesehatan.

7) Kesiapan menghadapi kematian.

D. Teori Perkembangan

Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu


teori yang menjelasakan bagaimana anak beradaptasi
dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-

39
kejadian sekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri
dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan
makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan
teman. Bagaimana cara anak mengelompokan objek-objek
untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya
perubahan dalam objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan
untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa
tersebut. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran
aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas.
Anak tidak pasif menerima informasi.

Walaupun proses berfikir dalam konsepsi anak


mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman
dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif
dalam menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui
pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada
pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia
punya. Piaget percaya bahawa pemikiran anak-anak
berkembang menurut tahap-tahap atau priode- periode yang
terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget,
setiap individu akan melewati serangkaian perubahan
kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat
atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan
biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkunagn serta

40
adanya pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang
yang memperoleh pendidikan dasar dalam bidang eksakta,
yaitu biologis, maka pendekatan dan uraian dari teorinya
terpengaruh aspek biologi.

Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini


yang menekankan pada proses mental. Piaget mengambil
perspektif organismik, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan
bertindak dalam dunia mereka. Menurut Piaget, bahwa
perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan kemampuan
bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-
bayi mewarisi reflek-reflek seperti reflek menghisap. Reflek
ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama kehidupan
mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada
perkembangan selanjutnya.

Jean Piaget menyelidiki mengapa dan bagaimana


kemampuan mental berubah lama-kelamaan. Bagi Piaget,
perkembangan bergantung sebagian besar pada manipulasi
anak terhadap dan interaksi aktif dengan lingkungan. Dalam
pandangan Piaget, pengetahuan berasal dari tindakan. Teori
perkembangan kognisi Piaget menyatakan bahwa
kecerdasan atau kemampuan kognisi seorang anak
mengalami kemajuan melalui empat tahap yang jelas.

41
Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan
kemampuan-kemampuan baru dan cara mengolah informasi.

Perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling


berhubungan, yaitu:

1. Organisasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk


mengintegrasikan pengetahuan kedalam

sistem-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah sistem


pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan
pencitraan realitas yang semakin akurat. Contoh: anak laki-
laki yang baru berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan
menggenggam objek.

Setelah itu dia berusaha mengkombunasikan dua


kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan
menggenggam objek-objek yang dilihatnya. Dalam sistem
kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat
struktur kognitif menjadi semakin komplek. Struktur-struktur
kognitif disebut skema. Skema adalah pola prilaku
terorganisir yang digunakan seseorang untuk memikirkan
dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu. Contoh:
gerakan reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada
pipi dan bibir yang menimbulkan gerakan menarik.

42
2. Adaptasi

Merupakan cara anak untuk memperlakukan


informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah
mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah,
yaitu:

a. Asimilasi, merupakan istilah yang digunakan Piaget


untuk merujuk pada peleburan informasi baru
kedalam struktur kognitif yang sudah ada. Seorang
individu dikatakan melakukan proses adaptasi melalui
asimilasi, jika individu tersebut menggabungkan
informasi baru yang dia terima kedalam pengetahuan
mereka yang telah ada. Contoh asimilasi kognitif:
seorang anak yang diperlihatkan segitiga sama sisi,
kemudian setelah itu diperlihatkan segitiga yang lain
yaitu siku-siku. Asimilasi terjadi jika si anak menjawab
bahwa segitiga siku-siku yang diperlihatkan adalah
segitiga sama sisi.

b. Akomodasi, merupakan istilah yang digunakan Piaget


untuk merujuk pada perubahan yang terjadi pada
sebuah struktur kognitif dalam rangka menampung
informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika
individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.
Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah

43
ada dalam diri seseorang mengalami perubahan
sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari
objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab segitiga
siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.

3. Ekuilbrasi

Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk


mencari keseimbangan pada elemen-elemen kognisi.
Ekuilibrasi diartikan sebagai kemampuan yang mengatur
dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan
keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya.

Agar terjadi ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan,


maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara
terpadu, bersama-sama dan komplementer. Contoh: bayi
yang biasanya mendapat susu dari payudara ibu ataupun
botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup (untuk
latihan minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa
menyedot air gelas membutuhkan gerakan mulut dan lidah
yang berbeda dari yang biasa dilakukannya saat menyusu
dari ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu
dengan akomodasi skema lama. Dengan melakukan hal itu,
maka si bayi telah melakukan adaptasi terhadap skema
menghisap yang ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas.

44
Dengan demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama
untuk menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.

a. Tahap -Tahap Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh


ajaran orang dewasa atau pengaruh lingkungan lainnya.
Anak-anak memang harus berinteraksi dengan lingkungan
untuk berkembang, namun merekalah yang membangun
struktur-struktur kognitif baru dalam dirinya. Piaget juga yakin
bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia.
Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara
berfikir yang khas atau berbeda. Tahapan perkembangan
kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut:

1. Tahap Sensorimotorik

Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai


sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi
membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor
(seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan
fisik. Dengan berfungsinya alat-alat indera serta
kemampuan-kemampuan melakukan gerak motorik dalam
bentuk refleks ini, maka seorang bayi berada dalam keadaan
siap untuk mengadakan hubungan dengan dunianya. Piaget
membagi tahap sensorimotorik ini kedalam 6 periode, yaitu:

45
a. Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan)

Refleks yang paling jelas pada periode ini adalah refleks


menghisap (bayi otomatis menghisap kapanpun bibir
mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala pada
sumber rangsangan secara lebih tepat dan terarah.
Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan
menggerakkan kepala kearah kanan.

b. Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan)


Reaksi ini terjadi ketika bayi menghadapi sebuah
pengalaman baru dan berusaha mengulanginya.
Contoh: menghisap jempol. Pada contoh menghisap
jempol, bayi mulai mengkoordinasikan 1). Gerakan
motorik dari tangannya dan 2). Penggunaan fungsi
penglihatan untuk melihat jempol.

c. Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10 bulan)


Reaksi sirkuler primer terjadi karena melibatkan
koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri, sedangkan
reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan
dan menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar
dirinya.
d. Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-
12 bulan)

46
Pada periode ini bayi belajar untuk mengkoordinasikan
dua skema terpisah untuk mendapatkan hasil. Contoh:
suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin memeluk kotak
mainan, namun Piaget menaruh tangannya ditengah
jala. Pada awalnya Laurent mengabaikan tangan
ayahnya. Dia berusaha menerobos atau berputar
mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya.
Ketika Piaget tetap menaruh tangannya untuk
menghalangi anaknya, Laurent terpaksa memukul kotak
mainan itu sambil melambaikan tangan, mengguncang
tubuhnya sendiri dan mengibaskan kepalanya dari satu
sisi ke sisi lain. Akhirnya setelah beberapa hari mencoba,
Laurent berhasil menggerakkan perintang dengan
mengibaskan tangan ayahnya dari jalan sebelum
memeluk kotak mainan. Dalam kasus ini, Laurent
berhasil mengkoordinasikan dua skema terpisah yaitu:
Mengibaskan perintang dan Memeluk kotak mainan.

e. Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18 bulan)


Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk
mencapai satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini bayi
bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda
untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Contoh:
Suatu hari Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli
Piaget. Dia memukulnya dengan telapak tangannya

47
beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk
mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh
tindakannya.
f. Periode 6: Permulaan Berfikir (Usia 18-24 bulan)

Pada periode 5 semua temuan-temuan bayi terjadi lewat


tindakan fisik, pada periode 6 bayi kelihatannya mulai
memikirkan situasi secara lebih internal sebelum pada
akhirnya bertindak. Jadi, pada periode ini anak mulai
bisa berfikir dalam mencapai lingkungan. Pada periode
ini anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara baru
yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan internal,
tetapi juga dengan koordinasi internal dalam gambaran
atau pemikirannya.

2. Tahap Pemikiran Pra-Operasional

Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun.


Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget,
walaupun anak- anak pra sekolah dapat secara simbolis
melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu untuk
melaksanakan “Operation (operasi)”, yaitu tindakan mental
yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak
melakukan secara mental yang sebelumnya dilakukan
secara fisik. Perbedaan tahap ini dengan tahap sebelumnya

48
adalah “kemampuan anak mempergunakan simbol”.
Penggunaan simbol bagi anak pada tahap ini tampak dalam
lima gejala berikut:

a. Imitasi tidak langsung

Anak mulai dapat menggambarkan sesuatu hal yang


dialami atau dilihat, yang sekarang bendanya sudah
tidak ada lagi. Jadi pemikiran anak sudah tidak
dibatasi waktu sekarang dan tidak pula dibatasi oleh
tindakan-tindakan indrawi sekarang. Contoh: anak
dapat bermain kue-kuean sendiri atau bermain pasar-
pasaran. Ini adalah hasil imitasi.

b. Permainan simbolis
Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu anak
mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.
Contoh: anak perempuan yang bermain dengan
bonekanya, seakan-akan bonekanya adalah adiknya.
c. Menggambar

Pada tahap ini merupakan jembatan antara


permainan simbolis dengan gambaran mental. Unsur
pada permainan simbolis terletak pada segi
“kesenangan” pada diri anak yang sedang
menggambar. Sedangkan unsur gambaran
mentalnya terletak pada “usaha anak untuk memulai

49
meniru sesuatu yang riel”. Contoh: anak mulai
menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis
lainnya.

d. Gambaran Mental

Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek


atau pengalaman yang lampau. Gambaran mental
anak pada tahap ini kebanyakan statis. Anak masih
mempunyai kesalahan yang sistematis dalam
mengambarkan kembali gerakan atau transformasi
yang ia amati. Contoh yang digunakan Piaget adalah
deretan lima kelereng putih dan hitam.

e. Bahasa Ucapan

Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai


representasi benda atau kejadian. Melalui bahasa
anak dapat berkomunikasi dengan orang lain tentang
peristiwa kepada orang lain.

3. Tahap Operasi Kongkret

Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun.tahap ini


dicirikan dengan perkembangan system pemikiran yang
didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah
mengembangkan operasi logis. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:

50
a. Pengurutan

Kemampuan untuk mengurutkan objek menurut


ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila
diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat
mengurutkannya dari benda yang paling besar ke
yang paling kecil.

b. Klasifikasi

Kemampuan untuk memberi nama dan


mengidentifikasi serangkaian benda menurut
tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain,
termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda
dapat menyertakan benda lainnya ke dalam
rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan
bahwa semua benda hidup dan berperasaan).

c. Decentering

Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari


suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap
gelas lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding
gelas kecil yang tinggi.

51
d. Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-
benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan
awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat
menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan
sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e. Konversi

Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah


benda-benda adalah tidak berhubungan dengan
pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-
benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi
gelas yang seukuran dan isinya sama banyak,
mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain
yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi gelas lain.

f. Penghilangan ssifat Egosentrisme


Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh,
Lala menyimpan boneka di dalam kotak, lalu
meninggalkan ruangan, kemudian Baim
memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu
baru Lala kembali ke ruangan. Anak dalam tahap
operasi konkrit akan mengatakan bahwa Lala akan

52
tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak
walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah
dipindahkan ke dalam laci oleh Baim.
4. Tahap Operasional Formal

Tahap operasional formal adalah periode terakhir


perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus berlanjut sampai
dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara
logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor biologis,
tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia
dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan social.

Pada tahap ini, remaja telah memiliki kemampuan


untuk berpikir sistematis, yaitu bisa memikirkan semua
kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan. Contoh:
ketika suatu saat mobil yang ditumpanginya mogok, maka
jika penumpangnya adalah seorang anak yang masih dalam
tahap operasi berpikir kongkret, ia akan berkesimpulan
bahwa bensinnya habis. Ia hanya menghubungkan sebab
akibat dari satu rangkaian saja. Sebaliknya pada remaja yang

53
berada pada tahap berfikir formal, ia akan memikirkan
beberapa kemungkinan yang menyebabkan mobil itu mogok.
Bisa jadi karena businya mati, atau karena platinanya, dll.

Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky

Karya Vygotsky didasarkan pada dua gagasan utama.


Pertama, dia berpendapat bahwa perkembangan intelektual
dapat dipahami hanya dari sudut konteks historis dan budaya
yang dialami anak-anak. Kedua, dia percaya bahwa
perkembanagn bergantung pada system tanda yang ada
bersama masing-masing orang ketika mereka tumbuh.
Symbol-simbol yang diciptakan budaya untuk membantu
berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah,
misalnya bahasa, system menulis, atau system budaya.

Berbeda dari Piaget, Vygotsky berpendapat bahwa


perkembangan kognisi sangat terkait dengan masakan dari
orang-orang lain. Teori Vygotsky mengatakan bahwa
pembelajaran mendahului perkembangan. Bagi Vygotsky,
pembelajaran melibatkan perolehan tanda-tanda melalui
pengajaran dan informasi dari orang lain. Perkembangan
melibatkan internalisasi anak terhadap tanda-tanda ini
sehingga sanggup berpikir dan memecahkan masalah tanpa
bantuan orang lain, kemampuan ini disebut pengaturan diri
(self-regulation).

54
Langkah pertama dalam perkembangan kemandirian
dan pemikiran independen ialah belajar bahwa tindakan dan
suara mempunyai makna. Misalnya, seorang bayi belajar
bahwa proses menjangkau suatu objek ditafsirkan oleh orang
lain sebagai isyarat bahwa bayi tersebut menginginkan objek
itu. Langkah kedua dalam mengembangkan struktur internal
dan kemandirian melibatkan praktik. Misalnya, praktik bayi
memberikan isyarat yang akan memperoleh perhatian.
Langkah terakhir melibatkan penggunaan tanda untuk
berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain.
Pada saat ini, anak-anak akhirnya mengatur diri sendiri (self
regulating) dan system tanda tersebut telah diinternalisasi.

a. Percakapan Pribadi

Percakapan pribadi adalah suatu mekanisme yang


ditekankan Vygotsky untuk mengubah pengetahuan
bersama menjadi pengetahuan pribadi. Ia berpendapat
bahwa anak-anak menyerap percakapan orang lain dan
kemudian menggunakan percakapan itu untuk membantu diri
sendiri memecahkan masalah.

b. Zona Perkembangan Proksimal

Teori Vygotsky menyiratkan bahwa perkembsngsn kognitif


dan kemampuan menggunakan pemikiran untuk
mengendalikan tindakan-tindakan kita sendiri.

55
Pertama-tama memerlukan penguasaan system-
sistem komunikasi budaya dan kemudian belajar
menggunakan system-sistem iniuntuk mengatur proses
pemikiran kita sendiri. Sumbangan terpenting teori Vygotsky
ialah penekanan terhadap hakikat pembelajaran
sosiokultural (Vygotsky, 1978; Karpov & Haywood, 1998). Dia
percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika anak-anak
bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka (zone
of proximal development). Vygotsky percaya bahwa
keberfungsian mental yang lebih tinggi biasanya ada dalam
percakapan dan kerja sama diantara orang-orang sebelum
hal itu ada dalam diri orang tersebut.

c. Perancahan

Gagasan kunci yang berasal dari pendapat Vygotsky


tentang pembelajaran social ialah perancahan (scaffolding),
bantuan yang diberikan oleh teman atau orang dewasa yang
lebih kompeten. Lazimnya, perancahan berarti menyediakan
banyak dukungan kepada seorang anak selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian menghilangkan dukungan
dan meminta anak tersebut memikul tanggung jawab yang
makin besar begitu dia sanggup. Orangtua menggunakan
perancahan ketika mereka mengajari anak-anak mereka
menggunakan permainan baru atau untuk mengikat sepatu
mereka (Roggof, 2003).

56
d. Pembelajaran Kerjasama

Teori-teori Vygotsky mendukung penggunaan strategi


pembelajaran kerja sama untuk saling membantu belajar
(Slavin, Hurley & Chamberlain, 2003). Karena biasanya
teman- teman bekerja dalam zona perkembangan proksimal
satu sama lain, mereka menyediakan contoh bagi satu sama
lain tentang pemikiran yang sedikit lebih maju. Selain itu,
pembelajaran kerja sama memungkinkan percakapan batin
anak-anak tersedia bagi anak-anak lain, sehingga mereka
dapat memperoleh pemahaman tentang proses penalaran
satu sama lain. Vygotsky (1978) sendiri mengakui nilai
interaksi sesama teman dalam memajukan anak- anak dalam
pemikiran mereka.

Penerapan teori Vygotsky dalam pengajaran teori-


teori pendidikan Vygotsky mempunyai dua implikasi utama
yang pertama ialah keinginan menyusun rencana
pembelajaran karja sama diantara kelompok-kelompok,
siswa yang mempunyai tingkat-tingkat kemampuan yang
berbeda. Pengajaran pribadi oleh teman yang lebih
kompeten dapat berjalan efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan dalam zona perkembangan proksimal. Kedua,
pendekatan Vygotsky terhadap pengajaran menekankan
perancahan, dengan siswa yang mengambil makin banyak
tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.

57
Ide Kunci Dalam Teori Vygotsky

Vygotsky mengakui bahwa faktor biologis (misalnya,


pematangan neurologis) memainkan peran dalam
perkembangan. Anak-anak membawa karakteristik tertentu
dan menerima yang mereka hadapi untuk situasi tertentu dan
tanggapan mereka berbeda-beda. Namun, fokus utama
Vygotsky adalah pada peran lingkungan terutama lingkungan
sosial dan budaya anak yang mendorong pertumbuhan
kognitif. Berikut adalah konsep utama dan prinsip-prinsip
dalam teori Vygotsky:

1. Beberapa proses kognitif yang terlihat unik dan


berbeda dengan orang lain. Vygotsky membedakan
dua jenis proses atau fungsi kognisi. Banyak jenis
menunjukkan fungsi mental yang rendah : belajar dan
menanggapi lingkungan tertentu dengan cara dasar-
mencari makanan apa yang dimakan, bagaimana
cara terbaik untuk mendapatkan dari satu tempat ke
tempat lain, dan seterusnya. Tapi manusia unik dalam
penggunaan fungsi mental yang lebih tinggi : secara
sengaja fokus pada proses kognitif yang
meningkatkan belajar, memori, dan penalaran logis.
2. Melalui kedua percakapan informal dan pendidikan
formal, orang dewasa menyampaikan kepada anak-
anak cara-cara budaya mereka menafsirkan dan

58
menanggapi dunia. Untuk meningkatkan fungsi
mental yang lebih tinggi, orang dewasa mengajarkan
pada anak-anak makna atau nilai yang menempel
pada benda, peristiwa, dan pengalaman manusia
pada umumnya. Dalam prosesnya, mereka berubah
atau memediasi situasi pertemuan dengan anak.
Makna yang disampaikan melalui berbagai
mekanisme, termasuk bahasa (kata-kata yang
diucapkan, menulis, dll), simbol matematika, seni,
musik, dan sebagainya. Percakapan informal adalah
salah satu metode umum yang relevan di mana orang
dewasa menyampaikan budaya untuk menafsirkan
keadaan tertentu.
3. Setiap kebudayaan melewati sarana fisik dan kognitif
yang membuat hidup bersama setiap hari lebih efektif
dan efisien. Tidak hanya orang dewasa mengajari
anak-anak cara-cara khusus untuk menafsirkan
pengalaman tetapi mereka juga menyampaikan alat
khusus yang dapat membantu anak mengatasi
berbagai tugas dan masalah mereka yang cenderung
untuk dihadapi.

Jadi teori Vygotsky menuntun kita untuk


berharap banyak keragaman kemampuan khusus
kognitif anak-anak sebagai hasil dari mereka yang

59
bervariasi latar belakang budaya. Misalnya, anak
lebih mungkin untuk memperoleh keterampilan
membaca peta-peta jika (mungkin dari jalan, sistem
kereta bawah tanah, dan pusat perbelanjaan) adalah
bagian penting dari komunitas mereka dan kehidupan
keluarga (Liben & Myers, 2007). Dan anak-anak
belajar menghitung dan berhitung operasi (misalnya,
penambahan, perkalian) hanya dalam budaya yang
memiliki jumlah yang tepat sistem yang sistematis
memberikan simbol yang berbeda untuk jumlah yang
berbeda (M. Cole, 2006; Pinker, 2007).

4. Pemikiran dan bahasa menjadi semakin saling


tergantung dalam beberapa tahun pertama
kehidupan. Satu alat yang kognitif sangat penting
adalah bahasa. Bagi kita sebagai orang dewasa,
pemikiran dan bahasa saling berhubungan. Tapi
kadang- kadang sekitar usia 2 tahun, pemikiran dan
bahasa menjadi saling terkait : Anak mulai untuk
mengungkapkan pikiran mereka ketika mereka
berbicara, dan mereka mulai berpikir dari segi kata-
kata. Dalam pandangan Vygotsky, seperti self-talk
(juga dikenal sebagai pidato pribadi) memainkan
peran penting dalam perkembangan kognitif. Self-talk
akhirnya berkembang menjadi inner speech, di mana

60
anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat
suara. Artinya, mereka terus mengarahkan diri secara
verbal melalui tugas dan kegiatan, tetapi yang lain
tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka
melakukan.
5. Proses mental Kompleks muncul dari kegiatan sosial,
seperti anak-anak mengembangkan, mereka secara
bertahap internalisasi proses yang mereka gunakan
dalam konteks sosial dan mulai menggunakannya
secara mandiri. Vygotsky diusulkan bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi memiliki akar dalam interaksi
sosial. Sebagai anak-anak, mereka mendiskusikan
benda, peristiwa, tugas, dan masalah dengan orang
dewasa dan lainnya. sering dalam konteks budaya
sehari-hari kegiatan mereka secara bertahap
dimasukkan ke dalam cara mereka sendiri
memikirkan cara- cara di mana orang-orang di sekitar
mereka berbicara tentang dan menafsirkan dunia,
dan mereka mulai menggunakan kata-kata, konsep,
simbol, dan strategi pada dasarnya, kognitif alat yang
khas untuk budaya mereka. Proses melalui mana
kegiatan sosial berkembang menjadi kegiatan mental
internal disebut internalisasi.

61
6. Anak-anak berpikir sesuai budaya mereka dan cara
mereka sendiri. Anak-anak tentu tidak
menginternalisasi apa yang mereka lihat dan dengar
dalam konteks sosial. Sebaliknya, mereka sering
mengubah ide, strategi, dan alat-alat kognitif lainnya
untuk memenuhi kebutuhan dan dengan tujuan
merka sendiri. Teori Vygotsky memiliki unsur
konstruktivis untuk itu. Istilah apropriasi mengacu
pada proses ini internalisasi tetapi juga mengadaptasi
ide-ide dan strategi budaya seseorang untuk
digunakan sendiri.
7. Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih
sulit ketika mereka memiliki bantuan dari banyak
orang yang lebih paham atau pandai dan kompeten
dari diri mereka. Vygotsky membedakan antara dua
jenis tingkat kemampuan yang mencirikan
keterampilan anak-anak pada setiap titik tertentu
dalam perkembangan. tingkat perkembangan
seorang anak adalah batas atas tugas-tugas yang ia
dapat melakukan secara mandiri, tanpa bantuan dari
orang lain. Tingkat seorang anak perkembangan
potensial adalah batas atas tugas bahwa dia dapat
melakukan dengan bantuan individu yang lebih
kompeten. Untuk mendapatkan yang benar rasa

62
perkembangan kognitif anak, Vygotsky menyarankan,
kita harus menilai kemampuan mereka baik saat
melakukan sendirian dan ketika tampil dengan
bantuan.
8. Tugas Menantang mendorong pertumbuhan kognitif
yang maksimal. Berbagai tugas bahwa anak-anak
belum biasa melakukan secara mandiri tetapi dapat
melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari
orang lain. ZPD Seorang anak termasuk belajar dan
kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai
muncul dan mengembangkan kemampuan secara
matang. ZPD setiap anak akan berubah seiring
waktu. Sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang
lebih kompleks akan muncul untuk menyajikan
tantangan baru. Singkatnya, itu adalah tantangan
dalam hidup, daripada keberhasilan mudah, yang
mempromosikan perkembangan kognitif.
9. Bermain memungkinkan anak-anak untuk
”meregangkan“ kognitif sendiri. Dalam bermain anak
selalu berperilaku melampaui rata-rata usianya, di
atas perilaku sehari- hari, dalam bermain itu seolah-
olah dia adalah kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri
” (Vygotsky, 1978, hlm.102) Selain itu, karena anak-
anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti

63
standar atau harapan tertentu. Pada tahun-tahun
awal sekolah dasar, anak-anak sering bertindak
sesuai dengan bagaimana seorang ayah, guru, atau
pelayan akan berperilaku. Dalam pertandingan grup
terorganisir dan olahraga yang datang kemudian,
anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan.
Dengan berpegang pada batasan tertentu pada
perilaku mereka, anak-anak belajar untuk
merencanakan ke depan, untuk berpikir sebelum
bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri-
keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di
dunia orang.

E. Teori Pertumbuhan

Pertumbuhan diartikan perubahan kuantitatif pada


material sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh
lingkungan. Perubahan kuantitatif dapat berupa pembesaran
atau pertambahan dari tidak ada menjadi ada, dari sedikit
menjadi banyak, dari sempit menjadi luas, dan sebagainya.
Pertumbuhan pribadi sebagai perubahan kuantitatif pada
material pribadi sebagai akibat dari adanya pengaruh
lingkungan material seperti sel, kromosom, butir darah,
rambut, lemak, dan tulang tidak dapat dikatakan berkembang
melainkan tumbuh. Begitu juga material pribadi, seperti

64
kesan, keinginan, ide, pengetahuan, nilai, selama tidak
dihubungkan dengan fungsinya tidak dapat dikatakan
berkembang melainkan mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan dinyatakan dalam bentuk perubahan yang
terjadi pada bagian-bagian material, tetapi pertumbuhan itu
sendiri mempunyai sifat kesatuan dan keumuman, dalam hal
ini suatu organisme.

65
66
BAB IV

KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS PESERTA DIDIK

A. Intelegensi
Inteligensi atau kecerdasan intelektual adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu. Ormrod (2008) mengemukakan
bahwa inteligensi merupakan kemampuan untuk
mengaplikasikan secara fleksibel pengetahuan dan
pengalaman yang telah diperoleh untuk menghadapi tugas-
tugas baru yang menantang. Individu dikatakan berperilaku
inteligen apabila melakukan sesuatu secara efektif dengan
bantuan minimal atau bahkan tanpa bantuan sama sekali
dari orang lain sekitar.
Sedangkan inteligensi menurut Santrock (2008)
merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah
serta menyesuaikan diri dan belajar dari pengalaman hidup.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa inteligensi adalah
kemampuan potensial individu dalam menyesuaikan diri
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari

67
sesuai tugas perkembangannya. David Wechsler (1958)
mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami dunia, bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif
saat menghadapi masalah atau tantangan. Walters dan
Gardners (1986) mendefinisikan inteligensi sebagai
serangkaian kemampuan- kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk
sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
Ormrod (2008) menyimpulkan pandangan dari para
tokoh tentang definisi dan rumusan inteligensi yang memiliki
berbagai kualitas sebagai berikut.
1. Bersifat adaptif, dapat digunakan secara fleksibel
untuk merespons berbagai situasi dan kondisi
permasalahan yang dihadapi.
2. Berkaitan dengan kemampuan untuk belajar. Orang
yang cerdas dalam bidang tertentu dapat mempelajari
informasi-informasi dan perilaku-perilaku baru dalam
bidang tersebut secara lebih cepat dan lebih mudah
dibanding orang yang kurang cerdas.
3. Istilah inteligensi lebih merujuk pada penggunaan
pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki untuk
menganalisis dan memahami situasi baru secara
efektif.

68
4. Istilah inteligensi melibatkan interaksi dan koordinasi
yang kompleks dari berbagai proses mental.
5. Istilah inteligensi terkait dengan budaya tertentu.
Bahwa perilaku inteligen dalam budaya tertentu tidak
selalu dianggap perilaku inteligen dalam budaya lain.

Dalam psikologi, pengukuran inteligensi dilakukan


dengan menggunakan alat-alat psikodiagnostik atau yang
dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran inteligensi
biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang
dapat menyatakan tinggi rendahnya inteligensi yang diukur,
yaitu IQ (Intellegence Quotient). Secara umum kita dapat
mengatakan bahwa inteligensi tidak hanya merupakan suatu
kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam
bentuk simbol-simbol (seperti dalam matematika), tetapi jauh
lebih luas menyangkut kapasitas untuk belajar kemampuan
menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai
persoalan, serta kemampuan untuk mencari berbagai
alternatif.

Contoh perbuatan yang menyangkut inteligensi: Jika


seseorang mengamati suatu pemandangan alam, dan
mempunyai tanggapan dalam memorinya tentang
pemandangan tersebut, ini adalah persepsi. Tetapi kalau ia
mengamati detail seperti pohon, bunga, matahari, kemudian
menganalisis, membandingkan dan mencari hubungan dari

69
berbagai benda yang diamatinya, maka perbuatannya sudah
merupakan perbuatan yang berinteligensi.

B. Emosi

Emosi merupakan kondisi psikologis yang dirasakan


sebagai perasaan positif atau negatif yang dapat
memengaruhi aspek-aspek psikologis lainnya. Emosi positif
seperti rasa senang, bahagia, aman, diketahui sebagai emosi
yang berdampak positif terhadap belajar. Sebaliknya emosi
negatif seperti cemas, takut, marah, kecewa atau sedih dapat
berpengaruh negatif yang menghambat proses berpikir dan
belajar.

Peter Salovey dan John Mayer (1990) mengemukakan


konsep kecerdasan emosional sebagai kemampuan
merasakan dan mengungkap emosi secara akurat dan
adaptif, memahami perspektif orang lain, menggunakan
perasaan untuk memfasilitasi pikiran seperti berada dalam
suasana hati yang positif yang berkaitan dengan pemikiran
kreatif, serta untuk mengukur emosi dalam diri sendiri dan
orang lain seperti kemampuan untuk mengendalikan
kemarahan. Emosi adalah pengalaman
yang bersifat subjektif atau dialami berdasarkan sudut
pandang individu. Goleman, yang mengembangkan konsep
ini menegaskan bahwa kecerdasan emosi lebih berperan

70
daripada kecerdasan intelektual dalam memprediksi
keberhasilan atau kesuksesan individu. Dalam hal ini meski
anak didik memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, bila
kecerdasan emosionalnya kurang, ia akan mengalami
hambatan dan kesulitan dalam belajar dan mengatasi
masalah-masalahnya.

Dalam proses belajar dan pembelajaran, pendidik


harus dapat membangkitkan dan memelihara emosi positif
peserta didik; perlu dijaga agar ia merasa senang dan
antusias melakukan kegiatan dan tugas-tugas akademiknya.
Seperti juga kecerdasan intelektual, peserta didik dapat
berbeda kecerdasan emosionalnya, yang bisa disebabkan
pengalaman ataupun perlakuan yang diterima; apakah
individu mendapat pembinaan emosi yang tepat atau
sebaliknya.

C. Motivasi

Motivasi didefinisikan sebagai keadaan internal yang


membangkitkan, mengarahkan, dan mempertahankan
perilaku. Studi mengenai motivasi difokuskan pada
bagaimana dan mengapa orang memprakarsai tindakan
yang diarahkan pada tujuan tertentu, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk memulai kegiatan, dan seberapa

71
persisten siswa berusaha untuk mencapai tujuannya serta
bagaimana yang mereka rasakan dan pikirkan.

Motivasi adalah konstruksi teoretis yang digunakan


untuk menjelaskan inisiasi, arah, intensitas, kegigihan, dan
kualitas perilaku (Maehr & Meyer, 1997). Selanjutnya Keller
(1987) mendefinisikan motivasi sebagai konsep yang
memengaruhi arah besarnya perilaku dan memengaruhi
upaya hasil dari perilaku. David Mc. Clelland (1965)
mengungkapkan motivasi diasosiasikan dengan kebutuhan
untuk berprestasi (need for achievement). Menurut John
Atkinson dan Ryanor (1978), motivasi dihubungkan dengan
kebutuhan untuk menghindari kegagalan; Abraham Maslow
(1987) mengungkapkan teori bahwa motivasi dipicu oleh
kebutuhan dasar mulai dari kebutuhan fisiologis untuk
survival, kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, harga
diri, kebutuhan untuk mengetahui, aktualisasi diri sampai
kebutuhan transcendence. Maslow menegaskan perlunya
motivasi dalam belajar.

Motivasi belajar merupakan kekuatan yang


menggerakkan dan mengarahkan kegiatan belajar. Dengan
adanya motivasi belajar, peserta didik akan berusaha
mencari informasi dan mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan. Motivasi secara umum dapat dibedakan menjadi
motivasi intrinsik dan ekstrinsik.

72
1. Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk


melakukan sesuatu demi hal itu sendiri (sebuah tujuan yang
sesuai dengan kegiatan itu sendiri). Misalnya, seorang siswa
belajar dengan keras karena ia menyukai materi yang
dipelajarinya untuk bisa menguasai materi tersebut. Siswa
yang termotivasi secara intrinsik mungkin terlibat dalam suatu
aktivitas karena aktivitas itu memberinya kesenangan,
membantu mereka mengembangkan keterampilan yang
dirasa penting, atau tampak secara etika dan moral benar
untuk dilakukan. Siswa yang mempunyai tingkat motivasi
intrinsik tinggi akan fokus dan hanyut dalam suatu aktivitas
tanpa memedulikan waktu dan mengabaikan tugas-tugas
yang lainnya. Woolfolk menambahkan bahwa sumber
motivasi intrinsik adalah adanya faktor-faktor internal, seperti
minat (interest), kebutuhan (needs), kenikmatan (enjoyment),
dan rasa ingin tahu (curiosity).

2. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah kekuatan yang


menggerakkan individu melakukan sesuatu untuk
mendapatkan sesuatu yang lain (di luar kegiatan yang
dilakukan). Motivasi ekstrinsik sering kali dipengaruhi oleh
insentif eksternal seperti penghargaan dan hukuman.

73
Misalnya, seorang siswa dapat belajar dengan keras untuk
sebuah ujian dengan tujuan untuk mendapatkan nilai bagus
di mata pelajaran tersebut. Siswa yang termotivasi secara
ekstrinsik dikarenakan oleh faktor- faktor eksternal dan tidak
berkaitan dengan tugas yang dilakukan, mungkin
menginginkan nilai yang baik, uang, atau pengakuan
terhadap aktivitas dan prestasi khusus. Pada dasarnya,
mereka termotivasi untuk melakukan sesuatu sebagai sarana
untuk mencapai tujuan lain, bukan sebagai tujuan langsung
dari kegiatan belajar yang dilakukan, yaitu untuk menguasai
materi atau hal yang dipelajari.

Secara keseluruhan, para ahli merekomendasikan agar


guru menciptakan atmosfer kelas di mana murid dapat
termotivasi secara intrinsik untuk belajar. Salah satu
pandangan dari motivasi intrinsik menekankan karakteristik
determinasi diri. Memberi murid beberapa pilihan sumber dan
cara belajar serta memberi banyak kesempatan untuk
tanggung jawab personal, akan meningkatkan motivasi
intrinsik peserta didik. Karena konsep motivasi belajar
banyak dikembangkan oleh para ahli psikologi pendidikan,
maka bahasan tentang motivasi belajar akan dilanjutkan
dalam bab tersendiri.

74
D. Minat

Minat adalah rasa lebih suka dan tertarik pada suatu


hal atau aktivitas, tanpa ada paksaan. Minat pada dasarnya
adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri
dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat
hubungan tersebut, semakin besar minatnya. Crow and Crow
mengatakan bahwa minat berhubungan dengan gaya gerak
yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau
berurusan dengan orang, benda, kegiatan, pengalaman yang
dirangsang oleh kegiatan itu sendiri. Minat dapat
diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa
siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat
pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu
aktivitas, seperti aktivitas belajar.

Siswa yang memiliki minat pada topik atau aktivitas


tertentu bisa jadi karena menganggap topik atau aktivitas
tersebut menarik dan menantang. Minat terkait dengan
motivasi intrinsik. Siswa yang mengerjakan suatu tugas yang
menarik minatnya mengalami afek positif yang signifikan
seperti kesenangan, kegembiraan, dan kesukaan. Siswa
yang tertarik pada sebuah topik tertentu dapat mencurahkan
perhatian yang lebih banyak pada topik itu dan menjadi lebih
terlibat secara kognitif di dalamnya. Siswa juga akan
cenderung mempelajari sesuatu secara lebih bermakna,

75
terorganisasi, dan terperinci. Misalnya, dengan
mengaitkannya dengan pengetahuan sebelumnya,
membentuk gambar- gambar visual, memberikan contoh-
contoh, mengaitkan berbagai ide, menarik kesimpulan, serta
mengidentifikasi potensi penerapannya.

Jenis-Jenis Minat

1. Minat Situasional

Minat situasional dipicu oleh sesuatu dari lingkungan


sekitar, seperti hal-hal yang baru, berbeda, tak
terduga, menantang, sering menghasilkan minat
situasional, dan hal-hal yang melibatkan tingkat
aktivitas yang tinggi atau emosi yang kuat. Siswa juga
cenderung dibuat penasaran oleh topik-topik yang
berkaitan dengan orang dan budaya, alam, dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini. Karya fiksi
seperti novel, cerita pendek dan lain-lain lebih
menarik dan memikat ketika mencakup tema dan
karakter yang dapat diidentifikasi secara pribadi oleh
siswa. Guru dapat membangkitkan minat situasional
peserta didik dengan cara menyajikan materi yang
menarik serta tugas yang menantang.

76
2. Minat Pribadi

Minat pribadi adalah minat yang bersifat jangka


panjang dan relatif stabil pada suatu topik atau
aktivitas. Minat pribadi semacam ini relatif stabil
sepanjang waktu dan menghasilkan pola yang
konsisten dalam pilihan yang dibuat siswa. Sering kali
minat pribadi dan pengetahuan saling menguatkan,
minat dalam sebuah topik tertentu memicu semangat
untuk mempelajari lebih dalam tentang topik tersebut,
dan pengetahuan yang bertambah sebagai akibat dari
proses pembelajaran itu pada gilirannya
meningkatkan minat yang lebih besar. Pada dasarnya
minat pribadi lebih bermanfaat. dibandingkan minat
situasional, karena minat ini memungkinkan
keterlibatan proses-proses kognitif yang efektif dan
perbaikan dalam jangka panjang. Namun demikian,
minat pribadi peserta didik perlu dijaga dan
dipertahankan jangan sampai terganggu oleh
kurangnya daya tarik dalam pembelajaran.

E. Gaya Belajar

Kemampuan setiap anak atau peserta didik untuk


menyerap dan memahami pelajaran tentu berbeda; demikian
pula dengan cara mereka belajar, yang bisa disebut dengan

77
gaya belajar. Ada anak yang lebih suka apabila guru mereka
mengajar dengan cara menulis materi di papan tulis atau
menayangkan materi dalam bentuk power point; dengan
begitu mereka bisa membaca untuk memahami materi
tersebut; mereka ini memiliki gaya belajar visual. Sedangkan
sebagian siswa lainnya lebih suka bila guru menjelaskan
materi secara lisan, mendengarkan rekaman, atau
berdiskusi, sehingga siswa bisa mendengar untuk
memahami materi yang dipelajari; mereka memiliki gaya
belajar auditif (auditory learners). Ada juga siswa yang suka
belajar sambil melakukan sesuatu seperti menggambar,
membuat ringkasan dalam bentuk mindmap atau infografis,
membuat laporan observasi, melakukan percobaan/
eksperimen, dan lain sebagainya. Tipe belajar seperti ini
disebut gaya taktil (Tactual Learners).

Apa pun cara belajar yang disukai setiap anak didik,


pendidik perlu memandu agar setiap anak didik dapat
menemukan suatu gaya belajar yang sesuai dengan dirinya
tanpa meninggalkan cara belajar yang lain karena di dalam
kelas, tidak mungkin guru hanya menggunakan satu strategi
saja dalam mengajar. Berbagai variasi pendekatan, metode
dan teknik pembelajaran dapat diterapkan agar dapat
memenuhi kebutuhan setiap anak dan membuat kelas tidak
kaku dan monoton.

78
Untuk dapat memenuhi kebutuhan belajar anak didik
dengan gaya visual, guru bisa menggunakan beragam
bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi
pelajaran. Perangkat grafis itu bisa berupa film, slide, gambar
ilustrasi, coretan-coretan, kartu bergambar, atau poster.
Untuk memenuhi kebutuhan anak didik dengan gaya belajar
auditory, guru dapat mengemas materi pembelajaran dengan
ceramah bervariasi, menggunakan alat perekam, meminta
siswa untuk bercerita di depan kelas atau berdiskusi.
Sedangkan untuk anak didik dengan gaya taktil,
pembelajaran bisa dilakukan dengan bantuan bermacam alat
peraga yang bisa disentuh, belajar di laboratorium atau
bermain sambil belajar. Penggunaan komputer bagi peserta
didik yang memiliki gaya belajar taktil akan sangat membantu
karena dengan menggunakan komputer anak akan terlibat
aktif dalam melakukan touch, sekaligus menyerap informasi
dalam bentuk gambar dan tulisan. Selain itu agar belajar
menjadi lebih efektif dan bermakna, anak didik dapat diminta
melihat atau observasi langsung data-data di lapangan.

Selain perbedaan individu dari aspek-aspek


psikologis seperti telah dikemukakan, terdapat faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan dan
proses belajar individu yaitu aspek budaya, bahasa, status
sosial ekonomi, dan jenis kelamin atau gender.

79
80
BAB V

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pengertian Belajar

Belajar menurut kamus bahasa Indonesia:

Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu,


berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang
disebabkan oleh pengalaman. Pengertian belajar menurut
beberapa ahli:

a. James O. Whittaker (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi


Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah Proses
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui
Latihan atau pengalaman.
b. Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.
c. Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu aktifitas yang
ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagaihasil
dari pengalaman.
d. Howard L. Kingskey (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi
Belajar; Rineka Cipta;1999) Belajar adalah proses

81
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui
praktek atau latihan.
e. Drs. Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam
interaksi dengan lingkungannya.
f. Djamarah, Syaiful Bahri, (Psikologi Belajar; Rineka
Cipta; 1999) Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa
raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif
dan psikomotor.
g. R. Gagne (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) hal 22. Belajar adalah suatu proses
untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan,
ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku.
h. Herbart (swiss) Belajar adalah suatu proses pengisian
jiwa dengan pengetahuan dan pengalamn yang
sebanyak-banyaknya dengan melalui hafalan.
i. Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of
learning mengemukakan bahwa: Learning is change in
human disposition or capacity, wich persists over a

82
period time, and which is not simply ascribable to
process a groeth. Belajar adalah perubahan yang terjadi
dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus
menerus, bukan hanya disebabkan karena proses
pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri
dan keduanya saling berinteraksi.
j. Lester D. Crow and Alice Crow Belajar adalah
acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar
adalah upaya-upaya untuk memperoleh kebiasaan-
kebiasaan, pengetahuan dan sikap.
k. Ngalim Purwanto (1992) Belajar adalah setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku,
yang terjadi sebagi hasil dari suatu latihan atau
pengalaman.
l. Moh. Surya (1997): “belajar dapat diartikan sebagai
suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan perilaku baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
m. Witherington (1952): “belajar merupakan perubahan
dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-
pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap,
kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.

83
n. Crow & Crow dan (1958:“belajar adalah diperolehnya
kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
o. Hilgard (1962): “belajar adalah proses dimana suatu
perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena
adanya respons terhadap sesuatu situasi”.
p. Di Vesta dan Thompson (1970):“belajar adalah
perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil
dari pengalaman”.

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata


kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini,
Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan
perilaku, yaitu:

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional)

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar


dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu
juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan,
misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan
sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya,
seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha
mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga,

84
setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari
bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku,
dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi
Pendidikan.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu)

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang


dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari
pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi
dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan
keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa
telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat
Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi
Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan
keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti
perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3. Perubahan yang fungsional

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat


dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang
bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang

85
maupun masa mendatang. Contoh: seorang mahasiswa
belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan
dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan
perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan
mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak
ketika dia menjadi guru.

4. Perubahan yang bersifat positif

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan


menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang
mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi
Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose
Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan
perbedaanperbedaan individual atau perkembangan
perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah
mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia
memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip
– prinsip perbedaan individual maupun prinsip- prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang


bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan.
Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan

86
baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa
tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi
dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat permanen

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar


cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat
dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar
mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan
menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan


yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang
mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang
ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan
tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam
bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A.
Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi
guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang

87
memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan

Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar


memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk
memperoleh pula perubahan dalam sikap dan
keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang
“Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi
atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga
memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru
menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia
memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-
Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003),


perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat
berbentuk:

1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam


bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan,
misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu
benda, definisi, dan sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu
dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya

88
dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya:
penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam
keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam
membedakan (discrimination), memahami konsep
konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum.
Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi
pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan
pengendalian dan pengelolaan keseluruhan
aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran,
strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan
ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas
yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan
pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif
lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa
kecakapan individu untuk memilih macam tindakan
yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah
keadaan dalam diri individu yang akan memberikan
kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu
obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur
pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan
kesiapan untuk bertindak.

89
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa
kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan
fisik. Sementara itu, Moh. Surya (1997)
mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak
dalam: Kebiasaan; seperti: peserta didik belajar
bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan
penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga
akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa
secara baik dan benar.
6. Keterampilan; seperti: menulis dan berolah raga yang
meskipun sifatnya motorik, keterampilan-
keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang
teliti dan kesadaran yang tinggi.
7. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan,
dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui
indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik
mampu mencapai pengertian yang benar.
8. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara
mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan
menggunakan daya ingat.
9. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan
prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam
menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana”
(how) dan“mengapa” (why).

90
10. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap
untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap
orang atau barang tertentu sesuai dengan
pengetahuan dan keyakinan.
11. Inhibisi (menghindari hal yang tidak berguna).
12. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu).
13. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan
dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira,
kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi


sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan
(domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan
aspek-aspeknya. Berikut beberapa faktor pendorong
mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar:

1. Adanya dorongan ingin tahu


2. Adanya keinginan untuk menguasai Ilmu
Pengetahuan dan teknologi sebagai tuntunan zaman
dan lingkungan sekitarnya
3. Mengutip dari istilah Abraham Maslow bahwa segala
aktivitas manusia didasari atas kebutuhan yang harus
dipenuhi dari kebutuhan biologis sampai aktualisasi
diri.
4. Untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang
telah diketahuinya.

91
5. Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungannya.
6. Untuk meningkatkan intelektualitas dan
mengembangkan potensi diri.
7. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
8. Untuk mengisi waktu luang

B. Jenis-Jenis Belajar
1. Menurut Robert M. Gagne

Manusia memiliki beragam potensi, karakter, dan


kebutuhan dalam belajar. Karena itu banyak tipre-tipe
belajar yang dilakukan manusia. Gagne mencatat ada
delapan tipe belajar :

a. Belajar isyarat (signal learning). Menurut Gagne,


ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia
terhadap stimulus sebenarnya tidak menimbulkan
respon.dalam konteks inilah signal learning terjadi.
Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan
isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa
tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
b. Belajar stimulus respon. Belajar tipe ini memberikan
respon yang tepat terhadap stimulus yang diberikan.
Reaksi yang tepat diberikan penguatan
(reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu

92
(shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan
suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang
sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya.
Guru member pertanyaan kemudian murid
menjawab.
c. Belajar merantaikan (chaining). Tipe ini merupakan
belajar dengan membuat gerakangerakan motorik
sehingga akhirnya membentuk rangkaian gerak
dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran
tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-
proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya.
d. Belajar asosiasi verbal (verbal Association). Tipe ini
merupakan belajar menghubungkan suatu kata
dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau
kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam
urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah
kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek
tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
e. Belajar membedakan (discrimination). Tipe belajar ini
memberikan reaksi yang berbeda– beda pada
stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya
yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk
pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang
mempunyai jawaban yang mempunyai banyak versi

93
tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang
benar. Guru memberikan sebuah bentuk (kubus)
siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak,
seperti kotak kardus, kubus, dsb.
f. Belajar konsep (concept-learning). Belajar
mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan
obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang
membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang
mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami
sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori.
Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum
praktek, atau konsep dalam kuliah mekanika teknik.
g. Belajar dalil (rule learning). Tipe ini meruoakan tipe
belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang
terdiri dari penggabungan beberapa konsep.
Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam
bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru
memberikan hukuman kepada siswa yang tidak
mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban
siswa, dalam hal itu hukuman diberikan supaya siswa
tidak mengulangi kesalahannya.
h. Belajar memecahkan masalah (problem solving). Tipe
ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan
beberapa kaidah untuk memecahkan masalah,

94
sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher
order rule). Contohnya yaitu seorang guru
memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-
siswanya untuk memancing otak mereka mencari
jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.

C. Pengertian Pembelajaran

Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan


pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan
pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi
tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran
formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang
guru lakukan di dalam kelas.

1. Pengertian pembelajaran menurut kamus besar


bahsa Indonesia: Pembelajaran adalah proses, cara
menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.
2. Pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli:
a. Duffy dan Roehler (1989). Pembelajaran adalah
suatu usaha yang sengaja melibatkan dan
menggunakan pengetahuan profesional yang
dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum.
b. Gagne dan Briggs (1979:3). Mengartikan
instruction atau pembelajaran ini adalah suatu
sistem yang bertujuan untuk membantu proses

95
belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa
yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk
mempengaruhi dan mendukung terjadinya
proses belajar siswa yang bersifat internal.
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

D. Ciri-Ciri Pembelajaran

Ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:

1. Merupakan upaya sadar dan disengaja


2. Pembelajar harus membuat siswa belajr
3. Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum
proses dilaksanakan
4. Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses
maupun hasilnya
E. Pembelajaran, Pengajaran, Pemelajar, Dan Pembelajar

Pembelajaran adalah separangkat tindakan yang dirancang


untuk mendukung proses belajar siswa, dengan
memperhitungkan kejadia-kejadian ekstrim yang berperan
terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang
berlangsung dialami siswa (Winkel,1991).

96
Pengajaran adalah proses, perbuatan, cara mengajar
atau mengajarkan perihal mengajar, segala sesuatu
mengenai mengajar, peringatan (tentang pengalaman,
peristiwa yang dialami atau dilihatnya). (Dariyanto S.S,
Kamus Bahasa Indonesia, 1997). Pengajaran adalah
kegiatan yang dilakukan guru dalam menyampaikan
pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga diartikan
sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran
berlangsung sebagai suatu proses yang saling
mempengaruhi antara guru dan siswa. Pemelajar adalah
orang yang melakukan pengajaran.

97
98
BAB IV

MOTIVASI BELAJAR

A. Motivasi Belajar

Motivasi merupakan kekuatan yang menggerakkan


dan mengarahkan perilaku ke arah tujuan. Kunci dari
kekuatan itu ada di tangan masing- masing individu. Pada
situasi sekolah misalnya, sebagian siswa dapat
mengarahkan kekuatan itu sendiri dengan sangat baik,
sementara sebagian siswa yang lain membutuhkan bantuan
orang lain. Motivasi merupakan aspek penting dalam belajar.

Sering kali terjadi tumpang tindih antara motif dan


motivasi. Motif berkaitan dengan motivasi yaitu suatu
kebutuhan atau dorongan yang mendorong orang untuk
melakukan sesuatu untuk merasa termotivasi. Motif
mengandung tiga fungsi: menggerakkan; mengarahkan dan
membantu memilih perilaku yang tepat untuk mencapai
tujuan.

Woolfolk (2009) menyatakan bahwa motivasi


merupakan keadaan internal yang membangkitkan,
mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Studi tentang
motivasi difokuskan pada bagaimana dan mengapa orang

99
memprakarsai tindakan yang diarahkan pada tujuan tertentu,
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai kegiatan,
dan seberapa persisten siswa dalam usahanya untuk
mencapai tujuan dan apa yang mereka pikirkan dan rasakan
di sepanjang perjalanannya.

Sedangkan Winkel (1999) menyatakan motivasi


belajar sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
keberlangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah
pada kegiatan belajar itu, sehingga tujuan yang dikehendaki
siswa tercapai.

Motivasi sendiri merupakan isu yang sangat kompleks


tidak hanya pada apa yang kita ingin lakukan tapi juga
ketepatan dari perilaku tersebut. Jika motivasi dilihat dari
sudut pandang orang yang melakukan maka orang tidak
pernah tidak termotivasi. Siapapun yang melakukan dan apa
pun yang dilakukan selalu didorong oleh suatu tujuan.
Pandangan ini telah diungkapkan oleh beberapa psikolog.
Misalnya: David Mc. Clelland (1965) mengungkapkan
motivasi diasosiasikan dengan kebutuhan untuk berprestasi
(need for achievement); John Atkinson dan Ryanor (1978)
motivasi dihubungkan dengan kebutuhan untuk menghindari
kegagalan; Abraham Maslow (1987) bahwa motivasi dipicu
oleh delapan kebutuhan dasar, mulai kebutuhan untuk

100
survival, self-esteem, kebutuhan aktualisasi diri sampai
kebutuhan transcendence. Sementara Carl Rogers (1962)
motivasi tumbuh karena adanya kebutuhan untuk dapat
berperan optimal.

B. Teori Motivasi: Pandangan Teori Behavior, Kognitif,


dan Humanis

Motivasi dalam perspektif psikologi dapat dilihat dari berbagai


sudut pandang yang berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas
motivasi menurut perspektif behavioral, kognitif maupun
humanis.

1. Motivasi dalam Perspektif Behavioral

Dalam perspektif behavioral motivasi ditekankan pada


imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam
menentukan motivasi murid. Anak akan tergerak untuk
melakukan sesuatu karena adanya imbalan atau reward yang
akan didapatkan jika dia melakukan sesuatu.

2. Motivasi dalam Perspektif Kognitif

Menurut perspektif kognitif, pemikiran murid akan


memandu motivasi mereka. Perspektif kognitif juga
menekankan arti penting dari penetapan tujuan,
perencanaan dan monitoring kemajuan suatu tujuan (Schunk
& Zimmerman, 2008). Belakangan muncul minat besar pada

101
bahasan motivasi menurut kognitif, terutama pada ide-ide
seperti motivasi internal siswa untuk mencapai sesuatu,
atribusi mereka dan juga keyakinan bahwa mereka dapat
mengontrol lingkungan secara efektif.

Jika perspektif behavioris memandang motivasi siswa


sebagai konsekuensi dari insentif eksternal, sebaliknya
menurut kognitif tekanan eksternal jangan dilebih-lebihkan.
Siswa sebaiknya diberi kesempatan lebih banyak dan
tanggung jawab untuk mengontrol hasil prestasi mereka
sendiri (Santrock, 2008).

3. Motivasi dalam Perspektif Humanis

Dalam perspektif humanis, motivasi ditekankan pada


kapasitas siswa untuk mengembangkan kepribadian,
kebebasan untuk memilih. Salah satu tokoh yang terkenal
adalah Abraham Maslow dengan teori kebutuhan dasarnya
(hierarchy of needs). Menurut Maslow, kebutuhan dasar
harus dipenuhi dahulu sebelum memuaskan atau memenuhi
kebutuhan yang lebih tinggi. Misalnya: siswa harus
memuaskan dulu kebutuhan makan, rasa aman, disayang,
sebelum kebutuhan untuk belajar dan berprestasi.

C. Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik

Jika seorang siswa merasa menikmati, suka dan


tertantang untuk mempelajari dan menguasai suatu materi

102
pelajaran tanpa mengharapkan pujian dari guru atau orang
tua, ini merupakan contoh motivasi intrinsik. Jadi motivasi
intrinsik merupakan motivasi untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Individu dengan
motivasi belajar intrinsik tidak membutuhkan hadiah atau
hukuman untuk membuat mereka belajar karena aktivitas
belajar itu sendiri sudah menguntungkan. Mereka menikmati
tugasnya atau perasaan pencapaian prestasi yang
diperolehnya (Woolfolk, 1993). Woolfolk menambahkan
bahwa sumber motivasi intrinsik adalah faktor-faktor internal,
seperti minat (interest), kebutuhan (needs), kenikmatan
(enjoyment) dan rasa ingin tahu (curiosity). Tipe penentuan
tujuan adalah learning global, berupa kepuasan pribadi
dalam menemukan tantangan. Individu yang termotivasi
secara intrinsik, cenderung memilih tugas yang cukup sulit
dan menantang.

Sebaliknya, jika seorang siswa belajar keras untuk


mendapatkan penghargaan orang tua atau gurunya, atau
untuk mendapatkan nilai yang bagus, maka dapat
disimpulkan bahwa siswa tersebut memiliki motivasi
ekstrinsik. Alasan belajar mereka lebih karena faktor di luar
dirinya. Jadi motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu
untuk mendapatkan sesuatu yang lain.

103
Penelitian terbaru menyatakan bahwa iklim kelas
dapat meme- ngaruhi motivasi siswa (Wigfield & Eccles,
2002). Siswa akan lebih termotivasi untuk belajar saat
mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang
sesuai dengan kemampuan mereka yang mengandung nilai
informasional.

Imbalan eksternal dapat berguna untuk mengubah


perilaku. Tetapi, imbalan atau hadiah juga dapat
melemahkan pembelajaran. Dalam sebuah studi, siswa yang
sudah tertarik dengan seni dan tidak tahu ada imbalan akan
menghabiskan waktu untuk menggambar lebih banyak
dibandingkan anak yang tertarik dengan seni tetapi sudah
tahu akan ada imbalan (Lepper, et al., dalam Woolfolk, 2004).
Meskipun begitu hadiah juga dapat berguna, yaitu: 1) sebagai
insentif agar mau mengerjakan tugas, di mana tujuannya
adalah untuk mengontrol perilaku murid; dan 2) mengandung
informasi tentang penguasaan keahlian.

Menurut Schunk & Pintrich (2008), bukan imbalan


yang menimbulkan efek tapi ekspektasi atas imbalan itulah
yang memberi efek. Sedangkan imbalan yang digunakan
sebagai insentif akan menimbulkan persepsi bahwa perilaku
siswa disebabkan oleh imbalan eksternal bukan karena
motivasi dalam diri siswa untuk menjadi pandai (Ormrod,
2008).

104
Lebih lanjut Schunk mencontohkan: seorang guru
menggunakan sistem hadiah, misalnya semakin banyak
tugas yang diselesaikan siswa, maka akan semakin banyak
poin yang diraih. Poin itu dapat ditukar dengan hadiah. Murid
akan termotivasi untuk mengerjakan tugas untuk
memperoleh poin. Tetapi poin itu memberikan informasi
tentang kemampuan siswa, semakin banyak poin yang
mereka dapat berarti semakin banyak tugas yang telah
mereka selesaikan, murid akan merasa semakin kompeten.
Sebaliknya jika poin tidak memberikan informasi apa pun
tentang kemampuan siswa, maka mereka akan menganggap
imbalan sebagai pengontrol perilaku mereka.

Hadiah yang mengandung informasi tentang


kemampuan murid dapat meningkatkan motivasi intrinsik
yaitu dengan cara meningkatkan perasaan bahwa diri
mereka kompeten. Sementara umpan balik (feedback), dapat
melemahkan motivasi intrinsik terutama jika murid
meragukan kemampuan mereka untuk menjadi kompeten
(Stipek, 2002; Santrock, 2009).

D. Faktor- Faktor yang Memengaruhi Motivasi Belajar

Faktor-faktor yang memengaruhi motivasi belajar


antara lain sebagai berikut.

105
1. Cita-cita atau aspirasi

Cita-cita disebut juga aspirasi, yaitu suatu target yang


ingin dicapai. Penentuan target ini tidak sama bagi semua
siswa. Target ini diartikan sebagai tujuan yang ditetapkan
dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi
seseorang.

Cita-cita atau aspirasi yang dimaksud di sini adalah


tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang
mengandung makna bagi seseorang (Winkel, 1989). Aspirasi
ini dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Siswa
yang mempunyai aspirasi positif adalah siswa yang
menunjukkan hasratnya untuk memperoleh keberhasilan.
Sebaliknya siswa yang mempunyai aspirasi negatif adalah
siswa yang menunjukkan keinginan atau hasrat menghindari
kegagalan.

Dalam beraspirasi, siswa menentukan target atau


disebut juga taraf aspirasi, yaitu taraf keberhasilan yang
ditentukan sendiri oleh siswa dan ia mengharapkan dapat
mencapainya. Taraf aspirasi atau taraf keberhasilan ini dapat
dipakai sebagai ukuran untuk menentukan apakah siswa
mencapai sukses atau tidak.

106
2. Kemampuan belajar

Dalam belajar dibutuhkan berbagai kemampuan.


Kemampuan ini meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat
dalam diri siswa, misalnya pengamatan, ingatan, daya pikir,
dan fantasi.

Orang belajar dimulai dengan mengamati bahan yang


dipelajari. Pengamatan dilakukan dengan memfungsikan
pancaindra. Makin baik pengamatan seseorang, makin jelas
tanggapan yang terekam dalam dirinya dan makin mudah
mereproduksikan atau mengingat apa yang mengolahnya
dengan berpikiran, sehingga memperoleh sesuatu yang
baru. Daya fantasi juga sangat besar pengaruhnya terhadap
pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Jadi, siswa mempunyai kemampuan belajar yang


tinggi, biasanya lebih bermotivasi dalam belajar, karena
siswa seperti itu lebih sering memperoleh sukses, sehingga
kesuksesan ini memperkuat motivasinya.

3. Kondisi siswa
Siswa adalah makhluk hidup yang terdiri dari
kesatuan psikofisik. Jadi, kondisi siswa yang memengaruhi
motivasi belajar di sini berkaitan dengan kondisi fisik dan
psikologis.

107
4. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan unsur-unsur yang
datang dari luar diri siswa. Lingkungan siswa, sebagaimana
juga lingkungan individu pada umumnya ada tiga yaitu
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Guru harus
berusaha mengelola kelas, menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan, dan menampilkan diri secara menarik
dalam rangka membantu siswa termotivasi dalam belajar.
Lingkungan fisik sekolah, sarana dan prasarana perlu
ditata dan dikelola supaya menyenangkan dan membuat
siswa betah belajar. Kecuali kebutuhan siswa terhadap
sarana dan prasarana, kebutuhan emosional psikologis juga
perlu mendapat perhatian. Misalnya, kebutuhan akan rasa
aman sangat memengaruhi motivasi belajar siswa.
Kebutuhan berprestasi, dihargai, dan diakui merupakan
contoh-contoh kebutuhan psikologis yang harus terpenuhi,
agar motivasi belajar timbul dan dapat dipertahankan.
5. Unsur-unsur dinamis dalam belajar

Unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-


unsur yang keberadaannya dalam proses belajar tidak stabil,
kadang-kadang kuat, lemah dan bahkan hilang sama sekali,
khususnya kondisi- kondisi yang sifatnya kondisional.

108
Misalnya keadaan emosional siswa, gairah belajar dan
situasi dalam keluarga.

6. Upaya guru membelajarkan siswa

Upaya yang dimaksud di sini adalah bagaimana guru


mempersiapkan diri dalam membelajarkan siswa mulai dari
penguasaan materi, cara menyampaikannya, menarik
perhatian siswa dan mengevaluasi belajar siswa.

Selain faktor-faktor di atas, Cote dan Levine (1997)


menyatakan bahwa proses pembelajaran yang dibangun
oleh guru akan memengaruhi hasil belajar siswa, atau yang
sering disebut dengan iklim kelas. Pengalaman belajar
merupakan berbagai aktivitas instruksional yang ditawarkan
oleh guru (Purwanti, 2006), dalam istilah lain konteks dan
lingkungan pembelajaran (Cote dan Levine, 1997, 2000;
Huitt, 2003 dalam Purwanti, 2006).

Dalam proses pembelajaran, lingkungan atau


pengalaman pertama yang dipersepsi siswa adalah iklim
yang dibangun oleh guru, yang meliputi cara pengajaran
guru, situasi belajar dan evaluasi belajar yang dilakukan guru.
Jika mengacu pada dua proses yang mendasari persepsi
maka proses bawah-atas (bottom-up) terjadi ketika
berdasarkan pengajaran guru, siswa mengenali konsep yang
dianut guru tentang pembelajaran, aktivitas aktual yang

109
dilakukan serta keoptimalan evaluasi hasil belajar. Pada saat
yang sama, proses atas-bawah (top-down) terjadi ketika
pengetahuan siswa tentang proses dan tujuan pembelajaran
di sekolah membantu proses pengenalan terhadap konteks
atau lingkungan pembelajaran (Purwanti, 2006).

Burnett, et al., (2003) menyatakan bahwa cara


tertentu yang dipilih siswa dalam belajar ditentukan oleh
interaksi antara hasil persepsinya terhadap konteks
pengajaran dan karakteristik personal siswa itu sendiri.
Karakteristik personal siswa antara lain, belief siswa tentang
belajar, kemampuan interpersonal dan kecerdasan emosi.

Dalam Church, Elliot dan Gable (2001) disebutkan


adanya enam area dari iklim kelas yang dapat memengaruhi
terbentuknya orientasi belajar siswa. Keenam hal tersebut
pertama kali diungkapkan oleh Ames (1992) yaitu tugas yang
harus dikerjakan oleh siswa (task), otonomi yang diberikan
pada siswa ketika mereka sedang mengerjakan tugas
(autonomy), pemberian penghargaan bagi prestasi siswa
(recognition) pengorganisasian kelas sehingga siswa dapat
saling bekerja sama dan berinteraksi (grouping),
pelaksanaan evaluasi (evaluation) dan penggunaan waktu di
kelas yang berkaitan dengan penentuan waktu penyelesaian
tugas oleh siswa dan fleksibilitas jadwal kegiatan (time), di
mana keenam hal ini sering disingkat dengan TARGET.

110
Church, Elliot dan Gable (2001) menyatakan ada tiga
komponen dari proses pembelajaran yang akan dipersepsi
oleh siswa, yaitu: keterlibatan terhadap proses pembelajaran
(lecture engagement), evaluasi yang ketat (harsh evaluation),
serta fokus evaluasi (evaluation focus). Persepsi yang positif
terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan
kesenangan dalam belajar, mendorong mereka untuk
mempelajari materi lebih mendalam, dan pada akhirnya
dapat membuat siswa lebih terlibat dalam proses belajar
mengajar (Church, Elliot & Gable, 2001).

Selanjutnya faktor evaluasi sangat menentukan


perilaku belajar siswa, karena pandangan mengenai evaluasi
yang diberikan oleh guru akan memengaruhi pendekatan
belajar yang dipilih. Faktor evaluasi berkaitan dengan situasi
kelas yang terbentuk karena jenis evaluasi yang diberikan.
Apakah evaluasi yang dilakukan guru menekankan
perbandingan kemampuan kognitif secara sosial, atau
sebaliknya apakah evaluasi menekankan pada peningkatan
diri, partisipasi, usaha dan pendekatan belajar efektif dari
peserta didik.

E. Self-Regulated Learning

Sebagai salah satu pengembangan teori motivasi


belajar, regulasi diri dalam belajar (self-regulated learning)

111
adalah proses memunculkan dan memonitor sendiri pikiran,
perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan
ini bisa berarti tujuan akademik atau tujuan sosio- emosional
(mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman
sebaya).

Karakterisitik dari regulasi diri belajar menurut Winne


(dalam Santrock, 2008):

1. Menetapkan tujuan-tujuan untuk memperluas


pengetahuan mereka dan terus-menerus menahan
motivasi mereka.

2. Mereka mengetahui emosi-emosinya dan mempunyai


strategi- strategi untuk mengatur emosi mereka.

3. Pada waktu tertentu, mereka mengawasi


perkembangannya terhadap suatu tujuan.

4. Memperbaiki atau merevisi strategi-strategi mereka


berdasarkan kemajuan yang sedang mereka lakukan.

5. Mengevaluasi rintangan yang dapat muncul dan melalukan


penyesuaian yang diperlukan.

Dapat disimpulkan bahwa seorang pelajar yang


memiliki pengaturan diri dalam belajar adalah peserta didik
yang memiliki tujuan-tujuan yang terarah, motivasi tinggi dan

112
stategi-strategi yang mampu membantunya untuk mencapai
tujuannya.

1. Proses-proses yang Terdapat dalam Self-Regulated


Learning

Ormrod (2008) telah menjelaskan bahwa self-


regulated learning mengandung berbagai proses berikut.

a. Penentuan tujuan (goal setting). Peserta didik yang


memiliki pengaturan diri dalam belajar (self-
regulation) mengetahui apa yang mereka ingin
selesaikan bila mereka membaca atau belajar.
Misalnya mereka ingin belajar fakta-fakta yang
spesifik, ingin memiliki pemahaman dari ide-ide yang
sedang dipresentasikan atau mereka ingin
memperoleh pengetahuan agar mereka berhasil
dalam ujian.
b. Perencanaan (planning). Peserta didik yang memiliki
pengaturan diri dalam belajar sudah merencanakan
dan menentukan jauh sebelumnya, bagaimana
sebaiknya menggunakan waktu dan bagaimana
sebaiknya menggunakan sumber-sumber yang
tersedia untuk tugas-tugas belajar.
c. Pengontrolan perhatian (attention control). Peserta
didik yang memiliki pengaturan diri dalam belajar

113
mencoba untuk memusatkan perhatian mereka pada
pokok persoalan yang ada dan mencoba untuk
membebaskan ingatan dari pikiran dan emosi-emosi
yang kemungkinan besar dapat mengganggu.
d. Pengaplikasian strategi-strategi belajar (application of
learning strategies). Peserta didik yang memiliki
pengaturan diri dalam belajar memilih strategi-strategi
yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
e. Strategi-strategi memotivasi diri sendiri (self-
motivational strategies). Mengerjakan tugas dengan
strategi-strategi yang bervariasi, sebagaimana
mereka sedang bersaing dengan kinerja mereka yang
sebelumnya, menemukan agar membuat aktivitas
mereka yang membosankan lebih menarik dan lebih
menantang.
f. Permintaan bantuan dari luar apabila dibutuhkan.
Tidak berusaha untuk menentukan segalanya sendiri
sebaliknya mereka mengetahui kapan mereka
membutuhkan pertolongan orang lain mereka lebih
suka untuk meminta pertolongan yang dapat
membantu mereka berdiri sendiri dalam penyelesaian
pekerjaan dimasa depan.

114
g. Pengawasan diri (self-monitoring). Secara terus-
menerus mengawasi perkembangan dalam mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mengubah
strategi-strategi belajar atau memodifikasi tujuan-
tujuan jika diperlukan.
h. Mengevaluasi diri (self-evaluating). Menentukan
apakah betul bahwa individu telah belajar selama ini
dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Individu juga menggunakan strategi-strategi yang
bermacam-macam.

2. Strategi-Strategi Self-Regulated Learning

Menurut Zimmerman, strategi-strategi pengaturan diri


dalam belajar adalah tindakan-tindakan dan proses-proses
yang diarahkan untuk memperoleh informasi atau
keterampilan yang meliputi perwakilan, tujuan dan alat
pembantu persepsi oleh peserta didik.

a. Mengevaluasi diri (self-evaluation) adalah inisiatif


peserta didik dalam mengevaluasi kualitas hal yang
dikerjakannya.
b. Menentukan tujuan dan merencanakan (goal setting
and planning) adalah peserta didik menetapkan
tujuan atau subtujuan dan merencanakan untuk
mengurutkan, memperhitungkan waktu dan

115
menyelesaikan aktivitas yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan tersebut.
c. Pencarian informasi (seeking information) adalah
usaha peserta didik dalam mencari informasi pada
sumber yang tidak biasa dalam menyelesaikan suatu
tugas.
d. Mengatur lingkungan (enviromental structuring)
adalah inisiatif peserta didik dalam usaha untuk
mengatur lingkungan belajar mereka dengan cara
tertentu sehingga membantu mereka dalam belajar
yang lebih baik.
e. Konsekuensi diri (self consequating) adalah peserta
didik membayangkan reward atau punishment bila ia
sukses ataupun gagal dalam mengerjakan suatu
ujian.

Dengan memiliki self-regulated learning yang tinggi,


anak didik dapat belajar dengan teratur, terencana, dan
terarah untuk mencapai target belajar yang telah
ditetapkannya. Berbagai sumber belajar dari dirinya sendiri,
guru, teman dan lingkungan lainnya akan dielaborasi dan
dimanfaatkan secara maksimal. Monitoring dan evaluasi diri
dalam proses dan pencapaian hasil belajar akan melengkapi
hasil penilaian dan umpan balik yang diterima dari guru.
Dengan demikian, SRL merupakan strategi motivasi yang

116
dapat membantu anak didik mencapai hasil sesuai dengan
yang diharapkan.

3. Goal Orientation

Goal orientation merupakan salah satu


pengembangan dari teori motivasi belajar. Goal adalah suatu
hasil atau keadaan ideal yang diinginkan seorang individu di
mana individu akan bekerja atau berusaha demi terwujudnya
hasil tersebut, dan memiliki nilai (Imawati, dkk., 2014). Goal
orientation menurut Dweck merupakan kemampuan individu
dalam mengembangkan dan menguasai pengetahuan,
keterampilan, dan keahlian, yang disebut sebagai orientasi
belajar, dan kemampuan individu dalam menunjukkan dan
memvalidasi kompetensi yang disebut sebagai orientasi
kinerja.

Goal orientation merupakan pola keterkaitan antara


keyakinan, atribusi dan afeksi yang menghasilkan intensitas
perilaku, di mana ketika individu yakin dengan suatu hal,
mencari jawaban dari segala pertanyaan dalam benaknya
dan merasa hal tersebut penting maka akan menghasilkan
perilaku.

Goal orientation merupakan pola keyakinan yang


mengarahkan pada cara yang berbeda dalam pendekatan,
penggunaan dan respons terhadap situasi prestasi. Dengan

117
kata lain, goal orientation merefleksikan standar individu
dalam mencapai keberhasilan (Schunk, Pintrich & Meece,
2008). Secara umum ada dua jenis orientasi tujuan dalam
belajar, yaitu tujuan untuk mengembangkan dan mencapai
kemampuan (mastery goal) dan tujuan untuk menunjukkan
kemampuan (performance goal).

Mastery goal orientation merupakan orientasi belajar


yang berfokus pada penguasaan, atau berfokus pada
pembelajaran; menguasai tugas sesuai dengan standar atau
peningkatan diri, mengembangkan keterampilan baru,
meningkatkan kompetensi, berusaha untuk mencapai
sesuatu yang menantang dan mencoba untuk mendapatkan
pemahaman dan wawasan (Schunk et al., 2008).

Performance goal orientation merupakan orientasi


yang terfokus pada “penampilan”. Anak didik yang memiliki
orientasi ini berharap selalu terlihat “pintar” dengan mendapat
nilai yang tinggi. Untuk bisa terlihat pintar, biasanya anak
berusaha menunjukkan dirinya lebih baik dari orang lain,
yang kadang-kadang dicapai tanpa usaha belajar yang
dalam. Kalaupun mereka belajar, biasanya hanya untuk
mendapat nilai bagus meski penguasaan materi yang
dipelajari tidak optimal.

118
Menurut Schunk dkk. (2008), anak didik yang
berorientasi pada mastery goal akan memfokuskan
tujuannya pada pengembangan kemampuan dan berusaha
untuk memahami setiap tugas akademik yang diberikan, dan
selalu meningkatkan kompetensi diri. Sebaliknya, yang
berorientasi pada performance goal lebih memfokuskan pada
bagaimana penilaian orang lain terhadap prestasi yang
dicapai. Bisa jadi anak didik memiliki orientasi tujuan mastery
sekaligus performance, sehingga ia berupaya untuk belajar
dengan giat, mengeksplorasi berbagai sumber belajar serta
berupaya juga untuk memperoleh prestasi yang baik. Dalam
hal ini guru harus bisa menghargai proses belajar anak didik,
memberi umpan balik terhadap setiap perkembangan anak,
lebih dari hanya fokus bahkan menuntut pencapaian prestasi
yang tinggi.

119
120
BAB VII

PENGUKURAN DAN EVALUASI

DALAM PEMBELAJARAN

A. Pentingnya Evaluasi dalam Pendidikan dan


Pembelajaran

Evaluasi atau penilaian merupakan proses yang


sangat penting dalam pendidikan karena dengan
pelaksanaan evaluasi akan dapat diketahui tingkat
keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan,
dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya, dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan dan


pembelajaran dilakukan kegiatan pengukuran
(measurement) dan penilaian (evaluation); kedua kegiatan ini
mempunyai kaitan yang erat. Pengukuran meru- pakan suatu
proses mengukur ketercapaian hasil belajar yang bersifat
kuantitatif, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk angka
dalam rentangan skala 1-10 atau 10-100; hasil pengukuran
dapat pula dinyatakan dalam bentuk simbol A, B, C, atau D.
Penilaian merupakan gambaran atau penafsiran terhadap

121
hasil pengukuran, bersifat kualitatif; biasanya dinyatakan
dengan kualifikasi kurang, cukup baik, baik dan memuaskan.

Pendidikan merupakan suatu proses pemberian


pengaruh, melalui peneladanan, pembiasaan, pelatihan dan
pemberian stimulasi- stimulasi yang dapat menggerakkan
pengembangan berbagai potensi setiap individu. Pendidikan
berlangsung secara sistematis dan berkesinambungan.
Setiap tahap pendidikan yang dilaksanakan merupakan
suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan, baik berupa
peningkatan wawasan pengetahuan (aspek kognitif), sikap
(afektif) maupun keterampilan (psikomotorik).

Dalam setiap proses pendidikan dan pembelajaran,


terlibat di dalamnya unsur peserta didik atau siswa, guru,
materi pelajaran serta media pembelajaran. Dengan
diadakannya penilaian, akan dapat dilihat tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran;
tingkat keberhasilan guru dalam melaksanakan
pembelajaran serta tingkat efektivitas strategi pembelajaran
yang digunakan. Dengan demikian, hasil kegiatan evaluasi
dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan
perbaikan dan peningkatan kegiatan pendidikan dan
pembelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
penilaian merupakan bagian integral dari pembelajaran.

122
Standards for Teacher Competence in Educational
Assessment, yang dikembangkan bersama-sama pada awal
1990-an oleh American Federation of Teachers, National
Council on Measurement in Education, dan National
Education Association (dalam Santrock, 2014),
mendeskripsikan tanggung jawab guru atas penilaian siswa
dalam tiga kerangka seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Pembuatan Keputusan Guru Sebelum, Selama dan


Sesudah Pembelajaran

Prapembelajaran Selama Pasca


Pembelajaran Pembelajaran

Apa sasaran atau Apakah siswa saya Berapa banyak


tujuan memerhatikan saya? materi yang telah
pembelajaran bagi dipelajari oleh
siswa saya? siswa saya?

Apakah siswa saya Apakah siswa saya Apa yang harus


memiliki prasyarat memahami materi saya lakukan
pengetahuan dan pelajaran? selanjutnya?
keahlian untuk
sukse?

Apa yang akan Kepada siswa yang Apakah saya harus


menarik bagi siswa mana pertanyaan mengulas hal-hal
saya? harus saya ajukan? yang tidak

123
dipahami oleh
kelas saya?

Apa yang akan Apa tipe pertanyaan Berapa grade yang


memotivasi siswa yang harus saya harus saya
saya? ajukan? berikan?

Berapa lama saya Bagaimana saya Apa yang harus


harus mengajarkan harus menjawab saya beritahukan
masing- masing pertanyaan siswa? kepada siswa?
unit materi?

Apa strategi Kapan saya harus Bagaimana saya


pengajaran yang berhenti bisa mengubah
harus saya menyampaikan pengajaran nanti?
gunakan? pelajaran?

Apa tipe Siswa mana yang Apakah nilai tes


pembelajaran memerlukan benar- benar
kelompok yang bantuan tambahan? merefleksikan
harus saya pengetahuan dan
gunakan? kemampuan siswa?

Bagaimana saya Siswa mana yang Apakah ada yang


harus menilai bisa dibiarkan belajar salah dipahami
siswa? sendiri? oleh siswa?

124
Memperhatikan isi tabel di atas, dapat dikemukakan
bahwa guru hendaknya merumuskan dengan jelas sasaran
belajar yang akan dicapai oleh siswa; kemudian menilai
apakah siswa sudah memiliki pengetahuan dan kecakapan
dasar serta kesiapan mental untuk mengikuti pelajaran
berikutnya itu. Bila hasil penilaian sebelum pembelajaran
diperoleh, guru dapat menentukan level kesulitan materi yang
harus dipelajari oleh siswa, mengembangkan strategi
pembelajaran yang dapat mempermudah dan memotivasi
siswa serta menentukan prosedur dan teknik penilaian
berikutnya. Penilaian sebelum pembelajaran ini dapat
dilakukan tidak hanya dengan tes atau melihat nilai pada
pembelajaran sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan
dengan observasi atau portofolio.

Penilaian selama pembelajaran merupakan penilaian


formatif, bisa dilakukan dengan observasi terus-menerus
tentang sikap dan perilaku serta penguasaan siswa, untuk
memperoleh umpan balik sebagai dasar melakukan
perbaikan-perbaikan. Penilaian juga dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan. Santrock (2014)
menjelaskan bahwa dengan penilaian selama pembelajaran,
guru dapat menentukan level pembelajaran yang menantang
siswa dan memperluas cakrawala pemikiran mereka; guru

125
juga dapat menentukan siswa mana yang memerlukan
perhatian individual.

Penilaian pasca pembelajaran, biasa disebut


penilaian sumatif, dilakukan setelah pembelajaran selesai,
dengan tujuan mencatat kinerja siswa. Penilaian setelah
pembelajaran ini dapat menghasilkan informasi tentang
seberapa baik siswa dapat menguasai materi, sikap dan
keterampilan setelah proses belajar; apakah siswa sudah
siap untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya; grade apa
yang harus diberikan kepada mereka; komentar apa yang
harus diberikan kepada siswa dan orang tua mereka serta
bagaimana guru harus menyesuaikan pembelajaran lebih
lanjut.

B. Sasaran dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran

Pada dasarnya, tujuan evaluasi pembelajaran adalah


untuk mendapatkan data sesuai dengan sasaran evaluasi
yang dilakukan, yaitu sebagai berikut.

1. Penilaian atau evaluasi produk, yaitu evaluasi yang


ditujukan untuk memperoleh data tentang tingkat
perkembangan atau kemajuan peserta didik atau siswa
setelah mengikuti suatu proses belajar mengajar
tertentu, baik secara perorangan maupun kelompok.
Data kemajuan belajar ini bisa disebut sebagai prestasi

126
belajar, yang meliputi aspek pengetahuan (kogninif),
sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik).
2. Penilaian atau evaluasi proses, yaitu penilaian atau
evaluasi yang ditujukan untuk memperoleh data
tentang faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian
prestasi belajar. Faktor tersebut kemungkinan
merupakan faktor pendukung atau penghambat
pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan.
3.
C. Prinsip-Prinsip Evaluasi

Dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran, perlu


dijaga agar proses pengukuran dan penilaiannya
dilaksanakan secara objektif. Penilaian dikatakan objektif
apabila hasil yang diperoleh merupakan gambaran
sebenarnya dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa pada
suatu waktu belajar tertentu. Karena proses pembelajaran
berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan maka
evaluasi perlu dilaksanakan secara berkesinambungan juga.
Evaluasi pembelajaran harus dapat pula mengungkapkan
seluruh aspek sasaran belajar yang akan dicapai oleh siswa.
Dengan demikian, pada dasarnya ada tiga prinsip evaluasi
pendidikan dan pembelajaran yang perlu diperhatikan, yaitu
prinsip objektivitas, kontinuitas, dan keseluruhan
(komprehensif).

127
1. Prinsip objektivitas

Evaluasi pembelajaran dapat dikatakan objektif


apabila dapat memberikan gambaran yang sebenarnya
tentang hasil belajar yang dicapai oleh siswa pada suatu
proses belajar mengajar tertentu. Prinsip objektivitas ini dapat
terpenuhi dengan memperhatikan ssasaran yang dinilai, cara
mengukur dan menilai, alat ukur dan standar penilaian yang
digunakan serta sikap penilainya.

Dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran, mengukur


dengan timbangan atau alat evaluasi yang tepat , dengan
tolok ukur atau standar pengukuran dan penilaian yang tepat,
dengan sikap tidak melebih-lebihkan atau mengurangi, dan
mengukur benar-benar semua aspek yang akan diukur,
merupakan pelaksanaan prinsip objektivitas.

Dari pihak penilai atau guru, objektivitas penilaian dapat


diperoleh apabila guru tidak mendasarkan penilaian atas
perasaan senang atau tidak senang kepada siswa yang
dinilainya. Guru atau penilai juga harus menjauhkan diri dari
sikap apriori atau pandangan menetap terhadap seorang
siswa, misalnya siswa yang pernah memperoleh nilai bagus
dianggap tidak mungkin memperoleh nilai kurang atau buruk,
sedangkan siswa yang pernah mendapat nilai rendah tidak
bisa dianggap tidak pantas untuk memperoleh nilai bagus.

128
2. Prinsip kontinuitas

Pendidikan merupakan suatu proses yang


berkesinambungan, tahap demi tahap untuk mencapai
tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi yang telah
ditetapkan. Untuk dapat mengetahui pencapaian tujuan-
tujuan tersebut, perlu dilakukan penilaian yang
berkesinambungan, yaitu terus-menerus sejak proses
pembelajaran yang pertama pada suatu program dan atau
tingkat pendidikan tertentu sampai program itu berakhir.
Penilaian yang hanya dilakukan di akhir program saja
sebelum siswa menerima rapot atau ijazah tidak dapat
dikatakan sebagai penilaian yang baik. Dengan penilaian
yang terus-menerus, maka hasil yang diperoleh siswa pada
suatu waktu dapat dihubungkan dengan hasil-hasil penilaian
sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian, akan dapat
dilihat bagaimana perkembangan yang dicapai siswa pada
tiap tahapan belajar yang dilaluinya. Selain itu, akan dapat
diketahui pula kelemahan dan kendala yang dihadapi siswa
dalam belajar sehingga guru dapat membantu mengatasi
kendala-kendala tersebut.

3. Prinsip keseluruhan (komprehensif)

Sasaran yang akan dicapai dalam proses pendidikan


dan pembelajaran tidak hanya berkaitan dengan aspek

129
pengetahuan (kognitif) saja, melainkan seluruh aspek
perkembangan siswa yang meliputi perkembangan fisik
(psikomotorik), pengetahuan (kognitif) serta sikap dan
perilaku (afektif); karena itu evaluasi pembelajaran yang baik
seharusnya menilai pencapaian keseluruhan aspek hasil
belajar tersebut.

Selain meliputi keseluruhan aspek tujuan, penilaian


hasil belajar, khususnya dalam penilaian sumatif, dapat
dikatakan memenuhi prinsip komprehensif pula apabila
penilaian tersebut dilakukan terhadap pencapaian aspek-
aspek tujuan yang terkandung dalam keseluruhan materi
pembelajaran untuk suatu jangka waktu belajar tertentu.
Misalnya untuk satu semester, siswa telah mempelajari enam
bab materi pelajaran, maka perlu dinilai penguasaan siswa
terhadap enam bab tersebut, tidak hanya satu atau dua bab
saja.

D. Manfaat Evaluasi Pendidikan

Sesuai dengan tujuannya, pelaksanaan evaluasi


pembelajaran dapat bermanfaat tidak hanya bagi siswa,
tetapi juga bagi guru, sekolah, orang tua, bahkan pihak-pihak
lain yang terkait. Dengan adanya evaluasi, siswa dapat
mengetahui tingkat keberhasilannya dalam belajar. Guru
juga dapat mengetahui tingkat keberhasilannya dalam

130
memberikan materi pelajaran dan mengorganisasikan
pembelajaran; dengan mengetahui data hasil belajar siswa
serta faktor-faktor yang memengaruhinya, maka guru dapat
mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk proses belajar mengajar selanjutnya; guru dapat
menentukan metode dan teknik pembelajaran yang akan
digunakan, apakah anak akan diatur dalam kelompok-
kelompok, atau akan diberikan tugas dan bimbingan secara
individual.

Bagi pimpinan sekolah/madrasah, hasil evaluasi


dapat digunakan sebagai bahan laporan, khususnya kepada
orang tua siswa. Lebih lanjut, hasil evaluasi belajar siswa
pada suatu sekolah/madrasah dapat dijadikan tolok ukur
keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan oleh
sekolah/madrasah tersebut.

Bagi pihak-pihak lain yang terkait, dalam hal ini untuk


kepentingan program pendidikan lebih lanjut, hasil penilaian
prestasi belajar sebelumnya dapat menjadi pertimbangan
untuk seleksi penerimaan, ataupun untuk menyusun program
pembelajaran baru. Bila siswa, khususnya lulusan SLTA atau
alumni Perguruan Tinggi akan memasuki dunia kerja, pihak
penerima akan mempertimbangkan hasil-hasil belajar
mereka selama proses pendidikan, di samping berbagai
kompetensi yang mungkin dimiliki melalui jalur pendidikan

131
informal dan non formal. Tentu saja dalam hal ini, penilaian
yang komprehensif dan juga bersifat kualitatif seperti pada
aspek kejujuran, ketelitian, kemampuan berkomunikasi,
kepemimpinan dan kerja sama serta integritas, sangat
penting dilakukan.

E. Alat Evaluasi Pembelajaran

Alat evaluasi pendidikan dan pembelajaran pada


dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tes dan
bukan tes (nontes). Karena pembahasan mengenai alat-alat
evaluasi ini berkaitan dengan cara mempergunakannya,
maka alat evaluasi sering juga disebut sebagai teknik
evaluasi yaitu teknik tes dan nontes.

1. Tes

Pada umumnya, siswa maupun orang tua sudah


begitu “familiar” dengan istilah tes, karena begitu calon siswa
mau melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
seringkali mereka diharuskan mengikuti suatu tes, bahkan
ada SD/MI yang melakukan tes seleksi bagi calon siswa
mereka. Selama proses pembelajaran guru juga sering
memberikan tes, yang lebih sering disebut dengan ulangan
atau ujian. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal tentang
tes, mulai dari pengertian, ciri-ciri tes yang baik serta bentuk-
bentuk tes.

132
a. Pengertian Tes

Pengertian tes Pengertian tes seperti tercantum pada


Encyclopedia of educational evaluation (dalam Suralaga,dkk,
2005) adalah: “any series of questions or exercises or other
means of measuring the skill, knowledge, intelligence,
capacities of attitudes of an individual or group”, yang berarti
serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur, keterampilan, pengetahuan,
inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu
atau kelompok.

Berdasarkan pengertian tersebut, sasaran penilaian atau


pengukuran dapat dibedakan atas:

1) keadaan atau kondisi dasar seseorang yang dapat


memengaruhi belajar seperti kecerdasan, bakat dan
minat;

2) keadaan atau kondisi seseorang atau kelompok yang


merupakan hasil belajar, yang meliputi aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Dalam kegiatan belajar sehari-hari, guru biasanya


menggunakan tes yang dibuatnya sendiri, sesuai dengan
indikator-indikator hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa
di kelasnya, sedangkan untuk penilaian sumatif pada akhir
semester atau ujian akhir sekolah, biasanya digunakan tes

133
yang sudah distandardisasikan. Tes yang dibuat oleh guru
biasanya disebut “tes buatan guru”, sedangkan yang
distandardisasikan biasa disebut dengan “tes standar” atau
tes baku.

Santrock (2008) mengemukakan bahwa tes standar


atau tes yang dibakukan mengandung prosedur yang
seragam untuk menentukan nilai dan administrasinya. Tes
standar bisa membandingkan kemampuan siswa dengan
siswa lain pada usia atau level yang sama, dalam lingkup
wilayah yang luas, bahkan bisa berlaku secara nasional. Ciri
utama dari tes standar adalah telah diuji validitas dan
reliabilitasnya.

Tes standar biasanya bertujuan untuk:

1. Memberikan informasi tentang kemajuan murid; dalam


hal ini guru dapat membandingkan kemampuan atau
prestasi siswa di satu kelas dengan siswa kelas lain, atau
level kemampuan siswa di satu sekolah dengan sekolah
lain.
2. Mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa; misalnya
siswa yang kurang bagus dalam kemampuan membaca
dapat diberi satu atau lebih tes membaca yang standar
yang diberikan secara individual, agar dapat diketahui
letak kelemahannya secara tepat.

134
3. Memberikan bukti untuk penempatan siswa dalam
program khusus; tergantung tes standar apa yang
diberikan, siswa dapat 146 Psikologi Pendidikan:
Implikasi dalam Pembelajaran dipertimbangkan untuk
mengikuti suatu program khusus seperti kelas
membaca, kelas matematika, atau kelas biologi yang
bersifat pengayaan. Dengan menggunakan tes standar
dan beberapa teknik penilaian lain dapat diperoleh
informasi apakah siswa bisa loncat kelas, masuk kelas
akselerasi, kelas bilingual atau program khusus lainnya.
4. Memberi informasi untuk merencanakan dan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Bersama dengan
informasi lain, nilai dari tes standar dapat digunakan oleh
guru dalam membuat keputusan tentang pembelajaran;
hal-hal apa yang masih harus dibahas dan strategi apa
yang harus diterapkan dalam proses pembelajaran
berikutnya.
5. Membantu administrator mengevaluasi program. Jika
sekolah hendak beralih ke suatu program pendidikan
yang baru, seperti membuka kelas akselerasi atau kelas
internasional, administrator sekolah dalam hal ini kepala
sekolah harus mengetahui seberapa efektif program
baru itu. Salah satu caranya adalah dengan memberikan
kepada siswa satu atau lebih tes standar yang berkaitan

135
dengan kapasitas yang dibutuhkan siswa untuk
mengikuti program dan bagaimana kinerja siswa setelah
mengikuti program.
6. Memberikan akuntabilitas. Sekolah dan guru diharapkan
bertanggung jawab atas pengajaran para siswa;
meskipun kontroversial, tes standar kini mulai banyak
dipakai untuk menentukan seberapa efektif sekolah
dalam menghabiskan dana untuk proses pembelajaran.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu ciri dari


tes standar adalah telah teruji sehingga memiliki tingkat
validitas dan reliabilitas yang tinggi. Selain itu suatu tes
standar harus memenuhi prinsip keadilan. Selain tingkat
validitas dan reliabilitas, serta berkeadilan, masih ada
beberapa kriteria yang harus ada pada suatu tes yang baik,
yang akan dibahas berikut ini.

b. Ciri -ciri Tes yang Baik

Suatu tes dapat dikatakan sebagai alat ukur yang baik


apabila memenuhi kriteria atau ciri-ciri tes yang baik, antara
lain berkaitan dengan validitas, reliabilitas, objektivitas, dan
keadilan.

1. Validitas

Suatu tes disebut valid apabila dapat mengukur apa yang


seharusnya diukur. Sebagai contoh dapat dikemukakan

136
apabila guru ingin mengukur keterampilan siswa dalam
melaksanakan shalat, maka tidak valid apabila digunakan tes
lisan atau tulisan, melainkan dengan tes tindakan. Contoh
lain, bila guru ingin mengukur pemahaman siswa tentang
materi sejarah, tidak valid bila guru mengukur bagus atau
tidaknya tulisan siswa dalam menguraikan jawaban tes.

Ada beberapa macam validitas yaitu validitas isi, validitas


kriteria, dan validitas konstruk.

a. Validitas isi (content validity)

Suatu tes dikatakan memenuhi validitas isi apabila yang


ditanyakan dalam tes sesuai dengan isi materi yang
dipelajari. Misalnya bila suatu tes dalam pelajaran Bahasa
Indonesia dimaksudkan untuk mengukur pemahaman dan
analisis siswa tentang isi sebuah puisi, maka tes itu harus
mencakup item- item yang mengukur kemampuan
pemahaman dan analisis tentang isi puisi tersebut.

b. Validitas kriteria (criterion validity)

Tes yang memenuhi validitas kriteria adalah tes yang


dapat memprediksi kinerja siswa saat diukur dengan
penilaian atau kriteria lain. Validitas kriteria dapat berupa
concurrent validity dan predictive validity.

137
Concurrent validity adalah relasi antara nilai tes
dengan kriteria lain yang ada saat ini. Misalnya jika hasil
tes standar bidang studi IPA kelas 2 SMP yang digunakan
berhubungan dengan nilai (grade) siswa dalam bidang
IPA pada semester itu, maka dapat dikatakan bahwa tes
tersebut memiliki tingkat kebersamaan (concurrent) yang
tinggi.

Predictive validity adalah hubungan antara nilai tes


dengan kinerja siswa di masa depan. Misalnya bila hasil
tes seleksi calon mahasiswa baru di suatu Perguruan
Tinggi mempunyai hubungan dengan hasil belajar mereka
setelah kuliah di Perguruan Tinggi tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa soal- soal tes seleksi tersebut memiliki
predictive validity yang tinggi.

c. Validitas konstruk (construct validity)

Suatu konstruk adalah ciri atau karakteristik yang tidak


bisa dilihat dari seseorang, seperti kecerdasan atau
inteligensi, kepribadian, motivasi, minat atau gaya belajar.
Validitas konstruk adalah sejauh mana terbukti bahwa
sebuah tes mengukur konstruk tertentu. Validitas ini
merupakan validitas terluas dari validitas lainnya dan
dapat mencakup bukti dari concurrent validity dan
predictive validity; juga bisa didasarkan pada deskripsi

138
perkembangan tes, pola relasi antara tes dan faktor
signifikan lainnya, seperti berkorelasi tinggi dengan tes
yang sama dan berkorelasi rendah dengan tes yang
mengukur konstruk yang berbeda. Karena suatu konstruk
biasanya abstrak, berbagai macam bukti mungkin
dibutuhkan untuk menentukan apakah sebuah tes valid
dalam mengukur suatu konstruk tertentu.

2. Reliabilitas

Kata reliabilitas berasal dari kata bahasa Inggris


reliable yang berarti dapat dipercaya; hal ini berkaitan dengan
sejauhmana sebuah prosedur tes bisa menghasilkan nilai
yang konsisten dan dapat direproduksi. Agar bisa disebut
reliabel, nilai harus stabil, dependable, dan relatif bebas dari
kesalahan pengukuran (Fekken, 2000; Popham, 2002, dalam
Santrock, 2008). Suatu tes dapat dikatakan reliabel apabila
dapat memberikan hasil yang tetap ketika diteskan berkali-
kali; dalam hal ini bila diberikan kepada siswa yang sama
pada waktu yang lain, hasilnya akan sama, ataupun kalau
ada perbedaan, maka perbedaan tersebut tidak signifikan.

Untuk mengukur tingkat reliabilitas tes, dapat


dilakukan dengan beberapa cara antara lain test-retest
reliability, alternate form reliability, dan split-half reliability.

139
a. Test-retest reliability; yaitu sejauhmana sebuah tes
menghasilkan kinerja yang sama ketika seorang
siswa diberi tes yang sama dalam dua kesempatan
yang berbeda; namun perlu dijaga agar hasil tes pada
kesempatan kedua tidak dipengaruhi oleh faktor
pendalaman siswa terhadap materi yang termuat
dalam soal- soal tes.
b. Alternate forms reliability; ditentukan dengan
memberikan bentuk yang berbeda dari tes yang sama
pada dua kesempatan yang berbeda, untuk kelompok
siswa yang sama; lalu diamati seberapa konsistenkah
skor yang mereka peroleh. Item tes pada dua bentuk
itu sama tetapi tidak identik. Strategi ini mengeliminasi
kemungkinan siswa akan memperoleh hasil yang
lebih baik pada tes kedua. Namun perlu diingat bahwa
tes ini tidak menghilangkan kemungkinan
peningkatan kemampuan siswa serta pengenalan
siswa akan prosedur dan strategi tes.
c. Split-half reliability; dilakukan dengan cara membagi
item tes menjadi dua bagian, seperti item-item
bernomor ganjil dan genap. Nilai pada dua set item
tersebut dibandingkan untuk menentukan seberapa
konsistenkah kinerja siswa pada kedua set tes itu.

140
Jika split-half reliability-nya tinggi, dapat dikatakan
bahwa tes tersebut konsisten secara internal.

Reliabilitas bisa dipengaruhi oleh sejumlah kesalahan dalam


pengukuran. Siswa mungkin memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai namun tidak bisa konsisten
dalam mengerjakan beberapa tes karena faktor-faktor
internal seperti kesehatan atau kecemasan. Selain itu bisa
jadi dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti petunjuk
soal yang tidak memadai. Karena itu, ketika siswa
memperoleh nilai yang tidak konsisten pada tes yang sama,
perlu diperiksa secara cermat kemungkinan faktor-faktor
yang memengaruhi ketidakkonsistenan tersebut. Bila
memang faktor-faktor tersebut terkontrol, ketidakkonsistenan
akan terbukti menunjukkan tingkat reliabilitas tes yang
rendah.

Sehubungan dengan kriteria validitas, dapat


dikatakan bahwa validitas dapat mendukung terbentuknya
reliabilitas. Sebuah tes mungkin reliabel tetapi tidak valid,
sebaliknya tes yang valid biasanya reliabel.

3. Objektivitas

Istilah objektif biasanya digunakan untuk menyatakan


bahwa tidak ada unsur pribadi yang memengaruhi penilaian.
Suatu tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam

141
melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang
memengaruhi, terutama berkaitan dengan sistem
skoringnya.

Ada dua faktor yang memengaruhi objektivitas suatu tes,


yaitu:

a. Bentuk Tes

Tes yang berbentuk uraian akan memberi kemungkinan


kepada penilai untuk memberikan penilaian sesuai
dengan caranya sendiri. Dalam hal ini bisa terjadi hasil
tes seorang siswa akan berbeda bila dinilai oleh lebih
dari satu orang penilai. Sebaliknya soal yang berbentuk
tes objektif, yang menyediakan alternatif jawaban yang
singkat dan pasti, lebih memungkinkan penilai yang
berbeda, memberikan skor atau nilai yang sama. Untuk
lebih menjaga objektivitas penilaian, baik untuk soal-
soal tes objektif maupun tes uraian, perlu disediakan
kunci jawaban dan pedoman skoringnya terlebih dahulu.
Kunci jawaban untuk tes uraian adalah pokok-pokok
pikiran atau inti jawaban yang dituntut oleh soal.

b. Penilai
Unsur subjektivitas penilai biasanya dikaitkan dengan
rasa senang atau tidak senang penilai terhadap siswa
yang dinilainya; bisa pula berkaitan dengan keakraban

142
hubungan antara penilai dengan siswa. Hal lain yang
dapat memengaruhi unsur subjektivitas penilai adalah
kesan penilai terhadap siswa (misalnya ada siswa yang
dianggap pintar atau bodoh), tulisan dan bahasa siswa
dalam menjawab soal, gangguan fisik atau mental yang
dialami penilai, seperti lelah, pusing dan sebagainya.

4. Keadilan

McMillan, 2001 (dalam Santrock, 2008), menyatakan


bahwa tes yang adil (fair) adalah tes yang tidak bias dan tidak
diskriminatif. Tes itu tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti etnis, jenis kelamin atau faktor subjektif seperti bias
penilai. Dengan tes yang fair, siswa punya kesempatan untuk
menunjukkan prestasi mereka yang sebenarnya.

Sebaliknya, tes yang tidak adil menempatkan


sekelompok siswa tertentu pada posisi yang dirugikan. Hal ini
terjadi bila ada sesuatu di dalam tes itu yang membuatnya
lebih sulit bagi siswa dengan karakteristik tertentu, seperti
budaya, pengalaman, atau jenis kelamin. Sebagai contoh tes
yang tidak adil bila disusun, dikembangkan dan digunakan
untuk kalangan budaya tertentu seperti budaya Amerika
tentu tidak adil bila digunakan untuk siswa di Indonesia, bila
tes tersebut tidak diadaptasi lebih dahulu, dalam hal ini
disesuaikan dengan budaya dan bahasa Indonesia.

143
5. Daya Pembeda (Discrimination Power)

Suatu tes dikatakan baik apabila memiliki daya


pembeda yang tinggi, yaitu dapat membedakan tingkat
kemajuan masing-masing siswa dalam kelas. Dalam suatu
tes, ada soal yang tidak bisa dijawab oleh siswa yang
memang belum mencapai tujuan belajar yang terkandung
pada soal tersebut; ada pula yang bisa menjawabnya; ada
pula soal yang bisa dijawab oleh semua siswa; jadi, suatu tes
dikatakan kurang baik bila seluruh soal bisa dijawab oleh
seluruh siswa karena tes tersebut tidak bisa menggambarkan
perbedaan prestasi belajar siswa, yang sudah menguasai
seluruh tujuan belajar dan yang belum menguasainya.

6. Tingkat Kesulitan (Difficulty Level)

Tingkat kesulitan soal dapat menunjukkan baik


tidaknya suatu tes. Suatu tes yang memiliki tingkat kesulitan
terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak akan memberikan
gambaran tentang prestasi belajar siswa yang sebenarnya;
kondisi ini juga berkaitan dengan tidak terpenuhinya kriteria
daya pembeda yang baik.

Tingkat kesulitan tes dapat dilihat per-item soal.


Apabila untuk sebuah item siswa pada umumnya menjawab
betul, sedikit yang salah, dapat dikatakan bahwa tingkat
kesulitan soal itu rendah. Sebaliknya bila hampir seluruh

144
siswa tidak bisa menjawab soal tersebut, berarti tingkat
kesulitan soal tersebut tinggi.

Tingkat kesulitan item soal dapat diuji dengan cara


sebagai berikut: menghitung jumlah yang mengerjakan betul
dibagi dengan jumlah siswa yang mengikuti tes dikalikan
satu. Misalnya yang menjawab betul suatu soal 30 siswa,
sedangkan yang mengikuti tes sejumlah 40 siswa; maka
dapat dihitung tingkat kesulitan soal itu adalah: 30/40 x 1 =
0,75 (dituliskan 75). Item yang baik adalah yang memiliki
tingkat kesulitan antara .27 sampai dengan .73. Bila tingkat
kesulitan soal di bawah .27 (terlalu mudah) atau di atas .73
(terlalu tinggi) sebaiknya tidak dipakai.

Untuk keseluruhan item tes sebaiknya disusun item-


item yang mempunyai tingkat kesulitan bervariasi dari yang
rendah, sedang, sampai yang tinggi. Biasanya jumlah yang
tingkat kesulitannya sedang, merupakan item yang paling
banyak. Dalam penyusunan item-item tes, guru dapat
memperhitungkan tingkat kesulitan tersebut dengan
memperhatikan tingkat kemampuan yang terkandung dalam
indikator-indikator tujuan pembelajaran.

Sesuai dengan tingkatan kemampuan kognitif pada


taksonomi Bloom, terdapat enam tingkat kemampuan
kognitif, mulai dari ingatan/pengenalan, pemahaman,

145
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi; bila yang dituntut
soal adalah penguasaan aspek pengenalan/ingatan, yang
merupakan tingkatan kognitif paling rendah, soal tersebut
diperkirakan mempunyai tingkat kesulitan yang rendah.
Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa item-item tes
yang menggambarkan pencapaian tujuan tingkat
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi akan
mempunyai tingkat kesulitan yang semakin tinggi.

c. Bentuk Tes: Tes Esai dan Tes Objektif

Tes esai dan tes objektif adalah dua bentuk tes yang
pelaksanaannya biasa diberikan secara tertulis, tetapi
adakalanya juga dilaksanakan secara lisan, atau soal
diberikan secara lisan, siswa menjawabnya dengan tulisan.

Berikut ini akan dibicarakan mengenai pengertian dan


cara menyusun masing-masing bentuk tes tersebut beserta
kebaikan dan kelemahannya.

1. Tes Esai

Tes Esai adalah serangkaian pertanyaan yang


menuntut jawaban dalam bentuk uraian (essay), biasanya
menggunakan kata seperti: terangkan, jelaskan, mengapa,
bagaimana pendapatmu, dan lain sebagainya. Ada dua
macam tes esai, yaitu sebagai berikut.

146
a) Uraian bebas (Free Essay), yaitu tes yang memberi
kesempatan kepada peserta tes untuk memberikan
jawaban menurut pandangannya dan dengan
bahasanya sendiri. Yang penting adalah ia bisa
mengemukakan argumentasi yang dianggap kuat
mengenai pendapat itu. Contoh: Terangkan
pendapatmu mengenai hubungan antara puasa
dengan kesehatan!
b) Uraian terbatas (Limited Essay), yaitu tes yang sudah
membatasi kebebasan dalam memberikan jawaban,
yaitu hanya berkaitan dengan unsur-unsur tertentu
yang diminta dalam soal. Contoh: Sebutkan sila-sila
dari Pancasila!

Keuntungan atau kelebihan tes esai antara lain:

a) siswa terlatih untuk berpikir dan mengeluarkan


pendapat dengan bahasanya sendiri;
b) siswa terlatih untuk mengasosiasikan berbagai
pengetahuan dalam menjawab soal;
c) lebih mudah dan tidak membutuhkan waktu lama
untuk menyusunnya;
d) lebih ekonomis, karena tidak memerlukan banyak
kertas.

147
Sedangkan kelemahan tes esai antara lain:

a) kurang dapat digunakan untuk menilai penguasaan


siswa untuk seluruh bahan pelajaran yang scopenya
luas;
b) sering tidak jelas batasan apa yang dituntut oleh soal,
bila soal dibuat terlalu umum;
c) jawaban siswa yang terlalu bervariasi sering
membingungkan guru yang memeriksanya;
d) dalam memberikan nilai, guru sering terpengaruh
oleh panjang pendeknya jawaban, baik tidaknya
susunan kalimat atau keindahan dan kerapian tulisan;
e) membutuhkan waktu yang lama dan kondisi yang fit
untuk memeriksa jawaban.

2. Non-Tes

Alat evaluasi nontes biasanya digunakan untuk menilai hasil


belajar siswa yang berkaitan dengan pandangan, sikap atau
perbuatan. Selain itu nontes juga digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai faktor- faktor pendukung
dan penghambat pencapaian tujuan pendidikan.

Yang tergolong alat nontes antara lain, observasi


(pengamatan), wawancara (interview), angket (questionair),
riwayat hidup (biography) dan sosimetri.

148
a. Observasi (pengamatan)

Observasi sebagai salah satu metode atau alat penelitian


dapat juga digunakan dalam penilaian pendidikan, yaitu
dengan mengadakan pengamatan secara teliti serta
pencatatan secara sistematis. Penilaian dengan observasi
dapat dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas.

Di dalam kelas, guru dapat melakukan observasi


terhadap sikap dan perhatian murid dalam proses belajar
mengajar. Kegiatan murid dalam mendengarkan penjelasan,
mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapat
dapat menunjukkan tentang kondisi afektif, sekaligus
pengetahuan mereka mengenai materi yang dipelajari.

Di luar kelas, guru juga dapat melakukan penilaian


dengan observasi, misalnya guru agama yang ingin melihat
apakah siswa yang telah belajar mengenai masalah
“kebersihan” dapat menunjukkan sikap hidup bersih di
lingkungan sekolahnya. Contohnya, guru olahraga dapat
mengamati bagaimana perkembangan keterampilan para
siswa dalam permainan basket, bola volley atau atletik pada
saat praktek olahraga dan dapat pula mengamati siapa
diantara siswa yang sangat berminat atau kurang berminat
pada macam-macam olah raga tersebut. Seperti dalam

149
penelitian pada umumnya maka dalam penilaian, observasi
pun dapat dibedakan menjadi:

1) observasi partisipan, yaitu guru sebagai penilai turut serta


atau berpartisipasi dalam kegiatan siswa yang diamatinya;

2) observasi nonpartisipan, yaitu apabila guru sebagai penilai


berada di luar kelompok siswa yang diamati.

Dalam melakukan penilaian dengan observasi guru dapat


mempergunakan Pedoman Observasi, yaitu catatan tentang
aspek- aspek apa yang akan dinilai. Pedoman ini bisa dalam
bentuk daftar cek (checklist) atau skala bertingkat (rating
scale). Selain dalam observasi, checklist dan rating scale
dapat pula digunakan bila siswa- siswa yang dinilai diminta
untuk mengisi sendiri daftar tersebut, misalnya untuk
menyatakan tentang sikap atau pandangan mereka
mengenai masalah yang akan dinilai.

b. Wawancara (interview)

Wawancara sebagai alat evaluasi lebih dapat digunakan


untuk mengumpulkan data atau informasi mengenai faktor-
faktor yang memengaruhi pencapaian tujuan belajar,
misalnya mengenai kondisi siswa, yaitu: kesehatannya,
keadaan ekonomi orang tuanya, perhatian orang tuanya,
hubungan sosial siswa dengan anggota keluarganya atau
teman-temannya.

150
Ditinjau dari objek yang diwawancarai, maka
wawancara dapat dibedakan menjadi: wawancara langsung
dan wawancara tak langsung. Wawancara langsung
dilakukan apabila yang diwawancarai adalah siswa yang
ingin diketahui keadaannya. Sedangkan wawancara tak
langsung adalah bila informasi mengenai seorang siswa
ditanyakan kepada orang lain, seperti temannya atau orang
tuanya.

Ditinjau dari bentuk jawaban yang diminta,


wawancara dapat dibedakan menjadi: wawancara bebas dan
wawancara terpimpin. Dalam wawancara bebas, siswa
mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya
tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang dibuat oleh penilai.
Sedangkan dalam wawancara terpimpin, penilai telah
menyusun daftar pertanyaan yang diberi alternatif- altenatif
jawaban sehingga siswa yang dinilai diarahkan atau dipimpin
untuk mengemukakan jawaban sekitar alternatif yang
disediakan oleh penilai.

c. Angket (questionair) dan self-inventory

Angket adalah suatu daftar pertanyaan yang harus diisi oleh


responden. Dalam penilaian pendidikan, angket dapat
digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan
data diri, pengalaman, sikap atau pendapat sejumlah siswa

151
yang banyak. Ditinjau dari segi siapa yang menjawab, maka
angket dapat dibedakan menjadi angket langsung dan
angket tak langsung. Sedangkan dari segi cara menjawab,
angket dapat dibedakan menjadi angket tertutup, angket
terbuka, dan angket kombinasi.

Mengenai angket langsung dan tak langsung,


penjelasannya seperti wawancara langsung dan tak
langsung. Sedangkan mengenai angket tertutup dapat
dijelaskan di sini, bahwa angket adalah suatu daftar berisi
pertanyaan atau pernyataan yang menyediakan beberapa
alternatif pilihan untuk setiap item, sehingga pengisi hanya
memilih jawaban yang sudah disediakan. Dikatakan angket
terbuka apabila pilihan jawaban tidak disediakan, sehingga
pengisi bebas memberikan jawabannya. Sedangkan angket
kombinasi adalah bila pilihan jawaban disediakan, tetapi ada
kolom yang terbuka di antara pilihan-pilihan itu yang dapat
diisi apabila dirasa perlu oleh responden.

Salah satu bentuk kuesioner yang sering digunakan


untuk mengukur sikap, motivasi dan minat belajar siswa
adalah kuesioner yang berisi daftar pernyataan, yang dikenal
dengan sebutan self -inventory. Self-inventory pengukur
sikap, minat, motivasi dan beberapa variabel psikologis lain
yang berhubungan dengan belajar dan prestasi belajar sering
disusun dalam bentuk Skala Likert. Skala ini, merupakan

152
daftar pernyataan yang menyediakan antara lima sampai
tujuh pilihan jawaban dari kategori Sangat Tidak Setuju (STS)
sampai dengan Sangat Setuju (SS).

d. Riwayat hidup (biography)

Riwayat hidup adalah gambaran tentang pengalaman hidup


seseorang selama rentang waktu tertentu, sejak kanak-
kanak, usia sekolah dan seterusnya. Dalam bentuk yang
sederhana, riwayat hidup seorang siswa dapat disusun
dalam bentuk buku “catatan pribadi siswa” yang memuat
keadaan diri, riwayat kesehatan, perkembangan prestasi
belajar atau bidang lainnya, hubungan dengan keluarga atau
lingkungan sosialnya, kegiatan- kegiatannya, kegemaran
ataupun pandangan-pandangannya. Dengan mempelajari
riwayat hidup atau catatan pribadi siswa, guru/penilai dapat
menentukan langkah perbaikan ataupun bantuan yang
diperlukan.

e. Sosiometri

Sosiometri merupakan cara penilaian terhadap hubungan


sosial siswa, khususnya hubungan siswa dalam kelompok
atau kelasnya. Penilaian terhadap hubungan sosial
diperlukan karena hambatan dalam hubungan sosial sering
berakibat buruk terhadap perkembangan pribadi siswa
secara keseluruhan atau terhadap prestasi belajarnya.

153
Pelaksanaan teknik sosiometri dapat dimulai dengan
meminta siswa memilih 2 orang teman yang disukainya
beserta alasannya (sesuai dengan hal yang kita ketahui,
misalnya mengenai kepemimpinannya, kerja samanya dalam
belajar, dalam bekerja dan sebagainya). Hasil pemilihan
tersebut dapat disusun menjadi sebuah sosiogram yang
dapat menggambarkan pola hubungan sosial siswa. Dengan
cara ini kemungkinan ditemukan ada anak yang dipilih oleh
hampir seluruh teman di kelasnya yang disebut “super star”.
Ada juga siswa yang saling memilih, yang menggambarkan
adanya “klik”. Kemungkinan ada pula anak yang tidak dipilih
sama sekali, disebut “isolate”. Apabila gambaran hubungan
sosial mereka terlihat kurang baik, guru dapat melengkapi
informasi mengenai penyebabnya dengan cara lain, misalnya
wawancara. Dari data yang diperoleh, guru dapat
menentukan langkah perbaikan atau peningkatan
perkembangan sikap sosial para siswanya.ribadi siswa
secara keseluruhan atau terhadap prestasi belajarnya.

F. Macam-Macam Evaluasi Pendidikan

Sesuai dengan tujuan dan fungsinya, dikenal empat macam


evaluasi pendidikan dan pembelajaran, yaitu sebagai berikut.

154
1. Evaluasi Penempatan

Evaluasi penempatan merupakan penilaian yang dilakukan


untuk mengetahui apakah siswa atau calon siswa telah
memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk mengikuti suatu
program pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Tujuan pelaksanaan evaluasi penempatan adalah
untuk memperoleh data tentang kualifikasi calon siswa
berkaitan dengan kesiapannya untuk mengikuti proses
pembelajaran. Kualifikasi persyaratan ini bisa meliputi aspek
fisik (kesehatan atau kondisi fisik tertentu), pengetahuan dan
kemampuan, keterampilan, atau bakat dan minat. Dengan
data yang diperoleh dapat diputuskan apakah peserta
evaluasi dapat diterima sebagai peserta program
pembelajaran; selain itu, dapat pula dijadikan bahan
pertimbangan untuk menentukan pada bidang atau tingkatan
apa siswa bisa belajar. Dengan demikian, penilaian ini
dilaksanakan untuk bisa menempatkan siswa pada situasi
dan kondisi belajar yang tepat.
Alat penilaian yang dapat digunakan dalam evaluasi
penempatan adalah tes, sehingga sering disebut sebagai tes
penempatan (placement test). Sebenarnya alat evaluasi
nontes juga dapat digunakan untuk evaluasi penempatan,
misalnya untuk melihat apakah calon siswa memenuhi
kriteria penampilan fisik, keterampilan atau perilaku tertentu.

155
Selain itu, untuk mengungkapkan sikap, minat atau unsur-
unsur kepribadian lainnya dapat digunakan wawancara dan
self-inventory.
Evaluasi penempatan dapat dilaksanakan pada
praprogram pendidikan, misalnya untuk penempatan calon
siswa pada kelas akselerasi; atau untuk menempatkan level
kelompok belajar pada kursus bahasa asing (bahasa Inggris,
Arab, Jerman, dan lain-lain). Evaluasi penempatan dapat
juga dilaksanakan di tengah masa pendidikan seperti untuk
penempatan jurusan di SLTA.
Sistem penilaian yang digunakan dalam evaluasi
penempatan adalah Penilaian Acuan Patokan (Criterion
Referenced Test); yaitu pengukuran prestasi siswa dengan
tolok ukur prestasi tertinggi yang seharusnya dicapai.
Dengan cara ini, bila skor maksimal adalah 100 dan standar
lulus minimal ditetapkan 60, maka calon siswa atau siswa
yang memperoleh skor <60 tidak dapat ditempatkan pada
program belajar yang dituju karena tidak memenuhi
kualifikasi yang dimaksud. Karena cara penilaian seperti ini
sudah mutlak hasilnya, disebut sebagai penilaian standar
mutlak.
Selain dengan Penilaian Acuan Patokan (PAP),
penilaian penempatan bisa juga menggunakan standar
Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced Test.

156
Standar ini digunakan apabila hasil tes yang ditunjukkan
siswa atau peserta tes pada umumnya tidak memenuhi
kriteria yang diharapkan. Dengan menggunakan PAN, tolok
ukur penilaian yang digunakan bukan prestasi atau skor
tertinggi yang seharusnya, melainkan skor tertinggi yang
dapat dicapai oleh peserta tes. Dengan demikian, bila skor
tertinggi yang seharusnya dicapai adalah 100 dan standar
kualifikasi minimal ditetapkan 60, sedangkan skor maksimal
yang bisa dicapai oleh peserta tes hanya 70 maka bisa jadi
berdasarkan perhitungan nilai rerata (mean) dan standar
deviasi, peserta tes yang mendapat skor 50 bisa dinyatakan
lulus atau memenuhi syarat untuk diterima atau ditempatkan.
Karena penilaian dengan cara ini bersifat relatif, maka sering
juga disebut sebagai penilaian standar relatif.
Sebenarnya, tes penempatan bisa dibedakan dari tes
seleksi; dalam hal penempatan untuk siswa kelas akselerasi,
penjurusan, atau penempatan untuk menerima mahasiswa
AKABRI, yang betul-betul perlu memenuhi kualifikasi
tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai tes seleksi yang
menggunakan standar Penilaian Acuan Patokan (PAP),
karena bila menggunakan PAN, standar kualifikasi turun, dan
kesiapan siswa untuk mengikuti program pembelajaran tidak
akan maksimal.

157
2. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang diadakan untuk


mengetahui pencapaian hasil belajar siswa setelah mengikuti
suatu proses pembelajaran tertentu. Tujuan evaluasi formatif
selain untuk memperoleh informasi mengenai pencapaian
indikator-indikator hasil belajar yang telah ditetapkan, juga
untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dalam proses
pembelajaran, baik faktor yang terdapat pada diri siswa
ataupun pada guru dan proses pembelajarannya.
Alat yang digunakan dalam evaluasi formatif bisa tes
tertulis, tes lisan atau tes tindakan. Selain itu, untuk menilai
pencapaian hasil belajar sikap dan keterampilan, dapat juga
digunakan nontes seperti obervasi. Evaluasi formatif dapat
dilakukan dengan cara “pre-test dan post- test”. Pre-test
diberikan sebelum pembelajaran untuk mengetahui kesiapan
dan kemampuan awal siswa; sedangkan post-test diberikan
setelah selesai pembelajaran, untuk mengetahui kemajuan
hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Evaluasi formatif juga
dilakukan setelah siswa mengikuti beberapa kali pertemuan
pembelajaran; evaluasi ini biasanya disebut ulangan.
Standar penilaian yang digunakan dalam evaluasi
formatif adalah standar mutlak (Penilaian Acuan Patokan);
bila siswa bisa mencapai 75 % atau lebih indikator hasil
belajar yang telah ditetapkan, maka ia bisa dikatakan

158
mencapai kinerja ketuntasan minimal sehingga boleh
mengikuti proses pembelajaran berikutnya. Sebaliknya, bila
pencapaian hasil belajar kurang dari 75 %, berarti siswa
tersebut belum mencapai ketuntasan, sehingga memerlukan
perbaikan atau remedial. Apabila hasil penilaian formatif
betul-betul dimanfaatkan sebagai dasar melakukan
perbaikan atau remedial teaching (bukan hanya remedial
test), dapat dipastikan bahwa siswa akan dapat mencapai
hasil belajar yang lebih optimal.

3. Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif merupakan penilaian yang dilakukan


setelah siswa menyelesaikan pembelajaran selama jangka
waktu tertentu, seperti catur wulan atau semester.
Evaluasi sumatif bertujuan untuk memperoleh data
mengenai kemajuan atau hasil belajar siswa selama satu
semester atau akhir program pendidikan. Data prestasi
belajar tersebut digunakan untuk penentuan nilai akhir siswa
di samping nilai-nilai formatifnya. Selain untuk menentukan
naik kelas atau tidaknya siswa, nilai tes sumatif juga
digunakan untuk penentuan kelulusan siswa.
Alat yang digunakan dalam evaluasi sumatif adalah
tes. Biasanya tes tertulis dalam bentuk kombinasi tes objektif
dan tes esai. Berbeda dengan soal tes formatif yang biasanya

159
merupakan tes buatan guru, maka tes-tes sumatif,
khususnya ujian nasional, disusun oleh suatu Tim Penyusun
Soal. Dalam tes seperti ini, tingkat validitas, reliabilitas, daya
pembeda dan tingkat kesukaran soal telah diuji, sehingga
bisa disebut sebagai tes standar.
Standar penilaian yang digunakan dalam evaluasi
sumatif biasanya standar relatif atau standar Penilaian Acuan
Norma (PAN), karena hasil penilaian sumatif ini berfungsi
untuk mnentukan nilai akhir. Namun demikian, untuk
menentukan nilai akhir yang menggambarkan prestasi
belajar siswa selama satu semester misalnya, harus
diperhatikan pula nilai-nilai formatifnya. Mengenai bentuk tes
yang digunakan, meskipun pada umumnya dipakai tes
tertulis, dapat juga digunakan tes lisan dan tes tindakan atau
praktek. Penilaian dalam mengerjakan tugas-tugas dalam
bentuk porto folio juga bisa digabungkan bila hal tersebut
sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai.

4. Evaluasi Diagnostik

Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang dilaksanakan


terhadap siswa yang diduga mengalami hambatan atau
kesulitan dalam mempelajari materi pelajaran tertentu.
Tujuan evaluasi diagnostik adalah untuk menemukan letak
hambatan atau kesulitan yang dihadapi siswa. Dengan data

160
tersebut guru dapat memberikan bantuan atau bimbingan
agar siswa dapat mengatasi kesulitannya.
Pada dasarnya alat yang digunakan dalam evaluasi
diagnostik adalah tes, baik tes tertulis, lisan atau tindakan.
Yang perlu diingat adalah bahwa untuk menemukan letak
hambatan atau kesulitan belajar siswa, yang diperhatikan
oleh guru atau penilai adalah bukan skor yang diperoleh
siswa, melainkan bagaimana dan apa jawaban siswa ketika
mengerjakan soal-soal.
Untuk mengetahui penyebab kesulitan belajar siswa,
tes diagnostik dapat ditunjang dengan alat nontes seperti
observasi, wawancara atau pemeriksaan kesehatan dan
aspek-aspek lain yang dapat memengaruhi belajar. Langkah
yang dilakukan dalam pelaksanaan evaluasi diagnostik
dimulai dengan identifikasi kasus, yaitu memperhatikan
prestasi belajar setiap siswa. Siswa yang prestasinya rendah
atau menurun biasanya diiringi dengan munculnya perilaku
belajar menyimpang seperti kurang memperhatikan
pelajaran, tidak mengerjakan tugas; dengan kondisi seperti
itu siswa diduga mengalami kesulitan belajar.
Langkah selanjutnya, bagi siswa-siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar tersebut diberikan tes
diagnostik. Tes diagnostik tersebut bisa dikumpulkan dari
berbagai tes formatif, bisa juga disusun sendiri, yang

161
mencakup lebih banyak item soal untuk menilai setiap
indikator hasil belajar. Setelah mengetahui letak kesulitan
belajar siswa dan factor-faktor penyebab kesulitan tersebut,
barulah guru dapat memberikan bantuan (treatment) yang
tepat. Sebagai langkah terakhir, guru perlu melakukan
monitoring apakah kesulitan belajar siswa sudah teratasi atau
belum. Dengan hasil monitoring, guru dapat menentukan
program pembelajaran lebih lanjut.
Apabila guru tidak bisa melaksanakan sendiri tahap-tahap
evaluasi diagnostik tersebut, ia dapat bekerja sama dengan
orang tua siswa atau guru lain, khususnya guru Bimbingan
Konseling.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa hasil tes
potensi, seperti tes inteligensi, bakat dan minat serta
kreativitas siswa, yang kalaupun dilakukan oleh guru BK atau
dengan bantuan Psikolog, selama ini pada umumnya hanya
dipegang oleh guru BK. Data atau informasi tersebut,
bersama dengan berbagai informasi lainnya perlu
disosialisasikan kepada semua guru agar mereka dapat
mempertimbangkan informasi-informasi tersebut dalam
memberikan layanan pembelajaran dan bimbingan kepada
para siswa, sesuai dengan kapasitas potensi dan minat
mereka.

162
Penutup
Psikologi Pendidikan ialah ilmu yang mengkolaborasikan
antara pendidikan dan psikologi. Ia tidak hanya berkaitan
dengan penelitian-penelitian ilmiah dalam berbagai aspek
belajar mengajar, namun pengaplikasian konsep, teori dan
prinsip-prinsip psikologi dalam pendidikan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran. Tema – tema
penelitian di bidang ilmu psikologi pendidikan dapat berupa
penelitian deskriptif, korelasional, eksperimental, maupun
penelitian terapan.
Psikologi Pendidikan tidak hanya bermanfaat bagi guru
atau pendidik lainnya, tetapi juga jauh lebih daripada itu
psikologi pendidikan menjadi landasan dalam
pengembangan kurikulum, administrasi pendidikan atau
pelaksanaan bimbingan dan konseling. Dengan demikian
buku psikologi pendidikan ini dapat digunakan untuk acuan
dalan setiap pengembangan pendidikan baik bagi guru atau
bagi pemangku kepentingan psikologi lainnya.

163
164
DAFTAR PUSTAKA

Abin, S.M. 2002. Psikologi Pendidikan: Perangkat Sistem


Pengajaran Modul. Bandung :PT Remaja Rosdakarya.
Abruscato, J., dan DeRosa D. A. (2010). Teaching Children
Science A
ed. Boston: Allyn and Bacon. Discover Approach 7th
Arikunto, S & Jabar. 2004. Evaluasi Program Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Anderman & Dawson (2011). Learning with Motivation.
Dalam Handbook of Research and Learning Instruction.
Mayer & Alexander (editors). Ney York: Routledge
Asri,C.2005. Belajar dan
pembelajaran.Yogyakarta:RinekaCipta
Balai Pustaka. 1996. Kamus Besar Bahasa
Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka
Depdikbud, Universitas Terbuka.1984/1985. Modul
Diagnostik Kesulitan Belajar Dan Pengajaran Remedial.
Jakarta.
Dimyatidan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Depdikbud: Dikti
Elliot, S.,N. et.All. 1999. Educational Psychology. Singapore
:Mc.Graw Hill Book.

165
Gredler, M.E. 2001. Learning and Instruction Theory Into
Practice. Ohio:Merrill Prentice Hall.
Hamalik, Oemar, (1989) Teknik Pengukuran dan Evaluasi
Pendidikan, Bandung : Mandar Maju.
Hurlock, E. B. (2010). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Alih
Bahasa Istiwidayanti dkk.) Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
John. W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan edisi kedua.
Jakarta: Kencana.
Karwono, dan Mularsih, H. 2010.Belajar dan Pembelajaran
Serta Pemanfaatan Sumber Belajar.Jakarta: Cerdas
Jaya.
Monk, dkk. 1994. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta
:University Press.
Paul Suparno.2001.Teor Perkembangan Kognitif Jean
Piaget. Yogyakara: Kanisius.
Santrock, JW. 2008. Educational Psychology. Singapore:Mc
Graww-Hill.
Schunk. D.H. 2009. Theoriesof Learning.
NewJersey:Pearson Education, Inc.
Soemanto, W. 2000. Psikologi Pendidikan. Landasan kerja
Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

166
Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi
Pendidikan.Jakarta:PT Raja Grafindo.
Suryabrata,S. 1984. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Rajawali
Press.
Syah, M. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rodaskarya.
Zainul & Nasution. (2001). Penilaian Hasil belajar. Jakarta:
Dirjen Dikti.

167

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai