net/publication/356720308
Psikologi Pendidikan
CITATIONS READS
0 181
1 author:
Teguh Fachmi
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
6 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Teguh Fachmi on 02 December 2021.
media madani
Publishing
Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani KM. 2 KP3B
Pujuh Sukajaya Curug Kota Serang
Banten Kode Pos 42171
(0254) 7932066
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Teguh Fachmi
Hak cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit. Isi diluar tanggung jawab percetakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta.
Teguh Fachmi
Editor :
Umayah
iii
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Penulis:
Teguh Fachmi
Editor :
Umayah
Lay Out & Design Sampul
Media Madani
Cetakan 1 November 2021
Hak Cipta 2021, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright@ 2021 by Media Madani Publisher
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, mengutip, menggandakan, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari Penerbit
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT karena buku psikologi Pendidikan ini telah
selesai disusun. Buku ini disusun agar dapat membantu para
mahasiswa dalam mempelajari konsep-konsep Psikologi
Pendidikan terutama bagi para calo pendidik yang erat
kaitannya dengan psikologi Pendidikan.
Penulisan buku ini juga untuk menambah referensi bagi para
pendidik, mahasiswa, juga berbagai pihak yang memiliki minat
dan perhatian terhadap perkembangan keilmuan, khususnya di
bidang ilmu psikologi Pendidikan.
Penulis pun menyadari jika didalam penyusunan buku ini
mempunyai kekurangan, namun penulis meyakini sepenuhnya
bahwa sekecil apapun buku ini tetap akan memberikan sebuah
manfaat bagi pembaca.
Akhir kata, untuk penyempurnaan buku ini, maka kritik dan
saran dari pembaca sangatlah berguna untuk penulis
kedepannya.
Penulis
v
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
vii
D. Ciri-Ciri Pembelajaran 96
E. Pembelajaran, Pengajaran, Pemelajar,
Dan Pembelajar 96
PENUTUP 163
viii
BABI
1
pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga
penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan
kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan dalam
sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang
mengubah lingkungan.
2
meningkatkan kepribadian (personality) dengan jalan
berusaha mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru, dan
kecakapan baru, sehingga ia dapat berbuat yang lebih
sukses, dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam
hidup. Jadi jiwa mengandung pengertian-pengertian, nilai-
nilai kebudayaan dan kecakapan-kecakapan.
3
amerika, Pengertian psikologi pendidikan adalah ilmu yang
lebih berprinsip dalam proses pengajaran yang terlibat
dengan penemuan – penemuan dan menerapkan prinsip –
prinsip dan cara untuk meningkatkan keefisien di dalam
pendidikan.
4
B. Objek Kajian Psikologi dan Psikologi Pendidikan
1. Objek Kajian Psikologi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Objek Material adalah sesuatu yang dibahas,
dipelajari atau diselidiki, atau suatu unsure yang
ditentukan atau sesuatu yang dijadikan sasaran
pemikiran, objek material mencakup apa saja,
baik hal-hal konkret (kerohanian, nilai-nilai, ide-
ide). Objeknya yaitu manusia.
b. Objek formal adalah cara memandang, cara
meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti
terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip
yang digunakannya. Objek formal juga digunakan
sebagai pembeda ilmu yang satu dengan ilmu
yang lain (psikologi, antropologi, sosiologi, dan
lain-lain). Objeknya yaitu dari segi tingkah laku
manusia, objek tersebut bersifat empiris atau
nyata, yang dapat diobservasi untuk
memorediksi, menggambarkan sesuatu yang
dilihat. Caranya melihat gerak gerik seseorang
bagaimana ia melakukan sesuatu dan melihat
dari matanya.
2. Objek Kajian Psikologi Pendidikan
5
peserta didik. Karena hakikat pendidikan adalah
pelayanan khusus diperuntukkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu objek kajian psikologi pendidikan, selain
teori-teori psikologi pendidikan sebagai ilmu, tetapi lebih
condong pada aspek psikologis peserta didik, khususnya
ketika mereka terlibat dalam proses pembelajaran.
6
dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang
psikologi pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan
bagi para guru, bahkan bagi tiap orang yang menyadari
dirinya sebagai pendidik. Secara garis besar banyak ahli
membatasi objek kajian psikologi pendidikan menjadi
tiga macam:
7
data yang dicoba didapatkan oleh psikologi pendidikan, yang
dengan demikian merupakan ruang lingkup psikologi
pendidikan, antara lain:
8
10. Akibat/pengaruh psikologis (psycologica impact) yang
ditimbulkan oleh kondisi-kondisi sosiologis terhadap
sikap para siswa.
9
10
BAB II
PERAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN
SUMBANGAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
11
psikologi. Dengan adanya psikologi memberikan wawasan
bagaimana memahami perilaku individu dalam proses
pendidikan dan bagaimana membantu individu agar dapat
berkembang secara optimal serta mengatasi permasalahan
yang timbul dalam diri individu (siswa) terutama masalah
belajar yang dalam hal ini adalah masalah dari segi
pemahaman dan keterbatasan pembelajaran yang dialami
oleh siswa. Psikologi dibutuhkan di berbagai ilmu
pengetahuan untuk mengerti dan memahami kejiwaan
seseorang.
12
didik yang unik dilihat dari segi karakteristik perilaku,
kepribadian, sikap, minat, motivasi, perhatian, persepsi, daya
pikir, inteligensi, fantasi, dan berbagai aspek psikologis
lainnya yang berbeda antara peserta didik yang satu dengan
peserta didik yang lainnya. Perbedaan karakteristik
psikologis yang dimiliki oleh para peserta didik harus
diketahui dan dipahami oleh setiap guru atau instruktur yang
berperan sebagai pendidik dan pengajar di kelas, jika ingin
proses pembelajarannya berhasil. Beberapa peran penting
psikologi dalam proses pembelajaran adalah:
13
9. Menilai hasil pembelajaran dan pengajaran
10. Memahami dan mengembangkan kepribadian dan
profesi guru
11. Membimbing perkembangan siswa
14
6. Pengaruh kondisi sosial anak didik atas pendidikan
yang diterimanya.
7. Nilai sikap ilmiah atas pendidikan yang dimiliki oleh
para petugas pendidikan.
8. Pengaruh interaksi antara guru dan murid dan antara
murid dengan murid.
9. Hambatan, kesulitan, ketegangan, dan sebagainya
yang dialami oleh anak didik selama proses
pendidikan
10. Pengaruh perbedaan individu yang satu dengan
individu yang lain dalam batas kemampuan belajar.
15
terhadap karakteristik anak didiknya. Dengan
demikian pelajaran oleh guru kepada para siswa akan
berbeda di tiap-tiap tingkat perkembangan anak.
2. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan berupa
pemahaman secara alami aktivitas belajar di ruang
kelas. Psikologi pendidikan memberikan bekal
kepada guru mengenai proses pembelajaran secara
umum di ruang kelas dan mengembangkan teori yang
lebih luas lagi di ruang kelas. Keberhasilan guru di
dalam kelas disebabkan karena guru itu memahami
atau mengerti betul tentang karakteristik anak
didiknya. Anak didik bukan benda tetapi merupakan
objek yang memiliki pikiran, perasaan dan kemauan.
Oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran siswa
dipandang sebagai subjek bukan sebagai objek.
Dengan demikian pengetahuan tentang kondisi siswa
di dalam kelas mutlak harus dipahami oleh seorang
guru.
3. Psikologi pendidikan memberikan pemahaman
mengenai perbedaan individual. Di dunia ini tidak ada
dua atau lebihindividu yang sama. Demikian pula guru
dalam tugasnya akan menghadapi para siswa di
dalam kelas dengan berbagai variasi. Dengan
demikian guru hendaknya memberikan pelayanan
16
yang berbeda kepada peserta didik sesuai dengan
karakteristiknya.
4. Psikologi pendidikan juga memberikan pemahaman
tentang metode-metode mengajar yang efektif.
Psikologi pendidikan mamberikan pengetahuan
tentang cara mengajar yang tepat, dan
mengembangkan pola mengajar dengan strategi-
strategi baru. Dengan demikian seorang guru yang
telah memahami pengetahuan psikologi pendidikan
akan memahami metode-metode mana yang paling
efektif dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik
dan pengajar.
5. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan
kepada guru sehingga mampu memahami problem
anak didik dan memahami sebab-sebab timbuInya
problem. Masalah, sesungguhnya berbeda-beda
dalam pengatasannya tergantung kepada tingkat
umur, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Pada akhirnya dengan memahami problem anak didik
ini guru dapat membantu anak mengatasi
problemnya.
6. Dengan pengetahuan tentang kesehatan mental
dalam psikologi pendidikan, guru akan dapat
memahami beberapa faktor yang menjadi penyebab
17
timbulnya mental tidak sehat sehingga pada akhirnya
guru dapat membantu memecahkan masalah yang
dialami oleh para siswanya dan mampu
mempersiapkan para siswanya sehingga memiliki
mental yang sehat.
7. Penyusunan kurikulum hendaknya menggunakan
prinsip-prinsip psikologi.Prinsip ini menyatakan
bahwa tiap-tiap tingkat umur berbeda tingkat
perkembangannya. Pada setiap tingkat
perkembangan, materi yang harus diberikan akan
berbeda begitu pula teknik pengajarannya.
8. Pengukuran tentang hasil belajar. Dengan
pengetahuan tentang psikologi pendidikan maka guru
mampu mendalami hasil belajar siswa, metode
proses pembelajaran maupun performance para
siswanya.
9. Riset. Psikologi pendidikan menolong di dalam
pengembangan alat-alat pengukur berbagai variabel
yang besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa-
siswa. Guru dapat mengontrol secara langsung dan
meramalkan tingkah laku para siswanya berdasarkan
hasil riset tersebut.
10. Bimbingan untuk anak-anak luar biasa. Psikologi
pendidikan memberikan sumbangan terhadap cara
18
memberikan layanan kepada anak-anak luar biasa
baik di atas normal maupun di bawah normal.
Pengetahuan psikologi pendidikan sangat diperlukan
untuk memberikan layanan kepada anak-anak yang
genius maupun anak di bawah normal.
a. Problem Disiplin
Guru tradisional dalam memecahkan problem disiplin
menggunakan hukuman badan. Orang sudah tahu
bahwa hukuman badan adalah tidak
berperikemanusiaan dan akan menimbulkan reaksi
keras dari orang tua siswa. Dengan pengetahuan
psikologi pendidikan sebenarnya ada banyak cara
19
dalam memecahkan masalah disiplin siswa, tidak
harus dengan hukuman badan. Pendekatan yang
manusiawi memberikan siswa yang bermasalah
kesempatan untuk berdialog dengan guru.
b. Menggunakan audio visual sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Dulu guru tidak pernah
menggunakan alat audio visual dalam proses
pembelajaran. Psikologi pendidikan mengembangkan
alat berupa audio visual dalam proses belajar
mengajar sehingga mempermudah proses
pembelajaran.
c. Jadwal pelajaran.
Untuk menyusun jadwal pelajaran diperlukan
pengetahuan psikologi pendidikan. Tingkat
kesukaran mata pelajaran berbeda-beda untuk setiap
mata pelajaran. Agar seluruh materi pelajaran dapat
diterima dengan baik oleh siswa, perlu penyusunan
jadwal pelajaran dengan mempertimbangkan tingkat
kesukarannya baik urutannya maupun waktunya.
Misalnya mata pelajaran matematika ditempatkan
pada jam pertama agar dapat diterima dengan baik
oleh siswa, sedangkan mata pelajaran seni
ditempatkan pada jam terakhir untuk meningkatkan
20
gairah belajar siswa yang sudah lelah oleh berbagai
materi pelajaran yang berat sebelumnya.
d. Administrasi sekolah dan kelas
Petugas administrasi dan guru harus bekerjasama
dengan baik sehingga masalah- masalah administrasi
dapat diatasi dengan penuh keterbukaan melalui
diskusi antara guru dengan petugas administrasi di
sekolah
21
atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai,
dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan
keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan
tingkat perkembangan yang sedang dialami
siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan
konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan
pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing
para siswanya. Dengan memahami psikologi
pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat
memberikan bantuan psikologis secara tepat dan
benar, melalui proses hubungan interpersonal yang
penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk
mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat.
Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya
memberikan dorongan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan
belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan
yang memadai, tampaknya guru akan mengalami
22
kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator
maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim
belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman
psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan
untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang
kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar
dengan nyaman dan menyenangkan.
6. Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan
memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan
siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi
sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat
mambantu guru dalam mengembangkan penilaian
pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis
penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian
maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
23
24
BAB III
25
pembahasannya mengenai perubahan tingkah laku dan
proses perkembangan dari masa konsepsi (pra-natal)
sampai mati.
26
a. Belajar berjalan. Belajar berjalan terjadi pada usia antara
9 sampai 15 bulan, pada usia ini tulang kaki, otot dan
susunan syarafnya telah matang untuk belajar berjalan.
b. Belajar memakan makanan padat . Hal ini terjadi pada
tahun kedua, sistem alat-alat pencernaan makanan dan
alat-alat pengunyah pada mulut telah matang untuk hal
tersebut.
c. Belajar berbicara, yaitu mengeluarkan suara yang berarti
dan menyampaikannya kepada orang lain dengan
perantaraan suara itu. Untuk itu, diperlukan kematangan
otot-otot dan syaraf dari alat-alat bicara.
d. Belajar buang air kecil dan buang air besar. Tugas ini
dilakukan pada tempat dan waktu yang sesuai dengan
norma masyarakat. Sebelum usia 4 tahun, anak pada
umumnya belum dapat mengatasi (menahan) ngompol
karena perkembangan syaraf yang mengatur
pembuangan belum sempurna. Untuk memberikan
pendidikan kebersihan terhadap anak usia di bawah 4
tahun, cukup dengan pembiasaan saja, yaitu setiap kali
mau buang air, bawalah anak ke WC tanpa banyak
memberikan penerangan kepadanya.
e. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin. Melalui
observasi (pengamatan) anak dapat melihat tingkah
laku, bentuk fisik dan pakaian yang berbeda antara jenis
27
kelamin yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara
tersebut, anak dapat menganal perbedaan anatomis pria
dan wanita, anak menaruh perhatian besar terhadap alat
kelaminnya sendiri maupun orang lain. Agar pengenalan
terhadap jenis kelamin (sex) itu berjalan normal, maka
orang tua perlu memperlakukan anaknya, baik dalam
memberikan alat mainan, pakaian, maupun aspek
lainnya sesuai dengan jenis kelamin anak.
f. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis. Keadaan
jasmani anak sangat labil apabila dibandingkan dengan
orang dewasa, anak cepat sekali merasakan perubahan
suhu sehingga temperatur badannya mudah berubah.
Perbedaan variasi makanan yang diberikan dapat
mengubah kadar garam dan gula dalam darah dan air di
dalam tubuh. Untuk mencapai kestabilan jasmaniah,
bagi anak diperlukan waktu sampai usia 5 tahun. Dalam
proses mencapai kestabilan jasmaniah ini, orangtua
perlu memberikan perawatan yang intensif, baik
menyangkut pemberian makanan yang bergizi maupun
pemeliharaan kebersihan.
g. Membentuk konsep-konsep (pengertian) sederhana
kenyataan sosial dan alam. Pada mulanya dunia ini bagi
anak merupakan suatu keadaan yang kompleks dan
membingungkan. Lama kelamaan anak dapat
28
mengamati benda-benda atau orang- orang
disekitarnya. Perkembangan lebih lanjut, anak
menemukan keteraturan dan dapat membentuk
generalisasi (kesimpulan) dari berbagai benda yang
pada umumnya mempunyai ciri yang sama. Anak belajar
bahwa bayangan tertentu dengan suara tertentu yang
nyaring memenuhi kebutuhannya disebut “orang”,”ibu”
dan ”ayah”. Anak belajar bahwa benda-benda khusus
dapat dikelompokkan dan diberi satu nama, seperti
kucing, ayam, kambing, dan burung dapat disebut
binatang. Untuk mencapai kemampuan tersebut
(mengenal pengertian-pengertian) diperlukan
kematangan sistem syaraf, pengalaman dan bimbingan
dari orang dewasa.
h. Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang
tua, saudara dan orang lain. Anak mengadakan
hubungan dengan orang-orang yang ada disekitarnya
dengan menggunakan berbagai cara, yaitu isyarat,
menirukan dan menggunakan bahasa. Cara yang
diperoleh dalam belajar mengadakan hubungan
emosional dengan orang lain, sedikit banyaknya akan
menentukan sikapnya di kemudian hari. Apakah ia
bersikap bersahabat, bersikap dingin, introvert,
extrovert, dan sebagainya. Misalnya, apabila anak
29
memperoleh pergaulan dengan orang tuanya itu
menyenangkan, maka cenderung akan bersikap ramah
dan ceria.
i. Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk, yang
berarti mengembangkan kata hati. Anak kecil dikuasai
oleh hedonisme naif, dimana kenikmatan dianggapnya
baik, sedangkan penderitaan dianggapnya buruk
(hedonisme adalah aliran yang menyatakan bahwa
manusia dalam hidupnya bertujuan mencari kenikmatan
dan kebahagiaan). Apabila anak bertambah besar ia
harus belajar pengertian tentang baik dan buruk, benar
dan salah, sebab sebagai makhluk sosial
(bermasyarakat), manusia tidak hanya memperhatikan
kepentingan/kenikmatan sendiri saja, tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan/kenikmatan sendiri saja,
tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
Anak mengenal pengertian baik dan buruk, benar dan
salah ini dipengaruhi oleh pendidikan yang diperolehnya.
Pada mulanya, anak belajar apa yang dilarang itu berarti
buruk atau salah dan apa yang diperbolehkan itu berarti
baik dan benar. Pengalaman ini merupakan permulaan
pembentukkan kata hati anak. Perkembangan
selanjutnya terjadi melalui nasihat, bimbingan, buku-
buku bacaan dan analisis pikiran sendiri. Sesuatu yang
30
penting dalam mengembangkan kata hati anak adalah
suri teladan dari orang tua dan bimbingannya. Hal ini
lebih baik daripada penggunaan hukuman dan ganjaran,
meskipun dalam situasi tertentu masih tetap diperlukan.
31
mungkin diwarnai perasaan senang, karena secara
kebetulan temannya berbudi baik, tetapi mungkin juga
diwarnai oleh perasaan tidak senang karena teman
sepermainannya suka mengganggu atau nakal.
d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis
kelaminnya. Dari segi permainan umpamanya akan
tampak bahwa anak laki-laki tidak akan
memperbolehkan anak perempuan mengikuti
permainannya yang khas laki-laki, seperti main
kelereng, main bola, dan layang-layang.
e. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis,
dan berhitung. Salah satu sebab masa usia 6-12
tahun disebut masa sekolah karena pertumbuhan
jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup
matang untuk menerima pengajaran. Untuk dapat
hidup dalam masyarakat yang berbudaya, paling
sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena
dari sekolah dasar anak sudah memperoleh
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan
berhitung.
f. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila
kita telah melihat sesuatu, mendengar, mengecap,
mencium, dan mengalami, tinggallah suatu ingatan
32
pada kita. Ingatan mengenai pengamatan yang telah
lalu itu disebut konsep (tanggapan).
33
berhubungan dengan norma-norma agama. Hal ini
menyangkut penerimaan dan penghargaan terhadap
peraturan agama (moral) disertai dengan perasaan
senang untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Tugas perkembangan ini berhubungan dengan
masalah benar-salah, boleh-tidak boleh, seperti jujur
itu baik, bohong itu buruk, dan sebagainya.
c. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.
Hakikat tugas ini ialah untuk dapat menjadi orang
yang berdiri sendiri, dalam arti dapat membuat
rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang bebas dari pengaruh orang tua dan
orang lain.
d. Mengembangkan sikap yang positif terhadap
kelompok sosial dan lembaga-lembaga. Hakikat
tugas ini ialah mengembangkan sikap sosial yang
demokratis dan menghargai hak orang lain.
Umpamanya, mengembangkan sikap tolong-
menolong, sikap tenggang rasa, mau bekerjasama
dengan orang lain, toleransi terhadap pendapat orang
lain dan menghargai hak orang lain.
34
3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja (12,0-
18,0)
35
e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi. Tujuannya agar
remaja merasa mampu menciptakan suatu kehidupan
(mata pencaharian). Penting buat remaja pria dan tidak
terlalu penting buat remaja wanita.
36
bertanggung jawab sebagai masyarakat, dan (2)
memperhitungkan nilai-nilai sosial dalam tingkah laku
dirinya.
37
a. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa muda
orang dewasa.
38
5) Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan fisik sebagai orang setengah baya.
D. Teori Perkembangan
39
kejadian sekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri
dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan
makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan
teman. Bagaimana cara anak mengelompokan objek-objek
untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya
perubahan dalam objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan
untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa
tersebut. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran
aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas.
Anak tidak pasif menerima informasi.
40
adanya pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang
yang memperoleh pendidikan dasar dalam bidang eksakta,
yaitu biologis, maka pendekatan dan uraian dari teorinya
terpengaruh aspek biologi.
41
Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan
kemampuan-kemampuan baru dan cara mengolah informasi.
1. Organisasi
42
2. Adaptasi
43
ada dalam diri seseorang mengalami perubahan
sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari
objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab segitiga
siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.
3. Ekuilbrasi
44
Dengan demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama
untuk menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.
1. Tahap Sensorimotorik
45
a. Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan)
46
Pada periode ini bayi belajar untuk mengkoordinasikan
dua skema terpisah untuk mendapatkan hasil. Contoh:
suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin memeluk kotak
mainan, namun Piaget menaruh tangannya ditengah
jala. Pada awalnya Laurent mengabaikan tangan
ayahnya. Dia berusaha menerobos atau berputar
mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya.
Ketika Piaget tetap menaruh tangannya untuk
menghalangi anaknya, Laurent terpaksa memukul kotak
mainan itu sambil melambaikan tangan, mengguncang
tubuhnya sendiri dan mengibaskan kepalanya dari satu
sisi ke sisi lain. Akhirnya setelah beberapa hari mencoba,
Laurent berhasil menggerakkan perintang dengan
mengibaskan tangan ayahnya dari jalan sebelum
memeluk kotak mainan. Dalam kasus ini, Laurent
berhasil mengkoordinasikan dua skema terpisah yaitu:
Mengibaskan perintang dan Memeluk kotak mainan.
47
beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk
mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh
tindakannya.
f. Periode 6: Permulaan Berfikir (Usia 18-24 bulan)
48
adalah “kemampuan anak mempergunakan simbol”.
Penggunaan simbol bagi anak pada tahap ini tampak dalam
lima gejala berikut:
b. Permainan simbolis
Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu anak
mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.
Contoh: anak perempuan yang bermain dengan
bonekanya, seakan-akan bonekanya adalah adiknya.
c. Menggambar
49
meniru sesuatu yang riel”. Contoh: anak mulai
menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis
lainnya.
d. Gambaran Mental
e. Bahasa Ucapan
50
a. Pengurutan
b. Klasifikasi
c. Decentering
51
d. Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-
benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan
awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat
menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan
sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e. Konversi
52
tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak
walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah
dipindahkan ke dalam laci oleh Baim.
4. Tahap Operasional Formal
53
berada pada tahap berfikir formal, ia akan memikirkan
beberapa kemungkinan yang menyebabkan mobil itu mogok.
Bisa jadi karena businya mati, atau karena platinanya, dll.
54
Langkah pertama dalam perkembangan kemandirian
dan pemikiran independen ialah belajar bahwa tindakan dan
suara mempunyai makna. Misalnya, seorang bayi belajar
bahwa proses menjangkau suatu objek ditafsirkan oleh orang
lain sebagai isyarat bahwa bayi tersebut menginginkan objek
itu. Langkah kedua dalam mengembangkan struktur internal
dan kemandirian melibatkan praktik. Misalnya, praktik bayi
memberikan isyarat yang akan memperoleh perhatian.
Langkah terakhir melibatkan penggunaan tanda untuk
berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain.
Pada saat ini, anak-anak akhirnya mengatur diri sendiri (self
regulating) dan system tanda tersebut telah diinternalisasi.
a. Percakapan Pribadi
55
Pertama-tama memerlukan penguasaan system-
sistem komunikasi budaya dan kemudian belajar
menggunakan system-sistem iniuntuk mengatur proses
pemikiran kita sendiri. Sumbangan terpenting teori Vygotsky
ialah penekanan terhadap hakikat pembelajaran
sosiokultural (Vygotsky, 1978; Karpov & Haywood, 1998). Dia
percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika anak-anak
bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka (zone
of proximal development). Vygotsky percaya bahwa
keberfungsian mental yang lebih tinggi biasanya ada dalam
percakapan dan kerja sama diantara orang-orang sebelum
hal itu ada dalam diri orang tersebut.
c. Perancahan
56
d. Pembelajaran Kerjasama
57
Ide Kunci Dalam Teori Vygotsky
58
menanggapi dunia. Untuk meningkatkan fungsi
mental yang lebih tinggi, orang dewasa mengajarkan
pada anak-anak makna atau nilai yang menempel
pada benda, peristiwa, dan pengalaman manusia
pada umumnya. Dalam prosesnya, mereka berubah
atau memediasi situasi pertemuan dengan anak.
Makna yang disampaikan melalui berbagai
mekanisme, termasuk bahasa (kata-kata yang
diucapkan, menulis, dll), simbol matematika, seni,
musik, dan sebagainya. Percakapan informal adalah
salah satu metode umum yang relevan di mana orang
dewasa menyampaikan budaya untuk menafsirkan
keadaan tertentu.
3. Setiap kebudayaan melewati sarana fisik dan kognitif
yang membuat hidup bersama setiap hari lebih efektif
dan efisien. Tidak hanya orang dewasa mengajari
anak-anak cara-cara khusus untuk menafsirkan
pengalaman tetapi mereka juga menyampaikan alat
khusus yang dapat membantu anak mengatasi
berbagai tugas dan masalah mereka yang cenderung
untuk dihadapi.
59
bervariasi latar belakang budaya. Misalnya, anak
lebih mungkin untuk memperoleh keterampilan
membaca peta-peta jika (mungkin dari jalan, sistem
kereta bawah tanah, dan pusat perbelanjaan) adalah
bagian penting dari komunitas mereka dan kehidupan
keluarga (Liben & Myers, 2007). Dan anak-anak
belajar menghitung dan berhitung operasi (misalnya,
penambahan, perkalian) hanya dalam budaya yang
memiliki jumlah yang tepat sistem yang sistematis
memberikan simbol yang berbeda untuk jumlah yang
berbeda (M. Cole, 2006; Pinker, 2007).
60
anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat
suara. Artinya, mereka terus mengarahkan diri secara
verbal melalui tugas dan kegiatan, tetapi yang lain
tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka
melakukan.
5. Proses mental Kompleks muncul dari kegiatan sosial,
seperti anak-anak mengembangkan, mereka secara
bertahap internalisasi proses yang mereka gunakan
dalam konteks sosial dan mulai menggunakannya
secara mandiri. Vygotsky diusulkan bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi memiliki akar dalam interaksi
sosial. Sebagai anak-anak, mereka mendiskusikan
benda, peristiwa, tugas, dan masalah dengan orang
dewasa dan lainnya. sering dalam konteks budaya
sehari-hari kegiatan mereka secara bertahap
dimasukkan ke dalam cara mereka sendiri
memikirkan cara- cara di mana orang-orang di sekitar
mereka berbicara tentang dan menafsirkan dunia,
dan mereka mulai menggunakan kata-kata, konsep,
simbol, dan strategi pada dasarnya, kognitif alat yang
khas untuk budaya mereka. Proses melalui mana
kegiatan sosial berkembang menjadi kegiatan mental
internal disebut internalisasi.
61
6. Anak-anak berpikir sesuai budaya mereka dan cara
mereka sendiri. Anak-anak tentu tidak
menginternalisasi apa yang mereka lihat dan dengar
dalam konteks sosial. Sebaliknya, mereka sering
mengubah ide, strategi, dan alat-alat kognitif lainnya
untuk memenuhi kebutuhan dan dengan tujuan
merka sendiri. Teori Vygotsky memiliki unsur
konstruktivis untuk itu. Istilah apropriasi mengacu
pada proses ini internalisasi tetapi juga mengadaptasi
ide-ide dan strategi budaya seseorang untuk
digunakan sendiri.
7. Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih
sulit ketika mereka memiliki bantuan dari banyak
orang yang lebih paham atau pandai dan kompeten
dari diri mereka. Vygotsky membedakan antara dua
jenis tingkat kemampuan yang mencirikan
keterampilan anak-anak pada setiap titik tertentu
dalam perkembangan. tingkat perkembangan
seorang anak adalah batas atas tugas-tugas yang ia
dapat melakukan secara mandiri, tanpa bantuan dari
orang lain. Tingkat seorang anak perkembangan
potensial adalah batas atas tugas bahwa dia dapat
melakukan dengan bantuan individu yang lebih
kompeten. Untuk mendapatkan yang benar rasa
62
perkembangan kognitif anak, Vygotsky menyarankan,
kita harus menilai kemampuan mereka baik saat
melakukan sendirian dan ketika tampil dengan
bantuan.
8. Tugas Menantang mendorong pertumbuhan kognitif
yang maksimal. Berbagai tugas bahwa anak-anak
belum biasa melakukan secara mandiri tetapi dapat
melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari
orang lain. ZPD Seorang anak termasuk belajar dan
kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai
muncul dan mengembangkan kemampuan secara
matang. ZPD setiap anak akan berubah seiring
waktu. Sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang
lebih kompleks akan muncul untuk menyajikan
tantangan baru. Singkatnya, itu adalah tantangan
dalam hidup, daripada keberhasilan mudah, yang
mempromosikan perkembangan kognitif.
9. Bermain memungkinkan anak-anak untuk
”meregangkan“ kognitif sendiri. Dalam bermain anak
selalu berperilaku melampaui rata-rata usianya, di
atas perilaku sehari- hari, dalam bermain itu seolah-
olah dia adalah kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri
” (Vygotsky, 1978, hlm.102) Selain itu, karena anak-
anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti
63
standar atau harapan tertentu. Pada tahun-tahun
awal sekolah dasar, anak-anak sering bertindak
sesuai dengan bagaimana seorang ayah, guru, atau
pelayan akan berperilaku. Dalam pertandingan grup
terorganisir dan olahraga yang datang kemudian,
anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan.
Dengan berpegang pada batasan tertentu pada
perilaku mereka, anak-anak belajar untuk
merencanakan ke depan, untuk berpikir sebelum
bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri-
keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di
dunia orang.
E. Teori Pertumbuhan
64
kesan, keinginan, ide, pengetahuan, nilai, selama tidak
dihubungkan dengan fungsinya tidak dapat dikatakan
berkembang melainkan mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan dinyatakan dalam bentuk perubahan yang
terjadi pada bagian-bagian material, tetapi pertumbuhan itu
sendiri mempunyai sifat kesatuan dan keumuman, dalam hal
ini suatu organisme.
65
66
BAB IV
A. Intelegensi
Inteligensi atau kecerdasan intelektual adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu. Ormrod (2008) mengemukakan
bahwa inteligensi merupakan kemampuan untuk
mengaplikasikan secara fleksibel pengetahuan dan
pengalaman yang telah diperoleh untuk menghadapi tugas-
tugas baru yang menantang. Individu dikatakan berperilaku
inteligen apabila melakukan sesuatu secara efektif dengan
bantuan minimal atau bahkan tanpa bantuan sama sekali
dari orang lain sekitar.
Sedangkan inteligensi menurut Santrock (2008)
merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah
serta menyesuaikan diri dan belajar dari pengalaman hidup.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa inteligensi adalah
kemampuan potensial individu dalam menyesuaikan diri
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari
67
sesuai tugas perkembangannya. David Wechsler (1958)
mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami dunia, bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif
saat menghadapi masalah atau tantangan. Walters dan
Gardners (1986) mendefinisikan inteligensi sebagai
serangkaian kemampuan- kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk
sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
Ormrod (2008) menyimpulkan pandangan dari para
tokoh tentang definisi dan rumusan inteligensi yang memiliki
berbagai kualitas sebagai berikut.
1. Bersifat adaptif, dapat digunakan secara fleksibel
untuk merespons berbagai situasi dan kondisi
permasalahan yang dihadapi.
2. Berkaitan dengan kemampuan untuk belajar. Orang
yang cerdas dalam bidang tertentu dapat mempelajari
informasi-informasi dan perilaku-perilaku baru dalam
bidang tersebut secara lebih cepat dan lebih mudah
dibanding orang yang kurang cerdas.
3. Istilah inteligensi lebih merujuk pada penggunaan
pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki untuk
menganalisis dan memahami situasi baru secara
efektif.
68
4. Istilah inteligensi melibatkan interaksi dan koordinasi
yang kompleks dari berbagai proses mental.
5. Istilah inteligensi terkait dengan budaya tertentu.
Bahwa perilaku inteligen dalam budaya tertentu tidak
selalu dianggap perilaku inteligen dalam budaya lain.
69
berbagai benda yang diamatinya, maka perbuatannya sudah
merupakan perbuatan yang berinteligensi.
B. Emosi
70
daripada kecerdasan intelektual dalam memprediksi
keberhasilan atau kesuksesan individu. Dalam hal ini meski
anak didik memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, bila
kecerdasan emosionalnya kurang, ia akan mengalami
hambatan dan kesulitan dalam belajar dan mengatasi
masalah-masalahnya.
C. Motivasi
71
persisten siswa berusaha untuk mencapai tujuannya serta
bagaimana yang mereka rasakan dan pikirkan.
72
1. Motivasi Intrinsik
2. Motivasi Ekstrinsik
73
Misalnya, seorang siswa dapat belajar dengan keras untuk
sebuah ujian dengan tujuan untuk mendapatkan nilai bagus
di mata pelajaran tersebut. Siswa yang termotivasi secara
ekstrinsik dikarenakan oleh faktor- faktor eksternal dan tidak
berkaitan dengan tugas yang dilakukan, mungkin
menginginkan nilai yang baik, uang, atau pengakuan
terhadap aktivitas dan prestasi khusus. Pada dasarnya,
mereka termotivasi untuk melakukan sesuatu sebagai sarana
untuk mencapai tujuan lain, bukan sebagai tujuan langsung
dari kegiatan belajar yang dilakukan, yaitu untuk menguasai
materi atau hal yang dipelajari.
74
D. Minat
75
terorganisasi, dan terperinci. Misalnya, dengan
mengaitkannya dengan pengetahuan sebelumnya,
membentuk gambar- gambar visual, memberikan contoh-
contoh, mengaitkan berbagai ide, menarik kesimpulan, serta
mengidentifikasi potensi penerapannya.
Jenis-Jenis Minat
1. Minat Situasional
76
2. Minat Pribadi
E. Gaya Belajar
77
gaya belajar. Ada anak yang lebih suka apabila guru mereka
mengajar dengan cara menulis materi di papan tulis atau
menayangkan materi dalam bentuk power point; dengan
begitu mereka bisa membaca untuk memahami materi
tersebut; mereka ini memiliki gaya belajar visual. Sedangkan
sebagian siswa lainnya lebih suka bila guru menjelaskan
materi secara lisan, mendengarkan rekaman, atau
berdiskusi, sehingga siswa bisa mendengar untuk
memahami materi yang dipelajari; mereka memiliki gaya
belajar auditif (auditory learners). Ada juga siswa yang suka
belajar sambil melakukan sesuatu seperti menggambar,
membuat ringkasan dalam bentuk mindmap atau infografis,
membuat laporan observasi, melakukan percobaan/
eksperimen, dan lain sebagainya. Tipe belajar seperti ini
disebut gaya taktil (Tactual Learners).
78
Untuk dapat memenuhi kebutuhan belajar anak didik
dengan gaya visual, guru bisa menggunakan beragam
bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi
pelajaran. Perangkat grafis itu bisa berupa film, slide, gambar
ilustrasi, coretan-coretan, kartu bergambar, atau poster.
Untuk memenuhi kebutuhan anak didik dengan gaya belajar
auditory, guru dapat mengemas materi pembelajaran dengan
ceramah bervariasi, menggunakan alat perekam, meminta
siswa untuk bercerita di depan kelas atau berdiskusi.
Sedangkan untuk anak didik dengan gaya taktil,
pembelajaran bisa dilakukan dengan bantuan bermacam alat
peraga yang bisa disentuh, belajar di laboratorium atau
bermain sambil belajar. Penggunaan komputer bagi peserta
didik yang memiliki gaya belajar taktil akan sangat membantu
karena dengan menggunakan komputer anak akan terlibat
aktif dalam melakukan touch, sekaligus menyerap informasi
dalam bentuk gambar dan tulisan. Selain itu agar belajar
menjadi lebih efektif dan bermakna, anak didik dapat diminta
melihat atau observasi langsung data-data di lapangan.
79
80
BAB V
A. Pengertian Belajar
81
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui
praktek atau latihan.
e. Drs. Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam
interaksi dengan lingkungannya.
f. Djamarah, Syaiful Bahri, (Psikologi Belajar; Rineka
Cipta; 1999) Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa
raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif
dan psikomotor.
g. R. Gagne (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) hal 22. Belajar adalah suatu proses
untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan,
ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku.
h. Herbart (swiss) Belajar adalah suatu proses pengisian
jiwa dengan pengetahuan dan pengalamn yang
sebanyak-banyaknya dengan melalui hafalan.
i. Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of
learning mengemukakan bahwa: Learning is change in
human disposition or capacity, wich persists over a
82
period time, and which is not simply ascribable to
process a groeth. Belajar adalah perubahan yang terjadi
dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus
menerus, bukan hanya disebabkan karena proses
pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri
dan keduanya saling berinteraksi.
j. Lester D. Crow and Alice Crow Belajar adalah
acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar
adalah upaya-upaya untuk memperoleh kebiasaan-
kebiasaan, pengetahuan dan sikap.
k. Ngalim Purwanto (1992) Belajar adalah setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku,
yang terjadi sebagi hasil dari suatu latihan atau
pengalaman.
l. Moh. Surya (1997): “belajar dapat diartikan sebagai
suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan perilaku baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
m. Witherington (1952): “belajar merupakan perubahan
dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-
pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap,
kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
83
n. Crow & Crow dan (1958:“belajar adalah diperolehnya
kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
o. Hilgard (1962): “belajar adalah proses dimana suatu
perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena
adanya respons terhadap sesuatu situasi”.
p. Di Vesta dan Thompson (1970):“belajar adalah
perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil
dari pengalaman”.
84
setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari
bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku,
dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi
Pendidikan.
85
maupun masa mendatang. Contoh: seorang mahasiswa
belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan
dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan
perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan
mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak
ketika dia menjadi guru.
86
baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa
tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi
dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.
87
memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
88
dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya:
penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam
keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam
membedakan (discrimination), memahami konsep
konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum.
Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi
pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan
pengendalian dan pengelolaan keseluruhan
aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran,
strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan
ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas
yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan
pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif
lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa
kecakapan individu untuk memilih macam tindakan
yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah
keadaan dalam diri individu yang akan memberikan
kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu
obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur
pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan
kesiapan untuk bertindak.
89
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa
kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan
fisik. Sementara itu, Moh. Surya (1997)
mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak
dalam: Kebiasaan; seperti: peserta didik belajar
bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan
penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga
akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa
secara baik dan benar.
6. Keterampilan; seperti: menulis dan berolah raga yang
meskipun sifatnya motorik, keterampilan-
keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang
teliti dan kesadaran yang tinggi.
7. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan,
dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui
indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik
mampu mencapai pengertian yang benar.
8. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara
mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan
menggunakan daya ingat.
9. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan
prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam
menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana”
(how) dan“mengapa” (why).
90
10. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap
untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap
orang atau barang tertentu sesuai dengan
pengetahuan dan keyakinan.
11. Inhibisi (menghindari hal yang tidak berguna).
12. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu).
13. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan
dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira,
kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
91
5. Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungannya.
6. Untuk meningkatkan intelektualitas dan
mengembangkan potensi diri.
7. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
8. Untuk mengisi waktu luang
B. Jenis-Jenis Belajar
1. Menurut Robert M. Gagne
92
(shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan
suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang
sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya.
Guru member pertanyaan kemudian murid
menjawab.
c. Belajar merantaikan (chaining). Tipe ini merupakan
belajar dengan membuat gerakangerakan motorik
sehingga akhirnya membentuk rangkaian gerak
dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran
tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-
proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya.
d. Belajar asosiasi verbal (verbal Association). Tipe ini
merupakan belajar menghubungkan suatu kata
dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau
kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam
urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah
kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek
tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
e. Belajar membedakan (discrimination). Tipe belajar ini
memberikan reaksi yang berbeda– beda pada
stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya
yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk
pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang
mempunyai jawaban yang mempunyai banyak versi
93
tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang
benar. Guru memberikan sebuah bentuk (kubus)
siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak,
seperti kotak kardus, kubus, dsb.
f. Belajar konsep (concept-learning). Belajar
mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan
obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang
membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang
mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami
sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori.
Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum
praktek, atau konsep dalam kuliah mekanika teknik.
g. Belajar dalil (rule learning). Tipe ini meruoakan tipe
belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang
terdiri dari penggabungan beberapa konsep.
Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam
bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru
memberikan hukuman kepada siswa yang tidak
mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban
siswa, dalam hal itu hukuman diberikan supaya siswa
tidak mengulangi kesalahannya.
h. Belajar memecahkan masalah (problem solving). Tipe
ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan
beberapa kaidah untuk memecahkan masalah,
94
sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher
order rule). Contohnya yaitu seorang guru
memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-
siswanya untuk memancing otak mereka mencari
jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.
C. Pengertian Pembelajaran
95
belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa
yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk
mempengaruhi dan mendukung terjadinya
proses belajar siswa yang bersifat internal.
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
D. Ciri-Ciri Pembelajaran
96
Pengajaran adalah proses, perbuatan, cara mengajar
atau mengajarkan perihal mengajar, segala sesuatu
mengenai mengajar, peringatan (tentang pengalaman,
peristiwa yang dialami atau dilihatnya). (Dariyanto S.S,
Kamus Bahasa Indonesia, 1997). Pengajaran adalah
kegiatan yang dilakukan guru dalam menyampaikan
pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga diartikan
sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran
berlangsung sebagai suatu proses yang saling
mempengaruhi antara guru dan siswa. Pemelajar adalah
orang yang melakukan pengajaran.
97
98
BAB IV
MOTIVASI BELAJAR
A. Motivasi Belajar
99
memprakarsai tindakan yang diarahkan pada tujuan tertentu,
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai kegiatan,
dan seberapa persisten siswa dalam usahanya untuk
mencapai tujuan dan apa yang mereka pikirkan dan rasakan
di sepanjang perjalanannya.
100
survival, self-esteem, kebutuhan aktualisasi diri sampai
kebutuhan transcendence. Sementara Carl Rogers (1962)
motivasi tumbuh karena adanya kebutuhan untuk dapat
berperan optimal.
101
bahasan motivasi menurut kognitif, terutama pada ide-ide
seperti motivasi internal siswa untuk mencapai sesuatu,
atribusi mereka dan juga keyakinan bahwa mereka dapat
mengontrol lingkungan secara efektif.
102
pelajaran tanpa mengharapkan pujian dari guru atau orang
tua, ini merupakan contoh motivasi intrinsik. Jadi motivasi
intrinsik merupakan motivasi untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Individu dengan
motivasi belajar intrinsik tidak membutuhkan hadiah atau
hukuman untuk membuat mereka belajar karena aktivitas
belajar itu sendiri sudah menguntungkan. Mereka menikmati
tugasnya atau perasaan pencapaian prestasi yang
diperolehnya (Woolfolk, 1993). Woolfolk menambahkan
bahwa sumber motivasi intrinsik adalah faktor-faktor internal,
seperti minat (interest), kebutuhan (needs), kenikmatan
(enjoyment) dan rasa ingin tahu (curiosity). Tipe penentuan
tujuan adalah learning global, berupa kepuasan pribadi
dalam menemukan tantangan. Individu yang termotivasi
secara intrinsik, cenderung memilih tugas yang cukup sulit
dan menantang.
103
Penelitian terbaru menyatakan bahwa iklim kelas
dapat meme- ngaruhi motivasi siswa (Wigfield & Eccles,
2002). Siswa akan lebih termotivasi untuk belajar saat
mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang
sesuai dengan kemampuan mereka yang mengandung nilai
informasional.
104
Lebih lanjut Schunk mencontohkan: seorang guru
menggunakan sistem hadiah, misalnya semakin banyak
tugas yang diselesaikan siswa, maka akan semakin banyak
poin yang diraih. Poin itu dapat ditukar dengan hadiah. Murid
akan termotivasi untuk mengerjakan tugas untuk
memperoleh poin. Tetapi poin itu memberikan informasi
tentang kemampuan siswa, semakin banyak poin yang
mereka dapat berarti semakin banyak tugas yang telah
mereka selesaikan, murid akan merasa semakin kompeten.
Sebaliknya jika poin tidak memberikan informasi apa pun
tentang kemampuan siswa, maka mereka akan menganggap
imbalan sebagai pengontrol perilaku mereka.
105
1. Cita-cita atau aspirasi
106
2. Kemampuan belajar
3. Kondisi siswa
Siswa adalah makhluk hidup yang terdiri dari
kesatuan psikofisik. Jadi, kondisi siswa yang memengaruhi
motivasi belajar di sini berkaitan dengan kondisi fisik dan
psikologis.
107
4. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan unsur-unsur yang
datang dari luar diri siswa. Lingkungan siswa, sebagaimana
juga lingkungan individu pada umumnya ada tiga yaitu
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Guru harus
berusaha mengelola kelas, menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan, dan menampilkan diri secara menarik
dalam rangka membantu siswa termotivasi dalam belajar.
Lingkungan fisik sekolah, sarana dan prasarana perlu
ditata dan dikelola supaya menyenangkan dan membuat
siswa betah belajar. Kecuali kebutuhan siswa terhadap
sarana dan prasarana, kebutuhan emosional psikologis juga
perlu mendapat perhatian. Misalnya, kebutuhan akan rasa
aman sangat memengaruhi motivasi belajar siswa.
Kebutuhan berprestasi, dihargai, dan diakui merupakan
contoh-contoh kebutuhan psikologis yang harus terpenuhi,
agar motivasi belajar timbul dan dapat dipertahankan.
5. Unsur-unsur dinamis dalam belajar
108
Misalnya keadaan emosional siswa, gairah belajar dan
situasi dalam keluarga.
109
dilakukan serta keoptimalan evaluasi hasil belajar. Pada saat
yang sama, proses atas-bawah (top-down) terjadi ketika
pengetahuan siswa tentang proses dan tujuan pembelajaran
di sekolah membantu proses pengenalan terhadap konteks
atau lingkungan pembelajaran (Purwanti, 2006).
110
Church, Elliot dan Gable (2001) menyatakan ada tiga
komponen dari proses pembelajaran yang akan dipersepsi
oleh siswa, yaitu: keterlibatan terhadap proses pembelajaran
(lecture engagement), evaluasi yang ketat (harsh evaluation),
serta fokus evaluasi (evaluation focus). Persepsi yang positif
terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan
kesenangan dalam belajar, mendorong mereka untuk
mempelajari materi lebih mendalam, dan pada akhirnya
dapat membuat siswa lebih terlibat dalam proses belajar
mengajar (Church, Elliot & Gable, 2001).
E. Self-Regulated Learning
111
adalah proses memunculkan dan memonitor sendiri pikiran,
perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan
ini bisa berarti tujuan akademik atau tujuan sosio- emosional
(mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman
sebaya).
112
stategi-strategi yang mampu membantunya untuk mencapai
tujuannya.
113
mencoba untuk memusatkan perhatian mereka pada
pokok persoalan yang ada dan mencoba untuk
membebaskan ingatan dari pikiran dan emosi-emosi
yang kemungkinan besar dapat mengganggu.
d. Pengaplikasian strategi-strategi belajar (application of
learning strategies). Peserta didik yang memiliki
pengaturan diri dalam belajar memilih strategi-strategi
yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
e. Strategi-strategi memotivasi diri sendiri (self-
motivational strategies). Mengerjakan tugas dengan
strategi-strategi yang bervariasi, sebagaimana
mereka sedang bersaing dengan kinerja mereka yang
sebelumnya, menemukan agar membuat aktivitas
mereka yang membosankan lebih menarik dan lebih
menantang.
f. Permintaan bantuan dari luar apabila dibutuhkan.
Tidak berusaha untuk menentukan segalanya sendiri
sebaliknya mereka mengetahui kapan mereka
membutuhkan pertolongan orang lain mereka lebih
suka untuk meminta pertolongan yang dapat
membantu mereka berdiri sendiri dalam penyelesaian
pekerjaan dimasa depan.
114
g. Pengawasan diri (self-monitoring). Secara terus-
menerus mengawasi perkembangan dalam mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mengubah
strategi-strategi belajar atau memodifikasi tujuan-
tujuan jika diperlukan.
h. Mengevaluasi diri (self-evaluating). Menentukan
apakah betul bahwa individu telah belajar selama ini
dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Individu juga menggunakan strategi-strategi yang
bermacam-macam.
115
menyelesaikan aktivitas yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan tersebut.
c. Pencarian informasi (seeking information) adalah
usaha peserta didik dalam mencari informasi pada
sumber yang tidak biasa dalam menyelesaikan suatu
tugas.
d. Mengatur lingkungan (enviromental structuring)
adalah inisiatif peserta didik dalam usaha untuk
mengatur lingkungan belajar mereka dengan cara
tertentu sehingga membantu mereka dalam belajar
yang lebih baik.
e. Konsekuensi diri (self consequating) adalah peserta
didik membayangkan reward atau punishment bila ia
sukses ataupun gagal dalam mengerjakan suatu
ujian.
116
dapat membantu anak didik mencapai hasil sesuai dengan
yang diharapkan.
3. Goal Orientation
117
kata lain, goal orientation merefleksikan standar individu
dalam mencapai keberhasilan (Schunk, Pintrich & Meece,
2008). Secara umum ada dua jenis orientasi tujuan dalam
belajar, yaitu tujuan untuk mengembangkan dan mencapai
kemampuan (mastery goal) dan tujuan untuk menunjukkan
kemampuan (performance goal).
118
Menurut Schunk dkk. (2008), anak didik yang
berorientasi pada mastery goal akan memfokuskan
tujuannya pada pengembangan kemampuan dan berusaha
untuk memahami setiap tugas akademik yang diberikan, dan
selalu meningkatkan kompetensi diri. Sebaliknya, yang
berorientasi pada performance goal lebih memfokuskan pada
bagaimana penilaian orang lain terhadap prestasi yang
dicapai. Bisa jadi anak didik memiliki orientasi tujuan mastery
sekaligus performance, sehingga ia berupaya untuk belajar
dengan giat, mengeksplorasi berbagai sumber belajar serta
berupaya juga untuk memperoleh prestasi yang baik. Dalam
hal ini guru harus bisa menghargai proses belajar anak didik,
memberi umpan balik terhadap setiap perkembangan anak,
lebih dari hanya fokus bahkan menuntut pencapaian prestasi
yang tinggi.
119
120
BAB VII
DALAM PEMBELAJARAN
121
hasil pengukuran, bersifat kualitatif; biasanya dinyatakan
dengan kualifikasi kurang, cukup baik, baik dan memuaskan.
122
Standards for Teacher Competence in Educational
Assessment, yang dikembangkan bersama-sama pada awal
1990-an oleh American Federation of Teachers, National
Council on Measurement in Education, dan National
Education Association (dalam Santrock, 2014),
mendeskripsikan tanggung jawab guru atas penilaian siswa
dalam tiga kerangka seperti pada tabel berikut.
123
dipahami oleh
kelas saya?
124
Memperhatikan isi tabel di atas, dapat dikemukakan
bahwa guru hendaknya merumuskan dengan jelas sasaran
belajar yang akan dicapai oleh siswa; kemudian menilai
apakah siswa sudah memiliki pengetahuan dan kecakapan
dasar serta kesiapan mental untuk mengikuti pelajaran
berikutnya itu. Bila hasil penilaian sebelum pembelajaran
diperoleh, guru dapat menentukan level kesulitan materi yang
harus dipelajari oleh siswa, mengembangkan strategi
pembelajaran yang dapat mempermudah dan memotivasi
siswa serta menentukan prosedur dan teknik penilaian
berikutnya. Penilaian sebelum pembelajaran ini dapat
dilakukan tidak hanya dengan tes atau melihat nilai pada
pembelajaran sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan
dengan observasi atau portofolio.
125
juga dapat menentukan siswa mana yang memerlukan
perhatian individual.
126
belajar, yang meliputi aspek pengetahuan (kogninif),
sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik).
2. Penilaian atau evaluasi proses, yaitu penilaian atau
evaluasi yang ditujukan untuk memperoleh data
tentang faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian
prestasi belajar. Faktor tersebut kemungkinan
merupakan faktor pendukung atau penghambat
pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan.
3.
C. Prinsip-Prinsip Evaluasi
127
1. Prinsip objektivitas
128
2. Prinsip kontinuitas
129
pengetahuan (kognitif) saja, melainkan seluruh aspek
perkembangan siswa yang meliputi perkembangan fisik
(psikomotorik), pengetahuan (kognitif) serta sikap dan
perilaku (afektif); karena itu evaluasi pembelajaran yang baik
seharusnya menilai pencapaian keseluruhan aspek hasil
belajar tersebut.
130
memberikan materi pelajaran dan mengorganisasikan
pembelajaran; dengan mengetahui data hasil belajar siswa
serta faktor-faktor yang memengaruhinya, maka guru dapat
mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk proses belajar mengajar selanjutnya; guru dapat
menentukan metode dan teknik pembelajaran yang akan
digunakan, apakah anak akan diatur dalam kelompok-
kelompok, atau akan diberikan tugas dan bimbingan secara
individual.
131
informal dan non formal. Tentu saja dalam hal ini, penilaian
yang komprehensif dan juga bersifat kualitatif seperti pada
aspek kejujuran, ketelitian, kemampuan berkomunikasi,
kepemimpinan dan kerja sama serta integritas, sangat
penting dilakukan.
1. Tes
132
a. Pengertian Tes
133
yang sudah distandardisasikan. Tes yang dibuat oleh guru
biasanya disebut “tes buatan guru”, sedangkan yang
distandardisasikan biasa disebut dengan “tes standar” atau
tes baku.
134
3. Memberikan bukti untuk penempatan siswa dalam
program khusus; tergantung tes standar apa yang
diberikan, siswa dapat 146 Psikologi Pendidikan:
Implikasi dalam Pembelajaran dipertimbangkan untuk
mengikuti suatu program khusus seperti kelas
membaca, kelas matematika, atau kelas biologi yang
bersifat pengayaan. Dengan menggunakan tes standar
dan beberapa teknik penilaian lain dapat diperoleh
informasi apakah siswa bisa loncat kelas, masuk kelas
akselerasi, kelas bilingual atau program khusus lainnya.
4. Memberi informasi untuk merencanakan dan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Bersama dengan
informasi lain, nilai dari tes standar dapat digunakan oleh
guru dalam membuat keputusan tentang pembelajaran;
hal-hal apa yang masih harus dibahas dan strategi apa
yang harus diterapkan dalam proses pembelajaran
berikutnya.
5. Membantu administrator mengevaluasi program. Jika
sekolah hendak beralih ke suatu program pendidikan
yang baru, seperti membuka kelas akselerasi atau kelas
internasional, administrator sekolah dalam hal ini kepala
sekolah harus mengetahui seberapa efektif program
baru itu. Salah satu caranya adalah dengan memberikan
kepada siswa satu atau lebih tes standar yang berkaitan
135
dengan kapasitas yang dibutuhkan siswa untuk
mengikuti program dan bagaimana kinerja siswa setelah
mengikuti program.
6. Memberikan akuntabilitas. Sekolah dan guru diharapkan
bertanggung jawab atas pengajaran para siswa;
meskipun kontroversial, tes standar kini mulai banyak
dipakai untuk menentukan seberapa efektif sekolah
dalam menghabiskan dana untuk proses pembelajaran.
1. Validitas
136
apabila guru ingin mengukur keterampilan siswa dalam
melaksanakan shalat, maka tidak valid apabila digunakan tes
lisan atau tulisan, melainkan dengan tes tindakan. Contoh
lain, bila guru ingin mengukur pemahaman siswa tentang
materi sejarah, tidak valid bila guru mengukur bagus atau
tidaknya tulisan siswa dalam menguraikan jawaban tes.
137
Concurrent validity adalah relasi antara nilai tes
dengan kriteria lain yang ada saat ini. Misalnya jika hasil
tes standar bidang studi IPA kelas 2 SMP yang digunakan
berhubungan dengan nilai (grade) siswa dalam bidang
IPA pada semester itu, maka dapat dikatakan bahwa tes
tersebut memiliki tingkat kebersamaan (concurrent) yang
tinggi.
138
perkembangan tes, pola relasi antara tes dan faktor
signifikan lainnya, seperti berkorelasi tinggi dengan tes
yang sama dan berkorelasi rendah dengan tes yang
mengukur konstruk yang berbeda. Karena suatu konstruk
biasanya abstrak, berbagai macam bukti mungkin
dibutuhkan untuk menentukan apakah sebuah tes valid
dalam mengukur suatu konstruk tertentu.
2. Reliabilitas
139
a. Test-retest reliability; yaitu sejauhmana sebuah tes
menghasilkan kinerja yang sama ketika seorang
siswa diberi tes yang sama dalam dua kesempatan
yang berbeda; namun perlu dijaga agar hasil tes pada
kesempatan kedua tidak dipengaruhi oleh faktor
pendalaman siswa terhadap materi yang termuat
dalam soal- soal tes.
b. Alternate forms reliability; ditentukan dengan
memberikan bentuk yang berbeda dari tes yang sama
pada dua kesempatan yang berbeda, untuk kelompok
siswa yang sama; lalu diamati seberapa konsistenkah
skor yang mereka peroleh. Item tes pada dua bentuk
itu sama tetapi tidak identik. Strategi ini mengeliminasi
kemungkinan siswa akan memperoleh hasil yang
lebih baik pada tes kedua. Namun perlu diingat bahwa
tes ini tidak menghilangkan kemungkinan
peningkatan kemampuan siswa serta pengenalan
siswa akan prosedur dan strategi tes.
c. Split-half reliability; dilakukan dengan cara membagi
item tes menjadi dua bagian, seperti item-item
bernomor ganjil dan genap. Nilai pada dua set item
tersebut dibandingkan untuk menentukan seberapa
konsistenkah kinerja siswa pada kedua set tes itu.
140
Jika split-half reliability-nya tinggi, dapat dikatakan
bahwa tes tersebut konsisten secara internal.
3. Objektivitas
141
melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang
memengaruhi, terutama berkaitan dengan sistem
skoringnya.
a. Bentuk Tes
b. Penilai
Unsur subjektivitas penilai biasanya dikaitkan dengan
rasa senang atau tidak senang penilai terhadap siswa
yang dinilainya; bisa pula berkaitan dengan keakraban
142
hubungan antara penilai dengan siswa. Hal lain yang
dapat memengaruhi unsur subjektivitas penilai adalah
kesan penilai terhadap siswa (misalnya ada siswa yang
dianggap pintar atau bodoh), tulisan dan bahasa siswa
dalam menjawab soal, gangguan fisik atau mental yang
dialami penilai, seperti lelah, pusing dan sebagainya.
4. Keadilan
143
5. Daya Pembeda (Discrimination Power)
144
siswa tidak bisa menjawab soal tersebut, berarti tingkat
kesulitan soal tersebut tinggi.
145
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi; bila yang dituntut
soal adalah penguasaan aspek pengenalan/ingatan, yang
merupakan tingkatan kognitif paling rendah, soal tersebut
diperkirakan mempunyai tingkat kesulitan yang rendah.
Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa item-item tes
yang menggambarkan pencapaian tujuan tingkat
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi akan
mempunyai tingkat kesulitan yang semakin tinggi.
Tes esai dan tes objektif adalah dua bentuk tes yang
pelaksanaannya biasa diberikan secara tertulis, tetapi
adakalanya juga dilaksanakan secara lisan, atau soal
diberikan secara lisan, siswa menjawabnya dengan tulisan.
1. Tes Esai
146
a) Uraian bebas (Free Essay), yaitu tes yang memberi
kesempatan kepada peserta tes untuk memberikan
jawaban menurut pandangannya dan dengan
bahasanya sendiri. Yang penting adalah ia bisa
mengemukakan argumentasi yang dianggap kuat
mengenai pendapat itu. Contoh: Terangkan
pendapatmu mengenai hubungan antara puasa
dengan kesehatan!
b) Uraian terbatas (Limited Essay), yaitu tes yang sudah
membatasi kebebasan dalam memberikan jawaban,
yaitu hanya berkaitan dengan unsur-unsur tertentu
yang diminta dalam soal. Contoh: Sebutkan sila-sila
dari Pancasila!
147
Sedangkan kelemahan tes esai antara lain:
2. Non-Tes
148
a. Observasi (pengamatan)
149
penelitian pada umumnya maka dalam penilaian, observasi
pun dapat dibedakan menjadi:
b. Wawancara (interview)
150
Ditinjau dari objek yang diwawancarai, maka
wawancara dapat dibedakan menjadi: wawancara langsung
dan wawancara tak langsung. Wawancara langsung
dilakukan apabila yang diwawancarai adalah siswa yang
ingin diketahui keadaannya. Sedangkan wawancara tak
langsung adalah bila informasi mengenai seorang siswa
ditanyakan kepada orang lain, seperti temannya atau orang
tuanya.
151
yang banyak. Ditinjau dari segi siapa yang menjawab, maka
angket dapat dibedakan menjadi angket langsung dan
angket tak langsung. Sedangkan dari segi cara menjawab,
angket dapat dibedakan menjadi angket tertutup, angket
terbuka, dan angket kombinasi.
152
daftar pernyataan yang menyediakan antara lima sampai
tujuh pilihan jawaban dari kategori Sangat Tidak Setuju (STS)
sampai dengan Sangat Setuju (SS).
e. Sosiometri
153
Pelaksanaan teknik sosiometri dapat dimulai dengan
meminta siswa memilih 2 orang teman yang disukainya
beserta alasannya (sesuai dengan hal yang kita ketahui,
misalnya mengenai kepemimpinannya, kerja samanya dalam
belajar, dalam bekerja dan sebagainya). Hasil pemilihan
tersebut dapat disusun menjadi sebuah sosiogram yang
dapat menggambarkan pola hubungan sosial siswa. Dengan
cara ini kemungkinan ditemukan ada anak yang dipilih oleh
hampir seluruh teman di kelasnya yang disebut “super star”.
Ada juga siswa yang saling memilih, yang menggambarkan
adanya “klik”. Kemungkinan ada pula anak yang tidak dipilih
sama sekali, disebut “isolate”. Apabila gambaran hubungan
sosial mereka terlihat kurang baik, guru dapat melengkapi
informasi mengenai penyebabnya dengan cara lain, misalnya
wawancara. Dari data yang diperoleh, guru dapat
menentukan langkah perbaikan atau peningkatan
perkembangan sikap sosial para siswanya.ribadi siswa
secara keseluruhan atau terhadap prestasi belajarnya.
154
1. Evaluasi Penempatan
155
Selain itu, untuk mengungkapkan sikap, minat atau unsur-
unsur kepribadian lainnya dapat digunakan wawancara dan
self-inventory.
Evaluasi penempatan dapat dilaksanakan pada
praprogram pendidikan, misalnya untuk penempatan calon
siswa pada kelas akselerasi; atau untuk menempatkan level
kelompok belajar pada kursus bahasa asing (bahasa Inggris,
Arab, Jerman, dan lain-lain). Evaluasi penempatan dapat
juga dilaksanakan di tengah masa pendidikan seperti untuk
penempatan jurusan di SLTA.
Sistem penilaian yang digunakan dalam evaluasi
penempatan adalah Penilaian Acuan Patokan (Criterion
Referenced Test); yaitu pengukuran prestasi siswa dengan
tolok ukur prestasi tertinggi yang seharusnya dicapai.
Dengan cara ini, bila skor maksimal adalah 100 dan standar
lulus minimal ditetapkan 60, maka calon siswa atau siswa
yang memperoleh skor <60 tidak dapat ditempatkan pada
program belajar yang dituju karena tidak memenuhi
kualifikasi yang dimaksud. Karena cara penilaian seperti ini
sudah mutlak hasilnya, disebut sebagai penilaian standar
mutlak.
Selain dengan Penilaian Acuan Patokan (PAP),
penilaian penempatan bisa juga menggunakan standar
Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced Test.
156
Standar ini digunakan apabila hasil tes yang ditunjukkan
siswa atau peserta tes pada umumnya tidak memenuhi
kriteria yang diharapkan. Dengan menggunakan PAN, tolok
ukur penilaian yang digunakan bukan prestasi atau skor
tertinggi yang seharusnya, melainkan skor tertinggi yang
dapat dicapai oleh peserta tes. Dengan demikian, bila skor
tertinggi yang seharusnya dicapai adalah 100 dan standar
kualifikasi minimal ditetapkan 60, sedangkan skor maksimal
yang bisa dicapai oleh peserta tes hanya 70 maka bisa jadi
berdasarkan perhitungan nilai rerata (mean) dan standar
deviasi, peserta tes yang mendapat skor 50 bisa dinyatakan
lulus atau memenuhi syarat untuk diterima atau ditempatkan.
Karena penilaian dengan cara ini bersifat relatif, maka sering
juga disebut sebagai penilaian standar relatif.
Sebenarnya, tes penempatan bisa dibedakan dari tes
seleksi; dalam hal penempatan untuk siswa kelas akselerasi,
penjurusan, atau penempatan untuk menerima mahasiswa
AKABRI, yang betul-betul perlu memenuhi kualifikasi
tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai tes seleksi yang
menggunakan standar Penilaian Acuan Patokan (PAP),
karena bila menggunakan PAN, standar kualifikasi turun, dan
kesiapan siswa untuk mengikuti program pembelajaran tidak
akan maksimal.
157
2. Evaluasi Formatif
158
mencapai kinerja ketuntasan minimal sehingga boleh
mengikuti proses pembelajaran berikutnya. Sebaliknya, bila
pencapaian hasil belajar kurang dari 75 %, berarti siswa
tersebut belum mencapai ketuntasan, sehingga memerlukan
perbaikan atau remedial. Apabila hasil penilaian formatif
betul-betul dimanfaatkan sebagai dasar melakukan
perbaikan atau remedial teaching (bukan hanya remedial
test), dapat dipastikan bahwa siswa akan dapat mencapai
hasil belajar yang lebih optimal.
3. Evaluasi Sumatif
159
merupakan tes buatan guru, maka tes-tes sumatif,
khususnya ujian nasional, disusun oleh suatu Tim Penyusun
Soal. Dalam tes seperti ini, tingkat validitas, reliabilitas, daya
pembeda dan tingkat kesukaran soal telah diuji, sehingga
bisa disebut sebagai tes standar.
Standar penilaian yang digunakan dalam evaluasi
sumatif biasanya standar relatif atau standar Penilaian Acuan
Norma (PAN), karena hasil penilaian sumatif ini berfungsi
untuk mnentukan nilai akhir. Namun demikian, untuk
menentukan nilai akhir yang menggambarkan prestasi
belajar siswa selama satu semester misalnya, harus
diperhatikan pula nilai-nilai formatifnya. Mengenai bentuk tes
yang digunakan, meskipun pada umumnya dipakai tes
tertulis, dapat juga digunakan tes lisan dan tes tindakan atau
praktek. Penilaian dalam mengerjakan tugas-tugas dalam
bentuk porto folio juga bisa digabungkan bila hal tersebut
sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai.
4. Evaluasi Diagnostik
160
tersebut guru dapat memberikan bantuan atau bimbingan
agar siswa dapat mengatasi kesulitannya.
Pada dasarnya alat yang digunakan dalam evaluasi
diagnostik adalah tes, baik tes tertulis, lisan atau tindakan.
Yang perlu diingat adalah bahwa untuk menemukan letak
hambatan atau kesulitan belajar siswa, yang diperhatikan
oleh guru atau penilai adalah bukan skor yang diperoleh
siswa, melainkan bagaimana dan apa jawaban siswa ketika
mengerjakan soal-soal.
Untuk mengetahui penyebab kesulitan belajar siswa,
tes diagnostik dapat ditunjang dengan alat nontes seperti
observasi, wawancara atau pemeriksaan kesehatan dan
aspek-aspek lain yang dapat memengaruhi belajar. Langkah
yang dilakukan dalam pelaksanaan evaluasi diagnostik
dimulai dengan identifikasi kasus, yaitu memperhatikan
prestasi belajar setiap siswa. Siswa yang prestasinya rendah
atau menurun biasanya diiringi dengan munculnya perilaku
belajar menyimpang seperti kurang memperhatikan
pelajaran, tidak mengerjakan tugas; dengan kondisi seperti
itu siswa diduga mengalami kesulitan belajar.
Langkah selanjutnya, bagi siswa-siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar tersebut diberikan tes
diagnostik. Tes diagnostik tersebut bisa dikumpulkan dari
berbagai tes formatif, bisa juga disusun sendiri, yang
161
mencakup lebih banyak item soal untuk menilai setiap
indikator hasil belajar. Setelah mengetahui letak kesulitan
belajar siswa dan factor-faktor penyebab kesulitan tersebut,
barulah guru dapat memberikan bantuan (treatment) yang
tepat. Sebagai langkah terakhir, guru perlu melakukan
monitoring apakah kesulitan belajar siswa sudah teratasi atau
belum. Dengan hasil monitoring, guru dapat menentukan
program pembelajaran lebih lanjut.
Apabila guru tidak bisa melaksanakan sendiri tahap-tahap
evaluasi diagnostik tersebut, ia dapat bekerja sama dengan
orang tua siswa atau guru lain, khususnya guru Bimbingan
Konseling.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa hasil tes
potensi, seperti tes inteligensi, bakat dan minat serta
kreativitas siswa, yang kalaupun dilakukan oleh guru BK atau
dengan bantuan Psikolog, selama ini pada umumnya hanya
dipegang oleh guru BK. Data atau informasi tersebut,
bersama dengan berbagai informasi lainnya perlu
disosialisasikan kepada semua guru agar mereka dapat
mempertimbangkan informasi-informasi tersebut dalam
memberikan layanan pembelajaran dan bimbingan kepada
para siswa, sesuai dengan kapasitas potensi dan minat
mereka.
162
Penutup
Psikologi Pendidikan ialah ilmu yang mengkolaborasikan
antara pendidikan dan psikologi. Ia tidak hanya berkaitan
dengan penelitian-penelitian ilmiah dalam berbagai aspek
belajar mengajar, namun pengaplikasian konsep, teori dan
prinsip-prinsip psikologi dalam pendidikan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran. Tema – tema
penelitian di bidang ilmu psikologi pendidikan dapat berupa
penelitian deskriptif, korelasional, eksperimental, maupun
penelitian terapan.
Psikologi Pendidikan tidak hanya bermanfaat bagi guru
atau pendidik lainnya, tetapi juga jauh lebih daripada itu
psikologi pendidikan menjadi landasan dalam
pengembangan kurikulum, administrasi pendidikan atau
pelaksanaan bimbingan dan konseling. Dengan demikian
buku psikologi pendidikan ini dapat digunakan untuk acuan
dalan setiap pengembangan pendidikan baik bagi guru atau
bagi pemangku kepentingan psikologi lainnya.
163
164
DAFTAR PUSTAKA
165
Gredler, M.E. 2001. Learning and Instruction Theory Into
Practice. Ohio:Merrill Prentice Hall.
Hamalik, Oemar, (1989) Teknik Pengukuran dan Evaluasi
Pendidikan, Bandung : Mandar Maju.
Hurlock, E. B. (2010). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Alih
Bahasa Istiwidayanti dkk.) Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
John. W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan edisi kedua.
Jakarta: Kencana.
Karwono, dan Mularsih, H. 2010.Belajar dan Pembelajaran
Serta Pemanfaatan Sumber Belajar.Jakarta: Cerdas
Jaya.
Monk, dkk. 1994. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta
:University Press.
Paul Suparno.2001.Teor Perkembangan Kognitif Jean
Piaget. Yogyakara: Kanisius.
Santrock, JW. 2008. Educational Psychology. Singapore:Mc
Graww-Hill.
Schunk. D.H. 2009. Theoriesof Learning.
NewJersey:Pearson Education, Inc.
Soemanto, W. 2000. Psikologi Pendidikan. Landasan kerja
Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
166
Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi
Pendidikan.Jakarta:PT Raja Grafindo.
Suryabrata,S. 1984. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Rajawali
Press.
Syah, M. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rodaskarya.
Zainul & Nasution. (2001). Penilaian Hasil belajar. Jakarta:
Dirjen Dikti.
167