Anda di halaman 1dari 14

KETAATAN HEROIK PADRE PIO

SEBUAH JALAN PINTAS KEPADA KEKUDUSAN

PAPER SEMINAR SPIRITUALITAS

OLEH:
STEVEN WIJAYA / FR. PAULUS
1112018008

SEKOLAH TINGGI KATOLIK SEMINARI


SANTO YOHANES SALIB
2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi.....................................................................................................................................ii

1 Pendahuluan........................................................................................................................1

2 Biografi Singkat Padre Pio..................................................................................................1

3 Kebajikan Ketaatan.............................................................................................................3

4 Ketaatan Heroik Padre Pio..................................................................................................4

4.1 Ketaatan Kepada Allah.................................................................................................4

4.2 Ketaatan Kepada Gereja/Magisterium.........................................................................5

4.3 Ketaatan Kepada Superior............................................................................................7

5 Refleksi & Relevansi..........................................................................................................8

6 Penutup.............................................................................................................................10

Daftar Pustaka...........................................................................................................................11

ii
1 PENDAHULUAN
Gereja Katolik dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium menegaskan bahwa semua orang
dipanggil untuk menjadi kudus, apa pun status dan corak hidupnya.1 Kekudusan adalah kepenuhan
hidup Kristiani, yakni kesempurnaan cinta kasih. Kekudusan harus menjadi cita-cita dari semua
orang Kristen yang utama melebihi segala keinginan dan kerinduan yang lain, karena pada akhir
hidup ini, hanya cinta kasihlah yang menjadi ukuran yang diperhitungkan oleh Allah.2
Gereja dengan tiada jemu-jemunya mengingatkan kepada semua orang akan pentingnya
panggilan kepada kekudusan ini dan mendorong mereka untuk mencapainya. Hal ini sesuai dengan
amanat dan perintah Allah sendiri: “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga
adalah sempurna.” (Mat 5:48) Perintah Allah ini bukanlah suatu hal yang mustahil karena Ia telah
memberikan segala sarana yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kekudusan secara berlimpah:
karunia-karunia Roh Kudus, Sakramen-sakramen, ajaran Gereja, dan juga teladan serta kesaksian
para kudus. Para kudus adalah mereka yang telah sampai pada kesempurnaan cinta kasih dan kini
berbahagia di surga. Mereka, dengan caranya masing-masing dan dengan bantuan rahmat Allah,
telah menunjukkan jalan-jalan yang menghantar kepada kekudusan, yakni lewat keutamaan-
keutamaan mereka yang heroik. Oleh karena itu, mereka dapat menuntun, meneguhkan, dan
menolong umat beriman yang masih berjuang dalam perziarahan di dunia ini untuk dapat mencapai
kekudusan.3
Padre Pio dari Pietrelcina (1887-1968) adalah seorang kudus besar pada abad ke-20. Ia
dikenal sebagai seorang imam mistikus yang memiliki pelbagai karunia supernatural dan menerima
karunia stigmata. Namun, kekudusan dari Padre Pio bukan semata-mata terletak pada aneka karunia
tersebut, melainkan pada keutamaan-keutamaannya. Seminar ini secara khusus akan membahas
sebuah keutamaan yang menonjol dalam diri Padre Pio, yakni ketaatan. Dua pertanyaan yang
menjadi status quaestionis dalam seminar ini adalah: 1) Bagaimanakah bentuk perwujudan
keutamaan ketaatan dalam diri Padre Pio? dan 2) Bagaimanakah teladan keutamaan tersebut dapat
membawa umat beriman kepada kekudusan, secara khusus bagi mereka yang mengucapkan kaul
ketaatan?

2 BIOGRAFI SINGKAT PADRE PIO


Padre Pio (Francesco Forgione) lahir di Pietrelcina, sebuah desa kecil di Italia pada tanggal 25
Mei 1887 di dalam sebuah keluarga yang sederhana namun sangat kaya dalam iman. Sejak masa
kecilnya, Francesco telah menunjukkan pelbagai karunia mistik. Sebagai seorang anak kecil, ia
1
Bdk. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, dalam Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. HARDAWIRYANA), DOKPEN
KWI, Jakarta 1993, 40.
2
Bdk. Katekismus Gereja Katolik (terj. H. EMBUIRU), Para Waligereja Regio Nusa Tenggara, Ende 1998, 1022.
3
Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacitalah dan Bergembiralah; 19 Maret 2018),
DOKPEN KWI, Jakarta 2019, 3-5.

1
telah “terbiasa” melihat dan berkomunikasi dengan Yesus, Maria, dan malaikat pelindungnya, serta
bergulat dengan setan. Baginya pengalaman mistik adalah suatu hal yang wajar sehingga ia mengira
bahwa semua orang juga mengalami hal yang sama. Kecintaannya pada hidup doa mendorongnya
untuk menjadi seorang rahib. Pada usia lima belas tahun, Francesco diterima di biara Fransiskan
Kapusin di Morcone dengan nama Padre Pio. Ia menjalankan peraturan biaranya dengan setia dan
dikenal sebagai pribadi yang sangat bersahaja dan suka berdoa. Pada tanggal 10 Agustus 1910,
Padre Pio ditahbiskan menjadi imam. Ia sungguh menghayati perayaan Ekaristi dan sering kali
terserap dalam kontemplasi hingga berjam-jam ketika sedang merayakannya.
Sepanjang hidupnya, Padre Pio sangat sering sakit. Penyakit-penyakitnya begitu aneh
sehingga para dokter pun tidak mengeri apa penyebabnya. Namun Padre Pio menerima penderitaan
itu sebagai penyelenggaraan dari Allah agar ia dapat mempersembahkan kurban bagi pertobatan
jiwa-jiwa. Oleh karena alasan kesehatan ini, pada tanggal 28 Juli 1916 Padre Pio dipindahkan ke
San Giovanni Rotondo, sebuah desa terpencil di Italia selatan dengan udara yang bersih, di mana ia
menghabiskan hampir seluruh hidupnya. Pada tanggal 20 September 1918 Padre Pio menerima luka
stigmata yang menyakitkan di tangan, kaki, dan lambungnya, yang ia tanggung dengan tabah
selama 50 tahun.
Kesalehan dan karunia mistik Padre Pio4 menarik banyak orang untuk meminta nasihat
darinya. Semakin banyak orang yang berziarah ke San Giovanni Rotondo dari pelbagai kalangan
dan bahkan dari seluruh penjuru dunia. Banyak mukjizat dan pertobatan yang terjadi lewat
perantaraannya. Karya-karya Padre Pio ini membuat beberapa oknum menjadi iri hati dan berusaha
menjatuhkannya dengan aneka tuduhan palsu. Karena tuduhan-tuduhan ini, Padre Pio berulang kali
diberi sanksi oleh Gereja dengan aneka larangan dan bahkan pernah dinyatakan sesat secara
terbuka. Ia juga pernah mengalami perlakuan yang tidak adil dari para superior dan saudara
seordonya dan difitnah menggelapkan uang dari proyek rumah sakit yang didirikannya. Padre Pio
menanggung semua penderitaannya tanpa mengeluh. Padre Pio wafat pada tanggal 23 September
1968, setelah merayakan misa peringatan 50 tahun stigmata yang diterimanya. Ia dibeatifikasi oleh
Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 2 Mei 1999 dan dikanonisasi oleh Paus yang sama pada
tanggal 16 Juni 2002.5
Dari kehidupan Padre Pio, dapat ditemukan pelbagai keutamaan yang menjadi alasan
kekudusannya, antara lain: kesalehannya dalam hidup doa, semangat kemiskinannya sebagai
seorang Fransiskan sejati, keperkasaannya dalam menanggung penderitaan, cinta kasih dan
kebijaksanaannya dalam membimbing jiwa-jiwa. Namun satu keutamaan yang sangat menonjol dari
4
Karunia-karunia mistik yang dimiliki Padre Pio antara lain: penyembuhan, bilokasi, nubuat, mukjizat, pembedaan roh,
membaca pikiran, memahami bahasa asing, dan keharuman supernatural.
5
Proses beatifikasi Padre Pio dilakukan setelah Vatikan mengkonfirmasi dua mukjizat yang diatributkan kepada Padre
Pio, yakni mukjizat kesembuhan seorang ibu dari penyakit paru-paru, dan seorang anak laki-laki yang koma karena
radang otak. Bdk. Renzo ALLEGRI, Padre Pio: Man of Hope, Servant Books, Cincinnati (OH) 2000, 267-268.

2
Padre Pio adalah ketaatannya. Keutamaan inilah yang akan dibahas secara khusus di dalam seminar
ini.

3 KEBAJIKAN KETAATAN
Sebelum membahas ketaatan heroik Padre Pio, pada bagian ini akan diuraikan terlebih dahulu
mengenai kebajikan ketaatan, secara khusus ketaatan suci yang diikat dalam kaul ketaatan.
Ketaatan adalah sebuah kebajikan moral yang menggerakkan kehendak untuk mengikuti
kehendak orang lain yang memiliki hak untuk memerintah. 6 Kebajikan ini menuntut semua orang
untuk memberikan penghormatan yang pantas kepada orang yang berwenang dan pribadi-pribadi
yang melaksanakan tugasnya.7 Ketaatan dapat diberikan kepada orang lain, namun ketaatan secara
mutlak hanya dapat diberikan kepada Allah sebagai asal dan tujuan segala sesuatu. 8 Ketaatan
merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai gambar Allah, terlebih bagi mereka yang dibaptis. 9
Lewat pembaptisan, orang dikuduskan dalam Kristus sehingga ia tidak lagi hidup bagi dirinya
sendiri, melainkan bagi Allah. Hidup bagi Allah tidak lain adalah melakukan kehendak-Nya yang
kudus.
Untuk mewujudkan keutamaan ketaatan secara lebih nyata, kaum religius menyerahkan
dirinya secara total dengan mengikrarkan kaul ketaatan. Di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang
pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (Perfectae Caritatis) tertulis,
Dengan mengikrarkan kaul ketaatan, para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka
yang sepenuhnya bagaikan korban diri kepada Allah. Maka seturut teladan Yesus Kristus yang
datang untuk melaksanakan kehendak Bapa (bdk. Yoh 4:34, Ibr 10:7, Mzm 39:9), mengenakan
rupa seorang hamba (bdk. Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (bdk. Ibr 5:8),
hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang
mewakili Allah... Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha
mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. Ef 4:13). 10
Dengan demikian, Kristuslah yang menjadi dasar dan teladan utama ketaatan yang hendak
dikejar oleh para religius yang berusaha untuk hidup sesuai dengan nasihat Injil secara radikal.
Pentingnya ketaatan ini ditekankan lebih jauh lagi bagi para imam:
Ketaatan merupakan nilai yang penting sekali bagi imam. Kurban Kristus di salib sendiri
beroleh nilai dan makna penyelamatannya berkat kepatuhan dan kesetiaan-Nya terhadap
kehendak Bapa. Ia taat sampai mati, bahkan mati di salib (Flp 2:8). Surat kepada umat Ibrani
menunjukkan juga, bahwa Yesus belajar taat dari hal-hal yang diderita-Nya (Ibr 5:8). Maka
dapat dikatakan bahwa ketaatan kepada Bapa merupakan intipati Imamat Kristus. 11
Seperti ketaatan Kristus, begitu pula imam mengungkapkan kehendak Allah, yang disampaikan
kepada imam melalui para pemimpinnya yang sah. Kesediaan itu hendaklah dimengerti sebagai
6
“Obedience”, dalam John Anthony HARDON, Pocket Catholic Dictionary, Image Books, New York (NY) 1985, 291.
7
Bdk. Katekismus Gereja Katolik (terj. H. EMBUIRU), Para Waligereja Regio Nusa Tenggara, Ende 1998, 1900.
8
Bdk. THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae (terj. Vernon J. Bourke), University of Notre Dame Press, Notre Dame
1956, IIa IIae, q. 104, a. 4-5.
9
Bdk. K. V. TRUHLAR, “Obedience”, dalam New Catholic Encyclopedia, ed. II, Thomson-Gale, New York (NY) 2003.
10
KONSILI VATIKAN II, Dekret Perfectae Caritatis, dalam Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. HARDAWIRYANA),
DOKPEN KWI, Jakarta 1993, 14.
11
KONGREGASI KLERUS, Direktorium tentang Pelayanan Para Imam (31 Januari 1994; terj. R. HARDAWIRJANA, SJ),
DOKPEN KWI, Jakarta 1996, 61.

3
tindakan kebebasan pribadi yang sejati, hasil pilihan yang tiada hentinya diperdalam di hadirat
Allah dalam doa. Keutamaan ketaatan, yang secara intrinsik diminta oleh sakramen dan oleh
struktur hierarkis Gereja, dengan jelas dijanjikan oleh klerus, pertama dalam upacara tahbisan
diakon, kemudian dalam tahbisan imam. Dengan janji itu, imam meneguhkan kehendaknya
untuk patuh, dan begitulah ia ikut serta dalam dinamika ketaatan Kristus yang menjadi Hamba
yang taat hingga wafat di salib.12
Padre Pio adalah seorang imam sekaligus biarawan. Dengan kehendak bebasnya, ia memilih
untuk hidup di dalam ketaatan total kepada para pemimpinnya demi Allah. Hal inilah yang menjadi
dasar dalam melihat keutamaan ketaatan yang dihidupi oleh Padre Pio secara heroik di dalam
hidupnya, sebagai buah dari hidup doa dan relasinya yang mendalam dengan Kristus yang tersalib.

4 KETAATAN HEROIK PADRE PIO


4.1 Ketaatan Kepada Allah
Sejak masa mudanya, Padre Pio selalu berusaha untuk mencari kehendak Allah dan meminta
kekuatan dari Allah agar dapat setia melakukan kehendak-Nya. Relasinya yang mesra dengan
Yesus dalam doa memampukannya untuk menerima kehendak Allah, meskipun sering kali ia tidak
memahaminya, termasuk ketika menerima karunia stigmata.
Sebagai seorang imam, Padre Pio sungguh menyerupai Kristus yang menderita di salib, baik
secara lahiriah maupun batiniah, karena ketaatan-Nya kepada Bapa. Karena cintanya kepada Bapa,
ia menyerahkan dirinya seutuhnya sebagai kurban demi keselamatan jiwa-jiwa. Ia menanggung
penderitaan dari luka stigmata, aneka penyakit, fitnah, dan serangan dari iblis seumur hidupnya
tanpa mengeluh (bdk. Yes 53:7). Seluruh hidupnya dibaktikan untuk melayani Allah dan umatnya
(khususnya dalam pelayanan Sakramen pengakuan dosa), sehingga untuk makan dan tidur pun ia
tidak sempat (bdk. Mrk 6:31). Dalam banyak hal, Padre Pio sangat serupa dengan Kristus yang
makanannya adalah melakukan kehendak Bapa (bdk. Yoh 4:34).
Surat-surat yang ditulis oleh Padre Pio kepada anak-anak rohaninya kerap menunjukkan
betapa pentingnya ketaatan kepada Allah, dan bagaimana ia menasihati mereka untuk taat kepada
Allah:
Marilah kita berdoa dan memohon pada Allah supaya kita mengetahui kehendak-Nya. Marilah
kita memahaminya sehingga kita tidak menginginkan apa pun selain melakukan kehendak-
Nya.13
Apa lagi yang kita inginkan selain melakukan kehendak Allah? Keinginan apa lagi yang
dimiliki sebuah jiwa bilamana ia telah dipersembahkan kepada-Nya? Maka, apa lagi yang
engkau dambakan selain agar rencana Allah terpenuhi dalam dirimu? Dengan demikian,
berteguh hatilah dan majulah menuju jalan cinta-Nya dengan penuh keyakinan bahwa semakin
kehendakmu bersatu dan menyesuaikan diri sepenuhnya dalam kehendak Allah, semakin cepat
engkau akan berkembang menuju kesempurnaan.14

12
Bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit Presbyterorum Ordinis, dalam Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R.
HARDAWIRYANA), DOKPEN KWI, Jakarta 1993, 15.
13
“Surat kepada Maria Gargani” (18 Mei 1918), dalam PADRE PIO, Anthony F. CHIFFOLO (ed.), Padre Pio: In My
Words (terj. Bernadetta HARINI), Kanisius, Yogyakarta 2006, 42.
14
“Surat kepada Raffaelina Cerase” (24 Juni 1915), dalam PADRE PIO, Padre Pio: In My Words..., 46.

4
Nasihat-nasihat Padre Pio ini menggemakan sebuah kebenaran yang dihayati dan diajarkan
oleh semua orang kudus, yakni “carilah kehendak Allah dan lakukanlah itu dengan segenap hati.”
Inilah resep kekudusan yang sangat manjur, sederhana, namun sangat sulit untuk dilakukan.
4.2 Ketaatan Kepada Gereja/Magisterium
Ketaatan Padre Pio yang total kepada Allah dimanifestasikan dalam ketaatannya kepada
otoritas Gereja. Karena kesalehan dan karunia-karunia supernatural yang dimilikinya, banyak orang
berbondong-bondong datang ke San Giovani Rotondo untuk mengikuti perayaan Ekaristi yang
dipersembahkan oleh Padre Pio dan menerima Sakramen pengakuan dosa darinya.
Pada mulanya, Gereja sangat mendukung karisma dan pelayanan Padre Pio ini, terutama pada
masa kepausan Paus Benediktus XVI. Akan tetapi, keadaan ini berubah pada masa kepausan Paus
Pius XI. Beberapa rekan imam di keuskupan Manfredonia yang merasa tidak senang dengan
popularitas Padre Pio menuduhnya sebagai seorang munafik yang suka pamer. Mereka meragukan
karunia-karunia supernatural yang dimiliki Padre Pio, bahkan menuduh bahwa ia memalsukan
stigmatanya. Tuduhan-tuduhan ini didukung oleh uskup Manfredonia (Paasquale Gagliardi) yang
mengadukannya ke Tahta Suci.
Akhirnya, pada tanggal 2 Juni 1922 penganiayaan pertama terhadap Padre Pio pun secara
resmi dimulai. Kongregasi Ajaran Iman, setelah melakukan beberapa kali penyelidikan,
mengeluarkan surat perintah kepada superior jendral ordo Kapusin: Padre Pio harus diselidiki
dengan seksama. Ia tidak boleh merayakan misa dengan jadwal yang rutin. Ia tidak boleh
menunjukkan stigmatanya, berbicara tentangnya, atau membiarkan orang lain menciumnya. Ia
harus secara terbuka mengatakan kepada semua orang bahwa ia ingin menyendiri untuk
memperbaiki hidup rohaninya.15 Ia juga dilarang berhubungan dengan bapa rohaninya dalam
bentuk apa pun.16 Larangan-larangan ini kemudian menjadi semakin banyak dan keras. Pada
tanggal 24 Juli 1924, ia dilarang berkomunikasi dengan anak-anak rohaninya (termasuk lewat
surat). Pada tanggal 23 April 1926, ia dinyatakan secara resmi sebagai penyesat dan umat dihimbau
untuk tidak mendengarkannya. Pada tanggal 23 Mei 1931, ia tidak boleh memberikan Sakramen
apa pun, selain misa secara pribadi di kapel biara. Padre Pio menerima semua keputusan ini dengan
ketaatan total tanpa menggerutu apalagi memberontak.
Tahta Suci juga memerintahkan agar Padre Pio segera dipindahkan dari San Giovanni
Rotondo. Namun hal ini menimbulkan keributan di antara umat dan warga yang sangat menyayangi
Padre Pio. Ketika hal ini disampaikan kepada Padre Pio oleh walikota Francesco Morcaldi, ia
berkata: “Jika demikian, saya akan taat. Saya telah berkomitmen untuk menjadi seorang anak yang

15
Pernyataan ini kemudian disebarkan lewat majalah resmi Vatikan, L’Osservatore Romano pada tanggal 5 Juli 1923.
16
Bapa rohani Padre Pio pada saat itu adalah Fr. Beneddeto, yang sangat mendukungnya.

5
taat.” Ia bahkan menulis surat untuk menghimbau agar umat tidak membuat keributan demi
membelanya:
Beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini sungguh menyusahkan hati saya karena mungkin
saya telah menjadi penyebab keributan di kota yang saya cintai ini... Seperti yang telah kalian
ketahui, telah diputuskan bahwa saya akan dipindahkan ke tempat lain. Saya mohon agar hal ini
dapat dilaksanakan sebaik mungkin, karena kehendak para superior saya, yakni kehendak Allah,
harus terlaksana, dan saya akan taat secara buta.17
Akibatnya, selama bertahun-tahun Padre Pio harus hidup sendirian tanpa komunikasi dengan
dunia luar. Padre Pio menerima perintah ini dengan ketaatan total hingga pada akhirnya kebenaran
berhasil terungkap dan Paus Pius XI membatalkan semua larangan ini pada tahun 1933.
Pada tahun 1940, Padre Pio mendapatkan inspirasi untuk mendirikan sebuah rumah sakit
besar di San Giovanni Rotondo yang dinamakannya Casa sollievo della sofferenzo (Rumah
kelegaan bagi yang menderita) untuk merawat orang-orang sakit dengan penuh kasih, terutama
yang miskin. Padre Pio berhasil menggalang dana dalam jumlah besar untuk proyek ini. Namun,
beberapa oknum yang iri hati dengan Padre Pio berusaha untuk menjatuhkan kredibilitasnya,
bahkan hingga memasang alat penyadap di ruang pengakuan dosanya dan membuat skandal bahwa
ia berhubungan seksual dengan beberapa wanita yang mengaku dosa kepadanya, yang kemudian
disampaikan ke Tahta Suci.
Menanggapi hal ini, Paus Yohanes XXIII menugaskan Mgr. Carlo Maccari untuk menyelidiki
permasalahan ini. Atas pengaruh dari superior jendral yang sangat tidak suka pada Padre Pio, ia
membuat pernyataan yang melarang Padre Pio untuk memberikan Sakramen perkawinan dan baptis,
berhubungan dengan para sahabatnya, menerimakan pengakuan dosa dari beberapa orang tertentu,
dan merayakan Ekaristi lebih lama dari tiga puluh menit, dan melepas haknya atas rumah sakit yang
didirikannya.18 Tanpa perlawanan, Padre Pio menerima semua perintah ini dan menyerahkan rumah
sakitnya kepada Vatikan. Namun pada akhirnya Padre Pio kembali terbukti tidak bersalah. Ia diberi
hak untuk mengelola kembali rumah sakitnya, bahkan dibebaskan dari kaul kemiskinan demi
mengurus administrasi rumah sakit tersebut.
Ketaatan Padre Pio kepada Gereja tidak hanya mencakup apa yang diperintahkan Gereja
kepadanya (ketaatan kehendak), melainkan juga mencakup apa yang diajarkan oleh Gereja
(ketaatan intelek). Ketika seluruh dunia bereaksi keras terhadap ensiklik Humane Vitae yang
dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, Padre Pio menulis surat kepada Paus Paulus VI,
Saya memahami betapa besar kesukaran yang engkau alami... terutama dari kurangnya ketaatan
dari beberapa umat Katolik terhadap ajaran yang telah engkau berikan kepada kami melalui
bimbingan Roh Kudus... Izinkan saya, sebagai seorang anak rohani yang hina, untuk
mempersembahkan kepadamu doa dan kurban setiap hari, agar Allah menyertaimu dengan

Bdk. Renzo ALLEGRI, op. cit., 97.


17
18
Pernyataan ini ditutup dengan pernyataan yang keras, yang biasanya hanya digunakan kepada para pembangkang
Gereja: “Padre Pio diperintahkan untuk mematuhi seluruh peraturan ini demi kaul ketaatannya sebagai seorang religius.
Dalam situasi di mana ia gagal menaatinya, penggunaan hukuman kanonik dapat dibenarkan.”

6
rahmatnya, agar engkau dapat terus maju mempertahankan kebenaran abadi ini... Saya
menegaskan kembali ketaatan saya yang tanpa syarat pada terang ajaran ini.19
Ini adalah surat terakhir yang ditulis oleh Padre Pio 11 hari sebelum wafatnya. Meskipun telah
disakiti, ia tetap taat dan setia kepada Gereja hingga akhir. Ia berkata, “Betapa menyenangkannya
tangan Bunda Gereja, bahkan ketika ia memukul, karena itu adalah tangan seorang bunda.”20
4.3 Ketaatan Kepada Superior
Sejak ia menapakkan kakinya di biara Kapusin, Padre Pio selalu berusaha untuk menjadi
seorang frater yang taat. Ia menaati semua jadwal dan peraturan biara yang keras dengan penuh
semangat. Ia bahkan mengutamakan peraturan biara di atas afeksi terhadap orang tuanya. Ketika
ibunya datang mengunjunginya dengan penuh kasih pada akhir masa novisiatnya, Padre Pio
menunjukkan sikap yang dingin, bahkan tidak mau memandang ibunya, sehingga ibunya pun pergi
dengan menangis. Mengenai peristiwa ini, Padre Pio menulis, “Saya dilarang untuk berbicara
dengan atau memandang orang tua saya tanpa izin, dan saya hanya taat. Meskipun demikian,
keluargaku mengira saya sudah kehilangan akal sehat... sesungguhnya saya sangat ingin
mengulurkan tanganku kepada mereka dan memeluk mereka.”21
Ketaatan yang total juga ditunjukkan Padre Pio setelah ia ditahbiskan. Karena kondisi
kesehatannya yang buruk, ia harus dipindahkan berkali-kali, hingga akhirnya ia diberi dispensasi
untuk tinggal di kampung halamannya (eksklausurasi). Beberapa saudaranya seordo merasa iri hati
dan berhasil mempengaruhi provinsialnya, Fr. Benedetto, untuk menarik kembali Padre Pio untuk
hidup di dalam biara dengan sebuah jebakan. Dengan taat ia tinggal di biara St. Anna di Foggia
meskipun ia tahu bahwa ia akan tersiksa di sana. Selama di Foggia, Padre Pio sangat menderita,
bukan hanya oleh cuaca yang panas yang membuat penyakitnya semakin parah, namun juga karena
iblis yang setiap hari menyerangnya dengan dahsyat. Melihat keadaan ini, akhirnya Padre Pio pun
dipindahkan ke San Giovanni Rotondo, di mana ia tinggal selama setengah abad hingga wafatnya.22
Sebuah peristiwa lain yang menunjukkan ketaatan Padre Pio yang heroik adalah ketika setelah
sekian banyak penganiayaan yang dilakukan oleh saudara-saudaranya, Padre Pio yang saat itu
berusia 77 tahun diminta oleh Fr. Clemente, Administrator Apostolik ordo Kapusin provinsi Foggia
untuk menulis sebuah surat yang menyatakan bahwa ia tidak pernah dianiaya atau diperlakukan
tidak adil seumur hidupnya untuk menyelamatkan reputasi ordonya. Menanggapi hal ini, secara
spontan Padre Pio menjawab, “Berikan kepada saya teksnya, saya akan menandatanganinya.”23

19
PADRE PIO, “Surat Kepada Paus Paulus VI” (12 September 1968), dikutip dalam L’Osservatore Romano (10 Oktober
1968), Tipografia Vaticana Editrice, Vatican City 1968.
20
Kata-kata Padre Pio ini dikutip dalam ANONIM, “St. Padre Pio and Obedience”, dalam http://www.stjoanarc.com/wp-
content/uploads/2018/07/St-Padre-Pio-Obedience.pdf (diakses tanggal 4 Februari 2021).
21
Bdk. Renzo ALLEGRI, op. cit., 31.
22
Bdk. ibid., 58-61.
23
Bdk. ibid., 236.

7
Pada tanggal 22 September 1968, pada pesta peringatan lima puluh tahun stigmatanya, Padre
Pio menyatakan keengganannya atas pesta tersebut karena sudah terlalu lemah dan sakit untuk
memimpin misa. Namun, atas perintah dari superiornya, ia taat dan menjadi selebran utama dalam
perayaan Ekaristi yang menjadi misa terakhirnya tersebut. Di hadapan ribuan pengunjung dan
kamera, Padre Pio berjuang menyelesaikan misa hingga akhirnya ia pun rebah di altar. Padre Pio
tetap taat hingga akhir hidupnya, baik dalam hal besar maupun hal kecil. Ia tetap taat dan rendah
hati meskipun telah diperlakukan dengan tidak adil oleh saudara-saudaranya sendiri. Ia mengatakan,
“Saya adalah putra dari ketaatan. Jika superior saya memerintahkan saya untuk lompat keluar dari
jendela, saya akan melakukannya tanpa membantah.” 24 Ia juga mengatakan, “Ketaatan adalah
segala-galanya bagiku, dan saya tidak menemukan kebahagiaan selain takluk pada ketaatan.” 25 Di
sinilah letak heroisme dari ketaatan Padre Pio yang menjadikannya seorang kudus yang besar.

5 REFLEKSI & RELEVANSI


“Ketaatan” merupakan kata yang kurang menarik pada zaman ini, di mana kebebasan individu
sangat diagung-agungkan, dan bahkan perlawanan terhadap pihak penguasa sering dipandang
sebagai sebuah kebajikan.26 Masyarakat modern mencari kebebasan, sedangkan ketaatan kepada
penguasa dipandang sebagai penghalang bagi kebebasan. Mereka lebih senang melakukan segala
sesuatu sesuai dengan caranya sendiri dan tidak mau diatur-atur. Hal ini disebabkan oleh
pemahaman yang salah mengenai arti kebebasan. Kebebasan yang sejati bukanlah soal kebebasan
seseorang untuk melakukan apa pun yang diinginkannya kapan pun ia mau, melainkan soal
kemampuan untuk membuat pilihan yang sesuai dengan kodrat terdalam manusia sebagai ciptaan
Allah yang diciptakan dengan sebuah tujuan.27 Dengan demikian, hanya dengan menyerahkan
kehendak pribadi dan menyelaraskannya dengan kehendak Allah, seseorang akan menjadi sungguh-
sungguh bebas dan akan sampai pada tujuannya, yakni bersatu dengan Allah dalam kesempurnaan
kasih.

24
Stefano MANELLI, Padre Pio of Pietrelcina, Franciscans of the Immaculate, Toodyay (WA) 1999, 83.
25
PADRE PIO, Gialugi PASQUALE (ed.), Rahasia-rahasia Batin: Surat-surat Padre Pio kepada Para Pembimbing
Rohaninya (terj. Yohanes NURUNG), Obor, Jakarta 2006, 169.
26
MARIE PAUL, “The Greatest Freedom: The Paradox of Obedience”, dalam http://vocations.daughtersofstpaul.com/
vocationblog/ArticleID/3940/ (diakses tanggal 4 Februari 2021).
27
Jenis kebebasan yang pertama disebut kebebasan indifferens (freedom of indifference), sedangkan kebebasan yang
sejati adalah kebebasan untuk kesempurnaan (freedom for excellence). Kebebasan indifferens adalah kebebasan yang
liar karena tidak terarah pada suatu kesempurnaan dan memandang hukum sebagai penghalang kebebasan. Misalnya
seorang yang ingin “bebas” menekan tuts piano sesuka hatinya tidak mungkin dapat menghasilkan musik yang indah.
Sebaliknya, kebebasan untuk kesempurnaan terarah pada suatu tujuan dan memandang hukum sebagai syarat yang
diperlukan untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya. Misalnya seorang pemusik menundukkan dirinya di bawah
hukum musik (nada, birama, dll.) dan melatih dirinya mengikuti “perintah” hukum tersebut sedemikian rupa sehingga
akhirnya menjadi mahir dan dapat sungguh bebas mengekspresikan dirinya lewat musik. Demikian pula halnya orang
harus tunduk pada aturan tata bahasa untuk dapat dengan bebas mengungkapkan dirinya dan berkomunikasi dengan
bahasa tersebut. Bdk. Servais PINCKAERS, The Sources of Christian Ethics (terj. Sr. MARY THOMAS NOBLE, O.P.), The
Catholic University of America Press, Washington (DC), 1995, 354 et seq.

8
Dalam hal ini, kaul ketaatan yang diucapkan oleh kaum religius dan para imam
mengungkapkan kesediaan mereka untuk melakukan kehendak Allah dalam seluruh aspek
hidupnya, yang dinyatakan secara eksplisit lewat kehendak para pemimpin dan superiornya.
Dengan kaul ketaatan, mereka tidak perlu mereka-reka apa yang menjadi kehendak Allah baginya
karena hal tersebut telah dinyatakan secara jelas kepada mereka melalui para pemimpinnya
sehingga mereka terhindar dari kekeliruan akibat salah menafsirkan kehendak Allah. Ini merupakan
cara yang paling cepat sekaligus aman untuk mencapai persatuan kehendak dengan Allah, sehingga
dapat dikatakan bahwa kaul ketaatan adalah jalan pintas menuju kekudusan.
Meskipun demikian, sebagai mahkota dari seluruh kaul, kaul ketaatan adalah kaul yang paling
luhur sekaligus paling sulit. Kaul ketaatan menuntut kematangan rohani dan kerendahan hati yang
heroik karena hal ini mensyaratkan seseorang untuk secara sukarela menundukkan ego dan
kehendaknya di bawah kehendak orang lain, yang sering kali “tidak masuk akal”, seperti misalnya
penugasan, pemindahan, larangan, dan perintah yang sulit dipahami. Namun di sinilah keutamaan
yang sebenarnya diuji, karena Allah menyatakan kehendak-Nya melalui orang-orang pilihan-Nya
(bdk. Luk 10:16). Dengan menaati manusia yang kelihatan, mereka menjadikan kehendak Allah
kehendaknya dan menjadi saksi bagi dunia bahwa Allah sungguh patut dicintai di atas segala
sesuatu.
Ketaatan yang heroik, seperti yang ditunjukkan oleh Padre Pio, tidak mungkin dicapai hanya
dengan kekuatan manusiawi. Dibutuhkan rahmat Allah dan karunia-karunia Roh Kudus untuk dapat
berani menyerahkan diri secara total, melangkah dalam iman, dan percaya bahwa kehendak Allah
selalu yang terbaik meskipun sering tidak dapat dimengerti (bdk. Rm 11:33-36). Padre Pio dapat
melakukan ketaatan yang begitu heroik, karena ia telah terlebih dahulu membina relasi yang intim
dengan Yesus dalam doa, dan dengan faal iman ia menyatukan dirinya dengan kurban Yesus,
terutama dalam penderitaan dan ketaatan-Nya. Tidak mengherankan bahwa Padre Pio telah
mencapai persatuan rohani (transverberasi) sebelum berusia 30 tahun,28 dan ia dapat menjadi
saluran rahmat yang begitu berharga bagi dunia ini. Karena ia selalu setia melakukan kehendak
Allah, Allah pun semakin mudah menyatakan kehendak-Nya dan berkenan menjawab doa-doanya,
karena apa yang didoakannya selaras dengan kehendak-Nya. Hal ini menjelaskan banyaknya
mukjizat yang terjadi lewat perantaraannya.29 Lewat kesaksian hidupnya, Padre Pio menantang
manusia modern untuk berani menanggalkan ego pribadinya dan menaklukkan diri kepada Allah
dengan jalan ketaatan total.
Padre Pio telah menunjukkan dengan jelas bahwa ketaatan merupakan jalan pintas menuju
kekudusan dan betapa Allah berkenan kepada orang yang taat. Meskipun demikian, tidak banyak
orang yang bersedia untuk mengikuti jalan ketaatan ini (bdk. Mat 7:14). Alasan yang kerap
28
Bdk. PADRE PIO, Rahasia-rahasia Batin..., 45-47.
29
Untuk uraian mengenai sebagian dari mukjizat-mukjizat ini, Lih. Renzo ALLEGRI, op. cit., bab 18-19.

9
diutarakan oleh manusia modern adalah bahwa ketaatan seperti ini bertentangan dengan akal budi,
menjadikan manusia seperti robot tanpa kehendak bebas, dan merendahkan martabat manusia.30
Namun kenyataannya tidaklah demikian. Ketaatan adalah sebuah pilihan bebas yang dibuat oleh
subyek, yang dengan sadar menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak pemimpinnya. 31 Jika
pemimpinnya memerintahkan sesuatu yang buruk secara obyektif, ia tetap dapat dan harus
menggunakan akal sehatnya dan menolak untuk melakukannya.32 Orang harus pertama-tama taat
kepada Allah (Sang Kebenaran) di atas manusia, karena manusia bukanlah sumber kebenaran dan
dapat salah (bdk. Kis 5:29). Dengan demikian, subyek tetap bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya, meskipun hal itu dilakukan atas nama ketaatan.
Selain itu, ketaatan sama sekali tidak merendahkan martabat manusia, melainkan sebaliknya:
Ketaatan kepada seorang pemimpin dalam hal yang benar, jika didasari dengan motivasi yang
tepat, tidak merendahkan melainkan memuliakan manusia, karena hal itu merupakan kepatuhan
kepada Allah sendiri, yang daripada-Nya segala kuasa berasal... Ketaatan menguatkan kehendak
sebagai korban termulia yang dapat diberikan seseorang kepada Allah, yang melalui Kitab Suci
menyatakan bahwa Ia “lebih berkenan pada kepatuhan daripada korban bakaran” (1Raj 15:22). 33
Akhirnya, Padre Pio mengatakan bahwa tanpa ketaatan tidak akan ada kebajikan.34 Ketaatan
membangkitkan disposisi yang diperlukan orang untuk kebajikan-kebajikan lain, yakni disposisi
yang mencakup kesediaan diri untuk menyerahkan dirinya di bawah kehendak Ilahi. 35 Hanya
dengan menyelaraskan hidup dengan kehendak Allah (Sumber Kebajikan), orang dapat hidup dalam
kebajikan.36 Dengan kata lain, tidak ada orang yang dapat berkembang dalam kebajikan (apalagi
menjadi kudus) jika ia tidak mau taat. Ketaatan kepada Allah adalah sebuah keniscayaan.

6 PENUTUP
Padre Pio telah menunjukkan keutamaan ketaatan yang heroik dengan cara taat sehabis-
habisnya kepada Allah yang menyatakan kehendak-Nya melalui Gereja dan para superiornya.
Penyerahan diri yang total kepada Allah ini berlawanan dengan mentalitas zaman ini yang
mengagung-agungkan kebebasan yang palsu. Telah ditunjukkan bahwa ketaatan tidak bertentangan
dengan akal budi (melainkan melampauinya), tidak meniadakan kebebasan (melainkan
mewujudkannya), dan tidak merendahkan martabat manusia (melainkan memuliakannya). Dengan
demikian, jalan ketaatan yang ditunjukkan oleh Padre Pio dapat menjadi penangkal individualisme

30
Bdk. Clare CONDON, “Is Vowed Religious Life Relevant Today?”, dalam https://www.goodsams.org.au/article/is-
vowed-religious-life-relevant-today/feed/ (diakses tanggal 4 Februari 2021).
31
K. V. TRUHLAR, loc. cit.
32
Dalam konteks ketaatan Padre Pio, ia tidak diminta/diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang buruk intrinsik dan
bertentangan dengan ajaran Gereja dan Kitab Suci.
33
Dom Gregory MANISE, “Obedience”, dalam The Dictionary of Moral Theology, The Newman Press, Westminster
1961. “Paradoks ketaatan” ini nyata secara sempurna dalam diri Kristus yang taat hingga wafat di salib dan dimuliakan
Allah.
34
Kata-kata Padre Pio, dikutip dalam Amelia Monroe CARLSON, “St. Padre Pio: Modern Saint of Obedience”, dalam
https://www.catholic365.com/article/11364/st-padre-pio-modern-saint-of-obedience (diakses tanggal 4 Februari 2021).
35
Rudi TE VELDE, “Obedience as a Religious Virtue”, dalam European Journal for the Study of Thomas Aquinas, 179.
36
ibid, 167.

10
yang meracuni dunia dewasa ini, membuka jalan bagi tumbuhnya keutamaan-keutamaan lain
(terutama kerendahan hati), membuat orang berkenan kepada Allah, dan pada akhirnya membawa
orang kepada kesempurnaan hidup Kristiani, yakni kekudusan.
Mungkin tidak semua orang dapat memeroleh karunia stigmata, atau mengalami visiun, atau
melakukan bilokasi, atau membaca pikiran dan membuat pelbagai mukjizat seperti Padre Pio.
Namun, semua orang pasti dapat menjadi kudus dengan jalan ketaatan kepada Allah, yang
dinyatakan lewat pelbagai cara, secara khusus lewat kaul ketaatan suci yang secara heroik
diteladankan oleh Padre Pio. Inilah warisan Padre Pio bagi dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab dan Dokumen Gereja


Alkitab Deuterokanonika, ed. II, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2001.
Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. HARDAWIRYANA), DOKPEN KWI, Jakarta 1993.
FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacitalah dan Bergembiralah; 19 Maret
2018), DOKPEN KWI, Jakarta 2019.
Katekismus Gereja Katolik (terj. H. EMBUIRU), Para Waligereja Regio Nusa Tenggara, Ende 1998.
KONGREGASI KLERUS, Direktorium tentang Pelayanan Para Imam (31 Januari 1994; terj. R.
HARDAWIRJANA, SJ), DOKPEN KWI, Jakarta 1996.

Sumber Kamus dan Ensiklopedia


HARDON, John Anthony, Pocket Catholic Dictionary, Image Books, New York (NY) 1985.
MANISE, Dom Gregory, “Obedience”, dalam The Dictionary of Moral Theology, The Newman
Press, Westminster, 1961.
TRUHLAR, K. V., “Obedience”, dalam New Catholic Encyclopedia, ed. II, Thomson-Gale, New
York (NY) 2003.

Sumber Buku
ALLEGRI, Renzo, Padre Pio: Man of Hope, Servant Books, Cincinnati (OH), 2000.
MANELLI, Stefano, Padre Pio of Pietrelcina, Franciscans of the Immaculate, Toodyay (WA) 1999.
PADRE PIO, CHIFFOLO, Anthony F. (ed.), Padre Pio: In My Words (terj. Bernadetta HARINI),
Kanisius, Yogyakarta 2006.
PADRE PIO, PASQUALE, Gialugi (ed.), Rahasia-rahasia Batin: Surat-surat Padre Pio kepada Para
Pembimbing Rohaninya (terj. Yohanes NURUNG), Obor, Jakarta 2006.

11
PINCKAERS, Servais, The Sources of Christian Ethics (terj. Sr. MARY THOMAS NOBLE, O.P.), The
Catholic University of America Press, Washington (DC), 1995.
THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae (terj. Vernon J. BOURKE), University of Notre Dame Press,
Notre Dame 1956.

Sumber Majalah & Artikel


L’Osservatore Romano (10 Oktober 1968), Tipografia Vaticana Editrice, Vatican City 1968.
Rudi TE VELDE, “Obedience as a Religious Virtue”, dalam European Journal for the Study of
Thomas Aquinas (2019).

Sumber Internet
ANONIM, “St. Padre Pio and Obedience”, dalam http://www.stjoanarc.com/wp-content/uploads/
2018/07/St-Padre-Pio-Obedience.pdf (diakses tanggal 4 Februari 2021).
CARLSON, Amelia Monroe, “St. Padre Pio: Modern Saint of Obedience”, dalam https://www.
catholic365.com/article/11364/st-padre-pio-modern-saint-of-obedience (diakses tanggal 4
Februari 2021).
CONDON, Clare, “Is Vowed Religious Life Relevant Today?”, dalam https://www.goodsams.org.au/
article/is-vowed-religious-life-relevant-today/feed/ (diakses tanggal 4 Februari 2021).
MARIE PAUL, “The Greatest Freedom: The Paradox of Obedience”, dalam http://vocations.
daughtersofstpaul.com/vocationblog/ArticleID/3940/Seeking-Gods-Will-Is-the-Greatest-
Freedom-the-Paradox-of-Obedience (diakses tanggal 4 Februari 2021).

12

Anda mungkin juga menyukai