Anda di halaman 1dari 2

KONSEP KEKUDUSAN KRISTIANI PASCA KONSILI VATIKAN II

Steven Wijaya (Fr. Paulus) | 1112018008

Konsili Vatikan II (1962-1965) telah melahirkan banyak cara pandang baru di dalam pelbagai
aspek hidup Gereja. Salah satu perubahan cara pandang yang penting dari Konsili Vatikan II adalah
mengenai konsep kekudusan Kristiani. Pada masa sebelum Konsili Vatikan II, kekudusan/kesucian
dipandang sebagai suatu hal yang berharga namun langka, seperti permata yang tidak dapat dimiliki
oleh semua orang. Dengan kata lain, kekudusan hanya diperuntukkan untuk beberapa orang yang
memang dipilih secara khusus oleh Tuhan untuk menjadi orang kudus, dan orang-orang yang dipilih
Tuhan ini pada umumnya adalah mereka yang secara khusus memberikan diri seutuhnya kepada
Tuhan dengan menjadi imam maupun religius. Tidak mengherankan bahwa sebelum Konsili Vatikan
II, jajaran para kudus (santo/a) yang dikanonisasi didominasi oleh kaum selibat. Bagi mereka yang
“tidak terpilih”, kekudusan menjadi suatu ideal yang terasa sangat “jauh di awang-awang” dan
terkesan tidak realistis, karena kekudusan diidentikkan dengan hidup doa tanpa cacat, aneka
kebajikan dan penguasaan diri yang heroik, serta pelbagai fenomena mistik yang spektakuler.
Konsili Vatikan II melalui dokumen konstitusi dogmatis Lumen Gentium (secara khusus bagian
V) menyatakan secara tegas bahwa kekudusan adalah panggilan universal. 1 Dengan demikian, semua
orang dipanggil untuk menjadi kudus, tanpa terkecuali kaum awam.2 Alasan dari panggilan kepada
kekudusan ini adalah karena secara ontologis, Gereja adalah kudus karena ia adalah mempelai
Kristus yang dipersatukan dengan Kristus sebagai tubuh-Nya.3 Karena Kristus adalah Yang Kudus,
maka tubuh-Nya pun haruslah kudus. Selain itu, Kristus menghendaki agar semua anggota Gereja
sempurna (bdk. Mat 5:48). Kristus tidak memberikan suatu perintah yang mustahil. Sebagai kepala,
Ia menjadi teladan ilahi segala kesempurnaan; Ia menyerahkan diri-Nya bagi Gereja untuk
menguduskannya; dan Ia melimpahi Gereja dengan karunia-karunia Roh Kudus, yang
memampukannya untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama demi Allah. 4
Dengan demikian, Kristus memberikan perintah sekaligus sarana yang diperlukan untuk
mencapainya. Sarana ini terbuka bagi semua anggota tubuh-Nya, sehingga semua memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi kudus.
Meskipun demikian, menjadi anggota Gereja tidak serta merta menjadikan seseorang kudus.
Dibutuhkan usaha dan kerja sama dari pihak manusia untuk menanggapi rahmat dan panggilan dari
Allah. Orang dapat dikuduskan jika mereka di dalam iman menerima segala sesuatu yang diberikan
Allah kepada mereka dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan cinta kasih
Allah kepada semua orang, apa pun kondisi, tugas, dan keadaan mereka. 5 Para religius menjadi
kudus dengan menghidupi kaul-kaulnya dengan penuh sukacita; para suami-istri menjadi kudus
dengan mencintai pasangan hidupnya dengan setulus hati; para pekerja menjadi kudus dengan
melakukan pekerjaannya dengan jujur dan sungguh-sungguh untuk kebaikan sesama; para penguasa
menjadi kudus dengan bekerja demi kebaikan bersama dan tidak mencari keuntungan pribadi; dan
lain-lain.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa semua orang Kristiani, apa pun status atau corak hidupnya,
dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. 6 Tidak

1
Bdk. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG), dalam DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terj. R. HARDAWIRYANA),
DOKPEN KWI, Jakarta 1993, 39-42.
2
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari LG bagian IV yang menegaskan pentingnya peran kaum awam sebagai
anggota Tubuh Mistik Kristus (Gereja) yang hidup, yang turut ambil bagian dalam misi dan kekudusan Gereja.
3
Bdk. LG 39.
4
Bdk. LG 40; Mrk 12:30.
5
Bdk. LG 41.
6
Bdk. LG 40.
mengherankan bahwa sejak Konsili Vatikan II semakin banyak orang kudus yang dikanonisasi yang
berasal dari kalangan kaum awam, menegaskan bahwa “siapa pun dapat menjadi kudus!”7

7
Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacitalah dan Bergembiralah; 19 Maret 2018),
DOKPEN KWI, Jakarta 2019, 14.

Anda mungkin juga menyukai