Anda di halaman 1dari 9

Gangguan Pendengaran Akibat Pajanan Kebisingan di Tempat Kerja

Vioini Gracia Prokhorus


(102017145)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat-11510
vioini.2017fk145@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Pajanan yang dialami di tempat kerja dapat menimbulkan suatu penyakit akibat kerja, Salah satu
pajanan yang sering ditemui adalah kebisingan yang merupakan bagian dari pajanan fisik.
Kebisingan merupakan suatu bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan gangguan
kesehatan pada manusia, yaitu gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat bersifat
sensorineural dan juga konduktif campuran. Noise Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan
gangguan pendengaran sensorineural yang sering dikaitkan dengan pajanan kebisingan di tempat
kerja. Pendekatan diagnosis okupasi perlu dilakukan untuk memastikan apakah NIHL yang
diderita merupakan penyakit akibat kerja atau disebabkan oleh faktor individu atau faktor lain di
luar tempat kerja. Tindakan yang penting untuk dilakukan saat ini adalah melakukan pencegahan
di tempat kerja karena modalitas terapi medikamentosa belum ada.

Kata kunci: pajanan fisik, pajanan kebisingan, gangguan pendengaran, penyakit akibat kerja

Abstract

Exposure experienced in the workplace can cause occupational disease. One of the most
common exposures is noise which is part of physical exposure. Noise is a sound that is unwanted
and can cause health problems in humans, namely hearing loss. Hearing loss can be both
sensorineural and mixed conductive. Noise Induced Hearing Loss (NIHL) is a sensorineural
hearing loss that is often associated with occupational noise exposure. An occupational
diagnosis approach needs to be taken to ascertain whether the NIHL suffered is a disease
caused by work or caused by individual factors or other factors outside the workplace. The
action that is important to do at this time is to take precautions in the workplace because
medical therapy modalities do not yet exist.

Key words: physical exposure, noise exposure, hearing loss, occupational disease
Pendahuluan
Pajanan yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan suatu penyakit akibat
kerja (PAK). Salah satu pajanan yang sering ditemui adalah kebisingan yang merupakan bagian
dari pajanan fisik. Kebisingan merupakan suatu bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Gangguan yang ditimbulkan dapat berupa non-
auditori dan auditori. Gangguan non-auditori seperti gangguan keseimbangan, sistem
kardiovaskular, gangguan tidur dan gangguan kejiwaan. Sedangkan gangguan auditori berupa
tinnitus atau telinga berdengung, susah membedakan frekuensi bunyi, dan hearing loss atau
ketulian yang bersifat sensorineural. 1 Kebisingan pada tempat kerja merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran sensorineural paling parah yaitu Noise Induced Hearing Loss
(NIHL) yang merupakan ketulian yang diakibatkan oleh pajanan bising yang cukup keras dan
dalam jangka waktu yang cukup lama.2,3

Langkah Diagnosis PAK4


Penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja harus dilakukan melalui langkah-langkah yang
telah disepakati. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah penyakit yang dialami oleh pekerja
benar-benar akibat pekerjaan, mulai dari proses, alat, perilaku ataupun lingkungan kerja.4
Pendekatan 7 langkah diagnosis PAK adalah sebagai berikut:

Penentuan Diagnosis Klinis


Penegakan diagnosis klinis dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan pemeriksaan khusus bila diperlukan. Langkah ini dilakukan oleh dokter dan/atau
dokter spesialis klinis yang berkaitan dengan penyakit yang dialami seorang pekerja.

Penentuan Pajanan yang dialami Pekerja di Tempat Kerja


Semua pajanan yang dialami pekerja di tempat kerjanya perlu untuk dicari tahu karena
diagnosis klinis dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis pajanan. Anamnesis lengkap mengenai
pekerjaan dan tempat kerja pekerja tersebut perlu untuk dilakukan. Anamnesis tersebut
mencakup: (a) deskripsi pekerjaan secara kronologis dan semua pajanan yang dialami; (b)
periode waktu dan durasinya; (c) produk yang dihasilkan; (d) bahan yang digunakan; (e) cara
bekerja; (f) proses kerja; (g) riwayat kecelakaan kerja; (h) Alat Pelindung Diri (APD) yang
digunakan atau upaya perlindungan lain yang telat dilakukan.
Anamnesis tersebut dapat ditunjang dengan data yang objektif, seperti informasi bahan dan
alat yang digunakan saat bekerja, catatan perusahaan mengenai informasi pajanan atau
kunjungan ke tempat kerja.

Penentuan Hubungan antara Pajanan dengan Diagnosa Klinis


Hubungan dari penyakit atau diagnosis klinis yang dialami dengan pajanan yang ada perlu
diidentifikasi dengan didasarkan pada evidence based medicine. Hubungan pajanan dengan
diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah terpajan, periode hilang atau
timbulnya penyakit klinis tersebut dengan waktu kerja, pekerja lain dari tempat kerja yang sama
dengan keluhan yang sama, dan hasil pemeriksaan kesehatan pra-kerja, berkala, dan purna kerja.

Penentuan Besarnya Pajanan


Besarnya pajanan perlu diketahui untuk melihat apakah pajanan yang dialami cukup untuk
menimbulkan penyakit yang dialami pekerja. Penentukan besarnya pajanan dapat dilakukan
dengan menganamnesis dengan lengkap terkait jumlah jam terpajang per hari, masa kerja,
pemakaian APD, besarnya pajanan secara kualitatif dan/atau kuantitatif, dan kecukupan dosis
pajanan untuk menimbulkan suatu penyakit. Penentuan kecukupan besarnya pajanan dapat
dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB). Anamnesis tentunya harus didukung dengan
informasi dan data yang objektif.

Penentuan Faktor Individu yang Berperan


Faktor individu yang berperan dapat menjadi perancu dalam penentuan diagnosis okupasi.
Faktor individu yang berperan mencakup jenis kelamin, usia, kebiasaan, riwayat penyakit
keluarga, riwayat atopi, dan riwayat penyerta. Namun, adanya faktor individu yang menjadi
perancu belum tentu meniadakan kemungkinan penyakit tersebut merupakan PAK.

Penentuan Faktor Lain di Luar Tempat Kerja


Selain faktor individu, terdapat juga faktor lain di luar tempat kerja yang dapat menjadi
perancu diagnosis PAK seperti hobi dan kegiatan lain yang dilakukan di luar tempat kerja.
Namun, sama halnya dengan faktor individu, adanya faktor lain juga bukan berarti tidak
mungkin menegakkan diagnosis PAK. Oleh karena itu, penentukan faktor lain harus dilakukan
secara hati-hati.

Penentuan Diagnosis Okupasi


Diagnosis PAK atau diagnosis okupasi ditentukan setelah melakukan 6 langkah di atas.
Penyakit Akibat Kerja ditetapkan jika terdapat diagnosis klinis, terdapat pajanan, terdapt
hubungan antara pajanan di tempat kerja dengan diagnosis klinis yang ditunjang dengan
evidence based, dan besar pajanan yang cukup untuk menimbulkan penyakit, serta tidak terdapat
faktor individu maupun faktor lain yang menjadi perancu. Bila ternyata terkonfirmasi adanya
faktor individu dan faktor lain, maka dapat dikategorikan sebagai penyakit diperberat akibat
kerja. Jika tidak adanya bukti-bukti dari langkah 1 sampai 4 dan ternyata adanya faktor individu
ataupun faktor lain, maka tidak dapat dikategorikan sebagai PAK. Diagnosis PAK belum dapat
ditegakkan jika masih ada informasi yang kurang dari langkah-langkah yang sudah dijelaskan di
atas sehingga diperlukan pemeriksaan khusus atau lanjutan, ataupun jika masih ada faktor-faktor
yang belum ditemukan.

Noise Induced Hearing Loss


Noise Induced Hearing Loss merupakan ketulian yang terjadi akibat terpajan oleh bising
yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang lama. Jenis kebisingan tersebut dapat berupa
kebisingan terus-menerus ataupun kebisingan yang intermittent. Hal ini berbeda dengan acoustic
trauma dimana hal itu disebabkan oleh pajanan bising tunggal yang sangat keras sehingga
menimbulkan trauma pendengaran.5
Karakteristik dari NIHL akibat kerja adalah selalu sensorineural dan mengganggu sel-sel
rambut pada koklea di bagian telinga dalam. Pada umumnya bilateral atau simetris karena
exposure dari bising memajan kedua telinga sama besar, kecuali ketika adanya perbedaan besar
pajanan pada telinga kiri atau telinga kanan.3,5
Patofisiologi terjadinya NIHL adalah ketika seseorang terpajan bising dalam waktu yang
cukup lama dan intensitas bising yang cukup besar, sel-sel rambut dan hensen’s body dari organ
corti akan mengalami perubahan atau kerusakan struktur. Derajat kerusakan yang yang terjadi
bergantung pada intensitas bunyi pajanan. Pajanan bising dengan intensitas tinggi dapat merusak
struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula, lisosom, dan lisis sel. Sel-sel rambut luar
akan menunjukkan tanda-tanda degenerasi sehingga menjadi kurang kaku dan terjadi penurunan
respon terhadap stimulasi bunyi. Semakin tinggi intensitas dan durasi pajanan, dapat
mengakibatkan sel-sel rambut mati dan digantikan dengan jaringan parut. Selain sel-sel rambut,
sel penunjang juga dapat mengalami kerusakan.2,3
Klasifikasi dari NIHL yang pertama adalah Noise Induced Temporary Threshold Shift
(NITTS). Gangguan pendengaran ini sering dikenal juga dengan sebutan trauma akustik.
Gangguan ini adalah ketulian yang diakibatkan oleh bunyi tunggal yang cukup keras seperti
ledakan, dentuman, tembakan pistol, sehingga dapat memberikan dampak tuli mendadak.2
Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS) merupakan ketulian atau gangguan
pendengaran yang diakibatkan oleh pajanan bising yang lebih lama dengan intensitas yang cukup
besar hingga dapat merusak pendengaran. NIPTS terjadi pada frekuensi bunyi 4000 Hz. Awalnya
penderita tidak ada keluhan, namun jika sudah mencapai frekuensi yang lebih rendah (2000-3000
Hz) keluhan akan timbul. Pada awal timbulnya gejala, penderita akan mengalami kesulitan
berkomunikasi karena tidak dapat mendengar dengan jelas fonasi tertentu. Setelah itu jika
semakin memburuk, penderita tidak dapat mendengar suara yang lemah.2 Adapun tingkatan
gangguan pendengaran adalah seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Tingkat dan Klasifikasi Gangguan Pendengaran.6
Nilai Ambang Batas
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar atau
intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja
tanpa mengakitbatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk
waktu tidak melebih 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. NAB dari faktor fisik kebisingan yang
merupakan faktor risiko terjadina NIHL tercantum pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Republik Indonesia No.5 Tahun 2018. Seperti yang sudah ditentukan, intensitas kebisingan di
tempat kerja yang masih dalam batas aman dan tidak akan menimbulkan gangguan kesehatan
akibat kerja adalah kurang dari 85 dB.7
Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan.2
Semakin tinggi intensitas kebisingan di tempat, kerja, semakin sekiti waktu kerja atau
pemaparan per hari yang dianjurkan. Hal ini dikarenakan gangguan pendengaran yang
ditimbulkan berkaitan erat dengan intensitas bunyi dan lama pemaparan.2-7

Penatalaksanaan dan Pencegahan


Penatalaksanaan dari PAK dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana medis dan tatalaksana
okupasi. Tatalaksana medis yang diberikan dapat berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang
dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Terapi medikamentosa atau non-
medikamentosa dapat diberikan berupa edukasi, latihan fisik, fisioterapi, konseling, psikoterapi
dan nutrisi. Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan dengan sasaran
individu pekerja dan komunitas pekerja yang sama. Tatalaksana okupasi terdiri dari penetapan
kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan kecacatan.4
Terapi spesifik untuk mengobati NIHL belum ada yang diakui dan direkomendasikan
walaupun sudah ada penelitian farmakoterapi pada hewan coba. Oleh karena itu, upaya preventif
masih menjadi tatalaksana utama yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan indera
pendengaran yang lebih berat.8
Pencegahan yang dapat dilakukan pertama adalah monitoring kebisingan. Pada tahap ini,
tentukan area dan jenis kebisingan, kemudian mengukur intensitas kebisingan. Selanjutnya
melakukan kontrol teknik, seperti mengatur kembali mesin atau sumber kebisingan, membuat
peredam, dan lain-lain. Setelah itu, lakukan kontrol administrasi di mana jam kerja dan
pembagian pekerjaan kepada pekerja diatur sedemikian rupa agar pekerja tidak terpajan oleh
kebisingan dalam waktu yang cukup lama. Terakhir adalah memberikan edukasi bagi pekerja
mengenai anatomi dan fisiologi indera pendengaran, gangguan kesehatan akibat pajanan
kebisingan, dan cara menggunakan APD, baik itu earplugs, earmuffs¸ dan lain-lain. Pekerja juga
diharuskan untuk melakukan pemeriksaan audiometri baik itu pra-kerja, secara berkala, ataupun
purna-kerja.2

Penutup
Pajanan kebisingan di tempat kerja yang dialami dalam waktu yang cukup lama dan
intensitas yang tinggi dapat mengakibatkan gangguan pendengaran berupa NIHL. Perlu
pendekatan 7 langkah diagnosis okupasi untuk memastikan apakah diagnosis klinis yang diderita
merupakan PAK. Klasifikasi dan derajat kepadahan NIHL dipengaruhi oleh intensitas pajanan
kebisingan dan durasi pemaparan pajanan tersebut sehingga perusahaan harus menyesuaikan
NAB kebisingan. Tindakan pencegahan merupakan hal yang terpenting untuk dilakukan saat ini
karena modalitas terapi medikamentosa belum ada.

Daftar Pustaka
1. Andriani S, Subhi M, Suprijanto D, Handayani WD, Chodir A, Sukma F, et al. Prevalensi
dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising pada Operator Mesin Kapal Feri Prevalence and
Risk Factors Noise Induced Hearing Loss on the Ferry Machine Operator. J Kesehat
Masy. 2013;7 No. 12:545–50.
2. Salawati L. Noise-induced hearing loss. J Occup Environ Med. 2013;45(6):579–81.
3. Stucken EZ, Hong RS. Noise-induced hearing loss: An occupational medicine
perspective. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;22(5):388–93.
4. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat; Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga
Republik Indonesia. Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia.
Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019. 46 p.
5. Mirza R, Kirchner DB, Dobie RA, Crawford J. Occupational Noise-Induced Hearing
Loss. J Occup Environ Med. 2018;60(9):e498–501.
6. Olusanya BO, Davis AC, Hoffman HJ. Hearing loss grades and the international
classification of functioning, disability and health. Bull World Health Organ.
2019;97(10):725–8.
7. Ketenagakerjaan PM, Indonesia R, Dan K, Kerja K, Kerja L, Rahmat D, et al. Permenaker
Nomor 5 tahun 2018. 2018;(567).
8. Sakat MS, Kilic K, Bercin S. Pharmacological agents used for treatment and prevention in
noise-induced hearing loss. Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology. 2016;273(12):4089–101.

Anda mungkin juga menyukai