Oleh:
ROBERTUS BANUSU
NIT. 19.1.06.024
Oleh:
ROBERUS BANUSU
NIT. 19.1.06.024
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Teknik Penangkapan Ikan Dengan Alat Tangkap Pole And Line Pada
Km Harapan Jaya
Nama : Robertus Banusu
NIT : 19.1.06.024
Menyetujui,
KATA PENGANTAR
Rasdam, S.Pi, M.Si
Nip. 19890111 201801 1 001
iii
KATA PENGANTAR
Penulis
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Praktik
Kerja Lapang (PKL) ini dengan baik sesuai dengan waktu yang ditentukan.
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ iii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Tujuan .............................................................................................. 2
1.3 Manfaat.............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Alat Tangkap Pole And Line (Huhate)............................................. 3
2.2 Spesifikasi Kapal Penangkap Ikan.................................................... 5
2.2.1. Kapal Huhate......................................................................... 5
2.2.2. Kapal Huhate (Pole and Line)............................................... 5
2.3 Operasi Penangkapan Pole and Line ................................................ 7
2.4 Alat Bantu Penangkapan Ikan........................................................... 8
2.5 Penanganan Umpan Hidup................................................................ 9
2.6 Daerah Penangkapan ........................................................................ 10
2.7 Penangan Ikan Diatas Kapal............................................................. 11
BAB III METODE PRAKTIK...................................................................... 12
3.1. Waktu dan Tempat............................................................................ 12
3.3. Metode Praktik................................................................................... 12
3.4 Analisis Data ..................................................................................... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 13
4.1 Gambaran Umum Kapal...................................................................... 13
4.2 Speifikai Kapal KM Harapan Jaya...................................................... 13
4.3 Penanganan Ikan Cakalang di atas Kapal........................................... 16
4.4 Penanganan Ikan Cakalang di Pusat Pendaratan Ikan......................... 21
vi
4.5 Perubahan Nilai Organoleptik............................................................. 23
BAB V PENUTUP............................................................................................ 25
5.1 Kesimpulan........................................................................................ 25
5.2 Saran.................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 26
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kontruksi alat tangkap Huhate....................................................... 4
Gambar 2. Kapal Huhate.................................................................................. 5
Gambar 3. Desain kapal Huhate....................................................................... 6
Gambar 4. Penangkapan ikan........................................................................... 13
Gambar 5. Sortasi............................................................................................. 14
Gambar 6. Pencucian........................................................................................ 14
Gambar 7. Penirisan.......................................................................................... 16
Gambar 8. Penyimpanan Ikan........................................................................... 16
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ayodhoya (1981), menyatakan bahwa pole and line umum digunakan untuk
menangkap ikan Cakalang (katsuwonus pelamis) sehingga dengan kata perikanan
pole and line sering pengertian kita ke arah perikanan cakalang dengan cara pole
and line juga dilakukan dengan penangkapan albacoremackerel dan sebagainya.
Prinsip dasar penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pole and line
adalah mengejar ge rombolan ikan dan menarik perhatian ikan cakalang dengan
menggunakan umpan hidup dan hujan buatan (water spayer). Dimana boy- boy
menebarkan umpan menggunakan sibu-sibu untuk menarik perhatian ikan agar ikan
berada didepan haluan kapal dan para pemancing lebih mudah untuk memancing
dengan menggunakan teknik gate dan gaya banting.
Salah satu sumber daya ikan ekonomis penting di perairan barat laut Tano
adalah ikan cakalang. Sebagian besar hasil tangkapan cakalang di daratkan di
Pelabuhan Perikanan Pantai Tano. Umumnya, aktivitas penangkapan ikan cakalang
di perairan Laut Tano menggunakan pole and line, selain itu ada juga yang
menggunakan Pancing Tonda (Trolling Line), Sudirman, 2004.
Pole and Line atau Huhate sangatlah sederhana desainnya, hanya terdiri dari
joran, tali dan mata pancing yang tidak berkait balik. Namun, dalam
pengoprasiannya sangatlah kompleks karena memerlukan umpan hidup seperti Ikan
Sarlin untuk merangsang kebiasaan menyabar mangsa pada ikan target.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Laporan praktik kerja lapangan ini antara lain:
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan teknik penangkapan ikan dengan alat
tangkap Pole And Line pada KM Harapan Jaya.
2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan teknik penanganan ikan pada operasi
penangkapan Pole and Line di KM Harapan Jaya
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan laporan praktik kerja lapangan ini adalah sebagai salah
satu panduan dan acuan dalam melakukan kegiatan pada Teknik Penangkapan Ikan
Dengan Alat Tangkap Pole And Line Pada KM Harapan Jaya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Nina Aysiana Runny, (2018) menyatakan bahwa ada beberapa keunikan dari
alat tangkap huhate bentuk mata pancing huhate tidak berkait seperti lazimnya mata
pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yang
halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate mempunyai
konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sehingga dapat dijadikan
tempat duduk oleh pemancing kapal huhate umumnya berukuran kecil. Di dinding
bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek, terdapat sprayer dan di dek
terdapat beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer adalah alat penyemprot air.
Menurut Surur (2007), hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat
pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan,
karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal. Umpan
yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan
dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan
mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya
dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk
mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan
umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan
hidup yang digunakan biasanya adalah ikan Sardin (Stolephorus commersoni).
Menurut Adi dan Djaja (2008), huhate (skipjack pole and line) atau disebut
dengan pole and line adalah alat tangkap ikan cakalang dengan menggunakan
joran/tongkat (pole) dan tali (line). Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri dari
bagian-bagian bamboo (bamboe’s pole), tali pancing dan mata pancing. Huhate
biasanya dioperasikan pada pagi, siang dan sore hari saat terdapat gerombolan ikan
di sekitar kapal. Mata pancing untuk huhate (pole and line) ada dua macam yaitu
mata pancing yang tidak berkait dan yang berkait:
4
2.2 Spesifikasi Kapal Penangkap Ikan
2.2.1. Kapal Huhate
Pengertian kapal menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, merupakan kendaraan air dengan bentuk dan
jenis apapun yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda,
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis. Kapal berdasarkan fungsinya
terdiri dari beberapa spesifikasi salah satunya merupakan jenis kapal perikanan.
Untuk mengetahui pengertian kapal perikanan maka penulis meninjau dari Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Selanjutnya dikatakan kapal perikanan merupakan perahu atau kapal yang
digunakan untuk menangkap ikan.
Berkaitan dengan fungsinya yang sebagian besar untuk kegiatan penangkapan
ikan, maka harus juga memenuhi syarat khusus untuk mendukung keberhasilan
kegiatan tersebut yang meliputi: kecepatan, olah gerak, ketahanan stabilitas,
kemampuan jelajah, konstruksi, mesin penggerak, fasilitas pengawetan dan serta
peralatan penangkapan. Pengetahuan mengenai keselamatan kapal perikanan
minimal meliputi bagaimana merencanakan kapal, mengidentifikasi jenis dan
ukuran kapal, permesinan, perlengkapan, stabilitas, dan penanganan ikan di atas
kapal.
2.2.2. Kapal Huhate (Pole and Line)
5
Direktorat Jenderal Perikanan (1994), Kapal pole and line umumnya telah
dikenal oleh para nelayan sebagai kapal huhate, dilengkapi dengan bak umpan
hidup dan sistem penyemprotan air. Kapal pole and line adalah kapal yang mampu
berolah gerak dengan lincah dan tergolong kapal yang mempunyai kecepatan di
atas 10 knot dengan stabilitas yang baik untuk mengejar gerombolan ikan, yaitu
kapal tersebut berolah gerak sambil menangkap ikan.
Tipe kapal pole and line terdiri dari dua, yaitu tipe Amerika dan tipe Jepang.
Tipe Amerika dilakukan di buritan, sedangkan tipe Jepang di haluan. Huhate yang
dioperasikan di indonesia umumnya tipe jepang.
Kapal pole and line pada dasarnya digunakan untuk menangkap ikan
Cakalang. Pada saat pelaksanaan penangkapan ikan, nelayan berada di haluan kapal
kiri dan kanan kemudian memancing ikan dengan menggunakan pancing dengan
tali disertai dengan sistem penyemprotan air (water splinkers system).
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa bentuk kapal Cakalang
mempunyai beberapa pengkhususan, antara lain :
1. Di bagian atas deck kapal bagian depan terdapat tempat para pemancing
melakukan pemancingan.
2. Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup.
3. Kapal Cakalang perlu dilengkapi dengan sistem peyemprotan air (water
splinkers system) yang dihubungkan dengan suatu pompa.
6
2.3 Operasi Penangkapan Pole and Line
Operasi penangkapan tentunya dimulai dari persiapan-persiapan terutama
perbekalan dan perlengkapan. Persiapan itu mencakup bahan makanan, es, lampu,
dan bahan bakar minyak, alat navigasi, persiapan mesin, persiapan pengaturan alat
tangkap dan bahan lainnya. Persiapan di laut adalah mempersiapkan peralatan
penangkapan dan penyediaan umpan hidup. Umpan hidup tersebut harus sesuai
dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan
hidup.
Mallawa dan Sudirman (2004), Operasi penangkapan dengan huhate
dilakukan dengan cara mencari dan memburu kelompok ikan Cakalang. Pencarian
gerombolan ikan dilakukan oleh seorang pengintai yang tempatnya biasa berada di
anjungan kapal dan menggunakan teropong. Keberadaan ikan Cakalang dapat
dilihat melaui tanda-tanda antara lain: adanya buih atau riak, loncatan ikan
Cakalang ataupun gerombolan burung-burung yang terbang menukik ke permukaan
laut dimana gerombolan ikan berada. Setelah menemukan gerombolan ikan, yang
harus diketahui adalah arah renang kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut.
Pelemparan umpan dilakukan oleh boi-boi setelah diperkirakan ikan telah berada
dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan kapal.
Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat
mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan
tersebut, mesin penyemprot air sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di dekat
kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal
dinetralkan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi,
mengingat terbatasnya umpan hidup. Pemancingan dilakukan serempak oleh
seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan pembagian
kelompok berdasarkan keterampilan memancing yaitu :
1. Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat
mata pancing berikan sebesar 50-60 ekor per menit. Pemancing I diberi posisi
di bagian haluan kapal, dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap.
2. Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri dan kanan kapal.
7
3. Pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya adalah orang-orang yang
baru belajar memancing dan pemancing berusia tua yang tenaganya sudah
mulai berkurang atau sudah lamban Sudirman (2004).
Surur (2007), menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah pada
saat pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke
perairan, karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal.
Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan
umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini
akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya
dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk
mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan
umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan
hidup yang digunakan biasanya adalah teri (Stolephorus commersoni).
8
memindahkan umpan hidup dari bak umpan ke ember dan seser kecil
berukuran diameter 20 cm digunakan untuk menabur umpan.
3. Ember
Ember umpan hidup terbuat dari kayu atau plastik diameter 25-30 cm dan
tingginya 20 cm. Selama operasi ember ini dipakai untuk menempatkan
beberapa umpan hidup, letaknya di samping boi-boi.
4. Pila-pila
Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri para pemancing, yang
letaknya pada haluan, lambung kiri dan kanan kapal (Direktorat Jenderal
Perikanan, 1994).
5. Pipa Penyemprot
Pipa penyemprot bertujuan untuk mengelabui ikan target penangkapan yang
dimana air disemprotkan ke permukaan laut pada saat melakukan operasi
penangkapan. Pipa penyemprot ditempatkan di sepanjang pila-pila. Pipa
tersebut bisa terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya
dipasang kran dipergunakan untuk menyemprot air. Penyemprotan air terjadi
karena dilengkapi dengan pompa air.
6. Rumpon
Rumpon adalah suatu alat bantu dalam kegiatan penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut di lokasi daerah
penangkapan (fishing ground) agar ikan-ikan tertarik untuk berkumpul
disekitar rumpon sehingga mudah untuk ditangkap dengan alat penangkapan
ikan.
9
umpan karena memerlukan beberapa perlakuan yang cukup penting dalam hal
pengawasan dan mengarahkan agar pencemaran yang timbul sekecil mungkin yang
diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.
FAO (1980), menyaakan bahwa selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat
lebih mendukung dengan cara meningkatkan sejumlah oksigen ke dalam tangki
umpan, menurunkan temperatur, menurunkan salinitas dan pada saat yang sama
menghindari kepadatan ikan dan menghindari rangsangan untuk membantu agar
mereka menjadi tenang.
2.6 Daerah Penangkapan
Usemahu dan Tomasila (2001), menyatakan bahwa Daerah penangkapan
untuk jenis tuna kecil atau Bonito terbatas pada perairan bersifat oceanis.Ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis) hidup bergerombol secara pelagis di daerah
perairan pantai sampai di laut bebas. Dae rahnya ditandai dengan keadaan air yang
jernih dan tidak berkarang, jauh dari muara sungai. Daerahnya merupakan perairan
yang tenang tidak bergelombang besar dan bukan daerah angin topan. Alat tangkap
untuk cakalang adalah pole and line atau di Maluku disebut Huhate. Daerah
penangkapan ikan cakalang yang terkenal ialah perairan Maluku di sekitar pulau
Buru, pulau Seram, pulau Ternate dan di laut Banda sampai sekitar kepulauan
Tanimbar dan Aru
Nainggolan (2007), menyatakan bahwa Ikan cakalang termasuk ikan pelagis
besar, ikan kelompok pelagis ini biasanya hidup di perairan yang relatif dalam.
Pada perairan yang relatif dangkal, misalnya di Laut Jawa, sangat jarang ditemukan
ikan cakalang. Biasanya ikan cakalang hidup perairan sekitar Indonesia tengah dan
timur. Ikan cakalang juga dapat ditemukan di perairan Samudera Hindia sebelah
barat Sumstera dan selatan Jawa. Dari berbagai penelitian dan pengamatan
lapangan ikan cakalang biasa hidup pada permukaan samoai kedalaman sekitar 200
m. Suhu perairan tempat cakalang biasanya berada berkisar antara suhu permukaan
sampai 200 C di perairan subtropis dan tropis.
10
2.7 Penangan Ikan Diatas Kapal
2. Mematikan Ikan
Cara kerja :
1. Posisi ikan menyamping
2. Pingsankan ikan dengan cara memukul ikan pada bagian tepat diantara dua
mata (Otak kecil). Pukulan pada titik yang tepat akan memingsankan ikan,
meskipun pukulan tidak terlalu keras
3. Matikan ikan dengan menusuk pada titik lunak kepala ikan. Pastikan ikan sudah
mati dengan mengusap mata atau menggerakkan rahan bagian bawah untuk
memeriksa respon ikan.
Kualitas ikan yang matinya cepat akan mampu bertahan lebih lama dibandingkan
ikan yang lama meronta-ronta. Ikan yang matinya ditusuk pada otak kecil akan
lebih cepat didinginkan karena otak yang mengatur suhu tubuh ikan telah dirusak.
3. Penyimpanan
Cara Kerja :
1. Simpan ikan dalam box fiber/sterofoam atau palka berinsulasi dengan
ditambahkan es. Perbandingan jumlah es dan ikan yang digunakan adalah 1 : 1.
2. Seluruh permukaan ikan harus tertutupi dengan es. Apabila ikan disusun
bertumpuk maka susunannya adalah es-ikan-es-ikan-es.
11
3. Es yang paling baik digunakan adalah es yang sudah dihancurkan (Es Curah)
karena akan kontak dengan tubuh ikan secara merata sehingga menurunkan suhu
ikan dengan cepat.
BAB III
METODE PRAKTIK
3.1 Waktu dan Tempat
Peraktek Kerja Lapang II (PKL II) dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan
dimulai Bulan November sampai Bulan Desember 2021 bertempat di Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur Pada Kapal KM Harapan Jaya.
12
pengoperasian antara lain buat tabel tentang jenis dan jumlah hasil tangkapan di
atas kapal pole and line di KM Harapan Jaya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Jenis Kapal Penangkapan Ikan
Tanda Selar GT.30
Temapat dan Tahun Pembuatan Kendari, Tahun 1998
Panjang Keseluruhan 17,92 Meter
Lebar Kapal 4,60 Meter
Dalam kapal 1,95 Meter
Isi Kotor 30 GT
Isi Bersih 18 NT
Sistem kemudi Hidrolik
Bahan Kontruksi Kapal Fiberglass
Bendera kebangsaan Indonesia
Nahkoda
Kahariddin
KKM
Piter Bare
Boy-boy
Yahya L. Karmoy
Koki
Adrianus Djara
ABK
1. Calik Seno
2. Krisma Sitompul
3. Abian
4. Benyamin
5. Yofi
6. Eko Setiawan
7. Herman Natun
8. Desmon Manaha
9. Ismar
10. Yustinus
11. Yanto
Gambar 6. Struktur Organisasi
14
Pembagian kerja di kapal diatur menurut keahlian. Kedudukan tertinggi
adalah nahkoda, sedangkan mualim, boy-boy dan KKM mempunyai kedudukan
yang sama sebagai perwira kapal. Didalam penangkapan boy-boy merupakan
pembantu utama nahkoda dalam pencarian schooling. Tetapi didalam
pelaksanaannya, pemancingan dilakukan oleh seluruh awak kapal dan tidak
terdapat tingkatan antara perwira dan kelasi, semua ikut memancing kecuali mereka
yang mendapat giliran jaga. Boy-boy bertugas untuk mengintai gerombolan ikan
dan menebar umpan pada waktu penangkapan serta bertanggungjawab dalam
pemeliharaan umpan. Pada saat mengejar gerombolan ikan maka olah gerak
kapal adalah atas perintah boy-boy yang bertindak sebagai fishing master,
sedangkan pada waktu penangkapan olah gerak kapal sepenuhnya atas perintah
nahkoda.
Pembagian pemancing, menjadi pemancing I dan II, berdasarkan atas
kemampuan seorang pemancing yang ditentukan oleh Nakhoda, yakni
melipiti kelincahan, kecepatan dan pengalaman dalam pemancingan. Pemancing I
mempunyai tempat pemancingan pada bagian depan haluan kapal, sedangkan
pemancing II mempunyai tempat disamping kiri dan kanan hakuan kapal. Jumlah
anak buah kapal yang ikut memancing berjumlah 8 orang, kecuali mereka yang
bertugas memegang kemudi, jaga mesin, boy-boy dan pengambil umpan.
KMN Harapan Jaya memiliki suatu unit mesin yang menghasilkan suatu tenaga
penggerak sebagai mesin induk. Berikut data mesin KMN. Harapan Jaya :
Tabel 2. Data Mesin
Jenis Mesin Silinder
Merek Mitsubishi
Jumlah Slinder 6
Jumlah daun baling baling 4
Tahun pembuatan 2003
Kekuatan Mesin 160 PK
Jenis bahan bakar Solar
15
Kapasitas tangki bahan bakar 1.400 liter
Nomor seri mesin 201751
Sortasi. Proses sortasi pada hasil tangkapan dengan tidak dilakukan dengan
benar. Ikan yang berbeda ukuran maupun jenis dimasukkan dalam palka secara
bersamaan, dalam proses sortasi nelayan berkontak langsung dengan ikan.
16
Gambar 5. Sortasi.
Gambar 6. Pencucian.
17
Gambar 7. Penirisan.
18
berlangsung, ikan yang terkumpul di atas deck kapal disemprot dengan air laut
untuk menghilangkan darah. Proses penanganan yang dilakukan di atas kapal masih
tergolong sederhana berdasarkan pengalaman nelayan. Nelayan perlu
memperhatikan kualitas ikan tetap dalam kondisi segar sampai di pusat pendaratan
ikan.
Proses penanganan yang dilakukan oleh nelayan sesaat setelah ikan ditangkap
antara lain pencucian, pensortiran dan penirisan tidak dilakukan dengan baik. Hal
ini dapat mengakibatkan kemunduran mutu ikan. Penanganan ikan sesaat setelah
ikan ditangkap sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan hasil tangkapan. Starling
dan Diver (2005) menyatakan bahwa faktorfaktor yang memengaruhi mutu ikan
tuna terdiri dari faktor biologis (umur, spesies, tingkat kematangan seksual dan
adanya penyakit) dan faktor non biologis (teknik penangkapan, penanganan,
pendinginan, dan penyimpanan). Jika teknik penanganan ikan yang dilakukan baik,
maka ikan akan memiliki kualitas yang baik dan harga jual yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, maka dapat digambarkan sistem penanganan
ikan cakalang di atas kapal oleh nelayan. Tahap (2).
Proses penyimpanan ikan pada palka pendinginan belum dilakukan sesuai
prosedur. Nelayan tidak melakukan proses pensortiran hasil tangkapan sesuai
ukuran, jenis ikan dan kualitas ikan. Penyimpanan ikan berdasarkan ukuran sangat
penting karena ikan dengan ukuran kecil lebih cepat mengalami proses pembusukan
dibandingkan ikan dengan ukuran besar. Kondisi ini disebabkan karena komposisi
kimia daging ikan yang berbeda. Murniyati dan Sunarman (2000) menyatakan
bahwa daging ikan tuna memiliki komposisi kimia yang bervariasi tergantung
ukuran dan jenis ikan, serta jenis kelamin, dan musim.
Penanganan pasca penangkapan adalah untuk menjaga kualitas hasil
tangkapan (WWF 2015). Kru kapal harus menjaga kebersihan untuk menjaga
kualitas ikan, pada saat ikan di ditaruh di atas geladak atau lantai kapal, ikan tidak
terluka atau cacat saat dihentakkan atau dilempar, dan cara menjaga agar rantai
dingin tidak putus sampai ke penampungan di darat atau sampai ditangan pembeli.
Kualitas dan mutu yang baik dapat meningkatkan harga jual hasil tangkapan. Proses
pemancingan yang dilakukan oleh nelayan berlangsung selama umpan masih
19
tersedia, dan ikan yang tertangkap langsung dibersihkan dengan cara sesekali
menyemprot ikan menggunakan air laut. Apabila ikan sudah dalam keadaan bersih
selanjutnya proses penyimpanan ikan dalam palka berisi es. Proses penanganan
yang dilakukan oleh nelayan belum sesuai dengan standar HACCP, seperti halnya
proses pensortiran. Ikan yang mengalami cacat fisik seperti memar atau luka akibat
mati menggelepar, masih ditempatkan dalam palka pendingin bersama ikan yang
utuh. Nelayan tidak melakukan proses pensortiran dari segi kualitas antara ikan
yang cacat fisik dan ikan yang utuh, ukuran ikan, dan jenis ikan yang ditangkap.
Ikan yang mengalami cacat fisik akan cepat terjadi proses penurunan mutu akibat
aktivitas bakteri, sehingga dengan mudah akan mengkontaminasi ikan yang utuh
atau kualitas baik. Kondisi ini harus menjadi perhatian nelayan dan dihindari.
Wibowo dan Yunizal (1998) menyatakan bahwa penanganan ikan di atas
kapal yang tidak memiliki sarana palka penyimpanan ikan yang baik, memiliki
tingkat kerusakan ikan sebesar 20-30% sejak di atas kapal sampai di pusat
pendaratan. Pengetahuan nelayan yang minim terkait penanganan ikan akan
mengakibatkan penurunan tingkat kesegaran ikan setelah ikan ditangkap. Hal ini
juga sangat berpengaruh pada proses pengolahan ikan selanjutnya. Akande dan
Diei-Ouadi (2010) melaporkan bahwa di negara-negara berkembang, telah terjadi
kehilangan pasca panen sebesar 20-40% dari total produksi, dan kehilangan kualitas
sebesar 70%. sedangkan Quang (2005), menyatakan bahwa sesaat setelah
penangkapan ikan akan terjadi proses penurunan mutu sampai di konsumen. Proses
perbaikan untuk mencegah kemunduran ikan sehingga kesegaran dan kualitas ikan
dapat dilihat pada tahap (3).
Penanganan primer terkait pencucian, pensortiran dan penirisan perlu
dilakukan, selain itu jumlah es dan lamanya waktu pendinginan perlu diperhatikan.
Faktor perbandingan antara ikan dan es sangat menentukan kualitas ikan.
Perbandingan 1:2 merupakan perbandingan penggunaan es dan banyaknya ikan
dalam proses penanganan yang dilakukan nelayan. Perbandingan ini menyangkut
suhu ikan yang ingin dicapai, suhu ikan harus tetap pada suhu 0°C sampai ikan
berada di tangan konsumen. Apabila jumlah es terlalu sedikit, maka suhu tidak
mampu mempertahankan tingkat kesegaran ikan dalam jangka waktu lama.
20
Sedangkan apabila jumlah es terlalu banyak, maka bongkahan/pecahan es batu akan
dapat merusak ikan. Menurut Widiastuti dan Putro (2010) tahapan dalam
menangani ikan setelah ditangkap adalah ikan segera dimatikan dengan memukul
bagian kepala ikan, selanjutnya proses pencucian ikan dan penyimpanan ikan dalam
palka dengan rasio es dan ikan 1:1. Kebutuhan es sangat diperlukan selama proses
pendinginan ikan diatas kapal sampai ikan di pusat pendaratan ikan. Rasio
perbandingan ikan dan es 1:1 merupakan perbandingan yang ideal, yaitu ikan 1 kg
harus sebanding dengan 1 kg es. Ikan yang baru ditangkap memiliki suhu 25°C dan
proses penyimpanan ikan dalam palka perlu dipertahankan suhunya mendekati 0°C
selama 12 jam mulai dari ikan ditangani di atas kapal sampai pusat pendaratan ikan,
agar tingkat kesegaran ikan tetap terjaga dan menghambatkan aktivitas bakteri.
Aktivitas enzim dan mikroorganisme pembusuk dapat terganggu oleh penggunaan
suhu rendah 0–6o C. Hal ini juga memengaruhi aktivitas bakteri setelah post rigor
mortis berlangsung dan pembentukan basa volatile nitrogen karena reaksi kimia
(Clucas dan Ward (1996). Gram dan Dalgaard (2002) menjelaskan bahwa
pertumbuhan mikroba pada ikan dapat terhambat oleh adanya penggunaan suhu
yang rendah.
4.4 Penanganan Ikan Cakalang di Pusat Pendaratan Ikan
Teknik penanganan oleh nelayan di pusat pendaratan ikan harus dilakukan
dengan baik dan benar serta hati-hati, sehingga kualitas dan mutu ikan tetap terjaga.
Kapal tiba di pusat pendaratan ikan pada pukul 19.00 WIT, sehingga penanganan
ikan dilakukan nelayan pada waktu malam. Proses pembongkaran ikan dari palka
pendinginan dilakukan dan diletakkan di atas dok kapal. Pensortiran dilakukan
sesuai dengan permintaan Perum Perikanan dan pengumpul tentang ukuran ikan.
Penanganan ikan di pusat pendaratan ikan oleh nelayan sebagai berikut:
a). Pembongkaran. Pembongkaran dilakukan oleh dua orang nelayan dengan cara
masuk ke dalam palka pendinginan kemudian ikan diangkat dengan tangan dan
dimasukkan ke dalam jaring yang turunkan oleh tiga orang nelayan di atas deck
kapal. Nelayan yang bertugas melakukan proses pembongkaran ikan dalam
palka pendinginan mengunakan sepatu, dan hal ini dapat menyebabkan ikan
21
terinjak dan cacat fisik. Kerusakan yang terjadi akibat ikan yang cacat fisik
akan mempercepat aktivitas bakteri dan menyebabkan penurunan mutu ikan.
b). Pencucian. Proses pencucian ikan dilakukan setelah ikan di atas dok kapal.
c). Penyortiran ikan. Penyortiran ikan dilakukan berdasarkan ukuran sesuai
permintaan.
d). Ikan dimasukkan ke dalam loyang pengumpul/sibu-sibu. Penanganan ikan di
pusat pendaratan ikan belum sesuai dengan prosedur yang ada. Penanganan
yang menjadi perhatian nelayan dipusat pendaratan ikan adalah hanya
memikirkan bagaimana membongkar ikan dari dalam palka pendinginan
dengan cepat, kemudian dimasukkan ke dalam loyang para pembeli tanpa
memikirkan kebersihan lantai deck kapal dan suhu di sekitarnya.
Amos (2007), menyatakan bahwa pada saat ikan tiba di tempat pendaratan,
ikan tidak boleh diletakkan di lantai. Praktik ini tidak higienis, selain itu terjadinya
degradasi mutu ikan disebabkan oleh suhu lingkungan yang tinggi, penanganan
yang kasar dan tidak higienis yang dapat menyebabkan pembusukan ikan akibat
terkontaminasi. Faktor kebersihan sangat penting karena sebagian besar lokasi
pendaratan tidak memiliki fasilitas sanitasi dan penanganan. Ikan yang sudah
dibongkar harus segera ditimbang dan didinginkan secepatnya untuk menjaga suhu
tetap (0°C-4°C), sehingga dapat memperlambat laju pembusukan oleh bakteri dan
aktivitas enzim. Beberapa hal penting yang belum diperhatikan oleh nelayan antara
lain fasilitas sarana dan prasarana, tempat untuk melakukan proses pencucian,
penirisan, dan pensortiran. Adawyah (2007), menyatakan bahwa sebelum ikan
dinaikkan ke atas dek kapal perlu dilakukan pembersihan dek kapal dan peralatan
yang akan digunakan untuk penanganan ikan. Dari hasil pengamatan di lapangan,
maka dapat digambarkan sistem penanganan ikan oleh nelayan di pusat pendaratan
ikan (Tahap 4). Hasil wawancara menunjukkan bahwa ikan yang mengalami cacat
fisik sebesar 3% dan yang kualitas baik 97%. Ikan yang kualitas baik kemudian
dilakukan pembagian, 80% dari ikan cakalang ukuran besar dijual kepada Perum
Perikanan untuk diekspor, sedangkan 17% ikan yang berukuran sedang dan kecil
dijual kepada pengumpul atau pedagang kecil, kemudian pedagang kecil langsung
menjual ke konsumen. Semua hasil tangkapan para nelayan dijual kepada
22
pengumpul atau pedagang kecil dengan harga yang sangat murah. Penanganan ikan
di pusat pendaratan ikan merupakan proses yang sangat penting diperhatikan untuk
menjaga kualitas ikan tetap terjamin. Proses perbaikan di pusat pendaratan ikan
untuk menjaga kesegaran dan kualitas ikan sampai di tangan konsumen dapat
dilihat pada (Tahap 5).
4.5 Perubahan Nilai Organoleptik
Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan berdasarkan nilai organoleptik.
Penentuan nilai organoleptik meliputi kriteria mata, lendir, insang, daging, bau, dan
tekstur. Pengamatan karakteristik ikan menggunakan score sheet yang mengacu
pada BSN (2006), sehingga dapat menentukan nilai penurunan mutu ikan. Hasil
analisis varians menunjukkan bahwa proses pendinginan dan waktu penyimpanan
secara signifikan mempengaruhi nilai organoleptik ikan (Sig.<0,01) Nilai rerata
organoleptik ikan pada rentang waktu penyimpanan di palka mengalami penurunan.
23
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Teknik operasi penangkapan tentunya dimulai dari persiapan-persiapan
terutama perbekalan dan perlengkapan. Persiapan itu mencakup bahan
makanan, es, lampu, dan bahan bakar minyak, alat navigasi, persiapan mesin,
persiapan pengaturan alat tangkap dan bahan lainnya. Persiapan di laut adalah
mempersiapkan peralatan penangkapan dan penyediaan umpan hidup. Umpan
hidup tersebut harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan,
dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup.
2. Proses penanganan yang dilakukan oleh nelayan sesaat setelah ikan ditangkap
antara lain pencucian, pensortiran dan penirisan tidak dilakukan dengan baik.
Hal ini dapat mengakibatkan kemunduran mutu ikan. Penanganan ikan sesaat
setelah ikan ditangkap sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan hasil
tangkapan. Jika teknik penanganan ikan yang dilakukan baik, maka ikan akan
memiliki kualitas yang baik dan harga jual yang tinggi. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, maka dapat digambarkan sistem penanganan ikan
cakalang di atas kapal oleh nelayan.
5.2 Saran
1. Berdasarkan hasil kegiatan PKL maka disarankan agar kapal Pole and Line
dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti : radio panggil, radar, serta Sonar
untuk memudahkan mencari gerombolan ikan.
2. Kemudian meminimalkan kerusakan ikan hasil tangkapan akibat pancing
banting, maka geladak kapal sebaiknya dilapisi dengan pelapis yang elastis
misalnya gabus atau karet, sehingga benturan ikan dengan geladak dapat
diminimalkan.
3. Informasi persiapan sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang dan
direncanakan jauh hari sebelum praktek dimulai, sehingga segala kemungkinan
dapat teratasi dan persiapan pelaksanaan praktek menjadi lebih matang.
24
4. Pada proses penanganan ikan di kapal hendaknya memperhatikan prinsip-
prinsip penanganan ikan yang baik dan benar sehingga mutu ikan dapat
dipertahankan pada kualitas yang segar.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Adi, D.B.S., et.al. (2008). Nautika Kapal Penangkap Ikan untuk SMK (Second ed.).
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Akande G, Diei-Ouadi Y. 2010. Post-Harvest Losses in Small-scale Fisheries-Case
Studies in Five sub-Saharan African Countries. Rome: FAO Fisheries and
Aquaculture Tech.
Amos. 2007. Analysis of quality deterioration at critical steps/points in fish
handling in Uganda and Iceland and suggestions for improvement. Final
Project 2007. UNUFisheries Training Programme Uganda.
Andersen UB, Thomassen MS, Rora AMB. 1995. Texture properties of farmed
Atlantic salmon (Salmo salar): Influence of storage time on ice and smelt
age. In: Andersen, U.B (ed.). Measurements of texture quality in farmed
Atlantic salmon (Salmo salar) and Rainbow trout (Oncorhynchus mykiss)
(III). [Doctor Scientiarum Thesis]. Norway (Eur): Agricultural University
of Norway.
Ayodhya, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. SNI 01-
2346- 2006. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post harvest fisheries development: a guide handling,
preservation, processing and quality. (UK): Natural Resources Institute.
Deni S. 2015. Karakteristik mutu ikan selama penanganan pada kapal KM.
Cakalang. Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan. 8(2): 72–80.
FAO Food and Agriculture Organization, 1995, Code of Conduct For Responsible
Fisheries., Rome: FAO-United Nation.
Gram L, Dalgaard P. 2002. Fish spoilage bacteria – problems and solutions.
Current Opinion in Biotechnology. 13: 262-266.
Hurasan, M.S., RS. Amran dan H. Luthfie. 1994. Pemetaan Lokasi dan Musim
Penangkapan Ikan Upan Hidup di Sekitar Perairan Maluku Tengah.
Journal Penelitian Perikanan Laut No. 90 Tahun 1994. Sub Bagian
Penelitian Perikanan Laut, Ambon.
26
Karimunjawa Jawa Tengah, Penelitian Hibah Kompetitif Tahun Anggaran
2012
Mallawwa, A dan Najamuddin, 2003, Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan
Berkelanjutan, Makalah Pada Seminar Nasional Pemanfaatan Sumber
Metusalach, Kasmiati, Fahrul, Jaya I. 2014. Pengaruh cara penangkapan, fasilitas
penanganan dan cara penanganan ikan terhadap kualitas ikan yang
dihasilkan. Jurnal IPTEKS PSP 1(1): 40-52.
Munandar A, Nurjannah, Nurimala. 2009. Kemunduran mutu ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan perlakuan
cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 12(2): 88-101.
Murniyati AS, Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan, Pengawetan Ikan.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Nainggolan. 2007. Studi Perikanan Kelong Bilis Di Desa Pulau Medang Kecamatan
Senayang Kabupaten Lingga Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru.
Nina Aysiana Runny. 2018 .Permasalahan Kerusakan Ekosistem Laut.
http://perikanan38.blogspot.com/2018/10/permasalahan-kerusakan-
ekosistem-laut.html.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4227.
Quang NH. 2005. Guidelines for handling and preservation of fresh fish for further
processing in Vietnam. Iceland (Eur): The United Nation University
Fisheries Training Programme.
Starling E, Diver G. 2005. The Australian Tuna Handling Manual: A Practical
Guide for Industry. Queensland (AU): Seafood Service Australia.
Subani, W dan H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut Nomor: 50 Tahun 1988/1989.
Edisi Khusus. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005.
Sudirman dan Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Makasar: Rineka Cipta.
27
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Usemahu, A.R. dan Tomasila, L.A. 2001.Teknik Penangkapan Ikan. Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Perikanan.Departemen Kelautan dan
Perikanan.Jakarta.
Wibowo S, Yunizal. 1998. Penanganan Ikan Segar. Instalasi Penelitian Perikanan
Laut Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan.
Widiastuti I, Putro S. 2010. Analisis mutu ikan tuna selama lepas tangkap. Jurnal
Maspari, 1:22-29.
[WWF] World Wide Fund for Nature. 2015. Perikanan cakalang dengan pancing
pole and line (Huhate). Seri Panduan Perikanan Skala Kecil. Jakarta (ID):
WWF-Indonesia.
28