Anda di halaman 1dari 28

Kajian Hadits Dalam Pandangan Sunni

Debi Ayu Puspitasari, Ahmad Faidul Qodir


debiayupuspitasari@gmail.com, faidulqoodir0504@gmail.com

Abstrak

Secara epistemologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebab merupakan bayan (penjelas), terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
yang masih mujmal (global), ‘am (umum) dan yang mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri
hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
Qur’an. Fungsi-fungsi hadits tersebut diatas harusnya menjadikan keberadaannya tidak dapat
diingkari. Kedua kelompok sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-
Quran. Hanya saja masing-masing berbeda dalam menerima hadits yang dapat dijadikan hujjah
atau sumber hukum. Kaum sunni berpandangan bahwa semua sahabat adalah adil. Sehingga hadits
yang diriwayatkan dapat diterima dan dijadikan hujjah oleh ummat Islam. Sedangkan kaum Syiah
(Syiah Imamiah) berpandangan bahwa persahabatan dengan Nabi tidak dapat menjamin seseorang
menjadi baik dan dan jujur. Sehingga memerlukan penelitian yang mendalam terhadap keadaan
sahabat tersebut. Namun sebagian besar golongan Syiah, di antaranya golongan Ja’fariyah tidak
menerima hadits selain dari para imam mereka. Mereka menganggap bahwa para sahabat adalah
orang-orang yang fasik, (terutama yang dianggap menentang Ali) bahkan sebagian mengkafirkan.

Kata Kunci : Hadits, Sunni

Pendahuluan

Sunnah atau lebih dikenal dengan hadis mempunyai sejarah yang unik dan
panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan.
Pengkompilasian hadis pun membutuhkan waktu yang cukup panjang yang
diwarnai persaingan politik antar kelompok Muslim dalam rangka
perebutan kekuasaan. Kodifikasi hadis sampai pada akhir abad ke-9 M
menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap autentik, di
samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Ada anggapan bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam
berdampak atau bahkan menjadi sumber perbedaan hadis yang diakui oleh
Masing-masing kelompok. Misalnya Kelompok Sunni hanya berpegang pada
riwayat Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah hanya mengakui hadis- hadis
riwayat kelompok Syi’ah saja, demikian seterusnya.
Sebagaimana ditulis Hasyim al-Musawi, sepeninggal Nabi saw, Syi’ah
lahir dalam pergumulan panjang golongan yang mengatasnamakan pengikut-
1
pengikut setia kepada Ali ra, dan Ahlul Bait. Pada perkembangannya, golongan ini
menjadi sebuah eksistensi politik, intelektual dan doktrinal yang turut memainkan
peranan dan pengaruhnya dalam sejarah kebudayaan dan kehidupan umat Islam
hingga sekarang.1
Salah satu yang membedakan antara Sunni dan Syi’ah dalam wilayah
teologis adalah bahwa dalam tradisi Syi’ah, setelah wafatnya Nabi saw, hujjah
keagamaan tidak berhenti melainkan secara estafet diteruskan kepada para imam.
Perbedaan teologis tersebut juga berimplikasi terhadap sumber-sumber ajaran,
dimana meskipun kedua golongan tersebut sama- sama mengakui bahwa al-Qur’an
dan Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam, namun terhadap sumber ajaran
kedua (sunnah) nuansa sektarian mendukung kepentingan-kepentingan kelompok
masing-masing terlihat dalam kitab-kitab kompilasi hadis yang digunakan setelah
masa pembukuan hadis (tadwin).2Selain itu, perbedaan tersebut secara otomatis
juga berimplikasi terhadap penilaian, klasifikasi dan aturan main yang dirumuskan
untuk melihat kualitas informasi-informasi didalamnya.3Secara sederhana berikut
ini berupaya mengungkap perbedaan hadis Sunni dan hadis Syi’ah, yang objek
pembahasannya adalah kitab Shahih Bukhori (kitab hadis monumental di kalangan
Sunni karya Imam Bukhori) dan kitab al-Kafi (kitab hadis pedoman pokok yang
dijadikan rujukan di kalangan madzhab Syi’ah karya al-Kulaini), dengan
“harapan” untuk menemukan implikasinya dalam ajaran Islam.

Pembahasan

A. Shohih Bukhori
1. Profil Penulis (Imam Bukhori)
Imam Bukhori lahir di Bukkhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin
Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari, namun beliau dikenal dengan nama Bukhari. Beliau
lahir pada hari Jum’at tanggal 21 Juli 810 M atau bertepatan dengan tanggal 13
Syawal 194 H. kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang beragama
Zoroaster. Tapi, Mughiroh, orangtuanya Bukhori telah memeluk Islam di bawah
asuhan Al-Yaman el-Ja’fi.4 Imam Bukhari adalah ahli hadis yang termasyhur

1 Hasyim al-Musawi, Mazhab Syiah; Asal-usul dan Keyakinannya terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera,
1996), 19
2 Artikel “Klasifikasi Hadis Prespektif Sunni & Syi’ah”. http://nazhroul.wordpress.com/2011/
02/11/klasifikasi-hadis-perspektif-sunni-syiah/. Di akses tanggal 11 februari 2022
3 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari PDF, 25
4 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari PDF, 25
2
diantara para ahli hadis yaitu Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi,
An- Nasa’I, dan Ibn Majah sejak dulu hingga kini. Bahkan hadis-hadis beliau
memiliki derajat yang tinggi dalam kitab-kitab fiqih dan hadis. Sebagian
menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fi al - Hadis (Pemimipin kaum
mukmin dalam hal hadis). sehingga hampir semua ulama di dunia merujuk
kepadanya.
Imam Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870
M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan
bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju
dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh
masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri,
sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal
yang mulia.

2. Setting Sosio-intelektual dan Politik

Imam Bukhori dididik dalam keluarga ulama yang ta’at beragama. Dalam
kitab as-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang
wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat
(ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya seorang
ulama bermadzhab Maliki dan menjadi mudir dari Imam Malik seorang ulama
besar dan ahli fiqih. Ayahnya wafat ketika Bukhori masih kecil. 5
Pada usianya yang masih relatif muda, ia sudah mampu menghafal tulisan
beberapa ulama hadis yang ada di negerinya. Masih pada usia relative muda pula
ia pergi ke Makkah bersama ibu dan saudaranya untuk melakukan ibadah haji pada
tahun 210 H. selanjutnya tringgal di Madinah dan menulis kitab sejarah yang
terkenal Tarikh al-Kabir, disamping makam Nabi Muhammad saw. 6
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya
Rasyid bin Ismail yang menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid
lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendikiawan Balkh. Bukhari tidak seperti
murid lainnya, ia tidak pernah membuat catatan kuliah sehingga sering dicela
membuang waktu oleh teman – temannya karena tidak mencatat, namun Bukhari
diam tidak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari

5 Ibid, PDF, 25
6 Badri Khaeruman, Otentitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), 193
3
meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau
membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan
ceramah tersebut. Maka tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata
hafal di luar kepala 15.000 hadis, lengkap dengan keterangan yang tidak semapat
mereka catat. Bersama gurunya Syeikh Ishaq, beliau menghimpun hadis-hadis
shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadis yang diriwayatkan oleh 80.000
perawi disaring lagi menjadi 7.275 hadis. Diantara guru-guru beliau dalam
memperoleh hadis dan ilmu hadis antara lain adalah Ali nin Al-Madini Ahmad bin
Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Faryabi, Maki bin Ibrahim al-
Bakhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289
ahli hadis yang hadisnya dikutip dalam shahihnya.7

3. Karya-karyanya

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as-Shahabah wa at-Tabi’en”


(peristiwa-perisyiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulis
ketika masih berusia 18 tahun, dan kemudian ketika menginjak usia 22 tahun,
beliau menulis kitab “at-Tarikh”. Karya lainnya antara lain adalah kitab al-Jami’
ash-Shahih, al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Awsat, at-
Tarikh al-kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, kitab al-‘Ilal, Raful Yadain
fis Salah, Birul Walidaini, kitab ad-Du’afa,Asami as-Sahabah dan al-Hibah.
Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab al-Jami’
as-Shahih yang dikenal dengan nama Shahih Bukhori.8

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab al-Jami’ ash Sahih,
al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh as Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-
Musnad al-Kabir, kitab al-I’lal, Raful Yadain fis Salah, Birrul Walidain, kitab ad-
Dua’afa, Asami As-Sahabah yang lebih dikenal dengan sahih Bukhari.8

4. Profil Kitab Shohih Bukhori Sistematika Isi Kitab

Kitab Shohih Bukhori adalah sebuah kitab hadis yang monumental dan
kualitasnya telah diakui oleh para ulama’. Nama asli kitab ini adalah al-Jami’ul al-
Shahihu al-Musnadu al-Mukhtasaru min Hadisi Rasulillahi wa Sunanihi wa
Ayyamihi. Buku ini di tulis oleh Imam Bukhori selama 16 tahun yang disusun
pertama kali ketika di masjid Nabawi al-Haram Makkah, kemudian naskah

7 Ibid, PDF, 25
8 Ibid, PDF, 25
4
terakhir dibuat di masjid Nabawi di kota Madinah yang didengar lebih dari 70.000
perowi. Hadis yang lolos dari seleksi kemudian diajukan untuk diverifikasi oleh
para gurunya, diantaranya imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Ali al-Madini dan
lainnya.9

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shohih Bukhori


memuat 7.275 hadis. Selain itu ada hadis-hadis yang dimuat secara berulang, dan
ada 4.000 hadis yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu
juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitab at-Taqrib. Dalam
hal itu, Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul
Bari (yakni syarah atau penjelas atas kitab Shohih Bukhori) menulis, semua hadis
shahih yang dimuat dalam Shohih Bukhori (setelah dikurangi dengan hadis yang
dimuat secara berulang) sebanyak 2.062 buah. Sedangkan hadis yang mu’allaq
(ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu’ (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadis shahih termasuk yang dimuat berulang
sebanyak 7.397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadis tersebut dalam
mengomentari kitab Shohih Bukhori semata-mata karena perbedaan pandangan
mereka.10

Tabel I. Isi Kitab Shohih Bukhori

Jilid Tema

Indonesia Arab

Jilid I Kitab Permulaan Wahyu ‫بدء الويح‬

Kitab Iman ‫اإليمان‬

Kitab Ilmu ‫العلم‬

Kitab Wudhu ‫الوضوء‬

9 Hidayatullah, Telaah Hadith Metaforis..., 274


10
ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari, Jilid I. PDF. Hlm. 30

5
Kitab Mandi ‫الغسل‬

Kitab Haid ‫احليض‬

Kitab Tayammum ‫اتليمم‬

Kitab Shalat ‫الصالة‬

Kitab Waktu-Waktu Shalat ‫مواقيت الصالة‬

Kitab Adzan ‫األذان‬

Jilid II Kitab Shalat Jumat ‫اجلمعة‬

Kitab Haji ‫احلج‬

Jilid III Kitab Puasa ‫الصوم‬

Kitab Shalat Tarawih ‫صالة الرتاويح‬

Kitab Jual Beli ‫ابليوع‬

Kitab Salam (Tempah, ‫السلم‬


Pemesanan)

Kitab Syuf'ah (Penyewaan) ‫الشفعة‬

Kitab Ijarah (Upah) ‫اإلجارة‬

Kitab Wakalah (Perwakilan) ‫الواكلة‬

Kitab tentang Berladang dan ‫المزارعة‬


Bercocok Tanam

Kitab Distribusi Air (Pengairan) ‫المساقاة‬

‫يف االستقراض وأداء ادليون‬

Kitab Masalah Hutang ‫واحلجر واتلفليس‬

6
Kitab dalam Perselisihan ‫اخلصومات‬
(Pertengkaran

Kitab Luqathah (Barang ‫يف اللقطة‬


Temuan)

Kitab tentang Perbuatan- ‫المظالم والغصب‬


Perbuatan Zalim

Kitab Syirkah (Perseroan) ‫الرشكة‬

Kitab Pegadaian ‫العتق‬

Kitab Pembebasan Budak ‫الرهن‬

‫الهبة وفضلها واتلحريض‬

Kitab Hibah (Hadiah) dan ‫عليها‬


Keutamaannya

Kitab Syahadah (Persaksian) ‫الشهادات‬

Kitab Perdamaian ‫الصلح‬

Kitab Persyaratan ‫الرشوط‬

Jilid IV Kitab Wasiat ‫الوصايا‬

Kitab Jihad dan Ekspedisi ‫اجلهاد والسري‬

Kitab Permulaan Makhluk ‫بدء اخللق‬

Kitab Manaqib ‫المناقب‬

Jilid V Kitab Berbagai Keutamaan ‫أحاديث األنبياء‬


Shahabat- Shahabat Nabi

Kitab Perang ‫المغازي‬

‫تفسري القرآن و فضائل‬

Jilid VI Kitab Tafsir ‫القرآن‬

7
Jilid VII Kitab Nikah ‫انالكح‬

Kitab Thalaq ‫الطالق‬

Kitab Nafhah ‫انلفقات‬

Kitab Makanan ‫األطعمة‬

Kitab Akikah ‫العقيقة‬

Kitab Sembelihan- Sembelihan, ‫اذلبائح والصيد‬


Berburu,

dan Membacakan Bismillah atas


Hewan Buruan

Kitab Korban-Korban ‫األضايح‬

Kitab Minuman ‫األرشبة‬

Kitab Musibah Sakit ‫المرىض‬

Kitab Pengobatan ‫الطب‬

Kitab Mengenai Pakaian ‫اللباس‬

Jilid VIII Kitab Adab (Budi Pekerti) ‫األدب‬

Kitab Isti'dzan (Memohon Izin) ‫االستئذان‬

Kitab Do'a-Do'a ‫ادلعوات‬

Kitab Kalimat-Kalimat yang ‫الرقاق‬


Melunakkan Hati

Kitab Ketentuan Allah ‫القدر‬

Kitab Sumpah dan Nadzar ‫األيمان وانلذور‬

8
Kitab Kafarat Sumpah ‫كفارات األيمان‬

Kitab Faraidh (Hukum Waris) ‫الفرائض‬

Kitab Had (Pidana) dan Apa


yang Harus Dihindari dari Had
‫احلدود‬
Kitab yang Menjelaskan Orang-
Orang yang Diperangi Terdiri
dari Orang-Orang Kafir

dan Orang-Orang yang Harus


Diperangi dari

Orang-Orang Murtad sehingga


Mereka Meninggal Dunia

Jilid IX Kitab Diyat (Tebusan ‫ادليات‬


Kejahatan)

Kitab Orang-Orang Murtad dan ‫استتابة المرتدينوالمعاندين وقتالهم‬


Orang-Orang yang Menentang
Diminta Bertaubat,

dan Peperangan terhadap


Mereka

Kitab Pemaksaan ‫اإلكراه‬

Kitab Helah (Upaya ‫احليل‬


Tersembunyi)

Kitab Tafsir Mimpi ‫اتلعبري‬

Kitab Fitnah-Fitnah ‫الفنت‬


(Ujian/Siksaan)

Kitab Hukum-Hukum ‫األحاكم‬

Kitab Harapan Jauh (Angan- ‫اتلمين‬

9
Angan)

Bab yang datang dalam


melangsungkan (kebolehan)
hadits ahad yang benar dalam ‫أخبار اآلحاد‬
(masalah) adzan, shalat, puasa,
fardlu-fardlu (yang lain) dan
hukum-hukum

Kitab Berpegang kepada Qur'an ‫االعتصام بالكتاب والسنة‬


dan

Sunnah

Kitab Tauhid ‫اتلوحيد‬

Sistematika pembagian kitab dan bab yang dipakai Imam Bukhari sangat
sistematis sehingga memudahkan bagi kaum muslimin khususnya kaum Sunni untuk
menggunakannya sebagai referensi yang utama dalam kehidupan mereka.

5. Metode Penyusunan Kitab


Dalam menyusun kitab Shohih Bukhori, Imam Bukhori sangat berhati-hati.
Menurut al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhori berkata
“saya susun kitab al-Jami’ as-Shahih ini di masjid haram, Mekkah dan saya tidak
mencantumkan sebuah hadispun kecuali sesudah shalat istikharah dua rokaat
memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis ini
benar-benar shahih”.11
Setelah ia menulis mukaddimah dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah al-
Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah di Masjid Nabawi di Madinah.
Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadis dan menempatkannya dalam
bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut

11 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari, PDF. 29
10
dengan cermat tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara
ilmiah dan cukup modern sehingga hadis-hadisnya dapat dipertanggungjawabkan.12
Tidak semua hadis yang di hafal oleh Imam Bukhori kemudian langsung
diriwayatkan, melainkan terelebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadis tersebut bersambung dan apakah
perawi (periwayat/pembawa) hadis itu terpercaya dan tsiqah (kuat). Banyak para
ulama atau perawi yang ditemui sehingga Imam Bukhori banyak mencatat jati diri
dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapat keterangan yang lengkap
mengenai sebuah hadis, mengecek keakuratan sebuah hadis, ia berkali-kali
mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri-negeri yang
jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz.13
Dengan sungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kreadibilitas para
perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan kesahhihan hadis yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadis satu dengan hadis yang lainnya,
memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling
shahih. Dengan demikian, kitab hadis susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi
batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadis lainnya. “saya tidak memuat
sebuah hadispun dalam kitab ini kecuali hadis-hadis shahih”, katanya
suatu saat.14
Berpedoman pada ungkapan tersebut, dapat penulis katakan bahwa Imam
Bukhari merupakan seorang yang jenius dan cerdas. Beliau diusia muda telah
menunjukan kesukaannya kepada ilmu hadits. Dalam menghimpun hadits-hadits
shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah
penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya
dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti

12 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari, PDF. 29
13 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari, PDF. 28
14 ebook-ringkasan-kitab-hadist-shahih-imam-bukhari, PDF, 29

11
dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan
hadits-hadits yang diriwayatkannya.

6. Karakteristik dan Keistimewaan kitab


Kedudukan hadits dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah
berkonsesus dasar hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah (al-Hadits). Kitab
shahih Imam Bukhari telah memperoleh penghargaan tertinggi dari para ulama.
Terhadap kitab ini, para ulama telah memberikan pernyataan bahwa Shahih al-
Bukhari adalah satu- satunya kitab yang paling shahih sesudah al-Qur’an.15 Kitab
Shahih Imam Bukhari diterima (qabul) oleh para ulama secara aklamasi di setiap
masa dan banyak sekali keistimewaan kitab Imam Bukhari yang diungkapkan oleh
para ulama, diantaranya:16 Imam al-Tirmidzi berkata: “Aku tidak melihat dalam ilmu
’Ilal (cacat yang tersembunyi dalam hadits) dan para tokoh hadits seorang yang lebih
mengetahui dari Al-Bukhari.” Ibn Khuzaimah berkata: “Aku tidak melihat di bawah
kolong langit sesorang yang lebih mengetahui hadits Rasulullah SAW dan yang lebih
hafal daripada Muhammad bin Ismail Al- Bukhari.”Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata:
“Dia adalah kitab Islam yang paling agung setelah kitab Allah.”
Di antara kelebihan daya ingat (dhabith) dan kecerdasan Imam Bukhari
mampu mengembalikan dan menerapkan kembali 100 pasangan sanad hadits dan
matan yang sengaja diacak (hadits maqlub) oleh 10 ulama baghdad dalam rangka
menguji kapabilitas daya ingat dan intelektual Imam Bukhari dalam periwayatan
hadits. Semua itu dapat dijawab oleh Imam Bukhari dengan lugas dan dikembalikan
sesuai dengan proporsinya semula. Para ulama yang mengambil hadits dari Imam
Bukhari banyak sekali di antaranya yang sangat populer adalah Al-Tirmidzi, Imam
Muslim, An-Nasai, Ibrahim bin Ishaq al-Hurri, Muhammad bin Ahmad Ad-Daulabi,
Manshur bin Muhammad al- Bazdawi. Imam Bukhari meninggal dunia 1 Syawal 256

15 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 257
16 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzam, 2008), 259

12
H/31 Agustus 870 M pada hari jum’at malam sabtu malam Hari Raya Idul Fitri dalam
usia 62 tahun kurang 13 hari di Samarkand.17

B. Hadis Dalam Pandangan Sunni


Di kalangan Sunni, hadis meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, baik
fisik dan akhlak, dan perilaku Nabi.18 Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni ini,
memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw.,
sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Dengan demikian apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan
dasar hukum dan sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak
bersumber langsung dari Nabi bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib
diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber
ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis
menurut Sunni hanya Nabi Muhammad saw.
1. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni
Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal
wafat nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu
bukan berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan
riwayat yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga
yang menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka
maksud ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara
resmi atas perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk
menulis ayat-ayat al-Qur’an.
Terdapat beberapa sahabat terhormat –berdasarkan suatu riwayat- telah
menulis hadis semenjak Nabi masih hidup. Di antara mereka itu adalah Abdullah

17
Khon, Ulumul Hadits, 295

18
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj. Agus Suyadi
Raharusun dan Dede Rodin (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 21.

13
bin ‘Amr bin al-‘Ash, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar al-Shiddiq, al-Dlahak bin
Sufyan, Anas bin Malik, Rafi’ bin al-Khadij, ‘Amr bin Hazm, Abu Hurairah, al-
Barra’ bin ‘Azib, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Abdullah bin ‘Umar, al-Nu’man bin
Basyir, Sulaiman bin Samurah, dan lain-lain.19
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara
resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).20
Untuk mewujudkan niatnya, ia mengirimkan instruksi kepada seluruh gubernur
untuk mengumpulkan hadis di wilayahnya masing-masing. Secara khusus ia juga
mengirim instruksi tersebut kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Muhamman
ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada padanya dari
‘Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari, murid ‘Aisyah.
Instruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim
bin Syihab al-Zuhri. Ibn Syihablah orang pertama yang memenuhi intruksi
tersebut, sehingga ia dikenal sebagai orang yang pertama melakukan kodifikasi
hadis. Gagasan tentang pembukuan hadis sebelumnya pernah terpikirkan oleh
‘Umar bin Khatthab dan sudah mendapat persetujuan dari sebagian besar
sahabat. Namun kemudian beliau membatalkan rencana tersebut21. Secara tidak
langsung, apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz adalah sesuatu yang
pernah direncanakan oleh Khalifah sebelumnya.
Karya-karya al-Zuhri memang tidak sampai ke tangan kita era sekarang.
Namun secara luas, para ulama menukilkan dalam berbagai kitabnya, bahwa
karya al-Zuhri adalah karya yang merintis pengkodifikasian hadis, yang

19
Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak ‘Ala al-
Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij al-Mustadrak juz V (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1998), cet. 1, hlm. 483-484.
20
Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, (Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959), hlm. 204.
21
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977),
hlm. 39-40.

14
merupakan kategori kodifikasi murni. Periode pasca Ibnu Hazm dan al-Zuhri,
muncul pula para ulama di beberapa kota yang juga melakukan upaya-upaya
serupa, seperti para ulama di Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Syam, Yaman,
Wasith, Khurasan, dan Mesir hingga lahirnya kutub al-Sittah: Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan An-Nasai.22
2. Beberapa literatur hadis di kalangan Sunni
Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis
kutub al-Sittah. Berikut akan dijelaskan masing-masing secara singkat.
a. Sahih Bukhari
Penyusunnya bernama Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fy al-Bukhari. Lahir pada 13 Syawal
194 H, dan wafat pada 30 Ramadhan 256 H, dalam usia 62 tahun kurng 13
hari.
Menurut pengakuannya sendiri, al-Bukhari pernah berguru kepada
1080 guru atau syeikh, yang terdiri dari berbagai generasi/thabaqah.23
Mereka itu antara lain Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah,
Qutaibah bin Sa’id, Makki bin Ibrahim, Abdullah bin Musa, Sa’id bin Abi
Maryam, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain. Predikat Amir al-Mu’minin
dalam bidang hadis yang disandangnya, mencerminkan betapa tinggi
kedudukan al-Bukhari di mata ulama.
Kitab Sahih Bukhari, yang nama aslinya ialah, “al-Jami’ al-Musnad
al-Shahih al-Mukhtashar Min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanihi wa

22
Abd al-Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tarikhiha, (Kairo: Dar al-Khithab al-
‘Arabi, 1967), hlm. 60.
23
Ibnu Hajar al-‘Asqalany telah membagi guru-guru al-Bukhari dalam 5 thabaqah, yaitu
thabaqah pertama, terdiri dari kelompok tabi’in. Thabaqah kedua, terdiri dari orang-orang yang hidup
bersama tabi’in, tetapi tidak pernah mendengar hadis dari tabi’in terpercaya. Thabaqah ketiga, terdiri
dari atba’ al-tabi’in generasi pertama. Thabaqah keempat terdiri dari teman-teman senioar al-Bukhari
sendiri. Dan thabaqah kelima, terdiri dari teman-teman yuniornya. Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalani,
Hadyu al-Sariy, hlm. 670-671.

15
Ayamih,” menurut pengakuan penulisnya dikerjakan selama 16 tahun.
Sistematikanya dibuat di kota Makkah, sedangkan hadis-hadis
pendukungnya ditulis di Raudlah (Masjid Nabawi Madinah). Setiap
hendak menulis hadis, diawali dengan shalat sunat 2 raka’at. Kitab ini
merupakan salah satu karya monumental al-Bukhari.
Menurut hitungan Ibnu al-Shalah, kitab Sahih al-Bukhari memuat
hadis sebanyak 7265 buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya.
Jika tidak termasuk yang diulang-ulang penulisannya, maka jumlah
hadisnya ada 4000 buah. Berbeda dengan hitungan Ibnu al-Shalah ialah
hitungan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Menurut hitungan Ibnu Hajar, jumlah
hadis yang ada pada kitab al-Bukhari (termasuk yang diulang-ulang
penulisannya) ada sebanyak 9082 buah hadis.24 Betapapun diakui oleh
Ulama hadis bahwa didapati sejumlah hadis yang mu’allaq, namun
berdasar pengakuan penulisnya, semua hadis yang tertulis pada kitab
sahih-nya, adalah sahih adanya. Menurut Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi,
kitab Sahih al-Bukhari terbagi dalam 97 kitab, dan terbagi dalam 3450
bab, diawali dengan kitab Bada’ al-Wahyi dan diakhiri dengan kitab al-
Tauhid.25

b. Sahih Muslim
Nama penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin
Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, lahir pada tahun 206 H, dan wafat pada
25 rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.

24
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto: Penerbit STAIN
Purwokerto Press, 2010), hlm. 314.
25
Jumlah hitungan kitab dan bab menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, tidak berbeda
dengan hitungan yang dikemukakan oleh al-Hamuwi. Lihat Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi Hajah al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari (Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tth).

16
Seusai belajar agama kepada ulama di negerinya, pada tahun 218 H,
Muslim bin al-Hajaj mulai belajar hadis, kemudian melanjutkan
kegemaran belajarnya ke berbagai wilayah negeri. Untuk itu, Muslim
mengadakan perlawatan ke berbagai wilayah negeri, seperti Baghdad,
berulang kali. Kunjungan terakhirnya ke Baghdad pada 259 H. Negeri-
negeri lain yang dikunjunginya ialah Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, dan
Khurasan.
Al-Jami’ al-Shahih merupakan karya puncak Muslim bin al-Hajaj,
nama atau judul aslinya ialah, “al-Hadits al-Shahih al-Mujarrad al-
Musnad Ila Rasulillah saw,” merupakan salah satu dari 12 karya Muslim.
Kitab ini ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadis sebanyak 12.000
buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk
yang diulang-ulang penulisannya, maka hadisnya hanya 4.000 buah hadis
saja. Hadis sebanyak itu merupakan hasil seleksi dari 300.000 hadis yang
berhasil dihafalnya.
Seperti halnya kitab Sahih al-Bukhari yang berdasar pengakuan
penulisnya, tidak dimasukkan ke dalamnya kecuali yang sahih. Kitab
Sahih Muslim pun demikian adanya. Muslim pernah berkata, “Tidak
kumasukkan ke dalam kitabku ini kecuali yang sahih dan telah
disepakati.” Disusun dengan menggunakan sistem mushannaf, dalam 54
kitab. Pada awalnya kitab Sahih Muslim tidak terbagi dalam bab demi
bab, sebab penyusunnya hanya mengumpul berbagai hadis yang
membahas satu tema, pada judul yang satu pada tempat yang satu. Para
pen-syarah-nya yang telah membaginya dalam bab demi bab. Diawali
dengan kitab al-Iman dan diakhiri dengan kitab al-Tafsir.26

26
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 320-323.

17
c. Sunan Abi Dawud
Nama lengkap penyusunnya adalah Sulaiman bin al-Asyi’ats bin Ishaq
bin Basyir bin Syadad bin ‘Amer bin ‘Umran Abu Dawud al-Azdiy al-
Sijistani, lahir di Sijistan, salah satu desa di negeri Bashrah pada 202 H.
karena itu ia disebut al-Sijistani. Wafat di Bashrah pada hari Jumat tahun
275 H.
Sampai berumur 21 tahun Abu Dawud bermukim di Baghdad, untuk
mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang berhubungan
dengan agama Islam. Sesudah merasa cukup, Abu Dawud meneruskan ke
berbagai madrasah (hadis) yang berada di berbagai wilayah negeri, seperti
Hijaz, Syam, Mesir, Iraq, Kufah, Khurasan, dan Tarsus.
Kitab Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari 9 karya Abu
Dawud. Menurut pengakuan penulisnya, Sunan Abu Dawud memuat hadis
sebanyak 4800 buah hadis, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis
yang dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya
Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, jumlah hadis kitab Sunan Abu
Dawud ada 5274 buah hadis. Selisih perhitungan sangat boleh jadi terjadi
lantaran adanya hadis yang ditulis berulang, oleh seorang ulama
dihitungnya sebagai satu hadis, dan oleh ulama lainnya dihitung lebih dari
satu.
Hadis sebanyak 5274 telah disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab,
yang masing-masing kitab terbagi lagi dalam banyak bab, kecuali tiga
kitab yang tidak terbagi dalam bab, yaitu kitab al-Luqathah, kitab al-
Huruf wa al-Qira’at, dan kitab al-Mahdi. Jumlah babnya ada 1871 bab.27

27
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 324-327

18
d. Sunan al-Turmudzi
Nama lengkap penyusunnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin
Saurah bin Musa bin al-Dlahak al-Sulaimi al-Dlarir al-Bughi al-Turmudzi,
lahir 209 H dan wafat pada hari Itsnain tanggal 13 Rajab 279 H.
Dikenal sebagai hafizh, sekaligus pengarang kitab. Ketika dalam
proses pembelajaran hadis, banyak mengunjungi berbagai wilayah negeri
seperti Khurasan, Irak, Hijaz, dan sebagainya.
Sunan al-Turmudzi ada juga yang menyebutnya al-Jami’ al-Turmudzi,
dan malah ada juga yang menyebut al-Jami’ al-Shahih, sebagaimana
dilakukan oleh al-Jalabi (pengarang kitab Kasyf al-Zhanun) dan juga
Muhammad Syakir, merupakan salah satu karya terbaik al-Turmudzi.
Mengenai jumlah hadisnya, para pengulas seperti Muhammad Abu
Syahbah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, tidak menyebutnya. Sementara itu
al-Turmudzi pun tidak menginformasikan kepada kita berapa jumlah hadis
yang berhasil dihimpun dalam kitabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh
Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawudnya.
Barangkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tetapi
itulah kenyatannya, berdasarkan praktis operasional ditemukan nomor
akhir hadis al-Turmudzi dalam kitab Sunan al-Turmudzi wa al-Jami’ al-
Shahih yang telah ditashih oleh ‘Abd al-Rahman Muhammad Usman,
menunjuk angka 4107.
Betapapun ketika kitab Sunan al-Turmudzi disampaikan kepada ulama
Hijaz, Irak, dan Khurasan, menurut pengakuan penyusunnya mereka sama
ridla dan menganggap bagus (membaguskannya). Akan tetapi,
berdasarkan berbagai komentar ulama, dalam Sunan al-Turmudzi
ditemukan berbagai macam hadis, baik yang sahih, hasan, dhaif, dan
bahkan ada yang mungkar. Menurut Fuad Muhammad ‘Abd al-Baqi,

19
hadis-hadis Sunan al-Turmudzi sebagaimana tersebut di atas, terbagi
dalam 46 kitab dan 2114 bab.28
e. Sunan al-Nasa’i
Kitab kelima dari kutub al-Sittah ini disusun oleh Abu ‘Abd al-Rahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasai. Lahir di desa
Nasa’, sebuah desa di Khurasan pada Tahun 215 H, dan wafat di Makkah
tahun 303 H.29
Judul asli kita yang sedang kita bicarakan adalah al-Mujtaba’ atau al-
Mujtama’ Min al-Sunan, merupakan hadis hasil seleksi dari hadis-hadis
yang ada pada kitab Sunan al-Kubra, karya al-Nasa’i sendiri. Hadis
pilihan yang dianggapnya sahih tersebut kemudian dibukukan dalam kitab
yang kemudian disebut Sunan al-Sughra.
Walaupun kitab ini merupakan kumpulan (5761 buah) hadis-hadis
pilihan dari Sunan al-Kubra, ternyata masih tersimpan di dalamnnya
beberapa hadis (walau hanya sedikit) yang dikritik oleh kritiks hadis.
Dengan alasan kitab ini sedikit sekali memuat hadis dhaif, ada ulama yang
menempatkan Sunan al-Nasa’i ini menjadi kitab ketiga setelah Sahih al-
Bukhari dan Sahih Muslim (ketiga dalam jajaran kutub al-sittah).30

28
Uraian mengenai al-Turmudzi dan kitab sunannya, merujuk kepada Muhammad Abu
Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah (Mesir: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah al-
Azhar, 1969 M), hlm. 116-126.
29
Diperkirakan kampung kelahiran Ahmad bin Syu’bah disebut al-Nasa’, terambil dari
kalimat al-Nisa (perempuan), sebab desa tersebut ketika diserang oleh lascar Muslimin, semua
penduduk laki-lakinya telah meninggalkan tempat, tinggallah yang perempuan-perempuan saja. Al-
Nasa’i sering disebut-sebut mati syahid lantaran siksaan orang-orang Mu’awiyah terhadap diri al-
Nasa’I sebagai akibat ketidakmauannya memenuhi permintaan Mu’awiyah agar disusunkan suatu kitab
yang berisikan keutamaan Mu’awiyah.
30
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 337-341.

20
f. Sunan Ibnu Majah
Nama penulis kitab keenam dari kutub al-Sittah ini adalah Muhammad bin
Yazid Abu Abdillah bin Majah al-Qazwini al-Hafiz, lahir di Qazwin
(suatu kota di Irak) pada 209 H, dan wafat pada hari Senin dan baru
dikubur pada hari Selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H. Sejak kecil sudah
belajar hadis, dan untuk keperluan belajar hadis, Ibnu Majah sering
mengunjungi berbagai negeri, seperti Mesir, Hijaz, Syam, Bashrah, Ray
dan Baghdad.
Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar dari banyak karya Ibnu
Majah. Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis, tersebar dalam 1500 bab.
Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir merupakan
kitab yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang Fiqih- hanya
saja di dalamnya ditemukan banyak hadis dhaif, dikatakan jumlahnya
sampai 1000 buah hadis, bahkan ada juga yang mungkar dan juga
beberapa maudhu’. Karena saking banyaknya yang dhaif, sampai-sampai
al-Mizziy berkata, “Jika Ibnu Majah bersendiri dalam meriwayatkan hadis
dari yang al-Khamsah, maka hadisnya adalah dhaif.”
Sunan Ibnu Majah terbagi dalam 32 kitab dan 1500 bab- demikian
menurut penulisnya- dengan menggunakan metode penyusunan kitab
Fiqih. Atau terbagi dalam 37 kitab, dalam 1511 bab, demikian menurut
pengamatan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.31
Demikian gambaran global kitab-kitab hadis mu’tamad di
kalangan Sunni .
Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun masing-masing kitab dari
kalangan Sunni kitab sandaran hadis bagi penganutnya, namun hadis-
hadis yang ada di dalamnya terdapat sekian banyak hadis yang masih

31
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, 342-344.

21
diperselisihkan kualitas kesahihannya yang dikritisi oleh ulama hadis
masing-masing.

3. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni


Yang dimaksud dengan klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang
digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas
dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat
sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua
aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis
antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat
dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Dalam hal ini, metode
yang dipakai oleh ulama Sunni adalah:
a. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan
sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat,
bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya
sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab.
Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih
meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua
orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek
kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:
1. Hadis Mutawatir
Konsep mutawatir ini baru dikemukakan secara definitif oleh al-
Baghdadi, meskipun ulama sebelumnya, seperti al-Syafi’i telah
mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah“. Menurut al-
Baghdadi, hadis mutawatir adalah “suatu hadis yang diriwayatkan

22
oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut
kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.32 Sedangkan ulama
yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah al-
‘Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah “hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan,
mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta dan merekalah yang
meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir sanad.” Jadi
berdasarkan definisi ini, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir
ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama
lainnya.
2. Hadis Ahad
Menurut al-Thahhan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis mutawatir.33 Senada dengan definisi al-Thahhan
tersebut, menurut al-Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak
memenuhi syarat mutawatir.34 Dengan demikian bahwa semua hadis
yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir
dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga bagian,
masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir.35 Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini
tidak semuanya berkualitas sahih, karena jumlah perawi yang
demikian belum tentu menjamin kesahihannya kecuali disertai sifat-

32
Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.
33
Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987),
hlm. 21.
34
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah,
tt.) hlm. 98
35
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 99
23
sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya sahih. Dengan
demikian hadis masyhur dapat dikelompokkan kepada yang
berkualitas sahih, hasan, dan dha’if.
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari
dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi.36 Hadis ‘aziz ini bisa
dinilai sahih, hasan maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan
matannya, setelah dilakukan penelitian terhadapnya.
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi
dimanapun hal itu terjadi.37 Artinya bahwa hadis gharib ini tidak
disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau
generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu
orang perawi.
b. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup
hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat
bahwa hadis mutawatir seluruhnya bernilai sahih. Dalam hal ini, ulama
hadis membagi kualitas hadis pada tiga bagian, yakni sahih, hasan, dan
dha’if.
1. Hadis Sahih
Subhi Shalih mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis musnad, yakni
hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil
dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah
saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat.38 Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadis sahih adalah hadis yang
memenuhi syarat yang berupa kebersambungan sanad dalam

36
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101.
37
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101
38
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 145.
24
periwayatan hadis, para perawinya adil, para perawinya harus dhabit,
kemudian terhindar dari syadz (kerancuan) dan kecacatan (‘illat).
2. Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh
periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta
terhindar dari syadz dan ‘illat.39 Perbedaan prinsip antara hadis sahih
dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis sahih
perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan,
kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itulah kualitas
hadis hasan diposisikan di bawah hadis sahih.
3. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-
syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan. Misalnya, sanadnya
ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak
dikenal, dan lain-lain.
Namun secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal
dalam Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang
dibagi menjadi tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if.
4. Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni
Sunni menempatkan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai
sumber referensi atau pandangan hidup. Al-Qur’an adalah peraturan atau
undang-undang yang komprehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah
asasi Islam: ideologi, ibadah, etika, muamalat, dan sopan-santun. Adapun
hadis berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh
kandungan al-Qur’an. Dengan demikian, hukum serta arahan yang
ditunjukkan hadis mesti diikuti dan ditaati.40 Logikanya, apabila taat

39
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.
40
Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm. 70.
25
kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kewajiban, demikian pula kepada
apa saja yang disampaikan Nabi tentang al-Qur’an. Penjelasan seperti ini
dapat ditemukan dan dipahami melalui al-Qur’an, hadis itu sendiri,
konsensus ulama, serta akal dan penalaran umat manusia.

Penutup
a. Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat nara
sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan berarti
bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan riwayat yang
menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga yang menulis
hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud ungkapan
hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas perintah
Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk menulis ayat-ayat al-
Qur’an.Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara
resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).
b. Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis kutub al-
Sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah,
dan an-Nasa’i.
c. Secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam Sunni adalah
pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi tiga
tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if. Hadis sahih menurut sunni adalah hadis yang
bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal
hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya,
tanpa adanya syadz dan ‘illat.
d. Sunni menempatkan Hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber
hukum.

26
Daftar Pustaka

Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak ‘Ala


al-Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij
al-Mustadrak juz V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998.

Abd al-Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tarikhiha, Kairo: Dar al-


Khithab al-‘Arabi, 1967.

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan
diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin, Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-
Matbu’at, 1990.

Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-
Najashi, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418.

Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan


Fiqih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Purwokerto: Penerbit
STAIN Purwokerto Press, 2010.

Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.

Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3, Beirut: Dar
al-Ta’aruf, 1971.

Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959.

Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Kairo: t.tp., 1972.


I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq,
Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-
Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon


Answers terj. Dan ed. Robert D. Lee, Colorado: Westview Press, Inc., 1994.
Muhammad Tijani al-Samawi, Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi, terj. Wahyul Mimbar,
Iran: Muassah ‘an Sariyan, 2000.
27
Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of religion, Vol. 6 , New York: Macmilian
Publishing Company, 1997.

Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi Hajah
al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.

Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, Mesir:


Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar, 1969 M.

Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,


1987.

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, Kairo: Maktabah


Wahbah, tt.

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,


1977.

Sa’dullah Al-Sa’di, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta: Grafiti Press,
1989.
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj. Agus
Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

28

Anda mungkin juga menyukai