Anda di halaman 1dari 26

PELAKSANAAN PROGRAM KKN

DI DESA SEPPORRAKI KECAMATAN BULO

KABUPATEN POLEWALI MANDAR

LAPORAN INDIVIDU

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir


Pelaksanaan Program Kuliah Kerja Nyata

Oleh :

Lisda Alvita, S.Kep


P.17.010

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
STIKES BINA GENERASI POLEWALI MANDAR
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN PENYAKIT GASTRITIS
DI DESA SEPPORRAKI KECAMATAN BULO
KABUPATEN POLEWALI MANDAR

OLEH :
LISDA ALVITA, S.KEP
P.17.010

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
STIKES BINA GENERASI POLEWALI MANDAR
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
KONSEP PENYAKIT DIABETES MELLITUS

A. Defenisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti ―mengalirkan atau
mengalihkan‖ (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang
bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan
individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar
glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative
insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009). Gastritis berasal dari kata
gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan.
Gastritis atau yang secara umum dikenal dengan sakit “maag” atau sakit ulu
hati adalah peradangan dinding lambung terutama pada selaput dinding
lambung (Gustin, 2017).
Diabetes Mellitus atau sering disebut dengan kencing manis
adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi
insulin), dan di diagnosa melalui pengamatan kadar glukosa di dalam
darah. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kalenjar pankreas
yang berperan dalam memasukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh
untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2017).
Diabetes Mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari
kerja dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada pasien
diabetes mellitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan,
kesemutan (Restyana, 2015).
Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolisme yang termasuk
dalam kelompok gula darah yang melebihi batas normal atau
hiperglikemia <120 mg/dl atau 120 mg% (Suiraoka, 2012).
Diabetes Melliyus tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam
tubuh tidak terkontrol akibat gangguan sensitivitas sel beta (β) pankreas
untuk menghasilkan hormon insulin yang berperan sebagai pengontrol
kadar gula darah dalam tubuh (Dewi, 2014).
Pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi kualitas insulinnya
buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk
memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya glukosa dalam darah
meningkat. Kemungkinan terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2 adalah bahwa
sel-sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten
terhadap insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan
akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2007).

B. Etiologi
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015) etiologi diabetes mellitus, yaitu :
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI) tipe 1
Diabetes yang tergantung pada insulin diandai dengan
penghancuran sel-sel beta pancreas yang disebabkan oleh :
a. Faktor genetik : Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I
itu sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan
genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik
ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA
(Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen
yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun
lainnya.
b. Faktor imunologi : Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya
suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana
antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas,
sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat
menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) Disebabkan oleh
kegagalan telative beta dan resisten insulin. Secara pasti penyebab dari
DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik diperkirakan memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Melitus tak
tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang
kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran
sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel.
Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi
memadai untuk mempertahankan euglikemia.
Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak
tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent diabetes
Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-
bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang
dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak. Faktor
risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik Hasil pemeriksaan glukosa dalam 2 jam pasca
pembedahan dibagi menjadi 3 yaitu :
1) < 140 mg/dL → normal
2) 140-<200 mg/dL → toleransi glukosa terganggu c) > 200 mg/dL →
diabetes.
C. Manifestasi Klinis
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit
Diabetes Mellitus diantaranya:
1. Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai
gejala Diabetes Mellitus dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif
tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan
berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran
urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin
yang dikeluarkan mengandung glukosa (PERKENI, 2011).
2. Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena
kadar glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon
untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti, 2009).
3. Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut
disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis
sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI,2011).
4. Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan
karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak
sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).

D. Patofisiologi
Menurut (Corwin, EJ. 2009), Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe
satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa
terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah
cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa
yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin
(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam
urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam
keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa
yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari
asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut
menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-
tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas
berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan
kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan
akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi
gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan
kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II.
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel
ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe
II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes
tipe II.
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa
yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka
awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama
sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra
glukosanya sangat tinggi).
E. Pathway

Infeksi Mukosa Lambung Gangguan difus barier mukosa Stimulan nervus vagus

Peningkatan asam lambung

Iritasi mukosa lambung

Peradangan mukosa lambung

Peradangan mukosa lambung

hiperemis ansietas Nyeri akut hipotalamus

Atropi gaster/mukosa Ketidakmampuan


menipis mengenal penyait

Aktivitas lambung meningkat


Kehilangan fungsi kelenjar Kurang pengetauan
fundus
Asam lambung meningkat

Faktor intrinsik Kontrksi otot lambung

Penurunan volume darah Masukan nutrient inadekuat Anoreksia, mual dan munth

Penurunan suplay 02 ke Masukan cairan tidak


Perubahan nutrisi kurang dari
jaringan adekuat / keilangan cairan
kebutuhan

Kelemahan fisik
Resiko kekurangan volume
cairan
Toleransi aktivitas
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai
macam pemeriksaan, diantaranya (Yuliarti dan Nurheti, 2009):
1. Tes darah
Dokter biasa meminta pasien untuk melakukan cek darah untuk
melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil tes
yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak
dengan bakteri Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan
tersebut bukan berarti seseorang telah terinfeksi Helicobacter pylori. tes
darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya anemia yang
mungkin saja disebabkan oleh perdarahan yang disebabkan karena
gastritis.
2. Breath test
Tes ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk
mengetahui apakah ada infeksi Helicobacter pylori (bakteri penyebab
gastritis) dalam tubuh seseorang.
3. Stool test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam
sampel tinja seseorang. Hasil tes yang positif menunjukkan orang tersebut
terinfeksi Helicobacter pylori. Biasanya dokter juga menguji adanya darah
dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan dalam lambung karena
gastritis.
4. Endoskopi\
Endoskopi dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada
lambung yang mungkin tidak dapat dilihat dengan sinar X.
5. Rontgen
Rontgen bertujuan untuk melihat adanya kelainan pada lambung
yang dapat dilihat dengan sinar X. Agar dapat dilihat dengan jelas
biasanya penderita diinjeksi terlebih dahulu dengan bubur barium.
6. Penatalaksanaan
Pada klien yang mengalami mual dan muntah anjurkan pasien
untuk bedrest, status NPO (Nothing Peroral), pemberian antiemetik dan
pasang infuse untuk mempertahankan cairan tubuh klien. Pasien biasanya
sembuh spontan dalam beberapa hari. Bila muntah berlanjut perlu
dipertimbangkan pemasangan NGT. Antasida diberikan untuk mengatasi
perasaan begah dan tidak enak di abdomen dan menetralisir asam
lambung dengan meningkatkan pH lambung sekitar 6. Antagonis H2
(seperti ranitidin, rantin dan simetidin) dan inhibitor pompa proton (seperti
omeprazole atau lansoprazole) mampu menurunkan sekresi asam
lambung. Antibiotik diberikan bila dicurigai adanya infeksi oleh helicobacter
pylori.
Kombinasi dua atau tiga antibiotik dapat diberikan untuk
mengeradikasi helicobacter pylori (seperti clarithromycin dan amoksisilin)
(Hirlan, 2009). Bila telah terjadi perdarahan akibat erosi mukosa lambung
maka perlu dilakukan transfusi darah untuk mengganti cairan yang keluar
dari tubuh dan dilakukan lavage (bilas) lambung. Bila tidak dapat dikoreksi
maka pembedahan dapat menjadi alternatif. Pembedahan yang dapat
dilakukan pada klien dengan gastritis adalah gastrectomi parsial, vagotomi
atau pyloroplasti. Injeksi intravena cobalamin dilakukan bila terdapat
anemia pernisiosa. Fokus intervensi keperawatan adalah bagaimana
mengevaluasi dan mengeliminasi faktor penyebab gastritis antara lain
anjurkan klien untuk tidak mengkonsumsi alkohol, kafein, teh panas, atau
zat iritan bagi lambung serta merubah gaya hidup dengan pola hidup
sehat dan meminimalisasi stress (Suratun dan Lusianah 2010).
Discharge planning (perencanaan pulang) untuk pasien dengan
gastritis (NANDA NIC-NOC, 2013) :
1. Hindari minuman alkohol karena dapat mengiritasi lambung sehingga
terjadi implamasi dan perdarahan.
2. Hindari merokok karena dapat mengganggu lapisan dinding lambung
sehingga lambung menjadi lebih mudah mengalami gastritis dan
tukak/ulkus. Dan rokok dapat meningkatkan asam lambung dan
memperlabat penyembuhan tukak.
3. Atasi stres sebaik mungkin
4. Makan makanan yang kaya akan buah dan sayur, namun hindari sayur
dan buah yang asam (misal; jeruk, lemon, grapefruit, nanas, tomat).
5. Jangan berbaring setelah makan untuk menghindari refluks (aliran
balik) asam lambung.
6. Berolaraga secara teratut untuk membantuh mempercepat aliran
makanan melalui usus.
7. Bila perut mudah mengalami kembung (banyak gas) untuk sementara
waktu kurangi konsumsi makanan tinggi serat.
8. Makan dalam porsi sedang (tidak banyak) tetapi sering berupa
makanan lunak dan rendah lemak. Makanlah secara perlahan dan
rileks
DOKUMENTASI :
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTK DENGAN PENYAKIT GASTRITIS
DI DESA SEPPORRAKI KECAMATAN BULO
KABUPATEN POLEWALI MANDAR

OLEH :
LISDA ALVITA
P.17.010

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
STIKES BINA GENERASI POLEWALI MANDAR
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I
KONSEP PENYAKIT REUMATOID ATRITIS

A. Defenisi
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non-bakterial
yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta
jaringan ikat sendi secara simetris (NIC-NOC, 2015).
Menurut Arif Muttaqin, (2012) Rheumatoid artritis adalah penyakit
nonbakteri yang bersifat progesif kronis mengenai sendi lutut dan tidak
diketahui penyebabnya. pada saat ini, rheumatoid artritis di duga disebabkan
oleh faktor autoimun dan infeksi.
B. Etiologi
Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang
dikemukakan mengenai penyebab rheumatoid artritis, yaitu:
1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus nonhemolitikus
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolic
5. Faktor genetik serta faktor pemicu lingkungan pada saat ini, reumatoid
arthritis diduga disebabkan oleh faktor aotoimun dan infeksi.
C. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda peradangan pada sendi tidak menonjol dan timbul
belakangan, mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri
tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan,
antara lain :
1. Nyeri sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.
Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang
lebih dibandingkan gerakan yang lain.
2. Hambatan gerakan sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah
berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku pagi Pada beberapa pasien, nyeri sendi yang timbul setelah
immobilisasi, seperti duduk dari kursi, atau setelah bangun dari tidur.
4. Krepitasi Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi
yang sakit.
5. Pembesaran sendi (deformitas) Pasien mungkin menunjukkan bahwa
salah satu sendinya (lutut atau tangan yang paling sering) secara
perlahan-lahan membesar.
6. Perubahan gaya berjalan Hampir semua pasien Rheumatoid atritis
pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang.
Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang umumnya tua
(lansia). Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
a. Stadium I (Stadium sinovitis) Pada stadium ini terjadi perubahan dini
pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti,
nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium II (Stadium destruksi) Pada stadium ini selain terjadi
kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya
yang ditandai adanya kontraksi tendon.
c. Stadium III (Stadium deformitas) Pada stadium ini terjadi perubahan
secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi
secara menetap.
D. Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor
dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi
virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang
lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek
dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, 7
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-
1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan
stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim
matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013)
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan
dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan
anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG.
Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat
paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75
sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP
didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%)
dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-
CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan
progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang
pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis.
Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi
dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan
antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada
membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus,
yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi,
mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat
mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan
kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis,
penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-
pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy,
2012).
E. Pathway
Reaksi R dengan antibody, faktor metabolik, infeksi
denganecenderungan virus

Atritis Reumatoid

Reaksi peradangan Nyeri akut

Kekakuan sendi Sianoil menebal ansietas

Keterbatasan gerakan
deformitas sendi Kurangnya informasi tentang proses
penyakit

Defisit perawatan Gangguan body image


diri Kurang pengetahuan

Hambatan nutrisi pada kartilago artikularis

Gangguan kartilago dan kerusakan tulang

Tendon dan kartilago

Hilangnya kekuatan otot

Gangguan mobilitas fisi


F. Pemeriksaan Penunjang
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni,2011), menjelaskan
bahwa pemeriksaan penunjang atau diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada
gejala khas Diabetes Mellitus berupa polyuria (peningkatan pengeluaran
urin), polydipsia (peningkatan rasa haus) , polifagia (peningkatan rasa
lapar) dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas, maka pemeriksaan dapat
dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200mg/dl diagnosis
Diabetes Mellitus sudah dapat ditegakkan.
2. Pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126mg/dl juga dapat
digunakan untuk pedoman diagnosis Diabetes Mellitus.
3. Pemeriksaan Hemoglobin A1c (HbA1C) merupakan pemeriksaan
tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang
dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan ini
bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendaliglikemik.
Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien
Diabetes Mellitus. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan
glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya
merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian. Untuk
pasien tanpa gejala khas Diabetes Mellitus, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis Diabetes Mellitus. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu:
a. PemeriksaanGDP≥126mg/dl,GDS≥200mg/dlpadahariyang lain.
b. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200mg/dl.

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan teraputik pada setiap tipe
DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa
terjadi hipoglekemia dan gangguan serius pada pola aktivitaspasien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM (Andarmoyo,
2013), yaitu:
1. Diet
a. Jumlah sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan zat gizi pada
pasien DM adalah :
1) Protein American Diabetes Association (ADA), merekomendasikan
protein yang dikonsumsi pasien diabetes mellitus sebesar 10-20%.
2) Lemak. Asupan lemak yang dibutuhkan 20-25% tapi jika
pasien dengan kadar trigliserida > 1000 mg/dl dianjurkan untuk
diet dyslipidemia tahap II yaitu < 7% energy total dari lemak
jenuh, tidak lebih dari lemak total dan kandungan kolesterol 200
mg/hari.
3) Karbohidrat. Rekomendasi jumlah karbohidrat untuk penderita DM
adalah 60-70% kalori.
4) Serat. Serat yang direkomendasikan pada penderita DM adalah
serat larut dengan jumlah yang dikonsumsi sebesar 20-30%
dari berbagai sumber makanan.
5) Natrium. Asupan natrium pada pasien Diabetes Mellitus sama
dengan yang tidak menderita Diabetes Mellitus yaitu sebesar
tidak lebih dari 300 mg dan pasien hipertensi ringan sampai sedang
dianjurkan 2400 mg natriun perhari.
6) Alkohol. Alkohol diminum oleh penderita Diabetes Mellitus
sebaiknya pada saat makan karena mengakibatkan hipoglikemia.
Tapi jika penggunaan alkohol dikonsumsi dengan jumlah sedang
tidak akan mempengaruhi kadar gula darah jika gula darah
terkontrol.
b. Jadwal Diet Ketat
Pasien Diabetes Mellitus diperlukan jadwal makan yang teratur,
agar terkendali gula darahnya. Jadwal makan itu yaitu makan
pagi, makan siang, makan malam dan snack antara makan
besar. Makan saat lapar porsinya biasanya lebih besar di
bandingkan makan sebelum lapar. Karena itu pasien Diabetes Mellitus
dianjurkan makan sebelum lapar. Jumlah kalori diet DM sesuai
dengan status gizi pasien, berkisar antara 110-2500 kalori.
c. Jenis : boleh dimakan/ tidak Banyak yang beranggapan bahwa
penderita Diabetes Mellitus harus makan makanan khusus,
anggapan tersebut tidak selalu benar karena tujuan utamanya adalah
menjaga kadar glukosa darah pada batas normal. Untuk itu
sangat penting bagi kita terutama penderita DM untuk mengetahui
efek dari makanan pada glukosa darah. Ada beberapa jenis
makanan yang dianjurkan dan jenis makanan yang tidak dianjurkan
atau dibatasi bagi penderita Diabetes Mellitus yaitu :
1) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk penderita Diabetes
Mellitus adalah :
 Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie,
kentang, singkong, ubi dan sagu.
 Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa
kulitnya, susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan.
 Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan
yang mudah dicerna. Makanan terutama mudah diolah dengan
cara dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan dibakar.
2) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk
penderita Diabetes Mellitus adalah :
 Mengandung banyak gula sederhana, seperti gula pasir, gula
jawa, sirup, jelly, buah-buahan yang diawetkan, susu kental
manis, soft drink, es krim, kue-kue manis, dodol, cake dan
tarcis.
 Mengandung banyak lemak seperti cake, makanan siap saji
(fast-food), goreng-gorangan.
 Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin
dan makanan yang diawetkan (Almatsier, 2006).
2. Latihan Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita
Diabetes Mellitus, adalah :
a. Meningkatkan kepekaan insulin (glukosa uptake).
b. Mencegah kegemukan.
c. Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen.
d. Meningkatkan kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL).
e. Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan
merangsang pembentukan glukosa baru.
f. Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena
pembakaran asam lemak menjadi lebih baik
3. Penyuluhan
Penyuluhan yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan
penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang ditimbulkan
dan resikonya, intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara
mengatasi hipoglikemi, olahraga yang teratur dan cara menggunakan
fasilitas kesehatan. Perencanaan diet yang tepat yaitu cukup asupan
kalori, protein, lemak, mineral dan serat. Ajarkan pasien untuk dapat
mengontrol gula darah untuk mencegah komplikasi dan mampu merawat
diri sendiri (ADA, 2016). Penyuluhan tentang DM dapat menggunakan
media leaflet, poster, TV, video, diskusi kelompok, atau alat peraga
lain yang dapat digunakan media untuk penyuluhan.
4. Obat
Obat untuk penderita DM ada obat hipoglikemi oral dan insulin
yang diberikan sesuai kebutuhan. Obat hipoglikemi oral dapat
dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan cara kerjanya yaitu :
a. Pemicu sekresi insulin
Sulfonilurea bekerja meningkatkan sekresi insulin pada otot dan
sel beta pankreas, meningkatkan performance dan jumlah
reseptor insulin pada otot dan sel lemak, meningkatkan efisiensi
sekresi insulin dan potensiasi stimulasi insulin transport karbohidrat ke
sel otot dan jaringan lemak, penurunn produksi glukosa oleh hati,
bekerja melalui alur kalsium sensitive terhadap ATP. Contohnya obat
Khlorpropamid, Glibenklamid, Gliklasid, Glikuidon, Glipsid, Gimepiri
Glinid obat generasi baru tapi cara kerjanya sama dengan
Sulfonilurea. Contoh obatnya Repaglinid dan Nateglinid.
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin Biguamid.
Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan
kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia), dan tidak
menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat ini adalah Metformin dan
Thiazolindion/ glitazon.
c. Penghambat alfa glukosidase/ Acarbose.
Cara kerja obat ini adalah menghambat enzim alfa glukosidase
pada dinding usus halus yang dapat mengurangi digesti
karbohidrat kompleks dan absorbsinya sehingga mengurangi
peningkatan kadar glukosa post prandial. Obat ini hanya
mempengaruhi kadar glukosa pada saat makan dan tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu terjadi pemberian obat
ini yang tepat adalah pada saat makan. Pasien DM yang mendapat
pengobatan suntikan insulin multiple berisiko hipoglikemia, untuk
pencegahannya diperlukan pemantauan gula darah sebanyak
empat kali sehari yaitu sebelum sarapan pagi, sebelum makan
siang, sebelum makan malam, dan sebelum tidur. Pasien yang
mendapat suntikan insulin dengan dosis 1 atau 2 kali perhari,
bertujuan mencegah hipoglikemia dan ketosis, pemantauan kadar
gula darah dilakukan lebih jarang yaitu 1 kali sehari sebelum
sarapan pagi atau sebelum makan malam.
5. Cangkok pankreas
Cangkok pankreas merupakan pencegahan tersier yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kecacatan akibat
DM, pada individu yang telah mengidap DM. pencegahan tersier terdiri
dari tiga tahap, yaitu :
a. Mencegah terjadinya komplikasi.
b. Mencegah komplikasi berkembang dan merusak organ atau jaringan.
c. Mencegah terjadinya kecacatan akibat kegagalan organ atau jaringan
Pendekatan terbaru untuk cangkok adalah segmental dari donor
hidup saudara kembar identik.

H. Komplikasi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang
dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain :
1. Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus
terdapat tiga macam yang berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul
sebagai komplikasi diabetes yang disebabkan karena
pengobatan yang kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar
glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh
sangat menurun sehingga mengakibatkan kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis
dan ketosis (Soewondo, 2012).
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang
ditandai dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum
lebih dari 600 mg/dl (Price & Wilson, 2012).
2. Komplikasi metabolik kronik
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price &
Wilson (2012) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh darah besar
(makrovaskuler) diantaranya:
a. Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
 Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
yaitu: Kerusakan retina mata (Retinopati) Kerusakan retina mata
(Retinopati) adalah suatu mikroangiopati ditandai dengan
kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil (Pandelaki,
2009).
 Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik) Kerusakan ginjal pada
pasien DM ditandai dengan albuminuria menetap (>300
mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik merupakan
penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal.
 Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik) Neuropati diabetik
merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada pasien
DM. Neuropati pada DM mengacau pada sekelompok
penyakit yang menyerang semua tipe saraf (Subekti, 2009).
b. Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien
diabetes yaitu stroke dan risiko jantung koroner.
 Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien Diabetes Mellitus
disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang
terkadang tidak disertai dengan nyeri dada atau disebut
dengan SMI (Silent Myocardial Infarction) (Widiastuti,
2012).
 Penyakit serebrovaskuler
Pasien Diabetes Mellitus berisiko 2 kali lipat dibandingkan
dengan pasien non-Diabetes Mellitus untuk terkena penyakit
serebrovaskuler. Gejala yang ditimbulkan menyerupai gejala
pada komplikasi akut DM, seperti adanya keluhan
pusing atau vertigo, gangguan penglihatan, kelemahan dan
bicara pelo (Smeltzer & Bare, 2008).
 Penyakit Ateroskerosis
Pembuluh darah normal memiliki lapisan dalam yang disebut
endotelium. Lapisan dalam pembuluh darah ini membuat
sirkulasi darah mengalir lancar. Untuk mencapai kelancaran ini,
endotelium memproduksi Nitrous Oksida lokal (NO). NO
berfungsi untuk melemaskan otot polos di dinding pembuluh
dan mencegah sel-sel darah menempel ke dinding. Mekanisme
gangguan ini diduga berpusat di jantung, dan gangguan meningkat
dengan pembentukan plak. Gula darah tinggi, asam lemak
tinggi dan trigliserida tinggi pada diabetes menyebabkan lengket
di dinding endotelium, mendorong proses keterikatan sel yang
menghasilkan reaksi jaringan lokal. Reaksi jaringan lokal
menghasilkan partikel dan sel-sel darah yang berbeda,
menyebabkan penumpukan dan pengerasan di dinding pembuluh
(arteri). Reaksi jaringan lokal ini menghasilkan sebuah plak,
disebut plak aterosklerosis. Pada penderita diabetes, mereka
resisten terhadap tindakan insulin, dengan kata lain tubuh
penderita diabetes kurang sensitif dgn insulin. Akibatnya, efek
stimulasi ini hilang dan mengakibatkan peningkatan
kecenderungan terhadap pembentukan plak aterosklerosis. Plak
pada pembuluh darah ini lah yang nantinya akan menyumbat
pembuluh darah di otak dan mengakibatkan stroke.

Anda mungkin juga menyukai