Anda di halaman 1dari 19

1

Nekrolisis epidermal toksik (NET) dan Sindrom Stevens-Johnson (SJS)


merupakan suatu reaksi mukokutan akut yang mengancam kehidupan ditandai
dengan nekrosis yang luas pada epidermis. Stevens dan Johnson pertama kali
melaporkan dua kasus erupsi kulit diseminata disertai dengan stomatitis erosif dan
cedera pada mata yang berat.1 Pada tahun 1956, Lyell menjelaskan pasien dengan
pengelupasan epidermal sekunder sampai nekrosis dan pertama kali diperkenalkan
sebagai nekrosis epidermal toksik.2 SJS dan NET ditandai oleh keterlibatan kulit
dan membran mukosa. Makula eritematosa, terutama berpredileksi di badan dan
tungkai proksimal, berkembang secara progresif menjadi bula konfluen yang
lunak menyebabkan pelepasan epidermis. Karena kesamaan dalam temuan klinis
dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme, kedua kondisi ini merupakan
varian proses patologi yang identik hanya berbeda dalam persentase permukaan
tubuh yang terkena.3-5 Oleh karena itu lebih baik menggunakan istilah nekrolisis
epidermal toksik untuk keduanya, seperti yang diusulkan oleh Ruiz-Maldonado
(epidermis nekrosis akut diseminata) 6 dan Lyell (Nekrolisis exantematosa).

EPIDEMIOLOGI
Nekrolisis Epidermal (NE) jarang terjadi. Insiden keseluruhan SJS dan
NET diperkirakan masing-masing 1 sampai 6 kasus per juta orang-tahun dan 0,4-
1,2 kasus per juta orang-tahun.8,9 NE dapat terjadi pada semua usia, dengan
peningkatan risiko pada usia setelah dekade keempat, dan rasio jenis kelamin
menunjukkan lebih sering menyerang wanita, dari 0,6 pasien yang terinfeksi
human immunodeficiency virus dan faktor risiko yang lebih rendah pada pasien
dengan penyakit kolagen pembuluh darah dan kanker. l0-12 Keseluruhan Mortalitas
terkait dengan NE adalah 20% - 25%, bervariasi dari 5% - 12% untuk SJS dan
lebih dari 30% untuk NET. Bertambahnya usia, merupakan komorbiditas yang
signifikan, dan tingkat keterlibatan kulit yang lebih besar berkorelasi dengan
prognosis yang buruk.
2

Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah dibuat untuk NE, 13


dan
kegunaannya telah dikonfirmasi oleh berbagai tim. 14,15 skor terbaik diperoleh pada
hari ke 3 perawatan di rumah sakit.l6 (tabel 39-1).
TABEL 39-1. SCORTEN: SISTEM SKORING PROGNOSIS UNTUK
PASIEN DENGAN NEKROLISIS EPIDERMAL
SCORTEN POINT
Faktor prognostik
 Usia> 40 tahun 1
 Denyut jantung> 120 denyut / menit 1
 Kanker atau keganasan hematologi 1
 Daerah tubuh yang terlibat > 10% 1
 Level urea serum > 10 mM 1
 Level bikarbonat serum <20mm 1
 Kadar glukosa serum > 14 mM 1
SCORTEN Rerata Mortalitas (%)
0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
>5 90
Data dari Bastuji-Garin S et al: SCORTEN A Severity-of-illness score for
toxic epdermal necrolysis.J invest Dermato/115:149,2000.

ETIOLOGI
Patofisiologi NE masih belum jelas; Namun, sekarang ditetapkan bahwa
obat merupakan faktor etiologi yang paling penting .17-19 Lebih dari 100 obat yang
berbeda telah dilaporkan sebagai kemungkinan penyebab.17-20 Pentingnya
medikasi menggunakan satu obat dapat menentukan sekitar 70% kasus.21 Studi
retrospektif berbasis populasi atau kasus seri tidak cukup akurat untuk mengukur
risiko obat .22 Sebuah studi kasus-kontrol multinasional menganalisis hubungan
NE dengan obat tertentu dengan epidemiologi ko-faktor lain . 20 Beberapa obat
3

yang menjadi "risiko tinggi" yang terlibat dalam satu setengah dari kasus EN di
Eropa (Tabel 39-2).
TABEL 39-2. MEDIKASI DAN RISIKO NEKROLISIS EPIDERMAL
Resiko Tinggi Resiko Rendah Ragu-ragu Tidak ada bukti
sebgai resiko
 Allopurinol  Asam asetat  Paracetamol
Aspirin
 Sulfamethoxazol NSAID (acetaminophen
Sulfonilurea
e (contoh:diklofena )
Tiazid
 Sulfadiazin k)  Pyrazolone
Diuretik
 Sulfapyridin  Aminopenisilin  Analgesik
Furosemid
 Sulfadoxin  Sefalosporin  Kortikosteroid
Aldacton
 Sulfasalazin  Kuinolon  NSAIDs lainnya
 Karbamazepin  Siklin (kecuali aspirin)  Calcium
 Lamotrigin  Makrolida  Sertralin channel blocker
 Phenobarbital  Angiotensin-
 Phenytoin converting
 Phenylbutazone enzyme
 Nevirapin inhibitors
Oxicam NSAIDs bloker
Thiacetazon  Antagonis
reseptor
Angiotensin II
 Statin
 Hormon
 Vitamin

Obat yang berisiko tinggi diantaranya antibakteri sulfonamid,


antikonvulsan aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi nonsteroidal Oxicam,
Lamotrigin, dan Nevirapin.20-25 Risiko tampaknya terbatas pada 8 minggu pertama
pengobatan. Peningkatan dosis perlahan menurunkan tingkat ruam pada
lamotrigin dan nevirapine.26,27 tetapi tidak ada bukti bahwa hal itu mengurangi
risiko NE.24 oxcarbazepine, turunan 10-keto dari karbamazepin, yang dianggap
merupakan risiko yang lebih rendah, tampaknya bereaksi silang secara signifikan
dengan karbamazepin.28 Banyak obat anti-inflamasi nonsteroid yang diduga
terkait dengan NE, 12,29-30 terutama derivat oxicam dan diklofenak.31
Kasus yang signifikan tetapi risiko jauh lebih rendah juga telah dilaporkan
pada antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenisilin, kuinolon, sefalosporin, dan
tetrasiklin. Peran kortikosteroid dalam meng induksi NE masih belum jelas.
4

Dalam studi kasus-kontrol, kortikosteroid yang ditemukan terkait dengan risiko


relatif yang tinggi, berdasarkan dari penyakit yang mendasari. Peran agen infeksi
dalam terjadinya NE jauh kurang berperan dibandingkan eritema multiforme.
Namun, beberapa kasus NE berhubungan dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi telah dilaporkan. 32,33 Pada beberapa
observasi kasus, namun jarang didapatkan fakta bahwa obat bukan satu-satunya
penyebab NE, namun masih ada bukti kecil bahwa infeksi dapat menunjukkan
persentase kasus yang sangat kecil. Kasus NE telah dilaporkan setelah
transplantasi sumsum tulang. Beberapa bentuk ekstrim dari penyakit graft-versus
host akut (lihat Bab 28.); Selain itu merupakan induksi obat. Hubungan antara NE
dan penyakit graft-versus-host sulit untuk dinilai karena lesi kulit dan gambaran
histologis kulit hampir tidak bisa dibedakan .34 Selain itu, mekanisme fisik seperti
radioterapi di samping pengobatan dengan obat anti-epilepsi seperti fenitoin,
fenobarbital, atau karbamazepin dapat memicu NE di daerah radiasi.35,36

PATOGENESIS
Meskipun urutan yang tepat dari peristiwa molekuler dan seluler yang
belum sepenuhnya dipahami, beberapa penelitian memberikan petunjuk penting
pada patogenesis NE. Pola imunologi dari lesi awal yang menunjukkan reaksi
yang dimediasi sel sitotoksik terhadap keratinosit menyebabkan apoptosis yang
luas.37,38 Studi Immunopatologi telah menunjukkan adanya CD8 + T killer
lymphocytes pada epidermis dan dermis dalam reaksi merugikan yang membentuk
bulosa, dengan beberapa sebukan sel-Natural Killer selama fase awal NE,
sedangkan monosit muncul selanjutnya selama fase akhir. 39,40 Sel-sel sitotoksik ini
CD8+ T mengekspresikan reseptor β sel T dan mampu membunuh menggunakan
perforin dan granzim B tetapi tidak menggunakan Fas atau Trail .40
Saat ini diketahui bahwa ekspansi CD8+ oligoklonal ini sesuai dengan
kompleks histokompatibiliti mayor yang menurunkan sitotoksisitas obat-spesifik
terhadap keratinosit, Selanjutnya, regulasi sel T CD4+, CD25+ telah terbukti
berpotensi penting dalam pencegahan kerusakan berat dari epidermal yang
disebabkan oleh Iimfosit T sitotoksik yang reaktif.41 Sitokin penting seperti
interleukin-6, tumor necrosis factor-a (TNF-a), dan Fas ligand (Fas-L) juga
5

berperan pada lesi kulit pasien NE. Viard et al. menyatakan bahwa apoptosis
keratinosit pada lesi kulit berhubungan dengan peningkatan ekspresi Fas pada
membran keratinosit dan diblokir oleh imunoglobulin manusia konsentrasi tinggi
yang mengganggu interaksi Fas dan Fas-L.42 TNF juga berperan penting. Molekul
ini terdapat pada lesi epidermis, dalam cairan bula, dan dalam sel mononuklear
perifer dan makrofag.43,44 Asetilasi lambat ditemukan pada pasien NET yang
diinduksi sulfonamid, yang menunjukkan peningkatan produksi metabolit. 45
Meskipun demikian, respon imunologi secara langsung diarahkan terhadap obat
induk daripada metabolit obat.40 Akhir-akhir ini, kerentanan genetik dapat
memainkan peran penting. Suatu hubungan yang kuat diamati di Han Cina antara
antigen leukosit manusia HLA-B1502 dan SJS disebabkan oleh karbamazepin dan
antara I-U.A-B5801 dan SJS yang disebabkan oleh allopurinol. 46,47
Namun,
hubungan antara NE yang diinduksi karbamazepin dan I-U.A-B1502 tidak terjadi
pada pasien Eropa yang tidak memiliki keturunan Asia .48

TEMUAN KLINIS
Sebagian besar kasus membutuhkan rujukan segera ke bangsal perawatan
khusus, dokter kulit mempunyai peran khusus dalam penanganan pasien dengan
NE (Gambar. 39-1).
PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN DENGAN NE
 Kecurigaan diagnosis secara dini
 Konfirmasi secara cepat (pemeriksaan biopsi beku spesiman dapat
membantu)
 Pengeliminasian diagnosis banding (biopsi dan pemeriksaan
imunofluoresensi langsung)
 Evaluasi derajat keparahan penyakit dengan perhatian khusus pada fungsi
pernafasan
 Rujukan ke bangsal perawatan khusus
 Menghindari pengobatan yang tidak spesifik dan belum terbukti
 Re-evaluasi setelah keluar dari rumah sakit dan beberapa minggu kemudian
dokumentasikan yang berhubungan dengan kasus
6

penentuan kausalitas
pemberitahuan kepada badan pengawas
evaluasi dan pencegahan gejala sisa
rekomendasi untuk penggunaan obat selanjutnya

ANAMNESIS
NE secara klinis dimulai dalam waktu 8 minggu (biasanya 4 sampai 30
hari) setelah timbulnya paparan obat. Pada kasus yang sangat jarang terjadi,
terdapat reaksi sebelumnya dan secara tidak disengaja dengan obat yang sama
akan muncul reaksi lebih cepat, dalam beberapa jam. Gejala yang tidak spesifik
seperti demam, sakit kepala, rhinitis, dan mialgia dapat mendahului lesi
mukokutan antara 1 sampai 3 hari. Nyeri saat menelan dan seperti terbakar atau
tertusuk pada mata berkembang secara progresif, Sebagian besar lesi awal terjadi
pada membran mukosa. Sekitar sepertiga dari kasus: dimulai dengan gejala non-
spesifik, sepertiga dengan gejala membran mukosa, dan sepertiga dengan
eksantema. Apapun gejala yang mengawali, progresifitas penyakit yang cepat,
penambahan tanda-tanda baru, nyeri yang hebat, dan gejala konstitusional harus
diwaspadai merupakan suatu onset dari timbulnya penyakit yang parah.

GAMBAR 39-2 A. Erupsi awal. Makula eritematosa berwarna merah kehitaman


(lesi target yang atipikal) yang semakin menyatu dan menunjukkan epidermal
7

pelepasan. B. Erupsi lanjutan. Bula dan pelepasan epidermal telah menyebabkan


erosi konfluen yang besar. C.Nekrosis epidermal toksik ditandai dengan daerah
erosif luas yang disebabkan oleh bula.

Gambar 39-3 Fase awal eksantematosa dengan Nikolsky sign

GAMBAR 39-4 A. Erosi yang luas dan nekrosis dari bibir bawah dan mukosa
mulut. B. Erosi yang luas ditutupi oleh krusta di bibir, dan menunpuk di bulu
mata.

LESI KULIT
Erupsi awalnya simetris dengan distribusi pada wajah, badan atas, dan
ekstremitas proksimal. Bagian distal dari lengan serta kaki yang relatif jarang, tapi
ruam cepat dapat menyebar ke seluruh tubuh dalam beberapa hari dan bahkan
dalam beberapa jam. Lesi kulit awal ditandai dengan makula eritema merah
kehitaman, purpura, berbentuk tidak teratur, yang semakin menyatu. Sering
8

terdapat lesi target yang atipikal dengan pusat gelap (Gambar. 39-2A). Pertemuan
lesi nekrotik menyebabkan eritema luas dan menyebar. Tanda Nikolsky, atau
pelepasan dari epidermis oleh tekanan lateral, yang positif pada zona eritematosa
(Gambar. 39-3). Pada tahap ini, lesi berkembang menjadi bula yang flaksid, yang
menyebar dengan tekanan dan mudah pecah (lihat Gambar. 39-2B). Epidermis
yang nekrotik mudah terlepas pada titik-titik tekanan atau trauma gesekan,
menghasilkan daerah luas yang berwarna merah, kadang terlihat bagian dermis
(lihat Gambar. 39-2C). Di daerah lain, epidermis dapat tetap normal. Pasien
diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok sesuai dengan total area
berdasarkan epidermis yang terlepas atau "terlepas" (positif Nikolsky): SJS,
kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh ; campuran SJS / NET, antara 10% -
30%; NET, lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh. Evaluasi yang tepat
mengenai luasnya lesi pada kulit sulit dilakukan, terutama pada daerah yang
memiliki lesi lokal. Perlu diingat bahwa permukaan satu sisi dari (telapak dan jari)
merupakan daerah dengan persentase kurang dari 1% dari luas permukaan tubuh.

KETERLIBATAN MEMBRAN MUKOSA


Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu dan sedikitnya pada dua
lokasi) diamati pada sekitar 90% kasus dan dapat mendahului atau bersamaan
dengan erupsi kulit. Hal ini dimulai dengan eritema diikuti oleh erosi yang nyeri
pada mulut, mata, dan mukosa genital. Hal ini biasanya menyebabkan gangguan
untuk makan, fotofobia, sinekia konjungtiva, dan nyeri saat berkemih. Rongga
mulut dan perbatasan vermilion bibir yang hampir selalu terlibat dan gambaran
erosi hemoragik yang nyeri dilapisi oleh pseudomembran putih keabu-abuan dan
krusta pada bibir (Gambar. 39-4A dan B). Sekitar 85% pasien memiliki lesi
konjungtiva, terutama berupa hiperemia, erosi, kemosis, fotofobia, dan lakrimasi.
Dapat terjadi kerontokan bulu mata (lihat Gambar. 39-4B). Bentuk yang berat
dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis purulen.
Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering terjadi. Onikolisis terjadi
dalam bentuk yang parah.
9

GEJALA LAINNYA
NE berhubungan dengan demam tinggi, nyeri, dan malaise. Keterlibatan
organ dalam juga dapat terjadi, terutama dengan komplikasi paru dan pencernaan.
Komplikasi paru awal terjadi pada sekitar 25% pasien dan berupa oleh dispnea,
hipersekresi bronkus, dan hipoksemia oleh karena hemoptisis dan dahak dari
saluran mukosa bronkial 49,50
Keterlibatan bronkial pada NE tidak berkorelasi
dengan derajat lesi kulit atau dengan agen yang terkait reaksi. 10 Sebagian besar
radiografi dada normal pada saat masuk tapi dengan cepat dapat memperlihatkan
interstitial syndrome. Pada semua kasus yang dilaporkan, ketika kegagalan
pernafasan akut berkembang secara cepat setelah timbulnya kelainan kulit, hal
tersebut terkait dengan prognosis yang buruk. Pada kasus dengan gangguan
pernapasan, bronkoskopi fiber-optic tampaknya menjadi prosedur sederhana
untuk membedakan suatu pelepasan epitel tertentu dalam bronkus dari bentuk
pneumonitis yang menular, yang memiliki prognosis yang jauh lebih baik.
Keterlibatan saluran pencernaan yang jarang diamati, dengan nekrosis epitel
esofagus, usus kecil, usus besar atau berupa diare sebagian besar dengan
malabsorpsi, melena, dan bahkan perforasi.51,52 Keterlibatan kolon dan ginjal
pernah dilaporkan. Proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria, dan azotemia tidak
jarang. Kerusakan tubulus proksimal merupakan hasil dari nekrosis sel tubulus
oleh proses yang sama yang menghancurkan sel-sel epidermis. Keterlibatan
struktur glomerulus juga dapat terjadi .53,54

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
NILAI LABORATORIUM
Evaluasi frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah merupakan salah satu
langkah pertama pada ruang gawat darurat. Setiap perubahan harus diperiksa
melalui pengukuran kadar gas darah arteri. Tingkat bikarbonat serum di bawah 20
mM menunjukkan prognosis yang buruk. Biasanya hasil dari alkalosis respiratorik
yang terkait dengan keterlibatan bronkus dan lebih jarang karena asidosis
metabolik. Kehilangan cairan transdermal yang masif berperan dalam
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipoproteinemia, dan
10

insufisiensi ginjal sementara dan azotemia prerenal sering terjadi. Peningkatan


kadar nitrogen urea darah merupakan salah satu penanda dari derajat keparahan.
Anemia sering terjadi, dan leukositosis ringan serta trombositopenia dapat terjadi.
Neutropenia sering dianggap sebagai faktor prognostik yang tidak
menguntungkan namun jarang untuk memiliki dampak signifikan pada
SCORTEN. Limfopenia perifer sementara dari CD4+ hampir selalu terlihat
konstan dan berhubungan dengan penurunan fungsi sel-T. Elevasi ringan kadar
enzim hati dan amilase sering terjadi namun tidak berdampak pada prognosis.
Suatu daerah yang hiperkatabolik berperan dalam penghambatan sekresi insulin
atau resistensi insulin, yang mengakibatkan hiperglikemia dan tampak seperti
diabetes. Kadar glukosa darah di atas 14 mM adalah salah satu penanda dari
derajat keparahan. Kelainan lain pada nilai laboratorium dapat terjadi, yang
menunjukkan keterlibatan organ lain dan komplikasi seperti sepsis.

HISTOPATOLOGI
Biopsi kulit untuk studi histologis dan imunofluoresensi rutin harus
dilakukan dalam setiap kasus NE, bahkan jika secara klinis diagnosis telah jelas,
dimasa depan dapat menjadi probabilitas yang tinggi menjadi legal action dan
karena hal itu merupakan satu-satunya cara untuk menyingkirkan sebagian besar
diagnosis banding. Pada tahap awal, keterlibatan epidermal ditandai dengan
apoptosis keratinosit yang jarang di lapisan supra basal, yang dengan cepat
berkembang menjadi NE dan pelepasan hingga sub-epidermis (Gambar. 39-5).
11

GAMBAR 39-5 Gambaran histologis nekrolisis epidermal toksik. A. nekrosis


eosinofilik pada epidermis dalam tahap puncak, dengan sedikit respon inflamasi
pada dermis, Catatan: pemisahan pada junction zone. B. Nekrosis Epidermis
lengkap yang telah terlepas dari dermis dan terlipat seperti sebuah lembaran.

Suatu infiltrat sel mononuklear cukup padat diamati pada papiler dermis,
terutama didominasi oleh limfosit dan makrofag. Di antara populasi sel T, limfosit
CD8 +
dengan gambaran fenotip sel sitotoksik, dan menunjukkan reaksi
imunologik yang diperantarai oleh sel .37,55 Imunologi yang diperantarai sel
Eosinofil tampaknya jarang pada pasien dengan bentuk yang paling parah dari
NE.56,57 Hasil penelitian imunofluoresensi langsung adalah negatif.

DIAGNOSIS BANDING (Kotak 39-1)


KOTAK. 39-1 DIAGNOSIS BANDING DARI NEKROLISIS
EPIDERMAL (NE)
Paling Mungkin
 NE yang terbatas (Sindrom Stevens-Johnson)
Eritema multiforme primer
Varisella
 NE yang luas
• Eksantematosa Pustulosis Generalisata Akut
• Generalized bullous fixed drug eruption

Pertimbangkan
 Pemfigus paraneoplastic
 Penyakit imunoglobulin A linear bulosa
 Ulkus dekubitus pasca koma
 Reaksi fototoksik
 Gralt-versus-host disease

Jarang
 Staphylococcal scalded skin syndrome
12

 Luka bakar
 Nekrosis kulit dari koagulasi intravaskular diseminata atau purpura fulminans
  Toksisitas Kimia (contoh : keracunan kolkisin, overdosis metotreksat)

Tidak adanya keterlibatan membran mukosa atau keterbatasan lesi satu


tempat harus selalu meningkatkan kecurigaan diagnosis alternatif: staphylococcal
scalded skin syndrome pada bayi; purpura fulminans pada anak-anak dan dewasa
muda; eksantematosa pustulosis generalisata akut, luka bakar, fototoksisitas, atau
ulkus dekubitus pada orang dewasa. Penyakit imunoglobulin A linear bulosa dan
pemfigus paraneoplastik terjadi dengan perjalanan klinis yang kurang akut.
Temuan patologis dan hasil positif pada uji imunofluoresensi langsung penting
untuk diagnosa ini. Kasus NE awal sering awalnya didiagnosa sebagai varisella.
Perkembangan yang cepat dari lesi kulit dan tingkat keparahan keterlibatan
membran mukosa harus meningkatkan kemungkinan kecurigaan terjadinya NE.
Pada semua aspek, termasuk patologi, generalized bullous fixed drug eruption
(GBFDE) menyerupai NE. Hal ini dapat memiliki mekanisme yang berhubungan
dengan obat yang sama. Terdapat perbedaan penting, dimana GBFDE memiliki
prognosis yang jauh lebih baik, mungkin karena keterlibatan yang dari ringan
selaput lendir dan tidak adanya komplikasi organ dalam.
Teradapat riwayat reaksi sebelumnya, serangan cepat setelah pemberian
obat, dan sangat luas, bula berbatas tegas merupakan tanda penting dari GBFDE.
Luka bakar atau bula kadang-kadang menjadi masalah ketika terjadi kehilangan
kesadaran sementara. Penghancuran epitel oleh toksin, baik melalui kontak
(fumigan) atau menelan (keracunan kolkisin, overdosis metotrexate), dapat
mengakibatkan gambaran klinis NE. Pada kasus yang jarang terjadi kausalitas
umumnya jelas. SJS lebih sering dilaporkan. Biasanya timbul dari keraguan antara
deskuamasi dan pelepasan epidermis dan juga antara selaput lendir dan kulit peri
oral. Karena keraguan itu, pasien dengan ruam deskuamatif dan bibir berskuama
kadang-kadang didiagnosis dan dilaporkan sebagai SJS.

KOMPLIKASI
13

Selama fase akut, komplikasi yang paling sering dari NE adalah sepsis.
Hilangnya epitel merupakan predisposisi pasien terhadap infeksi bakteri atau
jamur, yang merupakan penyebab utama kematian. Kegagalan organ multi sistem
dan komplikasi paru yang diamati diperkirakan mencapai lebih dari 15% - 30%
dari kasus.58 Komplikasi mata terjadi pada 20% - 75% pasien dengan NE.59-61
Hubungan antara derajat keparahan keterlibatan okular dini dan komplikasi lanjut
tampaknya saat ini dapat ketahui dengan baik. Komplikasi mata lanjut terutama
karena perubahan fungsional dari epitel konjungtiva karena kekeringan dan
abnormalitas dari film lakrimal.60 Hal ini menyebabkan peradangan kronis,
fibrosis, entropion, trikiasis, dan simblepharon. Iritasi jangka panjang dan
kekurangan sel induk dalam limbus dapat mengakibatkan metaplasia epitel kornea
dengan ulserasi yang parah dan penurunan visus. Hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi sering diamati, tapi jarang dikaitkan dengan skar hipertrofik atau
atrofi. Perubahan kuku, termasuk perubahan dalam pigmentasi pada kuku,
penebalan, kuku distrofik, dan anonikia permanen, terjadi pada lebih dari 50%
kasus. Komplikasi vulva dan vagina NE sering di abaikan. 62 Dispareunia jarang
terjadi dan terkait dengan kekeringan vagina, gatal, nyeri, dan perdarahan. Adhesi
genital dapat membutuhkan untuk perawatan bedah. Sriktur Esofagus, usus,
bronkus, uretra, dan anal juga dapat terjadi pada kasus, namun jarang terjadi.
Karena komplikasi akhir dan gejala sisa dapat terjadi secara perlahan, sangat
disarankan bahwa semua pasien yang masih hidup dan memiliki klinis NE
melakukan pemantauan lanjut beberapa minggu setelah keluar dari rumah sakit,
termasuk pemeriksaan oleh dokter mata. Gejala yang menunjukkan gangguan
stres pasca-trauma tidak jarang, dan konsultasi kejiwaan mungkin diperlukan.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS


Pelepasan epidermis berlangsung selama 5 sampai 7 hari. Kemudian,
pasien memasuki fase plateau, berhubungan dengan re-epitelisasi yang progresif.
Hal ini dapat memakan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung
pada derajat keparahan penyakit dan kondisi umum sebelumnya dari pasien.
Selama periode ini, komplikasi yang mengancam jiwa seperti sepsis atau
14

kegagalan organ sistemik dapat terjadi, dengan tingkat mortalitas 5% - 12% untuk
SJS dan lebih dari 30% untuk NET. Prognosis tidak dipengaruhi oleh jenis atau
dosis obat yang berperan atau adanya infeksi virus human immunodeficiency (lihat
Tabel 39-1).

PENGOBATAN
NE merupakan penyakit yang mengancam jiwa yang membutuhkan
penanganan yang optimal: pengenalan dini dan penghindaran terhadap obat terkait
(s) dan perawatan suportif yang sesuai di rumah sakit. Penghindaran obat terkait
berhubungan dengan peningkatan kelangsungan hidup pada pasien dengan NE
yang diinduksi oleh obat dengan menghindari obat tersebut seumur hidup .63 Di
sisi lain, sangat penting untuk mengetahui hal tersebut secara berkelanjutan dan
pada obat yang belum dicurigai. Hal tersebut akan menghindari kemungkinan
peresepan kembali terhadap pasien di masa mendatang. Bila ada keraguan, semua
obat di konsusmsi sebelumnya harus dihentikan, dan terutama yang diberikan
dalam sebelumnya 8 minggu.

PENGOBATAN SIMPTOMATIK
Hanya pasien dengan keterlibatan yang terbatas pada kulit dan skor
SCORTEN 0 atau 1 bisa dia dirawat di bangsal perawatan umum. Selain daripada
itu, harus ditransfer ke unit perawatan intensif atau pusat perawatan luka bakar.
Perawatan suportif terdiri dari menjaga keseimbangan hemodinamik dan
mencegah komplikasi yang mengancam kehidupan. Tujuannya pada dasarnya
sama seperti pada luka bakar yang luas. NE terkait dengan kehilangan cairan yang
signifikan dari erosi, yang menghasilkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian cairan harus dimulai sesegera mungkin dan disesuaikan
setiap hari. Volume infus biasanya lebih rendah dari luka bakar dengan persentase
luas yang sama, karena tidak ada edema interstitial. Pemberian intravena perifer
15

lebih disukai bila mungkin, karena daerah penyisipan untuk vena sentral sering
terlibat terjadinya pelepasan dari epidermis dan rentan terhadap infeksi.
Suhu lingkungan harus ditingkatkan sampai 28° C hingga 30° C (82,4 ° F
hingga 86 ° F). Penggunaan tempat tidur busa dapat meningkatkan kenyamanan
pasien. Dukungan nutrisi khusus pada fase awal diberikan dengan pipa
nasogastrik untuk meningkatkan penyembuhan dan mengurangi risiko translokasi
bakteri dari saluran pencernaan. Untuk mengurangi risiko infeksi, pemberian
aseptik diperlukan secara hati-hati. Spesimen kulit, darah, dan urin harus dikultur
untuk bakteri dan jamur dengan interval yang sering. Antibiotik profilaksis tidak
diindikasikan. Pasien harus menerima antibiotik bila dicurigai infeksi secara
klinis. Antikoagulan profilaksis disediakan selama perawatan di rumah sakit.
Debridemen yang luas dan agresif dari epidermis yang nekrotik tidak dianjurkan
pada NE karena nekrosis superfisial bukan hambatan untuk terjadinya re-
epitelisasi, dan bahkan mungkin mempercepat proliferasi sel induk karena sitokin
inflamasi.
Tidak ada standar kebijakan pada pembalut luka dan penggunaan
antiseptik. Hal Ini merupakan masalah pengalaman dan ketrampilan pada bagian
dari pusat perawatan khusus, manipulasi secara hati-hati, dan protokol agresif
untuk pencegahan dan pengobatan nyeri sangat penting. Mata harus diperiksa
setiap hari oleh dokter mata. Air mata buatan, obat tetes mata antibiotik atau
antiseptik, dan vitamin A yang sering digunakan setiap 2 jam pada fase akut, dan
diindikasikan untuk gangguan mekanis sinekia awal. Mulut harus dibilas beberapa
kali sehari dengan larutan antiseptik atau antijamur.

PENGOBATAN KHUSUS
Karena pentingnya mekanisme imunologi dan sitotoksik, sejumlah besar
imunosupresif dan atau terapi anti-inflamasi telah dicoba untuk menghentikan
perkembangan penyakit. Tidak ada yang memiliki efikasi memadai. Prevalensi
yang rendah dari penyakit membuat uji klinik acak sulit untuk dilakukan.

Kortikosteroid
16

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi


menemukan bahwa terapi tersebut bisa mencegah perluasan penyakit ini jika
diberikan selama fase awal.64,65 Penelitian lain menyimpulkan bahwa steroid tidak
menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dikaitkan dengan peningkatan
efek mortalitas dan merugikan, terutama sepsis. 66,67 Selain itu, banyak kasus telah
dilaporkan pada pasien yang berhasil diobati dengan kortikosteroid, 68,69
Namun
juga dapat meningkatkan risiko NE.20 Dengan demikian, kortikosteroid sistemik
tidak dapat direkomendasikan sebagai pengobatan andalan NE.

Immunoglobulin Intravena
Anjuran untuk menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi
didasarkan pada ditemukannya bahwa kematian sel yang dimediasi Fas dapat
dibatalkan oleh munculnya aktivitas anti-Fas dalam sediaan komersial pada
immunoglobulin manusia normal.42 Keberhasilannya telah diklaim oleh beberapa
studi dan laporan kasus,70,71 namun juga dibantah oleh beberapa studi lain. 72,74

Dengan demikian, imunoglobulin intravena tidak dapat dianggap sebagai standar


pengobatan, namun jika digunakan, diperlukan pencegahan minimal untuk
menghindari sediaan yang berpopotensi nefrotoksik.

Siklosporin A
Siklosporin adalah agen imunosupresif kuat terkait dengan efek biologis
yang mungkin secara teoritis berguna dalam pengobatan NE: aktivasi sitokin T
helper 2, penghambatan mekanisme sitotoksik CD8 +, dan efek anti apoptosis
melalui penghambatan Fas-L, faktor nuklear K B, dan TNF-α. Beberapa laporan
kasus menyatakan keberhasila siklosporin A.75,76 Namun, studi prospektif
diperlukan untuk mengkonfirmasi manfaatnya dan tidak adanya efek samping
yang signifikan.

Plasmaferesis Atau Hemodialisis


Penggunaan plasmapheresis atau hemodialisis secara rasional adalah untuk
membuang obat terkait, metabolitnya, atau mediator inflamasi seperti sitokin.
17

Sebagian kecil seri penelitian melaporkan keberhasilan mereka dan keamanan


dalam mengobati NE.77,79 Mengingat tidak adanya bukti dari risiko yang terkait
dengan kateter intravaskular, Dengan demikian, pengobatan ini tidak dapat
direkomendasikan.

Obat Anti-Tumor Necrosis Factor


Anti-TNF antibodi monoklonal telah berhasil digunakan untuk mengobati
beberapa pasien. Karena uji coba terkontrol secara acak sebelumnya dari
thalidomid sebagai agen anti-TNF, memiliki hambatan karena peningkatan
mortalitas secara signifikan, 44
disarankan untuk hati-hati dalam penggunaan agen
anti-TNF untuk mengobati NE.

PENCEGAHAN
Hal yang paling penting adalah untuk mengevaluasi obat yang menjadi
kausalitas. Tes in vitro atau tes patch untuk obat kadang-kadang dapat berguna
dalam eksplorasi alergi obat. Ketika digunakan pada pasien NE, sensitivitas
mereka terlalu rendah.80,81 Hati-hati dalam semua eksposur dari obat dalam
beberapa minggu sebelum onset reaksi mengarah pada identifikasi obat
kemungkinan sebagai kausal pada sekitar 70% kasus. Kriteria klinis yang paling
berguna adalah durasi pengobatan sebelum onset (biasanya 4 sampai 30 hari),
tidak adanya penggunaan obat sebelumnya, dan penggunaan obat yang dikenal
berhubungan dengan risiko tinggi.
Kasus-kasus yang dipublikasikan beberapa SJS atau NET berulang selalu
karena tidak sengaja di gunakan obat yang sama atau obat yang sangat erat terkait
SJS atau NET. Epidemiologi dan penelitian in vitro menunjukkan bahwa daftar
kemungkinan obat cross-reaktif agak sempit, berdasarkan kesamaan kimia.
Sebagai contoh, tidak ada bukti bahwa pasien yang mengalami SJS atau TEN
sebagai reaksi terhadap anti-infeksi sulfonamid berada pada peningkatan risiko
untuk reaksi diuretik yang berhubungan dengan sulfonamid atau obat anti
diabetes. Hanya anti-infeksi sulfonamid harus kontraindikasi dalam situasi ini.
18

Daftar obat yang diduga (s) dan molekul struktur biokimia yang sama
harus diberikan kepada pasien secara pribadi "kartu alergi." Hal ini juga sangat
berguna untuk memberikan daftar obat umum yang digunakan yang tidak dapat
diduga. Karena indikasi terbaru dari kerentanan genetik untuk pengembangan NE,
resep dari agen terkait dan golongannya harus dihindari.
Akhir-akhir ini, tindak lanjutan oftalmologi harus direkomendasikan untuk
pasien dengan gejala mata. Pengobatan yang sangat menjanjikan kini telah
dikembangkan untuk gejala sisa di mata pada NE, termasuk special scleral lenses
dan grafting of stem cells dari limbus kontralateral atau mukosa mulut.82-84 Hindari
paparan dari sinar matahari dapat membantu mengatasi perubahan pigmentasi.
19

DAFTAR PUSTAKA

16. Guegan S et al; Performance of the SCORTEN during the first five days of
hospitalisation co predict the prognosis of epidermal necrolysis. J Invest
Dermatol
126:272,2006
20. Roujeau JC et al: Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome
or toxic epidermal necrolysis. Engl J Med 333;1600,1995
21. Auquier-Dunant A et al: Correlation between clinical patterns and causes of
erythema multifotme major, Stevens Johnson and toxic epidermal necrolysis. Arch
Dermatol 138:1019, 2002
25. Mockenhaupt M et al: Risk of Stevens Johnson and toxic epidermal necrolysis.
in new users of antiepileptics. J neurology 64:1134,2005
31. Mockenhaupt M et al: The risk of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis associated with nonsteroidal antiinflammatory drugs: A
multinational perspective. J Rheumatol 30:2234,2003
40. Nassif A et al: Drug specific cytotoxic Tcells in the skin lesions of a patiem
with toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermato 118:728, 2002
46. Chung WH et al: Medical genetics: A marker for Stevens Johnson syndrome.
future 428:486, 2004
55. Chave TA et al: Toxic epidermal necrolysis: Current evidence, practical
managemem and future directions. Br J Dermatol 153:241,2005
58. Palmieri T et al: A multicentet review of toxic epidermal necrolysis treated in
U.S. burn cemers at the end of the twentieth century. J Bum Care Rehability
23:87,2002
84. Nishida K et al: Corneal reconstruction with tissue engineered cell sheets
composed of autologous oral epithelium. Engl J Med 351:1187, 2004

Anda mungkin juga menyukai