Anda di halaman 1dari 31

1

BAGIAN PERTAMA

KEPELACURAN KEBIJAKAN
2

Perjuangan untuk dan atas nama rakyat seperti mantra pembawa


keberuntungan penguasa, yang hendak di jadikan sebagai perahu
untuk menyelundupkan kepentingan pribadinya.
Atas nama kepentingan bersama di pergunakan sebagai Corong
pengesahan yang dapat melegalkan kejahatannya.

Kepelacuran kebijakan adalah sebuah Sudut Pandang Yang


dikristalisasikan berdasarkan pada ritualisasi penyelundupan kepentingan
individu dengan berusaha semaksimal mungkin meminimalisir dan
menelantarkan kepentingan bersama.
Kepelacuran kebijakan ditandai dengan kegiatan yang mempertukarkan
harga diri kebijakan yang berasas pada kepentingan bersama dengan nilai-
nilai yang ditunggangi berdasarkan pada hasrat kepentingan individualistik.
Sebuah ritus yang telah lama digemari oleh penguasa dalam
mengoperasikan kebijakannya. Logika kekuasaan dalam penyelundupan
kepentingan pribadi dilakukan dengan cara yang cukup rapi :
Membuat kebijakan dengan memperhitungkan besar dan kecilnya
keuntungan pribadi.
Kalkulatif keuntungan ini diperlukan karena efektivitas pengukuran besaran
keuntungan pribadi tersebut akan menegaskan dan mengukuhkan sikap
mereka untuk mempertahankan dan mengoperasikan kebijakannya.
Sebagaimana dalam pendekatan Economy of law (Pendekatan ekonomi
terhadap hukum) bahwa keputusan untuk bertindak dan mengambil
kebijakan didasarkan pada aspek keuntungan,.
Rumusan kebijakan tersebut agar dapat berjalan sebagaimana mestinya
maka dipakailah tanker-tanker negara untuk menjaga dan mengawal
proses peredaran kebijakan yang telah di putuskan tersebut,.
Tujuan penggunaan tanker-tanker negara itu sendiri tak lain adalah untuk
membungkam para kelompok pemikir kritis yang berupaya untuk
3

menentang dan menolak kebijakan dari penguasa karena kebijakan


tersebut tidak menghasilkan implikasi yang bermutu dan bermanfaat bagi
kepentingan publik atau masyarakat secara luas tapi justru sebaliknya
akan menggendut perut individu maupun kelompok tertentu yang terlibat
dalam konspirasi politik tersebut.
Tanker-tanker negara yang permulaan histrorisnya dan di mandatkan oleh
konstitusi untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi rakyat
justru kini tanker-tanker tersebut memutuskan tali Historis dan
konstitusionalnya dan menjadi hamba terbaik bagi para penguasa baik
yang berada pada tatanan dunia legislatif maupun elit yang terlibat dalam
urusan eksekutif.
Maka tidak heran jika kita melihat sebuah fenomena yang
mempertontonkan sebuah arogansi kekuasaan yang memaksa untuk
mengindividualisasikan dan menyeragamkan corak pikir masyarakat
dengan para penguasa,.
Para aktivis-aktivis sosial yang mengkritik kebijakan negara harus
dibungkam mulutnya oleh tanker-tanker negara karna aktivis sosial yang
kritis dan berusaha mengobrak-abrik kebijakan penguasa dianggap
sebagai hama atau penyakit yang berbahaya yang dapat memperekandas
pengorbitan kebijakan mereka. Tanker-tanker negara ini menggunakan
berbagai macam pasal-pasal karet untuk menjerat dan menjebak para
aktivis sosial ini.
Kritik pada kebijakan penguasa tidak lagi dilihat sebagai pupuk yang dapat
menyuburkan tatanan dunia kekuasan yang bermutu dan sesuai dengan
mekanisme yang di atur oleh konstitusional tapi justru kiritik dicap sebagai
upaya kriminalitas yang katanya dapat menggoyahkan status Quo
kekuasaan.
Dalam Filsafat politik kontrak sosial sebuah negara lengkap dengan
peralatannya yang bernama pemerintahan di lahirkan oleh rakyat untuk
menjamin keamanan, ketertiban memberikan perlindungan hukum
menghormati hak warga negara dan melakukan pelayanan untuk
4

mendistribusikan kesejahteraan pada masyarakat justru telah di reduksi


dan di palsukan secara radikal oleh para pemerintahan.
Lembaga kepejabatan secara ideologis historisitasnya dipandang sebagai
sebuah istana pelembagaan kepentingan rakyat lengkap dengan taman-
taman yang di hiasi dengan bunga-bunga yang indah yang mengitari
halaman istana (kebijakan ) tersebut kini, rakyat melihat lembaga istana
penampung kepentingan rakyat itu seperti sebuah sarang iblis dengan
taman-tamannya yang penuhi oleh hama ( kekacauan kebijakan) .
Rakyat sebagai ibu kandung kepemerintahan dengan susah payahnya
melahirkan anaknya yang bernama pemerintahan, justru dengan
arogansinya para lembaga kepejabatan ini berani sombong dan
menghianati rakyatnya sebagai ibu yang melahirkannya.
Ada sedikit kesamaan fenomena cerita dalam mitolologi kuno kita
mengenal sebuah kisah maling Kundang yang durhaka kepada ibu
kandungnya sendiri kemudian di kutuk oleh ibunya menjadi batu, maka
dalam negara modern ini kita mengenal para pemerintahan ini sebagai
maling kundang kekuasaan yang durhaka kepada rakyatnya sebagai ibu
kandungnya,.
Ingatlah peristiwa tumbangnya Sukarno pada tahun 1965 dia tumbang
karena durhaka kepada rakyatnya lalu rakyat menghukumnya dengan
menjatuhkan kekuasaannya, berlanjut lagi pada tahun 1998 lagi-lagi
peristiwanya sama kekuasaan Soeharto pun berhasil di tumbangkan oleh
rakyatnya, sebabnya pun sama yaitu durhaka kepada rakyatnya, rakyat
pun menjatuhkan hukuman pada Soeharto tersebut dengan cara
menurunkan secara paksa Soeharto dari lembaga kepejabatannya.
Fenomena historisitas tentang keterjatuhan para pucuk pemimpin negara
yang di tumbangkan secara paksa oleh rakyat ini seharusnya menjadi bel
peringatan bagi para pemerintahan sekarang ini untuk lebih berhati-hati
dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan amanat konstitusi sebagai
pelembagaan tertulis dari kepentingan rakyat.
Realitas Arogansi Kekuasaan Yang Mempergunakan Tanker-Tanker
Negara Untuk Membungkam Nalar Dan Suara Kritis Rakyat Yang Kita
5

Tonton Saat Ini Selain Dari Bentuk Penghianatan Terhadap Konstitusi


Maupun Pembangkangan Atas Kepentingan Rakyat, Ada Kenyataan Yang
Terselubung yang dengan sengaja di sembunyikan oleh para elit
kekuasaan ini yaitu fakta tentang defisitnya akal kemanusiaan yang di miliki
oleh para pemerintahan saat ini.
Akal kemanusiaan adalah akal yang mengetahui dirinya tahu akan
posisinya mengerti akan tugasnya serta paham akan tanggungjawabnya
hingga sanggup menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai
tersebut kedalambentuk tindakan publik maupun kebijkan sosialnya.
Sayangnya bobot kualitas akal kemanusiaan yang diberoperasikan dalam
lembaga kepejabatan ini membuat rakyat patah hati dan kecewa dengan
sikap pemerintahan yang menelantarkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
tanggung jawab publik kepemerintahan.
Urusan kepejabatan publik tidak lagi di lihat dan di ukur pada sejauh mana
pengabdian pada kepentingan rakyat padahal hukum tertinggi dalam suatu
negara adalah kepentingan rakyat itu sendiri sebagaimana dalam
kebijaksanaan bahasa latin “ SoluspopulisupremeLex “ ( kepentingan
rakyat adalah hukum yang tertinggi ) tapi urusan kepejabatan publik justru
di hormati berdasarkan pada asas “ kepentingan individu di atas segalanya
“.
Sehingga tidak heran kita melihat fenomena keganjilan dari keterputusan
mata rantai terhadap hubungan omongan para pejabat negara ini dengan
tindakan dan perbuatan publiknya lain yang dikatakannya lain pula yang di
lakukannya sungguh ironis bukan.
Kebijakan penguasa yang menetapkan di dalam mukaddimah kebijakan
tersebut adalah, bahwa kebijakan ini untuk dan atas nama kepentingan
rakyat karena suara rakyat adalah Suara tuhan dan suara rakyat adalah
suara terbaik yang di hormati dan di segani oleh negara, Ironisnya
kandungan-kandungan dalam kebijakan tersebut sama sekali tidak
mewakili kepentingan rakyat sebagai mana yang disampaikan pada
mukaddimah kebijakannya tetapi nilai kepentingan rakyat diatas segalanya
justru diam-diam direduksi oleh nilai “ utamakan kepentingan individu “
6

sebab kepentingan individu sejenis kebenaran sejati yang wajib diamankan


diselamatkan serta dilindungi oleh para pejabat pemerintahan ini.
7

BAGIAN KEDUA

BERAWAL DARI PENGEMIS SUARA BERAKHIR MENJADI PELAYAN


YANG MURTAD

“Nilai Kedaulatan rakyat kini tinggal menjadi mitos karena nilainya telah
tergadai oleh para pemerintahan”
8

Pesta Demokrasi di tandai sebagai sebuah ritualisasi yang


memperingatkan pada para pejabat pemerintahan bahwa kekuasaan
tertinggi bukan berada pada tangan-tangan pemerintahan tapi berada pada
legitimasi tangan rakyat itu sendiri., Sebagaimana yang dapat kita lihat
pada mekanisme konstitusional UUD-45 pasal 1 ayat 2 kedaulatan tertinggi
berada di tangan rakyat.
Tidak heran jika para pejabat-pejabat pemerintahan atau para politisi yang
ingin menduduki kursi kepejabatan negara harus meminta restu dan ijin
dulu pada rakyatnya. Sayangnya pesta demokrasi justru diharfiahkan
Sebagai ajang perebutan kekuasaan untuk memburu kenikmatan
individalisme atau pun untuk mempertahankan kenikmatan para kelompok
kelompok tertentu.
Sebuah pesta demokrasi yang sering terjadi dalam rentang waktu satu kali
dalam enam tahun yang sungguh sangat menggelikan dan paling lucu.
Para calon-calon pejabat negara ini pergi mengemis suara pada rakyat
sambil berjanji bahwa kelak kalau dia menjadi anggota pemerintahan akan
siap menjadi pelayan rakyat yang selalu memberikan pengabdian total
pada kepentingan rakyat dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk
menyejahterakan kehidupan rakyatnya,.
Lalu ketika mereka telah mendapat ijin dan di restui oleh rakyat melalui
proses pemilu janji-janji manis yang pernah di muntahkan di hadapan
rakyatnya di simpan di dalam laci rumahnya sendiri dan tidak membiarkan
janjinya pada rakyat tersebut untuk diikut sertakan dan diterlibatkan pada
urusan kepemerintahan.
Para pejabat pemerintahan yang kita lihat sekarang ini pun adalah mantan-
mantan dari para pengemis suara yang pernah terlibat langsung dalam
pesta demokrasi yang berlangsung sekali dalam enam tahun tersebut.
Sebelum menjabat jadi pemerintahan pada momen pesta demokrasi
mereka adalah pengemis suara rakyat dan ketika menduduki tahta
kekuasaan dengan arogansinya menyatakan diri sebagai Tuan yang
memiliki kedaulatan,.
9

Kalau benar para pemerintahan tersebut memiliki kedaulatan tersendiri


tanpa harus mendapatkan perestuan dari rakyat lantas untuk apa pergi
mengemis suara rakyat, suatu kegiatan yang mengemis suara pada rakyat
memberikan bukti sederhana kalau para pemerintahan ini tidak memiliki
kedaulatan sama sekali sebab kedaulatan sejati itu berada di tangan
rakyat,.
Mungkin mereka tidak membaca dan memahami dengan baik ungkapan
dari konstitusi Tertinggi pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan kekuasaan
tertinggi berada pada tangan rakyat bukan di tangan pemerintahan.
Agenda dan kegiatan kepejabatan publik ini adalah sebagai manifestasi
dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, Rakyat hanya meminjamkan sebagian
kedaulatannya pada pemerintahan dalam mengatur permasalahan yang
berkaitan dengan urusan administrasi publik dan bukan memberikan
kedaulatannya tersebut pada pemerintahan.
Kedaulatan yang dipinjamkan oleh rakyat kepada para pemerintahan
tersebut adalah untuk melaksanakan perintah rakyat dan melayani apa
yang menjadi kepentingan rakyat itu sendiri, maka logislah setiap 6 tahun
sekali rakyat mempergunakan kembali kedaulatannya untuk melakukan
seleksi siapa yang pantas dan cocok menjadi pelayan yang akan
mewakilkan kepentingan mereka.
Sungguh ironis dan sangat tidak terhormatnya pada konstitusi maupun
pada rakyat bila para pemerintahan menyatakan dirinya memiliki
kedaulatan sendiri sambil mengingkari amanat yang di sampaikan oleh
rakyat.

Pemilihan kata “ PESTA DEMOKRASI “ bukanlah kalimat yang diseleksi


secara kebetulan tapi tatanan kalimat tersebut dipergunakan untuk
menegaskan bahwa pesta demokrasi adalah pesta kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat.
Pesta demokrasi ini mengungkapkan kalau demokrasi tidak lain dan tidak
bukan sebagai ungkapan pengakuan dan penghormatan pada rakyat
10

sebagai pemilik kedaulatan dalam negara sebagaimana makna yang


tertuang dalam nilai demokrasi.
Bahwa tindakan pemerintahan yang demokratis berasaskan pada
Governanceofthepeople,
GovernancebythepeopleandGovernanceforthepeople ( pemerintahan yang
dari rakyat pemerintahan yang oleh rakyat dan pemerintahan yang untuk
rakyat ) sederhananya pemerintahan itu dari oleh dan untuk rakyat
begitulah kata mantan presiden Amerika serikat Abraham Lincoln yang
memberikan pemaknaan secara praktisi atas tatanan nilai demokrasi itu
sendiri.

Namun sungguh ironis jika kita menyaksikan realitas yang terjadi pada hari
ini, rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam demokrasi justru diperkosa
secara brutal oleh para pemerintahan ini.
Para mantan pengemis suara rakyat yang kemudian secara resmi menjadi
pelayan rakyat ini menjadi anjing yang justru menggonggong Tuannya
(rakyat ) sendiri, Sungguh lucunya dunia kepejabatan publik tersebut.
Mereka mengambil rel kebijkan yang justru berseberangan dengan apa
yang menjadi tuntutan dan amanat dari rakyat itu sendiri.
Para pejabat pemerintahan ini mulai memutus hubungan historisitasnya
dengan rakyat lalu kemudian menjadi pengemis baru , kali ini mereka tidak
mengemis suara pada rakyat seperti sebelumnya tapi kepengemisan yang
dilakukannya adalah mengemis pada kelompok oligarki dan kapitalisme.
Sehingga tidak heran jika kita melihat kebijakan ataupun keputusan
kepemerintahan ini mencerminkan kepentingan-kepentingan kelompok
oligarki dan kapitalisme ini.
Fenomena kekuasaan ini dapat kita baca dan pahami sebagai sebuah
fenomena pengabdian dan pelayanan pada oligarki dan kapitalisme sambil
menggonggongi rakyat sebagai tuan aslinya sendiri.
Tukar tambah kepentingan yang ditransaksikan dalam kamar-kamar gelap
yang di lakukan oleh para pejabat pemerintahan ini dengan para kelompok
11

oligarki kapitalisme sampai pada titik dan komanya suatu kebijakan yang
akan di terapkan pada rakyat.
Jika kita melakukan pemeriksaan secara lebih kritis lagi kita akan
menjumpai bahwa transaksi kepentingan politik yang di operasikan dalam
kamar-kamar gelap kekuasaan yang di lakukan oleh kubu pemerintahan
dengan kelompok oligarki kapitalisme ini tidak ada kaitannya dengan soal-
soal ideologis politik kepentingan rakyat,.
Ideologi politik kepentingan rakyat ini tertinggal jauh karna nilainya justru
bertentangan dengan semangat oligarki dan kapitalisme, karna itu kita
perlu membaca ulang konsep dan makna dari keputusan yang baik dan
benar yang sering di keluarkan oleh pemerintahan tersebut dengan
penafsiran bahwa kebijakan yang baik dan benar adalah kebijakan yang
sesuai dengan selera kepentingan oligarki dan kapitalisme bukan pada
kepentingan rakyat. Perjumpaan Romantis kepentingan politik oligarki dan
kapitalisme di satu sisi dengan para pemerintahan pada sisi yang lain yang
melakukan transaksi kepentingan tersebut seolah seperti subkultur dalam
budaya nasional kita sendiri yang di jaga dan rawat secara rapi oleh para
penguasa, kepentingan berjumpa dengan kepentingan kemauan bersua
dengan kebutuhan sungguh transaksi kepentingan yang begitu sempurna
bukan, kepentingan oligarki dan kapitalisme di rangkul kepentingan rakyat
di buang sejauh mata memandang. Cukup hebat bukan? Padahal jika kita
periksa kembali dengan mata pikiran yang sehat dan terbuka kita akan
memahami bahwa perjanjian konstitusional dengan warga negara perihal
keadilan , kesejahteraan, keamanan dan pengutamaan kepentingan rakyat
adalah perjanjian primordial yang di lakukan secara jujur dan terbuka oleh
konstitusional dengan warga negara, namun naasnya perjanjian primordial
antara konstitusional dengan warga negara justru di nodai serta di cederai
oleh pertemuan kepentingan dan transaksi kebutuhan yang di aktori oleh
para pejabat negara dengan kelompok oligarki dan kapitalisme.
Pemerintahan digaji dengan menggunakan uang rakyat bukan digaji oleh
para oligarki dan kapitalisme, mereka digaji untuk melaksanakan tugas
melayani dan melindungi kepentingan rakyat bukan untuk melayani dan
melindungi kepentingan oligarki dan kapitalisme. Karena itu sangatlah
12

menyeramkan dan tidaklah terhormat sikap dan perbuatan pemerintahan


yang bersetubuh dengan kepentingan oligarki dan kapitalisme.
Situasi ini menerangkan urusan politik ideologi kepentingsn rakyat yang
berhadapan secara langsung dengan kelompok penguasa yang
berselingkuh dengan para kelompok oligarki dan kapitalisme ini, para
perusak dan perusuh kedaulatan rakyat yang terdiri dari barisan
kepejabatan negara yang bersekongkol dengan kaum oligarki dan
kapitalisme tersebut berhasil memonopoli sumber daya politik dan ekonomi
yang semula dipergunakan untuk kepentingan rakyat tapi malah di Raup
secara brutal oleh barisan kelompok ini.
Sogok menyogok kepentingan dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan
menjadikan kemasalahatan politik kepentingan rakyat sebagai urusan
personal dan kelompok kepentingan tertentu dapat terjaga dan dirawat
dengan baik dalam kelambu gelap kekuasaan.
Ketergantungan pada politik kepentingan personal atau kelompok tertentu
inilah yang menerangkan peristiwa cantiknya aturan main dari
persetubuhan kekuasaan dengan para kaum oligarki dan kelompok
kapitalisme, tentunya transaksi pertukaran kepentingan ini di operasikan
melalui dua kekuatan , yaitu kekuatan uang dan kekuatan jabatan,.
Para barisan pemerintahan memiliki kekuatan jabatan, melalui kekuatan
tahta yang di milikinya dia punya kewenangan untuk mengendalikan
urusan publik atau untuk mengatur masalah admistrasi kerakyatan dan
kelompok oligarki bersama kaum kapitalisme ini memiliki kekuatan modal
dan atau uang untuk menyogok para pejabat negara agar membuat suatu
kebijakan yang sesuai dengan hasrat dan keinginan dari kaum oligarki dan
kapitalisme ini, maka kebijakan para pemerintahan yang dia produksi
berdasarkan pada legitimasi konstitusional yang dimilikinya dia pergunakan
untuk mengendarai kepentingan kaum oligarki dan kapitalisme pada taraf
kehidupan rakyat, sehingga kebijakan yang inkonstitusional dengan
kepentingan rakyat adalah anak dari hasil perselingkuhan pejabat negara
dengan kaum oligarki dan kapitalisme ini, karena itu masuk akal kalau
wajah kebijakan kepemerintahan yang mereduksi nilai kepentingan rakyat
13

ini memiliki watak yang sama seperti orang tuanya yaitu haus akan uang
dan lapar akan pemonopolianpolitik dan sumber daya ekonomi kerakyatan.
14

BAGIAN KETIGA

KECACATAN KEBIJAKAN VAKSINASI


15

Kualitas pikiran yang buruk akan menghasilkan putusan yang jelek dan
cacat

Hukum diterbitkan untukmemberikan perlindungan memaksimalkan


kebahagiaan meminimalisirkan kejahatan,mempertahankan hak asasi
manusia,dan memangkas kebijakan penguasa yang otoriter, demikian juga
dengan Indonesia, negara +62 ini juga berdiri di atas hukum sebagaimana
yang di nyanyikan oleh konstitusi UUD 1945 pasal 1 Ayat 3 yaitu “
Indonesia adalah negara Hukum “ bukan negara kekuasaan bukan pula
negara yang di bangun berdasarkan selera suka dan tidak suka penguasa.
Karna itu segala bentuk tindakan kekuasaan yang memaksa masyarakat
sambil membawa-bawa nama hukum tapi diam-diam pentingan pribadinya
adalah seAmbil contoh salah satu bentuk ketakpenghormatan penguasa
pada hukum adalah memberlakukan kebijakan kewajiban vaksin tanpa
memperhatikan perintah undang-undang yang berada di atasnya.

Perhatikan Bagaimana Kejamnya Peraturan di bawah ini :

Berdasarkan pada keputusan Presiden nomor 14 tahun 2021 tentang


perubahan atas peraturan presiden nomor 99 tahun 2020 tentang “
PENGADAAN VAKSIN DAN PELAKSANAAN VAKSINASI DALAM
RANGKA PENANGGULANGAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE
2019 (COVID-19) “.
Pasal 13A ayat (2) yang berbunyi “setiap orang telah di tetapkan sebagai
sasaran penerima Vaksin Covid-19 “ Dalam ayat (4) “ Yang tidak mengikuti
Vaksinasi Covid-19 akan di kenakan Sanski administrasi berupa
16

penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan


sosial penundaan atau pemberhentian pemberian administrasi pemerintah
berupa denda”.
Point sederhana dalam pasal tersebut adalah setiap orang wajib vaksin
dan yang tidak di vaksin akan di kenakan sanksi administrasi.
Menurut pasal ini bagi masyarakat yang tidak mengikuti vaksin tidak dapat
menerima bantuan sosial atau jaminan sosial dari pemerintah serta yang
tidak patuh pada perintah pemerintah dapat di berikan Sanski denda.
Sungguh hebat Bukan peraturan tersebut..? Apakah undang-undang yang
berada di atasnya mengatakan juga demikian.. Ingat dalam hukum kita
menganut beberapa asas berhukum.
Pertama adalah asas harmonisasi Non kontradiktif, Asas ini menegaskan
tidak boleh ada pertentangan antara undang-undang atau pasal yang satu
dengan pasal yang lainnya.
Kedua adalah asas superioritas hierarkis Asas ini menegaskan jika terjadi
pertentangan antara undang-undang yang tertinggi dengan undang-
undang yang terendah maka undang-undang yang tertinggi akan keluar
sebagai pemenang dan undang-undang terendah di nyatakan tidak dapat
di berlakukan atau batal demi kemanusiaan.
Mari kita perlahan-lahan membungkam jalan pikiran penguasa tersebut
dan memergokinya dengan memakai alat hukum yang berada di atasnya.
Tapi sebelum itu ada baiknya kita sedikit menjenguk dulu Dunia Hierarkis
peraturan perundang-undangan nomor 12 tahun 2011 yang mengalami
perubahan melalui undang-undang nomor 15 tahun 2019 karna dunia
hierarkis perundang-undangan inilah yang akan kita gunakan untuk
membongkar pikiran picik yang di selundupkan oleh penguasa, yang
terlembagakan dengan sempurna dalam Bentuk kebijakannya tentang
Keputusan presiden nomor 14 tahun 2021 sebagai revisi terbaru atas
peraturan presiden nomor 99 tahun 2020 tentang Vaksinasi tersebut. UU
nomor 12 tahun 2011 yang di ubah melalui UU nomor 15 tahun 2019
tentang Hierarkis peraturan perundang-undangan pasal 7 ayat 1 yang
berbunyi :
17

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan,Pemerintah,PenggantiUndang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Biar gue jelaskan sedikit apa maksud dan amanat dari UU tersebut
khususnya pada pasal 7 ayat 1 di atas. Amanat UU hierarkis dalam pasal 7
ayat 1 tersebut adalah bahwa dalam dunia hierarkis hukum memiliki sistem
senioritas dan junioritas dan setiap junioritas wajib menghormati dan
menghargai ungkapan senioritas yang berada di atasnya. Junioritas tidak
boleh melampaui tingkatan yang berada di atas senioritasnya Dan
junioritas juga terlarang memiliki pendapat yang bertentangan dengan
pendapat senior yang berada di atasnya, sebab senior lebih dulu hadir dari
junior dan kekuatan senioritas lebih hebat daripada kekuatan yang di miliki
oleh junioritas serta kecerdasan senioritas lebih tinggi dari kecerdasan
yang di miliki oleh junioritas yang berada di bawahnya,tugas senioritas
membuka peta pikiran umum dan tugas junioritas menjelajahi dan
memperjelas pikiran umum yang di sampaikan oleh senioritas yang berada
di atasnya.
Jika jalan pikiran Hierarkis hukum Senioritas-Junioritas ini di tarik pada
pasal 7 ayat 1 di atas maka mudah kita menangkap mana hukum yang
lebih senioritas dan mana hukum yang junioritas,.
18

Hukum yang senioritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-45) kemudian Junior yang di
bawahnya adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Lalu Junior
yang di bawah ketetapan tap MPR adalah Undang-Undang/
Peraturan,Pemerintah,Pengganti,Undang-Undang; junior yang dibawah
undang-Undang/Peraturan, Pemerintah,penggantiundang-Undang adalah
peraturan pemerintah dan junior yang berada di bawah peraturan
pemerintah adalah peraturan presiden sementara junior yang berada di
bawah peraturan presiden adalah peraturan daerah provinsi dan junior
yang paling baru sekaligus yang terakhir adalah peraturan daerah
kabupaten/kota.
Sistem senioritas Hukum ini akan memudahkan kita memahami keputusan
tertinggi ada di tangan UUD-1945 karna dia adalah senior hukum yang
paling tua di bandingkan dengan Hukum-hukum yang lainnya baik Tap
MPR, UU,peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah
provinsi maupun peraturan daerah kabupaten kota semuanya wajibul
hukumnya mendengarkan dan menghormati UUD-45 tersebut, begitu juga
dengan turunannya masing-masing pembagian dalam tatanan tingkatan
senioritas hukum yang di bawah wajib menghormati dan mendengarkan
hukum yang di atasnya, misalnya peraturan daerah kabupaten kota wajib
menghormati senior yang berada di atasnya yaitu peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah provinsi wajib mendengarkan dan
menghormati ungkapan presiden yang berada di atasnya, demikian juga
peraturan presiden wajibul hukum nya menghormati senior yang berada di
atasnya dan di larang keras merumuskan pendapat yang bertentangan
dengan kakak-kakak hukum yang berada di atasnya,seperti peraturan
pemerintah dan seterusnya sampai pada penghormatan tertingginya yang
berada pada senior tertua mereka adalah UUD-45 tersebut.
Dari Sini kita akan tiba pada satu dasar kesimpulan tentatif bahwa Dunia
Hierarkis hukum adalah dunia yang terjalin berdasarkan pada
stratifikasi/tingkatan kekuatan yang terkoordinasi dengan baik,Garis
Koordinasinya sangat jelas bahwa Urutan Tingkatan hukum yang tertinggi
sampai pada hukum terendah adalah di laksanakan berdasarkan pada
sikap yang saling menghormati, sambil menjaga kesopan-santunan dunia
19

hierarkis hukum yang di bangun berdasarkan pada garis keteraturan jagad


ketertiban Dunia hukum itu sendiri,.
Garis koordinasi hierarkis hukum dapat bekerja dengan baik jika tidak
adanya keterputusan hubungan hukum dan ketidaksaling tumpang tindihan
karena bila hierarkis hukumnya Rusuh maka fenomena itu dapat
mengancam terjadinya kekandasan dan laju tata tertib lalu lintas dunia
hukum itu sendiri dapat menjadi goyah sehingga memicu terjadinya
ketidakpercayaan publik terhadap jagad dunia hukum,..
Sekarang setelah kita pergi menjenguk dunia hierarkis hukum maka tibalah
saatnya kita menyisir dunia kebijakan penguasa yang diam-diam berani
menyelundupkan kepentingan pribadinya yang terbungkus rapi dalam
peraturan/keputusan presiden perihal kewajiban dan sanksi terhadap
masyarakat yang tidak mau di vaksin.

Pertama :
Keputusan Presiden nomor 14 tahun 2021 tentang perubahan atas
peraturan presiden nomor 99 tahun 2020 tentang “ PENGADAAN VAKSIN
DAN PELAKSANAAN VAKSINASI DALAM RANGKA
PENANGGULANGAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019
(COVID-19) Pasal 13A ayat (2) yang berbunyi “setiap orang telah di
tetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19, bertententangan
dengan Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5
ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak
secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan Kesehatan
yang diperlukan dirinya. Pada kepres presiden pada pasal 13 ayat 2 adalah
mewajibkan untuk vaksin, sementara dalam UU kesehatan pasal 5 justru
menempatkan masalah kesehatan itu adalah hak bukan kewajiban,.

Mari kita perjelas lagi apa itu kewajiban dan apa itu hak ,.?
20

Kewajiban artinya adalah sesuatu yang harus di lakukan dengan tidak


membuka kemungkinan alternatif untuk memilih,sementara hak adalah
sesuatu yang telah di peroleh atau suatu bentuk kepemilikan bahkan
sebelum kita terlahir kedunia,hak membuka ruang kebebasan kita untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk memilih sesuatu
atau tidak memilih,untuk melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan
sesuatu, dari sini terlihat jelas bahwa hak membuka ruang alternatif kepada
setiap orang untuk bertindak berdasarkan kemandirian dan kedaulatan
pribadinya.
Dari sini kita menangkap bahwa kepres presiden tersebut sebagai junior
dari undang-undang kesehatan berani tidak menghormati bahkan terlihat
sangat tidak mendengarkan apa yang di katakan oleh undang-undang
kesehatan pada pasal 5 ayat 3 sebagai senior dari kepres. Kebijakan
peraturan presiden tersebut melanggar asas harmonisasi Non kontradiktif
juga berbenturan dengan asas Superioritas hierarkis.
Dikatakan melanggar asas harmonisasi karna pasal 13 ayat 2 tentang
penetapan kewajiban vaksin tidak cocok dan Harmonis dengan undang-
undang kesehatan pasal 5 ayat 3 yang menetapkan urusan kesehatan
sebagai hak, selanjutnya berbenturan dengan Superioritas hierarkis hukum
sebab peraturan/keputusan presiden berada di bawah tingkatan undang-
undang,lain yang di katakan oleh undang-undang kesehatan lain pula yang
di sampaikan oleh peraturan presiden tersebut,
Benturan senioritas hukum UU kesehatan dengan junioritas hukum
peraturan presiden tentang vaksinasi dapat di nyatakan bahwa peraturan
presiden pada pasal 13 ayat 2 tentang kewajiban vaksin di nyatakan gugur
atau tidak dapat di berlakukan sebab uu kesehatan sebagai senior dari
peraturan/keputusan presiden menyatakan urusan kesehatan termasuk
urusan memilih mau vaksin atau tidak adalah hak setiap orang untuk
memilih.

Kedua :
21

Keputusan Presiden nomor 14 tahun 2021 tentang perubahan atas


peraturan presiden nomor 99 tahun 2020 tentang “ PENGADAAN VAKSIN
DAN PELAKSANAAN VAKSINASI DALAM RANGKA
PENANGGULANGAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019
(COVID-19) pada pasal 13A ayat 4 tentang Sanski administrasi serta tidak
diberikannya bantuan sosial bagi masyarakat yang tidak mengikuti
Vaksinasi,.
Nampaknya pasal dari peraturan presiden ini tidak memperhatikan dengan
baik perintah dan ungkapan dari apa yang di katakan oleh senior
tertuannya yaitu Undang-undang dasar 1945 pada Pasal 28H ayat (3) yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”
lalu di pertegas lagi melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak asasi manusia pada pasal 41 ayat 1 yang mengatakan bahwa
Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”.
Menurut undang-undang ini jaminan sosial itu diperoleh berdasarkan pada
hak atas kelayakan bukan berdasarkan harus di vaksin dulu baru
memperoleh bantuan sosial, dari sini terlihat jelas bahwa peraturan
presiden tersebut berusaha memaksa Masyarakat untuk di vaksin dengan
mengancamnya melalui denda administrasi maupun tidak di berikan nya
bantuan sosial adalah sebuah pelecehan terhadap hak asasi manusia dan
penghinaan terhadap konstitusi tertinggi dan undang-undang hak asasi
manusia.
Sanksi administratif berupa dan pemberhentian memberi jaminan sosial
kepada masyarakat yang di tetapkan dalam keputusan presiden pasal 13
ayat 4 tersebut adalah pelanggaran konstitusional dan kemanusiaan yang
tak dapat di terima sebagai sebuah hukum yang memanusiakan dan
hukum yang di terbitkan berdasarkan pada kepentingan masyarakat.
Hukum yang baik dan benar adalah hukum yang di rumuskan berdasarkan
kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi kekuasaan, hukum yang
baik adalah hukum yang menghormati dan menghargai hak rakyatnya
bukan justru hukum yang menginjak-injak dan menodai kehormatan hak
22

asasi manusia,karena hukum di buat untuk manusia dan hukum hadir


sebagai anak kandung masyarakat.hukum lahir, tumbuh , berkembang dan
lenyap bersama masyarakat itu sebabnya hukum sebagai anak kandung
masyarakat sepatutnya menjaga menyesuaikan diri dan bertindak untuk
dan atas nama masyarakat sebab itu adalah cara hukum berteerima kasih
kepada masyarakat yang memberikan kehidupan pada hukum. ,. Cicero
filsuf dari romawi bilang Ibiiusibisociety “ dimana ada masyarakat maka di
situ ada hukum “.
23
24

BAGIAN KEEMPAT

KECACATAN MEMAHAMI KRITIK SEBAGAI HAK DALAM


MENGUNGKAPKAN PIKIRAN

“Demokrasi tumbuh subur dengan kritik tanpa kritik maka Demokrasi hanya
akan menghasilkan otoritarianisme”

Pembahasan mengenai persoalan yang berkaitan dengan masalah kritik


yang di cap sebagai tindakan kriminal ini saya akan hati-hati sedikit,
mengingat masalah ini sungguh rawan untuk disalahgunakan
penafsirannya oleh para kelompok penguasa ini.
Saya akan memulai pembacaan dasar pemikiran kritik ini dari lahan
formalitas konstitusionalnya dulu kemudian beranjak secara perlahan-lahan
untuk membongkar filsafat di balik pelabelan kritik sebagai tindakan
kriminal yang datang dari corong-corong brutalnya para penguasa ini.
Tapi sebelum kita memasuki lahan formal konstitusional dari masalah kritik
ini, sebaiknya kita melakukan perjumpaan dulu dengan penetapan
perfilsafatan atas esensialitas dari kiritik itu sendiri.
Jalan pikiran perjumpaan dengan perfilsafatan atas esensialitas kritik inilah
yang akan memudahkan kita memahami hubungan kritik dengan
kehidupan terlebih lagi dalam urusan negara yang katanya memakai
sistem kekuasaan yang demokratis.
25

Kritik dalam esensialitas kefilsafatannya adalah adalah sebuah upaya


pikiran yang melakukan evaluasi dan koreksi terhadap realitas yang
absurditas, realitas yang absurditas adalah adalah sebuah pertunjukan
kenyataan yang bergerak melewati batas-batas kebenaran atau yang
memalsukan nilai-nilai kebenaran.
Disini kritik hadir untuk memangkas realitas yang melampaui batas-batas
kebenaran agar rotasi realitas dapat kembali kekoridor kebenarannya serta
membongkar tindakan yang memalsukan nilai-nilai kebenaran itu sendiri,
supaya otentitisas dari kemurnian kebenaran dapat terlihat secara jelas
dan terang.
Disini saya akan memfokuskan masalah kritik dalam konteks yang lebih
bersifat publik bukan membicarakan kritik yang sifatnya privatisasi. Tidak
ada urusannya dengan saya untuk mengkritik person individu.
Kritik yang bersifat publik ini saya lakukan karena para barisan
pemerintahan tersebut bertindak untuk dan atas nama rakyat bukan atas
nama pemerintahan itu sendiri dan saya sebagai rakyat tentu punya hak
untuk mengungkapkan pikiranku dalam melakukan evaluasi penilaian atas
tindakan pemerintahan tersebut.

Sekarang marilah kita menelusuri dunia formalitas kritik dalam ketetapan


konstitusionalnya.
Pertama dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi :

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan


mengeluarkan pendapat “.

Kemudian berlanjut pada UU nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi


manusia pada pasal 23 ayat 2 yang berbunyi :
26

“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan


menyebarluaskan pendapatnya sesuai dengan hati nuraninya secara lisan
dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan ketertiban, kepentingan umum
dan keutuhan bangsa”

Kemudian dipertegas lagi melalui undang-undangnya sendiri yaitu UU


nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
dimuka umum dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara


untuk menyampaikan pikiran dengan lisan atau dengan tulisan dan
sebagainya dengan cara yang bebas dan bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Selanjutnya dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia


(UDHR) yang menyatakan bahwa

“Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak


ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa intervensi serta
untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media
apapun yang dikehendaki dan tanpa memandang batas negara”.

Dari landasan konstitusional ini sampai pada deklarasi universal hak asasi
manusia yang mengatur tentang pentingnya perlindungan negara pada
warga negara dalam mengungkapkan pikiran baik itu dilakukan secara
lisan maupun diterus-terangkan melalui tulisan sebab ia adalah salah satu
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dihormati oleh negara.
27

Aktivitas rakyat yang mengkritik kebijakan pemerintah baik perorangan


maupun berkelompok baik dilakukan secara lisan maupun melalui tulisan,
baik dengan menggunakan media maupun elektronik adalah sah secara
konstitusional dan bukan dianggap sebagai sebuah tindakan yang
kriminalitas.
Lucunya amanat konstitusional maupun undang-undang terlebih lagi
deklarasi universal hak asasi manusia tidak dilaksanakan secara serius
oleh para aparatus negara tersebut.
Lihatlah bagaimana historical realitas dari kejamnya pembungkaman
pikiran para aktivis kemanusiaan yang mengkritik keputusan pemerintahan
karena selain inkstutisoinal juga sangat kejam memotong pikiran-pikiran
kritis rakyat, dijaman orde baru para masyarakat yang mengkritik tindakan
dan kebijakan pemerintahan dibantai secara brutal oleh pemimpin orde
baru mulai dari kekejaman penghilangan secara paksa, pembunuhan
sampai pada berakhir dibalik jeruji besi, dijaman Sekarang pun meski
sistem negara kita bersifat demokratis tapi gaya otoritarianisme masih
sangat awet dalam dunia aparatus negara tersebut.
Lihatlah bagaimana penulis buku Jokowi undercover Bambang Tri bukunya
dilarang untuk di edarkan serta siapa yang mengedarkan dan membaca
buku tersebut akan langsung di tangkap oleh para tanker negara ini lalu
penulis bukunya langsung dipenjarakan tanpa melewati prosesi pengadilan
yang jujur dan adil,.
Sampai sekarang kabar penulis buku Jokowi undercover tersebut telah
lenyap status masih hidup atau tidaknya masih kita pertanyakan. Tito
Karnavian sebagai pemimpin tertinggi Kapolri pada saat itu dengan
angkuhnya mengeluarkan maklumat bahwa buku Jokowi undercover
tersebut tidak ilmiah,.
Sungguh aneh tindakan para tanker negara ini menghukumi status ilmiah
atau tidaknya suatu buku ditentukan oleh tanker-tanker negara.
Padahal sejatinya urusan ilmiah dan tidaknya suatu buku bukan
kewenangan tanker negara memutuskan itu tapi universitas dengan para
akademisinya yang di dalam itulah yang punya kompetensi yang mumpuni
28

untuk menentukan status keilmiahan atau tidaknya suatu buku


tersebut,lucunya buku tersebut malah dilarang untuk di baca dan di
edarkan dikampus, sebuah sikap logika yang begitu absurditas yang
berhasil di pertontonkan secara terang-terangan oleh para aparatus negara
tersebut.
Secara semiotika upaya pelarangan buku Jokowi undercover untuk dibaca
dan dibahas baik dalam ruang-ruang akademisi maupun dikalangan
masyarakat pada umumnya adalah indikasi terhadap arogansi kekuasaan
yang memiliki kerapuhan logika, cacat pikiran kritis serta mutu intelektual
yang sangat lemah akibatnya demi untuk menutupi rangkaian
kelemahannya serta sebagai upaya mempertahankan status kekuasaan
dipergunakanlah jeruji besi sebagai cara dan langkah terbaik untuk
membungkam para rakyat yang kritis.
Kebiasaan primordial kekuasaan dalam membungkam pikiran rakyat
adalah cara terbaik aparatur negara untuk mengawetkan dan
melanggengkan kekuasaannya.
Kasus pembungkaman terhadap pikiran kritis yang dilakukan secara brutal
oleh para aparatus negara dengan tanker-tanker terbaiknya masih banyak
terjadi lagi, misalnya kemarin dulu pada saat demonstrasi undang-undang
cipta kerja omnibus lawdimana undang-undang tersebut dilihat
mengegerobaki kepentingan oligarki dan kapitalisme dan sudah pastinya
menyengsarakan rakyat begitu banyak para aktivis yang di tangkap
dengan tuduhna melakukan pencemaran dan penghinaan terhadap
negara,.
Dimakassar para aktivis kemanusiaan yang membawa keranda Puan
Maharani selepas berdemonstrasi lagi-lagi harus di bungkam dibalik jeruji
besi.
Padahal aktivitas itu adalah lumrah dalam pengungkapan pikiran di muka
umum.
Para Aktivis yang membawa keranda Puan Maharani tersebut sebagai
pengungkapan ekspresi kekecewaan mereka terhadap kebijakan para
apartaus negara yang dalam hal ini DPR sebagai anjing penggonggong
29

rakyat telah membuat suatu ketentuan hukum yang justru tak sesuai
dengan kehendak rakyat bahkan sangat merugikan kehidupan publik
rakyat itu sendiri.
Pemerintahan tidak sepantasnya mendapatkan hak kekebalan hukum
karma jika mereka memperoleh status hak kekebalan hukum maka itu
sangat bertentangan dengan nilai demokrasi kedaulatan rakyat itu sendiri,
sungguh lucu pejabat negara yang bertugas sebagai pelayan negara
mendapat hak kekebalan hukum sementara rakyat yang menjadi raja dari
pemerintahan ini tidak mendapatkannya,.
Bukankah hal kekebalan hukum itu sepatutnya dimilik oleh rakyat sebab
rakyat adalah raja bagi para pemerintahan .
Dengan hak imunitas yang dimiliki oleh para apartaus negara ini rakyat
akan kesusahan untuk mengkritik kebijakan pemerintahan karena bisa saja
pemerintahan tersebut akan mendalilkan bahwa yang mengkritik kebijakan
aparatus negara tersebut justru menodai dan melakukan pencemaran
nama baik pemerintahan. Cukup lucu bukan.
Jika tidak ingin mendapatkan sorotan kritik dari rakyat maka berhenti
menjadi aparatus negara, karena menjadi aparatus negara berarti siap
perintah dari rakayatdan jika tak sesuai dengan perintah rakyatnya maka
rakyat memiliki hak untu mengevaluasi dan memeriksa serta memberikan
peringatan pada pemerintahan tersbut bahwa tindakan dan kebijakan
publik yang mereka lakukan telah melenceng dari konstitusi dan amanat
dari rakay itu sendiri.
Ingatlah ketika para aparatus negara mengambil kebijakan atau ketetapan
hukum yang dia bawa itu nama rakyat bukan nama pribadinya sendiri,
maka logislah karena status kebijakannys bersifat kepublikan maka publik
punya hak untik mengontrol dan mengoreksi kebijakan tersebut.
Belum lagi fenomena tentang pembungkaman pikiran waktu lagi gencarnya
isu peoplepower pada tahun 2019 dulu dimana orang yang
mengkampanyekanpeoplepower dituduh sebagai perbuatan makar oleh
para apartaus negara dengan tanker-tanker negaranya tersebut , padahal
30

ditahun 2014 sebuah buku tentang peoplepower sudah ada tepatnya pada
masa kampanye kepresidenan Jokowi yajg pertama,.
Dengan demikian peoplepower ditahun 2014 dianggap sah dan halal oleh
negara dan di tahun 2019 ditetapkan sebagai sebuah konsep makar yang
haram serta dilarang untuk di pergunakan di publik tepatnya pada masa
keperintahan Jokowi,.
Padahal peoplepower adalah sah secara konstitusional mengingat bahwa
jika kebijkan pemerintahan negara tersebut menyengsarakan,merusuhkan
dan mengacaukan serta memecah belah persatuan nasional sisi lain
peoplepower tersebut adalah semboyan dari para barisan oposisi
penguasa.
Sungguh aneh kalau oposisi tersebut tidak ingin pemimpin-pemimpin
negara tersebut tidak segera diganti.
Peoplepower itu adalah implementasi praktikum yang menjadi dasar
pijakan dari barisan oposisi dan oposisi itu di perlukan oleh pemerintahan
mengingat status negara yang demokratis adalah yang menghormati kaum
oposisi sebagai barisan yang menjadi pengawal kebijkan aparatus negara
serta menjadi ancaman para pemerintahan.
Oposisi dihadirkan agar para aparus negara tetap selalu berada pada jalur
konstitusional maupun searah dengan tuntutan dan aspirasi dari rakyat itu
sendiri.
Fungsi kritik terhadap kebijakan publik adalah untuk mengurai Tentang
kecacatan kebijakan publik bukan untuk membangun atau memperbaiki
kebijakan publik itu sendiri, tugas yang dikritik itulah yang harus
memperbaiki konsep kebijakan publiknya tersebut.
Dengan kata lain kritik itu sebuah konsepsi penguraian terhadap realitas
dengan menunjukan kesalahannya bukan memperbaikinya.
Negara demokrasi hidup dan tumbuh subur dengan kritik, itu sebabnya ide
mengganti presiden yang melekat pada diri oposisi sudah dimulai sejak
presiden itu di Lantik , sebab ide mengganti presiden telah melekat dalam
tubuh oposisi itu sendiri.
31

Karena itu kehadiran oposisi yang sering melakukan kritik terhadap


kebijkan publik di butuhkan untuk menjamin tidak kembali aparatus negara
ini pada kebiasaan primordialnya yang otoritarianisme dan
Diktatorianisme .

Anda mungkin juga menyukai