Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yudhistira Galang Pravasta

NIM : 18/427819/PN/15599

Metode dalam pengelolaan tanah (secara Kimia, Fisika dan Biologi)

Kimia

1. Biochar

Biochar dapat menjadi bahan pembenah tanah karena kemampuannya untuk mempertahankan
keberadaan unsur hara yang berguna bagi tanaman dan mampu mengurangi terjadinya aliran
permukaan akibat air berlebih. Dua hal penting dalam pemanfaatan biochar sebagai bahan
pembenah tanah adalah kecenderungannya untuk berikatan dengan unsur hara dan tingkat
persistennya yang tinggi. Biochar memiliki sifat fisik yaitu luas permukaan besar sehingga pori-
porinya banyak dan density-nya tinggi karena kemampuan mengikat airnya tinggi serta mampu
meningkatkan unsur hara yang ada di dalam tanah widowati et al. 2012).

Bahan pembenah tanah biochar dapat berpengaruh terhadap pH H2O tanah. Salah satu faktor
yang mempengaruhi pH H2O tanah adalah bahan organik (sumber karbon). Biochar memiliki
kandungan C-organik yang tinggi, C-organik biochar tersebut yang membuat biochar mampu
membuat tanah tetap stabil dan pH akan terjaga (Sihotang et al, 2018). Penambahan biochar
dapat meningkatkan pH pada tanah masam karena adanya peningkatan konsentrasi logam alkali
oksida ( Ca2+, Mg2+ dan K+) di biochar yang dapat mengurangi konsentrasi Al3+ di dalam
tanah (Putri dan Hidayat, 2017).

Biochar yang diaplikasikan ke tanah dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation. Koloid yang
ada dalam biochar dapat mengikat kation dalam tanah sehingga memiliki Kapasitas Tukar Kation
yang tinggi. Biochar mempunyai KTK tinggi sehingga mampu mengikat kation-kation tanah
yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman (Gani, 2010).

2. Bahan Organik

Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai
peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga
bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik
terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah
lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang
lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk
diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai
sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson,
1982). Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau
meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan
bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk
struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.

3. Gypsum

Secara umum penambahan gipsum mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti kadar air tanah
jenuh, kadar air tanah kapasitas lapang bobot isi tanah dan porositas tanah meskipun yang
terakhir pengaruhnya tidak nyata secara statistik. Peningkatan porositas tanah akibat pemberian
gipsum dikarenakan adanya peningkatan pori berukuran >0,034 mm, pori makro, pori meso, pori
tidak regular dan pori regular (Yu et al., 2014). Pemberian gipsum dalam jangka panjang mampu
memperbaiki struktur tanah yang semula berbentuk kolumnar yang kompak menjadi granular
demikian pula dengan distribusi liat dan fraksi liat dalam profil tanah (Semendyaeva et al.,
2014). Perubahan ini dengan demikian akan memperbaiki porositas tanah menjadi lebih baik
yang dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air baik pada kondisi jenuh maupun
kondisi kapasitas lapang.

Penambahan gipsum mampu meningkatkan Cadd dan konduktivitas elektrolit tanah secara
statistik signifikan. Kalsium merupakan bahan dasar yang ada dalam gipsum, penambahan
gipsum ke dalam tanah juga akan menambah sehingga peningkatan C add yang juga sekaligus
meningkatkan kandungan elektrolit dalam tanah (Mukmin et al, 2016).
Fisika

1. Mulsa

Pemberian mulsa di permukaan tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah seperti
menurunkan kepadatan permukaan tanah, menurunkan ketahanan penetrasi, dan meningkatkan
retensi air. Pemberian mulsa pada tanah dapat mengurangi proses detachment atau penghancuran
agregat tanah akibat energi butiran air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Adanya mulsa yang
ditebar di permukaan tanah, menghambat butir-butir hujan yang jatuh sehingga energi
tumbuknya menjadi nol. Oleh karena itu air yang masuk ke dalam tanah hanya berupa aliran-
aliran halus, dispersi agregat tanah dapat dikurangi, sehingga proses penutupan pori tanah oleh
partikel-partikel halus di permukaan tanah dapat dikurangi. Disamping itu mulsa yang
disebarkan di permukaan tanah dapat merangsang aktifitas makrofauna dan agregasi tanah di
bawahnya sehingga dapat menciptakan pori-pori makro yang selanjutnya meningkatkan infiltrasi
tanah (Wajunie et al, 2012).

2. Saluran Drainase

Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan
mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman,
dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase
ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air,
sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor (Idjudin, 2011). Bentuk saluran drainase,
khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi saluran pengelak, saluran teras, dan
saluran pembuangan air, termasuk bangunan terjunan (Departemen Pertanian, 2006).

3. Rorak

Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran
resapan. Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan
menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai
tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan
terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi seeara terusmenerus, bahan-
bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru (Idjudin, 2011).
Biologi

1. Fungi Mikoriza Arbuskular

Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki karakteristik tanah, serta tetap
menjaga keseimbangan lingkungan maka dengan penggunaan Fungi Mikoriza Arbuskular. FMA
bersimbiosis mutualisme dengan akar tanaman membentuk hifa-hifa eksternal sehingga mampu
mengambil hara P yang terfiksasi menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman.

Berdasarkan penelitian Nurmasyitah (2013), pemberian FMA mampu meningkatkan pH tanah


dan memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Hal ini dikarenakan dengan adanya aktifitas dan
metabolisme FMA menghasilkan dan melepaskan senyawa-senyawa organik yang berperan
dalam mengikat kationkation logam penyebab kemasaman tanah sehingga pH meningkat. Sesuai
dengan pendapat Tan (1998), senyawa-senyawa organik mampu mengikat kation-kation di
dalam kompleks jerapan, sehingga konsentrasi kejenuhan basa menjadi tinggi, dan pH tanah
menjadi naik.

Pemberian FMA mampu meningkatkan nilai N-total pada tanah Pemberian FMA mampu
meningkatkan aktifitas pembentukan bintil akar pada tanaman kedelai. Kolonisasi FMA juga
dapat meningkatkan nodulasi dan fiksasi N oleh rhizobium pada tanaman kacang-kacangan.
FMA memiliki kemampuan untuk mengakumulasi dan memobilisasi N dari sumber organik
(Barrett et al., 2011).

Pemberian FMA meningkatkan Ptersedia tanah. Hal ini memperlihatkan bahwa FMA mampu
melepaskan unsur P yang difiksasi oleh logam-logam berat menjadi tersedia bagi tanaman. Fungi
Mikoriza Arbuskular sangat berperan dalam meningkatkan ketersediaan P melalui jaringan hifa
ekstrenal yang dapat menghasilkan enzim fosfatase yang dilepaskan dalam tanah sehingga
mampu melepaskan P yang terfiksasi oleh ion Al dan Fe. FMA meningkatkan aktivitas asam
fosfatase dalam tanah, sehingga senyawa P organik dalam tanah dapat menjadi tersedia bagi
tanaman sesudah dihidrolisis oleh enzim fosfatase (Feng et al. 2003).
2. Trichoderma sp

Trichoderma sp. merupakan salah satu mikroorganisme yang berperan sebagai dekomposer
tanah. Selain sebagai dekomposer, Trichoderma sp. diduga juga berperan sebagai filter yang
mampu menyaring dan menghambat toksik-toksik dalam bahan gambut untuk tidak masuk ke
tubuh tanaman, sehingga hanya unsurunsur hara yang dibutuhkan saja yang dapat diserap
tanaman (Utomo, 2010). Menurut Syahnen (2006) sp. menyukai kondisi lingkungan yang
masam, yakni pH 3,5 - 5,5. Dalam kisaran pH tersebut keadaan tanah yang bersifat asam akan
merangsang fungi ini membentuk suatu antibiotik yang dapat menekan perkembangan pathogen.
Pada kondisi basa atau netral penambahan sulfur bahkan mampu meningkatkan perkembangan
mikroorganisme ini. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tentunya membutuhkan
energi yang diperoleh dari nutrisi yang ada di sekitarnya. Hasil perombakan selanjutnya akan
dilepaskan ke larutan tanah berupa hara yang dapat diserap perakaran tanaman. Di samping itu
Trichoderma sp. memiliki sifat anti pathogen, sehingga pathogen-pathogen tertentu yang
merugikan tanaman dapat dihambat pertumbuhannya. Respon selanjutnya adalah perakaran
menjadi tumbuh lebih baik karena perbaikan kondisi di rhizosfer yang semakin baik.

3. Bakteri pelarut fosfor dan bakteri penambat nitrogen

Unsur hara fosfor (P) dan nitrogen (N) di tanah sangat penting ketersediaannya untuk
pertumbuhan tanaman, maka mikroorganisme seperti bakteri dapat digunakan untuk
meningkatkan unsur hara yang tersedia bagi tanaman. Menurut Ginting et al. (2006) bahwa yaitu
bakteri pelarut fosfat (BPF) dan bakteri penambat nitrogen (BPN) diketahui dapat menyediakan
P dan N agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Bakteri pelarut fosfat (BPF) sangat berpengaruh nyata terhadap peningkatan P tersedia di tanah
Selain menghasilkan asam-asam organik, bakteri pelarut fosfat (BPF) juga menghasilkan enzim
fosfatase yang dapat melarutkan Ca-P sehingga P menjadi tersedia bagi tanaman (Astuti et al,
2013).

Bakteri penambat nitrogen (BPN) banyak terdapat pada bintil akar dari tanaman kacang tanah
(LCC). Sistem LCC menghasilkan perakaran yang luas, dengan sistem perakaran yang mampu
mengeluarkan eksudat eksudat akar. Sehingga mampu menciptakan lingkungan perakaran yang
memiliki ketersediaan senyawa nitrogen (NH4Cl, NaNO3 dan lainya), kelembaban, aerasi dan
kondisi oprimum dan pH yang sesuai bagi pertumbuhan bakteri (Agisti et al., 2014). Hal ini
memberikan kesempatan lebih besar terhadap kolonisasi mikoriza arbuskular dan kolonisasi
mikroba lain, salah satunya bakteri penambat N non simbiotik. Bakteri penambat N non
simbiotik menggunakan sumber karbon dari tanaman sebagai sumber energi dalam mengubah
gas N2 menjadi bentuk tersedia bagi tanaman (Killham, 1994).
DAFTAR PUSTAKA

Agisti, A., N. H. Alami, T. N. Hidayati. 2014. Isolasi dan dentifiasi bakteri penambat nitrogen
non simbiotik pada lahan restorasi dengan metode legume cover crop (LCC) di daerah
pasirian Lumajang Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni Pomitis 3(2): 36-39.

Astuti, Y. W., L. U. Widodo, I. Budisantosa. 2013. Pengaruh bakteri pelarut fosfat dan bakteri
penambat nitrogen terhadap pertumbuhan tanaman tomat pada tanah masam. Biosfera
30(3): 1-9.

Barrett, G., C.D. Campbell, A.H. Fitter, & A. Hodge. 2011. The arbuscular mycorrhizal fungus
Glomus hoi can capture and transfer nitrogen from organic patches to its associated host
plant at low temperature. Appl Soil Ecol. 48:102-105.

Departemen Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/


OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan.
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Feng, G., Y.C. Song, X.L. Li, & P. Christie. 2003. Contribution of arbuscular mycorrhizal fungi
to utilization of organic sources of phosphorus by red clover in a calcareous soil. Appl Soil
Ecol. 22:139-148.

Gani, A. 2010. Multiguna Arang - Hayati Biochar. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sinar
Tani. 13 : 1-4.

Ginting, R.C.B., R. Saraswati, dan E. Husen. 2006. Mikroba pelarut fosfat. Hlm 141-158

Idjudin, A. A. 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal


Sumberdaya Lahan 5(2): 103-116.

Killham, K. Soil ecology. Cambridge : University Press. (1994).

Mariani, L. 2018. Pengaruh Perlakuan Biochar Terhadap Retensi Fosfor Pada Tanah Pasca
Penambanagan Emas Tanpa Izin Kelurahan Roban Kecamatan Singkawang Tengah Kota
Singkawang. Skripsi. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Mukmin, D. Widjajanto, U. Hasanah. 2016. Pengaruh pemberian gipsum terhadap perubahan


beberapa sifat fisik dan kimia entisols Lembah Palu. Jurnal Agrotekbis 4(3): 252-257.
Nurmasyitah, Syafruddin, M. Sayuthi. 2013. Pengaruh jenis tanah dan dosis fungi mikoriza
arbuskular pada tanaman kedelai terhadap sifat kimia tanah. Jurnal Agrista 17(3): 103-110.

Semendyaeva, N. V., L. N. Korobovab, and N. V. Elizarovb. 2014. Changes in The Properties


and Biological Activity of Crusty Solonetzes in the Baraba Lowland Under the Long Term
Impact of Gypsum. Eurasian Soil Science 47: 1116–1122.

Sihotang, T.,P. Marbun, A. Rauf. 2018. Pengaruh pemberian biochar dari beberapa bahan baku
dan pupuk kieserit terhadap sifat kimia tanah dan produksi tanaman bawang merah (Allium
ascalonicum L.) di lahan sawah. Jurnal Mantik Penusa 2(2): 2016-212.

Syahnen. 2006. Pedoman Eksplorasi, Perbanyakan dan Penggunaan Jamur Trichoderma. Balai
Pengembangan Proteksi Tanaman Perkebunan Sumatera Utara. Medan.

Tan, K.H. 1998. Principles of Soil Chemistry. 3rd Ed. Marcel Decker, Inc. New York.

Utomo, B. 2010. Pemanfaatan beberapa bioaktivator terhadap peningkatan laju dekomposisi


tanah gambut dan pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
7(1): 33-38.

Wahjunie, E. D., N. Sinukaban, dan B. S. D. Damanik. 2012. Perbaikan kualitas fisik tanah
menggunakan mulsa jerami padi dan pengaruhnya terhadap produksi kacang tanah. Jurnal
Tanah 14(1): 7-13.

Widowati, Asnah, dan Sutoyo. 2012. “Pengaruh Penggunaan Biochar Dan Pupuk Kalium
Terhadap Pencucian Dan Serapan Kalium Pada Tanaman Jagung.” Buana Sains 12 (1):
83–90.

Yu, H.; P. Yang, H. Lin, S. Ren, X. He.2014. Effects of Sodic Soil Reclamation using Flue Gas
Desulphurization Gypsum on Soil Pore Characteristics, Bulk Density, and Saturated
Hydraulic Conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 76: 1201-1213.

Anda mungkin juga menyukai