Anda di halaman 1dari 61

PENGARUH NANOSUSPENSI PURWOCENG TERHADAP KADAR

MALONDIALDEHIDA SERUM DAN PERUBAHAN


HISTOPATOLOGI HIPOKAMPUS TIKUS WISTAR JANTAN
ALBINO PASCA PARADOXICAL SLEEP DEPRIVATION

TESIS

RANGGA WISNU WARDHANA


NIM G2A 019 005

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIS
2019 – 2020
1
HALAMAN PENGESAHAN

Pengaruh Nanosuspensi Purwoceng Terhadap Kadar Malondialdehida Serum Dan


Perubahan Histopatologi Hipokampus Tikus Wistar Jantan Albino Pasca
Paradoxical Sleep Deprivation

Proposal Tesis

Disusun untuk memenuhi persyaratan penelitian untuk mencapai gelar M.Biomed pada
Program magister Ilmu Biomedis FK UNSOED

Telah disetujui untuk seminar proposal oleh :

Pembimbing I Tanggal : ________________

Dr.dr. Fitranto Arjadi, M. Kes

Pembimbing II

Dr. Tuti Sri Suhesti, S.Si., Apt., M.Sc.

2
DAFTAR SINGKATAN

ARAS : Ascending Reticular Activating System


CA 1 : Cornu Ammonis 1 (Hipokampus)
CA 2 : Cornu Ammonis 2 (Hipokampus)
CA 3 : Cornu Ammonis 3 (Hipokampus)
DSM IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV
cm2 : centimeter persegi
GABA : Gamma Amino Butyrat Acid
gBB : gram Berat Badan
IURS : Isotrophic Uniform Random Sampling
MDA : Malondialdehyde
mg : mili Gram
mL : mili Liter
MMPM : Modified Multi Platform Method
NREM : Non Rapid Eye Movement
PI : Polidispersity Index
PSA : Particle Size Analyzer
PSD : Paradoxycal Sleep Deprivation
REM : Rapid Eye Movement
ROS : Reactive Oxygen Species
SD : Sleep Deprivation
TEM : Transmission Electron Microscopy

3
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL…....................…………………..........………………....………………6
DAFTAR GAMBAR………………............………………..........……....………………...7
DAFTAR LAMPIRAN………………………............……………..........…………………8
GLOSARIUM…………………………………..……..............…........…..........…………..9
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah……..……………….............……...………………..........…10
1.2 Perumusan Masalah………........................…………………………………………...12
1.3 Tujuan dan Manfaat……...........……........................………………………………...12
1.4 Keaslian Penelitian…………………………………………….......................……....13
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Materi Pustaka
1. Fisiologi Tidur……………………………………………………………..............16
2. Sleep Deprivation……………………………………………………….................18
3. Hipokampus………………………………………………………………..............20
4. Pengaruh Sleep Deprivation terhadap Hipokampus…..........................…………...22
5. Karakteristik dan Morfologi Tikus………………………………………...............24
6. Malondialdehid………………………………………………………….................26
7. Anti Oksidan dan Neuroprotektor………………………………………................26
8. Purwoceng………………………………………………………………................27
9. Nanosuspensi……………………………………………………………................30
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian…………………………………………….................35
2.3 Kerangka Konsep Penelitian...……………………………………………..................36
2.4 Hipotesis……………………………………………………………………................36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian……………………………………..................…......................37
3.2 Populasi dan Sampel………………………………….....…........................................38
3.3 Variabel Penelitian……………………….......………………………….....................39
3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian………………...................……….......……40
3.5 Materi dan Bahan Penelitian...……………….......……...................…………………41
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………………......…....................44
3.7 Tata Urutan Kerja………………………………...………………………..................54
3.8 Analisis Data…………………......……………………………………......................56
4
3.9 Waktu dan Tempat Penelitian…………………………….....…………....................56
3.10 Jadwal Penelitian………………………...……………………………...................56
Daftar Pustaka……………………………………………………........…........................57

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian dan Penelitian Pembanding..........................................14


Tabel 2.1. Perbandingan fase tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)
dan Rapid Eye Movement (REM)……………..…….........................................18
Tabel 2.2. Parameter Fisiologi Umum dari Tikus Wistar Albino........................................25
Tabel 2.3. Parameter Aspek Lingkungan dari Tikus Wistar Albino...................................26
Tabel 2.4.. Skema Klasifikasi Metode Pembuatan Nanosuspensi......................................31
Tabel 2.5. Tabel Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembuatan
Nanosuspensi..........……………………………………….................................33
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Penelitian............................................................40
Tabel 3.2. Formula kombinasi ekstrak purwoceng - khitosan – STPP modifikasi
formula Suhesti (2015)......................................................................................46
Tabel 3.3. Tabel Konversi Dosis Pemberian Obat pada Mencit, Tikus, Marmut dan
Manusia….................................………………………...........…………….......49
Tabel 3.4. Tabel Prosedur Penelitian dan Pembagian Kelompok berdasarkan
Perlakuan….......……………………………………….................….................55
Tabel 3.5. Tabel Rencana Jadwal Penelitian......................................................................56

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Serabut Proyeksi Aferen dan Eferen pada Formasio Hipokampus Jalur
Tembusan dan Fornix.................................................………………………21
Gambar 2.2. GambaranSitoarsitektur dari Formasio Hipokampus.....................................21
Gambar 2.3. Gambaran Skematis dari Jalur Sinyalisasi Hipokampus dan pengaruh
Gangguan Tidur.............................................................................................23
Gambar 2.4. Tikus Wistar Albino Dewasa (Rattus norvegicus).........................................26
Gambar 2.5. Tumbuhan Purwoceng (Pimpinella pruatjanMolkenb)..................................29
Gambar 2.6. Gambaran Skematis Kelebihan Penetrasi dari Obat yang telah
menggunakan Teknologi Nanosuspensi..........................................................30
Gambar 2.7. Model dan Gambaran Kerja Mesin Preparasi Nanosuspensi Presipitasi,
Media MillingProcess, High Pressure Homogenization..................................33
Gambar 3.Cara Kerja Pemberian Cairan Perlakuan dengan Sonde Gavage pada Tikus.....49

7
DAFTAR LAMPIRAN

8
GLOSARIUM

9
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tidur dibutuhkan oleh semua orang yang sehat ataupun sakit. Memperoleh
kualitas tidur yang baik penting untuk peningkatan kebugaran tubuh dan pemulihan
pasca sakit yang nantinya berpengaruh pada kualitas hidup manusia itu sendiri
(Shochat, 2014). Rerata durasi tidur telah mengalami penurunan dari 9 jam per hari
pada 1910 menjadi 7 jam sehari pada 2003. Studi lain menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi penderita sleep deprivation pada orang dewasa lebih dari 18
tahun. Persentase tersebut meningkat dari 7,6% pada tahun 1975 menjadi 9,3% pada
tahun 2006 (Shochat, 2014). Dari berbagai fakta tersebut, fenomena penurunan
kualitas tidur merupakan hal yang umum ditemukan pada masyarakat modern saat ini.
Sleep Deprivation (SD) yang dinamakan juga gangguan tidur atau kurang tidur,
didefinisikan sebagai hilangnya waktu tidur secara lengkap untuk periode tertentu
ataupun durasi tidur lebih pendek dari waktu optimal yang dibutuhkan. Hal tersebut
menimbulkan gangguan irama sirkadian tubuh (Ropper, 2014). Jenis SD yang paling
berat mengganggu irama sirkadian adalah Paradoxical Sleep Deprivation (PSD),
dimana terdapat gangguan pada peralihan fase NREM menjadi REM (Ma, 2019).
Kurang tidur berakibat kehilangan kekuatan, kelelahan, penurunan kekebalan tubuh
dan kerusakan pembuluh darah. Khusus sistem syaraf, ia menyebabkan penurunan
konsentrasi, memori, kemampuan belajar, pertimbangan logis, hingga pengendalian
emosi (Ropper, 2014). Salah satu bagian otak yang mengatur fungsi memori dan
kognitif serta dapat terpengaruh oleh gangguan tidur tersebut adalah hipokampus.
Secara biomolekuler, adanya gangguan tidur memicu gangguan perivascular
clearance sisa proses inflamasi siang hari akibat resistensi jaringan dan pembuluh
darah otak yang menurun. Proses ini berakibat pada munculnya stress oksidatif yang
berkelanjutan dan berpotensi mengakibatkan gangguan konsolidasi memori temporer
hingga permanen seperti halnya demensia Alzheimer, stroke, Parkinson, dan penyakit
degeneratif otak lainnya (Wu etc, 2019). Ciri khas dari penyakit degeneratif tersebut
adalah adanya penurunan kualitas dan kuantitas neuron-sinaps pada sel-sel sekitar
neokorteks seperti korteks cerebri, hipokampus, hipotalamus, sistem limbik, dan lain-

10
lain (Havekes, 2017). Salah satu parameter penanda stress oksidatif tersebut adalah
kadar malondialdehid serum (Ayala, 2014).
Indonesia sebagai salah satu megadiversitas dunia dikenal memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Salah satu komoditas tumbuhan obat
berkhasiat khas Indonesia adalah Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb atau
Pimpinella alpina Kds). Purwoceng dapat dimanfaatkan keseluruhan bagiannya
sebagai ramuan obat afrodisiaka, tonik, serta diuretik (Widodo, 2011). Potensi
purwoceng sebagai antioksidan sangat besar karena kandungan fenol dan bioflavonoid
di dalamnya (Suhartinah, 2011).
Tantangan terbesar masa kini di bidang farmakologi adalah sulit larutnya suatu
obat dan bioavailabilitas yang rendah dalam tubuh. Nanosuspensi merupakan
terobosan teknologi terbaru dalam farmakologi, dimana sebuah partikel obat koloid
telah terdispersi ke ukuran submikron kurang dari 1 μm, dengan rata-rata ukuran 200 -
600 nm (Prabkhar, 2011). Karena hal tersebut dikatakan nanosuspensi mempunyai
daya absorbsi, bioavailabilitas, onset, level puncak, dan penetrasi yang lebih tinggi
dibanding obat biasa. Dengan teknologi nanosuspensi ini diharapkan Purwoceng dapat
lebih memberikan efek farmakologis yang lebih baik dengan toksisitas yang lebih
rendah.
Melalui penelitian ini, peneliti mencoba mengamati efek gangguan tidur pada
sistem syaraf dan daya antioksidan dari purwoceng terhadap imbas dari kerusakan
hipokampus tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti gambaran stress oksidatif hingga
histopatologis hipokampus akibat PSD. Penelitian ini mengambil tikus wistar albino
sebagai hewan coba untuk dilakukan uji akibat pemberian perlakuan PSD serta
pengaruh nanosuspensi purwoceng terhadap perbaikan kondisi patologis tersebut.

11
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diteliti dapat dirumuskan


sebagai berikut :
1. Apakah perlakuan Paradoxical Sleep Deprivation (PSD) dapat menimbulkan
adanya kelainan pada malondialdehid darah, gambaran makroskopis dan
histopatologis hipokampus otak tikus wistar albino?
2. Apakah pemberian perlakuan nanosuspensi ekstrak purwoceng dapat memperbaiki
kadar malondialdehid darah, gambaran makroskopis dan histopatologis
hipokampus otak tikus wistar albino?
1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan di atas,


tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meneliti pengaruh pemberian
nanosuspensi ekstrak purwoceng terhadap malondialdehid darah, gambaran
makroskopis dan histopatologis tikus wistar jantan albino yang diberi perlakuan PSD.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengamati apa saja pengaruh PSD terhadap morfologi hipokampus tikus wistar
albino jantan pada kelompok kontrol
2. Menguji perbedaan kadar malondialdehid darah, gambaran makroskopis dan
histopatologis hipokampus otak tikus wistar albino jantan yang PSD, pada
kelompok yang diberikan nanosuspensi purwoceng dengan kelompok kontrol
3. Menguji efektivitas pemberian nanosuspensi ekstrak purwoceng pada
malondialdehid darah, gambaran makroskopis dan histopatologis hipokampus otak
tikus wistar albino jantan pada berbagai variasi dosis pemberian.
Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :
a) Manfaat Bagi Masyarakat
‒ Dapat menjadi informasi akan kerugian yang bisa dialami dari gangguan tidur
PSD terutama berkenaan dengan sistem syaraf pusat
‒ Memberi informasi akan kegunaan Purwoceng sebagai obat herbal yang dapat
meningkatkan imunitas dan pemeliharaan tubuh untuk tetap sehat
b) Manfaat Bagi Otoritas Kesehatan
‒ Sebagai masukan informasi tentang Purwoceng dan efeknya terhadap tubuh
dan sistem syaraf pusat agar dapat menjadi pertimbangan pengambilan
kebijakan terkait dengan obat herbal tradisional di Indonesia

12
‒ Memberi masukan informasi mengenai dampak PSD terhadap kesehatan dan
produktivitas rakyat Indonesia sehingga dapat menyusun kebijakan bidang
kesehatan yang lebih efektif demi kesehatan seluruh elemen bangsa Indonesia
c) Bagi Institusi Pendidikan
‒ Sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang terkini mengenai purwoceng dan
PSD
‒ Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian berikutnya di
bidang fisiologi serta fitofarmakologi.
‒ Dapat memperluas dan mendalami penelitian sejenis pada masa mendatang
baik dari aspek substansi maupun desain penelitian.
d) Bagi Peneliti
‒ Sebagai syarat tesis untuk mengajukan magister S2 di bidang Biomedis
‒ Sebagai tambahan pengalaman dalam penelitian yang mendatang
1.4 Keaslian Penelitian

Peneliti mendapatkan beberapa penelitian tentang MDA dan sleep deprivation


pada organ hipokampus. Walau demikian belum ada penelitian secara spesifik yang
meneliti efek Purwoceng pada variabel di atas. Beberapa penelitian yang hampir
mendekati tersebut antara lain :

Peneliti Judul Persamaan Perbedaan Hasil


Taufiqurrahman Effect of Purwoceng Variabel bebas Variabel terikat yang Purwoceng
, S.Wibowo, Extract in tentang pemberian diteliti adalah FSH dan dapat
2006 Stimulating Purwoceng, tikus LH, purwoceng meningkatkan
Testosterone, coba sama-sama diberikan dalam kadar FSH dan
Luteinizing menggunakan bentuk sediaan ekstrak LH pada tikus
Hormonne (LH) and galur Sprague
Follicle Stimulating Dawley
Hormonne (FSH) in
Sprague Dawley
Male Rats
Arjadi, et al., Paradoxical Sleep Variabel bebas Variabel terikat Paradoxical
2014 Deprivation tentang stressor tentang penurunan Sleep
Decreases Serum Paradoxical Sleep serum testosterone dan Deprivation,
Testosterone and Deprivation, sel Leydig imobilisasi dan
Leydig Cells in Male hewan coba tikus footshock stress
Rats Wistar jantan menurunkan
(Rattus testosterone
norvegicus) serum dan
jumlah sel
Leydig
Hermawati, E., The Effect of Black Variabel terikat Variabel bebas tentang MSG
Ratna Sari, Garlic Ethanol tentang estimasi black garlic ethanol mengakibatkan
D.C, Extract on the jumlah sel total sel extract sebagai penurunan
Partadiredja, G., Spatial Memory and piramidal pada antioksidan fungsi dan
2015 Estimated Total hipokampus, struktur dari

13
Number of hewan tikus coba hipokampus
Pyramidal Cells of Wistar jantan, tikus, black
the Hippocampus of teknik stereologi garlic dapat
Monosodium mengurangi
Glutamate-exposed efek reduksi
Adolescent Male dari MSG pada
Wistar Rats sel piramidal
hipokampus
Arjadi, et al, Pengaruh Pemberian Variabel bebas Akar Purwoceng Pemberian
2017 Ekstrak Etanol Akar yang berasal dari diolah menjadi ekstrak ekstrak etanol
Purwoceng akar Purwoceng, etanol, pengujian akar
(Pimpinella pruatjan hewan coba tikus variabel terikat pada Purwoceng
Molk.) secara Akut wistar jantan fungsi hepar dengan secara akut
terhadap Fungsi (Rattus skala Roenigk dan tidak merusak
Hepar Tikus Putih norvegicus) histopatologi, uji histologi hepar,
(Rattus norvegicus) toksisitas dengan dosis tidak
Jantan : Uji rendah hingga berpengaruh
Toksisitas Akut tertinggi terhadap kadar
SGOT,
berpengaruh
terhadap kadar
SGPT tikus
putih (Rattus
norvegicus)
jantan
Noorafshan, A., Restorative Effects of Variabel terikat Variabel bebas tentang Curcumin
et al, 2017 Curcumin on Sleep- tentang perubahan efek restorasi dari berpotensi
deprivation Induced struktural Curcumin, variabel mencegah
Memory hipokampus tikus bebas mengenai perubahan
Impairments and coba, sleep- gangguan memori struktural dan
Structural Changes deprivation, perilaku dari
of the Hippocampus estimasi volume organ
in a Rat Model dan jumlah sel hipokampus
hipokampus
dengan teknik
stereologi
Arjadi, et al, Purwoceng Roots Variabel bebas Akar Purwoceng Pemberian
2019 Ethanol Extract yang berasal dari diolah menjadi ekstrak ekstrak etanol
Make no akar Purwoceng, etanol, variabel terikat akar
Improvement in hewan coba tikus meneliti sel Leydig Purwoceng
Leydig Cells Activity wistar jantan dan serum testosterone menimbulkan
to Male White Rats (Rattus efek signifikan
(Rattus norvegicus) norvegicus), pada jumlah sel
Exposed by model stress Leydig dan
Paradoxical Sleep Paradoxical Sleep serum
Deprivation (PSD) Deprivation (PSD) Testosterone
Stress Model pada tikus
wistar jantan
yang diinduksi
model stress
PSD
Susilowati, et Efek Ekstrak Ethanol Variabel terikat Variabel bebas tentang Waktu latensi,
al, 2019 Daun Kelor tentang kadar daun kelor, stressor uji kadar MDA,
(Moringa oleifera, Malondialdehida demensia dengan Pb dan
Lamk) pada Mencit dan jumlah sel Asetat 50 mg/kgBB, pemeriksaan
Model Demensia : Piramidal pengujian uji histopatologi
Kajian Memori Hipokampus area kemampuan spasial otak terdapat
Spasial, Kadar CA1, dan CA2- pada hewan coba perbedaan
Malondialdehida, CA3 dengan Morris Water bermakna
dan Jumlah Sel Maze, hewan tikus antara
Piramidal coba mencit kelompok

14
Hipokampus area negatif dengan
CA1, dan CA2-CA3 perlakuan,
yaitu terjadi
perbaikan
memori spasial,
penurunan
kadar MDA
serum, serta
kerusakan sel
piramidal
hipokampus
area CA1, dan
CA2-CA3
Situmorang, N., Efek Katekin Daun Variabel terikat Variabel bebas Katekin daun
2020 (tesis) Gambir (Uncaria tentang kadar mengenai daun gambir gambir dapat
gambir Roxb) malondialdehida sebagai antioksidan, menurunkan
terhadap Kadar serum pada katekin, meneliti kadar MDA
Malondialdehida hipokampus tentang ekspresi gen serum mencit
Serum dan Ekspresi sirtuin-1, hewan tikus model induksi
Gen Sirtuin-1 pada coba betina, model penuaan dan
Hipokampus Mencit stress penuaan tidak dapat
Betina Model diinduksi d-galaktosa menaikkan
Penuaan ekspresi sirtuin-
1
Penelitian ini Pengaruh True experimental
Nanosuspensi dengan
Ekstrak Purwoceng randomized
terhadap kadar controlled trial
malondialdehida parallel design
serum dan
Perubahan Post-test only with
Histopatologi control group
Hipokampus Tikus design
Wistar Jantan Albino
pasca Induksi Model
Stress Paradoxical
Sleep Deprivation

Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian dan Penelitian Pembanding

15
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Materi Pustaka

1. Fisiologi Tidur

Tidur dan siaga terkait dengan mekanisme eksitasi dan inhibisi neurotransmitter
di sekitar nukleus suprachiasmatika otak yang terintegrasi dengan ambien cahaya dari
luar tubuh. Daerah pusat-pusat tidur antara lain nukleus Raffe, traktus solitarius bagian
sensoris pons dan medulla, rostral hipotalamus, dan supra chiasmatica. Nuklei difus di
thalamus mempengaruhi enzim asetilkolin muramil peptida dan substansi non peptida
lainnya berakibat respons tidur berkepanjangan maupun mekanisme feedback yang
berguna pada kondisi kekurangan tidur (Baehr, 2014).
Prinsip sadar dan tidur diatur oleh glutamat dan GABA neuron melalui serabut
proyektil dan distal, yang juga mengatur aktivitas neuromodulator kortikal dan perilaku.
Sistem neuromodulator melibatkan asetilkolin, noradrenalin, dopamin, serotonin,
histamin, hingga orexin (Jones, 2019). Baik neuron sirkuit bangun dan tidur, berfungsi
mengatur aktivitas secara homeostasis dari perubahan-perubahan pada reseptornya. Saat
bangun, aminergik dan inhibisi meningkat, kolinesterase menurun. Saat tidur, aminergik
dan inhibisi menurun, kolinesterase meningkat (Lee, 2016). Monoaminergik neuronal
merupakan sirkuit di hipokretin atau orexin di hipotalamus. Enzim monoaminergik ini
berperan dalam peningkatan siklus tidur dan irama sirkadian. Enzim kolinergik banyak
terdapat pada regio parabrachial di dorsolateral pontine tegmentum (Lee, 2016).
Tidur meningkatkan clearance metabolit pada sawar darah otak sisa metabolisme
saat siaga. Irama sirkadian yang teratur mempermudah proses tersebut. Irama sirkadian
mempengaruhi sawar darah otak yang berdekatan dengan arteri-arteri besar otak. Irama
sirkadian dipengaruhi oleh pemanjangan periode ketenangan, pengaturan ambang
kesadaran, korelasi elektrofisiologis, umur dan penyakit degeneratif (Cudappah, 2019).
Tidur memiliki beberapa fase. Urutan fase-fase tersebut antara lain fase NREM
(Non Rapid Eye Movement) I, NREM II, NREM III atau deep sleep, REM (Rapid Eye
Movement), dan NREM IV (Jones, 2019 ; Ropper, 2014). Dalam kondisi tidur, tiap 4
jam terdapat perubahan pola elektrofisiologi otak dari fase NREM menjadi REM.
Beberapa perbedaan fase NREM dan REM terkait oleh keberadaan mimpi. Beda mimpi
saat fase REM dengan NREM :
16
No Kategori Fase NREM Fase REM
1. Gelombang otak Sinkronisasi lambat Asinkronisasi
2. Keteringatan mimpi Tidak dapat diingat Dapat diingat
3. Bangun Sulit Mudah
4. Aktivitas Simpatis Menurun Meningkat
5. Laju Tanda Vital dan Menurun Meningkat
Urine Output
6. Aktivitas di Daerah Menurun Meningkat
Pusat Tidur Otak
7. Gelombang alfa dan Inhibisi secara fasik Inhibisi non fasik
gamma

Tabel 2.1. Perbandingan fase tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan
Rapid Eye Movement (REM)

Menurut Prince dan Abel (2013), ukuran dari pola tidur normal pada manusia
adalah 8 jam diurnal dengan pola monofasik, dimana terjadi total 4 – 6 siklus NREM
dan REM per malam dengan irama siklus tiap 90 menit. Acuan siklus NREM dan REM
tersebut menjadi patokan karena siklus inilah yang menentukan kualitas tidur dan irama
sirkadian yang paling utama. Kualitas tidur tersebut merujuk kepada proses konsolidasi
dan restorasi tubuh, terutama pada sel otak (Prince, 2013).
Pada fase, REM parasimpatis meningkat dan respon simpatis menurun. Pada
NREM, tekanan darah dan HR menurun. Pada 2 jam saat tidur terjadi peningkatan
sekresi Growth Hormone saat slow wave atau fase NREM III. Hormon kortisol dan
Tiroid Stimulating Hormone meningkat saat tidur, dan angka paling tinggi kortisol
didapatkan saat bangun tidur (gelombang alfa). Melatonin berhubungan dengan kelenjar
pineal, terproduksi saat malam dan bergantung stimulasi retina oleh matahari. Hormon
melatonin yang aktif saat malam sangat berguna untuk perbaikan sel-sel tubuh yang
rusak. Sekresi Prolactin dan Luteinizing Hormone saat malam mencapai kadar
konsentrasi plasma tertinggi saat tidur, tergantung stase tidurnya. Sekresi testosteron
bergantung pada irama sirkadian dan terganggu karena gangguan tidur (Lee, 2016).
Dari beberapa hal di atas, maka jelaslah bahwa tidur sangat berguna secara
homeostasis bagi tubuh manusia. Tidur merupakan salah satu bentuk restitusi tubuh
secara fisiologis, fasilitasi fungsi motorik, konsolidasi belajar dan memori. Tidur
memiliki beberapa pengaturan dalam fase-fase hingga hormon-hormon yang berperan di
dalamnya. Gangguan pada pengaturan fase tidur dapat mempengaruhi hormon-hormon
yang akan berakibat pada ketidakseimbangan fisiologis pada tubuh makhluk hidup.

17
2. Sleep Deprivation

Gangguan tidur, kurang tidur atau Sleep Deprivation (SD), didefinisikan sebagai
hilangnya waktu tidur secara lengkap untuk periode tertentu ataupun durasi tidur yang
lebih pendek dari waktu optimal yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat menimbulkan
gangguan irama sirkadian tubuh (Ropper, 2014).
Gangguan tidur paradoks atau Paradoxical Sleep Deprivation (PSD) adalah
keadaaan tidur seseorang yang dimana satu sisi tertidur namun sisi lain tidak tidur
dengan pulas. Hal ini dikarenakan aktivitas otak meningkat namun otot leher terjadi
relaksasi akibat pengaruh REM (Tufik, 2009 ; Ma, 2019). Pada PSD tersebut, seseorang
akan terbangun secara paksa pada saat masuk atau sedang menjalani fase REM dalam
tidur. Hal tersebut akan mengganggu irama sirkadian tubuh dalam restorasi fisiologis.
Dalam menyeimbangkan gangguan tidur tersebut, terdapat fase penyembuhan
atau recovery phase setelah gangguan tidur yang lama. Hal ini disebabkan oleh jumlah
tidur yang tidak sebanding dengan kehilangan tidur (Ropper, 2014). Hingga saat ini fase
recovery belum mempunyai parameter yang pasti bila dikomparasikan dengan jumlah
kehilangan tidur yang diderita. Belum terdapat penelitian juga tentang efek fase ini
terhadap kondisi organ tubuh. Walau demikian, adanya fase tersebut merupakan bukti
bahwa tubuh berusaha untuk mengembalikan tubuh pada mempunyai mekanisme untuk
mencapai homeostasis sesuai fisiologis tubuh manusia itu sendiri.
Adanya gangguan tidur yang berulang maupun tidak tertangani tersebut akan
berakibat pada munculnya insomnia. Berdasarkan pengertian dari DSM IV atau
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, insomnia didefinisikan sebagai
keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-
restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan
atau gangguan dalam fungsi individu (Kaplan, 2010). Insomnia bisa bermanifestasi pada
sulit mulai tidur, sulit mempertahankan tidur, bangun sangat dini, atau kombinasi
diantaranya (Ropper, 2014).Tidur puas walaupun hanya 4 jam tidak tergolong insomnia.
Secara umum, efek sleep deprivation dan insomnia pada hewan uji akan berakibat
kematian dalam hitungan minggu. Pada manusia, ia akan meningkatkan stress fisiologis
dan stress psikologis (Gvilia, 2015 ; Ma, 2019). Beberapa diantaranya yaitu emosional
yang labil, iritabilitas, sulit konsentrasi, sulit mengambil keputusan, kesulitan
berkomunikasi, mengantuk, keletihan, performa motorik menurun (terutama dalam
pekerjaan kecepatan dan durasi), sering melakukan kesalahan, tidak terurus / self care
yang buruk, micro sleep (momentary periods of sleep); hingga ilusi - halusinasi visual

18
dan taktil, sindroma bipolar, nistagmus, mata sakadik, episode psikotik, tremor halus,
ptosis, muka tanpa ekspresi (Shochat, 2014 ; Wendler, 2018). Pada gambaran EEG,
tanda dari gangguan tidur ini didapatkan gelombang alfa decrement seperti gelombang
kejang menurun (Gvilia, 2015 ; Jones, 2019). Bila terdapat sleep apneu, resiko sering
mengalami hipertensi pada siang hari dan rentan terjangkit penyakit kardiovaskular
makin tinggi (Ropper, 2014).
Insomnia primer merupakan suatu episode tidur nocturnal yang terganggu,
periodenya panjang dan tidak disertai gejala psikologis atau medis seperti ansietas,
depresi, nyeri. Insomnia sebagai periode tidur pendek, sering bergerak-gerak dan
terbangun, dengan fase NREM tahap III yang pendek. Insomnia primer ini bersifat
idiopatik (Ropper, 2014).
Insomnia sekunder diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, dan gejala
psikologis yang menyertai.Penyebab lain dari insomnia sekunder berupa akibat
pekerjaan yang sangat sibuk, psikologis (utama), pengaruh fisik dan lingkungan tempat
tinggal, penyakit, mimpi buruk, gangguan konfusio akut, usia lanjut atau geriatri,
delirium, cluster headache, gangguan depresi, alkohol dan barbiturat. Agen insomnia
lain yaitu kafein, kortikosteroid, bronkodilator, central adrenergik blocking agents,
amfetamin, antidepresan seperti fluoxetine, dan rokok (Ropper, 2014 ; Ma, 2019).
Tata laksana insomnia akut dengan benzodiazepin (GABA), dengan non
benzodiazine waktu paruh pendek (zolpidem, zaleplon), atau intermediate benzodiazepin
(temazepam). Melatonin tablet 3 - 12 mg efektif untuk insomnia dengan efek samping
yang lebih rendah dan waktu paruh pendek. Amitriptiline tablet 25 - 50 mg saat akan
tidur, baik untuk gangguan cemas atau depresi (Ropper, 2014). Untuk nyeri penyebab
insomnia dapat diberikan analgetik dan difenhidramin. Perlu adanya modifikasi pola
tidur, pola stress, dan aktivitas olahraga. Gaya hidup sebelum tidur anti insomnia (Sleep
Hygiene) antara lain pencahayaan diatur lebih rendah, TV dimatikan, ruangan hening
dan tidak bersuara mengganggu, tidak boleh minum kopi dan alkohol, tempat tidur
hanya untuk tidur, hindari tidur siang hari yang berlebihan, kegiatan rileks saat akan
tidur seperti membaca buku ringan, dan lain-lain (Ropper, 2014).

19
3. Hipokampus

Hipokampus merupakan struktur sentral dari sistem limbik mesensefalon, tipe


awal dari korteks serebri secara filogenetis. Karena perbedaan struktur dengan korteks
serebri, hipokampus dinamakan sebagai archicortex dan korteks serebri adalah
neocortex (Baehr, 2014).
Sel utama hipokampus adalah sel piramidal. Terdapat beberapa tipe sel piramidal
yang berbeda pada cornu Ammonis (CA) ini, seperti sel CA1, CA2, dan CA3. Sel utama
dari gyrus dentatus adalah sel granule yang menghubungkan gyrus dentatus ke
hipokampus melalui axon-axon yang disebut sebagai mossy fiber. Selain sel piramidal
dan granule, hipokampus dan gyrus dentatus terdiri atas interneuron GABAergik yang
tidak dibatasi oleh lapisan sel lainya. Sel ini tidak hanya berisi inhibitor neurotransmitter
GABA tetapi juga neuropeptida dan calcium-binding protein (Baehr, 2014).
Hipokampus terdiri atas bagian-bagian yang menyusun dari mulai daerah
entorhinal hingga gyrus dentatus. Daerah entorhinal berlokasi di hipokampus lateral di
dalam gyrus parahipokampal dan dibatasi oleh rostral amigdala. Sulkus kolateral
menandai batas antara area entorhinal dan isokorteks temporal. Penelitian terbaru
menjabarkan pentingnya area ini layaknya pintu gerbang yang menerima serat aferen
dari berbagai area neokorteks. Koneksi serat axon dari korteks entorhinal ke hipokampus
sangatlah kencang dan diubah menjadi neuron analisis memori (Snell, 2010).
Neuron kolinergik dan GABAergik dari septum medial dan area Broca diagnonal
bermuara ke hipokampus secara difus. Akson-akson pada sel piramidal CA3 dan neuron
tertentu pada area hilus gyrus dentatus menghubungkan dua hipokampus satu sama lain,
yang berakhir pada segmen dendritik proksimal pada sel piramidal dan granule dari
hipokampus kontralateral. Beberapa nuklei batang otak pun mengirimkan serat
katekolaminergik pada hipokampus secara difus (Baehr, 2014; Snell 2010).
Seperti halnya yang telah dijelaskan di atas, proyeksi dari korteks entorhinal
merupakan jalur aferen utama dari hipokampus. Serat entorhinal adalah glutamatergik
dan berakhir pada segmen dendritik distal pada sel piramidal serta sel granule. Skema
jalur eksitasi trisinaptik ini dijelaskan dalam gambar 1a di bawah ini.

20
Gambar 2.1. Serabut Proyeksi Aferen dan Eferen pada Formasio Hipokampus Jalur Tembusan
dan Fornix. Jalur proyeksinya yaitu : Korteks entorhinal --> sel granule gyrus
dentatus (sinaps pertama) -->mossy fiber --> sel piramidal CA3 (sinaps kedua) --
>
sistem kolateral Schaffer pada akson sel piramidal CA3 --> sel piramidal CA1
(sinaps ketiga).
Gambar 2.2. Gambaran sitoarsitektur dari formasio hipokampus.

Dari semua stasiun ini, transfer eksitasi paling depan diatur oleh inhibitor
interneuron GABAergik. Sinaps ini masuk neuron jalur eksitasi utama yang ditemukan
pada badan sel (sel basket) segmen inisial dari sel akson piramidal dan granule (sel
Chandellier) atau dendrit (Snell, 2010). Proyeksi neuron CA1 berjalan menuju
subiculum, dimana serat eferen berputar dan membentuk fimbria serta fornix sebagai
kumparan eferen mayor formasi hipokampus. Fornix melengkung di atas diensefalon
dan berakhir pada badan mamillaria. Fornix diketahui merupakan koneksi utama dari
hipokampus dengan hipotalamus dan sistem syaraf otonom (Blumenfeld, 2014).
Berdasar studi pada hewan dan manusia, dua regio utama pada otak terdiri dari
area formasi yang penting. Dua regio tersebut yaitu area memori lobus temporo-medial
(formasi hipokampus, korteks gyrus parahipokampal) dan area memori diensefalik
medial (nukleus thalamo medio-dorsal, nukleus anterior thalamus, badan mammilary,
dan nuklei diensefalik lain yang sejajar ventrikel ketiga). Daerah temporomedial dan
diensefalik medial ini terkoneksi satu sama lain dan menyebar ke sepanjang korteks
melalui berbagai jalur. Secara garis besar, sistem memori pada medial temporal ini
tersambung dengan korteks serebri melalui asosiasi bidireksional via entorhinal cortex.
Keberadaan formasio hipokampus ini sangat penting dalam menjalankan fungsi memori
jangka panjang dan spasial pada hewan dan manusia (Blumenfeld, 2014).

21
4. Pengaruh Sleep Deprivation terhadap Hipokampus

Adanya mekanisme kurang tidur yang berakibat pada sistem kardiovaskular dan
penurunan sistem kekebalan tubuh berakibat langsung pada vaskularisasi pada otak yang
akan berujung pada gangguan fungsi dan kerja otak. Gangguan tidur menyebabkan
mekanisme pembersihan perivaskular yang terganggu. Bila dibiarkan, dapat berakibat
pada gangguan endotel tight junction sawar darah otak. Kekacauan ini dapat berimbas
hingga astrosit bahkan dapat merusak parenkim otak (Gvilia, 2015 ; Cudappah, 2019).
Gangguan tidur akan meningkatkan permeabilitas sawar darah otak yang terus
menerus. Permeabilitas ini akan membaik dalam 40 – 120 menit. Pada penelitian dengan
tikus coba yang diberi perlakuan gangguan tidur 6 hari, akan terjadi fase recovery dalam
24 jam. Restriksi tidur selama 20 hari menimbulkan peningkatan sel-sel endotel vesikel
pinosit di hipokampus (Cudappah, 2019). Gangguan pada endotel sawar darah otak ini
akan meningkatkan mediator pro inflamasi lainnya yang menekan astrosit sebagai
jaringan penyokong otak dan mengganggu keseimbangan eflux aktif saat bangun dan
endositosis saat tidur (Schmitt, 2016 ; Nguyen, 2019). Ketidakseimbangan eflux ini
berakibat pada pertukaran cairan interstisial dan liquid cerebrospinal yang kaca sehingga
merusak endotel sawar darah dan parenkim otak (Schmitt, 2016).
Menurut Prince dan Abel (2013) serta Havekes (2017), pengaruh langsung dari
gangguan tidur terhadap hipokampus menyebabkan terjadinya gangguan konsolidasi
memori. Proses patomekanisme tersebut dijelaskan dalam gambar 2 di bawah ini dengan
penjelasan sebagai berikut :
1) Modulasi sinyalisasi glutamatergik melalui alterasi komposisi subunit reseptor
NMDA dan AMPA. Gangguan pada fungsi reseptor ini melemahkan sinyalisasi
kaskade molekul melalui reduksi influks kalsium
2) Terjadinya peningkatan adenosin ekstraseluler (faktor tidur endogen, dimana
astrosit juga merupakan salah satu sumber dari adenosine). Adenosine bereaksi
melalui adenosine A1-receptor menurunkan plastisitas sel dan meningkatkan
inhibisi sinyal listrik sinaps pada hipokampus.
3) Peningkatan fosfodiesterase 4A mengganggu sinyalisasi cAMP intraseluler
4) Menurunkan transkripsi gen terkait plastisitas jaringan sel hipokampus
5) Menurunkan regulasi dan sinyalisasi dari sintesis protein mTOR (mammalian
target of rapamycin), dimana protein tersebut berperan dalam konsolidasi memori.

22
Gambar 2.3. Gambaran Skematis dari Jalur Sinyalisasi Hipokampus danPengaruh Gangguan tidur. Panah
merah tebal menunjukkan peningkatan aktivitas, panah hitam menunjukkan adanya pelemahan jalur
sinyalisasi

Mekanisme degeneratif merupakan sebuah peristiwa yang multiproses. Salah satu


yang diamati dari proses degenerasi yaitu timbulnya protein enzim Caspase-3 yang
mempengaruhi daya eksekusi untuk apoptosis dini. Protein ini berperan dalam gangguan
fungsi dan degenerasi dari sel-sel parenkim otak maupun hipokampus (Wu etc, 2019).
Beberapa contohnya yaitu Demensia Alzheimer, Parkinson, dan lain-lain. Demensia
terjadi akibat peningkatan vesikel pinositik endotel pada CA1 hingga CA3 hipokampus
otak (Cudappah, 2019). Demensia tersebut juga dapat diakibatkan stress oksidatif yang
dipicu oleh stress kronik karena kekurangan tidur (Tufik, 2009 ; Noorafshan, 2017).
Gangguan tidur berhubungan dengan akumulasi radikal bebas yang berujung pada
mekanisme patologis yang degeneratif, dimana fungsi tidur justru berfungsi sebagai
meningkatkan proses detoksifikasi alami untuk sel-sel tubuh melalui hormon melatonin.
Kaitannya dengan PSD, gangguan tidur ini berakibat pada kelemahan motorik, lesi organ
bahkan kematian akibat akumulasi dari ROS, reduksi dari total glutathione level, dan
reduksi plasma homosistein pada metabolisme metionin-sistein (Tufik, 2009 ; Ma,
2019). Selain itu, PSD berandil terhadap endothelin-1 pembuluh darah yang berakibat
pada hipertensi, penyakit jantung, maupun gangguan perfusi cerebral (Tufik, 2009).

5. Karakteristik dan Morfologi Tikus

Tikus putih atau tikus wistar albino (Rattus norvegicus) terutama galur Sprague-
Dawley merupakan jenis tikus putih yang banyak digunakan sebagai hewan model.
Klasifikasi tikus putih ini menurut Jasin (1984) dan Sengupta (2013) adalah yaitu :

23
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus, L.

Tikus putih wistar memiliki sifat-sifat yang khas. Ukuran tubuh yang kecil
memudahkan penanganan dan pemeliharaan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan
baru. Ia mudah berkembang biak, jumlah anaknya cukup banyak dengan siklus
reproduksinya cepat. Secara ekonomis tikus ini murah dan mudah dibeli. Tikus ini juga
memiliki umur pendek kisaran 2 - 3 tahun, sehingga dapat mengamati efek perlakuan
dalam periode yang relatif singkat (Malole dan Pramono, 1989). Selain itu, ia
mempunyai karakteristik genetik yang hampir sama dengan manusia serta sama – sama
mamalia. Karakteristik ini membuat tikus menjadi lebih diandalkan dalam hal
keseragaman hasil dan mengurangi faktor bias antara manusia dengan hewan coba
(Sengupta, 2013). Di kalangan ilmiah, tikus putih sering digunakan dalam menilai mutu
protein, toksisitas, maupun uji karsinogenisitas. Hampir sekitar 95% penelitian hewan
coba di dunia memakai tikus, mencit, dan golongan rodent lainnya (Ridwan, 2013).
Dalam menggunakan tikus wistar albino (Rattus norvegicus) sebagai hewan
percobaan, kita perlu mengenali karakteristik fisiologis hingga lingkungan yang ideal
untuk kehidupan tikus. Hal tersebut sangat penting agar tidak berakibat hasil yang bias
maupun peluang kematian pada tikus akibat stress saat adaptasi, serta menjalankan etika
penelitian yang baik terhadap hewan coba. Beberapa karakter fisiologis tikus dan
lingkungan ideal terjelaskan dalam tabel di bawah ini (Van Zutphen, 2011).

24
Parameter Fisiologi Umum (unit) Nilai
Berat Dewasa (g) 300-500 (male)
250-300 (female)
Rentang Usia (tahun) 1-2
Denyut Nadi (keadaan istirahat, per menit) 300-500
Laju Respirasi (keadaan istirahat, per menit) 70-110
Suhu Tubuh (ºC) 37.5-38.5
Jumlah Kromosom (2n) 42
Permukaan Tubuh (cm²) 130 (50 g), 250 (130 g)
325 (200 g)
Konsumsi Air (ml/100 g/day) 10-12
Maturitas Seksual (minggu), jantan dan betina 6-8
Usia Berkembang Biak (minggu), jantan dan betina 10-12
Siklus Menstruasi (hari) 4-5
Durasi Menstruasi (jam) 14
Gestasi (hari) 21-23
Cairan Tubuh dalam liter 6-12
Tinggi Badan Bayi (g) 5
Berat Badan saat Menyusui (g) 40-50
Usia Menyusui (hari) 21
Parameter Darah (unit) Nilai
Volume Darah (ml/kg) 60
Hemoglobin (g/100ml) 14-20
Hematokrit (vol %) 36-48
Leukosit (×1000/mm³) 6-17
Glukosa (mg/100ml) 134-219

Tabel 2.2. Parameter Fisiologi Umum dari Tikus Wistar Albino

Adapun faktor-faktor lingkungan sekitar yang turut mempengaruhi kondisi


kesehatan dari tikus wistar albino ini antara lain sebagai berikut :

Faktor Lingkungan (unit) Nilai


Suhu (ºC) 20-24*
Kelembapan relatif (%) 55 ± 10
Ventilasi (perubahan aliran udara/jam) 10-20
PencahayaanTerang / Gelap (jam) 12-14 / 12-10
Ukuran Permukaan Lantai Kandang Min. (cm²) 800
Ukuran Permukaan Lantai Kandang Minimal/ekor (cm²) 200 (0-200 g)
250 (200-300 g)
350 (300-400 g)
450 (400-600 g)
600 (> 600 g)
Perkembang biakan binatang (cm²) 800
Tinggi Kandang Minimal (cm) 18
Intensitas Cahaya Maximal (diukur level kandang/ekor) 60
dalam lux

Tabel 2.3. Parameter Aspek Lingkungan dari Tikus Wistar Albino

25
Gambar 2.4. Tikus Wistar Albino Dewasa (Rattus norvegicus)

6. Malondialdehid

Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehid produk akhir peroksidasi lipid


dalam tubuh melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik (Ayala, 2014).
Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam ROS
(Reactive Oxygen Species) dan menyebabkan adanya stress oksidatif (Situmorang,
2020). Stress oksidatif tersebut terjadi akibat ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan dan berakibat pada munculnya penyakit degeneratif sistemik dan kronis
seperti diabetes mellitus, kanker, hepatitis C, parkinson, demensia, mekanisme atopik
maupun penyakit kardiovaskular bila terus menerus dibiarkan (Saryono, 2015).
Reaksi antara ROS dengan asam lemak tak jenuh ganda (pada dinding sel) akan
menghasilkan pembentukan aldehid melalui peroksidasi lipid. Peroksida lipid tersebut
terurai fisiologis dengan adanya zat besi atau ion tembaga, untuk menghasilkan aldehida
yang sitotoksik seperti MDA (Ayala, 2014). Konsentrasi MDA tinggi menunjukkan
adanya proses oksidasi dalam membran sel. Sedangkan status antioksidan yang tinggi
ditunjukkan dengan penurunan kadar MDA (Dalle-Donne, 2006 ; Tukozan, 2006).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen
pengukuran terhadap peroksidasi lipid yang bersifat stabil dan akurat dalam meneliti
stress oksidatif. Kelebihan pengukuran MDA dibandingkan produk peroksidasi lipid
yang lain adalah metode yang lebih murah dan mudah didapat. Kelemahan MDA yaitu
tidak adanya nilai normal dan MDA tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Tukozan,
2006). Penanda MDA tersebut dapat ditemukan pada darah, urin, dan cairan biologis
lainnya yang dapat memberikan nilai diagnostik (Dalle-Donne, 2006).

7. Anti Oksidan dan Neuroprotektor

Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya memperkecil proses oksidasi


dari lemak dan minyak (Birben, 2012). Antioksidan akan menghentikan reaksi berantai
radikal bebas dalam tubuh, bergantung pada jenis antioksidannya. Mekanisme kerja
26
antioksidan adalah menghambat radikal bebas dengan cara memberikan atom hidrogen
secara cepat kepada senyawa radikal bebas yang baru (Teleanu, 2019). Keberadaan
aktivitas antioksidan ini sangat bermanfaat bagi tubuh dalam menjaga sari makanan
dalam tubuh dari oksidasi dan dapat mencegah beberapa gangguan penyakit degeneratif,
penuaan, dan inflamasi (Birben, 2012).
Antioksidan pada neuroprotektan, sebagai contohnya adalah bioflavonoid,
berfungsi sebagai pencegah terjadinya formasi radikal bebas melalui modulasi jalur
sinyal sel termasuk dalam memelihara proliferasi sel, sintesis glutation, dan ekspresi
protein antioksidan endogen. Dari hal tersebut, sifat neuroprotektif ini menunjang
kelangsungan hidup neuron, mencegah apoptosis dini sel neuron akibat aktivasi
Caspase-3 maupun proses iskemik, perfusi jaringan serebral yang baik dan mengurangi
efek amiloidogenik serta kehilangan neuron dopaminergik pada otak (Teleanu, 2018).

8. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk) termasuk famili Apiaceae merupakan


tanaman herbal tahunan aromatis yang tumbuh pada habitat dataran tinggi. Ia merupakan
komoditas komersial yang masih belum banyak diteliti secara mendalam. Tanaman ini
termasuk endemis asli Indonesia. Erosi genetik besar-besaran menyebabkan populasi
tanaman ini dilaporkan banyak yang musnah di beberapa dataran tinggi di Indonesia.
Hanya di beberapa tempat seperti dataran tinggi Dieng desa Sekunang, BP2TOOT
Tawangmangu, dan Balittro Gunung Putri Cianjur, masih didapatkan konsentrasi budi
daya tanaman yang langka ini (Darwati, 2006 ; Widodo 2018). Taksonomi tanaman
Purwoceng sebagai berikut (Nuryadin, 2018):

Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Apiales
Familia : Apiaceae / Umbeliflorae
Genus : Pimpinella
Spesies : Pimpinella pruatjan Molk
Sinonim : Pimpinella alpina Molk

27
Purwoceng merupakan tanaman terna, membentuk rosset, tungkai daun berada di
atas permukaan tanah membentuk bulatan dengan diameter tajuk ± 3,645 cm (Widodo,
2011). Purwoceng berbunga pada umur 5 - 6 bulan setelah tanam. Batang purwoceng
berwarna hijau pucat, bulat, dan lunak tetapi berbatang semu. Daun berbentuk jantung
dengan panjang ± 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tangkai ± 5 cm, tepi bergerigi ujung tumpul
coklat kehijauan. Buahnya lonjong kecil hijau sedangkan biji berwarna coklat. Akar
purwoceng merupakan akar tunggang (Widodo, 2015). Akar Purwoceng merupakan
bagian tanaman yang banyak dipergunakan dan diolah menjadi serbuk simplisia kering
dan dikonsumsi sebagai jamu herbal (Nurcahyanti, 2018).
Saat ini beragam metode masih dikembangkan dalam membudidayakan tanaman
ini. Mulai dari kultivasi in vitro, ex vitro, induksi akar sampai dengan mikropropagasi
(Nuryadin, 2018). Tanaman ini lebih cocok dibudidaya di lokasi dataran tinggi karena
membutuhkan kandungan air yang tinggi sebagai metabolisme. Seluruh bagian tanaman
menghasilkan kadar sari larut air yang lebih tinggi daripada kadar sari larut ethanol,
namun akar memiliki prosentase lebih rendah dibanding bagian lainnya (Widodo, 2011).
Oleh karena itu, akar dipilih sebagai bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan
penelitian. Kadar air yang lebih sedikit ini memudahkan pelarutan kadar sari Purwoceng
dalam ethanol agar nantinya dapat memberikan bioavailabilitas yang lebih baik
dibandingkan dilarutkan dalam air.
Akar Purwoceng yang diekstraksi biasanya disortasi, dicuci, lalu kemudian
dikeringkan menggunakan tenaga sinar matahari selama 3 hari dengan lama waktu 7
jam, maupun alat pengering bersuhu 35 - 40oC selama 8 jam. Bagian akar dipilih karena
kandungan Bioflavonoid yang kaya dan tidak terlalu banyak kandungan air dibanding
bagian tubuh Purwoceng lainnya (Ma’mun, 2006). Bahan pelarut dalam proses ekstraksi
tersebut menggunakan alkohol 90% agar memberikan rendaman ekstrak lebih tinggi
serta kandungan bahan aktif dalam ekstrak yang lebih tinggi dibanding dengan kadar
alkohol yang lebih rendah (Ma’mun, 2006).

28
Gambar 2.5. Tumbuhan Purwoceng (Pimpinella pruatjanMolken), a = tanaman, b = bunga kuncup,
c = bunga mekar, d = buah, dan e = akar dari tanaman berumur 6 bulan

Struktur kimia utama dari saripati minyak akar Purwoceng terdiri atas thymol
metil eter, 2,5-dimetoksi-p-cymene, 2-isopropenyl-5-methyl-benzene 1,4-diol (derivat
arylpropanoid), dan carvacrol metil eter (Nurcahyanti, 2018). Kandungan senyawa di
dalam Purwoceng sangatlah banyak. Bila diurai dalam bentuk senyawa satu persatu,
secara garis besar kandungannya berupa bergapten, isobergapten, sphondin, kumarin,
saponin, stigmasterol, marmesin, 4-hidroksi kumarin, sitosterol, alkaloid, fenol, vitamin
E, marmesine, umbeliferon, dan psoralen (Nurcahyanti, 2018).
Senyawa fenol merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder paling banyak
disintesis dan dimanfaatkan oleh tanaman herbal. Senyawa fenol ialah senyawa yang
memiliki rangka karbon (C), dengan gugus karbonil yang melekat pada cincin aromatik.
Karakteristik utama senyawa ini adalah antioksidan, anti-inflamasi, anti-karsinogenik,
dan sifat biologis lain (Nuryadin, 2018). Senyawa fenol memiliki struktur yang beragam.
Pendekatan pengelompokkan senyawa ini didasarkan 3 hal yaitu (Nuryadin, 2018) :
a)Berdasarkan jumlah gugul hidroksil (OH), fenol mengandung lebih dari satu gugus
OH dalam cincin aromatik, termasuk dalam polifenol.
b)Berdasarkan komposisi kimia, yaitu mono, di, oligo, dan polifenol
c)Berdasarkan jumlah cincin aromatik yang terikat pada rantai karbon. Senyawa ini
dibagi menjadi empat kelompok utama yaitu senyawa fenol dengan 1 cincin
aromatik, 2 cincin aromatik (xanthone, benzoquinone, flavonoid), quinone, dan
polimer (senyawa kompleks dan memiliki struktur kimia yang serupa namun masih
mempunyai perbedaan yang spesifik). Senyawa yang masuk dalam kelompok
flavonoid antara lain antosianin, flavon dan flavonol. Sedangkan senyawa yang
masuk dalam kelompok nonflavonoid adalah tannin.
29
Bioflavonoid atau flavonoid yang termasuk jenis fenol antioksidan eksogen yang
dapat meningkatkan level antioksidan tubuh dan menekan formasi radikal bebas ROS
maupun RNS dan level MDA serum (Pribadi, 2012 ; Nurcahyanti, 2018 ; Arjadi, 2019).
Bioflavonoid golongan amurensin dan cosmosin merupakan antioksidan yang
bermanfaat dan banyak dipakai sebagai neuroprotektan pada manusia. Bioflavonoid ini
dapat mengaktifkan vitamin C atau asam askorbat yang juga berguna sebagai
antioksidan tubuh dan neuroprotektan (Teleanu,2018).

9. Nanosuspensi

Tantangan terbesar masa kini di bidang farmakologi adalah problem kesulitan


untuk larut dan bioavailabilitas yang rendah (Mauludin, 2009). Hal ini menurunkan
kualitas dan efektivitas pengobatan pada pasien. Adanya pendekatan teknologi dengan
pengurangan ukuran partikel diharapkan dapat meningkatkan daya disolusi / kelarutan
dan bioavailabilitas, namun dapat meminimalkan efek samping.
Menurut National Nanotechnology Initiative, nanoteknologi merupakan hasil
riset, pengembangan dari level atomik, molekuler, makromolekul pada ukuran di bawah
150 nm untuk membuat struktur, peralatan, dan sistem dengan fungsi baru ataupun lebih
baik (Prabkhar, 2011). Salah satu aplikasi dari nanoteknologi ini adalah mengenai
nanomedicine. Ia merupakan sebuah pendekatan monitoring, konstruksi, dan kontrol
terapi dari sistem biologis medis manusia pada level molekuler dengan teknologi nano.
Teknologi untuk mereduksi ukuran partikel ini didasarkan pada hukum Nernst-
Brunner, modifikasi Levich untuk rumus Noyes-Whittney. Reduksi ukuran partikel
berakibat pada peningkatan area permukaan dapat dilarutkan. Menurut hukum Ostwald-
Freundlich, peningkatan saturasi solubilitas karena reduksi ukuran partikel dapat
meningkatkan tekanan disolusi. Hal ini memberi suatu kesimpulan bahwa makin kecil
ukuran, makin mudah penetrasi ke organ target (Prabkhar, 2011).

Gambar 2.6. Gambaran Skematis Kelebihan Penetrasi dari Obat yang telah menggunakan Teknologi
Nanosuspensi

30
Nanosuspensi merupakan sebuah partikel obat koloid yang telah terdispersi ke
ukuran submikron kurang dari 1 μm, dengan rata-rata ukuran 200 - 600 nm. Sifat utama
dari larutan nanosuspensi ini adalah koloid, bifasik, dispersi, solid di dalam medium cair,
terstabilkan oleh polimer maupun surfaktan (Sutradhar, 2013). Potensi-potensi
keuntungan nanosuspensi yaitu :
a)Meningkatkan daya absorbsi, bioavailabilitas, onset, level puncak, dan penetrasi suatu
obat
b)Mengurangi variabilitas efek dan zat sisa
c)Dapat dipakai pada medium hidrofilik maupun lipofilik
d)Dapat menempel pada mukosa saluran pencernaan, meningkatkan daya absorbsi oleh
usus, dan mempunyai masa tinggal yang lama
e)Memiliki rute administrasi yang beragam; baik oral, parenteral, pulmonal, maupun
ocular
f) Mengurangi volume dan dosis suatu obat untuk mendapatkan efek obat yang
diharapkan, sehingga meminimalisir efek samping dan toksisitas
g)Meningkatkan daya transport maupun ikatan obat dalam plasma darah
h)Dapat meningkatkan resistensi hidrolisis, oksidasi, dan stabilitas fisik
i) Dapat pula berperan sebagai passive targeting
j) Cocok untuk obat nilai P log tinggi, titik didih tinggi, dan dosis tinggi.

Tabel 2.4. Skema Klasifikasi Metode Pembuatan Nanosuspensi

Prinsip utama dari metode pembuatan larutan nanosuspensi adalah melalui


mekanisme top-down dan bottom-up. Metode top-up merupakan metode pembuatan
nanopartikel dengan menggunakan gaya mekanik sehingga mengubah partikel berukuran
besar menjadi kecil, sedangkan metode bottom-up adalah metode pembuatan

31
nanopartikel dengan cara memperbesar ukuran dari senyawa yang berukuran kecil
menjadi lebih besar. Contoh dari metode top-down yaitu high pressure homogenization
(homogenisasi) dan media milling, sedangkan bottom-up antara lain presipitasi dan melt
emulsifation (Sutradhar, 2013). Dalam proses pembuatan nanosuspensi, obat harus
diubah menjadi keadaan terkristalisasi agar dapat diperkecil ukurannya dan mudah larut.
Bahan utama dari pembuatan nanosuspensi ini adalah stabilizer, pelarut organik, ko-
surfaktan maupun surfaktan, serta zat tambahan lain (buffer, garam, poliol, osmogen,
krioprotektan (Sutradhar, 2013).
Metode persiapan dan pembuatan larutan nanosuspensi terbagi menjadi 4 metode,
yaitu metode homogenisasi, presipitasi, emulsifikasi dan Media Milling (Lakshmi,
2010 ; Sutradhar, 2013). Metode homogenisasi terdiri atas 3 tahap yaitu bubuk obat
didispersi dalam larutan stabilisasi untuk membentuk pre-suspensi, pre-suspensi
dihomogenkan dengan mesin homogenisasi dalam tekanan rendah, kemudian
dihomogenkan pada tekanan tinggi 10 - 25 siklus. Metode Media Milling menggunakan
media kincir pemotong khusus berupa keramik Aluminium Hidroksida resin polistirene,
untuk memotong obat hingga pada partikel nano. Metode evaporasi emulsi merupakan
metode konvensional yang melarutkan obat pada pelarut setengah cair hingga terjadi
fase dispersi ukuran mikro lalu nano. Terakhir, metode presipitasi membuat obat diubah
menjadi bentuk solvent lalu dicampur dengan anti-solvent tertentu ditambah dengan
surfaktan hingga terbentuk supersaturasi dari larutan tersebut hingga didapatkan kristal
ultra murni (Sutradhar, 2013 ; Rismana, 2012).
Dalam teknik ini, dibutuhkan biopolimer untuk membuat larutan nanosuspensi
menjadi lebih stabil. Biopolimer yang paling banyak digunakan adalah khitosan.
Biopolimer ini memiliki sifat biodegradable dan biocompatibility yang baik, serta tidak
memiliki efek samping pada tubuh saat digunakan per oral (Rismana, 2012). Khitosan
merupakan senyawa turunan dari khitin yang memiliki rantai polisakarida linier dan
terdiri dari β-(1-4)-linked d-glucosamine dan N-acetyl-d-glucosamine. Khitosan
diperoleh dari proses deasetilasi khitin yang banyak terdapat pada cangkang arthropoda,
mollusca, fungi, dan algae (Agustina, 2019).

32
Metode Preparasi Kelebihan Kekurangan
Presipitasi Proses sederhana, ekonomis, Obat harus dijadikan larut /
mudah diatur soluble setidaknya pada satu
larutan dan larutan tersebut
harus larut dalam non pelarut,
timbulnya kristal harus
dibatasi oleh tambahan
surfaktan
High Pressure Mudah diaplikasikan untuk Siklus homogenisasi yang
Homogenization sebagian besar obat, unggul tinggi jumlahnya, prasyarat
untuk mendilusi nanosuspensi partikel obat harus dalam
konsentrasi tinggi, teknis ukuran mikro, kemungkinan
sederhana, preparasi produk kontaminasi dapat muncul
yang lebih steril, obat BCS pada ion metal yang berasal
kelas II dan IV dapat dari dinding homogenisator,
digunakan pada metode ini, membutuhkan presuspensi
mudah diatur skalanya dan terlebih dahulu
variasi lebih sedikit
Emulsion Template Solubilitas obat tinggi, daya Penggunaan pelarut organik
tinggal cukup lama, unggul tak sesuai dengan kesehatan
dalam preparasi skala besar, manusia, menggunakan
murah, metode kerja yang surfaktan dan stabilisator yang
sederhana, beberapa pelarut sangat banyak
organik seperti etil asetat dan
etil fornat dapat digunakan
Media Milling Variasi per elemen yang kecil, Menghasilkan residu pada
mudah diatur pada obat media pemotongan, proses
dengan kuantitas besar lama, pemanjangan waktu
pemotongan menyebabkan
instabilitas formasi amorf
Dry Cogrinding Proses mudah, tidak perlu Berpotensi menghasilkan
pelarut organik, membutuhkan residu pada media pemotongan
waktu pemotongan partikel
yang singkat

Tabel 2.5. Tabel Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembuatan Nanosuspensi

Gambar 2.7. Model dan Gambaran Kerja Mesin Preparasi Nanosuspensi Presipitasi, Media MillingProcess,
dan High Pressure Homogenization

33
Setelah didapatkan larutan nanosuspensi, beberapa pengujian perlu untuk
dilakukan pada larutan tersebut (Lakshmi, 2010). Pengujian ini antara lain :
‒ Tes fisik : distribusi ukuran partikel, zeta potensial
‒ Tes kimia
‒ Tes biologi
Ukuran partikel sangat penting dalam menentukan saturasi, solubilitas, kelarutan,
kecepatan, stabilitas fisik, dan performa biologis obat. Distribusi ukuran partikel
dinyatakan dalam satuan PI (Polidispersity Index). Ukuran PI ini harus setinggi mungkin
agar tercapai stabilitas jangka panjang yang lebih baik. Walaupun sampai saat ini belum
didapatkan adanya distribusi normal, ukuran PI lebih dari 0,5 sudah dikatakan memiliki
distribusi yang sangat luas (Lakshmi, 2010). Ukuran PI ini nantinya berpengaruh dalam
mencegah koagulasi antar partikel.
Tiap larutan nanosuspensi yang menggunakan stabilisator surfaktan maupun
polimer, tunggal maupun kombinasi perlu untuk diukur kadar zeta potensial dari larutan
tersebut (Suhesti, 2015). Zeta potensial merupakan pengukuran terhadap tingkat
pengisian elektrik permukaan antar molekul. Dengan mengetahui zeta potensial, kita
dapat melihat tentang mobilitas kelistrikan permukaan larutan dan kestabilan fisik
partikel jangka panjang dalam larutan terdispersi. Suatu larutan nanosuspensi dikatakan
memiliki elektrostatik yang stabil bila memiliki zeta potensial minimum 30 mV
(Lakshmi, 2010 ; Wang, 2013).
Pengukuran saturasi solubilitas dan kecepatan terlarut sangat diperlukan karena
mempengaruhi performa farmakokinetik secara in vivo. Farmakokinetik obat sangat
terpengaruh oleh distribusi organ, hidrofobisitas, maupun interaksi dengan plasma darah.
Pengukuran status kristalisasi dan morfologi partikel berfungsi untuk meneliti perubahan
morfologi dari obat saat menjadi ukuran nano (Lakshmi, 2010).

34
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian

Paroxysmal Sleep
Deprivation

Pembersihan Peningkatan respon Akumulasi radikal


perivaskular otak inflamasi otak bebas (MDA)
terganggu

Proses Degenerasi dan


Gangguan Konsolidasi
Memori Hipokampus

Purwoceng sebagai Tonik dan Teknologi


Antioksidan Nanosuspensi
(Fenol, Bioflavonoid) (memperkuat daya
absorbsi)

Memperbaiki struktur dan


gangguan konsolidasi memori
pada hipokampus

35
2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Perbaikan
Makroskopis dan
Histopatologi
Fase Hipokampus
Recovery

Kerusakan
Makroskopis dan
Tanpa Fase Histopatologi
Recovery Hipokampus

Ekstrak Perbaikan
Tanpa Fase Purwoceng (dosis Makroskopisdan
Hewan Recovery rendah) Histopatologi
Coba Tikus Hipokampus

(Rattus PSD tiap


10 menit Nanosuspensi Perbaikan
Norvegicus) Tanpa Fase Makroskopisdan
Ekstrak
Wistar selama Recovery Histopatologi
Purwoceng (dosis
96 jam Hipokampus
Albino rendah)
Jantan
Nanosuspensi Perbaikan
Tanpa Fase Makroskopisdan
Ekstrak
Recovery Purwoceng (dosis
Histopatologi
Hipokampus
sedang)

Nanosuspensi Perbaikan
Tanpa Fase Makroskopisdan
Ekstrak
Recovery Purwoceng (dosis
Histopatologi
Hipokampus
tinggi)

2.4 Hipotesis
‒ Terdapat korelasi perbaikan kadar MDA darah tikus wistar jantan albino yang diberi
perlakuan PSD dengan pemberian nanosuspensi ekstrak Purwoceng
‒ Terdapat korelasi gambaran makroskopis hipokampus tikus wistar jantan albino yang
diberi perlakuan PSD terhadap nanosuspensi Purwoceng
‒ Terdapat korelasi antara gambaran histopatologis hipokampus tikus wistar jantan
albino yang diberi perlakuan PSD terhadap pemberian nanosuspensi Purwoceng

36
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian true experimental randomized controlled trial


parallel design dengan post-test only with control group design karena penelitian ini
meneliti efek setelah diberi perlakuan pada tikus coba serta tidak dilakukan penyilangan
antara kelompok kasus dan kontrol setelah diberi perlakuan terhadap hewan coba
(Sastroasmoro, Ismael, 2014). Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar akan
diberikan induksi stress dengan model paradoxical sleep deprivation. Terdapat kategori
yang diberi perlakuan sleep recovery, sisanya tidak diberikan. Semua model stress
tersebut menggunakan tangki dengan modified multiple platform method (MMPM) yang
dilengkapi alat muscle atonia efek kejut listrik statis secara otomatis setiap 10 menit
pada hewan coba (Arjadi et al, 2014).
Seperti dijelaskan bab II, manusia mempunyai siklus fase REM dan NREM tiap
90 menit secara diurnal. Pada tikus, siklus irama sirkadian tersebut berlangsung lebih
pendek 10 menit (Prince, 2013). Oleh sebab itu, penerapan dari model PSD muscle
atonia ini dilakukan tiap 10 menit dalam semalam.
Induksi stress dengan model PSD dilakukan selama 96 jam, setelah aklimatisasi
selama 7 hari. Tikus dimasukkan dalam kolam air besar yang dalam dengan pijakan
kecil untuk mendarat. Tikus yang tersengat listrik maupun benar-benar mengantuk akan
jatuh dan tenggelam ke air sehingga memaksa tikus kembali bangun dan menuju ke
pijakan. Fase recovery diberikan pada kelompok tikus kontrol dalam waktu 24 jam.
Setelah itu, ada yang diberikan ekstrak biasa dan sisanya akan diberikan nanosuspensi
purwoceng dengan kadar dosis yang berbeda-beda. Disisakan kelompok kontrol dan satu
kelompok kasus yang tidak diberikan nanosuspensi maupun ekstrak biasa agar
diharapkan dapat memberikan perbandingan yang lebih obyektif.
Tikus diambil sampel darah dari vena lateralis dari ekor tikus untuk pemeriksaan
MDA serum. Seluruh tikus kemudian dimatikan dengan cara dekapitasi. Pengambilan
spesimen hipokampus dilakukan dengan menyayat bagian superior kranium dan
mengangkat serebrum keluar dari kranium tikus lalu mengambil hipokampus kanan. Uji
makroskopis yang dinilai adalah berat otak dan hipokampus serta perubahan
makroskopis yang terjadi antara kelompok kontrol dengan kasus. Uji mikroskopis

37
dilakukan dengan seperti persiapan preparat histologis yang ditanam dalam blok parafin.
Media tersebut dilakukan pemotongan stereologi dengan ketebalan 3 µm menggunakan
microtome, hingga 200 potongan. Pemilihan organ yang akan dianalisis dipilih secara
Systematic Random Sampling. Potongan terpilih tersebut kemudian dilakukan
pengecatan Toluidine blue. Setelah selesai pengecatan, dilakukan pengamatan sel
piramidal CA1-CA3 pada hipokampus otak menggunakan mikroskop cahaya. Parameter
yang akan diamati dalam uji mikroskopis ini adalah volume dan jumlah sel piramidal
CA1 hingga CA3 hipokampus. Metode perhitungan volume tersebut akan dilakukan
dengan prinsip Cavalieri (Boyce, 2010 ; Hermawati, 2015).

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi menurut Ridwan (2019) adalah keseluruhan obyek penelitian. Populasi


dalam penelitian ini adalah tikus wistar albino jantan dengan berat badan 200 - 300
gram, berumur 3 - 4 bulan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Teknis
pelaksanaan rancangan acak lengkap dijabarkan dalam lampiran. Percobaan dengan
rancangan ini dilakukan di laboratorium agar homogenitas satuan percobaan seperti
bahan dan lingkungan dapat terjamin. Hewan coba dibagi secara random menjadi 6
kelompok perlakuan dengan rumus perhitungan jumlah hewan coba.
Sampel menurut Notoadmodjo (2012) adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap memiliki keterwakilan seluruh populasi.
Sampel penelitian sebanyak 5 ekor tikus yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 6
kelompok dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Menurut Frederer (Supranto, 2007),
rumus penentuan sampel uji eksperimental adalah :

(t-1) (r-1) ≥ 15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan r merupakan jumlah


pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 6
kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi :

(6-1) (r-1) ≥ 15
5 (r-1) ≥ 15
5r-5 ≥ 15
5r ≥ 20
R≥4
38
Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 4 ekor (n ≥ 4)
dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 6 kelompok sehingga penelitian ini
menggunakan 24 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar. Masing-
masing kelompok ditambahkan 2 ekor, sehingga 24 ekor hewan coba ditambah dengan
12 ekor didapatkan jumlah total 36 ekor hewan coba dengan rincian 6 ekor tiap
kelompok.
Subyek penelitian dipilih berdasarkan kriteria terpakai (inclusion criteria) dan
kriteria tidak terpakai (exclusion criteria) untuk kedua kelompok. Kriteria terpakai pada
peneltian ini adalah :
1. Tikus dalam keadaan anatomi dan fisiologi yang normal dan sehat
2. Memiliki berat badan antara 200 - 300 gram
3. Jenis kelamin jantan
4. Berusia ± 3 - 4 bulan
Alasan dipilihnya tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar dengan umur 3 - 4
bulan dan berat badan 200 - 300 gram karena pada usia dan berat badan tersebut tikus
sudah masuk ke dalam masa pubertas sehingga sistem reproduksinya dinilai sudah matur
(Sengupta, 2013). Sedangkan kriteria eksklusi yang digunakan pada penelitian ini
adalah:
1. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau
tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus atau
genital)
2. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di
laboratorium
3. Tikus mati sebelum dan saat perlakuan (drop out)
4. Tikus hilang saat perlakuan (drop out)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dapat berskala kategorikal yang terbagi menjadi skala nominal dan
ordinal, atau skala numerik yang dapat dibedakan menjadi skala interval dan rasio
(Sastroasmoro, Ismael, 2002).
1. Variabel tergantung
Variabel tergantung adalah variabel yang nilainya merupakan hasil penelitian.
Pada penelitian ini variabel tergantung adalah kadar MDA serum, gambaran
makroskopis, serta gambaran mikroskopis secara stereologi hipokampus tikus

39
wistar albino jantan. Variabel yang diteliti memiliki skala numerikal (kadar MDA
dalam serum, jumlah sel CA1, CA2, CA3, dan volume hipokampus) maupun
skala kategorikal (gambaran perubahan otak dan hipokampus secara
makroskopis).
2. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang (dianggap) menentukan variabel tergantung.
Pada penelitian ini variabel bebas adalah pemberian ekstrak dan nanosuspensi
purwoceng dengan tikus yang diberi perlakuan Paroxysmal Sleep Deprivation
(PSD).
3. Variabel bebas lain
Pada penelitian ini variabel bebas lain meliputi perbedaan pemberian dosis
nanosuspensi purwoceng, dan adanya fase recovery setelah induksi PSD.

3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional Skala


Berat Badan Tikus Komposisi muatan tubuh tikus galur wistar albino Numerik
jantan berusia 3 - 4 bulan yang dipilih dalam Ratio
penelitian dengan komposisi 200 - 300 gram
Paroxysmal Sleep Deprivation Suatu episode tidur nocturnal diurnal yang Nominal
(PSD) terganggu saat fase REM, periodenya panjang; tidak
disertai gejala psikologis atau medis sebelumnya
seperti ansietas, depresi, nyeri (Ma, 2019). Pada
tikus wistar jantan ini, diberi perlakuan PSD dengan
cara diberikan listrik statis muscle atonia setiap 10
menit sekali menyesuaikan dengan irama perubahan
fase NREM menuju REM tersebut (Prince, 2013).
Fase Recovery pasca PSD Fase tubuh untuk menyeimbangkan diri pasca Numerik
mengalami gangguan tidur tersebut dengan Interval
mengganti jumlah jam tidur yang berkurang
sebelumnya (Ropper, 2014).
Nanosuspensi Purwoceng Larutan koloid yang diambil dari ekstrak akar Numerik
Purwoceng berukuran skala nano 20-200 nm, yang Ratio
distabilkan oleh polimer khitosan dengan teknik
presipitasi (Rismana, 2013 ; Sutradhar, 2013)
Dosis Pemberian Dosis larutan nanosuspensi Purwoceng yang Numerik
Nanosuspensi Purwoceng digunakan dalam penelitian kepada hewan tikus Ratio
wistar albino jantan, yang telah mengikuti tabel
40
konversi berat badan manusia ke tikus setelah
menghitung dosis pada manusia rerata normal.
Ketentuan dosis yaitu sebesar 25 mg/mL untuk
bobot badan tikus sebesar 300 gram atau 83,25
mg/kgBB (Taufiqurrahman, 2006 ; Pribadi,
2011).
Uji Malondialdehyde (MDA) Pemeriksaan kadar malondialdehyde dalam Numerik
serum tikus serum darahyang diambil dari vena lateralis Ratio

ekor tikus wistar jantan putih dengan metode


HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) dengan satuan ng/mL
(Ayuningati, 2012 ; Situmorang, 2020)
Uji Kualitatif Makroskopis - Uji menilai kualitas morfologi gambaran Nominal
Mikroskopis Hipokampus makroskopis (ada tidaknya pembesaran,
pengecilan organ, white spot), gambaran
mikroskopis hipokampus (ada tidaknya
degenerasi, nekrosis, inflamasi, neoplasia,
atrofi, fibrosis, nekrosis, infark) (Brata, 2012).
Uji Histopatologi Kuantitatif Pemeriksaan histopatologi dengan metode Numerik
Hipokampus stereologi untuk mengetahui jumlah sel piramidal Ratio
CA1 hingga CA3, volume hipokampus tikus wistar
jantan putih (mm3) serta derajat penyusutan yang
mungkin terjadi dalam satuan % (Boyce, 2010 ;
Hermawati, 2015 ; Noorafshan, 2017)

Tabel 3.1. Definisi operasional variabel penelitian

3.5 Materi dan Bahan Penelitian

1. Alat dan Bahan Pembuatan Nanosuspensi


Alat - Alat Penelitian :
‒ Homogenizer
‒ Magnetic stirer
‒ Hotplate stirer
‒ Sentrifuge
‒ pH meter
‒ Scanning Electron Microscopy

41
‒ Powder X-Ray Diffraction
‒ Dissolution tester
‒ Spektrofotometer UV-Vis
‒ Timbangan analitik Ohauss
‒ Alat-alat gelas laboratorium
‒ Alat-alat non gelas laboratorium
Bahan - Bahan Penelitian :
‒ Akar Purwoceng
‒ Larutan Ethanol 90%
‒ Aseton
‒ Polisorbat 80
‒ Sodium Lauril Sulfat
‒ Poloxamer 188
‒ PVP (Poli Vinil Pirolidine)
‒ PVA (Poli Vinil Alkohol)
‒ HPMC (Hidroksi Propil Metil Cellulosa)
‒ Aquadest
2. Alat dan Bahan Penelitian Makroskopis dan Histopatologi Hipokampus
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah :
‒ Timbangan analitik OHAUS dengan tingkat ketelitian 0,1 gram untuk
menimbang berat tikus
‒ Lima buah kandang yang digunakan untuk aklimatisasi, berdimensi 60 x 30 x
30 cm. Kandang tersusun dari kaca dengan kawat penutup dan pada dasar
kandang diberi sekam padi. Makanan diletakkan pada tempurung kelapa,
sedangkan untuk minum pada tempat kaca yang mudah digapai oleh tikus dan
mudah digunakan
‒ Tempat air dengan dimensi 145 x 145 x 45 cm berisi air. Tempat air ini
tersusun dari stainless steel yang dilengkapi dengan 1 platform pijakan
mendarat dengan diameter 6,5 cm. Kolam yang dibutuhkan berjumlah empat
buah
‒ Mikroskop
‒ Object glass
‒ Cover glass
‒ Pippet tetes
‒ Alat kejut muscle atonia
42
‒ Super coated slides (SCS)
‒ Spuit oral 10 cc untuk mencekoki
‒ Kapas dan alkohol
‒ Kamera
‒ Rak sampel
‒ Mesin sentrifuge
‒ Eppendorf
‒ Mikropippet
‒ Cuvette beserta rak cuvette
‒ Mesin pemanas supernatan
‒ Spektrofotometer UV
‒ Vacuum tube
‒ Cold pack disinfektan
‒ Autoklaf
‒ Alkohol dan pembakar
Bahan - Bahan Penelitian :
‒ Hewan coba berupa tikus wistar albino jantan sesuai kriteria inklusi
‒ Larutan nanosuspensi purwoceng
‒ Bahan pakan hewan coba Comfeeed AD II
‒ Bahan minum hewan coba Aqua
‒ Preparat hipokampus tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar
albino
‒ Plasma tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar albino
‒ NaCl 0,9%
‒ Eosin - nigrosin
‒ Giemsa
‒ Lysis Solution
‒ Agarose cell support (ACS)
‒ Cat Toluidine blue
‒ Asam trikloroasetat (TCA) 40% 100 mL
‒ Asam hipoklorit (HCl) 1 N 100 mL
‒ Natrium tiosulfat 100 µL 100 mL
‒ Aquabidest 450 mL
‒ Sampel darah masing-masing 3 cc

43
3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pembuatan Nanosuspensi dari Akar Purwoceng :


1. Determinasi Tanaman Purwoceng
Pengambilan simplisia tanaman Purwoceng diperoleh dari desa Batur,
dataran tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Pemilihan tempat pengambilan
tersebut dikarenakan faktor jarak yang lebih terjangkau. Secara kualitas dan
kuantitas, bahan Purwoceng dari daerah Dieng dikatakan lebih tinggi dibanding
sentra budidaya Purwoceng lainnya di Indonesia (Widodo, 2011). Mengingat
tanaman tersebut tergolong langka dan hampir punah, pengambilan di dari daerah
sentra budidaya lebih memungkinkan dibandingkan dengan secara liar.
Determinasi dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Sedangkan untuk proses pengolahan
tanaman Purwoceng akan dilakukan di Laboratorium Ilmu Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Karakteristik Purwoceng yang dipilih adalah Purwoceng berbunga putih
karena memiliki tangkai bunga yang panjang, daun hijau lebih muda serta marka
polimorfisme yang lebih rendah dibandingkan dengan Purwoceng berbunga ungu
(Widodo, 2011). Diameter tajuk daun dari pangkal batang hingga ujung daun
dipilih yang sedang sampai besar dengan pertumbuhan yang lebih tegak lurus dari
tanah. Hal ini dikarenakan proses fotosintesis dan produksi biomassa yang lebih
meningkat dibanding yang kecil maupun pertumbuhan mendatar. Bagian tubuh
Purwoceng yang dipakai sebagai bahan penelitian adalah bagian akarnya.
2. Pembuatan Simplisia (Ma’mun et al, 2006)
‒ Mempersiapkan bahan Purwoceng dengan mencuci segar, dibersihkan
kemudian ditiriskan
‒ Bahan yang sudah dibersihkan ditimbang hingga 1 kg lalu didederkan di alas
nyiru atau rak kaleng
‒ Pengeringan dengan menggunakan aliran udara (angin kering) berlangsung
selama 5 hari 5 malam tanpa henti
‒ Bahan yang sudah kering ditimbang masing-masing, kemudian dikemas
dalam kantong plastik yang kedap udara
3. Ekstraksi Tanaman Purwoceng (Ma’mun et al, 2006)
‒ Bahan yang telah kering lalu digiling dihaluskan dan diayak dengan ayakan
60 mesh.

44
‒ Sebanyak 100 g simplisa dalam piala gelas ditambahkan 500 mL ethanol
90%,
‒ Larutan diaduk lalu didiamkan semalam pada suhu kamar
‒ Dilakukan maserasi atau perendaman hingga tiga kali lalu disaring dengan
kertas saring dan filtratnya dikumpulkan
‒ Sisa ampas diaduk kembali dengan ditambahkan 300 mL ethanol 90% untuk
diaduk kembali dan disaring
‒ Mencampurkan filtrat saringan pertama dan kedua tersebut, disaring dengan
corong Buchner kemudian diuapkan dengan alat rotary evaporator,
selanjutnya diuapkan di atas waterbath hingga diperoleh ekstrak yang kental
‒ Hasil ekstrak kental selanjutnya ditimbang
4. Pembuatan Larutan Purwoceng Nanosuspensi Metode Presipitasi
Pembuatan dilakukan adalah dengan teknik Presipitasi merupakan salah
satu metode bottom up. Pembuatan nanopartikel khitosan ekstrak purwoceng,
dilakukan dengan memodifikasi metode yang digunakan Suhesti, dkk (2015).
Ditimbang 50 gram ekstrak kental purwoceng dalam gelas kimia 100 mL. Ekstrak
kemudian dilarutkan dalam 50 mL etanol : air (70 : 30) dan dicampurkan dengan
100 mL larutan khitosan 2 % dalam asam asetat, serta diencerkan hingga
mencapai volume 1000 mL. Kemudian secara bertahap ke dalam campuran
tersebut ditambahkan 700 mL larutan Na-TPP 0,1 % sambil disertai pengadukan
menggunakan magnetic stirer pada 12.500 rpm. Nanopartikel khitosan ekstrak
purwoceng kemudian dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Secara umum
komposisi formula untuk nanopurwoceng tersaji dalam tabel sebagai berikut :

Media (pelarut)
Bahan Jumlah Jenis Volume
Ekstrak 5000 mg Etanol 50 mL
Purwoceng
Khitosan 2000 mg Asam asetat 1% 100 mL
STPP 100 mg Aquades 700 mL
Total 2000 mg

Tabel 3.2. Formula kombinasi ekstrak purwoceng - khitosan – STPP modifikasi formula Suhesti (2015)

‒ Polimer khitosan dilarutkan dalam asam asetat


‒ Larutan Purwoceng diteteskan ke dalam larutan khitosan dengan pengadukan
6000 rpm selama 2 jam pada temperatur ruangan
5. Uji Karakteristik Larutan Nanosuspensi Purwoceng

45
‒ Penetapan Distribusi Ukuran Partikel
Pengukuran dan distribusi nanopartikel menggunakan alat Particle Size
Analyzer (PSA)
‒ Pengamatan Morfologi Nanopartikel
Morfologi nanopartikel ekstrak Purwoceng digunakan Transmission Electron
Microscopy (TEM). Sampel nanopartikel ditetesi di atas copper grid
kemudian dilapisi karbon dengan alat Auto Carbon Coated (JOEL JEC-560,
Japan) selama 5 detik, setelah itu dikeringkan pada suhu ruang selama 24
jam. Setelah sampel nanopartikel kering, dilapisi lagi dengan karbon lalu
copper grid dimasukkan ke dalam holder dan sampel siap dianalisis dengan
percepatan voltage 120 kV dan magnifikasi 60000.
‒ Zeta Potensial
Zeta potensial merupakan penanda dari stabilitas fisik dari suatu larutan
nanosuspensi. Ia merupakan pengujian tidak langsung dari ukuran ketebalan
dari lapisan difusi yang nantinya dapat memprediksi stabilitas jangka panjang
larutan. Larutan nanosuspensi yang memiliki stabilitas yang baik secara
elektrostatis harus memenuhi rentang minimal ± 30 - 60 mv.

Teknik Pemeliharaan dan Perlakuan Stress Listrik untuk Sleep Deprivation :


1. Pemilihan, Aklimatisasi dan Adaptasi Tikus Coba
‒ Dilakukan perlakuan dengan prinsip 3R (Replacement, Reduction, Refinement)
yaitu sebagai berikut (Ridwan, 2013 ; Sengupta, 2013) :
i. Replacement
Perlakuan seleksi tikus coba yang sesuai untuk kepentingan penelitian
dibedakan dengan tikus kontrol
ii. Reduction
Pemenuhan jumlah sampel berdasarkan perhitungan jumlah minimum dari
rumus Frederer
iii. Refinement
 Pengendalian lingkungan pada hewan coba dilakukan dengan
menempatkan hewan coba dalam kandang berdimensi 60 x 30 x 30 cm.
Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari adanya proses pertumbuhan
yang terhambat akibat ketidaksesuaian hewan coba dengan lingkungan.
Suhu dalam kandang dijaga dalam suhu (23 ± 2 oC) dan kelembaban (75 ±
5oC) yang konstan dipertahankan. Teknik pencahayaan dilakukan secara
46
alami namun tetap disesuaikan dengan pajanan cahaya gelap (19.00 -
07.00 WIB) dan terang (07.00 - 19.00 WIB).
 Asupan makanan penting untuk diperhatikan karena asupan makanan
mempengaruhi berat badan dan pertumbuhan hewan coba. Pengendalian
dilakukan dengan cara memberi makanan dan minuman pada hewan coba
dengan jenis, jumlah, dan komposisi yang sama secara ad libitum. Pakan
yang diberikan berjenis Comfeed AD II yang diperoleh dari toko pakan
ternak unggas. Air minum yang diberikan berupa air mineral merk AQUA.
Kecukupan nutrisi sangat penting untuk diperhatikan, karena malnutrisi
pada tikus dapat memicu terjadinya stress dan akan membiaskan hasil
penelitian yang akan diraih.
 Dilakukan analisis proximate makanan, mutu air minum, dan uji
kontaminasi secara berkala
 Pengaturan lingkungan bersih dan sesuai keadaan biologis dari tikus coba
(cahaya yang tidak silau, suhu kamar 24oC, kelembaban lingkungan yang
netral, dan fasilitas kandang yang leluasa untuk bergerak).
 Pengaturan dan perawatan berkala tikus coba dilakukan sesuai dengan
prosedur yang diterapkan oleh Laboratorium Hewan Coba Fakultas
Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
 Proses adaptasi dan aklimatisasi ini dilakukan selama 7 hari

2. Pemberian Perlakuan Paradoxical Sleep Deprivation


‒ Memilah kelompok tikus yang akan diberikan perlakuan PSD dengan fase
recovery dan tanpa fase recovery, serta pembagian kelompok tikus mana yang
mendapat ekstrak Purwoceng biasa dan mana yang dengan nanosuspensi
Purwoceng disertai perbedaan dosisnya
‒ Model stress yang diberikan adalah muscle atonia pada platform pijakan tikus
di kolam berisi air, yang bertujuan agar tikus diberikan perlakuan PSD
(Paroxysmal Sleep Deprivation)
‒ Seluruh kelompok tikus dimasukkan dalam kolam air besar yang dalam dan
mempunyai pijakan kecil untuk mendarat.
‒ Tikus yang terkena sengatan listrik maupun yang benar-benar mengantuk akan
jatuh dan tenggelam ke air sehingga memaksa tikus kembali bangun dan
menuju ke pijakan secara otomatis.
‒ PSD dilakukan selama 96 jam
47
‒ Dilakukan fase recovery dalam kurun waktu 24 jam pada kelompok tikus kasus
pertama, sedangkan kelompok lainnya tidak mendapatkan hal tersebut.
3. Penentuan Dosis Nanosuspensi Ekstrak Purwoceng
Penentuan dosis ekstrak Purwoceng didasarkan pada penelitian terdahulu
(Taufiqurrahman, 2006 ; Pribadi, 2012) yaitu sebesar 25 mg/mL/hari untuk bobot
badan tikus sebesar 300 gram selama 7 hari. Penelitian ini menggunakan larutan
stok yang mengandung 50 mg/mL ekstrak yang telah dinanosuspensikan, sehingga
jumlah larutan nanosuspensi yang dicekokkan ke tikus sebesar 0,5 mL. Penetapan
dosis 25 mg/mL/hari untuk bobot 300 gram merupakan dosis optimal terendah yang
ditetapkan pada kelompok tikus perlakuan pertama. Pemberian pada kelompok
selaanjutnya dilakukan dengan interval 25 mg/mL (50 mg/mL/300 gBB/hari untuk
kelompok tikus perlakuan kedua, dan 75 mg/mL/300 gBB/hari untuk yang ketiga).
Sampai sejauh ini, belum ada penelitian yang menemukan tentang kadar dosis
toksik yang mempengaruhi organ tubuh tikus coba pada Purwoceng.
4. Cara Pemberian Perlakuan Nanosuspensi Purwoceng
‒ Tikus wistar dipegang dengan tangan kiri peneliti atau dimasukkan dalam
selongsong yang sesuai ukuran tubuh tikus.
‒ Memberikan larutan nanosuspensi Purwoceng melalui mulut tikus dengan
sonde gavage per hari

Gambar 3. Cara Kerja Pemberian Cairan Perlakuan dengan Sonde Gavage pada Tikus

Mencit Tikus Marmut Manusia


Mencit (200 1,0 7,0 12,25 387,9
gram)
Tikus (200 gram) 1,14 1,0 1,74 56,0
Marmut (400 0,08 0,57 1,0 31,15
gram)
Manusia (70 kg) 0,0026 0,018 0,031 1,0

Tabel 3.3. Tabel Konversi Dosis Pemberian Obat pada Mencit, Tikus, Marmot, dan Manusia
48
5. Teknik Penghitungan Kadar MDA Serum :
‒ Tikus wistar dipegang dengan tangan kiri peneliti atau dimasukkan dalam
selongsong yang sesuai ukuran tubuh tikus
‒ Ekor tikus dijulurkan keluar dan vena lateralis pada ekor di insisi 0,2 – 2 cm
dari pangkal ekor dengan gunting steril
‒ Darah ditampung pada eppendorf kemudian diletakkan miring 45o dan
dibiarkan mengendap pada suhu kamar
‒ Dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan serum kemudian diujikan.
‒ Semua sampel plasma darah dimasukkan ke dalam rak sampel dan dipilah-pilah
‒ Setiap 8 sampel darah dimasukkan mesin sentrifuge dan dijalankan dengan
kecepatan 2500 rpm selama 8 menit hingga terbentuk serum
‒ Serum diambil dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam
tabung eppendorf
‒ Mengambil 0,5 cc serum kemudian tambahkan dengan 1,25 cc TCA 40% 2,5
µL , 200 µL HCl (Hidrogen Chloride) 1 N , aquabidest 0,5 cc , dan natrium
tiosulfat 100 µL
‒ Memanaskan pada suhu 100oC selama 25 menit menggunakan mesin pemanas
supernatan
‒ Dilakukan sentrifuge kembali dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit dan
ambil supernatan yang terbentuk
‒ Memasukkan supernatan ke dalam vacuum tube dan tambahkan aquabidest
sampai 3 cc
‒ Memasukkan supernatan ke dalam cuvette, kemudian cuvette dimasukkan pada
mesin spektrofotometer UV
‒ Membaca serapan dengan panjang gelombang λ 532 nm
6. Dekapitasi Hewan Tikus Coba (Priosoeryanto, 2019) :
‒ Memegang badan dan punggung tikus wistar pada tangan kiri peneliti, tangan
kanan menjepit kepala bawah dekat leher tikus wistar
‒ Kedua tangan memegang dengan kencang agar tikus tidak terlepas
‒ Bila tikus memberontak secara keras dan sulit diatur, diberikan zat anestetik
inhalasi seperti eter ataupun kloroform
‒ Memberi tekanan dan tarikan seketika pada bagian posterior dasar tulang
tengkorak dan sumsum tulang belakang

49
‒ Menilai derajat kematian tikus. Apabila refleks kedip, rangsangan / peka sakit
menghilang, berarti sudah terjadi pemisahan sumsum tulang belakang dengan
bagian otak tikus wistar
7. Nekropsi dan Pengukuran Makroskopis (Priosoeryanto, 2019) :
‒ Menempatkan hewan coba yang telah dilakukan dekapitasi dengan perut
menempel pada styrofoam
‒ Mengikat dan memfiksasi tiap-tiap kaki dengan jarum pentul
‒ Membasahi seluruh kulit dan bulu bagian superior dan medial kepala hingga
kaki dengan alkohol
‒ Membuat sayatan pada kulit kepala tepat di bagian tengah atas kepala (superior
kranium) dan berakhir sejajar telinga
‒ Membuang kulit dan otot-otot di bagian dorsal dan kaudal kranium
‒ Membuka kranium secara perlahan
‒ Membuka cerebrum dan mengambilnya keluar dari kranium
‒ Membuka hipokampus dengan menyusuri hemisfer cerebri dextra
8. Tahapan Pembuatan Preparat Histologi (Brata, 2012) :
a) Fiksasi
‒ Bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan integritas kimiawi sel sesuai
pada saat hidup dan mencegah kerusakan bentuk, struktur dan hubungan
antar sel akibat kejadian traumatik saat handling maupun perpindahan fisik
atau proses kimia lainnya
‒ Fiksasi dilakukan dengan memberikan formalin 10% selama 2 jam
b) Triming
‒ Bertujuan mengiris-iris jaringan menjadi lebih kecil yang bertujuan agar bisa
dimasukkan dalam tissue cassette untuk proses dehidrasi
‒ Dalam melakukan triming sangat penting diperhatikan bagian jaringan mana
yang dipilih guna menunjang akurasi diagnosis
c) Dehidrasi, prosesnya meliputi :
‒ Perendaman dalam alkohol 70% selama 2 jam
‒ Perendaman dalam alkohol 80% selama 2 jam
‒ Perendaman dalam alkohol 90% selama 2 jam
‒ Perendaman dalam alkohol 96% selama 2 jam
‒ Perendaman dalam alkohol absolut I selama 2 jam
‒ Perendaman dalam alkohol absolut II selama 2 jam
‒ Perendaman dalam toluena I selama 2 jam
50
‒ Perendaman dalam toluena II selama 2 jam
‒ Pembersihan dalam xylol I selama 2 jam
‒ Pembersihan dalam xylol II selama 2 jam
d) Embedding - Blocking
‒ Pengeblokan / embedding dalam parafin cair I selama 2 jam
‒ Pengeblokan / embedding dalam parafin cair II selama 2 jam
‒ Setelah sudah mengeras dalam 20 menit,cetakan dilepas dan diganti dengan
etiket atau nomor yang permanen
‒ Permukaan jaringan yang akan dipotong menghadap ke bawah pada cetakan
blok parafin.
e) Cutting
‒ Dilakukan penetapan jumlah potongan berdasarkan hewan coba. Baku emas
dari teknik stereologi adalah tiap jumlah hewan coba 5 – 10 ekor, terdapat 6
– 10 potongan, jumlah probe 50 buah, dan jumlah hitungan 100 – 200
hitungan profil.
‒ Memotong dengan menggunakan mikrotom
‒ Memotong dengan ketebalan 3 μm
‒ Melakukan pemotongan sampel sesuai ketentuan yang disepakati dengan
teknik IURS (Isotrophic Uniform Random Sampling).
‒ Membuat irisan secara vertical dengan cara jaringan diputar pada aksisnya
secara acak sebelum dilakukan pengirisan.
‒ Pemotongan dilakukan dekat dengan waterbath 56oC sebagai tempat untuk
pengembangan potongan jaringan
‒ Jika sudah mengembang, jaringan ditangkap dengan obyek glas
‒ Dikeringkan dalam suhu kamar, kemudian dimasukkan dalam inkubator
sebelum diwarnai
f) Staining
‒ Tiap preparat direndam dalam xylol I, II dan III selama 5 menit
‒ Dehidrasi dengan ethanol I dan II masing-masing 5 menit
‒ Mencuci preparat dengan aquadest selama 1 menit
‒ Merendam dalam larutan Hematoksilin Eosin selama 15 menit, selanjutnya
dibilas dengan air mengalir, lalu dicuci dengan Lithium Karbonat selama 15 -
30 detik, dibilas dengan aquadest 1 menit
‒ Mencelupkan dalam asam alkohol 4 celupan, kemudian dibilas dengan
aquadest 1 menit dan 15 menit
51
‒ Preparat diwarnai dengan Eosin selama 4 menit
‒ Sediaan dimasukkan ke dalam alkohol 70%, 80%, dan 96% masing-masing
selama 3 menit
‒ Selanjutnya direndam dalam ethanol III dan IV masing-masing selama 3
menit
‒ Selanjutnya dalam xylol IV dan V masing-masing 3 menit
g) Mounting
‒ Sediaan dikeringkan dan diteteskan dengan perekat permount dan ditutup
dengan gelas penutup
‒ Dilakukan pembacaan preparat secara histopatologis. Adapun yang diamati
secara morfologis antara lain : gambaran makroskopis (pembesaran,
pengecilan organ, white spot, dan sebagainya), gambaran mikroskopis
(degenerasi, nekrosis, inflamasi, neoplasia, atrofi, fibrosis, nekrosis, infark,
dan lain-lain)
9. Teknik Stereologi Organ Hipokampus metode Cavalieri (Perhitungan Jumlah
Volume Organ) dan Perhitungan Jumlah Total Sel CA1, CA2, dan CA3 (Boyce,
2010 ; Hermawati, et al, 2015) :
‒ Dilakukan metode pengambilan sampel secara fraksionator optik, dengan
cara menentukan besaran fraksi sampel yang akan diambil, lalu potongan
sampel disusun sesuai urutan terlebih dahulu sebelum diambil fraksi
sampelnya. Sampel diurutkan dari kecil ke besar lalu ke kecil lagi (smooth
fractionator).
‒ Menghitung volume dengan metode Cavalieri, dengan cara menggunakan
sayatan pada slide yang diwarnai toluidine blue. Kemudian hasilnya
didokumentasikan menggunakan mikroskop cahaya dilengkapi dengan
kamera dan foto jaringan di gabungkan dengan program aplikasi Adobe
Photoshop di komputer. Foto jaringan yang sudah digabungkan dibuat grid
dengan ukuran 1 cm2 dan titik pertemuan grid yang berada di daerah
hipokampus dihitung dengan program Adobe Photoshop agar didapatkan
nilai P. Nilai volume hipokampus didapatkan dengan rumus :

V = (P.u.t.N)
n

Keterangan :
V = Volume hipokampus (mm3)
52
P = Jumlah pertemuan titik yang terdapat di daerah
hipokampus
u = Luas area yang diwakili setiap titik (0.01 mm2)
t = Ketebalan sayatan
N = Total jumlah serial sayatan hipokampus
n = Jumlah sayatan yang diambil
‒ Melakukan perhitungan densitas numerik pada sel piramidal pada
hipokampus menggunakan probe disektor fisik. Membagi potongan
konsekutif menjadi daerah test dan daerah look up. Dilakukan pengambilan
sampel metode Systematic Random Sampling. Jumlah sel (Q-) diambil dari
jumlah sel nuklei yang muncul dari daerah test sebagai daerah hitungan
(counting frame), bukan dari daerah look up. Untuk meningkatkan efisiensi
dari perhitungan sel, daerah pertama yang menjadi bagian test menjadi
daerah look up dan sebaliknya. Perhitungan densitas numerik dari sel
piramidal dilakukan dengan rumus :

Nv = ΣQ-
a.h

Keterangan :
Q- = jumlah sel inti yang terhitung
a = total area bagian test
h = ketebalan tiap potongan
‒ Melakukan slight modification untuk mencegah bias perhitungan akibat
penyusutan jaringan akibat proses pembuatan preparat secara fisik. Grid
dibuat dari titik test diberi jarak 1 cm secara reguler dan diletakkan di atas
jaringan hipokampus sebelum dan setelah jaringan dilakukan dehidrasi.
Faktor penyusutan dihitung dengan membagi jumlah titik gambar
hipokampus setelah proses dehidrasi dengan sebelumnya. Nilai yang
didapatkan kemudian diambil dari pertama. Rata-rata faktor penyusutan
yang dapat ditoleransi minimal berjumlah 12,52%.
‒ Estimasi perhitungan jumlah total sel piramidal regio CA1, CA2, dan CA3
pada hipokampus didapat dengan mengalikan volume dengan densitas
numerik. Estimasi ini tidak terpengaruh oleh faktor penyusutan, selama
faktor penyusutan tersebut telah dikeluarkan angkanya dari data volume
dan densitas numerik.
53
10. Teknik Pembuangan Kadaver Organ Sisa Tikus Coba (Ridwan, 2013) :
‒ Memasukkan semua sisa organ tikus yang tidak terpakai ke dalam kantong
plastik
‒ Menutup rapat kantong plastik dan memastikan tidak ada bau yang keluar dari
plastik
‒ Menyerahkan kantong plastik berisi kadaver dan sisa organ tersebut ke
Laboratorium Hewan Coba FK UNSOED untuk dilakukan insinerasi
‒ Sampah lain berupa plastik, kertas, dan sebagainya ; yang tidak berhubungan
dengan organ tikus coba dibuang dalam kantong plastik tersendiri
‒ Membersihkan area kerja sisa pembedahan dengan sabun. Dapat disemprot
dengan alkohol agar lebih bersih dan asepsis.
‒ Memastikan area kerja kembali bersih, bebas dari kotoran sisa pembedahan
tikus coba

3.7 Tata Urutan Kerja

Pada penelitian ini data dikumpulkan melalui tahapan sebagai berikut :


1. Persiapan sampel penelitian
2. Membuat nanosuspensi Purwoceng
3. Membuat model tempat air dengan MMPM
4. Aklimatisasi hewan coba dilakukan selama 7 hari agar tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur Wistar dapat beradaptasi dengan kondisi laboratorium.
5. Melakukan perlakuan induksi stress PSD selama 96 jam, dengan dialirkan listrik
status muscle atonia.
6. Diberi perlakuan fase recovery selama 24 jam pada kelompok kontrol dan sisanya
tidak mendapatkan.
7. Pemberian nanosuspensi Purwoceng dengan tiga perbedaan dosis dan ekstrak
Purwoceng tanpa nanosuspensi untuk kelompok kasus (hari ke-12 hingga ke-18).
8. Pemeriksaan kadar MDA serum
9. Terminasi hewan coba secara dekapitasi
10. Pembedahan dan nekropsi hipokampus tikus
11. Pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis kualitatif
12. Pengamatan histopatologi kuantitatif metode stereologi untuk menilai jumlah sel
dan volume hipokampus
13. Perizinan Etika

54
Peneliti mengajukan ethical clearence kepada tim komisi etik KPEK
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman sebelum melakukan
penelitian. Perizinan etika ini terutama berkaitan dengan etika penelitian pada
hewan coba. Setelah mendapatkan ethical clearance, maka penelitian ini dapat
dilaksanakan.
14. Analisis dan dokumentasi data hasil penelitian

Grup Hari 1 -7 Hari 8 - 11 Hari 12 - 18 Hari 19


PSD dengan Aklimatisasi PSD Aquadest Terminasi
sleep recovery Dekapitasi
PSD tanpa sleep Aklimatisasi PSD Aquadest Terminasi
recovery Dekapitasi
PSD tanpa sleep Aklimatisasi PSD Ekstrak Purwoceng Terminasi
recovery 25 mg/ 300 gBB/ Dekapitasi
hari
PSD tanpa sleep Aklimatisasi PSD Nanosuspensi Terminasi
recovery Purwoceng 25 mg/ Dekapitasi
300 gBB/ hari
PSD tanpa sleep Aklimatisasi PSD Nanosuspensi Terminasi
recovery Purwoceng 50 mg/ Dekapitasi
300 gBB/hari
PSD tanpa sleep Aklimatisasi PSD Nanosuspensi Terminasi
recovery Purwoceng 75 mg/ Dekapitasi
300 gBB /hari

Tabel 3.4. Tabel Prosedur Penelitian dan Pembagian Kelompok berdasarkan Perlakuan

55
3.8 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan bantuan perangkat komputer


SPSS. Uji normalitas distribusi data dalam analisis data menggunakan Shapiro-Wilk dan
uji homogenisitas serta varian data menggunakan Levene’s Test. Bila transformasi data
adalah normal dan heterogen, maka dilakukan analisis dengan One Way of Variance
(ANOVA) sebagai uji parametrik. Bila tidak normal, dilakukan analisis dengan Kruskal
Wallis. Analisis ini dilanjutkan dengan uji Post-Hoc Tukey untuk menentukan adanya
perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Level
signifikansi ditetapkan pada p < 0,05 (Budiarto, 2001).

3.9 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran


Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penelitian dilakukan setelah ethical
approval diterbitkan.

3.10 Jadwal Penelitian

2020 2020-2021
No Kegiatan
07 08 09 10 11 12 01 02 03
1 Penyusunan proposal X X X X X
2 Seminar proposal X X
3 Pengajuan ethical clearance X X
Persiapan dan Pengambilan
4 X X X
data
5 Analisis data X X X
6 Penyusunan laporan hasil X X X

Tabel 3.5. Tabel Rencana Jadwal Penelitian

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Agustina, S., Wardhono, E.Y, Alfiansyah, A.A. 2019. Sintesis Nanopartikel Kitosan
melalui Teknik Emulsifikasi Simultan dan Self-Assembly Nanoparticles sebagai
Material Kemasan Aktif. Jurnal Integrasi Proses volume 8, no.2. Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik Untirta, Cilegon, Banten, Indonesia.
2. Arjadi, F., Kurniawan, D.W., Wibowo, Y., etc. 2019. No Acute Toxicity Tests of
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Ethanolic Extract on Male Albino Rat by
Determined Hepatorenal Function Test and Histopathology. Journal Molekul, volume
14 no.2. Department of Anatomy, Faculty of Medicine, Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto 53112, Central Java, Indonesia.
3. Arjadi, F., Soejono, S.K., Pangestu, M. 2014. Paradoxical Sleep Deprivation
Decreases Serum Testosterone and Leydig Cells in Male Rats. Universa
Medica,volume 33, page 27-35. Anatomy Department Faculty of Medicine and Health
Sciences, Jenderal Soedirman University, Kampus Berkoh, Purwokerto, Central Java.
4. Arjadi, F., Siswandari, W., Wibowo, Y., Krisnansari, D., Muntafiah, A. 2019.
Purwoceng Roots Ethanol Extract Make No Improvement in Leydig Cells Activity to
Male White Rats (Rattus norvegicus) Exposed by Paradoxical Sleep Deprivation
(PSD) Stress Model. IOP Conference Series : Earth and Environmental Science 255.
Anatomy Department Faculty of Medicine and Health Sciences, Jenderal Soedirman
University, Kampus Berkoh, Purwokerto, Central Java.
5. Ayala, A., Munoz, M., Arguelles, S. 2014. Lipid Peroxidation : Production,
Metabolism, and Signaling Mechanisms of Malondialdehyde and 4-Hydroxy-2-
Nonenal. Oxidative Medicine and Cell Longevity, volume 112 : page 21-28.
Department of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Pharmacy, University
of Seville, Spain.
6. Baehr, M., Frotscher, G. 2014. Major Component of Limbic System : Hippocampus.
Duus Topical Diagnosis in Neurology 5th Edition : Anatomy, Physiology, Signs,
Symptoms, Chapter 7, page 202 - 203. Thieme Inc.
7. Birben,E., Sahiner, U.M, Sackesen, C., et al. 2012. Review Article : Oxidative Stress
versus Antioxidants Defense. World of Allergy Organization (WAO) Journal volume
5, page 9 - 19. Pediatric Allergy and Asthma Unit, Hacettepe University School of
Medicine, Ankara, Turkey.
8. Blumenfeld, H. 2014. Hippocampal and Parahippocampal Formation. Limbic System,
Homeostasis, Olfactory, Memory, and Emotion. Neuroanatomy through Clinical
Cases, Second Edition, Chapter 18, page 830-837. Sinauer Association Inc., Publisher.
Yale University School of Medicine. Sunderland, Massachussets, United States of
America.
9. Boyce, R.W, Dolph-Peterse, K.A, Gundersen, H.J.G, etc. 2010. Design-based
Stereology : Introduction to Basic Concepts and Practical Approaches for Estimation
of Number. Society of Toxicology Pathology, SAGE Publications. WIL Research
Laboratories LLC, Ashland, Oklahoma, USA.
10. Brata, I.K, 2018. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi. Seminar Nasional
Rotschild Minat Profesi Satwa Liar. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia.
11. Budiarto, E. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
12. Cudappah, V.A, Zhang, S.L, Sehgal, A. 2019. Regulation of the Blood-Brain Barrier
by Circadian Rhythms and Sleep. Trend in Neurosciences Review, vol. 42, no.7. Cell
Press Review, Elsevier Ltd.

57
13. Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., et al. 2006. Biomarkers of Oxidative Damage
in Human Disease. Journal of Clinical Chemistry volume 52 (4), page 601 – 623.
Department of Biology, University of Milan, Italia.
14. Darwati, I., Roostika, I. 2006. Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah volume 12, no.1. Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik, Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian,
Bogor, West Java, Indonesia.
15. Gvillia, I, Suntsova, N., Kumar, S., etc. 2015. Suppression of Preoptic Sleep-
Regulatory Neuronal Activity during Corticotropin-Releasing Factor-Induced Sleep
Disturbance. American Journal Regulation Integrative Comprehensive Physiology,
volum 309 : R1092 - R1100.
16. Havekes, R., Abel, T. 2017. The Tired Hippocampus : The Moleculer Impact of Sleep
Deprivation on Hippocampal Function. Elsevier Inc. Groningen Institute for
Evolutionary Life Sciences, University of Groningen, Groningen, Netherlands.
17. Hermawati, E., Ratnasari, D.C., Partadiredja, G. 2015. The Effects of Black Garlic
Ethanol Extract on the Spatial Memory and Estimated Total Number of Pyramidal
Cells of the Hippocampus of Monosodium Glutamate-Exposed Adolescent Male
Wistar Rat. Aanatomical Science International, Japanese Association of Anatomists,
Springer Link. The Departmet of Physiology, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia.
18. Jones, B.E. 2019. Arousal and Sleep Circuits. Neuropsychopharmacology Reviews.
American College of Neuropsychopharmacology.
19. Kaplan, H., et al. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Binarupa Aksara Publisher, halaman
210 – 217, Tangerang, Indonesia.
20. Lakshmi, P., Kumar, G.A. 2010. Nano-Suspension Technology : A Review.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Bharat Institute of
Technology, Andhra Pradesh, India.
21. Lee, D.W, Chung, S., Yoo, H.J., etc. 2016. Neurochemical Changes Associated with
Stress-Induced Sleep Disturbance in Rats : In Vivo and In Vitro Measurements.Plos
One. Division of MR Research, Department of Radiology, John Hopkins University
School of Medicine, Baltimore Maryland, USA.
22. Ma, W., Song, J., Wang, H., etc. 2019. Chronic Paradoxical Sleep Deprivation-
Induced Depression like Behaviour, Energy Metabolism and Microbial Changes in
Rats. Life Sciences. Center of Chinese Medicine Therapy and Systems Biology,
Institute of Interdisiplinary Integrative Medicine Research, Shanghai University of
Traditional Chinese Medicine, Shanghai, China.
23. Malole, M.B.M, Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor, Indonesia.
24. Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan Avertebrata dan Vertebrata. CV Sinar Wijaya.
Surabaya, Indonesia.
25. Ma’mun,S., Subirman, F., et al. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia Ekstrak
Purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, halaman
314 - 323.
26. Mauludin,R., Muller R.H., dan Keck, C.M. 2009. Kinetic Solubility and Dissolution
Velocity of Routine Nanocrystal. European Journal of Pharmaceutical Science,
volume 36, page 502 - 510. Elsevier Inc. Department Pharmaceutics and
NutriCosmetics, Free University Berlin, Germany.
27. Nguyen, J., Gibbons, C.M., Dykstra-Aiello, C., etc. 2019. Interleukin-1 Receptor
Accessory Proteins are Required for Normal Homeostatic Responses to Sleep

58
Deprivation. Department Integrative Physiology and Neurobiology, College of
Veterinary Medicine, Washington State University, Spokane, USA.
28. Noorafshan, A., Karimi, F., Kamali, A.M, etc. 2017. Restorative Effects of Curcumin
on Sleep Deprivation Induced Memory Impairments and Structural Changes of the
Hippocampus in a Rat Model. Life Sciences, Elsevier Journal. Department of
Anatomy, School of Medicine, Shiraz University of Medical Sciences, Shiraz, Iran.
29. Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta.
30. Nurcahyanti, A.D., Nasser, I., Sporer, F., etc. 2018. Essential Oil Composition, In
Vitro Antioxidant, and Antimicrobial Activities of Pimpinella pruatjan from West
Java Indonesia. Institute of Pharmacy and Moleculer Biotechnology, Heidelberg
University Germany and Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute
Bogor Indonesia. Bentham Science Publisher.
31. Nuryadin, E., Nabila, A. 2018. Potential Development of Purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk or Pimpinella alpine Kds) Plant Scale Industry Using In Vitro Culture
Technique by Means of Rooting Induction. Journal of Tropical Biodiversity and
Biotechnology.Department of Biology Education, Faculty of Teacher Training and
Education, Siliwangi University, Tasikmalaya 46115, West Java, Indonesia.
32. Prabhkar, C. 2011. A Review on Nanosuspensions in Drug Delivery. International
Journal of Pharmacology and Biological Sciences volume 2, issue 1. Department of
Pharmaceutics, Chikur Balaji College of Pharmacy, Hyderabad, India.
33. Pribadi, W.A. 2012. Efektivitas Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina)
terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Bunting pada Umur Kebuntingan 0 -
13 Hari. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
34. Prince, T.M, Abel, T. 2013. The Impact of Sleep Loss on Hippocampal Function. CSH
Press and Learning Memory. Neuroscience Graduate Group, University of
Pennsylvania, Philadelphia, USA.
35. Priosoeryanto, B.P. 2019. Tata Cara Nekropsi Tikus dan Pengujiian Patologi.
Workshop Handling dan Etika Penggunaan Hewan Coba. Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,
Indonesia.
36. Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan – Ikatan Dokter
Indonesia (P2KB-IDI). Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.
37. Rismana, E. 2012. Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Kitosan - Ekstraksi Kulit
Buah Manggis (Garcinia mangostana). Jurnal Sains dan Toksikologi Indonesia,
volume 14, halaman 189 - 196.
38. Ropper, A.H., Samuels, M.A, Klein, J.P. 2014. Sleep and Its Abnormalities. Section
4 : Epilepsy and Disorders of Consciousness. Adams and Victor’s Principles of
Neurology, Tenth Edition, page 395 - 418. Mc Graw Hill Medical Education.
39. Saryono, Retnani, H., Santoso, D. 2015. Seduhan Biji Kurma (Phoenix dactylifera)
Memperkuat Membran Sel Sperma untuk Menurunkan Kadar Malondialdehid. Jurnal
Ners volume 10, no.2, hlm 355-359. Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia.
40. Sastroasmoro, S., Ismael, S., Harun, S.R. 1995. Uji Klinis. Dasar - Dasar Metodologi
Penelitian Klinis, hlm. 109 - 125. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. PT Binarupa Aksara, Jakarta.
41. Schmitt, K., Holsboer-Trachsler, E., Eckert, A. 2016. BDNF in Sleep, Insomnia, and
Sleep Deprivation. Neurobiology Lab for Brain Aging and Mental Health,
Transfaculty Research Platform, Molecular and Cognitive Neuroscience, University of
Basel, Basel, Switzerland. Annals of Medicine - Taylor and Francis Group.

59
42. Sengupta, P. 2013. The Laboratory Rat : Relating Its Age with Human’s. International
Journal of Preventive Medicine. Department of Human Physiology with Community
Health, Vidyasagar University, India. Wolters Kluwer Publishing.
43. Shochat, T., Cohen-Zion, M., Tzischinsky, O. 2014. Functional Consequences of
Inadequate Sleep in Adolescents : A Systematic Review. Department of Nursing and
School of Behavioural Sciences, Faculty of Social Welfare and Health Sciences,
University of Haifa, Haifa, Israel. Elsevier Ltd.
44. Situmorang, N., Zulham. 2020. Malondialdehyde (MDA). Jurnal Keperawatan dan
Fisioterapi (JIKF) volume 2 nomer 2. Program Studi Magister Ilmu Biomedis Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
45. Situmorang, N. 2020. Efek Katekin Daun Gambir (Uncaria gambir, Roxb) terhadap
Kadar Malondialdehid Serum dan Ekspresi Gen Sirtuin-1 pada Hipokampus Mencit
Betina Model Penuaan. Repositori Institusi USU. Program Studi Magister Ilmu
Biomedis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
46. Snell, R. 2010. Hippocampal Formation. Chapter 9 : The Reticular Formation and
Limbic System. Clinical Neuroanatomy 7th Edition, page 304-311. Wolters Kluwer
Health, Lippincott Williams and Wilkins.
47. Suhartinah. 2011. Efek Spermatogenesis dan Afrodisiaka Herba Purwoceng
(Pimpinella alpina K.D.S) Pasar terhadap Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Jurnal
Farmasi Indonesia hal.19 - 26. Fakultas Farmasi Universitas Setiabudi, Surakarta,
Indonesia.
48. Suhesti, T.S, Fudholi, A., Martien, R. 2015. Application of Simplex Lattice Design for
the Optimization of the Piroxicam Nanosuspensions Formulation using Evaporative
Antisolvent Technique. International Journal of Pharmaceutical and Clinical Research.
49. Sutradhar, K.B, Khatun, S., Luna, I.P. 2013. Increasing Possibilities of
Nanosuspension : Review Article. Journal of Nanotechnology volume 2013. Hindawi
Publishng Corporation. Department of Pharmacy, Stanford University, Dhaka,
Bangladesh.
50. Supranto, A.B. 2007. Teknik Sampling untuk Survey dan Eksperimen. PT Rineka
Cipta, Jakarta.
51. Susilowati, A.A, Widodo, G.P., Merari, J. 2019. Efek Ekstrak Etanol Daun Kelor
(Moringa oleifera, Lamk.) pada Mencit Model Demensia : Kajian Memori Spasial,
Kadar Malondialdehid dan Jumlah Sel Piramidal Hipokampus Area CA1, dan CA2-
CA3. Jurnal Farmasi Indonesia, halaman 64-78, volume 16, no.2. Program Studi Pasca
Sarjana, Jurusan Sains Fakultas Farmasi, Universitas Setia Budi, Jebres, Surakarta,
Jawa Tengah.
52. Taufiqurrachman, Wibowo, S. 2006. Effect of Purwoceng (Pimpinella alpina Molk)
Extract in Stimulating Testosterone, Luteinizing Hormone (LH) and Follicle
Stimulating Hormone (FSH) in Sprague Dawley Male Rats. Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVII, halaman 45 - 54. Bogor,
Indonesia.
53. Teleanu, R.I, Chircov, C, Grumezescu, A.M., et al. 2019. A Review : Antioxidant
Therapies for Neuroprotection. Journal of Clinical Medicine. University of Medicine
and Pharmacy, Bucharest, Romania.
54. Tufik, S., Andersen, M.L, etc. 2009. Paradoxical Sleep Deprivation : Neurochemical,
Hormonal and Behavioural Alterations. Annals of the Brazilian Academy of Sciences.
Discipline de Medicine e Biologia do Sono, Departamento de Psicobiologia,
Universadede Federal de Sao Paulo, Brazil.
55. Tukozan, N., Erdamar, H., Seven, I. 2006. Measurement of Total Malondialdehyde in
Plasma and Tissue by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) and
Thiobarbituric Acid Assay. Firat Tip Dergisi, volume 11 (2) : page 88-92. Gazi
Univesitesi Tip Fakultesi Biyokimyaa Anabilim Dalim, Ankara, Turkey.
60
56. Wang, Y., Zhang, L., etc. 2013. Stability Issue of Nanosuspensions in Drug Delivery.
Journal of Controlled Release. School of Chemistry and Pharmaceutical Engineering,
Shandong Polytechnic University, Jinan, PR China.
57. Wendler, E., de Souza, C.P., Dornellas, A.P.S, etc. 2018. Mania-like Elevated Mood
in Rats : Enhanced 50 kHz Ultrasonic Vocalizations after Sleep Deprivation. Progress
in Neuropsychopharmacology and Biological Psychiatri. Elsevier Ltd.
58. Widodo, H. 2011. Karakterisasi Genetik dan Kajian Teknik Budidaya Tanama
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Laporan Akhir Penelitian : Standarisasi
Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) sebagai Bahan Baku Obat
Afrodisiaka. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Karanganyar, Surakarta,
Jawa Tengah, Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
59. Widodo, H, Rahmah, A, Kasiamdari, R.S. 2015. Accessions Relationship of
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) based on Morphological Characters.
Medicinal Plant and Traditional Medicine Research and Development Centre volume
7 no.2. Biology Faculty Post Graduate of Gadjah Mada University, Yogyakarta,
Indonesia.
60. Widodo, P., Sudiana, E., Budisantoso, I., dkk. 2018. Persebaran Purwoceng
(Pimpinella pruatjan Molkenb.) Masa Lalu dan Masa Kini. Prosiding Seminar
Nasional dan Call for Papers : Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan
Lokal Berkelanjutan VIII. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, Indonesia.
61. Wu, H., Ho, Y.,Chang, R., etc. 2019. The Role of Sleep Deprivation and Circadian
Rhythm Disruption as Risk Factors of Alzheimer Disease. Laboratory of
Neurodegenerative Disease, School of Biomedical Sciences, The University of Hong
Kong, Hong Kong, China. Frontiers in Neuroendocrinology. Elsevier Ltd.
62. Van Zutphen, L.F.M., Baumans, V. and Beynen, A.C.,. 2001. Rats Physiology
Parameters. Principles of Laboratory Animal Science, second edition, Elsevier
Science, Amsterdam.

61

Anda mungkin juga menyukai