Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

TEORI KEPEMIMPINAN: KHARISMATIK, ABDI, BIROKRASI,


SPIRITUAL, AUTENTIK, DAN DIRI SENDIRI (KONSEP DAN PENERAPAN)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan


Dosen Pengampu : Mochamad Hanafi, M.Si.

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Septi Andini 19802241016
2. Dewi Ayu Ningtyas 19802241017
3. Bagas Nur Febrian 19802241018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul “Teori Kepemimpinan: Kharismatik, Abdi, Birokrasi, Spiritual,
Autentik, dan Diri Sendiri (Konsep dan Penerapan)” ini kami susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kepemimpinan. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Mochamad Hanafi, M.Si.
selaku dosen pengampu mata kuliah Kepemimpinan atas segala ilmu dan bimbingan yang
diberikan kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan juga
wawasan bagi pembaca mengenai konsep dan penerapan Teori Kepemimpinan Kharismatik,
Abdi, Birokrasi, Spiritual, Autentik, dan Diri Sendiri. Namun, terlepas dari itu kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kami mohon maaf atas segala
kekurangan dan sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Yogyakarta, 15 Februari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................................. 2

D. Manfaat ........................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 5


A. Teori Kepemimpinan Kharismatik ................................................................................. 5

B. Teori Kepemimpinan Abdi ........................................................................................... 12

C. Teori Kepemimpinan Birokrasi .................................................................................... 16

D. Teori Kepemimpinan Spiritual ..................................................................................... 28

E. Teori Kepemimpinan Autentik ..................................................................................... 32

F. Teori Kepemimpinan Diri Sendiri ................................................................................ 37

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 43


A. Kesimpulan ................................................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 45

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Variabel Pembentuk Desain Penelitian .................................................................. 15


Gambar 2. Hierarki Otoritas dan Rentang Kendali Birokrasi .................................................. 16

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Fungsi dan Disfungsi Birokrasi ................................................................................. 19


Tabel 2. Karakteristik Organisasi Birokratik dan Pasca Birokratik ......................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemimpin adalah individu yang memimpin dan kepemimpinan adalah sifat yang
harus dimiliki seorang pemimpin. Menurut Miftah Thoha, kepemimpinan adalah kegiatan
untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik
perseorangan maupun kelompok. Kepemimpinan ialah kemampuan untuk mempengaruhi
manusia dalam melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Seorang pemimpin merupakan
sistem penggerak suatu pekerjaan, dimana ia memiliki keahlian untuk mengaplikasikan
fungsi manajemen dalam keputusan yang dibuat, maka kekuasaan kepemimpinan dalam
organisasi. Maka dari itu perlu adanya teori kepemimpinan supaya seorang pemimpin
dapat memiliki keahlian untuk mengaplikasikan fungsi manajemen dalam keputusan yang
dibuat sebagai seorang pemimpin.
Seperti cabang ilmu pengetahuan lainnya, ilmu kepemimpinan mempunyai banyak
teori. Jumlah teorinya juga bertambah dan berkembang dari masa ke masa. Penelitian
dalam bidang kepemimpinan menghasilkan teori kepemimpinan baru. Akan tetapi, perlu
dipahami bahwa sebagai ilmu sosial (immature sciences) sering teori yang satu berbeda
bahkan bertentangan dengan teori yang lainnya. Di samping itu suatu teori kepemimpinan
dapat menimbulkan akibat yang berbeda jika diterapkan di tempat yang berbeda dan waktu
yang berbeda walaupun fenomenanya sama (Wirawan, 2013).
Maka dari itu, di dalam makalah ini akan membahas berbagai macam teori
kepemimpinan mulai dari konsep hingga penerapannya di dunia nyata.

B. Rumusan Masalah
1. Teori Kepemimpinan Kharismatik
a. Konsep dan Pengembangan Teori Kepemimpinan Kharismatik
b. Pendapat Tokoh terkait Teori Kepemimpinan Kharismatik
c. Keterbatasan Kepemimpinan Kharismatik
d. Karakteristik Kepemimpinan Kharismatik
e. Gaya Kepemimpinan Kharismatik
f. Penerapan/Studi Kasus terkait Kepemimpinan Kharismatik
2. Teori Kepemimpinan Abdi
a. Konsep Dasar Kepemimpinan Abdi

1
b. Dimensi Kepemimpinan Abdi
c. Teori Kepemimpinan Abdi
d. Penerapan/Studi Kasus terkait Kepemimpinan Abdi
3. Teori Kepemimpinan Birokrasi
a. Pengertian Birokrasi
b. Teori Birokrasi Max Weber
c. Keunggulan dan Kelemahan Birokrasi
d. Kepemimpinan Birokrasi
e. Efektif dan Inefektif Kepemimpinan Birokrasi
f. Reformasi Birokrasi di Indonesia
g. Model Kepemimpinan Birokrasi di Indonesia
h. Penerapan/Studi Kasus Keefektifan Birokrasi
4. Teori Kepemimpinan Spiritual
a. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan Spiritual
b. Definisi Kepemimpinan Spiritual
c. Dimensi Kepemimpinan Spiritual
d. Penerapan/Studi Kasus Gaya Kepemimpinan Spiritual
5. Teori Kepemimpinan Autentik
a. Pengertian Teori Kepemimpinan Autentik
b. Authentic Leader (Pemimpin Autentik)
c. Penerapan/Studi Kasus Kepemimpinan Autentik
6. Teori Kepemimpinan Diri Sendiri
a. Pengertian Teori Kepemimpinan Diri Sendiri
b. Penerapan/Studi Kasus Kepemimpinan Diri Sendiri

C. Tujuan
1. Teori Kepemimpinan Kharismatik
a. Memahami Konsep dan Pengembangan Teori Kepemimpinan Kharismatik
b. Mengetahui Pendapat Tokoh terkait Teori Kepemimpinan Kharismatik
c. Mengetahui Keterbatasan Kepemimpinan Kharismatik
d. Mengetahui Karakteristik Kepemimpinan Kharismatik
e. MengetahuiGaya Kepemimpinan Kharismatik
f. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus terkait Kepemimpinan Kharismatik

2
2. Teori Kepemimpinan Abdi
a. Memahami Konsep Dasar Kepemimpinan Abdi
b. Mengetahui Dimensi Kepemimpinan Abdi
c. Memahami Teori Kepemimpinan Abdi
d. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus terkait Kepemimpinan Abdi
3. Teori Kepemimpinan Birokrasi
a. Mengetahui Pengertian Birokrasi
b. Memahami Teori Birokrasi Max Weber
c. Mengetahui Keunggulan dan Kelemahan Birokrasi
d. Memahami Kepemimpinan Birokrasi
e. Mengetahui Efektif dan Inefektif Kepemimpinan Birokrasi
f. Mengetahui Reformasi Birokrasi di Indonesia
g. Mengetahui Model Kepemimpinan Birokrasi di Indonesia
h. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus Keefektifan Birokrasi
4. Teori Kepemimpinan Spiritual
a. Memahami Konsep Dasar Teori Kepemimpinan Spiritual
b. Mengetahui Definisi Kepemimpinan Spiritual
c. Mengetahui Dimensi Kepemimpinan Spiritual
d. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus Gaya Kepemimpinan Spiritual
5. Teori Kepemimpinan Autentik
a. Mengetahui Pengertian Teori Kepemimpinan Autentik
b. Memahami tentang Authentic Leader (Pemimpin Autentik)
c. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus Kepemimpinan Autentik
6. Teori Kepemimpinan Diri Sendiri
a. Mengetahui Pengertian Teori Kepemimpinan Diri Sendiri
b. Mengetahui Penerapan/Studi Kasus Kepemimpinan Diri Sendiri

D. Manfaat
1. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang konsep, pengembangan, pendapat
tokoh, keterbatasan, karakteristik, gaya kepemimpinan, dan penerapan/studi kasus
terkait Kepemimpinan Kharismatik
2. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang konsep dasar, dimensi, teori, dan
penerapan/studi kasus terkait Kepemimpinan Abdi

3
3. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang pengertian birokrasi, teori birokrasi
Max Weber, keunggulan dan kelemahan birokrasi, kepemimpinan birokrasi, efektif
dan inefektif kepemimpinan birokrasi, reformasi birokrasi di Indonesia, model
kepemimpinan birokrasi di Indonesia, serta penerapan/studi kasus terkait keefektifan
Kepemimpinan Birokrasi
4. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang konsep dasar, definisi dan dimensi
Kepemimpinan Spiritual serta penerapan/studi kasus gaya Kepemimpinan Spiritual
5. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang pengertian teori Kepemimpinan
Autentik, authentic leader (Pemimpin Autentik), dan penerapan/studi kasus
Kepemimpinan Autentik.
6. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang pengertian dan penerapan/studi
kasus terkait Kepemimpinan Diri Sendiri.
7. Sebagai sumber referensi bagi penulis lain.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Kepemimpinan Kharismatik


1. Konsep dan Perkembangan
Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas
kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma
(yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu
dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya
dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling
tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa,
tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal
ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin. (Dr. Eko Purnomo & Dr.
Herlina JR Saragih, 2016)
Menurut Weber, Kepemimpinan Karismatik mempunyai kapasitas untuk
mengubah sistem sosial yang ada berdasarkan persepsi pengikut yang percaya
pemimpin ditakdirkan mempunyai kemampuan istimewa. Menurut Weber,
Kepemimpinan Karismatik akan muncul jika terjadi krisis sosial, dengan visi yang
radikal menyajikan sosial terhadap krisis. Kepemimpinan Karismatik tidak
mendasarkan kepada otoritas formal atau kekuasaan posisional, akan tetapi pada
kekuasaan personal. Karena mengubah sistem sosial yang ada sangat sulit dan
memerlukan sumber yang sangat besar, pemimpin karismatik menciptakan sistem
sosial baru (Wirawan, 2013).

2. Pendapat Tokoh
a. Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua
Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua (2007) mengemukakan ada tiga
pendapat mengenai locus Kepemimpinan Karismatik:
1) Situasi sosial yang dihadapi pemimpin yang menimbulkan kepemimpinan
karismatik
Para pendukung pendapat pertama, bahwa kepemimpinan karismatik tidak
dapat terjadi jika sistem sosial tidak mengalami krisis. Pemimpin karismatik
diperlukan untuk menyelesaikan situasi krisiss dan menimbulkan keberhasilan
kepemimpinannya.

5
2) Kualitas pemimpin yang luar biasa yang menimbulkan kepemimpinan
karismatik
Pendapat kedua, menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik muncul karena
kualitas atau sifat pemimpin yang karismatik bukan karena lingkungan sosial
atau politiknya. Pemimpin karismatik mempunyai sifat-sifat antara lain yaitu
perasaan kuat tehadap visi, keterampilan komunikasi yang kuat, pengakuan
yang kuat, dapat dipercaya, percaya diri dan inteligensi tinggi, dan energi
tinggi dan berorientasi kepada tindakan.
3) Interaksi antara situasi dan kualitas pemimpin
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik tidak
tergantung pada kualitas pemimpin dan terjadinya krisis saja, akan tetapi
merupakan konsep interaksi. Pendapat ini makin lama penganutnya makin
besar dan makin diterima oleh para pakar kepemimpinan.
Inti dari pernyataan ini adalah konsep arti personal dari konsep diri. Berbagai
diskusi teoretis mengenai kepemimpinan karismatik mengabaikan signifikasi
menyediakan arti atau tujuan untuk para pengikut terutama di masa krisis. Arti
sangat penting bagi indentifikasi para pengikut dengan pemimpin dengan visinya.
Para pemimpin karismatik mengonstruksi arti bagi para pengikut berdasarkan arti
personal mereka. Arti atau tujuan pemimpin karismatik dalam kehidupan
dikomunikasikan kepada para pengikut melalui perilaku dan tindakan.
1) Komponen Perilaku Karisma
Studi yang dilakukan oleh sejumlah pakar menyimpulkan bahwa sifat atau
karakteristik kepemimpinan tergantung pada empat variable perilaku sebagai
berikut (Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua, 2007)
a) Ketimpangan antara status quo dan visi masa depan
Ketimpangan antara para pemimpin karismatik dan para pemimpin non
karismatik adalah pemimpin karismatik menentang status quo dan
melangkah untuk mengubahnya, sedangkan non karismatik sepakat dengan
status quo dan berupaya mempertahankannya. Bagi para pemimpin makin
ketimpangan antara tujuan masa depan dengan status quo sekarang, makin
baik. Makin besar gap dari status quo sekarang, makin mungkin para
pengikut akan mengikuti visi dari pemimpin.
b) Menyatakan visi dan memodelkan peran

6
Para pemimpin karismatik berpikir untuk berbeda dengan pemimpin masa
lalu dengan kemampuan untuk memformulasi dan mengartikulasi visi
inspirasional. Artikulasi visi yang efektif diukur dengan apa yang dikatakan
(isi dan konteks) dan bagaimana dikatakan (kemampuan orator). Dalam
menguraikan visi dan konteksnya sebaiknya menggunakan empat langkah
berikut:
• Sifat dari status quo
• Sifat dari visi masa yang akan datang
• Cara melalui apa visi yang akan datang, jika dapat direalisasi, buang
sumber-sumber ketidakpuasan dan menyediakan pemenuhan harapan
dan aspirasi dari para pengikut
• Rencana-rencana tindakan untuk merealisasi visi
c) Karisma dan perilaku unkonvensional.
Keahlian pemimpin nonkarismatik terletak pada memakai cara yang ada
atau konvensiona untuk mencapai tujuan, sedangkan keahlian pemimpin
karismatik terletak dalam memakai cara-cara unkonvensiona untuk
mengatasi orde yang ada. Perilaku menghubungkan perilaku pemimpin
unkonvensional dengan kepuasan para pengikut, dan persepsi mengenai
efektivitas pemimpin menunjukkan hubungan positif di antara variable-
variabel.
d) Karisma dan sumber asesmen kebutuhan.
Para pemimpin karismatik mempunyai para strategis yang baik. Mereka
memahami kebutuhan untuk bertindak suatu asesmen realistik dari sumber-
sumber lingkungan dan hambatan-hambatan yang mempengaruhi
kemampuan mereka untuk mengubah organisasi.
2) Pengaruh Kepemimpinan Karismatik
Menurut Robbert N. Lussier dan Christopher F. Achua kepemimpinan
karismatik dapat didefinisikan dengan pengertian pengaruh dari pemimpin
terhadap para pengikutnya, atau dalam pengertian hubungan antara para
pemimpin dengan para pengikut mereka. Kepemimpinan karismatik
merupakan paradigma yang kompleks yang telah menciptakan sejumlah teori
mengenai sifat, sebab dan implikasi-implikasi untuk kinerja (Wirawan, 2013).

7
b. Benard M. Bass
Benard M. Bass dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond
Expectation membahas kekuasaan karisma dan kepemimpinan karismatik.
Menurut Bass karisma menjadi bahan pembicaraan dari orang awam, pakar
sosiologi, politik, psikologi dan perilaku organisasi. Ia mengemukakan
karakteristik dari kekuasaan dan kepemimpinan karisma dengan mengutip
sejumlah pendapat pakar sebagai berikut:
1) Karisma tergantung pada pengikut dan pemimpin.
Karisma merupakan reaksi dari para pengikut. Karisma adalah pengabdian
pengikut kepada pemimpin yang mempunyai karakter khusus mempunyai
kepahlawanan, kesucian, dan patut untuk dicontoh.
2) Situasi yang menumbuhkan karisma.
Pemimpin karismatik merupakan pahlawan idola, seorang Imam Mahdi dan
penyelamat yang muncul pada waktu terjadi keadaan yang sulit dan berbahaya.
Penyelamatan dari keadaan bahaya tersebut menyebabkan intensitas respons
emosi khusus dari para pengikut. Mereka merespons kepada pemimpin
karismatik dengan kegairahan loyalitas karena penyelamatan atau janji-janji
yang akan memenuhi kebutuhan yang dirasakan mereka.
3) Hubungan karismatik.
Secara teologis karisma adalah pemberian kemampuan dari Tuhan. Bagi
ilmuwan sosial sekuler karisma merupakan suatu pemberian kepercayaan,
nilai-nilai, popularitas tinggi, dan/atau status selebriti yang diberikan oleh
orang lain.
4) Daya tahan karisma.
Walaupun pengaruh pemimpin karismatik tergantung pada situasi, sifat
karisma tetap ada. Karisma tetap ada walaupun pemimpin karismatik tidak
menjabat lagi, meninggal bahkan ia tak mampu mencapai visinya.
Menurut Bass seorang pemimpin karismatik mempunyai karakteristik tertentu.
Akan tetapi, ia mengemukakan bahwa orang dapat sukses memimpin tanpa atau
mempunyai karisma yang rendah. Mempunyai karisma bukan suatu jaminan
seorang akan berhasil sebagai pemimpin.
1) Percaya diri
2) Penentuan diri sendiri
3) Kemampuan yang disyaratkan untuk transformasional

8
4) Kecenderungan tambahan transformasional
5) Resolusi konflik internal
6) Sukses tanpa karisma
7) Ketika pemimpin karismatik gagal
8) Pemimpin karismatik yang tidak mentransformasi para pengikut (Wirawan,
2013).

c. Robert J. House
Robert J. House (1977) dalam bukunya berjudul Theory of Charismatic
Leadership membedakan ciri kepribadian dan perilaku pemimpin karismatik dan
pemimpin nonkarismatik. Pemimpin karismatik merupakan orang yang dominan,
percaya diri tinggi, dorongan untuk memengaruhi orang lain tinggi, perasaan nilai
moral, dan percaya kebenaran akan kepercayaannya (Wirawan, 2013).

d. David A. Nadler dan Michael L. Tushman


David A. Nadler dan Michael L. Tushman (1995) mendefinisikan
Kepemimpinan Karismatik sebagai kualitas khusus tindakan pribadi dan persepsi
pengikut tentang kualitas pribadi pemimpin yang dimiliki oleh pemimpin yang
memungkinkannya memobilisasi dan memimpin aktivitas secara terus-menerus
(Wirawan, 2013).

3. Keterbatasan Kepemimpinan Karismatik


Walaupun Kepemimpinan Karismatik sangat berpengaruh, akan tetapi
mempunyai keterbatasan yang sering menimbulkan masalah. Banyak keterbatasan
tersebut berasal dari risiko yang terkait dengan kepemimpinan yang berputar di
sekeliling seorang individu pemimpin dan pengikut. Sejumlah problem antara lain:
a. Ekspektasi yang tidak realistik
b. Ketergantungan dan konter ketergantungan
c. Enggan untuk tidak setuju dengan sang pemimpin
d. Memerlukan keajaiban atau magic secara terus-menerus
e. Potensi perasaan penghianatan
f. Kedisfranchaisan level manajemen di bawahnya
g. Keterbatasan jarak pemimpin individual (Wirawan, 2013).

9
4. Karakteristik Kepemimpinan Kharismatik
Teori ini diajukan oleh Robert House pada tahun 1977. Teori ini berasumsi bahwa
kharisma merupakan suatu karakteristik individual pemimpin. Kharisma adalah suatu
bentuk atraksi (daya tarik) interpersonal yang menginspirasikan dukungan dan
penerimaan. Dengan demikian, seorang supervisor yang berkharisma tinggi mungkin
lebih sukses dalam mempengaruhi perilaku bawahan dari pada supervisor yang
kehilangan kharisma. Adapun karakteristik pemimpin yang kharismatik adalah sebagai
berikut:
a. Para pengikut mempercayai kebenaran dari kepercayaan pemimpinnya.
b. Kepercayaan dari para pengikut sama dengan kepercayaan pemimpinnya.
c. Para pengikut menerima pemimpin tanpa pertanyaan.
d. Para pengikut merasakan adanya pengaruh pemimpin.
e. Para pengikut mematuhi keinginan pemimpin.
f. Para pengikut merasa adanya keterlibatan emosional dalam misi organisasi.
g. Para pengikut mempertinggi tujuan kinerjanya.
h. Para pengikut percaya bahwa mereka dapat memberi kontribusi terhadap
kesuksesan misi kelompok (Wirawan, 2013).

5. Gaya Kepemimpinan Kharismatik


Menurut Tasirun Sulaiman (2005) kepemimpinan kharismatik terjadi karena
pengikutnya mengira bahwa pimpinannya itu seorang yang maksum, seorang wakil
Tuhan dan lain-lain. Tapi sayang, pemimpin gaya ini dalam kenyataan sering
disalahgunakan sehingga akhirnya melahirkan frustasi dan hujugnya adalah anarkis.
Pemimpin kharismatik menurut Anderson dalam Ayub Ranoh (2006) sebenarnya
hanya ”kharismatik” di negaranya sendiri, dan tidak bererti bagi bangsa dengan
konteks kultural dan religius yang berbeda. Menurut F. Rudy Dwi Wibawa dan Theo
Riyanto (2008) seseorang pemimpin yang kharismatik ialah pemimpin yang dikagumi
oleh banyak pengikut meskipun mereka tidak dapat menjelaskan secara kongkrit
mengapa ia mengaguminya. Menurut Ahmad Naim bin Jaafar (2003) banyak contoh
pemimpin besar dan berkarisma tergolong sebagai ‘twice borns’. Mereka mengalami
kemiskinan, menjadi anak yatim piatu, sejak kecil lagi dan biasa hidup dengan
kesusahan. Akhirnya mereka mengubah kehidupan mereka secara total dan muncul
seorang yang hebat dan berkarisma di bidang mereka. Anderson (1990) sebagaimana
dikutip oleh Ayub Ranoh (2006) menyatakan bahwa pemimpin kharismatis,

10
sebenarnya hanya ”kharismatis” di negaranya sendiri, dan tidak berarti bagi bangsa
dengan konteks kultural dan religius yang berbeda. Menurut Tasirun Sulaiman (2005)
kepemimpinan kharismatik terjadi karena pengikutnya mengira bahwa pimpinannya
itu seorang yang maksum.seorang wakil Tuhan dan lain-lain. Tapi sayang, pemimpin
gaya ini dalam kenyataan sering disalahgunakan sehingga akhirnya melahirkan frustasi
dan ujugnya adalah anarkis. Menurut F. Rudy Dwi Wibawa dan Theo Riyanto (2008)
seorang pemimpin yang kharismatik ialah pemimpin yang dikagumi oleh banyak
pengikut meskipun mereka tidak dapat menjelaskan secara kongkrit mengapa ia
mengaguminya. Gaya kepemimpinan ini merupakan suatu gaya atau tipe
kepemimpinan yang mempunyai daya tarik yang amat besar terhadap para pengikutnya,
seakan-akan dalam diri pemimpin itu ada sesuatu kekuatan yang sangat luar biasa.
Kelemahannya adalah para bawahan tidak ada yang dapat mengusulkan pendapat,
saran, dan pemikirannya (Wirawan, 2013).

6. Penerapan/Studi Kasus
“Pengaruh Gaya Kepemimpinan Karismatik, Budaya Organisasi dan Komitmen
Terhadap Kinerja Pengurus (Studi Kasus Pengurus Pondok Pesantren Sunan
Drajat Paciran Lamongan)”
Teori kharismatik merupakan suatu perpanjangan dari teori atribusi. Teori ini
mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi (perhubungan) dari
kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa bila mereka mengamati
perilaku-perilaku tertentu. Telah mengenai kepemimpinan kharismatik Sebagian besar
telah diarahkan pada pengidentifikasian perilaku-perilaku yang membedakan
pemimpin karismatik dari pada mereka yang non karismatik. Robbins (1996:59).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan menggunakan analisis
regresi linier berganda yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Tidak terdapat pengaruh signifikan antara gaya kepemimpinan karismatik terhadap
kinerja pengurus pondok pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan.
b. Tidak terdapat pengaruh signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja
pengurus pondok pesantren Sunan Drajat.
c. Terdapat pengaruh signifikan positif antara komitmen terhadap kinerja pengurus
pondok pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan.
Selain itu juga terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

11
a. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan
sehingga hasil penelitian hanya dapat digunakan di pondok pesantren sunan drajat
Paciran Lamongan.
b. Dalam penelitian ini peneliti harus ke lokasi langsung untuk memperoleh data dari
sebaran kuesioner.
c. Pada penelitian ini hanya menguji beberapa variabel saja di antaranya gaya
kepemimpinan karismatik, budaya organisasi dan komitmen sedangkan masih
banyak variabel lain yang mempengaruhi kinerja.
Hasil analisis menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan karismatik dan budaya
organisasi tidak berpengaruh signifikan pada kinerja pengurus, sedangkan komitmen
berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengurus. Dan secara simultan gaya
kepemimpinan karismatik, budaya organisasi dan komitmen berperngaruh positif
terhadap kinerja pengurus pondok pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan
(Maharani, Djaelani, & Slamet)

B. Teori Kepemimpinan Abdi


1. Konsep Dasar
Konsep kepemimpinan Abdi – dikemukakan pertama kali oleh Robert K. Greenleaf
pada tahun 1977 pada bukunya yang berjudul Servant Leadership. A journey into the
nature of legitimate power and greatness. Istilah Servant Leadership artinya pelayan
sebagai pemimpin (the servant as leader), bukan pemimpin sebagai pelayan (the leader
as servant).
Lary Spears Director of Robert K. Greenleaf Center for Servant Leadership secara
singkat mendefinisikan Kepemimpinan Abdi sebagai berikut (Carol Smith, 2005),
“….A new kind of leadership model – a model which puts serving others as the number
one priority. Servant-leadership emphasizes increased service to others, a holistic
approach to work; promoting a sense of community; and sharing of power in decision-
making.” Definisi tersebut berisi sejumlah istilah yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
a. Pertama, Kepemimpinan Abdi merupakan layanan kepada orang lain (serving
others). Kepemimpinan Abdi dimulai ketika seorang pemimpin memikul posisi
sebagai abdi dalam interaksi dengan para pengikutnya.
b. Kedua, pendekatan holistic kepada pekerjaan (holisric approach to work).
Kepemimpinan Abdi percaya pekerjaan ada untuk orang dan orang ada untuk
pekerjaan.

12
c. Ketiga, mempromosikan perasaan masyarakat (promoting a sense of community).
Kepemimpinan Abdi, menyatakan kehilangan masyarakat dalam masyarakat
modern dalam bentuk kehilangan pengetahuan.
d. Keempat, berbagi kekuasaan dalam keputusan (sharing of power in decision
making). Kepemimpinan Abdi yang efektif dibuktikan dengan menanamkan
Kepemimpinan Abdi kepada orang lain (Wirawan, 2013).

2. Dimensi
Greenleaf mengemukakan sepuluh prinsip atau dimensi dari Kepemimpinan Abdi:
a. Mendengarkan (listening)
Mendengarkan merupakan alat komunikasi, yang diperlukan untuk komunikasi
yang akurat dan secara aktif menunjukkan respek kepada orang lain.
b. Empati (empaty)
Yaitu kemampuan mental memproyeksikan kesadaran seseorang kepada individu
lainnya.
c. Penyembuhan (healing)
Penyembuhan sebagai untuk membuat suatu keseluruhan yaitu menemukan
keseluruhan dalam diri seseorang dan mendukungnya dalam diri orang lain.
d. Kesadaran (awareness)
Tanpa kesadaran pemimpin kehilangan peluang kepemimpinan.
e. Persuasi (persuasion)
Seorang pemimpin abdi yang efektif membangun konsensus kelompok melalui
persuasi lemah lembut, jelas dan terus menerus dan ridak menciptakan kepatuhan
kelompok melalui kekuasaan posisionalnya.
f. Konsepsualisasi (conceptualization)
Seorang pemimpin abdi dapat memahami solusi suatu problem yang belum terjadi.
g. Melihat ke masa depan (foresight)
Yaitu memahami pelajaran dari masa lalu, realitas dan masa sekarang, dan
kemunkinan konsekuensi keputusan di masa yang akan datang
h. Mengurusi (stewardship)
Pengurus organisasi juga mengurus hubungannya dengan keseluruhan masyarakat.
i. Komitmen kepada pertumbuhan orang (commitment to the growth of people)
Yaitu menunjukkan apresiasi dan dorongan kepada masyarakat.
j. Membangun masyarakat (building community)

13
Pemimpin abdi mencari unutk mengidentifikasi suatu cara untuk membangun
masyarakat di antara mereka yang bejerja dalam institusi mereka.
Teoritisi kepemimpinan lainnya (Gary Yukl, 2010), mengemukakan sejumlah
nilai-nilai kunci dan contoh bagaimana Kepemimpinan Abdi dapat diterapkan dalam
perilaku para pemimpin.
a. Integritas (integrity)
Berkomunikasi dengan cara terbuka dan jujur, menjaga janji-janji dan komitmen.
b. Altruisme (altruism)
Yaitu senang membantu orang lain, mau mengambil resiko atau membuat
pengorbanan untuk melindungi atau benefit orang lain.
c. Kerendahan hati (humility)
Memperlakukan orang lain dengan penghormatan.
d. Empati dan penyembuhan (empathy and healing)
Yaitu membantu orang lain untuk menanggulangi kesukaran emosional.
e. Pertumbuhan personal (personal growth)
Yaitu mendorong dan memfasilitasi pengembangan percaya diri individual dan
kemampuan.
f. Kewajaran dan keadilan (fairness and justice)
Mendorong dan mendukung perlakuan yang wajar kepada orang lain.
g. Pemberdayaan (empowerment)
Mengonsultasikan dengan orang terkait mengenai keputusan-keputusan yang akan
mempengaruhi mereka (Wirawan, 2013).

3. Penerapan/Studi Kasus
G.T. Freeman. 2011. Spiritual and servant leadership: A conseptual model and
research proposal. Emerging leadership journey 4 (1): 120-140. Artikel ini masih
dalam bentuk proposal penelitian. Makalah ini merupakan proposal penelitian untuk
meneliti konsep spiritualitas, dan pengaruhnya terhadap efektivitas kepemimpinan
abdi. Pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya adalah Bagaimana seorang
pemimpin spiritual percaya harapan dan kepercayaan dan praktik spiritual
memengaruhi perilaku kepemimpinan abdi dan efektivitas kepemimpinan seperti
dipersepsikan oleh pengikut?
Konsep kepemimpinan abdi dari Greenleaf (1977) menyatakan layanan kepada
para pengikut sebagai esensi dari kepemimpinan dan merupakan tanggung jawab

14
utama dari para pemimpin. Ia menyatakan bahwa pemimpin abdi adalah abdi terlebih
dahulu yang membuat para pengikut “menjadi lebih sehat, lebih bijak, lebih bebas,
lebih otonomi, lebih mungkin mereka untuk menjadi abdi.” Inti daripada model
kepemimpinan abdi berdasarkan empat prinsip otoritas moral: Kesadaran, esensi
otoritas moral otoritas, (a) pengorbanan, (b) terinspirasi komitmen pada sebab yang
bernilai, (c) mengajarkan bahwa tujuan akhir dan alat-alat tidak terpisah dan (d)
memperkenalkan dunia hubungan.
Mayoritas dari telaah literatur mengenai kepemimpinan abdi sepakat bahwa teori
kepemimpinan ini dimulai oleh karya Greenleaf (1977). Tahun akhir-akhir ini telah
terjadi peningkatan minat dalam meneliti kepemimpinan abdi. Penelitian-penelitian
tersebut meliputi kerangka konseptual dan model-model dan mengembangkan
instrumen-instrumen untuk mengukur kepemimpinan abdi.
Kombinasi konstruk spiritualitas dan kepemimpinan abdi menciptakan hubungan
positif antara kepercayaan spiritualitas pemimpin (yaitu variable independen), perilaku
pemimpin kepemimpinan abdi (yaitu variable mediasi), praktik spiritual pemimpin
(yaitu variable moderasi), dan efektivitas pemimpin seperti dipersepsikan oleh para
pengikut mereka (yaitu variable dependen). Semua variabel tersebut membentuk
desain penelitian seperti dilukiskan oleh gambar berikut:

Gambar 1. Variabel Pembentuk Desain Penelitian

Dalam menciptakan suatu model kepemimpinan yang efektif, paper ini


mengajukan dimensi-dimensi kepercayaan spiritual (yaitu harapan dan kepercayaan
kepada Tuhan) dan praktik spiritual (yaitu sembahyang, meditasi, membaca kitab suci)
yang dapat diteliti sebagai variabel-variabel mediasi dan moderaasi, dalam kombinasi
konstruk spiritualitas-kepemimpinan abdi (Wirawan, 2013).

15
C. Teori Kepemimpinan Birokrasi
1. Pengertian Birokrasi
Istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis bureau yang berarti meja tulis dan
ruangan kerja di mana pegawai bekerja. Akhiran kratia atau kratos dalam bahasa
Yunani artinya kekuasaan atau peraturan. Jadi, burreaucracy artinya kekuasaan kantor
atau peraturan kantor (Wirawan, 2013).

2. Teori Birokrasi Max Weber


Teori demokrasi modern dikembangkan pertama kali oleh Max Weber (1946) –
seorang sosiolog, pakar administrasi dan ekonomi politik Jerman. Max Weber lah yang
pertama kali melakukan penelitian mengenai birokrasi dan yang memopulerkan istilah
birokrasi.
Max Weber mengemukakan enam prinsip birokrasi yang ideal sebagai berikut
(Wirawan, 2013):
a. Pembagian kerja berdasarkan spesialisasi fungsional. Suatu organisasi melakukan
banyak aktivitas yang terlalu kompleks untuk dilaksanakan satu orang. Untuk
kepentingan struktur birokrasi, aktivitas-aktivitas tersebut didistribusikan dalam
bentuk kewajiban-kewajiban tetap yang dilaksanakan oleh seorang birokrat.
Pembagian tugas di antara jabatan-jabatan akan meningkatkan efisiensi.
b. Hierarki otoritas. Organisasi atau
sistem sosial diorganisir dalam bentuk
hierarki of autoritas berbentuk
piramid. Setiap unit kerja lebih rendah
bertanggung jawab kepada dan
dikontrol oleh unit kerja yang lebih
tinggi. setiap birokrat memimpin
sejumlah bawahan tertentu yang
disebut span of control atau rentang Gambar 2. Hierarki Otoritas dan Rentang Kendali
Birokrasi
kendali. Hierarki dalam organisasi
dalam bentuk eselon-eselon dari eselon 1 sampai eselon IV dan sebagainya dengan
nama jabatan yang berbeda. Pada organisasi pemerintah Indonesia, eselon 1
disebut Direktur Jenderal, Panglima pada organisasi militer, dan Direktur Utama
pada organisasi bisnis. Eselon II disebut Direktur sampai eselon IV disebut Kepala
Seksi atau First Line Manager di organisasi bisnis. Setiap eselon di level atas

16
membawahi sejumlah eselon di bawahnya. Dan eselon level bawah bertanggung
jawab atau melapor tugasnya kepada eselon di atasnya.
Rentang kendali sebelum berkembangnya teknologi informasi antara 5-11 orang
sehingga birokrasi menciptakan tall organisasiaton atau organisasi piramid tinggi.
Dengan ditemukannya teknologi informasi dan automasi perkantoran rentang
kendali dapat diperbanyak sehingga menimbulkan flat organisation atau organisasi
datar. Setiap eselon membawahi lebih banyak bawahan sehingga organisasi lebih
efisien.
c. Sistem peraturan. Setiap organisasi menyusun peraturan yang diajarkan kepada
semua aparat birokrasi. Sistem peraturan menentukan hak-hak dan kewajiban dari
aparat yang memegang jabatan tertentu. Sistem peraturan mengukur koordinasi
aktivitas dalam hierarki dan menjamin kelangsungan operasi jika terjadi pergantian
aparat atau birokrat pada jabatan tertentu. Peraturan juga menjamin uniformitas dan
stabilitas tindakan aparat.
d. Sistem prosedur yang mengatur proses melaksanakan tugas. Setiap tugas atau
jabatan mempunyai prosedur melaksanakannya. Dengan adanya prosedur, proses
pekerjaan dapat dilaksanakan secara efisien dan dapat diperhitungkan hasilnya
dalam pengertian kuantitas dan kualitas produk, waktu yang diperlukan, dan
sumber-sumber yang diperlukan untuk memproduksi barang atau jasa.
e. Impersonalitas hubungan antar personal. Dalam melaksanakan tugasnya, para
birokrat harus melaksanakan prinsip sine era et studio, bahasa Latin yang artinya
tanpa kebencian, kemarahan, afeksi, kecintaan, atau entusiasme. Dalam birokrasi
aplikasi prinsip ini mempunyai pengertian sebagai berikut:
1) Birokrat dalam membuat keputusan harus berdasarkan fakta, data bukan
berdasarkan emosi, perasaan kebencian, kemarahan, atau kecintaan atau
antuasisme terhadap sesuatu.
2) Pekerjaan melayani masyarakat tanpa membedakan gender, ras, agama, etnis,
strata sosial, dan sebagainya dari yang dilayani.
3) Birokrat merupakan bukan partisan politik atau nonpartisan dan berada di atas
semua partai dan golongan. Birokrat melaksanakan birokrasi untuk membantu
pemerintah dalam melaksanakan program dan proyek untuk melayani
masyarakat. Prinsip ini akan meminimalkan irasionalitas dan emosional para
aparat birokrasi sehingga friksi dan konflik interes, kolusi, korupsi, dan

17
nepotisme dalam melayani klien dapat diminimalkan dan setiap klien
mendapatkan layanan yang sama tanpa memandang siapa dia.
f. Seleksi dan promosi berdasarkan kompetensi teknis dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban. Seleksi dan promosi birokrat dilaksanakan berdasarkan kompetensi
dan senioritas bukan berdasarkan perasaan senang atau tidak senang terhadap
orang atau birokrat.
Menurut Max Weber para aparat birokrasi harus melaksanakan prinsip-prinsip
birokrasi tersebut secara konsisten. Ia memandang birokrasi merupakan instrumen
kekuasaan untuk mencapai tujuan sosial, dengan pendekatan legal dan rasional dalam
penggunaan kekuasaan. Aspek legal berdasarkan dasar ideal, ketentuan pemerintahan
berdasarkan undang-undang dan alasan rasional (Wirawan, 2013).

3. Keunggulan dan Kelemahan Birokrasi


Secara teoritis, organisasi yang mempergunakan sistem birokrasi merupakan
organisasi yang rasional dan efisien. Birokrat sebagai pelaksana layanan publik
menguasai problem layanan karena menguasai pengetahuan dan pengalaman yang
dibutuhkan untuk melaksanakan layanan dengan mempergunakan prosedur layanan
yang sudah diuji coba. Para birokrat merupakan orang yang mempunyai pendidikan
khusus dan mendapatkan program pengembangan sumber daya manusia (pelatihan,
pendidikan, dan pengembangan) dalam bidangnya, melakukan evaluasi dan penelitian
mengenai hasil layanannya (Wirawan, 2013).
Secara teoritis, layanan birokrat menciptakan persamaan hak dan menghindari
diskriminasi kepada klien yang dilayani. Peraturan birokrasi, prosedur layanan, dan
kode etik birokrat akan menghilangkan diskriminasi kepada semua klien yang dilayani
(Wirawan, 2013).
Namun, di samping keunggulan fungsi birokrasi, dalam praktiknya menghasilkan
sejumlah kelemahan atau disfungsi dari birokrasi. Dalam tabel di bawah ini disajikan
fungsi dan disfungsi dari birokrasi Max Weber (Wirawan, 2013).
Prinsip-prinsip Birokrasi Fungsi Disfungsi
Pembagian tugas Menghasilkan keahlian Kebosanan, menurunnya
berdasarkan spesialisasi dan efisiensi motivasi kerja
Hierarki otoritas Disiplin, kepatuhan, Sentralisasi pembuatan
dan koordinasi keputusan dan kemacetan

18
komunikasi
Sistem peraturan Kontinuitas dan Kekakuan dan
uniformitas ketinggalan zaman,
perilaku biropatik
Prosedur melaksanakan Efisiensi dan dapat Kelambanan proses kerja
tugas diramalkannya proses karena prosedur
dan hasil kerja dijadikan tujuan.
Pekerjaan dibagi-bagi
menjadi loket-loket atau
meja-meja yang
memperpanjang proses
layanan.
Impersonalitas Rasionalitas, kesamaan Moril rendah sering
layanan kepada klien menurunkan efisiensi
organisasi. Sulit
dilaksanakan di
Indonesia yang subur
dengan KKN
Seleksi dan promosi Insentif, objektivitas Konflik antara prestasi
berdasarkan kompetensi penilaian kinerja, dan senioritas. Seleksi
menghargai senioritas dan promosi
dilaksanakan berdasarkan
kedekatan dengan
pejabat atasan.
Tabel 1. Fungsi dan Disfungsi Birokrasi

4. Kepemimpinan Birokrasi
Kepemimpinan Birokrasi adalah kepemimpinan yang menggunakan prinsip-
prinsip birokrasinya Max Weber dalam memengaruhi birokrat bawahannya.
Kepemimpinan birokrasi umumnya dilaksanakan di organisasi-organisasi
pemerintahan, tentara, dan kepolisian. Kepemimpinan birokratik juga diterapkan di
organisasi bisnis besar yang beroperasi di wilayah yang luas (Wirawan, 2013).
Kepemimpinan birokrasi barangkali dapat didefinisikan sebagai suatu proses
mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan mengarahkan

19
organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai,
etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan melalui kewenangan yang dimilikinya.
Model kepemimpinan birokrasi Weberian, sebagaimana karakteristik kelembagaan
birokrasi Weber, cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan
hierarkis, serta pengawasan yang kaku (Anwaruddin, 2006).
Di samping itu, James McGregor Burns pada tahun 1978 dan selanjutnya Bernard
M. Bass (1985), menambahkan bahwa kepemimpinan birokrasi seperti transaksi antara
kekuasaan dan loyalitas pegawai. Seperti juga dikritik oleh Mark Homrig (2005),
mekanisme kepemimpinan birokrasi Weberian seperti jual-beli saja, pekerjaan ditukar
dengan gaji, jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender, dsb. (Anwaruddin,
2006). Berikut karakteristik Kepemimpinan Birokrasi (Wirawan, 2013):
a. Adanya pemimpin tertinggi, pemegang kekuasaan tertinggi – misalnya presiden,
panglima tertinggi, kepala kepolisian – yang menduduki jabatan tersebut karena
dipilih atau diangkat secara sah.
b. Kepemimpinan birokrasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
dalam UUD, UU, dan semua peraturan pelaksanaannya.
c. Karena fungsi tugas dan aktivitas sangat banyak disusun sistem pendelegasian
kekuasaan dalam bentuk struktur organisasi hierarkis – misalnya pejabat eselon I,
eselon II, eselon III, dan sebagainya – yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu.
d. Setiap birokrat wajib dan berdisiplin melaksanakan tugasnya yang ada dalam
uraian tugasnya.
e. Ada sistem pengembangan karier dari para birokrat yang didasarkan pada
senioritas, kompetensi, dan kinerja birokrat dalam hieraki.

5. Efektif dan Inefektif Kepemimpinan Birokrasi


Kepemimpinan birokrasi efektif dan efisien dalam organisasi besar yang
beroperasi di wilayah yang sangat luas, dengan aktivitas yang sangat banyak dan
dilakukan oleh para pegawai yang sangat banyak jumlahnya. Kepemimpinan birokratis
juga juga diperlukan jika sifat aktivitas organisasi berbahaya dan mengurusi
keselamatan dan keamaan orang dan pekerjaan yang berbahaya. Kepemimpinan
birokratis sangat diperlukan dalam organisasi pemerintahan sipil, TNI, dan Kepolisisan
Republik Indonesia yang beroperasi di seluruh Indonesia dengan unit kerja yang
tersebar secara hierarkis sampai ke kecamatan-kecamatan (Wirawan, 2013).
Kepemimpinan birokratik efektif jika (Wirawan, 2013):

20
a. Pegawai melaksanakan tugasnya terus-menerus secara rutin
b. Pegawai memahami peraturan, standar, dan prosedur melaksanakan tugas
c. Pegawai bekerja dengan mempergunakan peralatan yang berbahaya dan rumit dan
memerlukan suatu prosedur untuk mengoperasikannya
d. Organisasi melaksanakan tugasnya di wilayah yang sangat luas dengan pegawai
ribuan
e. Pelatihan dan keselamatan keamaan di lakukan dengan baik
f. Pegawai melaksanakan tugas yang memerlukan menangani uang tunai
g. Tersedia sumber-sumber organisasi: man, money, material, machine, dan method
untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan aktivitas-aktivitas organisasi
Kepemimpinan birokratik tidak efektif jika (Wirawan, 2013):
a. Pegawai melakukan hanya apa yang diharapkan dari mereka sehingga mereka
bekerja secara minimal sekadar memenuhi target minimal
b. Pegawai kehilangan minatnya pada pekerjaan dan teman sekerja mereka
c. Kebiasaan kerja sulit diubah, terutama jika pekerjaan itu tak lagi bermanfaat
d. Pegawai mengalami kebosanan karena melaksanakan pekerjaan rutin yang tidak
menarik
e. Prosedur membuat pelaksanaan pekerjaan dengan pengontrolan dan supervise
ketat dapat mendemoralisasi pegawai, dan menghilangkan kemampuan organisasi
untuk beraksi secara cepat jika lingkungan berubah cepat.

6. Reformasi Birokrasi di Indonesia


Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun
2012 mengenai ketidakefisienan birokrasi 12 negara Asia dengan nilai terbaik skala 1
sampai 10 nilai terburuk, menunjukkan bahwa India skornya 9,41 – negara yang
birokrasinya paling tidak efisien, Indonesia nomor dua dengan skor 8,59, dan
Singapura dengan skor 2,53 merupakan negara yang ketidakefektifan birokrasinya
paling rendah di Asia (Wirawan, 2013).
Hasil survei PERC mencerminkan disfungsi pelaksanaan birokrasi di Indonesia.
Birokrasi Indonesia disindir sebagai birokrasi kapitalis, birokrasi yang melayani para
kapitalis. Birokratnya disebut sebagai kapitalis birokrat yang memperdagangkan
jabatan birokrasinya untuk memperoleh keuntungan yang memperkaya diri sendiri.
Birokrasi di Indonesia identic dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
(Wirawan, 2013).

21
Di Indonesia, birokrasi yang sebetulnya merupakan alat akan tetapi menjadi tujuan
layanan publik menjadi lambat dan mahal sehingga menimbulkan keluhan bagi
masyarakat yang dilayani. Birokrasi menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi warga
negara Indonesia Oleh karena itu, salah satu aspek reformasi di Indonesia adalah
reformasi birokrasi. Langkah pertama dari reformasi birokrasi tersebut harus dilakukan
perombakan organisasi layanan publik, profesionalisme birokrat dan diundangkannya
Undang-undang Anti Korupsi dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Layanan Publik harus dilaksanakan secara sistematis dan konsekuen (Wirawan, 2013).
Kenneth Kernaghan (2000) mengemukakan bahwa reformasi birokrasi pertama
dimulai dengan mengembangkan organisasi layanan publik dari organisasi layanan
birokratik ke organisasi pasca birokrasi. Dengan berkembangnya teknologi komunikasi
dan untuk mempercepat layanan perlu dikembangkan organisasi datar (flat organization)
yang mempercepat dan memurahkan layanan public (Wirawan, 2013).
Organisasi Birokratik Organisasi Pasca Birokratik
Kebijakan dan Budaya Menajemen
Berpusat pada organisasi. Menekankan Berpusat pada warga negara. Kualitas
kepada kebutuhan organisasi. layanan kepada warga negara (klien/para
pemangku kepentingan).
Kekuasaan posisional. Mengontrol, Kepemimpinan partisipatif. Berbagi
mengomando dan kepatuhan. nilai-nilai dan pembuatan keputusan
partisipatif.
Berpusat pada peraturan. Peraturan, Berpusat pada warga negara.
prosedur dan hambatan-hambatan. Pemberdayaan dan lingkungan
kepedulian.
Tindakan independen. Konsultasi, kerja Tindakan kolektif. Konsultasi, kerja
sama dan koordinasi rendah. sama dan koordinasi.

Berorientasi pada status quo. Berorientasi pada perubahan. Inovasi,


Menghindari risiko dan kesalahan mengambil risiko dan perbaikan secara
terus-menerus.
Berorientasi pada proses. Berorientasi pada hasil.
Pertanggungjawaban untuk proses- Pertanggungjawaban untuk hasil.
proses.

22
Struktur
Sentralisasi. Hierarki dan kontrol pusat Desentralisasi. Desentralisasi otoritas
dan kontrol
Bentuk departemental. Sebagian terbesar Bentuk non departemental. Program-
program disajikan oleh departemen- program disajikan melalui berbagai
departemen operasi. mekanisme.
Orientasi Pasar
Ditentukan oleh anggaran. Program- Didorong oleh penghasilan. Program-
program dibiayai sebagian terbesar oleh program dibiayai oleh sebanyak
pemberian negara. mungkin atas dasar cost recovery.
Tabel 2. Karakteristik Organisasi Birokratik dan Pasca Birokratik

7. Model Kepemimpinan Birokrasi di Indonesia


Model kepemimpinan birokrasi di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu Model
Kepemimpinan Birokrasi Transaksional (Weberian) dan Model Kepemimpinan
Birokrasi Transformasional (Anwaruddin, 2006).
a. Model Kepemimpinan Birokrasi Transaksional (Weberian)
Kepemimpinan birokrasi didasarkan pada keyakinan terhadap ‘legalitas’ pola-
pola aturan normatif, dan hak yang diberikan kepada penguasa berdasarkan aturan
tersebut untuk melakukan perintah.
Model kepemimpinan birokrasi dianggap sesuai dengan lingkungan lembaga
yang penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman administrasi,
kontrak kerja, keputusan, dan petunjuk teknis semuanya rapi didokumentasikan
secara tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada perintah atasan
dalam kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai bersifat
formal, terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun sangat
terbatas. Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya
tergantung pada pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian.
Ambisi adalah tabu. Pegawai tidak berhak atas jabatan karena sistem promosi
umumnya berdasarkan pada senioritas dalam kepegawaian dan kepangkatan. Model
kepemimpinan birokrasi, menurut Weber (1947), banyak diterapkan di organisasi
keagamaan, rumah sakit, perusahaan bisnis, militer, dan tentu saja instansi
pemerintah.

23
Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi transaksional ini terletak pada
efisiensi di dalam pelaksanaan kerja, karena kejelasan pembagian kerja sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi
pedoman dan aturan kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan yang telah
ditetapkan. Di samping itu, kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian
tujuan jangka pendek dan kemudahan dalam pengawasan dan pengelolaan pegawai.
Sementara sisi negatifnya adalah kepemimpinan yang berorientasi pada
kekuasaan yang hierarkis, tiadanya pemberdayaan pegawai dan pembagian
kewenangan dalam pengambilan keputusan, kondisi yang kurang kondusif karena
penerapan komunikasi top-down dan formalitas hubungan atasan-bawahan, dan
loyalitas berlebihan pada atasan.
Kepemimpinan birokrasi transaksional model Weber ini pada umumnya
memiliki karakteristik sebagai berikut (Anwaruddin, 2006):
a. Berdasarkan transaksi. Kepemimpinan birokrasi bertindak atas dasar transaksi
atau pertukaran antara jabatan dan kinerja, gaji dan pekerjaan, kerja keras dan
bonus, dsb.
b. Kejelasan aturan. Pedoman dan aturan pelaksanaan tugas dan pekerjaan
disusun secara jelas dan ditetapkan untuk ditaati oleh setiap pegawai.
c. Orientasi pada pengawasan yang ketat. Mengawasi dan memantau tugas dan
pekerjaan secara ketat dalam rangka mencapai tujuan jangka pendek
d. Anti perubahan. Menolak setiap perubahan yang berasal dari luar sistem
organisasi karena khawatir akan merusak tatanan kelembagaan yang telah
ditetapkan.
e. Orientasi pada jabatan dan kekuasaan. Mengembangkan budaya kekuasaan,
loyalitas pada atasan, hierarki hubungan atasan-bawahan, dan komunikasi
bottom-up.
f. Fokus pada pekerjaan. Mengarahkan pegawai untuk fokus pada penyelesaian
tugas dan pekerjaan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk
mengembangkan diri.
g. Kewenangan atasan mutlak. Tidak ada pemberdayaan pegawai karena
kewenangan untuk mengambil keputusan mutlak pada pimpinan.
h. Pemasungan kreatifitas pegawai. Pegawai diatur dalam pelaksanaan tugas dan
pekerjaan, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasi.

24
i. Individualitas kerja. Kerja sama antar pegawai tidak dianjurkan, sehingga
muncul persaingan tak ssehat dan saling curiga-mencurigai di antara mereka.
j. Disharmoni organisasi. Hierarki kekuasaan, formalitas hubungan, komunikasi
bottom-up, dan absennya kerjasama antara pegawai mengakibatkan ketidak-
kondusifan organisasi.
b. Model Kepemimpinan Birokrasi Transformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh
James McGregor Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh
Bernard Bass dan para behaviourists lainnya. Bass (1085) mendefinisikan
kepemimpinan transformasional sebagai ‘kemampuan yang dimiliki seorang
pemimpin untuk mempengaruhi anak buahnya, sehingga mereka akan percaya,
meneladani, dan menghormatinya.’
Kompetensi transformasi seorang pemimpin mungkin dapat diukur dari
kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh
dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi
organisasinya. Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional,
menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara: (1) meningkatkan kesadaran pegawai
terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan; (2) mengarahkan mereka untuk
fokus pada tujuan kelompok dan organisasi, bukan pada kepentingan pribadi; dan
(3) mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin
transformasional akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan
merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan
memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi
organisasi, sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin
transformasional juga akan membagi kewenangannya melalui pemberdayaan
pegawai, secara aktif mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai organisasi.
Untuk mendukung perubahan budaya, Bass menyarankan untuk memanfaatkan
mekanisme birokrasi yang selama ini telah dijalankan.
Di samping itu, budaya yang dikembangkan tersebut, secara tidak langsung,
juga akan memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Dengan
melibatkan staf dalam penyelesaian masalah-masalah strategis, pemimpin
transformasional harus mampu meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas,

25
rasional, dan visioner. Berbagai kelebihan yang dimiliki atasan akan membantu
para staf untuk bekerja secara lebih cerdas, bukan lebih keras. Di samping itu,
keterlibatan staf dalam pemecahan permasalahan strategis juga akan meningkatkan
pemahan bersama, bahwa permasalahan organisasi yang dipecahkan secara
bersama akan lebih berhasil dibanding bila dipecahkan sendiri oleh pimpinan.
Sepuluh prinsip kepemimpinan transformasi dalam lingkup birokrasi
pemerintahan sebagai berikut:
a. Kejelasan visi. Kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang
merefleksikan tujuan bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan
gamblang dan sederhana.
b. Kesadaran pegawai. Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai
terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan mereka bagi organisasi.
c. Pencapaian visi. Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan
memelihara komitmen yang telah dibangun bersama.
d. Pelopor perubahan. Berani melakukan dan merespon perubahan apabila
diperlukan, dan menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat
perubahan yang dilakukan.
e. Pengembangan diri. Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui
berbagai media pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi
kepemimpinannya.
f. Pembelajaran pegawai. Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai
secara efektif, dan mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
g. Pemberdayaan pegawai. Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan
pegawai berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan
kemauan mereka.
h. Pengembangan kreativitas. Membimbing dan mengembangkan kreativitas
pegawai dan membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah
strategis secara efektif.
i. Budaya kerjasama. Membangun budaya kerjasama pegawai, dan
mengarahkan mereka untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi
daripada kepentingan pribadi.
j. Kondusivitas organisasi. Menciptakan organisasi yang kondusif dengan
mengembangkan budaya kemitraan, komunikasi multi-levels, dan
mengutamakan etika dan moralitas.

26
8. Penerapan/Studi Kasus
Analisis Efektivitas Birokrasi Dalam Pelayanan Publik (Studi Kasus
Pemerintah Kabupaten Biak Numfor)
Dalam (Bonso & Ahmad, 2021), dijelaskan bahwa efektivitas birokrasi pada
pemerintahan Kabupaten Biak Numfor terlebih dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Disdukcapil) terkait dalam memberikan pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk
elektronik kepada masyarakat dapat terlihat dari Actors, Interdependency and Frame;
Interaction and Complexity; Institutional Features; dan Network Management.
a. Actors, Interdependency and Frame merupakan penyampaian kebijakan dan
pelayanan publik yang dibentuk dan diimplementasikan pada setiap unsur yang
saling bergantung. Terkait Pelayanan publik dalam pembuatan kartu tanda
penduduk elektronik (e-KTP), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Biak Numfor telah menyiapkan surat keterangan (suket) untuk setiap warga yang
telah selesai melakukan perekaman.
b. Interaction and Complexity merupakan bentuk konsekuensi interaksi yang
kompleks dari semua element/unsur yang saling bergantung. Hal ini perlu
dilakukan untuk dapat melakukan negosiasi pemecahan masalah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan publik dalam pembuatan
kartu tanda penduduk elektronik pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Biak Numfor dapat dikatakan tidak terdapat permasalahan yang
signifikan terkait memberikan pelayanan walaupun dalam pelayanan terkendala
pada jaringan atau gangguan server dan antrian masyarakat yang begitu banyak.
Hal ini dikarenakan semua unsur/element yang terkait bekerja sama dengan baik.
c. Institutional Features merupakan pola interaksi dari semua unsur/elemen dalam
sebuah organisasi yang mengakibatkan hubungan antar aktor yang dapat dipahami
sebagai pola hubungan sosial dan pola aturan. Pola interaksi antar unsur/element
dalam pembuatan kartu tanda penduduk pada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil kurang efektif dikarenakan pegawai yang memberikan layanan kurang
disiplin sehingga dapat menghambat pelayanan yang dilakukan.
d. Network Management bagian dari pengelolaan interaksi yang bertujuan untuk
memfasilitasi interaksi, mengeksplorasi dan mengatur interaksi antar aktor. Secara
pelembagaan Network Management pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
dalam pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sudah

27
efektif/berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal pemberian layanan kepada
masyarakat terlihat bahwa masih adanya kurangnya kesadaran setiap unsur/aktor
pemberi layanan.
Hasil penelitian yang dilakukan dengan dengan teknik wawancara dan kuesioner
menunjukkan bahwa pemerintahan daerah dalam hal ini Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil dalam pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk elektornik sudah
efektif. Hal ini terlihat dari Actors, Interdependency and Frame memperoleh nilai 2,05
(tinggi), Interaction and Complexity memperoleh nilai 1,35 (sedang), Institutional
Features memperoleh nilai 1,55 (sedang), dan Network Management memperoleh nilai
2,3 (tinggi).

D. Teori Kepemimpinan Spiritual


1. Konsep Dasar
Teoretisi Kepemimpinan Spiritual (Spritual Leadership) pada awalnya adalah para
misionaris, biarawan, pendeta, ulama, biksu – yang berupaya memengaruhi umatnya
agar hidup di jalan Tuhan – Allah – Pencipta manusia dan alam semesta. Mereka
memformulasi berbagai materi dan teknik berdakwah untuk menyiarkan agama. Para
misionaris agama Katolik dan Kristen mengembangkan teknik Kepemimpinan
Spiritual untuk memengaruhi orang untuk memeluk agaram tersebut dan mau hidup di
jalan agama tersebut. Ribuan buku, pamflet, dan artikel mengenai Kepemimpinan
Spritual yang bernapaskan agama diterbitkan. Para pemimpin Mazhab Agama Islam:
Hambali, Syafi’i, Maliki, dan Hanafi juga mengembangkan prinsip-prinsip hidup
dalam spiritualisme agama Islam. Bahkan Wali Songo di Indonesia juga mempunyai
pola pikir Kepemimpinan Spritual Budaya Jawa dalam berdakwah kepada masyarakat
yang beragama Hindu, Budha, animism, dan paranormal (Wirawan, 2013).
Istilah spritualitas (spirituality) berakar pada kata bahasa Latin spiritus yang
artinya napas, napas kehidupan. Spritualitas dapat berakar pada agama akan tetapi
spiritualitas bukan agama. Spritualitas dapat terjadi di rumah ibadah, di rumah
seseorang, dalam kehidupan seseorang dan dapat terjadi di tempat kerja atau organisasi
(Wirawan, 2013).

2. Definisi Kepemimpinan Spiritual


Kepemimpinan spiritual bukan monopoli para agamawan atau ulama, para
pemimpin politik, bisnis, dan militer banyak mengembangkan dan menerapkan teknik

28
kepemimpinan spiritual. Orang awam sering mengacaukan antara agama dan
spiritualitas agama. Agama membahas spiritualitas, akan tetapi spiritualitas tidak harus
memerlukan agama agar mempunyai makna. Spiritualitas bukan monopoli agama,
spiritualias ada di mana-mana (Wirawan, 2013).
Menurut Louis W. Fry, kepemimpinan spiritual meliputi nilai-nilai, sikap, dan
perilaku yang diperlukan untuk secara intrinsic memotivasi diri sendiri dan orang lain
sehingga mereka mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual melalui panggilan
hidup (calling) dan keanggotaan sistem sosial. Kepemimpinan spiritual memerlukan:
1) penciptaan suatu visi di mana para anggota organisasi mengalami suatu perasaan
panggilan hidup dalam hal kehidupan mereka mempunyai makna dan membuat beda;
2) mengembangkan suatu budaya sosial/organisasi berdasarkan pada cinta altruistic di
mana para pemimpin dan para pengikut mempunyai perawatan, perhatian, dan
apresiasi asli untuk diri sendiri dan orang lain, di mana memproduksi suatu rasa
keanggotaan dan merasa dipahami dan dihargai (Wirawan, 2013).

3. Dimensi Kepemimpinan Spiritual


Hill et al.(2013) menyatakan sampai saat ini teori yang paling maju dan diuji dari
spiritualitas adalah yang diusulkan oleh Fry (2003, 2005, 2011). Di mana kualitas
spiritual leadership yang diusulkan Fry terdiri atas tiga dimensi yaitu: vision, altruistic
love dan faith/hope (Kawiana, 2019).
1) Visi (vision)
Fry (2003) mengatakan bahwa visi merupakan tiga fungsi penting dalam
menjelaskan arah umum perubahan, menyederhanakan ratusan atau ribuan
keputusan yang lebih rinci, membantu dengan cepat dan efisien,
mengkoordinasikan tindakan banyak orang yang berbeda. Pemimpin bertanggung
jawab untuk menciptakan visi dan nilai yang sama di semua tingkatan organisasi,
melalui pilihan yang berkaitan dengan visi, tujuan, misi, dan strategi, serta
pelaksanaannya. Visi mendefinikan perjalanan yang luas dan membantu gerak
organisasi menuju masa depan yang diinginkannya.
Visi berperan dalam memberikan orang energi, memberikan makna dalam
bekerja, dan mengumpulkan komitmen. Empat indikator visi yang terdiri atas (1)
pemahaman terhadap visi, (2) pernyataan visi, (3) inspirasi dari visi, dan (4) visi
yang jelas, menghasilkan rasa keterpanggilan, yang merupakan bagian dari
kesejahteraan spiritualitas (spiritual well-being), memberikan suatu rasa yang

29
berbeda, serta hidup yang dirasakan selama ini memiliki arti. Visi mencerminkan
tujuan organisasi (alasan keberadaannya) dan misi. Misi, mendefinikan nilai-nilai
inti organisasi. Selanjutnya visi ini membentuk dasar untuk berhubungan dengan,
dan memenuhi serta melampaui harapan pemangku kepentingan (pelanggan,
karyawan, pemerintah, lembaga regulasi).
2) Kepentingan Umum di atas Kepentingan Pribadi (altruistic love)
Fry (2003) mendefinisikan altruistic love dalam spiritual leadership sebagai
rasa keutuhan, harmonis dan pembentuk kesejahteraan melalui kepedulian,
perhatian, dan menghargai diri sendiri dan orang lain.
Nilai-nilai altruistic love termasuk pengampunan (forgiveness), penerimaan
(acceptance), rasa syukur (gratitude), kebaikan (kindness), integritas (integrity),
empati/kasih sayang (empathy/compassion), kejujuran (honesty), kesabaran
(patience), keberanian (courage), kepercayaan/loyalitas (trust/loyalty), kerendahan
hati (humility).
Fry (2003) mengatakan bahwa cinta tidak hanya bentuk dasar untuk mengatasi
dan menghilangkan ketakutan, tetapi juga dasar untuk semua penyembuhan emosi.
Selanjutnya ia menyarankan kepedulian dan perhatian bagi diri dan orang lain
menghilangkan ketakutan dan kekuatiran, kemarahan, dan kecemburuan,
kegagalan dan rasa bersalah, dan menyediakan dasar untuk kesejahteraan, akhirnya
menghasilkan loyalitas dan komitmen untuk organisasi. Demikian juga pemimpin
dan pengikut membangun budaya dan sistem etika yang mewujudkan nilai-nilai
altruistic love, di mana anggota kelompok ditantang untuk bertahan, ulet,
melakukan apa yang diperlukan, dan mengejar keunggulan dengan melakukan
yang terbaik dalam mencapai tujuan yang menantang melalui harapan (hope) dan
iman (faith) dalam visi.
Pemimpin dan pengikut menunjukkan; (1) kepedulian, (2) bekerja sesuai
dengan yang dibicarakan, (3) jujur, (4) percaya dan setia, (5) keberanian dan, (6)
penuh perhatian yang merupakan indikator dari altruistic love menimbulkan
pengalamam rasa keanggotaan (experience a sense of membership) bagian dari
kesejahteraan spiritualitas (spiritual wellbeing), yang memberikan satu kesadaran
yang dipahami dan dihargai. (Fry, 2003, 2005).
3) Iman/Harapan (faith/hope)
Fry (2003) mendefinisikan iman sebagai yang lebih dari harapan atau harapan
sesuatu yang diinginkan, dan itu adalah keyakinan bahwa sesuatu terbukti dengan

30
bukti fisik adalah benar. Iman adalah lebih dari hanya berharap untuk sesuatu.
Dengan kata lain, iman didasarkan pada nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang
mengungkapkan kepastian yang mutlak dan percaya bahwa apa yang diinginkan
dan diharapkan akan terjadi. Orang yang memiliki iman/harapan dengan indikator;
(1) memiliki keyakinan, (2) melaksanakan keyakinan, (3) gigih ,melakukan usaha
yang lebih, dan (4) tujuan yang menantang dalam visinya akan bersemangat dalam
menghadapi hambatan, menanggung kesulitan dan penderitaan dalam mencapai
tujuan mereka. Dengan demikian iman/harapan adalah sumber keyakinan bahwa
visi dan misi suatu organisasi akan dicapai

7. Penerapan/Studi Kasus
Gaya Kepemimpinan Spiritual
(Studi di Perusahaan Beezy Board Ponorogo)
Dalam (Khurniaji, 2021), dijelaskan bahwa konsep kepemimpinan spiritual yang
diterapkan di Perusahaan Beezy Board Ponorogo adalah sebagai berikut:
a. Sikap Kejujuran
b. Sikap Toleransi
c. Sikap Tegas Pemimpin
d. Membantu Satu Sama Lain
e. Sikap Disiplin
Penerapan Program Spiritual di Perusahaan Beezy Board Ponorogo adalah
sebagai berikut:
a. Karyawan do'a bersama sebelum bekerja dan selesai bekerja
b. Karyawan diwajibkan beribadah
c. Bekerja profesional dengan berpakaian sopan
d. Larangan merokok di lingkungan kerja
Kendala penerapan Program Spiritual di Perusahaan Beezy Board Ponorogo
adalah sebagai berikut:
a. Program belum mampu berjalan dengan konsisten dan maksimal
b. Tidak ada bagaian khusus yang mengawasi progam spiritual company
Dampak positif gaya kepemimpinan spiritual di Perusahaan Beezy Board
Ponorogo:
a. Rasa nyaman dengan gaya kepemimpinan spritual di perusahaan
b. Berkurangnya pelangaran dan meningkatkan kualitas kinerja karyawan

31
Dampak negatif gaya kepemimpinan spiritual di Perusahaan Beezy Board
Ponorogo:
a. Penolakan atau pengunduran diri dari karyawan

E. Teori Kepemimpinan Autentik


1. Pengertian Teori Kepemimpinan Autentik
Teori Kepemimpinan Autentik terdiri dari dua konsep yaitu “Kepemimpinan” dan
“Autentik”. Kata autentik berasalah dari bahasa latin yaitu authenticus yag berasal dari
bahasa yunani yaitu authentikos. Istilah autentik artinya dapat dipercaya, asli, tule, atau
sah. Sesuatu dikatakan autentik jika sesuai dengan fakta apa yang dilihat, didengar dan
dirasa sehingga dapat dipercaya. Sesuatu yang autentik adalah bona fide (jujur, dapat
diperaya), genuine (sejati, asli), real (riel, nyata, sejati), true (benar, betul), undoubted
(tidak diragukan), unquestuonable (tidak dapat disangkal). Dari kata autentik
berkembang istilah autensitas (authencity) yang artinya keaslian atau kebenaran.
Menurut Robert W. Terry (1993) mengemukakan pengertian autensitas yaitu
“...authensity is ubiquitous, calling us to be true to ourselves and true to the world.
When authencity is acknowledged we admit our foibles, mistakes, and protected secrets,
the part of ourselves and society that are tearful and hide in the shadows of existence.”
Menurut Terry, autensitas ada dimana-mana, memanggil kita untuk menjadi benar
terhadap diri kita sendiri dan benar kepada dunia. Jika autensitas diakui kita mengakui
kelemahan kita, kesalahan-kesalahan dan rahasia-rahasia yang diproteksi, bagian-
bagian dari diri kita dan masyarakat yang menyedihkan dan disembunnyikan di
bayang-bayang keberadaan. Autensitas (authencity) merupakan istilah teknis dalam
filsafat eksistensialis yang juga dipergunakan di filsafat seni dan psikologi. Autensitas
adalah derajat seseorang benar, dalam kaitan dengan kepribadian, spirit, atau karakter.
Avolio, Luthans, dan Walumbwa (Bruce J. Avolio & William L. Gardner, 2005)
mendefinisikan pemimpin autentik yaitu “...Those who are deeply aware of how they
think ad behave and are perceived by others as being aware of their own and other’
value/moral perspective, knowledge, and strengts; aware of the context in which they
operate; and who are confident, hopeful, optimistic, resilient, and of high moral
character.” Menurut ketiga teoritisi kepemimpinan tersebut pemimpin autentik adalah
mereka yang secara mendalam menyadari bagaimana meraka berpikir dan berperilaku
dan dipersepsikan oleh orang lain sebagai sadar akan perspektif nilai-nilai moral,
pengetahuan, dan kekuatan-kekuatan; menyadari dari konteks dimana mereka

32
beroperasi; dan yang percaya diri, penuh harapan, optimistik, ulet dan karakteristik
moral tinggi.
Authentic Leadership (AL) Secara etimologi, kata otentik (authentic) berasal dari
bahasa Yunani authento yang berarti memiliki kekuatan penuh, sebagai kepemilikan
pengalaman pribadi, termasuk pemikiran, emosi, kebutuhan, keinginan, atau
keyakinan seseorang, yang melibatkan menjadi sadar diri dan melakukan sesuatu
sesuai dengan kesejatian diri dengan mengekspresikan apa yang dipikir dan diyakini
luar biasa/ hebat oleh seseorang (Gardner, 2011). Sementara keotentikan (authenticity)
adalah refleksi nilai-nilai pribadi seseorang dan keyakinan dalam perilaku seseorang,
bisa baik ataupun buruk (Shamir & Eilam, 2005). Sedangkan Harter (2002)
mendefinisikan sebagai satu aksi yang sesuai dengan kebenaran, yang diekspresikan
dengan cara yang konsisten dengan pemikiran dan perasaan batinnya (Khan, 2010).
Konstruk keotentikan telah diteliti oleh filsuf Yunani sebagai “know thy-self” (kenali
dirimu) atau “thy true self” (dirimu sejati) (Dimovski, 2012). Authentic Leadership
(AL) atau Kepemimpinan Otentik mulai berkembang pada tahun 2004 dan merupakan
tahap terakhir dalam evolusi perkembangan kepemimpinan, karena faktanya bahwa
AL mencapai semua pekerja (karyawan) di dalam organisasi. Pemimpin otentik harus
mengidentifikasi kekuatan pengikutnya dan membantu mengembangkan mereka. AL
juga dipandang sebagai faktor sukses kemajuan organisasi masa karena pemimpin
otentik tidak hanya membicarkan organisasi tetapi juga masalah-masalah sosial.
(Dimovski, 2012) AL adalah sebuah pola perilaku pemimpin yang menggambarkan
dan mempromosikan kapasitas psikologi positif dan iklim etika positif untuk
mendorong kesadaran diri yang lebih baik, sebuah gambaran internalisasi moral,
proses keseimbangan informasi, dan transparansi relasional pekerjaan pemimpin
dengan pengikutnya, serta meendorong pengembangan diri yang positif (Walumbwa,
Avolio, Gardner, Wernsing, & Peterson, 2008, dan Rego, 2012). Perkembangan
tuntutan dari masyarakat akan organisasi yang lebih transparan, berintegritas, dan
berperilaku etis menyebabkan pengembangan kepemimpinan otentik (Marinakou,
2016) Ada 4 komponen keotentikan yang juga disebut sebagai the Authentic
Leadership Questionnaire (ALQ), yaitu (1) internalisasi perspektif moral (internalized
moral perspective), merujuk pada nilai-nilai kepemimpinan yang berkembang dengan
baik saat menghadapi tekanan eksternal; (2) kesadaran diri (selfawareness) yang
merujuk pada pengetahuan dan pemahaman individu mengenai kognitif, emosi, dan
perkembangan moral mereka; (3) transparansi relasional (relational transparency),

33
merujuk pada kapasitas pemimpin untuk mengartikulasikan dan memproses nilai-nilai
dan pemikiran mereka kepada pengikut, kemudian menghasilkan hubungan dan
keterbukaan timbal balik; (4) proses keseimbangn (balance processing), merujuk pada
kapasitas pemimpin untuk memproses informasi secara objektif dan merefleksikannya
secara kritis pada tugas dan lingkungan sebelum membuat keputusan (Walumbwa et
al. & Nikolic, dalam Marinakou, 2016).

2. Authentic Leader (Pemimpin Otentik)


Pemimpin otentik adalah orang yang memiliki integritas paling tinggi dan
berkomitmen terhadap daya tahan organisasi, memahami tujuan dan tetap dalam nilai-
nilai asalnya, mampu membangun organisasi sesuai dengan kebutuhan stakeholder,
serta memperhatikan pelayanan terhadap masyarakat (Dimovski, 2012). Menurut
Luthans dan Avolio (2003), pemimpin otentik mengakui dan menghargai perbedaan
individu, mampu dan termotivasi untuk mengidentifikasi bakat individual, serta
mampu mengembangkan bakat tersebut dalam sebuah pribadi, menjadi keuntungan
kompetitif yang spesial. Mereka juga memiliki keinginan yang tulus untuk melayani
orang lain melalui kepemimpinannya (George, 2003). Shamir dan Eilam (2005)
membagi 4 karakteristik pemimpin otentik, yaitu (1) tidak berpura-pura saat
memimpin, apa adanya, menjadi diri mereka sendiri; (2) termotivasi oleh keyakinan
pribadi daripada untuk mengejar status, honor, dan tunjangan pribadi lainnya; (3)
orisinal, tidak mencontoh siapa pun, memimpin sesuai pendiriannya; (4) aksi mereka
berdasarkan pada nilai-nilai, keyakinan, dan identitas pribadi. Pemimpin otentik
menstimulasi motivasi dan harga diri pengikutnya yang pada akhirnya menciptakan
kepercayaan terhadap pemimpin, kepuasan kerja, dan juga komitmen (Marinakou,
2016). Pemimpin otentik bisa berkontribusi secara efektif terhadap pengembangan dan
memiliki impak kepada kinerja pengikut. Secara khusus, karakteristik pemimpin
otentik berkontribusi dan menambah kapabilitas yang dibutuhkan pengikut untuk
berkinerja baik (Wang, 2014). Pemimpin Otentik bisa saja direktif ataupun partisipatif,
bahka otoriter. Mereka beraksi sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai pribadi untuk
membangun kredibilitas dan penghargaan serta kepercayaan pengikutnya dengan
mendorong pokok-pokok pandangan dan membangun jaringan kerja hubungan
kolaboratif dengan pengikut, serta memimpin dengan cara yang dimaknai otentik oleh
pengikutnya (Avolio, 2004).

34
3. Penerapan/Studi Kasus
Authentic Leadership (AL) dan Islamic Organisational Commitment
Authentic leadership (AL), atau Kepemimpinan Otentik, sebuah teori
kepemimpinan yang relatif baru, adalah sebuah konstruk yang menggabungkan sifat-
sifat, perilaku, gaya dan keterampilan untuk mempromosikan perilaku etis dan jujur
dan dengan demikian memiliki hasil jangka panjang yang lebih positif bagi para
pemimpin, pengikut mereka, dan organisasi mereka. Menurut para pendukung teori
tersebut, keotentikan diyakini membuat para pemimpin lebih efektif, memimpin
dengan makna, tujuan, nilai-nilai, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan
organisasi (Covelli & Mason, 2017). Hasil riset Covelli dan Mason (2017)
menunjukkan bahwa AL mengarah ke berbagai dimensi efektivitas manajerial
termasuk kinerja organisasi, kepuasan kebutuhan pengikut, dan peningkatan kualitas
kehidupan kerja. AL menyebabkan penurunan sikap dan perilaku negatif pengikut,
seperti ketidakhadiran, ketidakpuasan, dan permusuhan. AL juga mengarah pada
peningkatan sikap dan perilaku positif kelompok. Akhirnya, manajer yang
mempraktikkan AL mencapai kesuksesan pribadi seperti yang dirasakan oleh pengikut
mereka. AL mengarah ke berbagai dimensi efektivitas kepemimpinan termasuk
penghormatan terhadap pemimpin, komitmen terhadap perintah pemimpin,
peningkatan keterampilan pemecahan masalah, serta peningkatan kemampuan
kelompok untuk menghadapi perubahan dan krisis. Pengaruh AL terhadap komitmen
terhadap perintah pemimpin juga didukung oleh Datta (2015) serta Leroy, Palanski, &
Simons (2012). Pemimpin otentik menstimulasi motivasi dan harga diri pengikutnya
yang pada akhirnya menciptakan kepercayaan terhadap pemimpin, kepuasan kerja, dan
juga komitmen (Marinakou, 2016). Pengetahuan diri dan konsistensi diri pemimpin
merupakan anteseden AL dan kepuasan pengikut dengan supervisor, komitmen
organisasional dan usaha lebih juga dipersepsikan sebagai efektivitas team sebagai
hasil (Peus, 2012). Keotentikan, sebagai kualitas esensial bagi seorang pemimpin, bisa
diperoleh melalui kesadaran diri, penerimaan diri, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,
moral, tindakan, hubungan, dll. Artinya, dalam aspek kehidupan apa pun, baik
organisasi atau lainnya (seperti Akademisi, sosial, politik, atau keluarga),
kepemimpinan otentik memang cocok untuk semuanya, karena keotentikan (keaslian)
pada dasarnya diperlukan untuk mendapatkan kesuksesan di setiap tahap kehidupan
(Makhmoor, 2018). Di antara strategi untuk menciptakan komitmen organisasional
anggota adalah dengan cara pemimpin memberi contoh dan menginspirasi anggotanya

35
untuk kemajuan di masa depan (Armstrong, 1991). Kepemimpinan otentik sangat
mengandalkan pemimpin organisasi untuk memberikan contoh/suri tauladan terlebih
dulu kepada pengikutnya. Sedangkan bagi seorang muslim, ketaatan kepada pemimpin
merupakan kewajiban setelah ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-
Nya. Bekerja adalah amanah sekaligus janji yang harus dipelihara dan dipenuhi,
supaya beruntung (QS Al Mukminun: 8). Dengan demikian, diasumsikan, ada
hubungan antara kepemimpinan otentik dengan komitmen organisasional Islami.
Proposisi 1: ada hubungan positif antara kepemimpinan otentik dengan komitmen
organisasional Islami.

Authentic Leadership (AL) dan Islamic Psychological Contract


Para pemimpin otentik menunjukkan hasrat untuk tujuan-tujuan mereka,
mempraktikkan nilai-nilai mereka secara konsisten dan memimpin dengan hati
(perasaan) serta dengan kepala (pikiran). Mereka menetapkan hubungan jangka
panjang, bermakna, dan memiliki disiplin diri untuk mencapai hasil. Mereka tahu siapa
mereka (Seco, 2013). Pemimpin otentik memiliki kecenderungan utama seperti
keyakinan, optimisme, dan moralitas, serta berusaha mengembangkan pemimpin baru.
Gagasan umum dari studi tentang AL mengungkapkan bahwa kesadaran diri dan
bertindak sesuai dengan referensi diri adalah gagasan yang paling signifikan bagi
seorang pemimpin untuk dianggap sebagai pemimpin otentik oleh para pengikut (Ayaz
& Alpkan, 2016). “Semakin pemimpin dipandang sebagai otentik, semakin banyak
karyawan mengidentifikasi diri dengan mereka dan merasa diberdayakan secara
psikologis, lebih terlibat dalam peran mereka, dan menunjukkan perilaku citizenship-
rated lebih banyak (Covelli & Mason, 2017). Para pemimpin otentik digambarkan
memiliki karakter moral yang tinggi dan mereka yang “sangat memahami akan cara
mereka berpikir dan berperilaku, serta dianggap oleh orang lain sebagai menyadari
nilai-nilai / perspektif moral, pengetahuan, dan kekuatan mereka sendiri dan orang
lain”. Dimensi kepemimpinan otentik adalah: perspektif moral positif, kesadaran diri,
pemrosesan seimbang, transparansi relasional, modal psikologis positif, dan perilaku
otentik (Hoch, Bommer, & Dulebohn, 2016).
“Keotentikan adalah penyelarasan kepala (pemikiran), mulut (perkataan), hati
(perasaan), dan kaki (perbuatan) yang sama secara konsisten. Hal tersebut membangun
kepercayaan, sehingga pengikut mencintai pemimpin mereka (Robinson & O’Dea,
2014). AL merupakan produk kolektif yang diciptakan oleh interaksi pemimpin-

36
pengikut, yang mungkin merupakan indikasi kepemimpinan otentik “sejati”. Ini adalah
pemahaman timbal balik tentang imperatif situasional dan isyarat perilaku dari kedua
pihak yang terlibat yang dapat melabeli perilaku para pemimpin sebagai benar-benar
otentik (Cerne, Dimovski, Maric, Penger, & Skerlavaj, 2013). Pemimpin otentik
memiliki karakteristik inti keterbukaan, kesadaran diri, transparansi, kepedulian
terhadap orang lain, serta konsistensi. Pemimpin semacam itu memiliki atribut positif
berupa kepercayaan, optimis, ulet, dan harapan (Luthans & Avolio, 2013) dan Ahmad,
Gao, Moiz, & Assistant, 2017).
Dari sudut pandang ajaran Islam, setiap pengikut/rakyat/bawahan, haruslah taat
kepada pemimpinnya, dengan mendahukan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al Nisa ayat 59. Jadi, selama pemimpin
melaksanakan kepemimpinannya tidak melanggar peraturan Allah dan Rasul-Nya,
maka secara psikologis, seorang bawahan merasa terikat dan bertanggung jawab untuk
melaksanakann tugasnya. Menurut Beekun dan Badawi (2009), kepemimpinan
merepresentasikan kontrak psikologis antara pemimpin dan pengikutnya yang berniat
mencoba cara terbaik untuk mengarahkan, melindungi dan memelihara mereka dengan
adil. Proposisi 2: ada hubungan positif antara kepemimpinan otentik dengan kontrak
psikologis Islami.

F. Teori Kepemimpinan Diri Sendiri


1. Pengertian Teori Kepemimpinan Diri Sendiri
Teori Kepemimpinan diri sendiri (self leadership theory) mulai muncul
pertengahan tahun 1983 (Christopher P. Neck & Jeffery D. Houghton, 2006)
merupakan perluasan konsep manajemen diri (self management) dan berakar pada teori
klinis engontrol diri sendiri, dan diinspirasi oleh gagasan kerr dan jermier megenai
pengganti kepemimpinan-substitutes for leadership-(Christoper P. Neck & Jeffery D.
Houghton, 2006). Pada tahun 1980-an Teori Diri Sendiri menjadi populer dengan
munculnya sejumlah buku buku, artikel dan penelitian terkait dengan teori
kepemimpinan ini.
Kepemimpinan diri sendiri adalah proses mempengaruhi diri sendiri (Christoper P.
Neck & Charles C. Manz, 2010). Suatu proses di mana orang mencapai arahan diri
sendiri dan memotivasi diri sendiri yanng diperlakukan untuk bertindak.
Kepemimpinan diri sendiri terdiri dari strategi perilaku kognitif yang dirancang untuk
mempengaruhi efektivitas personal. Strategi kepemimpinan diri sendiri umumnya

37
dikelompokkan menjadi tiga kelompok: strategi terfokus pada perilaku; strategi
imbalan alami; dan strategi pola berpikir konstruktif (Christoper P. Neck & Jeffrey D.
Hougton, 2006). Strategi terfokus pada perilaku dilaksanakan untuk meninggikan
kesadaran diri untuk memfasilitasi manajemen perilaku, terutama manajemen perilaku
yang terkait dengan tugas-tugas yang dibutuhkan tapi tidak menyenangkan. Strategi ini
melliputi observasi diri, penentuan tujuan diri, memberikan imbalan diri sendiri,
menghukum diri sendiri dan memberi petunjuk diri sendiri.
Self-leadership didefinisikan sebagai proses yang ada dalam diri seseorang untuk
meningkatkan motivasi dan mengarahkan dirinya untuk berperilaku dengan cara yang
sesuai dengan yang diharapkan orang lain kepadanya (lihat Konradt et.al., 2008 : 323;
Godwin et.al., 1999 : 154). Neck & Manz (2004) sebagaimana dikutip Kalyar (2011 :
22) mendefinisikan self-leadership sebagai a process of influencing or leading oneself
through the use of specific sets of behavioral and cognitive strategies. Beberapa definisi
lainnya yang senada, yaitu: proses mempengaruhi diri sendiri untuk memberikan
arahan bagi diri sendiri (self-directing) dan memotivasi diri (self-motivating) yang
diperlukan untuk berperilaku dan bertindak dalam cara-cara yang sesuai (lihat Jackson,
2004: 29); proses mempengaruhi diri sendiri guna mengarahkan kognisi dan
tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan (lihat Ho & Nesbit, 2009 : 451).
Definisi self-leadership di atas memperlihatkan pentingnya kontrol seseorang atas
motivasi, kognisi maupun tindakannya agar mampu melakukan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya dengan baik. Ketika kontrol seseorang atas dirinya mampu
menghasilkan tindakan yang diharapkan, baik oleh dirinya maupun organisasinya,
maka dapat dinyatakan bahwa individu tersebut memiliki derajat self-leadership yang
tinggi. Tetapi individu seperti ini belum tentu berprestasi dengan baik ketika organisasi
tempatnya bekerja tidak kondusif bagi terjadinya selfleadership. Berdasarkan penelitian
Roberts & Foti (1998), mereka yang memiliki derajat self-leadership tinggi akan
merasa amat puas ketika bekerja dalam struktur organisasi yang memungkinkan
dimilikinya otonomi dan kebebasan yang lebih tinggi serta motivasi kerja intrinsik
(Jackson, 2004 : 15). Dengan demikian pimpinan puncak organisasi perlu menata ulang
sejauh mana job enrichment dan job enlargement perlu diberlakukan dan kepada siapa
ditujukan tanpa mengganggu pencapaian visi dan misi organisasi.
Menurut Frese and Fay (2001( dan Sims and Manz (1996), yang dikutip Boss &
Sims Jr. (2008 : 142), self-leadership terdiri dari perilaku tertentu dan strategi kognitif
yang bertujuan meningkatkan efektivitas dan kinerja individu dan self-leadership ini

38
merupakan sebuah self-regulation. Menurut penulis, peningkatan efektivitas dan
kinerja individu terjadi dikarenakan individu mampu dan mau melihat ke dalam dirinya
melalui beberapa metoda yang akan di bahas dalam uraian berikut guna mendapatkan
sarana dan strategi yang diperlukan untuk memotivasi dan mengontrol perilaku dan
pikirannya yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan atau aktivitas tertentu. Setelah
melihat strategi dan metoda self-leadership dalam uraian berikut, dapat dinyatakan
bahwa intisari dari self-leadership terletak kepada kemauan dan kemampuan individu
untuk melihat dan mencari diri sejujurnya termasuk megatur diri sendiri sehingga
didapatkan cara untuk mengerjakan sebuah aktivitas dengan baik sebagaimana
diharapkan individu maupun pihak lainnya.
Pengembangan diri melalui self-leadership memang tidak mudah, karena tidak
semua orang mau dan mampu melakukan dialog dengan dirinya secara jujur tanpa ada
justifikasi apapun. Selain itu pengembangan self-leadership juga tidak diperlukan
semua orang, hanya berkenaan dengan adanya otonomi2 yang tinggi dalam pekerjaan
(lihat Yun et al., 2006 dalam Boss & Sims Jr., 2008 : 143).

2. Penerapan/Studi Kasus
Penerapan Self-Leadership Menurut Pearce & Manz (2005 : 135-7), ada beberapa
faktor yang mendukung penerapan praktek self-leadership, yaitu:
a. Urgency
Situasi yang sangat urgent kurang mendukung pengembangan kemampuan
self-leadership, karena dalam situasi seperti ini bentuk kepemimpinan yang
tradisional akan lebih efektif untuk memecahkan masalah yang ada. Selain itu
dalam situasi di mana amat diperlukan pemecahan masalah dalam kemendesakan
yang tinggi, pengembangan kemampuan self-leadership tidak akan memadai
dilakukan dikarenakan pengembangan kemampuan self-leadership memerlukan
waktu yang tidak sebentar.
Menurut penulis, urgency sebagai salah satu penghambat pengembangan self-
leadership di atas akan hilang dengan sendirinya ketika pengembangan self-
leadership sudah terbentuk dengan baik. Justru dengan tingginya self-leadership
dalam organisasi, maka situasi urgensi apapun tidak akan menjadi masalah karena
semua individu yang menghadapinya akan mampu memecahkannya dengan baik.
b. Employee Commitment

39
Ketika komitmen karyawan tidak dituntut tinggi, maka pengembangan
kemampuan self-leadership kurang diperlukan. Tetapi ketika organisasi berada
dalam situasi yang memerlukan komitmen karyawan yang tinggi, maka
pengembangan kemampuan self-leadership akan tepat bagi organisasi untuk tetap
eksis dalam situasi yang demikian.
Pearce & Manz memberikan salah satu contoh keberhasilan pengembangan
kemampuan self-leadership di perusahaan Lake Superior Paper di tahun 1990-an :
pengembangan kemampuan selfleadership di perusahaan ini awalnya dilakukan
dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Tetapi seiring
dengan berjalannya waktu, pengembangan kemampuan ini memberikan efek
lainnya yang amat positif bagi perusahaan, yaitu pengurangan tingkat turnover
karyawan, meningkatkan rasa kepemilikan karyawan atas perusahaan dan
kebanggannya atas pekerjaannya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan komitmen
karyawan menjadi meningkat.
Hasil penelitian yang dilakukan Houghton & Yoho (2005), Neck & Houghton
(2006) sebagaimana dikutip Chung et.al., (2011: 300, 302) memperlihatkan fakta
bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan konsekeunsi dari self-leadership
atau dengan kata lain self-leadership mempengaruhi komitmen terhadap organisasi.
c. Creativity
Bagi organisasi yang memerlukan derajat inovasi yang tinggi agar dapat
memenuhi kebutuhan pelanggannya atau melayani publik dengan cepat dan efektif,
pengembangan kemampuan self-leadership diperlukan. Adanya pemberian
kebebasan dan kondisi dalam organisasi yang mendorong terciptanya
pengembangan self-leadership yang tinggi dan juga situasi organisasi yang
kondusif untuk saling berbagi pengaruh dengan rekan kerja dalam pembuatan
keputusan, pemecahan masalah dan pengidentifikasian peluang di masa mendatang
akan menyebabkan terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kreativitas yang
pada gilirannya akan meningkatkan derajat inovatif organisasi.
Kreativitas dan self-leadership menurut beberapa ahli merupakan anteseden
yang penting bagi inovasi individual (Kalyar, 2011: 21) : semakin tinggi
kemampuan individu guna menumbuhkembangkan ide-ide baru, semakin mungkin
ia mengembangkan inovasinya yang pada akhirnya akan mempengaruhi inovasi
kelompok dan organisasi. Kreativitas saja kurang memadai
menumbuhkembangkan sebuah inovasi. Ia perlu dibarengi kekuatan yang berasal

40
dari dalam diri individu yang memampukannya menghadapai tantangan apapun
dalam kreativitas. Kekuatan dalam diri ini menurut Carmeli et al. (2006)
sebagaimana dikutip Kalyar (2011: 21) berasal dari self-leadership.
d. Interdependence
Jumlah saling ketergantungan dalam sistem kerja sebuah organisasi akan
mempengaruhi berapa besar porsi self-leadership yang diperlukan. Self-leadership
diperlukan ketika ketergantungan dalam melakukan tugas yang ada dalam
organisasi tidak begitu tinggi. Dengan demikian pengembangan self-leadership
kurang memadai dilakukan dalam cakupan proses produksi tertentu di bidang
manufaktur di mana derajat saling ketergantungannya tinggi.
e. Complexity
Semakin kompleks pekerjaan yang harus dilakukan, maka pengembangan
kemampuan self-leadership akan kurang efektif, karena dalam situasi seperti ini
adalah mustahil satu orang mampu menguasai berbagai bidang sekaligus.
Kalaupun terpaksa dilakukan, maka pengembangan self-leadership sebaiknya
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan periodisasi pekerjaan yang
kompleks itu, tentu saja tetap disesuaikan dengan kemampuan individu-individu
terkait dan hal ini memerlukan waktu yang tidak sebentar.

41
SOAL

Berdasarkan materi Teori Kepemimpinan: Kharismatik, Abdi, Birokrasi, Spiritual, Autentik,


dan Diri Sendiri (Konsep dan Penerapan) di atas, jawablah soal di bawah ini dengan benar!

1. Jelaskan bagaimana konsep teori kepemimpinan karismatik menurut Max Weber!


2. Sebutkan dan jelaskan nilai kunci kepemimpinan abdi dalam perilaku pemimpin menurut
Gary Yukl!
3. Menurut pendapat Anda, bagaimanakah penerapan reformasi di Indonesia saat ini? Hal
apa saja masih perlu dievaluasi? Jelaskan!
4. Beberapa pemimpin memiliki karakter memimpin yang berbeda-beda. Bagaimana cara
menentukan pemimpin tersebut cocok dengan organisasi yang mereka pimpin menurut
teori kepemimpinan yang sudah ada?
5. Bagaimana cara penerapan teori kepemimpinan yang sesuai dengan tempat, waktu dan
fenomena yang terjadi?

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepemimpinan Kharismatik pertama kali dibahas oleh Max Weber – seorang sosiolog.
Kepemimpinan Karismatik mempunyai kapasitas untuk mengubah sistem sosial yang ada
berdasarkan persepsi pengikut yang percaya pemimpin ditakdirkan mempunyai
kemampuan istimewa. Pemimpin karismatik merupakan orang yang dominan, percaya diri
tinggi, dorongan untuk memengaruhi orang lain tinggi, perasaan nilai moral, dan percaya
kebenaran akan kepercayaannya.
Kepemimpinan Abdi dikemukakan pertama kali oleh Robert K. Greenleaf.
Kepemimpinan Abdi merupakan layanan kepada orang lain, pendekatan holistic kepada
pekerjaan, mempromosikan perasaan masyarakat, serta berbagi kekuasaan dalam
keputusan. Sepuluh prinsip Kepemimpinan Abdi meliputi: mendengarkan (listening),
empati (empaty), penyembuhan (healing), kesadaran (awareness), persuasi (persuasion),
konsepsualisasi (conceptualization), mlihat ke masa depan (foresight), mengurusi
(stewardship), komitmen kepada pertumbuhan orang (commitment to the growth of people),
dan masyarakat (building community).
Selain membahas Kepemimpinan Kharismatik, Max Weber juga yang pertama kali
melakukan penelitian mengenai birokrasi dan yang memopulerkan istilah birokrasi.
Kepemimpinan Birokrasi adalah kepemimpinan yang menggunakan prinsip-prinsip
birokrasinya Max Weber dalam memengaruhi birokrat bawahannya. Prinsip-prinsip
tersebut meliputi: pembagian kerja berdasarkan spesialisasi fungsional, hierarki otoritas,
sistem peraturan, sistem prosedur yang mengatur proses melaksanakan tugas,
impersonalitas hubungan antar personal, seleksi dan promosi berdasarkan kompetensi
teknis dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Karakteristik Kepemimpinan Birokrasi
yaitu: 1) adanya pemimpin tertinggi, pemegang kekuasaan tertinggi yang menduduki
jabatan tersebut karena dipilih atau diangkat secara sah, 2) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan dalam UUD, UU, dan semua peraturan pelaksanaannya, 3)
adanya sistem pendelegasian kekuasaan dalam bentuk struktur organisasi hierarkis yang
mempunyai tugas dan fungsi tertentu, 4) setiap birokrat wajib dan disiplin melaksanakan
tugas, 5) ada sistem pengembangan karier yang didasarkan pada senioritas, kompetensi,
dan kinerja birokrat dalam hieraki.

43
Menurut Louis W. Fry, kepemimpinan spiritual meliputi nilai-nilai, sikap, dan perilaku
yang diperlukan untuk secara intrinsic memotivasi diri sendiri dan orang lain sehingga
mereka mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual melalui panggilan hidup (calling)
dan keanggotaan sistem sosial. Kualitas spiritual leadership menurut Fry terdiri atas tiga
dimensi yaitu: vision, altruistic love dan faith/hope.
Authentic Leadership (AL) atau Kepemimpinan Autentik adalah sebuah pola perilaku
pemimpin yang menggambarkan dan mempromosikan kapasitas psikologi positif dan iklim
etika positif untuk mendorong kesadaran diri yang lebih baik, sebuah gambaran
internalisasi moral, proses keseimbangan informasi, dan transparansi relasional pekerjaan
pemimpin dengan pengikutnya, serta meendorong pengembangan diri yang positif.
Pemimpin autentik adalah orang yang memiliki integritas paling tinggi dan berkomitmen
terhadap daya tahan organisasi, memahami tujuan dan tetap dalam nilai-nilai asalnya,
mampu membangun organisasi sesuai dengan kebutuhan stakeholder, serta memperhatikan
pelayanan terhadap masyarakat. Karakteristik pemimpin autentik, yaitu (1) tidak berpura-
pura saat memimpin, apa adanya, menjadi diri mereka sendiri; (2) termotivasi oleh
keyakinan pribadi daripada untuk mengejar status, honor, dan tunjangan pribadi lainnya;
(3) orisinal, tidak mencontoh siapa pun, memimpin sesuai pendiriannya; (4) aksi mereka
berdasarkan pada nilai-nilai, keyakinan, dan identitas pribadi.
Sedangkan Kepemimpinan Diri Sendiri adalah proses mempengaruhi diri sendiri untuk
memberikan arahan bagi diri sendiri (self-directing) dan memotivasi diri (self-motivating)
yang diperlukan untuk berperilaku dan bertindak dalam cara-cara yang sesuai.

44
DAFTAR PUSTAKA

Anwaruddin, A. (2006). Pengembangan Model Kepemimpinan Birokrasi di Indonesia. Ilmu


Administrasi, 3(2), 97-114.

Bonso, H., & Ahmad, B. (2021). Analisis Efektifitas Birokrasi dalam Pelayanan Publik (Studi
Kasus Pemerintah Kabupaten Biak Numfor). MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan,
Sejarah, dan Ilmu-ilmu Sosial, 5(1), 8-14.

Dr. Eko Purnomo, S. S., & Dr. Herlina JR Saragih, M. (2016). Teori Kepemimpinan dalam
Organisasi. Jakarta Selatan: Yayasan Nusantara Bangun Jaya.

Kawiana, I. G. (2019). Spiritual Leadership. Denpasar: UNHI Press.

Khurniaji, M. C. (2021). Penerapan Gaya Kepemimpinan Spiritual (Studi di Perusahaan Beezy


Board Ponorogo). Ponorogo: Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.

Maharani, Z., Djaelani, A. K., & Slamet, A. R. (n.d.). PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN
KARISMATIK, BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN TERHADAP
KINERJA PENGURUS. e – Jurnal Riset Manajemen PRODI MANAJEMEN, 80-95.

Mulyono, F. (2012). SELF LEADERSHIP: SEBUAH PENDEKATAN. Bina Ekonomi


Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar, 16(1), 35-49.

Q. Badu, S., & Djafri, N. (2017). Kepemimpinan & Perilaku Organisasi. Gorontalo: Ideas
Publishing.

Redjeki, S. (2016). Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta Selatan: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Samsu. (2014). Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jambi: Pusaka.

Suhartini, T. (2020). Implementasi Kepemimpinan Otentik dan Person-Organisation Fit serta


Hubungannya dengan Kontrak Psikologis dan Komitmen Organisasional Islami. Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia, X(2), 132-149.

Wirawan. (2013). Kepemimpinan: Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, dan Penelitian.


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

45

Anda mungkin juga menyukai