Anda di halaman 1dari 26

FILSAFAT ILMU

FILSAFAT MORAL

OLEH:
KELOMPOK VI
Febby Fauzila Putri (18205055)
Latifa Efni (18205060)
Nendy Gusrianti (18205062)
Silvia Rahayu (18205044)
Sintia Aria Yunanda (18205068)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Ali Asmar M. Pd

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG (UNP)
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkah dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dan tidak lupa pula
kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ali Asmar, M. Pd. selaku dosen mata kuliah
Filsafat Ilmu sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini berisi mengenai
”Filsafat Moral”.
Namun, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati, kami mohon para pembaca untuk berkenan
memberikan saran atau kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini. Untuk itu kami
mengucapkan terimakasih.

Padang, November 2019


Penulis,

Kelompok VI

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak perbuatan manusia terkait dengan tindakan baik dan buruk, tapi tidak
semua tindakan adalah terkait baik dan buruk dari segi etika. Menurut kerangka filsafat
moral (moral philosophies), pertimbangan etis (ethical judgment) tergantung kepada
keyakinan individu. Dalam melakukan perbuatannya, manusia bebas melakukan pilihan.
Tanpa kebebasan, tidak ada kesengajaan, tidak ada penilaian moral dari segi etika.
Sebaliknya, dalam kesengajaan, ada penilaian moral atau disebut juga penilaian etis.
Manusia dinilai oleh manusia lain melalui tindakannya Tindakan seorang manusia
sangat beragam, misalnya dapat dilihat dari cara berjalan yang indah dan anggun.
Penilaian seperti ini disebut penilaian estetis (nilai keindahan). Tindakan manusia juga
dapat dilihat berdasarkan cara makan atau berpakaian, dan ini terkait penilaian etiket
(nilai tatakrama kesopanan). Tindakan manusia juga bisa dilihat dari baik buruknya. Jika
tindakan manusia dinilai atas hal ini, dan itu dilakukan dengan sadar atas pilihan, atau
dengan perkataan lain: sengaja; maka faktor kesengajaan menjadi penentu penilaian baik-
buruk. Penilaian seperti ini disebut penilaian etis atau moral. nilaian moral atau disebut
juga penilaian etis.
Di dalam kehidupan yang begitu kompleks seiring dengan arus globalisasi yang
menerjang generasi muda seakan- akan melunturkan budaya yang ada di dalam bangsa
ini. Moralitas yang ada diluar Negeri berbeda dengan yang ada di tanah air.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengarahkan pembahasan pada makalah ini, kami mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan moral ?
2. Apa saja hakikat dari moral ?
3. Bagaimana sifat moral. Perspektif, objektivistik vs relativistik?
4. Apa yang dikatakan dengan perspektif historis ?
5. Apa saja factor yang mempengaruhi perkembangan moral ?
6. Jelaskan moral dalam pengetahuan ?

3
C. Tujuan
Adapun Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian moral.
2. Untuk mengetahui hakikat moral.
3. Untuk mengetahui sifat moral. Perspektif, objektivistik vs relativistic.
4. Untuk mengetahui perspektif historis.
5. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perkembangan moral.
6. Untuk mengetahui moral dalam pengetahuan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan,
kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral.
Helden (1977) dan Richard (1971) merumuskan pengertian moral sebagai kepekaan
dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak
hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969)
mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk,
benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga
merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter
atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Menurut K. Bertens (2011), secara etimologi kata moral sama dengan etika
meskipun kata asalnya beda. Pada tataran lain jika suatu moeal dipakai suatu sifat artinya
sama dengan etis, jika dipakai sebagai kata benda yaitu sama dengan etika. Moral yaitu
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
Bambang Daroeso(1986), merumuskan pengertian moral secara lebih komperhensif
rumusan formalnya sebagai berikut:
a. Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
b. Moral adalah ajaran tetang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu.
c. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadarran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

5
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata
moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah
sistem nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia.
Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah,
wejangan, nasihat, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-
temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu. Jika sebaliknya yang terjadi maka
pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan
dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa
kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak
bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata
Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara
lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma
tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat
sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung
pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika
menyangkut segi batiniah.
Fungsi etika adalah memberi orientasi kritis dan rasional dalammenghadapi
pluralisme moral, yang diakibatkan oleh :
a. Adanya aneka pandangan moral.
b. Adanya gelombang modernisasi.
c. Munculnya bebagai ideologi.
B. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia
1. Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia
mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang
mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena
estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik
dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan,
baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu,

6
maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan
kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana
mestinya.
Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka
muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan
pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China,
apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak
untuk disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu
hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka
pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens ada
tiga jenis makna etika, yaitu:

a. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
b. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
c. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).

Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya,


oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas
kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang
tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
2. Nilai Moral di antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika.
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks,
pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia
memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang
nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya. Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif, yaitu :
a. Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita
mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
b. Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek,
atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki

7
nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi,
2001)
3. Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi
ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia,
sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh
pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti
halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang
dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas
primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian
eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas
primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek.
Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur
benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”.
Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki
kesubstantifan.
4. Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki
polaritas dan hierarki, yaitu:

a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai
(polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
b. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.

C. Sifat Moral, Perspektif, Objektivistik vs Relativistik


Dalam kajian tentang moral terdapat perbedaan pandangan yang menyangkut
pertanyaan, apakah moral itu sifatnya objektivistik atau relativistic ? Pertanyan yang
hamper sama, apakah moral itu bersifat absolut atau relative, universal atau Konteksuatl,
kultural, situasional, dan bahkan individual ? menurut perspektif Objektivistik, baik dan
buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Uatu prilaku yang dianggap baik akan tetap

8
baik, buka kadang baik dan kadang tidak baik. Senada dengan pandangan Objektivistik
adalah pandangan abssolut yang menganggap bahwa baik dan buruk itu bersifat mutlak,
sepenuhnya, dan tanpa syarat. Menurut pandangan ini perbuatan mencuri itu sepenuhnya
tidak baik, sehingga orang tidak boleh mengatakan baha dalam keadaan terpaksa,
mencuri itu bukan perbuatan yang jelek. Demikian pula halnya dengan pandangan yang
universal, prinsip-prinsip moral itu berlaku dimana saja dan kapan saja. Prinsip-prinsip
moral itu bebas dari batasan ruang dan waktu. Sebaliknya pandangan yang menyatakan
bahwa persoalan moralitas itu sifatnya relative, baik dan buruknya suatu prilaku itu
sifatnya tergantung, dalam arti konteksnya, kulturnya, situasinya, atau bahkan tergantung
pada masing-masing individu. Dari dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi
lingkungan masyarakt tertentu, belum tentu dianggap baik oleh masyarakat yang lain.
Dari dimensi waktu, apa yang dianggap baik dimasa pada masa sekarang, belum tentu
dianggap baik pada masa-masa yang lalu.
Salah satu kelemahan literatur tentang moral atau etika, terutama yang bersumber
dari literatur Barat, adalah kurang adanya klasifikasi moral, etika pada umumnya tidak
membedakan secara jelas antara kesusilaan dan kesopanan. Duapandangan yang saling
dipertentangkan itu sesungguhnya dapat diterima semua, dalam arti ada prinsip prinsip
etik atau moral yang bersifat Objektivistik universal dan ada pula prinsip-prinsip etik atau
moral yang bersifat relativistic kontekstual. Prinsip-prinsip moral yang bersifat
Objektivistik universal yang dimaksudkan adalah Prinsip-prinsip moral secara obyektif
dapat diterima oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun juga. Sebagai contoh adalah
sifat atau sikap kejujuran, kemanusiaan, kemerdekaan, tanggung jawab, keihlasan,
ketulusan, persaudaraan, keadilan dan lain-lain. Sedangkan prinsip-prinsip moral yang
bersifat relativistic-kontekstual sifatnya “tergantung”, “sesuai dengan konteks”, misalnya
tergantung pada konteks kebudayaan atau kultur, sehingga bersifat kultural. Demikian
seterusnya, sifat relativistic-kontekstual itu pengertiannya bisa berarti nasional, komunal,
tradisional, situasional, kondisional, atau bahkan individual. Sebagai contoh adalah sikap
kebangsaan, adab “ketimuran”, etika atau sopan santun orang Jawa atau Minangkabau,
serta berbagai etika terapan.
Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang macam-macam norma, dikenal adanya
empat macam norma, yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan

9
norma hukum. Norma kesusilaan itu lebih bersumber pada prinsip-prinsip etis dan moral
yang bersifat Objektivistik-universal. Sedangkan norma kesopanan itu bersumber pada
prinsip-prinsip etis dan moral yang bersifat relativistik-kontekstual. Sejalan dengan hal
ini, Widjaja (1985: 154)mengemukakan bahwa persoalan moral dihubungkan dengan etik
membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong untuk
berbuat baik, karena hati kecilnya mengatakan baik, yang dalam hal ini bersumber dari
hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain. Tata sopan santun
mendorong untuk berbuat baik, terutama bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati
nurani, untuk sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian tata
sopan santun lebih terkait dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dan
sebagainya.
D. Moralitas Objektivistik vs Relativistik : Perspektif Historis
Timbulnya perbedaan pandangan tentang sifat moral sebagaimana dikemukakan itu
tak terlepas dari sejarah perkembangan intelektual Barat yang dibagi dalam tiga periode,
yaitu zaman Abad Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern. Sejarah ide dunia Barat
dimulai sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 sM, dengan ahli pikirnya yang
sangat terkenal, yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles. Ketiga pemikir terbesar abad klasik
tersebut berpandangan bahwa prinsip-prinsip moral itu bersifat Objektivistik, naturalistik,
dan rasional (Kurtines dan Gerwitz,1992: 8). Maksudnya, meskipun bersifat obyektif
sebagaimana yang telah dikemukakan, akan tetapi moral itu merupakan bagian dari
kehidupan duniawi (natural) dan dapat dipahami melalui proses penalaran atau
penggunaan akal budi (rasional). Sokrates yang meninggal pada tahun 399 sM, meskipun
tidak meninggalkan karya tulis, ia mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat
mutlak.Untuk mempunyai pengetahuan yang obyektif tentang kebenaran itu merupakan
sesuatu yang sangat mungkin bagi manusia, melalui penalaran atau akal budi.
Plato (427-347 sM), pencipta istilah ide,mengatakan bahwa ide itu memiliki
eksistensi yang nyata dan obyektif. Pendapat ini sekaligus untuk menyanggah kaum
Sofisme yang mengatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu pengetahuan dan juga
moral yang bersifat obyektif, sedangkan dunia itu sendiri terus-menerus berubah.
Menurut Plato, pengetahuan maupun moral yang bersifat obyektif itu sangat mungkin,
meskipun tidak di dunia fisik. Ia mengemukakan adanya dunia dunia, yaitu dunia fisik

10
dan dunia ide. Dunia fisik itu terus berubah, sementara dunia ide atau dunia cita itu
adalah dunia yang abadi. Lagi pula, dunia ide itu lebih tinggi dari pada dunia fisik, sebab
dunia ide tidak rusak dan tidak berubah, tidak seperti halnya dunia fisik. Bagi realisme
Plato,dunia ide itu merupakan realitas yang sesungguhnya dan lebih nyata dibanding
dengan dunia inderawi. Untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran atau realitas
yang lain tidak mungkin dicapai melalui pengalaman indera yang sifatnya terbatas.
Hanya melalui akal budi atau penalaran, sebagai kekuatan khas yang hanya dimiliki
manusia, seseorang akan mampu memahami dunia ide itu.
Sebagaimana halnya Plato, Aristoteles (384-322 sM) adalah seorang penganut
realisme yang metafisik, namun terdapat perbedaan penting diantara keduanya. Menurut
Aristoteles, materi lebih pokok dibanding dengan bentuk. Dalam bukunya yang berjudul
The Nicomachean Ethics dikemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang ingin
kita raih dan untuk meraihnya itu melalui kegiatan-kegiatan yang kita lakukan. Lagi pula,
kebenaran itu sifatnya bertingkat-tingkat, dalam arti bahwa 11 ada jenis kebenaran yang
lebih baik dari kebenaran-kebenaran lainnya. Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan,
apakah dengan demikian tidak berarti bahwa kebenaran itu sifatnya relatif ? Pertanyaan
lain yang dikemukakan, adakah kebenaran yang ingin kita raih demi kebenaran yang
lebih tinggi ? Sekiranya ada, maka kebenaran tertinggi itulah yang merupakan kebenaran
mutlak. Untuk itu, manusia perlu mempunyai pengetahuan tentang kebenaran itu guna
menjadi acuan dalam perilaku hidupnya. Menurut Aristoteles, kebenaran yang mutlak itu
adalah kebahagiaan dan berperilaku baik. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang tuntas dan
merupakan tujuan akhir. Kita mencapai sesuatu itu demi kebahagiaan, bukan mencapai
kebahagiaan demi sesuatu yang lain. Konsepsi Aristoteles tentang moralitas tersebut
lebih duniawi, lebih empiris, atau lebih aktual dibanding konsepsi Plato. Menurut
Aristoteles, hidup secara baik merupakan aktualisasi fungsi-fungsi moral yang khas
insani. Dalam dunia intelektual, moralitas itu tampil dalam proses pencarian kebenaran.
Abad Pertengahan berlangsug selama seribu tahun, sejak runtuhnya Romawi pada
abad ke-5 hingga Renaisans di abad ke-15, sering disebut sebagai abad kepercayaan.
Sepanjang zaman itu, sejarah pemikiran Barat dipengaruhi oleh kepercayaan yang kokoh
akan kebenaran wahyu Kristiani. Dalam masa seribu tahun lamanya, persoalan-persoalan
moralitas dan bahkan realitas alam ditempatkan dalam suatu kerangka pikir yang lebih

11
didasarkan pada kepercayaan dibanding penalaran. Jawaban-jawaban atas persoalan
moral yang lebih bersumber dari kepercayaan itu dipandang sebagai jawaban yang
mutlak dan obyektif. Alam pikiran abad pertengahan dibangun atas dasar asimilasi antara
kepercayaan dan penalaran, antara doktrin Kristiani dengan doktrin-doktrin rasional dan
sekuler dari para filsuf abad klasik.
Agustinus (345-430), pemikir abad pertengahan yang karya-karyanya dipandang
memiliki otoritas yang hampir sebanding dengan kitab suci, berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan obyektif dapat dicapai melalui mistik
tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung. Pandangan-pandangan Agustinus
menjadi paradigma berfikir abad pertengahan hingga munculnya madzhab pikir
Thomisme. Thomas Aquinas (1225-1274) adalah filsuf besar kedua di abad pertengahan,
yang antara lain berpandangan bahwa manusia dan alam, moralitas dan keselamatan,
iman dan penalaran , itu semua berada dalam kesatuan Ilahi (Kurtines dan Gerwitz, 1992:
19). Secara garis besar, konsepsi moral abad pertengahan berbeda dengan konsepsi abad
klasik. Agustinus dan Thomas Aquinas mendasarkan pandangan moralnya yang bersifat
spiritualistik dan terarah pada dunia kelak. Sedangkan pandangan moral Plato dan
Aristoteles bersifat naturalistik, sekuler, rasional, dan terpusat pada dunia kini. Namun
demikian antara abad klasik dan abad pertengahan terdapat persamaan, yaitu sama-sama
berpandangan akan adanya standar moral yang obyektif. Dengan demikain perbedaannya
terletak pada persoalan epistemologi, yakni sumber pengetahuan atau cara memperoleh
pengetahuan tentang kebenaran obyektif tersebut.
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15, yang disusul dengan bangkitnya
ajaran, pandangan, dan budaya baru yang serba sekuler, yang dikenal sebagai zaman
Renaisans(dari bahasa Prancis yang berarti “kelahiran kembali”). Dalam zaman ini,
manusia seakan-akan dilahirkan kembali dari tidur yang panjang dan statis di abad
pertengahan. Zaman Renaisans ini telah menandai jatuhnya otoritas Gereja dalam bidang
spiritual dan intelektual yang telah berlangsung lima belas abad. Zaman Renaisans yang
berlangsung pada abad ke-15 dan ke-16 telah menandai peralihan abad pertengahan ke
abad modern. Dengan semangat sekuler dan corak yang sangat antroposentris, akal budi
atau rasionalitas lebih diunggulkan dari pada iman. Selanjutnya pada abad ke-18, Eropa
merupakan zaman “fajar-budi” atau zaman “pencerahan”, atau lazim disebut dalam

12
bahasa Jerman sebagai zaman Aufklarung. Zaman fajar-budi sangat optimis dengan
mengira bahwa berkat rasio, semua persoalan dapat dipecahkan. Hal ini tentu saja
berimplikasi pada persoalan moral, dimana moralitas modern kemudian lebih
mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, sebagaimana yang akan
dibicarakan kemudian.
Abad pencerahan merupakan suatu masa yang ditandai dengan berbagai kemajuan
dan perubahan yang revolusioner. Abad ini mempersembahkan lahirnya ilmu
pengetahuan modern, penemuan-penemuan baru di bidang sains yang mencapai
puncaknya di tangan Isaac Newton (1642-1727) yang termasyhur dengan hukum
gravitasi-nya. Dengan temuannya itu Newton seakan telah memecahkan rahasia alam
semesta dan sekaligus telah meruntuhkan mitos dan pandangan dunia Barat yang
dipercayai sepanjang abad pertengahan tentang alam semesta. Sedangkan sebelumnya,
Galileo Galilei(1564-1642) telah dipaksa untuk mengingkari penemuannya yang telah
menggugurkan mitos yang telah lama dipercayai bahwa bumi sebagai pusat alam
semesta.
Sains modern memiliki karakteristik yang sangat mendasar, yaitu pertama, landasan
metafisiknya bersifatnaturalistik. Berbagai fenomena yang menjadi obyek penelitian
dipandang sebagai produk dari berbagai proses kekuatan alam belaka, tidak terkait
dengan hal-hal yang bersifat spiritual maupun supra natural. Pandangan naturalistik sains
modern ini membedakannya dengan pemikiran-pemikiran abad pertengahan yang bersifat
spiritualistik. Namun pandangan naturalistik ini juga merupakan ciri utama pemikiran
abad klasik. Kedua, terkait dengan sifatnya yang naturalistik adalah sifat empiris. Teori-
teori sainstifik senantiasa bertopang pada pengalaman empiris yang didukung oleh data.
Sebagaimana ciri yang pertama, ciri kedua ini membedakannya dengan pemikiran abad
pertengahan yang mendasarkan pada kepercayaan (wahyu), namun ciri ini juga dimilki
oleh pemikiran abad klasik. Ketiga, sifat rasionalitas atau mengandalkan pada kekuatan
akal budi, yang hal ini juga menjadi ciri pemikiran abad klasik. Akan tetapi, meskipun
sama-sama bersifat rasional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara rasionalitas
abad modern dan rasionalitas abad klasik.
Bagi alam pikiran abad klasik, akal budi atau rasionalitas merupakan kekuatan
rohani manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia. Kemampuan akal budi

13
itu tidak terbatas pada pengalaman-pengalaman inderawi, melainkan juga mampu
menangkap kebenaran universal. Kebenaran rasional merupakan kebenaran yang mutlak,
obyektif, dan pasti. Hal itu berbeda dengan sains modern yang secara terang-terangan
menolak kemungkinan diperolehnya kebenaran yang obyektif dan pasti. Lagi pula,
kebenaran rasional ditempatkan di bawah kebenaran empiris. Kebenaran relatif dari
sebuah hipotesis keilmuan yang didasarkan pada kerangka teoritik dan kerangka berpikir
rasional dapat dan biasa digugurkan oleh temuan-temuan data empiris. Demikian pula
setiap teori, hukum, atau dalil-dalil keilmuan senantiasa bersifat tentatif (sementara, dapat
berubah) dan dapat dikoreksi oleh temuan-temuan baru. Jadi kebenaran empiris yang
ditempatkan di atas kebenaran rasional itupun merupakan kebenaran yang probabilistik
dan relativistik. Dengan demikian sains modern memberikan peranan yang terbatas
kepada akal budi dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang dunia. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa sains modern didasarkan pada paradigma yang bersifat
naturalistik,rasional-empiris, dan relativistik.
Paradigma sains modern tersebut berimplikasi dan berpengaruh terhadap pemikiran
moralitas, sehingga persoalan moral tidak jarang disikapi oleh pemikiran modern dengan
pendekatan naturalistik, rasional empiris, dan relativistik. Dengan pendekatan
naturalistik, persoalan moral dipandang sebagai persoalan duniawi, terkait dengan
kebutuhan hidup kini dan lain sebagainya. Dengan pendekatan rasional empiris,
persoalan moral disikapi dengan lebih mengedepankan pertimbangan rasional, untung-
rugi, dengan menunjuk berbagai kenyataan empiris, realitas sosial dan lain sebagainya.
Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, maka persoalan moralpun menjadi bersifat
relativistik. Baik dan buruk menjadi sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti
tergantung pada konteksnya, situasinya, latar belakangnya, pertimbangan yang
digunakan, bahkan tidak mengherankan jika tegantung pada masing-masing individu.
Berdasar uraian tersebut, maka kelemahan yang paling nyata dari pemikiran moralitas
modern adalah tidak adanya kepastian moral, tidak jelasnya standar moral, atau dapat
juga berupa kaburnya nilai-nilai moral.

14
E. Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral
1. Pengertian Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan
onvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral yang disebut
dengan immoral. Tetapi dalam dirinya terdapat potenssi moral yang siap untuk
dikembangkan.
Menurut Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
ia membenarkan gagasan Jean Piaget yang mengatakan bahwa pada masa remaja
sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan
moral. Adanya kesejajaran antara perkembangan kognitif dengan perkembangan
moral dapat dilihat pada masa remaja yang mencapai tahap tertinggi dari
perkembangan moral, yang kemudian ditandai dengan kemampuan remaja
menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya. Kolhberg (dalam
Santrock, 2002:370) menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Perkembangan moral (moral
development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan akan menguji
tiga bidang yang berbeda yaitu: Bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang
aturan-aturan untuk perilaku etis, Bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku
dalam keadaan bermoral, Bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu. Pendidikan
moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang
mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan
dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan.
2. Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg (dalam Ormord, 2000:371). Kohlberg mengemukakan ada
tiga tingkat perkembangan moral, yaitu tingkat prakonvensional, konvensional dan
post-konvensional. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga
keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan
urutan yang tetap.

15
a. Tingkat Penalaran Prakonvensional
Pada penalaran prakonvensional anak tidak memperhatikan internalisasi nilai-
nilai moral-penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman
eksternal. Pada tingkat ini terdapat dua tahap.
a) Tahap satu orientasi hukuman dan ketaatan (punihsment and obedience
orientation): tahap penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat
karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
b) Tahap dua individualisme dan tujuan (individualism and purpose): tahap
penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri.
Anak-anak taat bila mereka ingin dan butuh untuk taat. Apa yang benar adalah
apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
b. Tingkat Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, internalisasi indivdual ialah menengah.Seseorang menaati
standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar
orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-atuaran masyarakat.
a) Norma-norma interpersonal (interpersonal norms). Seseorang menghargai
kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan
pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral
orang tuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya
sebagai seorang “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik.”
b) Moralitas sistem sosial (social system morality). Pertimbangan-pertimbangan
didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, dan kewajiban. 
c. Tingkat Penalaran Pascakonvensional
Tingkat ini ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral kohlberg.
Pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan
pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan
suatu kode moral pribadi.
a) Hak-hak masyarakat dengan hak-hak individual (community rights and
individual rights). Seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan
adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke

16
orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat,
tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa
beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting dari pada hukum.
b) Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles). Seseorang telah
mengembangan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia
yang manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan
suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu
mungkin melibatkan resiko pribadi.
3. Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral:
a. Hubungan harmonis dalam keluarga, yang merupakan tempat penerapan  pertama
sebagai individu. Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan
dilingkungan keluarga sangat berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang  
mempunyai sanksi-sanksi buat pelanggarnya.
c. Lingkungan sosial, lingkungan sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang
bisa sebagai pendidik dan pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk
tingkah laku yang sesuai.
d. Perkembangan nalar, makin tinggi penalaran seseorang , maka makin tinggi pula
moral seseorang.        
e. Peranan media massa dan perkembangan teknologi modern.  Hal ini berpengaruh
pada moral remaja. Karena seorang remaja sangat cepat untuk terpengaruh
terhadap hal-hal yang baru yang belum diketahuinya.
F. Moral dalam Ilmu Pengetahuan
  Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri Jujun S,
2000:229).

17
  Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah
kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan
manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu
bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi
semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan
kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu
semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus
menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S. Suriasumantri dalam Ihsan Fuad, 2010:273).
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih
merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan
ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi
mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual
maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan
teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri
Jujun S,2000:234).
Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dan berkah
kepada kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri.
Sesuatu yang kadang-kadang ironis harus dibayar mahal oleh manusia karena kehilangan
sebagian arti dari status kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang
tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas
kemanusiaan dan kebahagiaannya (Jujun S. Suriasumantri,1999 dalam  Ihsan
Fuad,2010:273).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai

18
baik itu secara ontologis maupun aksiologis.  Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan   pemilihan obyek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi
dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari
bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000:235).
Jadi secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap
penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi
diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam
membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan
ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi
membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut
metode ilmiah.
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah
keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika
ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang
dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya “Momok
kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai
manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori
dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai
sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi,
menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak
asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia
modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu,
terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan
keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap

19
demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan
pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama,
manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari
legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C
1993).
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan
penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem
komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang
berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja
karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di
masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu
dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar
produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun
S, 2000:237).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal itu
berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung jawab atas
sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut dengan masa
lampau dan juga masa depan (Ihsan Fuad,2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa
yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan teknologi
kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Dengan
kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari  (Suriasumantri
Jujun S,2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar segala
sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur
tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus tertuju kepada
keseimbangan dalam alam dan terhadap keteraturan sosial. Gangguan terhadap
keseimbangan alam misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem

20
pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu sebenarnya bukan
hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia sendiri (Ihsan
Fuad, 2010: 282).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur
namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti.
Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran
yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243).
Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia, kiranya baik juga diketengahkan
dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu
adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan masyarakat selalu menurut
kodrat Ilahi. Setiap keteraturan adalah keteraturan ilahi dan alam (karena mempunyai
keteraturan) bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai hasil pengaturan Ilahi (Ihsan
Fuad, 2010: 285).
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat
obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan.
Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian.
Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus bersikap
sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan (Suriasumantri Jujun S, 2000:
244).
Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara
intelektual maupun secara moral , maka salah satu penyangga masyarakat modern akan
berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan.   Tanggung jawab juga menyangkut  penerapan nilai-nilai
etis setepat-tepatnya bagi ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya penemuan sikap etis
yang tepat, sesuai dengan ajaran tentang manusia dalam perkembangan ilmu.
Sedangkan Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah.
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis

21
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya.
Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu
pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus
berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu
ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran
ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka
suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini
disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk
ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur
ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran
proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil,
mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh
ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling
efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau
teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian
mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-
pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh
pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap
bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi
secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi
atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa
epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik
eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi
senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat
penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau
gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun
menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh

22
pandangan epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya.
Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan
keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang
yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang
berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu
kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat
dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut
pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur
semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi
dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu
mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—
dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu
negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi.
Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan
teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal
dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam
menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya
yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika
dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi
menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih
adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan
yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa
yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya
seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami
kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju
keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-

23
faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang
berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan
pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains).
Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an
apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses
dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan
epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan
ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan
mutlak perlu dikuasai.
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah
keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika
ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang
dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya “Momok
kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai
manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori
dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai
sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi,
menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak
asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia
modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu,
terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan
keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap
demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan
pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama,
manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari
legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C
1993).

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan,
kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral.
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia
sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan
memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada
meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik
yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan
moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan,
dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman  pada ajaran agama
dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak.
B. Saran
Sebagai pembelajar bukan hanya mentransper ilmu tapi juga mendidik pemelajar
agar memiliki moral dan tanggung jawab dalam bersikap maupun bertindak. Supaya
pembelajar dapat menjadi contoh bagi pemelajar dengan menunjukkan moral yang baik
sesuai ajaran agama dan ideologi,  bertanggung jawab terhadap ilmu yang disampaikan
serta  memberi manfaat bagi pemelajar maupun masyarakat.

25
DAFTAR PUSTAKA

Daradjat. Z. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Hurlock, Elisabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan. Terjemahan oleh Istiwidayanti, dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Kohlberg (dalam Ormord, 2000:371)dalam Eva Yuliawati MAKALAH PERKEMBANGAN


MORAL.htm

Lawrence Kohlberg. http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=718. 9April 2013.

Prawironegoro Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan, Jakarta : Nusantara Consulting,

Sudarsono.2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta,

Sunarto, Hartono Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara.

Suriasumantri Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.

  

26

Anda mungkin juga menyukai