Disusun Oleh :
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunianya penulis dapat
Penulis sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................................9
Daftar Pustaka...................................................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memandang perbuatan dan mengatakan bahwa seseorang seolah
mengukur suatu perbuatan itu sesuai dengan norma atau prinsip moral. Jika
perbuatan itu sesuai dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil, jujur
dan sebagainnya, akan tetapi jika tidak sesuai kita menyebutkan buruk, tidak adil,
tidak jujur dan sebagainya. Disamping itu ada cara penilaian etis lain lagi yang tidak
begitu memandang perbuatan, melainkan sebenarnya keadaan pelaku itu sendiri.
Selain itu juga dapat menunjukan sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang itu
atau yang dimilikinya sehingga kalau kita berbicara tentang bobot moral orang itu
sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannnya.
Sedangkan kajian mengenai etika pada awal sejarah filsafat Yunani Sokrates,
Plato, dan Aristoteles telah meletakan dasar bagi etika dikembangan terus dalam
bentuk murni di zaman modern.1 Adapun dalam Ilmu pengetahuan berupaya
mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, etika dan moral pada dasarnya adalah
petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Ilmu pengetahuan
merupakan seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang
ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha
berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan
adalah produk dari epistemologi yang dewasa ini ilmu sudah berada diambang
kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu
1
K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm.
1
211.
1
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak
saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif atau pandangan yang berbeda.2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana hakikat etika dan moral
2. Bagaimana hakikat moral dengan ilmu pengetahuan
C. Tujuan
Sebagaimana rumusan masalah diatas bahwa tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui :
1. Hakikat etika dan moral
2. Hakikat etika dan moral dengan ilmu pengetahuan
2
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
3
BAB II
PEMBAHASAN
3
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 39.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa, 2008,
4
hlm. 278.
5
sama dengan norma (dari sifat Latin moralis), artinya suatu perbuatan atau baik
buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata
mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya tata cara atau adat
istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral artinya sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian
moral yang dari segi substantif materialnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk
formalnya berbeda. Widjaja menyatakan, bahwa moral adalah ajaran baik dan
buruk tentang perbuatan dan kelakuan.5 Al-Ghazali mengemukakan pengertian
akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap
kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya. Sementara Wila Huky dalam Bambang Daroeso, merumuskan
pengertian moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya sebagai berikut:
1. Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral itu ajaran laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama
tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.6
Agar diperoleh pemahaman yang jelas, perlu diberikan ulasan bahwa substansi
materi dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan
tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbada. Batasan pertama dan kedua
hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah
laku. Adapun batasan moral belum terwujud tingkah laku, melainkan masih
merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami
sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral. Adapun batasan ketiga, moral
dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian,
5
Widjaja, AW. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta: Era Swasta, 1985,
hlm. 97.
6
6
Daroeso, Bambang. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka Ilmu,
7
semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering
dimaksudkan masih sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan
tetapi lebih konkret dari itu, moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku,
perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam
bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau
cara berpikir.
8
7
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 73.
9
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen”
kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab nilai dan norma
yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang
yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.8
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan norma
nilai. Kemudian yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu tidak berdiri
sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung
dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama
dalam nilai moral yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral
menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut pandang etis.
Dibidang ilmu dan moral tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang
dikembangkan. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar,
bukan untuk merusak umat manusia. Moral hanya merupakan sebagian dari
kebudayaan, bahwa kebudayaan itu berkembang karena pengetahuan manusia dan
pengetahuan itu sendiri berkembang karena kebudayaan manusia.9
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara
filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan
tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal ini dengan
ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk
sastra, dan lain sebagainya. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan
kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk meningkatkan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
Perkembangan ilmu tidak pernah lepas dari ketersinggunganya dengan
berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu sangat dipengaruhi oleh kebaikan
atau keburukan moral para penggunannya “aksiologi”. Peledakan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan suatu contoh
penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya.
8
JujunS. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2009, hlm. 57.
10
9
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi,
11
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk
menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-
nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu sering
kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu,
sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum
mati oleh penguasa pada saat itu, seperti Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss
dan Galileo Galilei.10
Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo de Groot (Grotius)
orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang berasal dari
pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut : Pertama, pada
dasarnya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia,
Kedua, manusia mempunyai “appetitus societies” yang dimaknai hasrat
kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia
mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain, golongan, dan
masyarakat.11 Ada empat macam hidup dalam masyarakat menurut teori hukum
kodrat ; Abstinentia alieni (hindarkan diri dri milik orang lain), Ablagatio
implendorum promissorum (penuhilah janji), Dammi culpa dati reparation
(bayarlah kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri) dan, Poenae inter humanies
meratum (berilah hukum yang setimpal).
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang suatu konsep negara hukum yang
semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan
pada tiga tolok ukur atau unsur utama dalam teori hukum, yaitu :
1. Supremasi hukum atau supremacy of low.
2. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.
3. Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based
on individual rights.12
Menurut Aristoteles, negara hukum itu berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu
10
Mukhtar Latif, “Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu” Jakarta: Prenada Media Group,
2014, hlm. 92.
12
11
Alma Manuputy, et.al., Hukum Internasional :Makassar, 2008, hlm. 2.
12
Didi Nazmi Yunus, Konsepsi Negara Hukum. Padang : Angkasa Raya, 1992, hlm. 54.
13
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang
baik. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia yang
sebenarnya melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan.
Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan
perlindungan hukum harus senantiasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah berangkat dari hak-
hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak ekonomi pencipta
terhadap karya yang telah diciptakannya.
Sejalan dengan itu dalam konsep walfer state atau lazim disebut sebagai
negara sejahtera yang menjungjung kebebasan individu merupakan gagasan ideal
bagaimana suatu negara melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk melayani
warga negara menuju tatanan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini
hukum harus dilihat sebagai lembaga yang berfungsi memenuhi kebutuhan sosial
dan dapat dijalankan pada penerapannya di dalam masyarakat, jadi hukum bukan
sekedar “law in a books” melainkan juga “law in action.”
Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah dijabarkan dan
diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan sistem kenegaraan. Terlebih
ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, semua
orang bebas mengembangkan atau menikmati teknologi dengan tanpa
memeprhatikan etika moral keilmuan, dan hanya mengedepankan aspek atau
financial, atau untuk kepentingan pribadi saja. Jadi, etika moral harus mengikat para
pihak, baik ilmuwan, pemakai atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia
industri yang menghasilkan produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat
penting, karena ilmu pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan
manusia, bukan justru untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban,
dan kehidupan manusi
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dalam
ilmu pengetahuan merupakan komponen dalam kajian disiplin pengetahuan yang
integral- holistik dan antar variabel etika-moral-ilmu pengetahuan memiliki peran dan
batasan- batasan fungsi sentral kontrol yang saling mendukung dan disisi lain sebagai
barometer layaknya etika memiliki pandangan etis, moral memilkiki pandangan baik-
buruk, dan ilmu pengetahuan subjektif-objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1993. Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
, 2001. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daroeso, Bambang, 1986, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.
Semarang : Aneka Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Pusat Bahasa.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Prenada
Media Group.
Manuputy, et.al. Alma. 2008. Hukum Internasional, Makassar.
Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
, 2009, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian, Yogyakarta: Andi.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Widjaja, AW. 1985, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila.
Jakarta: Era Swasta.
Yunus, Didi Nazmi. 1992. Konsepsi Negara Hukum. Padang : Angkasa Raya.
15
16