Anda di halaman 1dari 48

PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK

USIA DINI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas ujian akhir semester yang diberikan
oleh:

Dr. nining Sriningsih, M.Pd.

Oleh:
Ani Kartini Sumarni

NIM

1202782

JURUSAN PEDAGOGIK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2012
KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas ini. Dengan judul; Pendekatan Pembelajaran di Lembaga

Pendidikan Anak Usia Dini ini dilatarbelakangi oleh kritikan dari Direktur

PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Dr Gutama

yang mengungkapkan bahwa “Sekitar 60% dari 55.000 lembaga Pendidikan Anak

Usia Dini (PAUD) formal atau nonformal di Indonesia, belum memahami metode

pembelajaran yang seharusnya diterapkan. Sementara sisanya belum matang

dalam pemahaman metode” (Suara Merdeka, 2007). masih rendahnya pemahaman

pendekatan serta metode yang akan diberikan pada anak usia dini ini menjadi

permulaan bagi penulis. Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya; keluarga, kerabat serta

teman-teman semuanya. Semoga Allah membalas setiap jasa yang telah diberikan

pada penulis

Penulisan ini terbagi ke dalam empat bab. Bab I mengemukakan

permasalahan yang diangkat dalam penulisan. Bab II berisi pembahasan. Bab III

simpulan dan saran. Bab IV Daftar pustaka. Penulis berharap semoga Penulisan

ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Januari 2013

Ani Kartini Sumarni

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...........................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
D. Metode Penulisan..........................................................................................3
E. Sistematika Penulisan...................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).....................................4
1. Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)...........................................4
2. Tujuan PAUD............................................................................................5
3. Fungsi PAUD.............................................................................................8
4. Jenis Pelayanan Program PAUD...............................................................8
5. Sistem Penyelenggaraan PAUD..............................................................10
6. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini............................................10
7. Komponen Kurikulum PAUD.................................................................12
B. Pengertian Pendekatan, Metode dan Perbedaannya....................................14
1. Pendekatan...............................................................................................14
2. Metode.....................................................................................................14
3. Perbedaan................................................................................................15
C. Pendekatan-pendekatan Lembaga PAUD...................................................15
1. Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP)....................15
2. Pendekatan Waldorf.................................................................................18
3. Pendekatan Akademik dan Non Akademik.............................................22
4. Pendekatan Bermain................................................................................31
D. Metode-metode Pembelajaran Pada Usia Dini...........................................39
1. Metode Cerita..........................................................................................39
2. Metode Demonstrasi................................................................................40
3. Metode Karyawisata................................................................................41

ii
4. Metode bermain.......................................................................................42
BAB III PENUTUPAN..........................................................................................44
A. Kesimpulan.................................................................................................44
B. Saran-saran..................................................................................................45
BAB IV DAFTAR PUSTAKA..............................................................................46

iii
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan
bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun
2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14).
Anak usia dini adalah “anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun.
Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan
karakter dan kepribadian anak” (Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia
di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia
dini disebut sebagai usia emas (golden age).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai “suatu wadah untuk
menyiapkan generasi sejak dini”. Namun dalam pelaksanaannya PAUD di
Indonesia terkesan ekslusif dan baru menjangkau sebagian kecil masyarakat
(Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 33). Istilah PAUD sendiri
belum banyak dipahami masyarakat luas dan selama ini pemahaman umum
tentang PAUD masih terbatas, terutama mengenai tentang pendekatan
pembelajaran di lembaga PAUD itu sendiri.
Menurut W. Gumo (dalam Siregar, 2010: 75), Pendekatan pembelajaran
adalah “suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa berinteraksi
dengan lingkungannya”.
Bahkan menurut Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Luar
Sekolah (PLS) Depdiknas, Dr Gutama mengatakan “Sekitar 60% dari 55.000
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) nonformal di Indonesia, belum
memahami metode pembelajaran yang seharusnya diterapkan. Sementara
sisanya belum matang dalam pemahaman metode” (Suara Merdeka, 2007).
Bagaimana bisa memahami metode! Kalau pendekatan lembaganya saja

1
masih belum mengerti. Ini menjadi sebuah PR bagi kita semua sebagai
mahasiswa sekaligus calon/guru PAUD yang mesti bisa diselesaikan terutama
dalam pembenahan faham yang telah menjadi daging bagi lembaga yang
tidak mempunyai visi kejelasan.
Berdasarkan sebab-sebab yang sudah ditulis di atas, Pembahasan
penulis ini akan mencoba mengungkap secara deskriptif dengan pendekatan
studi literatur tentang pendekatan pembelajaran di lembaga PAUD, sehingga
bisa diterapkan pada lembaga PAUD yang ada di Indonesia. Penulis
mengambil judul penelitian sebagai berikut; “PENDEKATAN
PEMBELAJARAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa konsep dasar pendidikan anak usia dini?
2. Apa pengertian pendekatan pembelajaran?
3. Apa saja pendekatan lembaga pada anak usia dini?
4. Apa saja metode-metode pembelajaran yang dapat digunakan di lembaga
PAUD?
Sedangkan, ruang lingkup pembatasan masalah dari penulisan ini
adalah;
1. Materi pendekatan belajar dibatasi pada materi DAP, akademik dan non
akademik, serta bermain.
2. Penerapan pendekatan belajar di lembaga pada pendidikan anak usia dini

C. Tujuan Penulisan
Dengan melihat permasalahan yang ada, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan anak usia dini.
2. Untuk mengetahui perbedaan pendekatan dan metode.
3. Untuk mengetahui berbagai pendekatan lembaga pada anak usia dini.
4. Untuk mengetahui metode-metode pembelajaran yang dapat digunakan
di lembaga PAUD.

2
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan pendekatan studi literatur. Nazir (1999:52) mendefinisikan bahwa:
Metode deskriptif merupakan perencanaan fakta dengan interpretasi
yang tepat. Sementara secara harfiah metode deskriptif merupakan metode
penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian sehingga
metode ini berkehendak mengadakan akumulasi dasar belaka.

Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan, pendekatan studi


literatur. Pendekatan ini merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
cara mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan, buku-
buku dan jasa informasi yang disediakan (Sofian Effendi, 1989: 70).

E. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini agar lebih diketahui pokok-pokok isinya, maka
perlu dikemukakan dengan jelas susunan sistematika pembahasannya.
Adapun sistematika pembahasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang merupakan gambaran secara umum, meliputi latar


belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Kajian teori yang meliputi: Konsep dasar pendidikan anak usia dini
(PAUD) (definisi, tujuan, fungsi, jenis pelayannan program, sistem,
prinsip-prinsip, dan komponen kurikulum), pengertian dan perbedaan
(pendekatan serta metode), pendekatan-pendekatan lembaga PAUD
(pendekatan DAP, waldorf, akademik dan non akademik serta
bermain), dan metode-metode pembelajaran pada usia dini (metode
cerita, demonstrasi, karyawisata, dan metode bermain).

BAB III : Berisi kesimpulan dan saran-saran yang disampaikan oleh penulis
sebagai hasil penulisan

BAB IV : Berisi daftar pustaka (mencantumkan sumber-sumber penulisan)

3
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

1. Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)


Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab 1, pasal 1, butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak
Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan ruhani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut”.

Sedangkan pada pasal 28 ayat 2 tentang pendidikan anak usia dini


dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum
jenjang pendidikan dasar, dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal (Direktorat Pendidikan Anak Usia
Dini, 2004: 33).

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk


penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar
kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan, daya pikir,
daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial (Hasan,
2009). Senada dengan hal tersebut, menurut Santrock (2007) bahwa
“Pendidikan Anak Usia Dini tidak hanya melibatkan perkembangan fisik,
kognitif, dan sosial anak saja. Namun pembelajaran juga diorganisasikan
sesuai dengan minat-minat dan gaya belajar anak.

Sedangkan menurut Direktorat PAUD (2004) Pendidikan anak usia


dini merupakan suatu wadah untuk menyiapkan generasi sejak dini. Dan
memiliki program yang khas.

4
Dari beberapa pendefinisian PAUD diatas, maka bisa disimpulkan
bahwa: “PAUD merupakan suatu wadah untuk meletakkan dasar kearah
pertumbuhan, perkembangan fisik, kecerdasan, sosial, spiritual serta
pembelajaran yang menyenangkan sesuai dengan minat-minat dan gaya
belajar anak”.

2. Tujuan PAUD
Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau
rencana yang telah ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat
berfungsi sebagai standar untuk mengakhiri usaha serta mengarahkan
usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai
tujuantujuan lain. Di samping itu tujuan dapat membatasi ruang usaha
agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan dapat
memberi penilaian pada usaha-usahanya.

Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses, maka proses


tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu
tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah
suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi
manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan
mewarnai pola kepribadian mannusia, sehingga menggejala dalam
perilaku lahiriyahnya.

Dengan kata lain perilaku lahiriyah adalah cermin yang


memproyeksi nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia
sebagai produk dari proses kependidikan (Arifin, 1991: 109).

Tujuan adalah sesuatu yang akan dituju atau akan dicapai dengan
suatu kegiatan atau usaha. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka
menjadi suatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha dalam
kaitannya dengan pendidikan.tujuan pendidikan adalah batas akhir yang
dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai
melalui usaha. Pendapat lain mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelah mengalami

5
proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana
individu itu hidup (Mansur, 2005: 329-330).

Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional perlu adanya


peningkatan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pendidikan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan meningkatkan kualitas
manusia menjadi masyarakat yang maju, adil, makmur, dan sejahtera.

"Mengingat sangat pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa dan


Negara, maka hampir seluruh warga di dunia ini menangani secara
langsung masalah kebijakan. Dalam hal ini masalah kebijakan
masingmasing Negara menentukan sendiri dasar dan tujuan pendidikan
dinegaranya". Dari pendapat Amir Dien Kusuma tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam menentukan suatu dasar dan tujuan pendidikan
harus disesuaikan dengan cita-cita dan pandangan hidup suatu bangsa
(Kusuma, 1973: 45).

Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia adalah sesuai


dengan Undang-Undang Republic Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang System Pendidikan Nasional pada BAB II pasal 2 dan 3
menyebutkan bahwa:

Pasal 2: "Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Pasal 3: "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan


kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab" (Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003, 2003: 7).

6
Menurut penjelasan pasal di atas maka dasar pelaksanaan
pendidikan anak usia dini atau pendidikan prasekolah yang mengacu
kepada pendidikan nasional ialah berdasarkan pada pancasila dan
undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan
umum dari lembaga pendidikan anak usia dini yaitu untuk menghasilkan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti yang luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras,
tangguh, bertanggung jawab, mendiri, cerdas dan terampil, serta sehat
jasmani dan rohani.

Sedangkan menurut Patmonodewo (2000: 58) tujuan khusus dari


pendidikan anak usia dini adalah:

a. Memberi kesempatan kepada anak untuk memenuhi kebutuhan-


kebutuhan fisik maupun psikologinya dan mengembangkan
potensipotensi yang ada padanya secara optimal sebagai individu yang
unik.
b. Memberi bimbingan yang seksama agar anak memiliki sifat dan
kebiasaan yang baik, sehingga mereka dapat diterima oleh
masyarakatnya.
c. Mencapai kematangan mental dan fisik yang dibutuhkan agar dapat
melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Searah dengan tujuan tersebut, lembaga pendidikan anak usia dini


dimaksudkan sebagai suatu tempat bagi anak untuk mendapatkan
kesempatan bimbingan yang terarah bagi perkembangan proses sosial
bagi anak melalui cara yang sesuai dengan sifat-sifat alami yang
dimilikinya.

Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan di lembaga


pendidikan anak usia dini harus sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai sehingga dapat terwujud dengan baik.

Selanjutnya tujuan pendidikan harus pula mendidik dan


menumbuhkan serta mengembangkan jiwa pancasila dalam kehidupan
anak didik baik di rumah maupun di sekolah sehingga benar-benar akan

7
terciptalah manusia Indonesia yang sesuai dengan yang diinginkan oleh
dasar dan tujuan Negara (Daradjat, 1975: 28).

3. Fungsi PAUD
Menurut Suparyanto (2012) Fungsi pendidikan anak usia dini
secara umum adalah:

a. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak


b. Mengenalkan anak pada dunia sekitar
c. Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik
d. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
e. Mengembangkan keterampilan, kreativitas, dan kemampuan yang
dimiliki anak
f. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan selanjutnya.

4. Jenis Pelayanan Program PAUD


Dibanding dengan perkembangan model dan jenis PAUD di
berbagai negara maju dan berkembang lainnya, PAUD di Indonesia
memiliki keunikan khusus yang agak berbeda dengan di luar negeri.
Karena di luar negeri PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2
(dua) macam yaitu Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedang
di Indonesia menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 32-
34) PAUD terbagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu; formal dan non formal.

a. Jalur Formal
Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk Taman
Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang
sederajat.
1) Taman Kanak-kanak (TK)
Menurut PP No.27/1990, mengemukakan bahwa “TK
adalah pendidikan prasekolah yang ditujukan bagi anak usia 4-6
tahun sebelum memasuki pendidikan dasar”. Sedangkan menurut
Kepmendikbud No. 0486/U/1992, BAB II pasal 3 ayat 1
(Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 32)
mengemukakan bahwa “tujuan penyelenggaraan TK adalah
meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, perilaku,

8
pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak didik untuk
pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya”.
Tugas TK yaitu: a) menyelenggarakan kegiatan belajar
untuk kelompok A (4-5 tahun) dan kelompok B (5-6 tahun)
sesuai dengan kurikulum yang berlaku, b) memberikan
bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak yang mengalami
kesulitan dan bagi orang tua yang memerlukan, c) upaya
pelayanan gizi dan kesehatan melalui makan bersama dalam
setiap kegiatan belajarnya.
Pembinaan pendidikan TK dilakukan oleh Depdiknas dan
lembaga lain yang terkait
2) Raudatul Athfal (RA)
RA dengan TK tidak jauh berbeda, bahkan banyak memiliki
kesamaan. Letak perbedaannya hanya pada nuansa
keagamaannya lebih kental dan menjiwai keseluruhan.
Ada pun mengenai tujuan dan sasaran/tugas dari RA pun
sama dengan TK. Namun yang berbeda adalah Pembina dari RA
yaitu Depag beserta jajarannya (Direktorat Pendidikan Anak Usia
Dini, 2004: 33).

b. Jalur Non Formal


1) Taman Penitipan Anak
Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 34)
Taman Penitipan Anak adalah wahana kesejahteraan sosial yang
berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk waktu tertentu bagi
anak yang orangtuanya berhalangan (bekerja, mencari nafkah,
atau halangan lain) sehingga tidak berkesempatan memeberikan
pelayanan kebutuhan kepada anaknya melalui penyelenggaraan
sosialisasi dan pendidikan prasekolah bagi anak usia 3 bulan
hingga memasuki pendidikan dasar.
2) Kelompok Bermain
Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 34)
Kelompok bermain adalah salah satu bentuk layanan pendidikan
bagi anak usia dini khususnya usia 3 tahun sampai dengan
memasuki pendidikan dasar. Sasaran kelompok bermain

9
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok; a) usia 3-4 tahun,
b) 4-5 tahun, dan c) 5-6 tahun.
3) Bentuk Lain yang Sejenisnya
a) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
b) Bina Keluarga Balita (BKB)

5. Sistem Penyelenggaraan PAUD


Penyelenggaraan PAUD di negara lain semata-mata hanya
menstimulasi kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan
terhadap anak, karena aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya
meliputi kecerdasan intelektual, emosional, estetika, dan sosial serta
pengasuhan. Sedang di Indonesia potensi kecerdasan tersebut diberikan
juga pendidikan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual
yang dilaksanakan melalui pendekatan olah pikir, olah rasa, dan olah
raga. Di samping itu, juga diberikan pengetahuan dan pembinaan
terhadap kondisi kesehatan dan gizi peserta didik. Oleh karena itu,
penyelenggaraan PAUD di Indonesia disebut penyelenggaran PAUD
secara “Holistik dan Integratif”

6. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini


Menurut Suparyanto (2012) dalam melaksanakan pendidikan anak
usia dini, hendaknya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Berorientasi pada kebutuhan anak

Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa


berorientasi pada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang
sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai
optimalisasi disemua aspek perkembangan baik fisik, intelektual,
bahasa, motorik, dan sosioemosional. Berorientasi pada kebutuhan
anak membuat pendidikan begitu menyenangkan. Anak akan
menjadikan belajar sebagai kebutuhan pokoknya.

b. Belajar melalui bermain

10
Bermain merupakan sarana belajar anak usia dini. Mulai
bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan,
memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di
sekitarnya. Dengan bermain anak berusaha memahami karakter
teman-temannya, termasuk karakteristik orang dewasa disekitarnya.
Bermain dan permainan bagi anak menjadi semacam air kehidupan
yang begitu penting bagi kehidupan anak.

c. Lingkungan yang kondusif

Steiner (Trostli, 1998) mengungkapkan bahwa “mulailah


dengan lingkungan yang mencangkup tata letak dan rancangan ruang
kelas serta daerah luar kelas yang digunakan oleh anak-anak”.
Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan
menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan
yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. Pasalnya
lingkungan yang kondusif akan memelihara rasa anak-anak tentang
keindahan dan susunan (Johnson, 2011: 359).

d. Menggunakan pembelajaran terpadu

Pembelajaran terpadu bisa dikatakan sama dengan


pembelajaran yang sesuai dengaan potensi dan bakat anak. Oleh
karenanya, pendidikan dengan model pengelompokkan anak-anak
yang dianggap pandai dalam ruangan tertentu membuat anak tidak
bisa berkembang maksimal, khususnya pada aspek sosial emosional.

e. Mengembangkan berbagai kecakapan hidup

Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan


melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak
belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri, bertanggung jawab,

11
serta memiliki disiplin diri. Mengembangkan berbagai kecakan
hidup juga akan mengajak anak untuk senantiasa kreatif dalam setiap
langkah yang dipilih atau masalah yang menghadang.

f. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar

Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari


lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan
oleh pendidik atau guru. Renik-renik disekitar kita bisa dijadikan
bahan ajar yang begitu mempesona anak-anak didik. Hal ini karena
renik-renik tersebut juga dekat dengan dunia anak, sehingga anak
akan menikmati sumber belajar itu.

g. Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang

Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara


bertahap dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak.
Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya disajikan secara
berulang. Kebertahapan dalam pendidikan membuat anak bisa
menangkap makna atas apa yang diberikan. Pengulangan yang
dilakukan membuat anak kianmelakukan kristalisasi atas pelajaran
dan transfer ilmu serta nilai yang dilakukan.

7. Komponen Kurikulum PAUD


Untuk dapat memberikan pendidikan yang dapat dipertanggung
jawabkan, maka setiap sekolah perlu mempunyai sebuah rencana
pendidikan yang sistematis, yaitu disebut kurikulum. Dalam kurikulum
ini tercantum segala sesuatu yang dilakukan untuk memdidik anak dan
yang berhubungan erat dengan pendidikan tersebut. Misalnya: tujuan
pendidikan, mata pelajaran atau kegiatan di sekolah, bahan pelajaran dan
rinciannya untuk setiap tingkatan, cara pelaksanaannya dan sebagainya.
Ada beberapa batasan kurikulum yang sesuai dengan kurikulum
pendidikan PAUD. Kurikulum adalah, seluruh usaha atau kegiatan
sekolah untuk merangsang anak supaya belajar, baik di dalam maupun di

12
luar kelas. Anak tidak terbatas belajar dari apa yang diberikan disekolah
saja.
Seluruh pengembangan aspek seseorang dijangkau dalam
kurikulum ini, baik aspek fisik, intelektual, sosial maupun emosional
(Patmonodewo, 2000: 56).
Ada pun mengenai komponen kurikulum menurut Suparyanto
(2012) antara lain yaitu:
1) Anak
Sasaran layanan pendidikan anak usia dini adalah anak yang
berada pada rentang usia 0-6 tahun. Pengelompokkan anak tersebut
didasarkan pada usia sebagai berikut: 1) 0-1 tahun, 2) 1-2 tahun, 3)
2-3 tahun, 4) 3-4 tahun, 5) 4-5 tahun, dan 6) 5-6 tahun.

2) Pendidik
Kompetensi pendidik anak usia dini memiliki kualifikasi
akademik sekurang-kurangnya Diploma Empat atau Sarjana
dibidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau
psikologi, dan memiliki sertifikasi profesi guru PAUD, atau
sekurang-kurangnya telah mendapat pelatihan pendidikan anak usia
dini

3) Pembelajaran

Pembelajaran dilakukan melalui kegiatan bermain yang


dipersiapkan oleh pendidik dengan menyiapkan materi (content) dan
proses belajar. Materi belajar bagi anak usia dini dibagi dalam dua
kelompok usia. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut.

Materi usia lahir sampai usia 3 tahun meliputi hal-hal berikut:

1) Pengenalan diri sendiri


2) Pengenalan perasaan
3) Pengenalan tentang orang lain
4) Pengenalan berbagai gerak
5) Mengembangkan komunikasi
6) Keterampilan berpikir

Materi untuk anak usia 3-6 tahun meliputi hal-hal berikut :

13
1) Keaksaraan, yang mencakup peningkatan kosakata dan bahasa,
serta percakapan
2) Konsep matematika yang mencakup pengenalan angka-angka,
pola-pola dan hubungan.
3) Pengetahuan alam yang lebih menekankan pada objek fisik,
kehidupan bumi, dan lingkungan.
4) Pengetahuan sosial yang mencakup hidup orang banyak,
bekerja, berinteraksi dengan orang lain.
5) Seni yang mencakup menari, music, bermain peran,
menggambar, dan melukis.
6) Teknologi yang mencakup alat-alat dan penggunaan teknologi
yang digunakan dirumah atau sekolah

B. Pengertian Pendekatan, Metode dan Perbedaannya


1. Pendekatan
Menurut W. Gumo (dalam Siregar, 2010: 77), Pendekatan
pembelajaran adalah “suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa
berinteraksi dengan lingkungannya”. Sedangkan menurut Pengertian
Ujang Sukandi (2003:39) adalah cara umum dalam memandang
permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kacamata merah, semua
tampak kemerah-merahan.

2. Metode
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan
hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”.
Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui
untuk mencapai suatu tujuan (Arifin, 2000: 61). Menurut Nata (1999: 91)
“metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun
data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.”
Ada pun Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas,
2002: 740), metode, berarti: “Cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki., cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”
Dan Langgulung (1962: 183) berpendapat bahwa “metode
sebenarnya berarti jalan (ţariqah) untuk mencapai tujuan”. Senada

14
dengan Siregar (2010: 80) metode adalah suatu cara yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan pengertian yang
terakhir ini, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah
dan mengembangkan suatu gagasan yang sudah di tetapkan.
Sedangkan mengenai metode mengajar, Ramayulis (2005: 3),
mengartikan bahwa metode mengajar sebagai cara yang dipergunakan
oleh guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat
berlangsungnya proses pembelajaran.

3. Perbedaan
Berdasarkan beberapa pendefinisian diatas, mengenai pendekatan
serta metode. maka jelas sekali bahwa pendekatan ini sangat berbeda
dengan metode.
Pendekatan lebih menekankan pada cara pandang, rancangan yang
akan menciptakan metode. Sedangkan, metode adalah hasil dari cara
pandang terhadap masalah.

C. Pendekatan-pendekatan Lembaga PAUD


1. Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP)
Menurut Marjorie J. Kostelnik (2004: 15) DAP atau dalam
terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan
menyenangkan sesuai dengan tahap perkembangan anak, mencerminkan
proses pembelajaran yang bersifat interaktif.
Dan menurut Marjorie J. Kostelnik (2004: 15) juga, ada Tiga (3)
dimensi dalam konsep DAP antara lain, yaitu: Pertama; patut menurut
umur, maksudnya sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak.
Kedua; patut secara individual, maksudnya sesuai dengan pertumbuhan
dan karakteristik anak, kelebihannya, ketertarikannya, dan pengalaman-
pengalamannya. Ketiga; patut menurut lingkungan sosial dan budaya,
maksudnya sesuai dengan pengalaman belajar yang bermakna relevan
dan sesuai dengan kondisi sosial serta budaya.
Ada pun dalam pencarian sumber pendekatan DAP selanjutnya,
penulis ambil dari buku “Pendidikan usia dini dengan berbagai
pendekatan” penulis Jaipaul L. Roopnarine dan James E. Johnson (2011:

15
372-373). Mereka mengungkapkan bahwa, pendekatan DAP antara lain
yaitu:
a. Menciptakan Masyarakat Pembelajar yang Mengasihi
1) Lingkungan berfungsi sebagai masyarakat pembelajar
2) Hubungan konsisten dan positif dengan orang dewasa dan anak-
anak memajukan perkembangan yang sehat
3) Hubungan sosial adalah konteks penting bagi pembelajar
4) Lingkungan yang aman dan bebas tekanan meningkatkan
masyarakat.
5) Anak berkembang dengan organisasi dan rutinitas

b. Mengajar untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran


1) Guru menghornati dan menghargai anak-anak
2) Prioritas guru adalah agar anak dan responsive.
3) Guru membantu perkembangan perkembangan kerja sama
dengan teman sebaya.
4) Guru menggunakan berbagai macam strategi pengajaran
5) Guru membantu perkembangan tanggung jawab dan pengaturan
diri.

c. Membuat Kurikulum yang Tepat


1) Kurikulum memberi ruang bagi semua bidang perkembangan.
2) Kurikulum meliputi berbagai macam muatan dalam semua
disiplin ilmu.
3) Kurikulum mengembangkan apa yang sudah diketahui dan sudah
bisa dilakukan oleh anak-anak.
4) Kurikulum menggabungkan semua mata pelajaran secara
singkat.
5) Kurikulum meningkatkan perkembangan pengetahuan,
pemahaman, proses, dan keterampilan.
6) Muatan kurikulum memiliki kesatuan intelektual
7) Kurikulum memberi kesempatan untuk mendukung budaya dan
bahasa rumah anak-anak.
8) Tujuan kurikulum nyata dan bisa dicapai
9) Tekhnologi ditanamkan secara fisik dan filosofis, jika digunakan.

d. Menilai Pembelajaran dan Perkembangan Anak-anak


1) Penilaian sifatnya berkelanjutan, strategis, dan bertujuan.
2) Isi penilaian mencerminkan kemajuan ke arah tujuan
pembelajaran yang penting.
3) Metode penilaian sesuai dengan usia dan pengalaman anak-anak.
4) Penilaian dibuat sesuai dengan tujuan tertentu.

16
5) Keputusan tidak pernah diambil berdasarkan satu perangkat
penilaian saja
6) Penilaian perkembangan digunakan untuk mengenali kebutuhan
dan rencana dengan tepat.
7) Penilaian mengakui variasi perorangan dan membiarkan adanya
perbedaan.
e. Membangun Hubungan Timbal Balik dengan Keluarga
1) Hubungan timbal balik membutuhkan rasa saling menghormati.
2) Penting untuk menetapkan dan mempertahankan komunikasi dua
arah yang teratur dan sering.
3) Orang tua disambut baik dalam program dan ikut serta dalam
mengambil keputusan tentang anak-anak mereka.
4) Guru dan orang tua berbagi pengetahuan tentang anak.
5) Program ini melibatkan keluarga dalam penilaian dan
perencanaan bagi setiap anak.
6) Program ini menghubungkan keluarga dengan serangkaian
pelayanan.
7) Informasi perkembangan tentang anak dibagikan kepada semua
pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tersebut.

2. Pendekatan Waldorf
a. Teori Steiner tentang perkembangan anak
Bermula dari pemahaman antroposofinya yaitu sebuah gerakan
spiritual sains yang berakar pada agama Kristen. Pemahaman ini
mengenai tentang kesatuan dunia dan pencariaan diri. Dua komponen
penting ini menjadi sebuah dasar bagi pemikiran Steiner mengenai
tentang dunia pendidikan.
Menurut Wilkinson dalam Johnson (2011: 355) bahwa, Stainer
mengajukan sebuah teori perkembangan anak dengan masing-masing
siklus selama 7 tahun yang menggabungkan perkembangan fisik dan
spiritual. Pada 7 tahun pertama kehidupan, menurut stainer
perkembangan anak-anak terfokus pada raga fisik mereka. Mereka
meniru orang dewasa disekitar mereka. Siklus 7 tahun berikutnya
meliputi usia 7 tahun hingga 14 tahun dan ditandai oleh pertumbuhan
gigi permanen anak. Pada tahap perkembangan ini anak lebih
menyadari dunia sekitarnya dan siap memualai pengajaran akademik.
Siklus 7 tahun berkisar dari usia 14 hingga 21 tahun dan diawali

17
dengan permulaan masa puber. Kemudian remaja siap
menggabungkan kecerdasan mereka dengan pemikiran aplikasi yang
lebih abstrak. Teori perkembangan siklus 7 tahun ini diuraikan
Stainer hingga usia 85 tahun.
Teori perkembangan Steiner adalah keyakinannya tentang
pendidikan. Steiner mengamati bahwa persekolahan harus
menitikberatkan pada perkembangan raga, pikiran, dan jiwa anak
seluruhnya.

b. Konteks Pendidikan Waldorf


Beberapa sekolah Waldorf hanya menyediakan pendidikan
taman kanak-kanak, sedangkan sekolah lain menyediakan taman
kanak-kanak hingga sekolah dasar kelas 12 atau 13.
1) Taman Kanak-kanak Waldorf
Taman kanak-kanak di sekolah Waldorf sangat berbeda
dengan tingkat persekolahan lainnya, dan berbeda dari sebagian
besar taman kanak-kanak umumnya. Waldorf melayani anak-
anak antara usia 3 hingga 6 tahun.
Kurikulum sekolah ini berisi permainan imajinasi, dongeng,
fable, cerita rakyat, kegiatan seni tiruan, pekerjaan seperti
merajut dan memanggang roti, alat musik, tari, drama, dan
kesadaran akan alam, siklus, dan cuaca.
Taman kanak-kanak waldorf anak-anak diharapkan menjadi
anak-anak, tidak terlalu di haruskan untuk tergesa-gesa menjadi
anak yang terbaik pada waktunya.
2) Sekolah Dasar Waldorf
Pada usia 7 tahun anak memasuki tahap perkembangan dan
persekolahan selanjutnya yang berhubungan dengan kelas dua
hingga kelas delapan. Untuk memulai belajar membaca di kelas
3 atau 4, jauh lebih lambat dibandingkan sekolah negeri pada
umunya.
Menurut teori Steiner, anak-anak pada tahap kedua ini
sudah siap mempelajari subjek akademik. Mereka memiliki dasar
yang kuat. Kesadaran mereka pada dunia luar yang terus tumbuh.

18
Bidang akademik utama yang dicakup pada titik ini umunya
adalah membaca, menulis, keterampilan bahasa, matematika,
geografi, sejarah dan sains.
Menurut Johnson (2011: 357) Jadwal harian umum di kelas
1 hingga 8 berlangsung seperti berikut. Setiap pagi, guru
memberi salam pada masing-masing siswa pada saat mereka tiba
di kelas. Kemudian seluruh kelas berkumpul bersama-sama
mengucapkan syair pagi. Ini biasanya merupakan bacaan penuh
inspirasi yang diadopsi oleh kelas selama setahun penuh.
Pelajaran pertama berlangsung selama 2 jam.
3) Pelatihan Guru Waldorf
Menurut Johnson (2011: 357) saat ini terdapat lebih dari 50
sekolah pelatihan penuh waktu di seluruh dunia, sekurangnya
delapan dari sekolah itu berada di Amerika Serikat.
Ini membuktikan bahwa pemahaman Steiner bisa di terima
sepenuhnya oleh para pendidik. Pelatihan guru Waldorf berfokus
pada perkuliahan dan tulisan Steiner. Setelah seorang guru
melakukan pelatihan tersebut, seorang guru bisa dengan lebih
baik mengenali kebutuhan anak-anak secara individual.
c. Karakteristik Program
1) Menciptakan Masyarakat Pembelajar yang Peduli.
Pentingnya lingkungan fisik, pengelompokkan usia,
kegiatan yang terencana, jadwal dan hubungan sosial. Semua
elemen-elemen ini sangat penting sebagai dasar menciptakan
masyarakat yang terpelajar serta peduli terhadap lingkungan
disekitarnya.
2) Kepekaan Anak-anak pada Lingkungan.
Trostli (1998) mengungkapkan bahwa Lingkungan anak
usia dini waldorf memelihara rasa anak-anak tentang keindahan
dan susunan (Johnson, 2011: 359).
Lingkungan adalah tempat yang penting untuk memulai.
Estetika ruangan memegang peranan penting dalam perasaan
umum mengenai ruang pembelajaran. Sehingga dari penciptaan
lingkungan yang telah ditata tersebut akan berimbas pada
kepekaan anak-anak terhadap lingkungannya sendiri dan orang
lain.

19
3) Pentingnya Imitasi dan Permainan.
Steiner menekankan terhadap dua aspek penting yaitu;
imitasi dan permainan. Anak-anak memiliki pembawaan ingin
tahu tentang pekerjaan orang dewasa dan secara naluriah meniru
apa yang mereka lihat untuk memperdalam pemahaman mereka
sendiri.
Sedangkan permainan merupakan metode penting lainnya
dimana didalamnya anak-anak mengembangkan rasa
kemasyarakatan. Anak-anak bisa belajar menyelesaikan konflik,
dan melakukan berbagai metode komunikasi.

4) Manfaat Pengelompokkan Campur Usia.


Manfaat pengelompokkan ini antara lain; a) sebagai contoh
teladan bagi anak yang lebih muda, b) anak yang lebih tua
belajar menghormati kepada anak yang lebih muda usianya, c)
anak yang lebih tua memperoleh sikap mengasihi dan tanggung
jawab serta meningkatkan kognitif sosial.
5) Menetapkan Ritme dan Rutinitas.
Waldorf juga berperan untuk membantu meningkatkan rasa
kemasyarakatan. Guru berusaha sendiri menetapkan rutinitas
yang berulang setiap hari, setiap minggu, setiap musim, dan
setiap tahun.
Ada ritme setiap hari yang melibatkan keseimbangan waktu yang
dihabiskan untuk “menarik napas” dan “menghembuskan napas.”
Waktu-waktu ini menawarkaan pengalaman bagi anak-anak
dengan saat-saat pengungkapan.

d. Mengajar untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran


1) Penghormatan, Antusiasme, dan Perlindungan
2) Menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan responsif
3) Hubungan Anak-anak dengan pengalaman
4) Belajar dengan melakukan
5) Tanggung jawab dan regulasi diri

e. Kurikulum yang Tepat


1) Memelihara Anak Secara Keseluruhan “Kepala, Hati, dan
Tangan”.
2) Mendorong Perkembangan Holistik.
3) Menggabungkan Berbagai Jenis Disiplin Ilmu.

20
4) Mempertahankan Keteguhan Kecerdasan.
5) Merangkul Perbedaan

f. Menilai pembelajaran anak-anak


g. Membangun hubungan dengan keluarga

3. Pendekatan Akademik dan Non Akademik


a. Akademik
Para penganut pendekatan pendidikan TK akademik memiliki
prinsip bahwa belajar dengan lebih cepat berarti lebih baik. Jadi,
kalau anak bisa menguasai materi pelajaran secara lebih awal dan
lebih cepat dari yang lain, berarti anak itu telah belajar dengan lebih
baik. Sesuai prinsip di atas, pendidikan TK berorientasi akademik
terfokus pada upaya mengarahkan anak untuk bisa menguasai
sejumlah materi pengetahuan, keterampilan, atau hafalan tertentu
dengan singkat. Para pendidik yang menganut pendekatan ini
berupaya mengembangkan cara-cara belajar cepat agar hasil belajar
anak dapat segera diketahui.
Greenberg (1990) memandang bahwa pendekatan pendidikan
TK berorientasi akademik ini banyak dilandasi oleh paham
behavioristik yang sangat menekankan unsur mastery dan testing.
Penggunaan unsur reinforcement yang positif terhadap keberhasilan
anak dalam menyelesaikan tugas juga merupakan hal yang penting
dalam pembentukan perilaku anak.
1) Model Kurikulum
Para penganut pendekatan ini berpendapat bahwa cara
pembelajaran yang baik dilakukan melalui beberapa mata
pelajaran terpisah yang disajikan dalam periode-periode pendek.
Dengan demikian, anak dapat belajar lebih cepat sehingga bisa
memenuhi keperluan-keperluan belajar lebih lanjut secara lebih
awal. Ini berarti bahwa pendekatan ini meminimalkan arti
pentingnya usia dan tahap perkembangan anak.
Bahan pembelajaran disusun secara berstruktur dan
sistematis dari elemen-elemen kecil yang sederhana hingga
elemen-elemen yang lebih besar dan lebih rumit. Ciri lain dari

21
kurikulum pendekatan ini adalah penekanan pada keterampilan-
keterampilan yang berupa penguasaan simbol-simbol yang
mempresentasikan sesuatu (huruf atau angka) dan bukannya
menguji dan mengeksplorasi hal tersebut secara langsung.
Kurikulum atau program pembelajaran pada pendekatan
akademik sudah disiapkan dengan matang “dari luar kelas”.
Maksudnya dengan merujuk pada standar-standar program dan
buku-buku teks yang dijadikan acuan, guru sudah menyiapkan
program pembelajaran secara sistematis dan matang sebelum
masuk kelas sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung
ia kurang atau bahkan tidak mengakomodasi hal-hal yang secara
kontekstual terjadi. Akibatnya variasi individual siswa (minat
dan bakat) kurang begitu diperhatikan dan di akomodasi dalam
kegiatan pembelajaran di kelas.
Greenberg (1990) menjelaskan bahwa dalam pendekatan ini
juga mencakup kegiatan bermain, tetapi itu dilakukan secara
singkat dan diposisikan sebagai kegiatan rekreasi pada waktu
istirahat. Kegiatan-kegiatan proyek dan beberapa kegiatan seni
juga dijadwalkan tetapi diberiak sebatas sebagai program
“pengayaan” atau sebagai aktivitas sekunder, bukan sebagai
kurikulum inti. Kurikulum inti merupakan suatu rangkaian
pengetahuan dan keterampilan yang sudah dipilah-pilah yang
disampaikan pada anak dalam langkah-langkah pelajaran yang
sangat berstruktur.
2) Cara Pembelajaran
Model kurikulum yang berstruktur dan sistematis banyak
dilakukan melalui “direct instruction”, dalam arti, guru
mengajarkan materi-materi pengetahuan dan keterampilan yang
sudah disiapkan dan murid memperhatikan penjelasan guru dan
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Akibatnya,
murid hanya memiliki sedikit pilihan. Prakarsa-prakarsa murid
yang sifatnya spontan hanya terjadi pada saat bermain bebas
ketika istirahat. Sebaliknya, kepatuhan anak untuk mengikuti

22
prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang sudah
direncanakan oleh guru sangat dihargai.
Pola pembelajaran demikian membuat anak lebih banyak
duduk mencurahkan perhatian kepada guru yang sedang
“mengajar” atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
diberikan oleh guru. Tugas-tugas yang diberikan anak sering
berupa pekerjaan yang melibatkan penggunaan kertas, pensil.
Aktivitas menghafal dan mengingat fakta juga begitu dominan
dalam pendekatan ini. Dengan demikian anak kurang memiliki
kesempatan belajar untuk melalaui percakapan informasi di
kelas. Kesempatan anak untuk belajar menemukan juga sangat
minim, yakni hanya menemukan jawaban-jawaban benar dari
beberapa kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.
Anak juga kurang mengalami tantangan intelektual karena
latihan pemecahan masalah dilakukan terbatas pada masalah-
masalah yang sudah distruktur dan disediakan dalam paket-paket
lembaran kerja, seperti menghubungkan gambar dengan
memecahkan untuk murid dengan cara menceritakan aturan-
aturan yang harus dipatuhi oleh murid, dan bukannya anak yang
diberi kesempatan untuk menguji dan menemukan alternatif-
alternatif dari persoalan prilaku tersebut.
Guru lazimnya sangat sibuk mengejar target kurikulum atau
program pembelajaran. Akibatnya, aktivitas bermain anak dan
penggunaan metode proyek menjadi sangat minim. Kalaupun
dilakukan, lebih sebagai “ganjaran” bagi anak yang sudah belajar
dan itu dilakukan pada waktu istirahat; begitu juga kegiatan
proyek dilakukan sebagai kegiatan pengayaan menjelang libur
dan bukan sebagai kegiatan pembelajatan inti.
3) Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan akademik, peran guru sangat dominan.
Guru adalah perencana kegiatan kelas tanpa melibatkan unsur
murid. Ia adalah pengelola ruang, waktu, serta alat dan media
pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya. Ia
merupakan sumber informasi serta penentu standar perilaku

23
didalam kelas yang harus di turuti oleh anak. Singkatnya, guru
adalah penguasa kelas yang cenderung menerapkan manajemen
kelas yang otoriter ,anak berperan sebagai penerima pelajaran,
mereka menjadi pihak penerima fakta yang kemudian
menghafalkannya. Mereka tidak diarahkan untuk melakukan
aktivitas pembuktian apakah fakta-fakta tersebut benar atau
tidak. Kemudian mereka menjadi objek penilaian guru atas hasil
karya atau perilaku yang mereka lakukan.
4) Cara Evaluasi
Evaluasi difokuskan pada prestasi anak dalam penyelesaian
tugas-tugas akademik, karena sangat menekankan unsur
penguasan pengetahuan, penggunaan tes menjadi sangat
dominan. Evaluasi di lakukan oleh guru sehingga hampir tak ada
peluang bagi anak untuk menilai kemajuan belajarnya sendiri.
Anak secara pasif menunggu evaluasi dan penghargaan dari
guru, dan mereka mendapatkan penguatan positif untuk
keberhasilan penguasaan materi atau perilaku yang diajarkan
oleh guru.

5) Keuntungan dan Kelemahan


Keuntungan dari pendidikan berorientasi akademik adalah
agar anak dapat lebih cepat menghafal informasi atau fakta dan
menguasai ketrampilan yang diajarkan. Dengan pendekatan ini
guru lebih mudah dalam merancang dan mengelola kegiatan
belajar mengajar karena tidak perlu bersusah payah mengikuti
dan mengakomodasi variasi individu anak.
Adapun kelemahannya, pertama adalah kurangnya
keterlibatan aktif anak dalam proses belajar. Kedua,
pengembangan kreativitas anak juga menjadi kurang. Ketiga,
proses dan hasil belajar kurang bermakna bagi anak. Keempat,
proses belajar yang kurang bermakna ini dapat memunculkan
sikap dan perilaku belajar yang negatif pada anak, anak menjadi
bosan dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka menganggap
kalau belajar adalah beban dan tugas dari guru dan orang tua,

24
bukannya sebagai bagian dari kebutuhan dan kegiatannya sehari-
hari. Kelima, penekanan pada aspek akademik dari pendekatan
ini membuat aspek-aspek perkembangan anak lainnya menjadi
kurang perkembangan secara proporsional.

b. Non Akademik
Pendekatan non akademik berangkat dari pandangan bahwa
anak pada dasarnya merupakan pembelajar aktif (an active learner).
Anak mampu membangun pengetahuan dan pemahamannya tentang
lingkungan melalui pengalaman-pengalaman interaksional.
Pengetahuan dan pemahaman itu bukan merupakan sesuatu yang
diberikan oleh orang lain kepada anak, melainkan merupakan
sesuatu yang di konstruksi oleh anak. Jadi, berbeda dengan para
penganut pendekatan akademik, para pendukung pendekatan non
akademik tidak meyakini adanya suatu batang tubuh pengetahuan
yang sudah permanen (fixed) yang harus dikuasai oleh anak.
Pengetahuan itu justru merupakan sesuatu yang dibangun dan
diciptakan oleh anak. Dalam kategori yang luas, menurut Greenberg
(1990), dewasa ini pendekatan non akademik dikenal sebagai
pendidikan yang berorientasi perkembangan (Developmentally
Appropriate Practice). Bila ditelusuri lebih jauh, pendekatan ini
banyak diilhami oleh pemikiran dari tokoh-tokoh seperi John Dewey,
Arnold Gesell, Jean Piaget, dan Davil Elkind.
1) Model Kurikulum
Kurikulum pendidikan TK non akademik adalah kurikulum
terintegrasi. Melalui kurikulum terintegrasi, subjek-subjek
bidang pengetahuan dan keterangan tidak dipelajari secara
terpisah-pisah, melainkan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang
terpandu secara informal dalam kegiatan-kegiatan belajar anak.
Anak memiliki kesempatan untuk berprakarsa dan melakukan
pilihan sehingga apa yang dikaji dalam kegiatan pembelajaran
sudah merepresentasikan minat-minat dan pilihan-pilihan anak
tersebut. Secara singkat, modul kurikulum dalam pendekatan non
akademik berpegang pada prinsip-prinsip berikut.

25
a) Memungkinkan anak untuk belajar tentang lingkungan
melalui eksplorasi dan interaksi baik dengan guru, teman,
anggota keluarga, maupun dengan orang lain.
b) Berangkat dari minat dan pilihan anak tentang topic-topik
yang ingin dipelajari. Dalam hal ini, guru memiliki semacam
standar yang dijadikan rambu-rambu secara garis besar,
namun dalam implementasinya memperhatikan dan
merespon apa yang terjadi secara kontektual dikelas.
c) Memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk
belajar dalam suasana bermain yang menyenangkan agar
anak mendapatkan makna dari pengalaman sendiri.
d) Proses belajar mengajar bersifat integrative dan sedapat
mungkin tidak mengikuti langkah-langkah pembelajaran
yang kaku.

2) Cara Pembelajaran
Dalam pendekatan non akademik proses pembelajaran
sangat menekankan melalui pengalaman langsung (hands on
experience). Anak diberi kesempatan untuk memecahkan
masalah-masalah yang ditemukannya, bukan masalah-masalah
yang tidak terkait dengan konteks kehidupannya. Ia diberi
kesempatan untuk bereksperimen, bereksplorasi, dan
menemukan sesuatu dari pengalamannya melalui pengalaman-
pengalaman semacam itu, anak membangun pemahaman dan
menciptakan konsep-konsep sesuai dengan rentang
perkembangan intelektualnya masing-masing.
Untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna,
minat dan prakasa anak sangat diperhatikan dalam pendekatan
non akademik. Guru memiliki perencanaan pembelajaran, namun
perencanaan tersebut dipersiapkan dengan mengakomodasi
minat-minat dan pilihan anak. Bahkan hal-hal yang secara
spontan terjadi dalam kegiatan anak diperhatikan dan sedapat
mungkin diakomodasi dalam proses pembelajaran. Unsur
inisiatif dalam kreatifitas anak benar-benar diperhatikan dan
dihargai dalam pendekatan ini. Dan karena perhatiannya yang

26
begitu besar terhadap unsur variasi individual anak, proses
pembelajaran menjadi relative fleksibel.
Pengalaman-pengalaman interaksional anak dengan orang
lain juga diperkaya dalam pendekatan ini. Guru membacakan
cerita-cerita ke anak dan bercakap-cakap dengan mereka. Anak
pun memiliki kesempatan untuk bercerita kepada teman dan
gurunya serta menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan
teman dan gurunya tentang cerita yang disampaikan. Mereka
memiliki kesempatan yang luas untuk berdiskusi dan belajar
bersama satu sama lain. Pengertian belajar bersama ini bukan
sekedar anak sama-sama belajar pada tempat yang sama, tetapi
mereka benar-benar mengalami sesuatu secara bekerja sama satu
sama lain.
Untuk mengimplementasikan cara-cara belajar di atas,
proses pembelajaran melalui aktivitas bermain dan proyek atau
tema-tema yang menarik bagi anak menjadi sangat dominan
dalam pendekatan ini. Bermain merupakan sarana inti
pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan melalui berbagai
kegiatan yang secara interinstik menarik dan menggairahkan
anak. Begitu pula, kegiatan-kegiatan proyek bukan sekedar
dilakukan sebagai program pengayaan, tetapi justru dijadikan
sebagai cara utama dalam mengorganisasikan kegiatan
pembelajaran.
3) Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan non akademik, guru dan anak sama-
sama berperan aktif. Sementara guru berperan sebagai fasilitator
kegiatan belajar anak, anak berperan sebagai pembelajaran aktif.
Mereka sama-sama aktif dalam perencanaan, proses, dan bahkan
dalam evaluasi pembelajaran.
Sebagai fasilitator kegiatan belajar anak, guru
mempersiapkan kegiatan pembelajaran. Dan dalam
mempersiapkan kegiatan pembelajaran, guru mempelajari
pengetahuan-pengetahuan teoritis atau konvensional yang sudah
ada, namun juga mengakomodasi minat-minat dan pilihan-

27
pilihan anak. Guru menstimulasi dan memotivasi anak untuk
belajar, memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan
berbagai kemampuan, membantu anak dikala kesulitan,serta
menyiapkan lingkungan belajar yang kaya bagi anak. Guru juga
mengevaluasi proses dan hasil belajar anak dengan melibatkan
anak dalam proses evaluasi tersebut.
Dipihak lain, anak berperan sangat aktif dalam
pembelajaran. Anak terlibat dalam proses perencanaan dan
memiliki kesempatan yang luas untuk berprakarsa. Pada saat
proses perencanaan, anak memiliki kesempatan untuk
memuncukan ide-ide serta turut mendiskusikan tema- tema atau
kegiatan-kegiatan proyek yang akan diprogramkan selama priode
tertentu (misalnya, kuartal atau semester). Begitu pula dalam
proses pembelajaran, murid memiliki kesempatan memprakasai,
mencoba, mengeksplorasi, dan menemukan sesuatu. Anak
berkesempatan untuk belajar individual, bersama teman, dan
bersama guru atau orang dewasa lainnya.anak tidak secara ketat
diarahkan untuk mempelajari meteri pengetahuan dan
keterampilan yang sudah berstruktur, melaikan mendapatkan
kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pengalamannya
melalui pengalaman-pengalaman langsung. Akhirnya dalam
proses evaluasi pun, anak berkesempatan untuk terlibat dalam
menganalisis dan menilai keberhasilan belajarnya sehingga tidak
semata-mata menunggu atau mengandalkan penilaian dari guru.
4) Cara Evaluasi
Dalam pendekatan non akademik, penggunaan intrinsic
reward lebih ditekankan dari pada ektrinsic reward. Jadi, bukan
unsur penghargaan eksternal yang diutamakan untuk memotivasi
murid, melainkan unsur penghargaan internal, yakni kepuasan
anak akan keberhasilan belajar dan prestasinya. Dengan
demikian, penilaian lebih terfokus kepada hal-hal positif yang
diraih anak sehingga ia bangga dengan prestasinya dan menjadi
senang untuk terus berkarya.

28
Penilaian tidak semata-mata dimaksudkan untuk
menentukan taraf keberhasilan belajar anak, tetapi juga
dipandang sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam
pendekatan ini, penggunaan tes cenderung dihindari karena lebih
terfokus ke penilaian yang bersifat autentik (authentic
assesment). Maksudnya, penilaian diupayakan terjadi dalam
situasi dan konteks yang lebih alami sehingga apa yang
ditampilkan anak betul-betul menggambarkan kondisi yang
sebenarnya (authentic). Dengan demikian, penggunaan
observasi, catatan anekdot, dan portofolio merupakan teknik-
teknik utama dalam penilaian. Penilaian juga tidak semata-mata
didasarkan pada informasi yang dimiliki guru, tetapi juga
didasarkan pada masukan-masukan dari orang tua dan sumber-
sumber lainnya.
5) Keuntungan dan Kelemahan
Terdapat beberapa keuntungan dari pendekatan ini. Pertama,
inisiatif anak untuk malakukan kegiatan belajar dapat
berkembang dengan baik. Kedua, anak dapat secara aktif
mengembangkan kreativitas dan membangun pengetaguan.
Ketiga, proses pembelajaran dilakukan secara lebih alamiah
(natural) dan menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan
motivasi dan sikap positifterhadap kegiatan belajar. Keempat,
dalam jangka panjang pendekatan ini dipandang sangat
mendukung perkembangan anak untuk menjadi pembelajar
sepanjang hayat (a life long learner).
Meskipun banyak keuntungannya, pendekatan ini masih
dianggap memiliki beberapa kelemahan oleh sebagian orang. Hal
yang sering dipandang sebagai kelemahan dari pendekatan ini
dalam waktu singkat. Dengan kata lain, penggnaan waktu sering
dianggap kurang efisien. Sebagian orang cenderung beranggapan
bahwa penerapan pendekatan ini memerlukan perlengkapan yang
lebih banyak sehingga memerlukan dana yang lebih pula. Dalam
aspek pengembangan kurikulum, sebagian orang juga sering

29
merasa kesulitan karena harus mengikuti kejadian dan
perkembangan di kelas.

4. Pendekatan Bermain
Bermain merupakan suatu fenomena yang sangat menarik
perhatian para pendidik, psikolog ahli filsafat dan banyak orang lagi
sejak beberapa dekade yang lalu. Mereka tertantang untuk lebih
memahami arti bermain dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Bermain
benar-benar merupakan pengertian yang sulit dipahami karena muncul
dalam beraneka ragam bentuk. Bermain itu sendiri bukan hanya tampak
pada tingkah laku anak tetapi pada usia dewasa bahkan bukan hanya pada
manusia (Spondek dalam Soemiarti, 2005: 102)

a. Hakikat Bermain
Menurut Mayesty (1990: 196-197) Bermain adalah kegiatan
yang anak-anak lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain
adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak usia dini tidak
membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak pada
umumnya sangat menikmati permainan dan akan terus melakukannya
dimanapun mereka memiliki kesempatan.
Piaget dalam mayesty (1990: 42) mengungkapkan bahwa
bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan
menimbulkan kesenangan/kepuasan bagi diri seseorang sedangkan
Parten dalam Dockett dan Fleer (2004: 14) memandang kegiatan
bermain sebagai sarana sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat
memberi kesempatan anak bereksplorasi, menemukan,
mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secar
menyenangkan (Sujiono, 2009: 144-145).
Emmy Budiati (2008) Bermain merupakan kebutuhan bagi anak,
karena melalui bermain anak akan merasa senang, dan bermain
adalah suatu kebutuhan yang sudah ada (inhern) dalam diri anak.
Dengan demikian anak dapat mempelajari berbagai keterampilan
dengan senang hati, tanpa merasa dipaksa atau pun terpaksa ketika

30
kegiatan bermain. Bermain mempunyai banyak manfaat dalam
mengembangkan ketrampilan dan kecerdasan anak agar lebih siap
menuju pendidikan selanjutnya. Kecerdasan anak tidak hanya
ditentukan oleh skor tunggal yang diungkap melalui tes intelegensi
saja akan tetapi anak juga memiliki sejumlah kecerdasan jamak yang
berwujud keterampilan dan kemampuan.
Contohnya ketika menolong teman tidak saling berebut dan
bertengkar kesediaan berbagi dan kedisiplinan, berani mengambil
keputusan dan bertanggung jawab.
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, frobel menganggap jika
bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya,
bermain sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan dan
kemampuan tertentu pada anak. Bermain juga berfungsi sebagai
sarana refresing untuk memulihkan tenaga seseorang setelah lelah
bekerja dan dihinggapi rasa jenuh (Noorlaila, 2010: 35-37).
Jadi jika sejak awal perkembangannya anak dikondisikan pada
bidang yang diminatinya maka anak akan semakin meningkat
pengetahuannya akan bidang yang ditekuni kelak.

b. Tujuan Bermain pada Anak Usia Dini


Pada dasarnya bermain memiliki tujuan utama, menurut Catron
dan Allen (1999: 163) mengungkapkan bahwa memelihara
perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui
pendekatan bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan
lingkungan bermain anak.
Elkonin dalam Catron dan Allen (1999:163) salah seorang murid
dari Vygodsky menggambarkan empat prinsip bermain yaitu:
1) Dalam bermain anak mengembangkan sistem untuk memahami
apa yang sedang terjadi dalam rangka mengetahui tujuan yang
kompleks.
2) Kemampuan untuk menempatkan perspektif orang lain melalui
aturan-aturan dan menegosiasikan aturan bermain.
3) Anak menggunakan suatu replika untuk menggantikan prodak
nyata lalu mereka menggantikan suatu prodak yang berbeda,
kemampuan menggunakan simbul termasuk kedalam
perkembangan berfikir abstrak dan imajinatif.

31
4) Kehati-hatian dalam bermain mungkin terjadi karena anak perlu
mengikuti aturan permainan yang telah di tentukan bersama
teman lainnya.
Untuk mendukung hal tersebut seorang anak mampu melakukan
pembelajaran yang situasinya merupakan khayalan anak tersebut atau
yang bisa di sebut dengan bermain sosiodrama bermain pura-pura
atau bermain drama.
Beberapa tujuan dari bermain dan permainan anak sebagai
berikut:
1) Menanamkan kebiasaan disiplin dan tanggung jawab dalam
kehidupan sehari- hari.
2) Melatih sikap ramah dan suka bekerja sama dengan teman,
menujukkan kepedulian.
3) Menanamkan budi pekerti yang baik.
4) Melatih anak untuk berani dan menantang ingin mempunya rasa
ingin tahu yang besar.
5) Melatih anak untuk menyayangi dan mencintai lingkungan dan
ciptaan Tuhan.
6) Melatih anak untuk mencari berbagai konsb moral yang
mendasar seperti salah, benar, jujur, adil dan fair.

c. Fungsi Bermain
Pada awal abad yang lalu, Sigmund Freud sudah
mengemukakan bahwa kegiatan bermain memungkinkan tersalurnya
dorongan-dorongan instingtual anak dalam meringankan anak pada
beban mental. Kegiatan bermain merupakan sarana yang aman yang
dapat digunakan untuk mengulang-ulang pelaksanan dorongan-
dorongan itu dan juga reaksi-reaksi mental yang mendasarinya.
Wolfgang (dalam Sujiono, 2009: 45-47) berpendapat bahwa
terdapat sejumlah nilai-nilai dalam bermain (the value of play) yaitu
bermain dapat mengembangkan keterampilan sosial, emosional,
kognitif dalam pembelajaran terdapat berbagai kegiatan yang
memiliki dampak dalam perkembangan anak, sehingga dapat di
identifikasikan bahwa fungsi bermain antara lain:
1) Berfungsi untuk mencerdaskan otot pikiran.
2) Berfungsi untuk mengasah panca indra.
3) Berfungsi sebagai media terapi.
4) Berfungsi untuk memacu kreatifitas.

32
5) Berfungsi untuk melatih intelektual.
6) Berfungsi utuk menemukan sesuatu yang baru.
7) Berfungsi untuk melatih empati.

d. Perkembangan fase bermain


Beberapa hal untuk mengetahui tentang proses perkembangan
anak adalah proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang
berlangsung secara teratur, saling terkait dan berkesinambungan.
Secara umum karakteristik perkembangan anak adalah:
Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara bersamaan dan
berkorelasi. Sebagai contoh: pertumbuhan anak serat syaraf otak dan
akan disertai oleh perubahan fungsi dari suatu perkembangan
intelegensianya.Pembangunan ini memiliki pola yang teratur dan
urutan. Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal akan
menentukan tahap berikutnya dari pertumbuhan dan perkembangan.
Sebagai contoh: sebelum anak bisa berjalan, ia harus mampu bangun
pertama (Noorlaila, 2010: 42).
Dalam bermaian, anak belajar untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan orang yang ada di sekitarnya. Dari interaksi dengan
lingkungan dan orang di sekitarnya maka kemampuan untuk ber
sosialisasi anak pun akan semakin bertambah dan berkembang.pada
usia 2 hingaga 5 tahun, anak memiliki perkembangan bermain
dengan teman bermainnya.
Berikut ini ada enam tahapan perkembangan bermain pada
anak menurut Parten dan Rogersdalam Dockettdan Fleer (1992:62)
yang menjelaskan:
1) Unoccupied atau tidak menetap.
Anak hanya melihat anak yang lain lagi bermain akan tetapi
anak tidak ikut bermain. Anak pada tahap ini hanya mengamati
sekeliling dan berjalan jalan, tetapi tidak terjadi interaksi dengan
anak yang lagi bermain.
2) Unlooker atau penonton
Pada tahap ini anak belum mau terlibat untuk bermain
akan tetapi anak sudah memolai untuk mendekaat dan bertanya

33
pada teman yang sedanh bermain dan anak sudah mulai muncul
ketertarikan untuk bermain setelah mengamati anak mampu
mengubah caranya untuk bermaian..
3) Solitary independent play atau bermain sendiri.
Tahap ini anak sudah mulai untuk bermain ,akan tetapi
seorang anak bermain sendiri dengan mainan nya, terkadang
anak berbicara dengan teman nya yang sedang bermain, tetapi
tidah terlibat dengan permainan anak lain.
4) Parallel activiti atau kegiatan pararel.
Anak sudah mulai bermain dengan anak yang lain tetapi
belum terjadi interaksi dengan anak yang lain nya dan anak
cenderung menggunakan alat yang ada di sekelilingnya. Pada
tahap ini ,anak juga tidak mempengaruhi dalam bermain dengan
permainannya anak masih senang memanipulasi benda daripada
bermain dengan anak lain. Dalam tahap ini biasanya anak anak
memain kan alat permainan yang sama dengan anak yang lain
naya. Apa yang dilakukan anak yang stau tidak mempengaruhi
anak yang lain nya.
5) Associative play atau bermain dengan teman.
Pada tahap terjadi interaksi yang lebih komplek pada anak.
Terjadi tukar menukar mainan antara anak yang satu dengan
yang lain nya dan cara bermain anak sudah saling
mengingatkan. Meskipun anak dalam satu kelompok melakukan
kegiatan yang sama, tidak terdapat aturan yang mengikat dan
belum memiliki tujuan yang khusus atau belum terjadi dikusi
untuk mencapai satu tujuan yang sama seperti menyusun
bangunan bangunan yang bernacam-macam akan tetapi masing
masing anak dapat sewaktu-waktu meninggalkan bangunan
tersebuat dengan semaunya tidak terikat untuk merusak nya
kembali.

34
6) Cooperative or organized supplementary play atau kerja sama
dalam bermain.
Saat anak bermain bersama dan lebih terorganisir dan
masing masing menjalannkan sesuai dengan job yang sudah
mereka dapat yang saling mempengaruhi satu sama yang lain.
Anak bekerja sama dengan anak yang lain nya untuk
membangun sesuatu terjadi persaingan memmbentuk permainan
drama dan biasanya terpengaruh oleh anak yang memimpin
permainan.
Dari keenam tahap diatas tampak bahwa dalam suatu
permaian akan timbul rasa ingin tahu rasa ingin berinteraksi dan
rasa untuk ber sosialisasi dengan anak yang lain nya.
bermain juga mengalami perkembangan kemampuan yang
berbeda bagi masing masing anak yaitu sesuai dengan usia
antara lain dari umur 0-2, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5, 5-7, dan 7+.
(Noorlaila, 2010: 146)
e. Karakteristik Bermain pada Anak Usia Dini
Jeffree, McConkey dan Hewson (1984), dalam Yuliani (2009)
menyebutkan enam karakteristik kegiatan bermain pada anak, yaitu:
pertama, inisiatif untuk bermain harus muncul dari diri pemain
sendiri. Ini mengandalkan permainan yang sifatnya sukarela, bukan
paksaan. Kedua, bebas dari aturan mengikat. Terlalu banyak aturan
justru menyebabkan permainan menjadi kurang menarik minat anak.
Ketiga, bermian merepresentasikan aktifitas nyata. Sering kali anak
memerankan suatu permianan yang merupakan miniatur dari aktifitas
yang mereka lihat misalnya pergi ke pasar, menimba air dan
sejenisnya. Dan media yang digunakan pun sering kali nyata, bukan
semu, semacam air dan tanah atau debu. Keempat, permainan pada
anak fokus pada proses, bukan pada hasil. Misalnya anak bermain
seolah sedang memandikan boneka, maka permainan yang
sesungguhnya adalah ketika anak berpura-pura memandikan boneka,
bukan pada boneka yang merupakan output dari proses permainan
tersebut. Apalagi sering kali dibumbui dengan percakapan di antara

35
anak-anak yang terlibat dalam permainan tersebut. Kelima,
permainan yang sehat adalah di mana anak-anak sebagai pemain
dominan, bukan orang dewasa yang mengintervensi dan
mengendalikan permainan. Keenam, anak sebaiknya terlibat langsung
dan aktif dalam proses permainan.
Itulah karakteristik permainan yang ideal, yang dianggap
mampu memberikan implikasi positif dan manfaat bagi anak yang
terlibat di dalamnya.

f. Klasifikasi dan Jenis Bermain


Adapun jenis permainan yang dapat dikembangkan di dalam
program kegiatan bermain anak usia dini dapat digolongkan ke dalam
berbagai jenis permainan seperti dikemukakan oleh Jefree,
Mc.Conkey, dan Hewson (1984) ialah permainan eksploratif
(exploratory play), permainan dinamis (energenic play), permainan
dengan keterampilan (skillful play), permainan sosial (sosial play),
permainan imajinatif (imaginative play) dan permainan teka-teki
(puzzle-out play). Keenam penggolongan tersebut pada dasarnya
saling terintegrasi satu dengan lainnya sehingga dalam penerapannya
mungkin saja salah satu permainan dapat mengembangkan jenis
permainan yang lainnya. Justru keterpaduan diantaranya akan
menjadi daya tarik tersendiri bagi anak saat melakukan permainan
tersebut (Sujiono, 2009: 146).
Selain permainan diatas, untuk lebih memfokuskan pada
permainan kreatif yang dikembangkan maka Lopes (dalam Sujiono,
2009: 147), mengungkapkan bahwa permainan kreatif dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Kreasi terhadap objek (object creation) berupa kegiatan bermain
dimana anak melakukan kreasi tertentu terhadap suatu objek.
2) Cerita bersambung (continuing story) berupa kegiatan bermain
dimana guru melalui awal sebuah cerita dan setiap anak
menambahkan cerita selanjutnya bagian perbagian seperti cerita
dengan menggunakan buku besar.
3) Permainan drama kreatif (creative dramatic play) berupa
permainan dimana anak dapat mengekspresikan diri melalui

36
peniruan terhadap tingakah laku orang, hal ini dapat membuat
mereka memahami dan menghadapi dunia seperti bermain
dokter-dokteran.
4) Gerakan kreatif (creative movement) berupa kegiatan bermain
yang lebih menggunakan otot-otot besar seperti permainan aku
seorang pemimpin dimana seorang anak melakukan gerakan
tertentu dan anak lain mengikutinya/berpantomim atau kegiatan
membangun dengan pasir, lumpur, dan atau tanah liat.
5) Pertanyaan kretif (creative questioning) yang berhubungan
dengan pertanyaan terbuka, menjawab pertanyaan dengan
sentuhan panca indra, pertanyaan tentang perubahan, pertanyaan
yang membutuhkan beragam jawaban, dan pertanyaan yang
berhubungan dengan suatu proses atau kejadian.

D. Metode-metode Pembelajaran Pada Usia Dini

1. Metode Cerita
Cerita merupakan salah satu jenis sastra yang memiliki nilai
estetika. Di dalamnya terdapat rasa kenikmatan yang tiada tara serta
mampu menyedot perhatian anak-anak dan orang dewasa. Target tersebut
baru bisa dicapai jika scenario di tulis dengan baik, disampaiakan dengan
memukau dan dapat didengarkan oaudien yang berjiwa seni. Cerita
adalah sastra yang yang berbentuk tulisan (yang dikonsumsi melalui
bacaan) atau berbentuk lisan (yang dikonsumsi melalui audiensi) (Majid,
2003: 19-20).

Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman


belajar bagi anak dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan.
Bila isi cerita itu dikaitkan dengan dunia kehidupan anak usia dini, maka
mereka dapat memahami isi cerita itu, mereka akan mendengarkan
dengan penuh perhatian, dan dengan mudah dapat menangkap isi cerita.
Kegiatan bercerita akan memberikan sejumlah pengetahuan sosial, nilai-
nilai moral, dan keagamaan. Kegiatan bercerita juga memberikan
pengalaman belajar untuk berlatih mendengarkan. Melalui mendengarkan

37
anak memperoleh bermacam informasi tentang pengetahuan, nilai, dan
sikap untuk dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Memberi pengalaman belajar dengan menggunakan metode


bercerita memungkinkan anak mengembangkan kemampuan kognitif,
afektif, maupun psikomotorik masing-masing anak. Bila anak terlatih
mendengarkan dengan baik, maka ia akan terlatih untuk menjadi
pendengar yang kreatif dan kritis. Pendengar yang kreatif mampu
melakukan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan apa yang
didengarkannya. Pendengar yang kritis mampu menemukan
ketidaksesuaian antara apa yang didengar dengan apa yang dipahami (R,
1999: 157-168).

2. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode mengajarkan yang
menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik.
Memperjelas pengertian tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan oleh
guru itu sendiri atau langsung oleh anak didik.

Dengan metode demontrasi guru atau murid memperlihatkan pada


seluruh anggota kelas sesuatu proses, misalnya bagaimana cara shalat
yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.

Beberapa keuntungan atau kebaikan dalam metode demontrasi,


yaitu:

1) Perhatian anak didik dapat dipusatkan, dan titik berat yang


dianggap penting oleh guru dapat diamati secara tajam.
2) Perhatian anak didik akan lebih terpusat kepada apa yang
didemontrasikan, jadi proses belajar anak didik akan lebih terarah
dan akan mengurangi perhatian anak didik kepada masalah lain.
Apabila anak didik sendiri ikut dalam sesuatu percobaan yang
bersifat demontratif, maka mereka akan memperoleh pengalaman

38
yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan
kecakapan.

3. Metode Karyawisata
Metode karyawisata ialah suatu metode pengajaran yang
dilaksanakan dengan jalan mengajak anak-anak keluar kelas untuk dapat
memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan
bahan pelajaran. Dalam perjalanan karyawisata ada hal-hal tertentu yang
telah direncanakan oleh guru untuk didemonstrasikan atau ditunjukkan
kepada anak didik, di samping ada hal-hal yang secara kebetulan
diketemukan dalam perjalanan berkaryawisata tersebut. Misalnya:
pengenalan terhadap kekuasaan Tuhan dalam penciptaan alam semesta
(Abdul Ghafir, 1981: 104).

Karyawisata merupakan salah satu metode melaksanakan kegiatan


pengajaran di lembaga pendidikan anak usia dini dengan cara mengamati
dunia sesuai dengan kenyataan yang ada secara langsung yang meliputi
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Dengan
mengamati secara langsung anak memperoleh kesan yang sesuai dengan
pengamatannya (Moeslichatoen, 1999: 68).

Dalam penerapan metode karyawisata sangat tepat dilakukan


apabila:

1) Pelajaran dimaksudkan untuk memberi pengertian lebih jelas


dengan alat peraga langsung.
2) Membangkitkan penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan
tanah air, serta menghargai ciptaan Tuhan.
3) Mendorong anak mengenal masalah lingkungan dengan baik.

Dengan melalui metode karyawisata akan memberi kepuasan


terhadap keinginan anak didik dengan banyak melihat
kenyataankenyataan di samping keindahan alam sekitar di luar kelas.
Selain itu anak didik juga akan bersikap terbuka, obyektif, luas
pandangan akibat dari pengetahuan luar yang diperolehnya yang akan
mempertinggi prestasi kepribadiannya dan juga anak didik memperoleh

39
tambahan pengalaman melalui karyawisata, sedangkan guru mendapat
kesempatan menerangkan segala sesuatu.

Dalam penerapan metode karyawisata, guru hendaknya


merumuskan terlebih dahulu tujuan pelajaran dengan jelas, sehingga
kelihatan wajar tidaknya metode ini digunakan, dan juga hendaknya
guru menyelidiki terlebih dahulu obyek yang akan ditinjau dengan
memperhatikan hal-hal yang sekiranya akan menjadi kesulitan. Selain itu
perlu juga dijelaskan terlebih dahulu tujuan karyawisata dan disiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab (Abdul Ghafir, 1981:
104-105).

4. Metode bermain
Adapun jenis permainan yang dapat dikembangkan di dalam
program kegiatan bermain anak usia dini dapat digolongkan ke dalam
berbagai jenis permainan seperti dikemukakan oleh Jefree, Mc.Conkey,
dan Hewson (1984) ialah permainan eksploratif (exploratory play),
permainan dinamis (energenic play), permainan dengan keterampilan
(skillful play), permainan sosial (sosial play), permainan imajinatif
(imaginative play) dan permainan teka-teki (puzzle-out play). Keenam
penggolongan tersebut pada dasarnya saling terintegrasi satu dengan
lainnya sehingga dalam penerapannya mungkin saja salah satu permainan
dapat mengembangkan jenis permainan yang lainnya. Justru keterpaduan
diantaranya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak saat melakukan
permainan tersebut (Sujiono, 2009: 146).
Selain permainan diatas, untuk lebih memfokuskan pada permainan
kreatif yang dikembangkan maka Lopes (dalam Sujiono, 2009: 147),
mengungkapkan bahwa permainan kreatif dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Kreasi terhadap objek (object creation) berupa kegiatan bermain
dimana anak melakukan kreasi tertentu terhadap suatu objek.
b. Cerita bersambung (continuing story) berupa kegiatan bermain
dimana guru melalui awal sebuah cerita dan setiap anak
menambahkan cerita selanjutnya bagian perbagian seperti cerita
dengan menggunakan buku besar.

40
c. Permainan drama kreatif (creative dramatic play) berupa permainan
dimana anak dapat mengekspresikan diri melalui peniruan terhadap
tingakah laku orang, hal ini dapat membuat mereka memahami dan
menghadapi dunia seperti bermain dokter-dokteran.
d. Gerakan kreatif (creative movement) berupa kegiatan bermain yang
lebih menggunakan otot-otot besar seperti permainan aku seorang
pemimpin dimana seorang anak melakukan gerakan tertentu dan
anak lain mengikutinya/berpantomim atau kegiatan membangun
dengan pasir, lumpur, dan atau tanah liat.
e. Pertanyaan kreatif (creative questioning) yang berhubungan dengan
pertanyaan terbuka, menjawab pertanyaan dengan sentuhan panca
indra, pertanyaan tentang perubahan, pertanyaan yang
membutuhkan beragam jawaban, dan pertanyaan yang berhubungan
dengan suatu proses atau kejadian.

BAB III PENUTUPAN


PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dan latar belakang masalah yang telah
penulis uraikan pada pendahuluan, penulis ingin menekankan bahwa ketika
kita telah menjadi seorang pendidik kita harus mengenali terlebih dahulu anak
yang akan kita didik, tujuan lembaga, pendekatan lembaga sehingga
kesalahan pola asuh yang terjadi pada lembaga pendidikan anak usia dini
tidak berlarut-larut.

Penulis sengaja mencantumkan perbedaan antara pendekatan dan


metode pada pembahasan, agar memudahkan bagi kita memahami apa yang
akan kita lakukan? Bukan karena penulis menganggap bahwa pendidik itu
bodoh. Akan tetapi ini akan menjadi bahan ukur dalam pemikiran kita semua
ketika kita menjadi seorang pendidik. Pahami sesuatu dari yang terkecil,

41
ketika kita sudah paham! Dalami, maka kita akan mengetahui harta yang
paling berharga (sebuah penyelesaian akhir).

Dalam pembahasan, penulis mengungkapkan beberapa model


pendekatan bagi lembaga PAUD yang haus akan pendekatan agar
memudahkan lembaga untuk mempunyai visi dan misi pada lembaga itu
sendiri. Pendekatan itu antara lain; pendekatan developmentally appropriate
practice (DAP), pendekatan waldorf, pendekatan akademik dan non
akademik, serta pendekatan bermain. Adapun mengenai metode, penulis
hanya mencantumkan beberapa macam metode saja, antara lain; metode
cerita, demontrasi, karyawisata, dan bermain. Namun metode yang penulis
bahas disini hanya sebagian kecil dari banyaknya metode yang ada, metode
ini hanya sebagai permulaan untuk membuka pintu-pintu metode yang
lainnya, ketika kita menjadi seorang pendidik yang kreatif.

Sebuah ungkapan dari penulis “kreatiflah untuk anak-anak didik kita,


kreatiflah untuk negeri kita, dan kreatiflah untuk dunia. Karena kita adalah
manusia yang kreatif”.

B. Saran-saran
Saran-saran hasil penulisan ini disusun dengan mengacu pada
kesimpulan hasil penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya. Penulis
menyarankan agar; pertama, lembaga pendidikan dalam hal ini adalah TK,
PAUD, RA dan sekolah yang sederajat lainnya., supaya dapat memilih,
menggunakan, dan mengembangkan pendekatan serta metode yang sedang di
bahas ini. Karena, memiliki peran dalam mengembangkan minat dan bakat
anak, pola pikir anak, sekaligus membangun karakter anak. Kedua, Guru
diharapkan dapat terus mengembangkan daya kreatifnya dan dapat terus
mengembangkan proses pembelajaran yang lebih matang dengan
mempertimbangkan segala resiko serta jalan keluar yang lebih baik.
Penulisan ini masih dalam ruang lingkup terbatas, sehingga masih
banyak aspek lain yang belum terungkap. Semoga dikemudian hari ada
seorang penulis yang membahas mengenai tentang berbagai pendektan serta
berbagai metode yang lebih baik lagi.

42
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafir, d. S. (1981). Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha


Nasional.

Arifin, H. (1991). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental,. Jakarta:


Bulan Bintang.

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. (2004). Konsep Dasar Pendidikan Anak
Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Hasan, M. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Yogyakarta: Diva Press.

Johnson, J. L. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini dalam berbagai pendekatan (V


ed.). Jakarta: Kencana.

Kusuma, A. D. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Langgulung, H. (1962). Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung:


PT. Al-Ma’arif.

Majid, A. A. (2003). Mendidik Anak Lewat Cerita Dilengkapi 30 Kisah. Jakarta:


Mustaqiim.

Mansur. (2005). Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Marjorie J. Kostelnik, A. K. (2004). Developmentally Appropriate Curriculum


(Best Practices in Early Childhood Education) (Fourth ed.). (J. Peters, Ed.)
New Jersey: Pearson Education, Inc.

Moeslichatoen. (1999). Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta:


PT.Rineka Cipta.

Nata, A. (1999). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

43
Noorlaila, I. (2010). Panduan Lengkap Mengajar Paud. Yogyakarta: PINUS
BOOK PUBLISHER.

Noorlaila, I. (2010). Panduan Lengkap Mengajar PAUD Kreatif Mendidik dan


Bermain Bersama Anak. Yogyakarta: PINUS BOOK PUBLISHER.

Patmonodewo, S. (2000). Pendidikana Anak Prasekolah. Jakarta: PT.Rineka


Cipta.

Ramayulis. (2005). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Boston: Mc. Graw Hill.

Siregar, E. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. bogor: Ghalia Indonesia.

Soemiarti. (2005). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Suara Merdeka. (2007, Januari Minggu). 60 Persen Lembaga PAUD Belum


Pahami Metode Pembelajaran. Edisi Minggu .

Sujiono, Y. N. (2009). hakikat usia dini. Bandung: Rosda.

Sujiono, Y. N. (2009). KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI.


Jakarta: PT. Indeks.

Sukandi, U. (2003). Belajar Aktif dan Terpadu: Apa, Mengapa, Bagaimana.


Surabaya: Duta. Graha Pustaka.

Suparyanto, (2012) Konsep Dasar PAUD. [Online] tersedia: http/dr-


suparyanto.blogspot.com [23 Februari]

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. (2003). Sistem


Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.

44

Anda mungkin juga menyukai