Dosen Pembimbing :
dr. H. Arief Budiman, Sp.A, M.Kes
Disusun Oleh :
Vina Nurhasanah
2010730110
IKTERUS NEONATORUM
A. Definisi
Ikterus adalah warna kuning di kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan
bilirubin dalam serum. Sedangkan hiperbilirubnemia adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serum yang menjurus kearah terjadinya kornikterus atau ensefalopati blirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/ dL atau lebih setiap 24
jam
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
- Berat lahir < 2000 gram
- Masa gestasi < 36 minggu
- Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus
- Infeksi
- Trauma lahir pada kepala
- Hipoglikemia, hiperkarbia
- Hiperosmolalitas darah
5. Ikterus klinis yang menetap pada bayi setelah bay berusia > 8 hari (pada
NCB) atau > 14 hari (pada NKB)
C. Pemeriksaan Penunjang
Sejumlah pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada hiperbilirubinemia
patologik adalah:
1. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia > 10 hari dan atau dicuriga adanya
suatu kolestasis
2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit
dan hitung retikulosit
3. Penentuan golongan darah dan faktor Rh dari ibu dan bayi. Bay yang berasal dari ibu
yang Rh negatif harus dilakukan pemeriksaan golongan darah, faktor Rh, kadar
hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga diperiksa (normal bila Hb > 14 mg/ dL atau
bilirubin tali pusat < 4 mg/ dL)
4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dianjurkan dengan USG hati,
sintigrafi sistem hepatobiliari, uji fungsi tiroid, uji urine terhadap galaktosemia)
6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urine, IT ratio
dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP)
Dalam merencanakan pemeriksaan penunjang, dianjurkan untuk memprioritaskan
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dengan mengarah kepada diagnosis
hiperbilirubinemia yang paling mungkin.
Keterangan:
Pada keadaan ikterus patologis, angka-angka di atas harus dimodifikasi dan pada umumnya
tatalaksana bersifat lebih agesif. Yang dimaksud dengan ikterus patologik adalah ikterus klnis
yang terjadi pada bayi usia kurang dari 24 jam, dengan atau tanpa peningkatan kadar bilirubin
> 5 mg/dL/hari, dengan atau tanpa hemolsis, dll.
Keterangan:
BL = berat lahir
RT = bayi prematur risiko tinggi, dengan batas paling rendah dari BL dan kadar bilirubin,
batas paling rendah berikutnya dari BL, dan batas usia paling rendah brikutnya.
HIPERBILIRUBINEMA
A. Definisi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus
ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan (Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi
sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila
kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani(Etika
et al,2006).
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih(Sukadi,2008). Pada orang dewasa,
ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17µmol/L) sedangkan pada
neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86µmol/L) (Etika et al,2006).
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
B. Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus.
Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
- Timbul pada hari kedua dan ketiga
- Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
- Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
- Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
- Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
- Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai
berikut:
- Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
- Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5% pada neonatus kurang bulan.
- Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
- Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
- Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
- Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. (Arief ZR, 2009. hlm. 29)
C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005)
D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin
terkonjugasi, direk)(Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa
bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila
kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubintertimbun di dalam
darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini
akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut
ikterus atau jaundice(Murray et al,2009).
E. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6 mg/dL (Mansjoer at al, 2007). Ikterua sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek
pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kunng kehijauan
atau kunng kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007).
- Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a. Tampak pada hari 3-4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total < 12 mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tidak ada faktor risiko
- Gambaran klinis ikterus patologis:
a. Timbul pada umur < 36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko, Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)
F. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut
dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masintempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah
diperkirakan kadar bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer Zona Bagian tubuh yang kuning Rata-
rata serum bilirubin indirek:
Tabel 2.1 Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer
Zona ikterus Bagian tubuh yang kuning Rata-rata serum bilirubin
1 Kepala dan Leher 100
2 Pusat-Leher 150
3 Pusat-Paha 200
4 Lengan+Tungkai 250
5 Tangan+Kaki >250
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut(Etika et al, 2006).
G. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai
lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14mg% dan uji Coombs direct
positif (Hassan et al, 2005).
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor inhibitif
terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara
rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena(500-1000
mg/Kg IV > 2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level
bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum
diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel
retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang
dilapisi oleh antibody (Cloherty et al, 2008).
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
H. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak
mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot
meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis
sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.
REFERENSI:
- STANDARD OPERASIONAL PROCEDURE (SOP), Divisi Perinatologi, Ikterus
Neonatorum. Hal. 24. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI RSCM
- Abdul Rahman, S., 2008. Hiperbilirubinemia, in Kosim M. Sholeh et al. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penebit IDAI. pp 147
- Arif, M., et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi III Jakarta. Medis
- Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins, pp 181; 194;
202; 204; 210.
- Hassan, R., Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. 2005. Inkompatibilitas ABO dan
Ikterus pada Bayi Baru Lahir in Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Percetakan
Infomedika. pp 1079; 1105-06; 1109
- Kliegman et al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition Vol 1. Philadelphia:
WB Saunders pp 756-58; 768; 772