Anda di halaman 1dari 17

1|M enjadi Ma nusia Super

DAFTAR ISI
MENJADI MANUSIA SUPER ............................................................................................... 3
Anda Ingin Seperti Mereka? ............................................................................................................. 3
Modal Mereka sama dengan Modal Kita .......................................................................................... 3
BAB 1 - Potensi Dan Cita-cita................................................................................................. 4
Buktikan Islammu! ........................................................................................................................... 4
Dimana Peranmu? ............................................................................................................................. 4
Pupuk Rasa Iri Lejitkan Potensi Diri ................................................................................................. 5
Tidakkah kita iri pada mereka? ......................................................................................................... 5
Cita-cita besar membuahkan karya yang besar. ................................................................................ 5
Manfaatkan waktu dan berharaplah kepada Allah............................................................................. 6
Menakar obsesi mengukur semangat diri .......................................................................................... 7
Puas dengan satu titik keberhasilan adalah kelemahan ..................................................................... 7
Semangat tinggi, tapi obsesi rendah. ................................................................................................. 7
Bakat Yang Terkubur........................................................................................................................ 7
Maksimalkan Potensi Sumbangkan Kontribusi ................................................................................. 8
Aktivasi Potensi Menuju Kesuksesan Diri ........................................................................................ 8
Potensi Terasah Meski Sibuk Dengan Ma’isyah ............................................................................... 9
BAB 2 - Kendalikan Diri ....................................................................................................... 10
Miskin Harta, Kaya Cita-Cita ......................................................................................................... 10
Lemah Hafalan Bukan Sifat Bawaan .............................................................................................. 10
Belajar Di Tengah Kesibukan ......................................................................................................... 11
Fisik Dan Rupa Bukan Segalanya ................................................................................................... 11
Belajar Di Usia Yang Telah Terlanjur Dewasa ............................................................................... 12
Meningkatkan Kemampuan Di Tengah Hujan Hambatan ............................................................... 12
Malas Bikin Hidup Makin Redup ................................................................................................... 13
Bosan Dan Jenuh, Bikin Cita-Cita Makin Jauh. .............................................................................. 14
Ilmu Makin Banyak Dimiliki Makin Banyak Dicari ....................................................................... 14
Dosa Menghalangi Ilmu Dan Melenyapkannya .............................................................................. 15
Menyambung Asa setelah Putusnya ................................................................................................ 15
Kekurangan Yang Mengantarkan Si Minder Menjadi Super........................................................... 16
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 17

2|M enjadi Ma nusia Super


MENJADI MANUSIA SUPER

Menjadi manusia sempurna tidak mungkin, tapi menjadi manusia yang mampu menjadi
rujukan pada zamannya dan generasi setelahnya, itu tidaklah mustahil.

Karena orang yang dijadikan pelopor, rujukan, dan penyeru dalam kebaikan akan mendapat
pahala kebaikannya sendiri, juga pahala orang-orang yang mengikutinya.

Demikianlah Rasulullah bersabda mengenai para Sahabat yang amal mereka tak akan pernah
bisa kita ungguli :

"Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian
menginfakkan emas segunung uhud, niscaya belum bisa memyamai satu mud amal mereka,
bahkan separuhnya."

Mengapa demikian? Ibnu Daqiq Al-’Ied mengatakan, salah satu sebabnya adalah karena ilmu
mereka yang bermanfaat yang bisa kita nikmati sampai saat ini bahkan sampai Hari Akhir
nanti. Subhanallah

Juga Imam Syafi’i yang pernah berkata :

“Aku ingin orang-orang mengambil ilmu dariku, tanpa menisbatkan ilmu itu dariku”

Sungguh merekalah manusia-manusia super.

Anda Ingin Seperti Mereka?

Sejarah Islam demikian kaya akan lembaran-lembaran yang mencatat manusia-manusia


‘super’ yang menjadi rujukan orang-orang setelahnya.

Di zaman tabi’in ada Hasan Al-Bashri yang paling pakar dalam masalah haram dan halal.

Di kalangan para imam fuqahaa kita mengenal Abu Hanifah, hingga disebut-sebut bahwa
semua ahli fiqh setelah masa beliau adalah ‘keluarga’ Abu Hanifah. Karena mengikuti jejak
beliau. Ada Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.

Setelah mereka ada imam muhaditsin seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi
dan lain-lain yang sampai sekarang kita kenal sebagai periwayat Hadits.

“Bisakah kita seperti mereka?”

Modal Mereka sama dengan Modal Kita

Tidak layak seseorang menghinakan dirinya. Buruk sangka terhadap diri sendiri merupakan
penghalang terbesar untuk bisa menjadi manusia super selanjutnya.

Tak ada alasan untuk pesimis, karena sarana yang telah Allah berikan pada kita sama halnya
dengan apa yang telah dikaruniakan pada ulama-ulama kita.

3|M enjadi Ma nusia Super


Kita memiliki apa yang mereka miliki. Potensi yang kita punya sama dengan potensi yang
mereka punya. Dan sebenarnya kita semua memulai kehidupan dari start yang sama. Allah
berfirman :

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”
(QS. An-Nahl 78)

BAB 1 - Potensi Dan Cita-cita

Sejarah mencatat, kesungguhan semangat dan tingginya cita-cita telah mengangkat derajat
orang-orang biasa menjadi istimewa. Bahkan menobatkan para budak dan rakyat jelata
menjadi lebih mulia dari para raja.

Buktikan Islammu!

Bukti seseorang merasa memiliki Islam (mencintai) adalah ketika memiliki kepedulian
terhadapnya, ada pembelaan, ada pengorbanan, dan ada upaya untuk memperjuangkannya.
Bukan menjadi “Muslim Pasif”

Kepedulian dibuktikan dengan keseriusannya mendalami Islam dan cabang-cabang ilmunya.


Lembaran sejarah dipenuhi oleh kisah kegigihan para ulama dalam mencari ilmu. Seperti
Jabir bin Abdillah yang rela menempuh satu bulan perjalanan untuk mengecek keakuratan
satu hadits. Dan masih banyak lagi contoh manusia super yang sudah membuktikan
“cintanya” terhadap Islam.

Dimana Peranmu?

Untuk turut berperan andil memperjuangkan Islam, tak harus menjadi manusia super terlebih
dahulu. Kita bisa memulai dari apa yang kita punya dan apa yang kita miliki, meskipun
kelihatannya kecil dan sepele. Tapi tak ada yang sepele disisi Allah.

Dari kitab Nisaa Haula ar-Rasul karya Syaikh Mahmud Mahdi al-Istambuli dan Musthafa
asy Syalabi. Ada kisah seorang wanita tua yang lemah, yang nyaris tak memiliki
keistimewaan apa-apa di sisi manusia, tapi ternyata Nabi sangat memperhatikannya. Yang
menarik juga, penulis memberi sub judul “Darsun Laa Yunsa” pelajaran yang tak terlupakan.

Namanya Ummu Mahjan. Seorang wanita tua yang lemah, hitam kulitnya. Ia bukan termasuk
kalangan cerdas cendikia, bukan pula masuk golongan kaya raya. Walaupun begitu, dia tetap
ingin berkhidmat untuk islam sebisanya. Dengan tekun ia membersihkan masjid setiap
harinya, tempat ibadah dan berkumpulnya Nabi dan para sahabatnya.

Kemudian singkat cerita ketika wanita itu meninggal di malam hari, para sahabat langsung
menguburkannya di malam itu, tanpa membangunkan dan memberitahukan peristiwa itu
kepada Nabi. Mungkin karena anggap bahwa meninggalnya wanita itu bukan hal yang begitu
penting.

4|M enjadi Ma nusia Super


Pagi harinya, Nabi merasa kehilangan, setelah mendapat informasi, beliau menegur para
sahabat yang tidak memberitahukan kejadian yang menurut Nabi penting itu. Beliau
bersabda, “Kenapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?”
(HR. An-Nasa’i, al-Mutawatha’)

Ternyata, Nabi memberikan perhatian besar atas usaha wanita tersebut dalam berkhidmat
untuk islam.

Masih adakah dari kita yang ingin mengatakan “apa yang aku punya untuk berkhidmat pada
Islam?”

Pupuk Rasa Iri Lejitkan Potensi Diri

Banyak dari rasa iri yang menjerumuskan. Tapi ada iri yang meningkatkan potensi kebaikan.
Iri terhadap ilmu yang diamalkan dan harta yang bermanfaat. Bukan untuk jadi seperti
mereka, tapi fokus pada sistem diri kita (muhasabah).

Tidakkah kita iri pada mereka?

Imam Abu Hanifah, yang bahkan memiliki kedua-duanya. Seorang alim Yang padat jadwal
belajar dan mengajar tapi juga beliau adalah seorang hartawan yang dermawan.

Cita-cita besar membuahkan karya yang besar.

Imam Ahmad bin Hambal, beliau mampu menghafal satu juta hadits seperti yang diutarakan
ar-Raazi. Padahal pada zaman beliau hadits-hadits yang dibukukan masih terbilang langka.
Hanya kitab al-Mutawatha’ dan beberapa karya lain yang belum dibukukan. Belum ada kitab
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, ataupun kitab hadits lainnya. Sehingga para pemburu hadits
harus mendatangi langsung, orang-orang yang menghafal hadits. Meski begitu, beliau mampu
menghafal hadits sebanyak itu.

Bandingkan dengan hari ini. Kitab-kitab hadits telah terkumpul, semua sudah tersedia, namun
berapakah jumlah hadits yang mampu kita hafalkan?

Kendalanya bukan dari sisi kemampuan atau minimnya sarana, tapi lemahnya kemauan dan
matinya cita-cita.

Ulama-ulama kita terdahulu, mampu menghafalkan banyak hadits dan bahkan mereka juga
menuliskan banyak karya buku-buku yang tebal.

Orang yang rendah cita-citanya, kerdil jiwanya, tak akan tergugah melakukan karya nyata,
meskipun seribu nasihat tertuju padanya. Namun bagi jiwa yang besar, pemilik cita-cita yang
besar, sedikit sentuhan sudah cukup untuk mengobarkan semangat, tertantang untuk mencoba
membuahkan karya yang besar.

Manusia tak akan jauh dengan apa yang menjadi obsesinya.

Karena obsesi dan cita-cita itulah yang akan menggerakkan pemiliknya menuju tujuan. Fokus
pikiran, tenaga dan potensi yang dimiliki akan tercurah untuk meraih apa yang menjadi
impiannya.

5|M enjadi Ma nusia Super


Apa yang membedakan antara angan-angan yang tercela dan cita-cita?

Imam as-Suyuuthi dalam Jami’ al-Hadits, bahwa angan-angan adalah harapan yang timbul
karena keinginan hawa nafsu. Ingin kaya agar bisa menikmati setiap yang diinginkan, ingin
menjadi pejabat yang memiliki banyak bawahan dan terhormat di mata manusia, dan
keinginan hawa nafsu lainnya.

Beda halnya dengan cita-cita. Ia muncul dari pemikiran yang jitu, juga renungan yang
mendalam tentang posisi atau target apa yang bisa mendatangkan maslahat untuk dirinya dan
juga umat.

Kemudian penulis menutup bab ini dengan satu kalimat yang diambil dari firman Allah (QS.
Al-Hijr : 2)
“Cita-cita hanyalah milik orang yang beriman saja, setinggi apapun target yang hendak diraih
oleh orang kafir. Meski akhirnya mereka berhasil menggapainya, sebenarnya dari sejak
semula keinginan mereka hanyalah angan-angan semata.”

Manfaatkan waktu dan berharaplah kepada Allah

“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatuu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk
urusan yang lain), dan hanya kedapa Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. al-Insyirah : 7-8)

Dengan modal waktu, para ulama dahulu telah sukses mencapai tujuan. Mereka amat bakhil
membelanjakan waktu, kecuali untuk sesuatu yang jelas-jelas bermanfaat. Jika orang-orang
memiliki semboyan ‘time is money’ justru para ulama rela mengorbankan hartanya untuk
mendapatkan waktu dan peluang menuntut ilmu.

Tak hanya itu, demi menghargai waktu, para ulama sangat memperhitungkan cara makan
yang efektif agar tidak mengganggu waktu belajar mereka, Ibnu Uqail menyukai makanan-
makanan yang mudah dikunyah sehingga mempersingkat waktu. Tak heran jika hasil karna
Ibnu Uqail mencapai 800 jilid buku.

Di samping memanfaatkan waktu dengan baik, sirnanya kesulitan dan datangnya kemudahan
akan semakin nyata dengan hanya berharap kepada Allah. Dengan solusi ini, kesulitan
apapun, baik kesulitan dalam hal belajar, problem ekonomi maupun keruwetan yang lain,
seorang muslim akan optimis untuk menghadapinya.

Juga kebiasaan para ulama terdahulu, ketika mereka diajak untuk berbincang tentang hal
yang tak perlu, mereka mengatakan “auqifisy syamsa”, hentikan dulu peredaran matahari.
Karena realitanya waktu akan terus berjalan.

Tak hanya waktu yang memiliki tabiat terus berjalan. Pikiran manusia pun demikian. Jika
pikiran itu tidak kita gunakan untuk memikirkan karya, ilmu dan semua hal yang baik, maka
pikiran buruklah yang akan masuk ke dalamnya. Karena tabiatnya pikiran akan terus berjalan.

Hingga dengan itu Abul Wafa Ali Ibnu Uqail, penulis kitab al-Funuun pernah mengatakan :

“Sesungguhnya aku tak ingin membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya
sesaat dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berdzikir atau berdiskusi,
pandangan mataku berhenti membaca, segera aku mengaktifkan pikiranku kala beristirahat

6|M enjadi Ma nusia Super


sambil berbaring. Sehingga ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan ku
tulis. (Al-Munthazam, Ibnu al-Jauzi)

Menakar obsesi mengukur semangat diri

Imam asy-Syafi’i pernah ditanya, “ Seperti apakah kecintaan anda terhadap ilmu?” Beliau
menjawab, “Ketika aku mendengarkan suatu ilmu yang belum kudengar sebelumnya, rasa-
rasanya kuingin seluruh anggota tubuhku memiliki pendengaran sehingga bisa merasakan
kenikmatan sebagaimana kenikmatan yang dirasakan oleh telingaku.’

Beliau ditanya lagi, “Seperti apakah semangat Anda dalam mencari ilmu?” Beliau menjawab,
“Seperti usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Puas dengan satu titik keberhasilan adalah kelemahan

Ibnu al-Jauzi berkata “Seyogiyanya orang yang berakal berusaha menyempurnakan dirinya
sampai batas maksimal yang ia mampu. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli
hikmah, adalah melesatnya jiwa menuju puncak kesempurnaan setinggi mungkin baik dalam
hal ilmu maupun amal.”

Masih menurut Ibnu al-Jauzi bahwa pemilik cita-cita besar tak akan membiarkan satu jenis
keutamaan pun terlewatkan selagi mampu. Karena merasa cukup dalam hal keutamaan adalah
karakter orang-orang rendahan.

Semangat tinggi, tapi obsesi rendah.

Tingginya obsesi tak hanya diukur dari gerakan yang gesit dan semangat yang melejit, Tapi
yang lebih penting adalah, tujuan akhir dari prestasi, untuk siapa dipersembahkan, dan
dimanakah ia ingin menikmati hasil yang diharapkan.

Bakat Yang Terkubur

Saya teringat beberapa teman di sekolah dahulu. Sebagian mereka membuat saya takjub
karena kemampuan mereka dalam menghafal, memahami pelajaran, dan kecerdasan.

Puluhan tahun berlalu dan tatkala Allah pertemukan kembali dengan mereka, serasa hilang
‘kehebatan’ yang dulu pernah mereka miliki.

Ada yang kondisi pengetahuannya tidak berkembang setelah sekian lama berselang. Bahkan
tak jarang yang kecerdasannya justru menyusut, seakan potensi ilmunya terkubur tanpa
bekas.

Tanpa sadar angan-angan penulis pun melambung, mengandaikan sekiranya dahulu si fulan
itu mengoptimalkan potensi kecerdasan yang Allah anugerahkan kepada mereka pasti akan
menjadi sesuatu yang jauh lebih baik lagi.

Teringat masa kecil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika seorang ulama dari Suriah sengaja
datang ke Damaskus untuk melihat Ibnu taimiyah kecil. Setelah bertemu ia memberikan tes
dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu
menghafalkannya secara cepat dan tepat.

7|M enjadi Ma nusia Super


Juga masa kecil Imam Nawawi, yang telah terlihat bibit kehebatannya sejak kecil. Ia dikenal
sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran
daripada memenuhi ajakan temannya.

Dan menjadi benar, mereka menjadi orang yang memiliki karya yang besar dan manfaatnya
masih bisa kita nikmati sampai sekarang.

Hal itu dikarenakan mereka menyambut potensi yang Allah berikan dengan rasa syukur.
Mereka tindak lanjuti dengan memupuk ilmu, menyuburkannya, dan menempuh segala hal
yang bisa menyebabkan ilmu berkembang dan berbuah.

Maksimalkan Potensi Sumbangkan Kontribusi

Sejarah dipenuhi catatan para ulama dengan puluhan karya berupa kitab-kitab besar. Hasil
karya yang memberikan kontribusi abadi bagi kemajuan islam.
Masing-masing kita diciptakan dengan membawa sebuah keunikan. Setiap jiwa, seperti kata
Rasulullah, ibarat barang tambang yang memiliki unsur potensi sendiri-sendiri.

Dalam hal positif semua hebat dan luar biasa dalam keunikannya.

Seperti halnya Syeikh Hasan al-Banna yang ketika ditanya oleh seorang wartawan, mengapa
tidak menulis buku? Beliau menjawab “Saya tidak ingin menulis buku, saya ingin mencetak
manusia”

Unsur potensi beliau adalah ta’liful qulub, menyatukan hati manusia. Benar saja, ketika
potensi diledakkan, puluhan ribu jiwa menyatu dalam satu visi dalam usaha menegakkan
agama Allah yang kita kenal sampai sekarang yaitu Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi
Islam terbesar dan berpengaruh pada Abad 20.

Dan juga ulama-ulama lain yang memiliki karya yang fenomenal seperti Ibnu Khaldun, Ibnu
Jauzi, Ibnu Sina dan ulama-ulama lainnya yang kita kenal karya mereka berupa karya-karya
tulisan yang abadi hingga saat ini.

Aktivasi Potensi Menuju Kesuksesan Diri

Menelantarkan sebagian fungsi atau menjadikannya pasif dan menganggur adalah kekufuran
terhadap nikmat yang Allah berikan.

Allah telah memberikan potensi akal kepada manusia, anugrah yang menjadi pembeda utama
antara manusia dan hewan. Semakin banyak akal menganggur, makin mendekatkan manusia
pada karakter hewani.

Umar bin Khattab berkata,

Inti seseorang disebut manusia adalah karena akalnya, kehormatannya terletak pada
agamanya, sedangkan kewibawaannya tergantung pada akhlaknya.”

8|M enjadi Ma nusia Super


Potensi Terasah Meski Sibuk Dengan Ma’isyah

Alasan klasik untuk menghindar dari belajar adalah kesibukan mencari ma’isyah. Seakan
yang diwajiban belajar itu hanya anak-anak sekolah dan yang masih kuliah, dan selebihnya
hanya focus mencari nafkah.

Mencari nafkah memang sebuah keharusan. “fantasyiruu fil ardi wabtaghuu min
fadhillah…” tapi hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa job utama kita adalah sebagai
‘pegawai’nya Allah.

Alangkah indahnya pemandangan yang pernah dilihat oleh Abdullah bin Mas’ud di masa
beliau. Tatkala beliau melihat orang-orang yang di pasar bergegas menutup dagangannya dan
segera menuju masjid saat adzan berkumandang. Lalu beliau berkata “mereka inilah, orang-
orang yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jua beli dari
mengingat Allah, mendirikan sholat, dan membayarkan zakat.” (QS. an-Nuur : 37)

Dan juga hendaknya ma’isyah yang kita geluti bisa menjadi wadah dan sarana untuk
mengembangkan potensi pengetahuan yang berguna untuk kemaslahatan umat. Atau
minimal tidak terhalangi untuk tetap bisa mempelajari ilmu-ilmu syar’i secara
berkesinambungan.

9|M enjadi Ma nusia Super


BAB 2 - Kendalikan Diri

Miskin Harta, Kaya Cita-Cita

Kemiskinan atau sulitnya ekonomi tidak bukanlah alasan untuk pasrah dengan kebodohan,
atau cukup dengan ilmu yang pas-pasan.

Abdullah bin Mas’ud r.a adalah dahulunya seorang budak. Namun setelah masuk islam ia
rajin belajar kepada Rasulullah. Kecerdasan dan keluasan ilmunya begitu ketara terutama
dalam tafsir Al-Qur’an. Setiap ada satu ayat yang turun, ia mengetahui dimana tempat
turunnya dan dalam hal apa ayat tersebut turun.

Contok terakhir adalah Imam Syafi’i. Beliau lahir sebagai anak yatim dan bukan dari
keturunan berada. Untuk membiayai belajarnya, sang ibu pernah menggadaikan selendang
yang disayanginya.

Namun yang terjadi hari ini, sangat jarang para penuntut ilmu mengorbankan apa yang
dimiliki untuk mendapatkan ilmu. Seperti pengorbanan al-Bukhari ketika harus menjual
rumahnya demi memburu sebuah hadits. Adakah hari ini yang mampu menjual rumahnya,
ataupun kendaraanya untuk membeli ilmu?

“Dan apa yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantikannya dan Dialah Pemberi
rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’ : 39)

Lemah Hafalan Bukan Sifat Bawaan

Banyak kisah orang-orang istimewa di kalangan ulama, hampir selalu disebutkan sisi kuatnya
hafalan. Usia dini yang mampu menghafal al-Qur’an, juga banyaknya hadits yang mampu
dihafalkan. Sebagian orang menyimpulkan, itu adalah kemampuan bawaan. Lalu dijadikan
alasan untuk pamit dari menghafal al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi
wasallam.

Sejatinya, faktor kesungguhan dan keseriusan lebih dominan mewarnai kecerdasan orang-
orang pilihan. Imam Tirmidzi yang sanggup mengulang 40 hadits lebih dengan sekali dengar
tidak serta merta mendapatkannya. Juga syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang mampu
menghafal setiap hadits yang telah ditulisnya. Pun juga ulama yang dikenal kuat hafalannya,
mereka menuai hasil melalui proses panjang.

Imam al-Bukhari memberian resep sederhana ketika ditanya tentang obat lupa. Beliau
menjawab, “ Dengan terus mengulang membaca buku.” Jawaban ini besar kemungkinan
merupakan rahasia awetnya hafalan beliau.

Kemudian secara tegas sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata “Sungguh
saya menduga kuat, seseorang yang lupa akan ilmu yang telah ia ketahui, disebabkan oleh
dosa yang ia lakukan.”

Juga Imam Syafi’i yang beronsultasi kepada ustadznya, Waki’ bin al-Jarah, ketika beliau
merasakan tumpulnya hafalan, sulitnya mencerna ilmu.

10 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Belajar Di Tengah Kesibukan

Alasan klasik yang paling sering mengemuka ketika tak ada perbaikan dalam diri kita adalah
kesibukan.
Dengan 24 jam sehari, sangat banyak aktivitas yang bisa kita kerjakan. Para ulama dahulu,
mereka juga memiliki kebutuhan hidup seperti kita. Mereka bekerja mencari ma’isyah,
mendidik anak, juga hidup bermasyarakat, tapi tetap bisa berkembang potensi ilmu dan
amalnya, padahal waktu yang mereka miliki sama dengan kita.

Bukankah Abu Hanifah yang ahli fikih itu seorang pedagang yang sukses? Tapi derajat
ilmunya seperti yang diungkapkan Imam Malik, “Dialah an-Nu’man (Abu Hanifah) yang
seandainya ia berkata bahwa tiang masjid ini emas, niscaya perataannya akan dijadikan
argumen.”

Ulama lain mengatakan, “Semua ahli fikih (sepeninggal Abu Hanifah) adalah murid dari Abu
Hanifah.”

Ada tips untuk belajar di tengah kesibukan, selain waktu yang secara khusus kita luangkan
untuk belajar, sebenarnya masih banyak aktivitas yang bisa kita barengi sambil belajar. Jika
yang bekerja tangan kita, maka telinga bisa mendengar, lisan bisa mengulang hafalan.

Atau bisa di sela-sela kesibukan, seperti Imam an-Nawawi saat masih kecil, beliau menghafal
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi di sela-sela melayani pembeli di toko tempatnya berjualan.

Perjalanan Imam Syafi’i menuju Madinah untuk berguru kepada Imam Malik, beliau tempuh
selama delapan hari delapan malam, dan di perjalanan beliau mampu mengkhatamkan al-
Qur’an lebih dari 10 kali.

Abdullah bin Ahmad berkata tengtang ayahnya, Ahmad bin Hambal, “Saya tidak melihat
ayah melainkan dalam keadaan tersenyum, membaca, atau menelaah.” Begitu juga dengan
Khathib al-Baghdadi, seorang muridnya mengatakan, “Setiap kali saya melihatnya, di
tangannya selalu ada buku.”

Fisik Dan Rupa Bukan Segalanya

Sejarah tak hanya mencatat orang-orang yang dengan fisik yang kurang menarik, bahkan tak
sedikit yang cacat, namun dalam hal prestasi sulit dilampaui oleh orang yang sempurna
fisiknya.

Di masa Muawiyah r.a, ada seorang tabi’in bernama Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim
dan pahlawan bangsa Arab yang betubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya
cekung dan kedua akinya bengkok.

Anas bin Malik meriwayatkan,


“Rasulullah mewakilkan kota Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum sebanyak dua kali. Ia
menjadi imam shalat mereka meskipun ia buta.” (HR. Ahmad)

Di abad ini, kita mengenal syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz yang menjadi ketua
lajnah ad-Da’imah, sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk berfatwa di Saudi.
Derajat itu beliau raih, meskipun ia dalam keadaan tuna netra

11 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
“Derajat manusia ditentukan oleh hati dan hasil karya yang dia upayakan. Bukan bentuk
fisiknya.”

Belajar Di Usia Yang Telah Terlanjur Dewasa

Banyak yang memvonis diri tidak bisa lagi belajar, mungkin mengingat usianya yang yang
sudah tidak muda lagi.

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di usia dewasa bagai mengukir di
atas air”

Itu merupakan nasihat yang luhur, asal dipakai di tempat yang benar dan ditujukan kepada
sasaran yang tepat.

Nasihat itu ditujukan untuk anak-anak dan remaja, agar memanfaatkan kesempatan emasnya
untuk belajar. Agar tidak menyesal di hari tuanya.

Nasihat itu bukan untuk membunuh potensi mereka yang sudah terlanjur dewasa. Bukan
untuk harapan dan cita-cita yang baru dipancang saat usia telah terlanjur dewasa.

Ahnaf bi Qais ketika mendengar seseorang berkata,

“Belajar diwaktu kecil bagai mengukir di atas batu…” serta merta beliau menyahut

“Orang dewasa lebih banyak akalnya, akan tetapi lebih banyak kesibukan hatinya.”

Kita lihat lembaran sejarah para pendahulu kita. Ada Umar bin Khathab yang menjalani masa
kebodohan hingga usia 27 tahun. Tapi begitu beliau masuk islam, sirnalah kebodohannya.
Bahkan beliau bisa menjadi pemimpin kaum muslimin setelah Abu Bakar.

Juga ada Fudhail bin Iyadh. Nama dan pendapatnya memadati kitab-kitab karya para ulama.
Beliau juga menghabiskan masa mudanya tanpa belajar, bahkan menjadi perampok kelas
kakap.

“Andai saja orang dewasa mengembangkan potensi akalnya, menyediakan wadah di hatinya
untuk diisi dengan ilmu syar’i. Niscaya percepatannya melebihi anak-anak dalam belajar.”

Meningkatkan Kemampuan Di Tengah Hujan Hambatan

Pernah suatu kali saya mengisi seminar di sebuah Pondok Pesantren, setelah selesai acara ada
seorang santri mendekati dan berkata, “Ustadz, enak ya belajar tanpa harus mondok, ilmunya
bisa dipraktekin jadi lebih gampang nyantolnya. Beda kalau di pondok, hanya menimba ilmu
dan menyimpannya, sehingga gampang lupanya.”

Di lain waktu, ada seorang yang tidak sempat mondok dan mengeluh, “Ustadz, ternyata sulit
ya, belajar ilmu syar’i tanpa masuk Pondok Pesantren”

Juga seperti orang yang pesimis untuk memacu prestasi dalam ilmusyar’i lantaran terbentur
ekonomi.

12 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Setiap cita-cita, siapapun yang memilikinya, pasti disertai faktor-faktor yang mendukungnya,
juga faktor penghambatnya. Di sinilah nanti akan terlihat, siapa orang yang berjiwa optimis,
siapa yang punya mental pesimis.

Kita bisa menggambarkannya seperti, dua orang yang sama-sama tuna netra, tidak bisa
melihat apa-apa. Jika dituntut kepadanya untuk menghafal Al-Qur’an, ada yang pesimis dan
ada yang optimis.

Yang satu akan mengatakan, “bagaimana mungkin menghafalnya, sedangkan untuk membaca
saja tidak bisa?” Namun yang optimis akan berkata lain, “Banyak maksiat yang membuat
susah dan hilangnya hafalan disebabkan karena pandangan mata. Maka dengan tuna netra,
hafalan bisa tahan lama, karena tak ada maksiat yang dilakukan oleh mata.”

Ketika ada hambatan di jalan, atau rintangan yang menghalangi cita-cita mulia, bahkan
musibah yang datang tiba-tiba. Itu hanya ujian yang akan menguatkan kita. Allah telah
mengukur kemampuan kita sebelum membebani kita.

Malas Bikin Hidup Makin Redup

Lebih sering rehat dan berpangku tangan, menunda pekerjaan, bekerja tanpa ruh dan
kesungguhan adalah gejala penyakit kaslaan, malas.

Dia hanya bersemangat dalam satu hal, yakini sesuatu yang sesuai dengan selera nafsunya.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, mengatakan :

“Malas adalah meninggalkan sesuatu (yang baik) padahal ia mampu melakukannya.”

Abdullah bin Mas’ud berkata :

“Tak ada yang lebih memberatkan pandangan mataku selain melihat orang yang tidak bekerja
untuk dunianya, tidak pula akkhiratnya.”

Rata-rata penyakit malas itu menular. Malas dalam satu aktivitas, menyebabkan malas dalam
aktivitas lain.

Nabi memiliki kebiasaan berjalan dengan cepat. Dari Abu Hurairah berkata,

“Dan tidaklah aku melihat seorangpun yang jalannya lebih cepat dari Rasulullah.” (HR.
Tirmidzi)

Banyak penelitian menyebutkan, bahwa membiasakan berjalan cepat bisa meningkatkan etos
kerja dalam semua aktivitas. Ternyata kebanyakan para ulama juga memiliki kebiasaan cepat
dalam berjalan. Al-Hafidz Abu Isma’il Al-Anshari menyebutkan, “Seorang pakar hadits
memiliki kebiasaan cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, dan cepat dalam membaca.”

Juga kisah seorang Abu Yusuf, Ya’kub al-Anshari dengan Ibrahim bin al-Jarah. “Suatu
kemaslahatan, awalnya berat diterima oleh nafsu. Tapi kesungguhan dan kemauan yang kuat,
juga ketekunan dalam menjalaninya akan mengubahnya menjadi sesuatu yang
menyenangkan”

13 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Bosan Dan Jenuh, Bikin Cita-Cita Makin Jauh.

Selain sifat malas, ada penyakit lain yang berpotensi menyinarkan banyak kebaikan dan
menyebabkan gagalnya seseorang untuk meraih tujuan. Penyakit itu adalah malal, bosan.
Dari sisi sebab, sifat malas dimiliki oleh orang yang buta tujuan dan cuek terhadap akibat
yang bakal terjadi. Adapun kebosanan terjadi atas orang yang telah menempuh perjalanan,
mencoba untuk berjuang, lalu datanglah kebosanan sebelum sampai di akhir perjalanan.

Gejala bosan bisa terjadi pada siapapun dan dalam lini kebaikan apapun.

Pada batas tertentu, rasa bosan dan jemu adalah manusiawi. Tapi jika salah mengelola, rasa
ini bisa berujung pada kemandegan (futur) atau putus asa.

Dalam mencari ilmu, kesan tak mendapatkan tambahan berarti atau masih banyak
pengetahuan yang belum ‘sempat’ diamalkan, menjadi dalih sebagian orang untuk tidak
menambah ilmunya. Padahal dengan ‘istirahatnya’ dari belajar, bukan jaminan baginya untuk
menjadi sempat mengamalkan semua ilmu yang telah dikuasai.

Ilmu Makin Banyak Dimiliki Makin Banyak Dicari

Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy mengisahkan suka dukanya tatkala mencari ilmu.

“Aku telah kencing darah ketika menuntut ilmu sebanyak dua kali, hal ini disebabkan karena
aku terus berjalan kaki di terik matahari yang menyengat, dan aku tidak pernah mengendarai
kendaraan dalam menuntut ilmu kecuali hanya sekali, aku bawa buku-bukuku di atas
punggungku sampai aku tiba di negeri yang kutuju. Dan selama dalam perantauan aku
mencukupi kebutuhan hidup dengan apa yang Allah berikan padaku, tanpa meminta-minta.”

Lain lagi dengan Imam al-Bukhari, tidak saja menempuh jauhnya perjalanan, tapi juga
banyak mengorbankan waktu tidurnya untuk belajar. Ibnu Katsier menceritakan, “Al-Bukhari
pernah bangun dari tidur pada suatu malam kemudian ia menyalakan lampu dan menulis ilmu
yang terlintas di benaknya kemudian mematikan lampu itu. Lalu ia bangun lagi dan begitu
seterusnya hingga sampai kurang lebih 20 kali.”

Penuntut ilmu sejati, takkan pernah merasa jemu. Semakin banyak dicari, semakin banyak
dimiliki, pesona ilmu makin menarik hati untuk dicari. Tak ada ceritanya, orang berilmu yang
bosan dan merasa cukup untuk belajar.

Rasa sakit pun tidak mampu membendung rasa ingin tahu para ulama, meskipun sakit parah
yang mengantarkan kepada kematian.

Ketika Ibnu Jarir sakit menjelang wafatnya, Ja’far bin Muhammad memanjatkan doa
untuknya. Ibnu Jarir kemudian meminta tempa tinta dan selembar kertas untuk menulis do’a
itu. Orang-orang pun bertanya heran, “Dalam keadaan seperti ini?” Beliau menjawab, “Sudah
selayaknya, seseorang tidak berhenti memungut ilmu, hingga menjelang kematiannya.”
Belum lagi tamu itu keluar, beliau sudah menghembuskan nafas terakhirnya, semoga Allah
merahmatinya.

14 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Dosa Menghalangi Ilmu Dan Melenyapkannya

Pertama kali Imam asy-Syafi’i berguru kepada Imam Malik, sang guru takjub dengan
kecerdasan, kejeniusan, dan kekuatan hafalannya. Lalu beliau memberi pesan di awal
pertemuan tersebut,

“Sesungguhnya aku melihat Allah telah menganugerahkan cahaya di hatimu, maka jangan
padamkan cahaya itu dengan gelapnya maksiat.”
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata,

“Sungguh saya berpendapat bahwa orang yang lupa akan ilmu yang telah diketahuinya,
disebabkan oleh dosa yang dia perbuat.”

Maksiat bahkan bisa menghilangkan ilmu secara total, juga redupnya hidayah hingga lenyap
tak tersisa. Seperti yang dialami oleh Abduh bin Abdirrahman. Al-hafidz Ibnu Katsier tentang
kejadian di tahub 278 H.

Bagi orang yang menghargai sebuah ilmu, sungguh kehilangan ilmu itu lebih menyedihkan
daripada kehilangan harta, dan memang hakikatnya ilmu lebih utama daripada harta dengan
banyak sebab.

“Ilmu dapat menjaga pemiliknya, sedangkan harta harus senantiasa dijaga atau disimpan agar
tidak hilang. Ilmu akan senantiasa bertambah apabila diamalkan dan dibagikan, sedangkan
hartanya tentulah berkurang apabila dibelanjakan.”

Menyambung Asa setelah Putusnya

Maknanya adalah putus harapan. Ada dua titik yang menjadi pusat perhatian orang yang
berputus asa; kelemahan diri dan beratnya hambatan. Ia hanya melihat kesuksesan itu terletak
pada kelebihan diri dan mulusnya jalan.

Ketika keduanya tak ia dapatkan, maka vonis kegagalan telah ia jatuhkan atas dirinya sendiri.
Pada sisi ini, ia telah melakukan kesalahan yang fatal dalam aspek keyakinan.

Orang yang berputus asa berarti telah berprasangka kepada Allah dengan prasangka yang
buruk. Seakan Allah telah menghalangi ia dari kesuksesan. Dan menuduh Allah sebagai
sebab terhalangnya kesuksesan karena Allah takdirkan banyak hambatan dan rintangan.

Sangkaan buruk lainnya adalah, orang yang berputus asa tidak yakin jika Allah mampu
menolong dirinya keluar dari kondisi buruk menuju kondisi yang lebih baik.

Orang yang berputus asa juga keliru dalam menyadarkan nasib dan bertawakal. Ia hanya
bertawakal pada kekuatan diri dan bergantung pada situasi kondusif untuk mencapai tujuan.

Penulis menutup bab ini dengan kisah Ibunda Hajar dan nabi Ismail ‘alaihi salam.

15 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Kekurangan Yang Mengantarkan Si Minder Menjadi Super

Wah, kamu hebat sudah bisa membaca sampai sini!

Masih ingin lanjut membaca materinya?

Silahkan hubungi saya di (klik di samping) https://wa.me/6281977517780 untuk


mendapatkan materi lengkapnya.

16 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r
Daftar Pustaka

Abdillah, Abu Umar (t.thn.). Muslim Hebat Mengubah Pribadi Biasa Menjadi Luar Biasa.
Sukoharjo: CV. ARRISALAH CIPTA MEDIA.

17 | M e n j a d i M a n u s i a S u p e r

Anda mungkin juga menyukai