Anda di halaman 1dari 18

RISIKO PEMBIAYAAN

MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH

Disusun Oleh :

Kelompok IV

Salsa Dwiyanti Tawainella/190105061

Mega Lestaluhu/190105046

Rustam Raharusun/190105048

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

EKONOMI SYARIAH

2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
Risiko Pembiayaan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw. keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman
nanti.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Manajemen Risiko dalam perbankan Syariah. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang risiko pembiayaan, terutama bagi para pembaca dan juga
penulis.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat kami nantikan untuk perbaikan dalam makalah
ini.
DAFTRAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………..………………………………………………………….


1.2 Rumusan Masalah…………..………………………………………………………………
1.3 Tujuan……………………………………………………………….………………………

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Risiko Akad Pembiayayaan Syariah……………………………..…………………………

2.2 Evaluasi Risiko Pembiayayaan………………..……………………………………………

2.3 Mitigasi Risiko………………………...……………………………………………………

2.4 Proses Mitigasi…………………...…………………………………………………………

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………..…………………………………………………………………..

3.2 Saran……………………...…………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Risiko merupakan sebuah aktivitas atau kondisi yang berpotensi menimbulkan dampak
buruk salah satunya pada bisnis. Demikian pula perbankan syariah secara alamiah akan
menghadapi peluang risiko dan return. Muhammad (2002) menyatakan bahwa jika dicermati
mendalam, bank syariah merupakan bank yang sarat dengan risiko. Karena aktivitasnya
banyak berhubungan dengan produk-produk bank yag mengandung banyak risiko. Mulai dari
risiko asimetri informasi, moral hazard sampai risiko akibat sistem. Untuk itu bank
membutuhkan adanya proses manajemen risiko, baik dalam menghadapi kemungkinan yang
berkaitan salah satunya dengan produk.

Dalam manajemen risiko, pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi


semua risiko yang dihadapi, kemudian mengukur atau menentukan besarnya risiko dan
barulah dapat dicarikan jalan keluarnya untuk menghadapi atau menangani risiko itu. Oleh
karena itu pihak manajemen harus menyusun strategi untuk memperkecil atau mengendalikan
risiko yang dihadapinya (Darmawi dalam Samsudin dkk, 2003)

Potensi risiko yang dihadapi oleh bank syariah meliputi risiko likuiditas, risiko
finansial, risiko tingkat suku bunga (risiko dampak) dan risiko modal. Semua itu merupakan
tantangan semua pihak yang terkait dengan perbankan syariah untuk mampu mengendalikan
risiko seminimal mungkin dalam rangka memperoleh return yang optimum.

Sampai saat ini menurut Samsudin dkk (2003), belum ada regulasi secara spesifik dan
baku dari pemerintah mengenai pengelolaan risiko perbankan syariah. Sehingga pola yang
dipakai adalah pola pengelolaan risiko perbankan konvensional yang dipisah dan dipilah
mana yang applicable di perbankan syariah dan mana yang tidak dapat dipakai dengan
filterisasi syariah dan standar operasionalnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana risiko dalam akad pembiayaan syariah

2. Bagaimana itu evaluasi risiko pembiayaan


3. Ap aitu mitigasi risiko?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang bagaimana risiko dalam akad pembiayaan syariah

2. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi risiko pembiayaan.

3. Untuk mengetahui ap aitu mitigasi risiko.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Resiko Akad Pembiayaan Syariah

1. Risiko Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik
modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan
perjanjian di awal. Bentuk kerja sama ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100%
modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

Tingginya risiko pembiayaan tercermin dari posisi rasio pembiayaan bermasalah yang
sering dikenal sebagai Non Performing Finance (NPF). Pembiayaan bermasalah (NPF)
berarti pembiayaan yang dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi terget yang
diinginkan pihak bank seperti: pengembalian pokok atau bagi hasil yang bermasalah; yang
memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank; pembiayaan termasuk
golongan perhatian khusus, diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi
terjadi penunggakan dalam pengembalian. Tingkat risiko pembiayaan merupakan
perbandingan antara saldo pembiayaan bermasalah (NPF) dengan total pembiayaan secara
keseluruhan.1

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/Dpbs/2007 Tentang Sistem


Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, NPF dikategorikan
dalam beberapa level yaitu pembiayaan kurang lancar, diragukan, dan macet. Untuk
perhitungannya digunakan rumus sebagai berikut:

NPF = Pembiayaan (KL.D.M) x 100%

Total Pembiayaan

1
Aditya Refinaldy, Septarina Prita Dania Sofianti, dan Yosefa Sayekti, “Pengaruh Tingkat Risiko
Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Mudharabah Terhadap Tingkat Profitabilitas Bank Syariah”, Jurnal
STIE Mandala (Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember, 2018), 3
Keterangan :

KL = Kurang Lancar

D = Diragukan

M = Macet

Tujuan rumus tersebut adalah untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang
dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio NPF, menunjukkan kualitas pembiayaan bank
syariah semakin buruk.

2. Risiko Pembiayaan Musyarakah

Musyarakah adalah akad kerja sama dan bagi hasil antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dengan cara masing-masing pihak memberikan kontribusi atau
menggabungkan modal, dana atau mal dengan kesepakatan bahwa hak-hak, kewajiban, risiko
dan keuntungan ditanggung secara bersama dengan nisbah (bagi hasil) ditentukan sesuai
jumlah modal dan peran masing-masing.

Kamus Bank Indonesia mendefinisikan Non Performing Finance (NPF) sebagai


pembiayaan bermasalah yang terdiri dari pembiayaan yang berklarifikasi kurang lancar,
diragukan, dan macet. Tingkat risiko pembiayaan musyarakah dihitung berdasarkan
perbandingan antara jumlah pembiayaan musyarakah yang bermasalah karena
pengembaliannya tidak sesuai jadwal yang disepakati dengan total pembiayaan secara
keseluruhan.2

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/Dpbs/2007 Tentang Sistem


Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, NPF dikategorikan
dalam beberapa level yaitu pembiayaan kurang lancar, diragukan, dan macet.

3. Risiko Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan murabahah merupakan pembiayaan dengan cara bank membeli barang atau
komoditi khusus, kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga pokok ditambah
2
Wiwik Fitria Ningsih, “Analisis Risiko Pembiayaan Musyarakah Terhadap Profitabilitas dan
Pengembalian Pembiayaan Nasabah Pada BPRS Bumi Rinjani Probolinggo Periode Tahun 2011-2016”, Jurnal
STIE Mandala (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala, 2017), 5
dengan margin yang telah disepakati bersama dengan model pembayaran baik dalam bentuk
angsuran atau maupun dalam bentuk tangguh (Zulkifli,2003).

Khusus untuk transaksi murabahah dengan pesanan yang sifatnya mengikat, resiko
yang dihadapi bank syariah hampir sama dengan resiko pada bank konvensional. Sedangkan
dalam transaksi murabahah tanpa pesanan atau dengan pesanan yang sifatnya tidak mengikat
nasabah untuk membeli, menyebabkan bank menghadapi dua resiko. Pertama, tidak ada
jaminan bagi bank syariah seandainya pembeli membatalkan transaksi. Kedua bank syariah
akan mengalami resiko kerugian, dikarenakan menurunnya nilai barang tersebut akibat cacat
atau rusak selama masa penyimpanan (Samsudin dkk, 2003).

Arifin (2003) menyebutkan resiko-resiko dalam murabahah antara lain:

a. Default; atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran.

b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank
membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.

c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai
sebab.

d. Barang tersebut dijual oleh nasabah; Karena ba’i al-murabahah bersifat jual beli dengan
utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Jika terjadi
demikian, maka risiko default akan lebih besar terjadi.

4. Risiko Pembiayaan Ijarah

Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. (Zulkifli,
2003) Kontrak ijarah (leasing) dalam perbankan syariah adalah kontrak antara bank sebagai
lessor dan nasabah sebagai lesee, di mana bank sebagai lessor memperoleh imbalan barang
atas aktiva yang disewakan. Dalam hal ijarah yang diiringi kontrak pembelian (mumtahiyah
bittamlik), nasabah (lessee) dapat memiliki obyek ijarah dengan cara hadiah/hibah oleh bank
(lessor) atau janji menjual (promise to sell). Pembelian oleh Nasabah dilakukan sebelum akad
berakhir, atau pada akhir masa sewa, atau pembelian bertahap. (Arifin, 2003) Modal Online
(Mei 2004) menyatakan bahwa risiko yang terkait dengan pembiayaan ijarah mencakup
beberapa hal berikut:
a. Dalam hal barang yang disewakan adalah milik bank, timbul risiko tidak
produktifnya asset ijarah karena tidak adanya nasabah. Hal ini merupakan business risk yang
tidak dapat dihindari.

b. Dalam hal barang yang disewakan bukan milik bank, timbul risiko rusaknya barang
oleh nasabah di luar pemakaian normal. Oleh karena itu, bank dapat menetapkan biaya ganti
rugi kerusakan barang yang tidak disebabkan oleh pemakaian normal.

c. Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewa bank kemudian disewakan kepada nasabah,
timbul risiko kualitas pemberi jasa tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, bank dapat
menetapkan bahwa risiko tersebut merupakan tanggung jawab nasabah karena pemberi jasa
dipilih sendiri oleh nasabah.

2.2 Evaluasi Risiko Pembiayaan


1. Metode Kualitatif

Sistem para ahli Metode ini merupakan metode yang berdasarkan pada penilaian para
ahli dalam memproses pemberian persetujuan atas pembiayaan. Sistem para ahli ini
menggabungkan analisis atas kalayakan untuk mendapatkan pendanaan/pembiayaan
berdasarkan pengalaman dan pengamatan praktisi para ahli yang menerapkan analisis
tersebut. Oleh sebab itu dalam analisis ini bergantung pada seberapa akurat pada model ini
mendeskripsikan pengalaman subyektif para ahli keuangan. adapun factor yang
dipertimbangkan pada umumnya dalam evaluasi dari menganalisis proses kelayakan untuk
mendapatkan pendanaan ditentukan secara empiris. Selebihnya pengaruh serta bobot factor
tersebut dalam keseluruhan proses evaluasi yang didasarkan pada pengalaman subyektif.

Tujuan adanya sistem ini yaitu merancang lalu menggabungkan aturan para ahli serta
mempertimbangkan pengalaman yang sudah dilakukan oleh pelaku klien. Secara analisis
secara umum, dengan didasarkannya pada pengalaman, menentukan lebih dahulu beberapa
karakteristik layak terima pendanaan, yang memiliki peran penting pada perilaku debitur
dihari-hari kedepan. Berdasarkan skala rating yang sudah ditentukan terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan menentukan rating dari tingkat kelayakan menerima kredit.,
misalnya kriteria kualitatif yang berkaitan dengan pendidikan, latar belakang keluarga, dan
profesi bisa digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan tingkat ratingnya.
Misalkan dengan menerapkannya kontrak murabahah, para ahli dari lembaga keuangan
syariah tersebut menghadapi tantangan dalam menentukan bagaimana cara menidentifikasi
kriteria yang bisa mengevaluasi klien, atau dengan kata lain pembeli dari objek tersebut akan
menaati kewajiban membayarnya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.

Pada kontrak ijarah atau sewa menyewa, lembaga memegang peran sebagai pemberi
sewa harus menentukan mengenai peraturan serta kriteria yang berhubungan dengan perilaku
si penyewa di kemudian harinya yang bisa menyebabkan lembaga keuangan berhadapan
dengan risiko pembiayaan.

Pada kontrak kerjasama seperti mudharabah musyarakah, lembaga menentukan kriteria


kualitatif untuk mengevaluasi eksposur risiko pembiayaan yang bersifat subyektif. Kondisi
gagal bayar pada arus kas yang diperoleh berkaitan dengan keuntungan laba actual usaha
yang telah dihasilkan. Lembaga keuangan harus menjustifikasi jaminan apa yang klien
berikan diluar barang, komoditas atau aset fisik yang dimuat dalam akad bisa menanggung
kasus gagal bayar.

2. Metode Kuantitatif

Pokok dari metode ini yaitu berdasarkan pada model kuantitatif statistic. Terdapat dua
jenis data informasi yang bisa dijadikan guna membuat model risiko yang dihadapi yaitu data
yang merujuk pada perilaku nasabah pembiayaan serta data yang menentukan kerugian yang
diakibatkan oleh risiko lainnya yang berkaitan. Dengan metode kuantitatif ini, analisis risiko
harus memiliki sejumlah asusmsi sehingga adanya tingkat ketidakpastian yang bisa
mempengaruhi hasil yang dicapainya. Asumsi yang salah dapat mengakibatkan
pengembangan model yang salah, yang bisa mengantarkan pada pengambilan keputusan yang
salah pula.

Langkah-langkah dan proses yang bersifat konkret serta divalidasi secara memadai
guna menghindarkan sifat blak box dalam metode kuantitatif diantaranya sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi ketersediaan serta aksebilitas data historis, kejelasan data,


penyatuan, serta pilihan yang digunakan guna menganalisis risiko keuangan pembiayaan.

b. Mensimulasikan data yang digunakan guna menganalisis risiko finansial dalam


pembiayaan.
c. Menentukan metodologinya

d. Mengevaluasi parameter pada model e. Menvalidasi secara kualitatif dan kuantitatif


f. Kesimpulan

3. Metode Model Hybrid

Metode ini merupakan metode gabungan antara empiris dengan kuantitatif yang
membentuk model hybrid dari evaluasi risiko pembiayaan. Apabila hanya menggunakan
salah satu dari metode empiris/kualitatif maupun metode kuantitatif hasilnya nanti kurang
maksimal serta kurang memiliki prediksi yang menjangkau kedepannya. Objektifitas
kuantitatif dalam mengolaborasi data kuantitatif yang digabung dengan kelebihan dari sistem
empiris serta menganalisis kriteria kualitatif nantinya akan menghasilkan klasifikasi risiko
yang lebih baik.

2.3 Mitigasi Risiko

Dalam setiap pemberian kredit tentu saja mengandung resiko, resiko dalam hal ini
adalah kredit yang bermasalah. Kredit merupakan risk asset bagi bank karena asset bank
dikuasai oleh pihak diluar bank yaitu nasabah yang merupakan debitur. Setiap bank
menginginkan dan berusaha keras agar kualitas assets tersebut tetap produktif atau
collectable. Namun kredit yang disalurkan oleh bank terkadang tidak dapat dikembalikan
tepat pada waktu atau sesuai dengan yang telah di perjanjikan sehingga terkadang disebut
sebagai kredit bermasalah.

Resiko kredit perlu mendapat penanganan yang tepat. Hal ini dikarenakan resiko kredit
merupakan resiko yang paling popular dan paling nyata sekaligus berdampak terbesar bagi
bank. Resiko kredit ini berpotensi menjadikan sebuah kredit menjadi bermasalah. Namun
resiko tersebut dapat diminimalisir keberadaannya. Penyaluran kredit kepada masyarakat baik
itu kepada perorangan ataupun untuk badan usaha tentu saja dilakukan secara hati-hati, teliti
dan cermat.

Sebelum melakukan pemberian kredit hendaknya pihak Bank selaku kreditur


melakukan analisis yang mendalam. Untuk mencegah terjadinya kredit yang bermasalah di
kemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu
permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman pada analisis prinsip 4P dan 5C dan 3R.
Adapun analisis prinsip 4C yaitu : 3

a. Personality¸ dalam hal ini pihak bank mencari data secara lengkap mengenai kepribadian si
pemohon kredit, antara mengenai riwayat hidupnya, pengalamannya dalam berusaha,
pergaulan dalam masyarakat, dan lain-lain.

b. Purpose, selain mengenai kepribadian dari pemohon kredit, bank juga harus mencari data
tentang tujuan atau penggunaan kredit tersebut seusai line of business kredit bank yang
bersangkutan.

c. Prospect, dalam hal ini bank melakukan analisis secara cermat dan mendalam tentang
bentuk usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit.

d. Payment, bahwa dalam penyaluran kredit bank harus mengetahui dengan jelas mengenai
kemampuan dari pemohon kredit untuk melunasi utang kredit dalam jumlah dan jangka
waktu yang ditentukan.

Adapun penjelasan untuk analisis dengan prinsip 5C adalah sebagai berikut :4

a. Character, suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan
kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang
bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi

b. Capacity, untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang
dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya
dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah.

c. Capital, untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat dari laporan keuangan
(neraca dan laporan laba rugi) dengan melakukan pengukuran seperti likuiditas, solvabilitas,
rentabilitas, dan ukuran lainnya.

d. Collateral, merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan harus
diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan
dapat dipergunakan secepat mungkin.

3
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 63
4
Kasmir, 2002, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 104
e. Condition of economy, dalam menlilai kredit hendaknya dinilai juga kondisi ekonomi dan
politik sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing,serta prospek
usaha dari sektor yang dijalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya
benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah
relatif kecil. Selain itu, untuk memitigasi resiko yang akan muncul dari adanya penyaluran
kredit perbankan maka bank dalam memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3R :5

a. Returns, yaitu hasil yang diperoleh debitur dalam hal ketika kredit telah dimanfaatkan
dan dapat diantisiapsi oleh calon kreditur. Artinya, perolehan tersebut mencukupi untuk
membayar keperluan perusahaan yang lain seperi cash flow, kredit lain jika ada, dan
sebagainya

b. Repayment, yaitu kemampuan bayar dari pihak debitur tentu saja juga mesti
dipertimbangkan, dan apakah kemampuan bayar itu match dengan schedule pembayaran
kembali dari kredit yang diberikan itu.

c. Risk Bearing Ability, yaitu sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk
menanggung resiko. Misalnya dalam hal terjadinya hal-hal diluar antisipasi kedua belah
pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulmya kredit macet.

Untuk itu harus diperhitungkan apakah jaminana dan/ asuransi barang atau kredit sudah
cukup aman untuk menutupi resiko tersebut. Bank dalam rangka pemberian kreditnya kepada
seorang nasabah atau calon debitur sangat memerlukan informasi mengenai 4P, 5C, dan 3R
tersebut, dan informasi tersebut tidak cukup di dapatkan dari atau yang terdapat dalam
dokumen aplikasi kredit, tapi harus dilakukan pencarian yang lebih mendalam lagi dari
berbagai sumber. Hal demikian merupakan kebutuhan dalam mendukung pengkajian
keuangan (financial recasting) untuk pemberian kredit tersebut.6

Dengan demikian bank sangat memerlukan informasi yang mendalam dan lengkap
tentang calon debitur, kebutuhan akan informasi tersebut sebenanrnya telah dipenuhi oleh
pusat informasi yang telah dirintis oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia berdasarkan Surat
Keputusan Nomor 28/37/KEP/DIR Tanggal 10 Juli 1995 Tentang Informasi debitur Bank
Umum, telah mempunyai suatu sistem dan prosedur informasi tersendiri.

5
Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Penerbit PT Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm.
25-27
6
Muhammad Djumhana, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti,
hlm. 268.
Analisis yang mendalam sangat berperan penting sebelum bank menyalurkan kredit
terhadap nasabah. Permasalahan yang ada meskipun tidak bisa dihindari namun bisa untuk
diminimalisir keberadaannya. Untuk itu bank Perlu menerapkan manajemen terhadap resiko
kredit yang sering muncul dalam penyaluran kredit terhadap nasabah.

Manajemen resiko dapat dijabarkan sebagai proses pengukuran atau penilaian resiko
serta pengembangan strategi pengelolaannya. Bank perlu menerapkan manajemen resiko
yang akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis resiko ditengah
semakin kompleksnya produk dan aktivitas perbankan terutama dalam hal penyaluran kredit.

Adanya mitigasi resiko dalam penyaluran kredit sebenarnya untuk mengetahui lebih
dini bahaya yang mungkin saja terjadi dan menimpa bank sebagai akibat adanya penyaluran
kredit terhadap nasabah bank. Selain dengan melakukan analisis yang mendalam
menggunakan analisis formula 4P, 5C, dan 3R, manajemen resiko yang dapat di terapkan
untuk meminimalisir kerugian yang mungkin saja muncul dari penyaluran kredit dengan
mengetahui lebih dini upaya-upaya yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh manajemen
bank untuk terlindungi dari resiko-resiko tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan mengetahui faktor-faktor produksi yang paling rentan terhadap resiko, mengetahui
kebijaksanaan perkreditan yang diambil manajemen untuk mengantisiapsi akibat negatif dari
resiko tersebut, dan dalam perencanaan kredit diarahkan memilih bidang-bidang usaha yang
tingkat resiko yang rendah dan sebagai alat penetapan suku bunga kredit.

Namun terkadang, meskipun telah dilakukan analisis yang mendalam dalam pemberian
kredit, tapi munculnya resiko kredit bermasalah tidak dapat dihindari, hal ini bisa saja terjadi,
karena dari pihak perbankan sendiri dalam melakukan analisisnya pihak analisnya kurang
teliti sehingga apa yang seharusnya bisa dihindari dengan di prediksi sebelumnya tidak
dilakukan, hal lain juga yang bisa saja terjadi yaitu adanya kolusi akibat adanya hubungan
anatara pihak yang menganalisis kredit dengan pihak nasabah yang memberikan permohonan
kredit.

2.4 Proses Mitigasi Risiko


Ketika suatu risiko terjadi, terdapat beberapa kemungkinan respons dan tindakan
yang dapat dilakukan untuk menghadapi risiko tersebut. Pertama bank dapat memutuskan
untuk menghindari risiko. Menghindari risiko dipilih sebagai respon terhadap risiko yang
dihadapi, dimana bank menganggap biayanya lebih murah dibandingkan harus melakukan
tindakan lainnya. Kedua, bank dapat memutuskan untuk mentransfer risiko yang dihadapinya
kepada pihak ke tiga, seperti perusahaan tafakul. Hal ini biasanya terkait dengan risiko murni
yang menimbulkan kegiatan fisik, seperti  kebakaran, kecelakaan kerja, dan lainnya. Ketiga
bank dapat melakukan mitigasi risiko ketika risiko yang dihadapi mustahil untuk dihindari
ataupun ditransfer kepada pihak ketiga. Bank tidak mungkin menghindar karena risiko
tersebut melekat langsung pada proses bisnis dan sulit di transfer karena tidak adanya
lembaga khusus yang mau menerima jenis risiko tersebut, dan kalaupun ada, biaya yang
harus dikeluarkan sangat mahal. Dan keempat, bank bisa membiarkan saja risiko-risiko yang
dihadapinya terjadi dan menimbulkan kerugian. Namun, tindakan ini biasanya berlaku untuk
jenis risiko tertentu yang dampak kerugiannya sangat rendah dan tidak mempengaruhi
aktivitas bisnis bank.
Karena berbagai risiko pada perbankan biasanya melekat langsung pada proses
bisnisnya. Maka risiko-risiko tersebut tidak mungkin untuk dihindari, dibiarkan, atau
ditransfer kepada pihak ketiga. Respon yang paling realitas bagi bank dalam menghadapi
risiko merupakan proses penyusunan berbagai pilihan dan aksi yang dapat digunakan bank
untuk menetralisasi, mengurangi, atau menghilangkan kerugian yang mungkin ditimbulkan
dari suatu risiko. Mitigasi risiko sebenarnya merupakan tahapan akhir dari beberapa proses
manajemen risiko sebelumnya, yaitu identifikasi risiko, analisis risiko dan evaluasi risiko.
Pada tahap evaluasi risiko, bank dapat melakukan priotisasi risiko dengan memilih beberapa
kategori risiko sebagai risiko terbesar yang memiliki pengaruh signifikan bagi bank. Risiko
yang diprioritaskan oleh bank kemudian akan dimitigasi lebih lanjut dan dipantau
implementasinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mitigasi risiko berfungsi
untuk menetralisasi, meminimalisasi, atau bahkan menghilangkan dampak negatif yang
muncul dari kejadian di suatu kategori risiko tertentu. Dan sekaligus sebagai proses
pembelajaran, dimana bank dapat menyiapkan perangkat kebijakan mitigasi untuk mencegah
terulangnya kasus serupa dimasa yang akan datang.
Mitigasi risiko pada perbankan, khususnya perbankan Islam, merupakan proses yang
cukup rumit. Sebelum bentuk mitigasi risiko dapat ditetapkan, bank terlebih dahulu harus
mengenali karakteristik setiap risiko yang akan dimitigasi. Mulai dari sumber penyebabnya,
mekanisme terjadinya risiko, dan dampak kerugian yang ditimbulkannya. Ketika bank
menyalurkan pinjaman kepada debitur, maka sumber terjadinya risiko kredit (gagal bayar)
adalah ketika debitur kehilangan kemampuan untuk membayar cicilan pinjamannya kepada
bank. Maka, untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayarnya debitur, bank biasanya
membuat alokasi presentasi penyisihan tertentu untuk berjaga-jaga jika debitur gagal bayar.
Selain itu, bank biasanya juga meminta debitur menyediakan agunan yang dapat dilikuidasi
ketika debitur tidak mampu melunasi utangnya. Dengan melakukan langkah tersebut, nilai
kerugian yang mungkin akan diderita bank akan berkurang dan dapat diminimalisir.
Bentuk mitigasi risiko untuk setiap jenis usaha risiko bisa berbeda-beda tergantung
karakteristik risiko tersebut, dampak kerugian yang ditimbulkannya, dan kebijakan risiko
yang diterapkan. Karena bank Islam dan konvensional memiliki perbedaan mendasar dalam
prinsip kegiatan operasi, maka tidak semua strategi mitigasi risiko yang dilakukan oleh bank
konvensional dilakukan pada bank Islam. Sebagai contoh, untuk memitigasi beberapa jenis
risiko yang ada (risiko kredit, risiko pasar, dan beberapa risiko lainnya), bank konvensional
biasa melakukan aktivitas bedging (lindung nilai) dengan melakukan berbagai transaksi
derivatif, seperti forward, future,option dan swap. Namun bagi bank Islam, bentuk mitigasi
risiko tersebut tidak dapat dilakukan karena tingginya kandungan gharar,
riba dan maysir  pada seluruh kontrak derivatif tersebut. Sehingga pada bank Islam, praktik
mitigasi risiko tidak semata-mata hanya untuk mentralisasi atau mengurangi dampak negatif
risiko, namun juga harus dipastikan tidak melanggar berbagai prinsip syariah yang menjadi
landasan operasional bank Islam.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Risiko merupakan suatu keadaan yang dimana dapat menimbulkan suatu dampak
buruk. Risiko pembiayaan yaag terdapat pada perbankan Syariah salah satunya pada
produk-produk bank misalnya risiko pembiayaan akad mudharabah, musyrakah,
murabahah dan ijarah. Untuk mengevaluai risiko ada tiga metode yang dapat diterapkan
dan Adapun proses mitigasi risiko yang dapat diterapkan untuk menetralisasi atau
mengurangi dampak negatife resiko namun tetap dengan cara-cara yang dibenarkan
dalam prinsip Syariah.

3.2 Saran

Makalah ini masih sangat harus mengalami perbaikan agar menjadi lebih baik dan
bermanfaat. Untuk ittu saran dan pendapata dari pembaca sangat diharapkan untuk
perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Pengertian Mudharabah, Sifat, Syarat, Rukun, Macam Jenis dan Skema Mudharabah
Terlengkap (pelajaran.co.id)

Musyarakah (Pengertian, Hukum, Rukun, Syarat, Jenis dan Ketentuan Pembiayaan)


(kajianpustaka.com)

Mitigasi Resiko Kredit Perbankan Al-Amwal, Vol. 3, No. 1, Maret 2018

makalah proses manajemen risiko (desiratnaw.blogspot.com)

https://journals.ums.ac.id/index.php/benefit/article/download/1200/767

BAB II.pdf (uinbanten.ac.id)

1200-2001-1-SM.pdf

BAB III.pdf (uinsatu.ac.id)

Anda mungkin juga menyukai