Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KEPERERAWATAN GERONTIK

PENUAAN PADA SENSORI, INTEGUMEN, DAN MUSKULOKUETAL PADA


LANSIA

Dosen Mata Kuliah:


Yusliana S.ST, M.Kes

Disusun oleh :
Alif alfiza 20186313003
Hersi 20186323018
Rosalia oktavia lia 20186323034

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG
PRODI D-IV KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lansia yang merupakan kepanjangan dari lanjut usia. Menjadi tua dengan segenap
keterbatasaannya pasti akan dialami oleh semua manusia jika ia memiliki umur yang
panjang. Sementara itu proses penuaan merupakan proses alami yang terjadi pada lansia.
Penuaan terjadi pada berbagai jaringan, organ dan sistem tubuh. Diantaranya sistem
muskuloskeletal, sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem indra dan
sistem integumen. Pada sistem muskuloskeletal, penuaan dapat menyebabkan perubahan
fisiologis yang bervariasi. Lansia banyak mengalami problem muskuloskeletal berupa
penurunan fleksibilitas otot, penurunan kekuatan otot, stabilitas postural yang buruk,
perubahan pola jalan, dan adanya nyeri musculoskeletal. Otot–otot ekstremitas bawah
sebagian besar terdiri dari otot–otot besar yang berfungsi untuk melakukan gerakan
ambulasi seperti berjalan, sehingga penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dapat
berpengaruh terhadap aktivitas berjalan (Pudjiastuti dan Budi, 2005). Kekuatan otot adalah
kemampuan otot atau kelompok otot untuk melawan tahanan selama sekali dengan usaha
maksimal (Kisner dan Colby, 2007). Dalam hal ini tentunya pada lansia mengalami
penurunan kekuatan otot, di karenakan terjadinya faktor degenerasi. Salah satu penyebab
penurunan kekuatan otot pada lansia adalah degenerasi, perubahan struktur otot, dan
ukuran serabut otot.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penuaan pada sistem sensori ?
2. Apa itu penuaan pada sistem integument ?
3. Apa itu penuaan pada sistem muskulokuetal ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui penuaan pada sistem sensori

2. untuk mengetahui penuaan pada sistem integument

3. untuk mengetahui penuaan pada sistem muskulokuetal

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Fisiologis Penuaan Pada Lansia

Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis dan


fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti), memperkenalkan “Hukum
1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1%
setiap tahunnya setelah usia 30 tahun (Martono, 2004).

Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan gerak
dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lansia terjadi
penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya
ingat 61%, serta kelenturan tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang
muncul pada lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi
pada tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan antara
lain:

1. Sistem panca-indera

Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan terdapat


kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris
yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan,
penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.

a. Pengelihatan

Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi disekitar kornea dan


membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sclera.
Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Perubahan
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil
akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa m ata, yaitu katarak
(Suhartin, 2010). Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem
visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi informasi ke
susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh terhadap lingkungan di sekitar

3
dan antar bagian tubuh sehingga tubuh dapat mempertahankan posisinya agar
tetap tegak dan tidak jatuh.

b. Pendengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis dapat


mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan pendengaran pada lansia
disebut dengan presbikusis. Presbikusis merupakan perubahan yang terjadi pada
pendengaran akibat proses penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat
penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan
konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap.
Ketidakmampuan untuk mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione,
2005). Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timfani,
pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan kakunya otot dan ligamen.
Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi pada suara (Miller, 2009).

Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan penebalan rambut, kulit
menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi peningkatan keratin. Implikasi dari hal
ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan
konduksi suara (Miller, 2009). Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat
berdampak pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian
dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap keseimbangan
tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen vestibular akan merespon
perubahan tesebut dan mempertahakan posisi tubuh agar tetap tegak.

c. Perabaan

Pada lansia terjadi penurunan kemampuan dalam mempersepsikan rasa pada


kulit, ini terjadi karena penurunan korpus free nerve ending pada kulit. Rasa
tersebut berbeda untuk setiap bagian tubuh sehingga terjadi penurunan dala
merasakan tekanan, raba panas dan dingin. Gangguan pada indera peraba
tentunya berpengaruh pada sistem somatosensoris. Somatosensoris adalah
reseptor pada kulit, subkutan telapak kaki dan propioceptor pada otot, tendon dan
sendi yang memberikan informasi tentang kekuatan otot, ketegangan otot,
kontraksi otot dan juga nyeri, suhu, tekanan dan posisi sendi. Pada lansia dengan
semakin menurunnya kemampuan akibat factor degenerasi maka informasi yang

4
digunakan dalam menjaga posisi tubuh yang didapat dari tungkai, panggul,
punggung dan leher akan menurun (Chaitow, 2005). Hal ini berdampak pada
keseimbangan yang akan terganggu akibat dari penurunan implus somatosensoris
ke susunan saraf pusat.

2. Sistem integument

Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh, kulit. Ini sistem
organ yang luar biasa melindungi struktur internal tubuh dari kerusakan, mencegah
dehidrasi, lemak toko dan menghasilkan vitamin dan hormon. Hal ini juga membantu
untuk mempertahankan homeostasis dalam tubuh dengan membantu dalam
pengaturan suhu tubuh dan keseimbangan air. Sistem integumen adalah garis pertama
pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus dan mik- roba lainnya. Hal ini juga
membantu untuk memberikan perlindungan dari radiasi ultraviolet yang berbahaya.
Kulit adalah organ sensorik dalam hal ini memiliki reseptor untuk mendeteksi panas
dan dingin, sentuhan, tekanan dan nyeri. Komponen kulit termasuk rambut, kuku,
kelenjar keringat, kelenjar minyak, pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf
dan otot. Mengenai anatomi sistem yg menutupi, kulit terdiri dari lapisan jaringan
epitel (epidermis) yang didukung oleh lapisan jaringan ikat (dermis) dan lapisan
subkutan yang mendasari (hypodermis atau subcutis).
a.Epidermis - lapisan terluar dari kulit terdiri dari sel-sel skuamosa. Lapisan ini
dicirikan ke dalam dua jenis yang berbeda: kulit yang tebal dan kulit tipis.
b. Dermis - tebal lapisan kulit yang terletak di bawah dan mendukung epidermis.
c.Hypodermis (subcutis) - lapisan terdalam kulit yang membantu untuk melindungi
tubuh dan bantal organ internal.

Lapisan terluar dari kulit terdiri dari jaringan epitel dan dikenal sebagai
epidermis. Ini mengandung sel skuamosa atau keratinosit, yang mensintesis protein
yang tangguh yang disebut keratin. Keratin merupakan komponen utama dari kulit,
rambut dan kuku. Keratinosit pada permukaan epidermis yang mati dan terus gudang
dan digantikan oleh sel dari bawah. Lapisan ini juga mengandung sel-sel khusus yang
disebut sel Langerhans bahwa sinyal sistem kekebalan tubuh infeksi. Lapisan
terdalam keratinosit epidermis berisi disebut sel basal.Sel-sel ini terus membelah

5
untuk menghasilkan sel-sel baru yang didorong ke atas ke lapisan atas. Sel basal
menjadi keratinosit baru yang menggantikan yang lebih tua yang mati dan gudang.
Dalam lapisan basal sel melanin yang dikenal sebagai mela- nosit memproduksi.
Melanin adalah pigmen yang membantu melindungi kulit dari radiasi ultraviolet
matahari yang berbahaya dengan memberi rona coklat. Juga ditemukan dalam lapisan
basal kulit adalah sel reseptor sentuhan disebut sel Merkel.
Epidermis
Epidermis terdiri dari lima sublayer:
a) Stratum korneum - lapisan atas mati, sel-sel sangat datar. Inti sel tidak terlihat.
b) Strata lucidum - tipis, pipih lapisan sel-sel mati. Tidak terlihat pada kulit tipis.
c) Strata granulosum - sel berbentuk persegi panjang yang menjadi semakin datar
ketika mereka bergerak ke permukaan epidermis.
d) Strata spinosum - polyhedral berbentuk sel-sel yang meratakan karena mereka
lebih dekat ke granulosum stratum.
e) Lapisan basale - lapisan terdalam kolumnar memanjang (kolom berbentuk) sel.
Terdiri dari sel basal yang menghasilkan sel kulit baru.

Epidermis dicirikan ke dalam dua jenis yang berbeda: kulit yang tebal dan kulit
tipis. Kulit tebal sekitar 1,5 mm tebal dan hanya ditemukan pada telapak tangan
dan telapak kaki. Seluruh tubuh ditutupi oleh kulit tipis, tertipis yang meliputi
kelopak mata.

Dermis
Lapisan bawah epidermis adalah dermis. Ini adalah lapisan tebal kulit menyusun
hampir 90 persen dari ketebalannya. Lapisan ini mengandung sel-sel khusus
yang membantu mengatur suhu, melawan infeksi, air menyimpan dan suplai
darah dan nutrisi ke kulit. Sel-sel khusus dari dermis juga membantu dalam
mendeteksi sensasi dan memberikan kekuatan dan fleksibilitas untuk kulit.
Komponen dermis meliputi:
a) Pembuluh darah - transport oksigen dan nutrisi ke kulit dan mengeluarkan
produk sampah. Kapal ini juga mengangkut vitamin D dari kulit tubuh.
b) Pembuluh getah bening - bening pasokan (cairan susu yang mengandung
sel-sel darah putih dari sistem kekebalan tubuh) pada jaringan kulit untuk
melawan mikroba.
6
c) Kelenjar Keringat - mengatur suhu tubuh dengan mengangkut air ke
permukaan kulit di mana ia dapat menguap untuk mendinginkan kulit.
d) Sebasea (minyak) kelenjar - Minyak rahasia yang membantu untuk kulit
tahan air dan melindungi terhadap mikroba membangun-up. Mereka
melekat pada folikel rambut
e) Folikel rambut - rongga berbentuk tabung yang melampirkan akar rambut
dan memberikan nutrisi pada rambut.
f) Sensory reseptor - syaraf yang mengirimkan sensasi seperti sentuhan, nyeri,
dan intensitas panas ke otak.
g) Kolagen - protein struktural tangguh yang memegang otot dan organ di
tempat dan memberikan kekuatan dan bentuk ke jaringan tubuh.
h) Elastin - protein karet yang memberikan elastisitas dan membuat kulit
merenggang. Hal ini juga ditemukan di ligamen, organ, otot dan dinding
arteri.

Hypodermis (subkutis)
Lapisan terdalam kulit hypodermis tersebut. Terdiri dari jaringan ikat lemak
dan longgar, ini lapisan kulit insulates tubuh dan bantal dan melindungi organ-organ
internal dari cedera. Hypodermis juga menghubungkan kulit untuk jaringan di
bawahnya melalui kolagen, elastin dan serat retikuler yang memperpanjang dari
dermis. Komponen utama dari hypodermis adalah jenis jaringan ikat khusus yang
disebut jaringan adiposa yang menyimpan kelebihan energi sebagai lemak.
Pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan folikel rambut juga
memperpanjang melalui lapisan kulit.
Pada usia lanjut kulit mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya sehingga
menimbulkan kerutan dan lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya di
perberat dengan terjadinya perenggangan septum orbita dan migrasi lemak
preaponeurotik ke anterior. Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior maupun
inferior dan disebut dengan dermatokalasis.

7
3. Sistem muskuloskeletal
a. Otot

Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunnya
kemampuan aktivitas. Penurunan kemampuan aktivitas akan menyebabkan
kelemahan serta atrofi dan mengakibatkan kesuliatan untuk mempertahankan
serta menyelesaikan suatu aktivitas rutin pada individu tersebut. Perubahan pada
otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan keseimbangan berkaitan dengan
kondisi lansia.

Menurut Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada sistem otot lansia
adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh
atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik atau denervasi saraf (Martono, 2004). Perubahan ini akan
menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal
berkurang (Taslim, 2001). Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan
kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai
berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak. Akibatnya otot akan berkurang
kemampuannya sehingga dapat mempengaruhi postur. Perubahan-perubahan
yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Lansia yang aktif
sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan
otot dan koordinasi dibanding mereka yang hidupnya santai (Rubenstein, 2006).
Tetapi harus diingat bahwa olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah
secara sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005).
Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat pada menurunnya
kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang tubuh (trunk) akan berkurang
kemampuannya dalam menjaga tubuh agar tetap tegak. Respon dari otot-otot
postural dalam mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural
menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat adanya
perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen tubuh. Pada otot pinggul
(gluteal) dan otot-otot pada tungkai seperti grup otot quadriceps, hamstring,
gastrocnemius dan tibialis mengalami penurunan kemampuan berupa cepat lelah,
turunnya kemampuan, dan adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh akan
menurun dan keseimbangan mudah goyah.

8
9
b. Tulang

Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium
tubuh, serta perlambatan remodeling dari tulang. Massa tulang akan mencapai
puncak pada pertengahan usia dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan
massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya
dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai disebabkan oleh
faktor usia dan disuse (Wilk, 2009). Dengan bertambahannya usia, perusakan dan
pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen
pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekular
menjadi lebih berongga, mikroarsitekur berubah dan sering patah baik akibat
benturan ringan maupun spotan (Martono, 2004). Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan terjadinya resiko osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010).

c. Perubahan postur

Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan usia. Hal itu


dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko jatuh. Gangguan
keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi progresif mekanoreseptor sendi
intervertebra. Degenerasi karena peradangan atau trauma pada vertebra dapat
menggangu afferent feedback ke saraf pusat yang berguna untuk stabilitas
postural. Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti spondilosis
servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang berusia 55 tahun keatas. Hal itu
berpengaruh terhadap penurunan stabilitas dan fleksibilitas pada postur
(Pudjiastuti, 2003). Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia
meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan kurva kifosis
torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis), penurunan ketebalan diskus
intervertebralis sehingga tinggi badan menjadi berkurang. Kepala yang condong
ke depan seringkali diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila
hal itu merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva skoliosis
dapat timbul pada lansia karena perubahan vertebra, ketidakseimbangan otot
erctor spine dan kebiasaan atau aktivitas yang salah (Pudjiastuti, 2003). Pada
anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling banyak adalah protraksi
bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi panggul dan lutut. Adanya perubahan

10
permukaan dan kapsul sendi, akan mengakibatkan kecacatan varus atau valgus
dapat sendi panggul, lutut atau pergelangan kaki.

Perubahan yang terjadi pada sistem saraf dan tulang memungkinkan terjadinya
penurunan kontrol terhadap postural secara statis. Selanjutnya, perubahan otot,
jaringan pengikat dan kulit dapat mempengaruhi perubahan postur. Adanya
trauma, gaya hidup atau kebiasaan memakai sepatu hak tinggi juga memberi
kontribusi pada percepatan perubahan postur lansia. Perubahan postur ini
tentunya akan berpengaruh pada keseimbangan saat berdiri karena pusat gravitasi
pada tubuh juga turut berubah.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKULOSKELETAL

Masalah-masalah yang berhubungan dengan Muskkuloskeletal

Proses Keperawatan
Related
Asuhan Keperawatan KB Implant
Asuhan Keperawatan Katarak
Asuhan Keperawatan Purpura Trombositopeni Idiopatika (ITP)

I. PENGKAJIAN
a. Pengkajian umum : data tentang kemampuan pergerakan, adanya ketidaknyamanan dan
abnormalitas yang mencolok, dan adanya gerakan involuntary.

observasi gaya berjalan dan gerakan yang disengaja untuk koordinasi dan kecepatan catat postur dan
posisi badan

identifikasi penggunaan alat bantu seperti tongkat, walker, dll

11
b. Riwayat Keperawatan
1. keluhan utama
2. Bantu klien untuk mendeskripsikan gejala seperti nyeri, kekakuan, kejang
3. identifikasi bersama-sama masalah kesehatan, praktek mempertahankan kesehatan
termasuk pengobatan, dan allergi
4. catat hal-hal yang dapat mempengaruhi gangguan musculoskeletal seperti gaya
hidup, interaksi dalam keluarga, status ekonomi keluarga
5. kaji persepsi pasien yang berhubungan dengan masalah kesehatan
6. evaluasi kemampuan pasien untuk belajar

c. Pemeriksaan Fisik
Pengumpulan data tentang kondisi system dan kemampuan fungsional diperoleh
melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran

a. Skeletal
1. catat penyimpangan dari structur normal à defrmitas tulang, perbedaan panjang, bentuk,
amputasi

2. identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi

b. Sendi
1. identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau effuse

2. catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi

3. evaluasi stabilitas yang mungkin berubah

4. gambarkan ROM baik aktif maupun pasif

c. Otot
1. inspeksi ukuran dan contour otot
2. kaji koordinasi gerakan
3. palpasi tonus otot
4. kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan atau dengan mengukur
skala criteria yaitu 0 untuk tidak ada kontraksi sampai 5 = normal ROM dapat melawan penuh
gaya gravitasi
5. ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau perdarahan atau pengecilan
karena atropi
6. identifikasi klonus yang abnormal

12
d. Neurovaskuler
1. kaji ststus sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu, nadi perifer, capillary
refill, nyeri
2. kaji status neurology
3. tes reflek
4. catat penyebaan rambut dan keadaan kuku

e. Kulit
1. inspeksi truma injury (luka, memar)
2. kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer)

Data Subjektif
Diperoleh dari keluhan pasien misalnya nyeri, kelemahan, sensasi yang abnormal, dan
ketidaknyamanan selama pemeriksaan fisik
Penyebab gangguan system musculoskeletal
1. kelainan congenital

2. neoplasma

3. infeksi

4. trauma

5. degeneratif

Evaluasi Diagnostik
a. Radiologi dan imaging studies

1. X-ray
a. pada tulang à mengetahui densitas, texture, erosion, dan perubahan sambungan
b. pada cortex à mengetahi pelebaran, penyempitan, irregularity
c. pada sendi à menunjukkan cairan, irregularity, formasi, penyempitan, perubahan contour
sendi

2. tomogram
3. computed tomogram
4. bone scan

13
5. arthrogram
6. myelogram
7. discogram
b. pemeriksaan sendi
1. arthrocentesis à aspirasi cairan sinovial untuk tujuan pemeriksaan dengan menggunakan jarum

2. arthroscopy

c. otot dan saraf


1. electromyography

2. nerve conduction velocities

d. laboratorium
e. biopsy tulang, densitometry

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Yang berhubungan dengan musculoskeletal


1. nyeri b/d disfungsi otot atau skeletal
2. gangguan mobilitas
3. koping yang tidak effective
4. potensial injury (membahayakan neuromuskuler seperti compartment syndrome) b/d penekanan
yang kuat, injury, ischemia perifer akibat pemasangan gips yang terlalu kuat
5. potensial kegagalan sirkulasi perifer dan fungsi syaraf b/d peningkatan tekanan pada jaringan
6. gangguan psikologis (cemas)

III. PERENCANAAN
1. peningkatan kesehatan
a. latihan à ROM aktif dan pasif b. diit

2. pemeliharaan dan pemulihan


a. perawatan gips à sirkuler, spalk
b. perawatan traksi à skin, skeletal
c. perawatan bedah
d. pemakaian alat Bantu

14
TRAUMA PADA MUSKULOSKELETAL
1. Kontosio
Adalah injury pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tumpul
(pukulan,tendangan,jatuh)

MANIFESTASI KLINIS
1. perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) à karena rupture pembuluh darah kecil, juga
berhubungan dengan fraktur
2. nyeri, bengkak, dan perubahan warna
3. hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan kehilangan arah yang
banyak

INTERVENSI KEPERAWATAN
A. mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman
1. tinggikan daerah injury
2. berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap pemberian) untuk
vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan rasa tidak nyaman
3. berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-30 menit) 4 kali sehari
à untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi
4. lakukan pembalutan à untuk mengontrol perdarahan dan bengkak
5. kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada indikasi

B. Jadwal aktivitas
1. anjrkan ROM pada semua sendi

2. Bantu aktivitas yang dilakukan bila diperlukan

3. ajarkan pada pasien latihan berlebihan yang harus dihindar

4. ajarkan pada pasien untuk menghindari kekambuhan

2. Traumatic Joint Dislocation


Adalah terjadi ketika permukaan tulang sendi tidak sesuai dengan posisi anatomi. Dislokasi
merupakan keadaan emergensi karena berhubungan dengan kerusakan aliran darah dan
persarafan disekitarnya

15
MANIFESTASI KLINIS
1. nyeri

2. deformitas

3. perubahan panjang daerah extremitas

4. kerusakan gerakan yang normal

5. x-ray menunjukkan adanya dislokasi tanpa berhubungan dengan fraktur

PENATALAKSANAAN
1. immobilisasi area dislokasi selama pasien dibawa ke UGD
2. lakukan reduksi area dislokasi (mengembalikan ke posisi anatomi yang normal) sesegera
mungkin à jika perlu menggunakan anesthesia
3. stabilisasi reduksi selama penyembuhan struktur sendi
4. monitor perkembangan sambungan

INTERVENSI KEPERAWATAN
A. pemberian rasa nyaman
1. gunakan anesthesia pada saat melakukan reduksi

2. berikan obat-obtan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman

3. immobilisasi sendi

B. pemenuhan ADL
1. Bantu pasien dalam memenuhi ADL yang dibutuhkan
2. berikan KIE yang dibutuhkan pasien dengan keterbatasan aktivitas, terapi rehabilitasi, dan
monitor sambungan sendi setiap saat
3. Fraktur

Definisi Fraktur:
Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya disebabkan
oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak. (Aswin, dkk,; 1986).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat

16
berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabakan patah tulang
radius dan ulna, dan dapat berupa tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada lengan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Klasifikasi Klinis:

1. greenstick fracture; terjadi pada anak-anak, tulang patah di bawah lapisan periosteum yang
elastis dan tebal (lapisan periosteum sendiri tidak rusak).
2. Fissura fraktur; patah tulang yang tidak disertai perubahan letak yang berarti.
3. complete fracture; patah tulang yang disertai dengan terpisahnya bagian-bagian tulang.
4. Comminuted fracture; tulang patah menjadi beberapa fragmen.
5. Fraktur tekan (stress fracture); kerusakan tulang karena kelemahan yang terjadi sesudah
berulang-ulang ada tekanan berlebihan yang tidak lazim.
6. Impacted fracture; fragmen-fragmen tulang terdorong masuk ke arah dalam tulang satu sama
lain, sehingga tidak dapat terjadi gerakan di antara fragmen-fragmen itu.
7. Fraktur Tertutup (Simple): Faktur tidak meluas melewati kulit
8. Fraktur Terbuka (compaund): Fraktur tulang meluas melewati otot dan kulit
9. Fraktur Patologis: Fraktur terjadi pada penyakit tulang

Derajat Patah Tulang Terbuka


1. Derajat I : laserasi < 2 cm, pada fraktur sederhana, dislokasi fragmen tulang minimal
2. Derajat II : laserasi > 2 cm, kontusio otot disekitarnya, disklokasi fragmen jelas.
3. Derajat III : luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya, komunitif,
segmental, fragmen tulang ada yang hilang

Gambaran klinis fraktur:


1. Riwayat trauma.

2. Nyeri, pembengkakan dan nyeri pada daerah fraktur (tenderness).

3. Perubahan bentuk (deformitas).

4. Hilangnya fungsi anggota badan dan persendian-persendian yang terdekat.

5. Gerakan-gerakan yang abnormal.

6. Krepitasi.

17
Prinsip terapi fraktur
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu:

1. Rekognisi atau pengenalan (Price & Wilson, 1985);


Rekognisi yaitu pengenalan mengenai dignosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian di rumah sakit. Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang
berperanan dan deskripsi tentang kejadian tersebut oleh klien sendiri, menentukan
kemungkinan tulang yang patah, yang dialami dan kebutuhan pemeriksaan spesifik untuk
fraktur.

2. Reduksi; pemilihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur (Sabiston, 1984)


Reposisi.
Fraktura tertutup pada tulang panjang seringkali ditangani dengan reduksi tertutup. Untuk mengurangi
rasa sakit selama tindakan ini klien dapat diberi narkotika intravena, obat penenang (sedatif atau
anastesia blok saraf lokal).

Traksi kontinu; dengan plester felt melekat di atas kulit atau dengan memasang pin trafersa melalui
tulang, distal terhadap fraktur.

Reduksi terbuka bedah, biasanya disertai sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat pin, batang atau
sekrup.
3. Imobilisasi (Sabiston, 1995) atau retensi reduksi (Wilson & Price, 1985)
Bila reduksi telah tercapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur sampai timbul
penyembuhan yang mencukupi. Berbagai teknik digunakan untuk imobilisasi, yang
tergantung pada fraktur:

Fraktur impaksi pada humerus proksimal sifatnya stabil serta hanya memerlukan ambin atau
balutan lunak
Fraktur kompresi (impaksi) pada vertebra, tepat diterapi dengan korset atau brace Fraktur yang
memerlukan reduksi bedah terbuka biasanya diimobilisasi dengan perangkat keras interna, imobilisasi
eksternal normalnya tidak diperlukan.Fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan gibs, gibs
fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara komersial

Semua pasien fraktur perlu diperiksa untuk menilaian neurology dan vascular. Adanya nyeri, pucat,
prestesia, dan hilangnya denyut nadi pada ekstremitas distal merupakan tanda disfungsi
neurovaskuler.

18
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan
ekstrimitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi tercapai.

4. Pemulihan fungsi (restorasi) atau rehabilitasi (Price & Wilson 1985, Sabiston 1995) Sesudah periode
imobilisasi pada bagian manapun selalu akan terjadi kelemahan otot dan kekakuan sendi. Hal ini
dapat diatasi dengan aktivitas secara progresif, dan ini dimudahkan dengan fisioterapi atau dengan
melakukan kerja sesuai dengan fungsi sendi tersebut. Adanya penyambungan yang awal dari fragmen-
fragmen sudah cukup menjadi indikasi untuk melepas bidai atau traksi, akan tetapi penyambungan
yang sempurna (konsolidasi) seringkali berlangsung dalam waktu yang lama. Bila konsolidasi sudah
terjadi barulah klien diijinkan untuk menahan beban atau menggunakan anggota badan tersebut secara
bebas.

Pengelolaan Fraktur
Contoh fraktur
Konservatif
Operatif
Pro teksi
Repo sisi
Immobi lisasi
Trak si
Immobilisasi
Pros tesis
Repo
sisi
Fiksator
ekstern
Pin intra
meduler
Pelat dan
sekrup
Tulang rusuk

19
Tungkai bwh
Radius distal
Femur tibia
Kolum femur
Femur tibia
humerus
Secara ringkas tahap penyembuhan tulang adalah sebagai berikut:
1. Stadium pembentukan hematom;
Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh darah yang robek.
Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (peristeum & otot).Terjadi sekitar 1 – 2 x 24 jam.

2. Stadium proliferasi sel/implamasi;


Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur. Sel-sel ini menjadi
precusor osteoblast.Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah fragmen tulang. Prolifferasi juga terjadi di
jaringan sumsum tulang. Terjadi setelah hari ke 2 kecelakaan terjadi.

3. Stadium pembentukan kallus;


Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus). Kallus memberikan rigiditas pada fraktur.Jika
terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatuTerjadi setelah 6 – 10 hari
setelah kecelakaan terjadi.

4. Stadium konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah menyatu. Secara bertahap
menjadi tulang mature.Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah kecelakaan.

5. Stadium remodeling;
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur. Tulang yang
berlebihan dibuang oleh osteoklast.Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, dewasa
masih ada tanda penebalan tulang.

Penyembuhan fraktur disertai faal memadai umumnya dapat dicapai dengan:


1. immobilisasi dengan gips dan/atau traksi

2. mempertahankan penjajaran

3. pencegahan rotasi

4. latihan persendian secara aktif

5. penggunaan keempat ekstremitas (kecuali yang diimobilisasi)

20
Faktor-faktor yang menghambat penyambungan (union) fragmen-fragmen;
1. Luas fraktur.

2. Reposisi yang tidak memadai.

3. Imobilisasi yang tidak memadai ditinjau dari segi waktu maupun luas imobilisasi.

4. Sepsis atau tindakan pembedahan.

Faktor-faktor yang mencegah terjadinya penyambungan (union) fragmen-fragmen;


1. Interposisi jaringan lunak seperti otot di antara ujung-ujung fraktur.

2. Imobilisasi yang tidak memadai.

3. Traksi yang berlebihan (distraksi), sehingga mencegah peyambungn oleh callus.

4. Infeksi.

Sindroma kompartemen sering kali ditemukan pada fraktur tungkai bawah yang ditandai
1. Nyeri (pain)

2. Parestesia karena rangsangan saraf perasa

3. Pale (pucat) karena iskemis 5 P

4. Paralisis atau paresis karena gangguan saraf motorik

5. Pulse (nadi) yang sulit diraba lagi

Penatalaksanaan Fraktur Terbuka


1. Debridement

2. Pemberian Tetanus Toksoid

3. Pemeriksaan Kultur Jaringan

4. Pemberian rawat luka dengan kompres terbuka

5. Pemberian antibiotic

6. Pemantauan gejala infeksi

7. Menutup luka setelah dipastikan tidak ada infeksi

8. Immobilisasi pada ekstremitas yang patah

Pemeriksaan Diagnostik:
1. Pemeriksaan rontgen : untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur atau trauma

21
2. Scan tulang. CT Scan, MRI : untuk memperlihatkan fraktur dapat juga digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai
4. Hitung darah lengkap : peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stres normal setelah
trauma
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple atau
cedera hati

Masalah Keperawatan: Masalah Kolaborasi: Infeksi


1. Resiko tinggi terhadap trauma (tambahan)

2. Nyeri akut

3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskular perife

4. Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas

5. Gangguan mobilitas fisik

6. Resiko tinggi terhadap kerusakan jaringan kulit

7. Resiko tinggi terhadap infeksi

Diagnosa Keperawatan Dan Rencana Keperawatan:


1. Resiko tinggi terhadap trauma (tambahan) sehubungan dengan kehilangan integritas
kulit/fraktur
Tujuan: Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur dengan kriteria:
- Stabilitas pada sisi fraktur
- Pembentukan kalus atau mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
Intervensi
1. Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi. Beri sokongan sendi di atas dan di
2. bawah fraktur bila bergerak/membalik
3. Letakan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik
4. Sokong fraktur dengan bantal/ gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang
sakit dengan bantal pasir, papan kaki
5. Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi oedema
6. Pertahankan posisi/integritas traksi
7. Kaji integritas alat traksi eksternal

2. Nyeri akut sehubungan dengan spasme otot/imobilisasi

22
Tujuan: Nyeri hilang dengan kriteria: Rilek; mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/
istirahat dengan tepat.
Intervensi
1. Pertahankan bagian yang sakit dengan tirah baring
2. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terluka
3. Hindari penggunaan sprei/bantal plastik di bawah ekstremitas dalam gip
4. Tinggikan penutup tempat tidur, pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki
5. Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyaman, perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk
intensitas (skala 0 – 10). Perhatikan petunjuk nyeri non verbal
6. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cedera
7. Jelaskan prosedur sebelum memulai
8. Beri obat sebelum perawatan aktivitas
9. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif
10. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan-pijatan punggung, perubahan posisi
11. Dorong/ajari teknik manajemen nyeri, latihan nafas dalam, sentuhan teraupeti selidiki keluhan
nyeri yang tidak biasa/tiba-tiba

3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskular perifer sehubungan dengan penurunan aliran
darah
Tujuan: Mempertahankan perfusi jaringan dengan kriteria:
a. Terabanya nadi
b. Kulit hangat
c. Sensasi normal
d. Sensori biasa
e. Tanda-tanda vital stabil
f. Haluaran urian adequate untuk situasi individu

Intervensi
a. Lepaskan segala perhiasan/aksesoris yang ada pada ekstremitas yang sakit
b. Evaluasi adanya kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi.
Bandingkan dengan ekstremitas yang sakit
c. Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur
d. Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motorik/ sensorik
untuk melokalisasi nyeri/ ketidaknyamanan
e. Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik yang kasar/tekan. Selidiki rasa terbakar di
bawah gips

23
f. Perhatikan keluhan nyeri ekstremitas untuk tipe cedera atau peningkatan nyeri pada
gerakan pasif ekstremitas
g. Perhatikan tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba, contoh Penurunan suhu kulit dan
peningkatan nyeri
h. Latih pasien untuk secara rutin latihan jari/sendi distal cedera. Ambuilasi sesegera
mungkin
i. Observasi nyeri tekan, pembengkakan pada dorsofleksi kaki
j. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan tanda-tanda sianosis umum, kulit dingin,
perubahan mental
k. Kolaborasi: kompres es sekitar

fraktur sesuai indikasi


4. Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas sehubungan dengan perubahan aliran darah/emboli
lemak
Tujuan: Mempertahankan fungsi pernafasan adequate dengan kriteria:
a. Tidak adanya dispnea/sianosis
b. Frekuensi pernafasan dalam batas normal
c. GDA dalam batas normal

Intervensi dan rasional


Awasi frekuensi pernafasan dan upayanya. Perhatikan stridor penggunaan otot bantu,

1. retraksi terjadinya seanosisi sentral


2. Auskultrasi bunyi nafas, perhatikan terjadinya ketidaknyamanan, bunyi hiperesonan juga
adanya gomericik/tonki
3. Atasi jaringan cedera tulang dengan lembut, khususnya selama beberapa hari pertama
4. Beri motivasi dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering
5. Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, letargi, stupor
6. Observasi sputum untuk tanda adanya darah
7. Insfeksi kulit untuk ptekie pada axila
8. Kolaborasi: Beri O2, awasi hasil lab, beri obat sesuai indikasi; kortikosteroid, heparin dosis
rendah

5. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri daerah fraktur

Tujuan: Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas fisik dengan kriteria: mampu melakukan
aktivitas.
Intervensi

24
1. Kaji derajat immobilitas yang dihasilkan oleh cedera atau pengobatan dan
memperhatikan persepsi pasien terhadap immobilisasi
2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapiotik atau relaksasi. Pertahankan rangsangan
lingkungan, contoh; radio, TV, barang milik pribadi, jam, kalender, kunjungan keluarga
atau teman
3. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam rentang gerak pasien/aktif pada ekstremitas yang
sakit dan yang tidak sakit
4. Dorong penggunaan latihan isometric mulai dengan tungkai yang tak sakit
5. Berikan papan kaki, bebat pergelangan, gulungan trokanter/ tangan yang sesuai
6. Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan
menstabilkan fraktur tungkai bawah
7. Instruksikan/dorong menggunakan trapeze dan “Pasca posisi” untuk fraktur tungkai
bawah
8. Bantu.dorong perawatan diri/ kebersihan (contoh; mandi, mencukur)
9. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tingkat, sesegera
mungkin.Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas,
10. Awasi TD dengan melakukan aktivitas. Perhatikan keluhan pusing
11. Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/nafas dalam
12. Auskultasi bising usus. Awasi kebiasaan eliminasi dan berikan keteraturan defekasi
runin. Tempatkan pada pispot, bila mungkin, atau menggunakan bedpan fraktur.
Berikan privasi
13. Dorong peningkatan masukan cairan sampai 2000 – 3000 ml/hari termasuk air asam/jus
14. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Pertahankan Penurunan
kandungan protein sampai setelah defekasi pertama
15. Tingkatkan jumlah diet kasar. Batasi makanan pembentukan gas
16. Kolaborasi
a. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan/atau rehabilitasi spesialis
b. Lakukan program defekasi (pelunak feses, edem, lakstif) sesuai indikasi
c. Rujuk ke perawat spesialis psikiatrik klinikal/ahli terapi sesuai indikasi

6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit sehubungan dengan pemasangan traksi pen,
kawat, sekrup
Tujuan: Mencegah kerusakan integritas kulit dengan kriteria:
- Mencapai penyembuhan sesuai waktu
- Ketidaknyamanan hilang.
Intervensi
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna

25
kelabu, memutih
b. Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan tempat tidur kering dan babas
kerutan
c. Ubah posisi dengan sering
d. Kaji posisi cincin bebat pada alat traksi
e. Untuk traksi kulit + perawatan
a. Bersihkan kulit dengan air sabun hangat b. Beri tintur benzoin
b. Gunakan plester traksi kulit
c. Lebarkan plaster sepanjang tungkai
d. Tandai garis dimana plester keluar sepanjang ekstremitas
e. Letakan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang g. Balut
lingkar tungkai
f. Palpasi jaringan yang diplester tiap hari i. Lepaskan traksi kulit tiap 24 jam

7. Resiko tinggi terhadap infeksi sehubungan dengan kerusakan kulit


Tujuan: Tidak terjadi infeksi dengan kriteria:
- Penyembuhan luka sesuai waktu
- Bebas drainase porulen
- Bebas iritema
- Bebas demam
Intervensi
1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi/ robekan kontinuitas
2. Kaji keluhan peningkatan nyeri
3. Beri perawatan steril sesuai protocol
4. Kaji tonus otot, reflek tendon
5. Selidiki nyeri tiba-tiba, keterbatasan gerak, oedema
6. Lakukan prosedur isolasi
7. Kolaborasi: Periksa lab, beri antibiotik sesuai indikasi

GANGGUAN DEGENERATIF
1. Penyakit Sendi Degeneratif (Degenerative Joint Disease) = Osteoarthritis
Penyakit sendi degenaratif disebut juga osteoarthritis, hypertrohyarthritis osteoarthrosis,
sennescent arthritis, penyakit. Ini sangat dikenal yang diduga usianya sama setua adanya manusia.
Hampir setiap orang diatas 40 tahun ada hyperthrofi persendian. Secara simtomatis penyakit sendi
degeneratif terjadi pada usia 50-70, diantara yang menderita termuda ialah pada usia 20 tahun.. Ada
dua jenis osteoarthritis, yang primer penyebab belum diketahui, yang sekunder akibat trauma, infeksi,

26
pernah fraktur, bentuk artritis yan g lain ialah rhematoid arthritis stres akibat persendian menerima
bobot akibat obesitas atau akibat membebani dan mencederai persendian karena pekerjaan (contoh
pegawai tambang dan tinju).

Pencegahan
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah osteoarthritis adalah :
1. Mencegah obesitas
2. Mencegah trauma yang berulang-ulang kepada persendian
3. Harus melatih melindungi persendian bagi mereka yang persendiannya beresiko tinggi karena
pekerjaannya.
PATHOFISIOLOGI
Penyakit sendi degeneratif (osteoarthritis/PSD) adalah penyakit dari tulang rawan. Biasanya warna
kartilago adalah merah, bening dan licin. Bila terserang penyakit menjadi berwarna kuning dan tidak
bening. Daerah kartilago jadi lunak, kasar, rusak dan pecah-pecah. Proses terebut terjadi akibat digesti
kepada tulang rawan oleh enzim dan gangguan nutrisi kepada tulang rawan. Kartilago menjadi hancur
dan tulang subchondria dalam keadaan proses mengganti bentuk. Osteophytes atau duri-duri dari
tulang baru, timbul pada tepi-tepi sambungan struktur penunjang. Ini tumbuh banyak dan tumbuh
didalam rongga sendi. Berbeda dengan rhematoid arthritis (RA), osteoarthritis hanya menyerang
persendian dan jaringan diseputarnya. Penyakit tidak merupakan penyakit sistemik.

Pasien osteoarthritis menderita nyeri pada persendian yang bergerak, terutama sendi penerima beban
(panggul-lutut), dan persendian tangan sering kali tidak nampak adanya peradangan, sensifitasnya
rendah, hanya sendi menjadi besar. Ada kripitasi pada waktu digerakkan bentuk persendian
ekstremitas berubah. Pasien menderita kaku setelah istirahat.

PENGKAJIAN
A. Data Subjektif
Penderita osteoarthritis kondisi kesehatan lainnya baik. Bentuk pertanyaannya adalah :
Kapan timbul rasa nyeri?
Apakah yang dapat mengurangi rasa nyeri? Sendi manakah yang terserang?
Modifikasi apakah yang telah dikerjakan untuk kegiatan kebutuhan sehari-hari (ADL)
karena adanya rasa nyeri?
B. Data Objektif
Karena tanda-tanda dan gejala biasanya lokal palpasi dan infeksi adalah para yang paling
menonjol untuk para pengkaji.

27
1. Sendi nampak abnormal
a. Cek apakah sendi yang terserang lembek, berderik, krepitasi.
b. Palpasi apakah bengkak, ukuran sendi tidak beraturan, gangguan fleksi, adanya deformitas lateral.
2. Amati cara berjalan pasien
3. Amati kebebasan gerakan sendi yang utama?
4. Kaji apakah ada keterbatasan dari leher dan pinggang?
5. Apakah pasien ada kesukaran untuk berdiri lama atau susah berdiri dari kursi
(terutama yang tidak memakai tangan-tangan) setelah dduk agak lama?
§ Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto rongenologi tampak normal bila perubahan pathologi ringan.

2. Lambat laun terjadi perubahan :

a. Mengecilnya ruang sendi

b. Pembentukan osteothyte/duri pada tepi

c. Eburnasi (sclerosis) dari tulang subchondria.

3. Serologi dan cairan sinovial keadaannya normal.

Etiologi

Penyebab degeneratif dari kartilago artikular tidak diketahui

Teori-teori penyebab:

1. Terjadi digesti kartilago oleh enzim dan ada gangguan nutrisi kartilago

2. Predisposisi pada pemakaian dan robek pada sedi yang terserang (iritasi kronis)

3. Kegemukan adanya bobot yang berlebihan kepada sendi

4. Gangguan metabolik (contoh acromegali)

5. Perdarahan sendi yang berulang-ulang

6. Trauma

7. Predisposisi genetik

8. Gangguan kongenital (contoh luksasi sendi panggul)

9. Stres persendian karena usia lanjut

10. Pekerjaan tertentu seperti pegawai tambang dan petinju.

28
Tanda-tanda dan Gejala

a. Rasa nyeri pada persendian yang bergerak, terutama penerimaan bobot.

b. Sendi kurang kuat yang meningkatkan rasa nyeri c. Sendi membengkak dan hilang gerakan

d. Ada krepitasi

e. Ada perubahan bentuk pada bagian yang terserang dengan deformitas pad aposisi fleksi f. Menjadi
kaku setelah diistirahatkan

g. Perubahan-perubahan pada sendi tertentu:

1. Nodul-nodul Heberden tonjolan tulang pada permukaan bila terlentang pada distal interphalangs
dari persendian

2. Nodul Bouhard pada proksimal persendian antar palangus dari jari-jari tangan.

3. Coarthrosis – perubahan degeneratif rasa nyeri panggul bila ada bobot, menyebar ke bokong dan
pertengahan sendi lutut.

4. Lutut menderita – varus valgus deformitas fleksi kemampuan bergerak terbatas.

Pengobatan Medis

1. Salicylates dan nonsteroid


a. Aspirin
b. NSAIA (nonsteroid anti inflamotory agents)
c. Suntikan intraarticular streroid pada ras nyeri yang hebat. d. Analgestic (Tylenol, Darvon)
2. Menggunakan alat bantu yang dapatmengurangi bobot pada persendian penerimaan bobot
(tongkat, alat yang berjalan, kruk).
3. Istirahat
4. Latihan
5. Melindungi persendian
6. Pembedahan
a. Arthroskopi untuk membuang sisa-sia tulang rawan atau tulang b. Memperbaiki bangun sendi
(osteotomi)
c. Fusi (arthrodesis)
d. Pengganian sendi
ANALISA: DIAGNOSA PERAWATAN
Diagnosa keperawatan ditegakkan atas hasil pengkajian data pasien. Kemungkinan diagnosa

29
perawatan pasien dengan penyakit sendi degeneratif adalah (walaupun tidak terbatas):
DIAGNOSA
KEMUNGKINAN ETIOLOGINYA
Tidak toleransi terhadap aktivitas.
Kurang pengetahuan tentang osteoarthritis
Gangguan mobilitas fisik
Nutrisi melebihi kebutuhan tubuh nyeri pada sendi yang terserangKegiatan kebutuhan sehari-hari
terbatas.Mobilitas terbatas karena senditerserang Kurang sumber informasi Gangguan
muskuloskeletal akibat degenerasi dari sendi yang sakit Kelebihan makan karena kebutuhan metabolis
Degenerasi dari sendi yang sakit Nyeri terbatas gerakan sendi

PERENCANAAN: HASIL YANG DIHARAPKAN PASIEN


Hal yang diharapkan dari pasien osteoarthritis, adalah (walaupun tidak terbatas):
1. Pasien merasa lebih aman
2. Pasien lebih mampu untuk kegiatan fisik
3. Pasien dapat mengatur istirahat dan kegiatan
4. Pasien mampu mengatakan alasan untuk mempertahankan berat badan yang normal
5. Pasien dapat merawat diri sendiri dengan sedikit kesukaran
6. Pasien dapat menjelaskan proses penyakit, pengobatan dan merencanakan untuk pengobatan
lanjutan

IMPLEMENTASI
Langkah-langkah untuk menekan rasa nyeri, ketidak nyamanan, meningkatkan kemampuan mobilitas
dan mengerjakan ADL sama seperti untuk pasien dengan rheumatoid arthritis.

KONSULTASI DAN PENYULUHAN


Rencana penyukuhan meliputi :
1. Memperhatikan postur
2. Menurunkan berat badan, mencegah kenaikan berat badan
3. Cara pemakaian tongkat, kruk, kursi roda, sendi yang sakit jangan dibebani
4. Merobah ADL mencegah kegiatan yang menyakitkan
5. Memakai upaya dari luar, seperti menghangatkan, latihan yang ditentukan, memakai traksi bila
diinstruksikan.

30
PEMBEDAHAN
Tingkat pembedahan mungkin diperlukan untuk membuang tulang atau tulang rawan yang

rusak dari sendi, membetulkan bentuk, merobah dataran sendi penerima bobot, atau membuat dataran
persendian yang baru. Tujuan dari pembedahan adalah: (1) untuk mengurangi rasa nyeri, (2)
mengembalikan fungsi sendi [bila mungkin], (3) mencegah ketidak mampuan atau menghambat
perkembangan penyakit. Pembedahan panggul dan lutut sering dilakukan, sedangkan pembedahan
bahu sangat praktis dan efektif. Pembedahan yang spesifik adalah :

1. Debridement (biasanya melalui pembedahan arthroskopi atau arthrotomi)

2. Arthrodesis, memfusikan sendi, rasa nyeri sembuh, pergerakan sendi hilang, tetapi fungsi menahan
bobot dipertahankan.

3. Oestotomi. Tulang dipotong untuk mempertahankan bentuk, jadi mengoreksi deformitas tulang
atau persendian. Prosedur mengerjakan pengoreksian sudut/siku yang ada deformitas rotasi atau
merobah dataran penerima beban pada sendi yang sakit. Osteotomi harus dibayangkan sebagai
pembedahan atau fraktur intentional, atau ekstremitas ditolong seperti pada yang fraktur dengan
pengecualian bahwa yang menerima bobot ditolong terlebih dahulu. Imobilisasi dari ekstremitas dan
intervensi perawatan yang dikerjakan sama dengan fraktur.

4. Arthroplasty, kedua jenis arthoplasty adalah :

a. Interposisi – membuat permukaan baru salah satu dataran sendi dengan logam atau materi dari
dalam atau jaringan lunak, seperti fasia.

b. Replecement (penggantian) membuat dataran pada dua tepi sendi dengan metal atau polyethylene
dicangkokkan. Penggantian pencangkokan dilaksanakan pada panggul (lihat gambar 22-9), bahu,
tumit, sikut, pergelangan, persendian interphalangus dari jari. Prothesa pengganti ada yang
menggunakan semen (dieratkan pada tulang dengan polyethymethcrylate) atau tanpa semen
(dikerjakan dengan lapis yang porous yang bisa tumbuh kepada tulang). Pertologan pasien pasca
arthropasty dibicarakan pada uraian sebelumnya.

EVALUASI
Evaluasi berdasarkan hasil yang diharapkan dari pasien, pertanyaannya adalah :
1. Apakah pasien lebih nyaman?
2. Apakah pasien kegiatan fisik lebih efektif
3. Apakah pasien bisa mandiri hanya dengan sedikit kesulitan?
4. Apakah pasien mengerti tentang kenaikan berat badan dan mempertahankan berat badan yang
ideal?

31
5. Apakah pasien dapat membicarakan tentang proses penyakit, cara pengobatan dan pengobatan
lanjutannya
6. Apakah pasien bisa mengerjakan latihan-latihan yang ditentukan.
KELAINAN-KELAINAN DISEBABKAN GANGGUAN METABOLLISME
1.Gout
Gout atau arthritis gouty adalah suatu kelainan metabolik yang mana laki-laki delapan
sampaisembilan kali lebih sering terkena daripada wanita. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai
usia, usia yang sering terkena adalah sekitar 50 tahunan. 85% dari penderita gout mempunyai
faktor genetik. Gout terjadi sebagai akibat dari hyperuricemia yang berlangsung lama (asam urat
serum meningkat) disebabkan oleh karena penumpukan purin atau rekresi asam urat yang kurang
dari ginjal. Etiologi tanda dan gejala serta terapi medis dimuat dalam tabel 22-10.

A. Etiologi
Kelainan metabolik dalam pembentukan purin atau ekresi asam urat yang kurang dari ginjal yang
menimbulkan hyperuricemia kronis.
B. Tanda dan Gejala a. Akut :
1. nyeri yang berat dan berlangsung cepat pada sendi yang terinflamasi, lebih sering pada ibu jari kaki
2. adakalanya bengkak dan lembut
3. kelelahan
4. sakit kepala
5. demam.

b. Kronis
Riasanya terdapat pada yang mempunyai kecenderungan keluarga. Eksarbasi akut terjadi bilamana
tidak di diagnosa atau tidak diobati. Penumpukan thopy (penumpukan monosodiumurate dalam
jaringan) banyak terdapat pada telinga, pangkal jari dan ibu jari kaki.
C. Terapi Medis
1. Pengobatan serangan akut :
a. Cholchicine (0,6 mg), pada pemberian oral, awalnya dua tablet, kemudian satu tablet setiap jam
sampai mual, muntah, diare atau gejala-gejala sendi berkurang, batasannya 6,0 samapai 8,0 mg.
b. Cholchicine 1,0 sampai 3,0 mg dalam NaCi intravenouse diberikan dalam waktu lebih dari 10
menit.
c. Phenylbutazone (Butazolidin)
d. Indhometachin (Indocin)
2. Sendi diistirahatkan secara mutlak.
Terapi pencegahan meliputi pengurangan asam urat dalam tubuh dengan salah satu dari

32
2 metode ini, yakni :
1. Meningkatkan ekskresi asam urat :
a. Peobenecid (Benemid) 0,5 gr/hari selama satu minggu kemudian ditambah 0,5 gr/minggu sampai
asam urat serum normal kemudian 0,5 gr/hari.
b. Sulfinphyrazone (Anturane) digunakan pada pasien yang tidak tahan terhadap
Benemid.
2. Menurunkan pembentukan asam urat :
Allopurinol (Zyloprim), 100 mg 2 (dua) kali sehari pada permulaan, ditambah 100 mg setiap 2 – 4
minggu hingga asam urat serum normal kemudian 500 mg/hari.
D. PATHOFISIOLOGI

Kristal urat terbentuk dalam jaringan sinoval, menyebabkan radang yangberat. Proses
radangberlangsung dengan cepat, terjadi lebih dari beberapa jam. Gejala-gejala akut berupa nyeri
yang ekstrim, bengkak dan erythema (kemerahan) pada sendi yang terkena. Khususnya mengenai jari
besar atau ibu jari kaki (sendi metatarsaphalangeal pertama), tetapi sendi lainnya seperti tumit,
pergelangan kaki dan lutut dapat juga terkena. Nyeri dirasakan begitu berat. Kerusakan ginjal banyak
terjadi, khususnya bila batu asam urat terdapat secara menetap. Diantara serangan gout, mungkin
asimptomatis tetapi serangan dapat berulang-ulang secara perahan kemudian meningkat bila penyakit
tidak diobati. Pasien dengan penyakit gout dapat mempunyai gejala thopy atau menumpuknya
monosodium urat didalam jaringan. Menumpuknya monosodium urat yang terkandung didalamnya
bereaksi sekitar peradangan. Pasien dengan penumpukan thopy (gbr. 22-22), cenderung lebih sering
dan lebih berat serangan artritis goutnya.

E. PENGKAJIAN
A. Data Subjektif
1. Episode akut, keluhan utamanya nyeri berat yang berat pada ibu jari kaki atau sendi lain.
2. Tanyakan pada pasien tentang pencegahan serangan dan bagaimana cara mengurangi
serangan
3. Adakah peningkatan berat badan ?
4. Adakah riwayat arthritis gout dikeluarga ?
5. Apakah pasien memakai obat untuk gout ?
B. Data Objektif
1. Pasien tidak tahan terhadap sentuhan pada sendi dan menjaga pada daerah send yang
terkena.
2. Sendi bengkak dan merah (pertama matatarsal, sendi tarsal, pergelangan kaki, lutut
atau siku)
3. Adanya demam
4. Pembengkakan nodul mungkin terlihat dijaringan sub kutan didaerah sendi atau pada
tulang rawan di helix telinga.
C. Pemeriksaan Diagnostik

33
1. Peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia).
2. Peningkatan asam urat pada urine 24 jam
3. Peningkatan sinovial sendi menunjukkan adanya kristal urat monosodium.
4. Peningkatan kecepatan waktu pengendapan
5. Pemeriksaan sinar X menampakkan perkembangan jaringan lunak.
F. ANALISA DATA: DIAGNOSA PERAWATAN
Diagnosa perawatan ditentukan berdasarkan pegkajian data pasien. Diagnosa perawatan pada pasien
dengan gout dapat meliputi :
Diagnosa
Kemungkinan Penyebab
Potensial injury: kerusakan
pada sendi atau ginjal Kurang pengetahuan Nyeri sendi Asam urat atau batu asam urat yang tinggi
dalam urine, kristal urat dijaringan synovial Kurang informasi tentang gout Radang sendi dengan
penumpukan kristal urat dijaringan synovial.Perencanaan: Hasil Yang Diharapkan Dari Pasien Hasil
yang diharapkan pada pasien dengan gout dapat meliputi :

1. Pasien terbebas dari ketidak nyamanan


2. Pasien terhindar dari serangan gout yang berikutnya
3. Pasien mengerti perlunya memakai obat yang dianjurkan. Sebagian besar pasien
menggunakan agen uricosuric tiap hari selama hidup.

G. IMPLEMENTASI
a. Membantu Tercapainya Tujuan Pengobatan
1. Memberi obat sesuai program
2. Memberi intake cairan yang tepat
3. Memberi kenyamanan;
a. Istirahat total hingga nyeri dari serangan akut berkurang
b. Hindari menyentuh sendi atau menggerakkan ekstremitas yang sakit hingga nyeri akut hilang
b. Penyuluhan dan Konselling
1. Jelaskan pada pasien tentang asal mula penyakit
2. Anjurkan pada pasien untuk menggunakan obat sesuai anjura
3. Bantu pasien untuk mengurangi berat badan
4. Bantu pasien untuk memenuhi intake cairan yang cukup dan output antara 2000 ml
sampai 3000 ml per hari.

34
H. EVALUASI
Evaluasi didasarkan pada hasil yang diharapkan dari pasien. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Apakah pasien terbebas dari nyeri sendi ?
2. Apakah pasien dapat mendiskusikan pengobatan dan perawatan selanjutnya untuk
menghindari serangan gout arthritis berikutnya ?

2. OSTEOPOROSIS
OSTEOPOROSIS adalah kelainan dimana terdapat reduksi atau penurunan massa total tulang.
Kecepatan resorbsi tulang lebih cepat dari pembentukan tulang. Tulang menjadi keropos seara
progresif, rapuh, mudah patah. Fraktur multiple pada vertebra mengakibatkan deformitas skeletal
(kifosis). Dengan terjadinya kifosis terdapat penurunan tinggi badan pada wanita pasca menopause
tertentu.

Faktor resiko
wanita menopause; tubuh kecil, wanita kulit putih, keturunan eropa gaya hidup à merokok, kafein,
konsumsi alcohol
kurang aktivitas fisik
Usia lebih dari 35 tahun à terkait mulai terjadinya puncak pembentukan massa tulang tercapai dan
mulai terjadi kehilangan massa tulang
Evaluasi Diagnostik
1. osteoporosis teridentifikasi pada pemeriksaan roentgen rutin ketika telah terjadi 25 – 40%
demineralisasi
2. Absorpsiometri foton-tunggal untuk memantau massa tulang pada lengan
3. Absorpsiometri foton-ganda, Absorpsiometri energi-roentgen ganda (DEXA), dan pemindaian
computer memberikian informasi pada massa tulang spinal dan panggul
Penatalaksanaan
berikan diet seimbang yang adekuat dengan kandungan vitamin D banyak meningkatkatkan intake
kalsium pada usia baya atau resepkan preparat kalsium terapi penggantian hormon (HRT) untuk
menunda kehilangan tulang. pengobatan lain termasuk kalsitonin, natrium florida, dan natrium
etidronat.

PROSES KEPERAWATAN I. Pengkajian


untuk mengidentifikasi resiko pasien dan pengenalan masalah-masalah yang berkaitan dengan
osteoporosis, wawancara pasien mengenai riwayat keluarga, fraktur yang terjadi sebelumnya,
kebiasaan diet, pola olahraga, awitan menopause, dan penggunaan steroid amati terhadap fraktur,
kifosis torakal, atau pemendekan batang tubuh saat melakukan pemeriksaan fisik
II. Diagnosa keperawatan Utama

35
kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan regimen pengobatan nyeri yang berhubungan
dengan fraktur dan spasme otot
konstipasi yang berhubungan dengan immobilitas
resiko cidera : fraktur berhubungan dengan osteoporosis

III. Intervensi
Mengerti tentang Osteoporosis dan regimen terapi
a. fokuskan penyuluhan pasien pada faktor-faktor yang mempengaruhih perkembangan
osteoporosis, intervensi untuk memperlambat proses, dan tindakan untuk mengurangi
gejala
b. informasikan tentang diet yang adekuat atau suplemen kalsium, vitamin D yang
cukup
c. informasikan pentingnya latihan dan aktivitas fisik untuk mengembangkan tulang
yang padat
d. informasikan pada klien untuk berjemur matahari

Menghilangkan nyeri
a. ajarkan cara menghilangkan nyeri punggung melalui tirah baring dan penggunaan matras
yang keras dan tidak menggulung
b. instruksikan pada klien untuk menggerakkan trunkusnya sebagai satu unit dan hindari
memuta
c. pasang korset lumbosakral untuk menyangga sementaraketika turun dari tempat tidur
d. berikan analgetik

memperbaiki eliminasi
anjurkan mengkonsumsi diet tinggi serat, tingkatkan intake cairan
pantau bising usus dan aktivitas usus
Mencegah cidera
tingkatkan aktivitas fisik untuk menguatkan otot
anjurkan untuk melakukan latihan isometrik untuk menguatkan otot-otot trunkus

I. OSTEOMIELITIS
GANGGUAN INFEKSI
Oteomielitis adalah suatu bentuk infeksi tulang. Infeksi ini lebih sulit sembuh karena keterbatasan
suplai darah, respon inflamasi jaringan, dan peningkatan tekanan jaringan, dan pembentukan

36
involukrum. Infeksi dapat menjadi masalah kronis yang mempengaruhi kualitas hidup dan kehilangan
ekstremitas.

Penyebab
primer : terjadinya invasi kuman yang disebabkan karena fraktur tulang terbuka sekunder :
penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen.

kemuan penyebab infeksi :

Staphylococcus aureus menyebabkan 70 – 80% infeksi tulang

Proteus Pseudomonas Escherchia coli

Faktor resiko

status nutrisi buruk lanjut usia

obesitas

pasien dengan riwayat terapi kortikosteroid jangka panjang post bedah sendi, bedah ortopaedik

Manifestasi Klinis

A. Infeksi Hematogen

1. Awitan mendadak, terjadi dengan manifestasi klinis septikemia

2. menggigil, demam tinggi, nadi cepat, dan malaise umum

3. nyeri hebat pada ekstremitas, bengkak, nyeri tekan

4. pasien mungkin menggambarkan nyeri berdenyut yang konstan yang menguat jika
digerakkan (akibat tekanan pus yang tertumpuk)
B. Infeksi berbatasan atau kontaminasi langsung
1. tidak terdapat gejala septikemia
2. area tampak bengkak, hangat, sangat nyeri, dan nyeri tekan saat disentuh
C. osteomielitis kronis
pus secara terus-menerus mengalir atau kekambuhan periode nyeri, inflamasi, benkak, dan
drainage
Evaluasi diagnostik
1. roentgen dini menunjukkan hanya jaringan lunak yang mengalami pembengkakan
2. pada sekitar 2 minggu, terjadi dekalsifikasi tak teratur, peningkatan periosteum, dan
pembentukan tulang
3. pemeriksaan kultur darah

37
4. osteomielitis kronis : roentgen tulang menunjukkan rongga besar tak teratur, kenaikan
periosteum, sequestrae, atau pembentukan tulang padat.

Penatalaksanaan

Sasaran awal adalah mengontrol dan memusnahkan proses infeksi


1. immobilisasi area yang sakit, lakukan rendam normal salin hangat selama 20 menit
beberapa kali sehari
2. kultur darah : dilakukan smear cairan abses untuk mengidentifikasi organisme dan
memilih antibiotika
3. terapi antibiotik sepanjang waktu
4. berikan ntibiotik per oral jika infeksi tampak terkontrol, teruskan selama 3 bulan
5. bedah debridemen tulang jika tidak beresppon terhadap antibiotik, pertahankan terapi
antibiotik tambahan

PROSES KEPERWATAN Pengkajian


1. kaji terhadap faktor resiko dan cedera sebelumnya, infeksi, atau bedah ortopedik
2. amati terhadap gerakan yang tampak sangat hati-hati dari area yang terinfeksi dan
kelemahan umum akibat infeksi sistemik
3. amati terhadap pembengkakan pada area yang sakit, drainage purulen, dan
peningktan suhu tubuh
4. perhatikan klien dengan osteomielitis kronis mungkin hanya mengalami kenaikan
suhu minimal, terjadi pada siang hari atau sore hari

Diagnosa Keperawatan
1. nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2. kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
3. resiko terhadap perluasan infeksi : pembentukan abses tulang
4. kurang pengetahuan tentang regimen terapi
Intervensi
a. Meredakan Nyeri
1. imobilisasi bagian yang sakit dengan bebat untuk menurunkan nyeri dan spasme otot
2. lakukan latihan ROM pada sendi diatas dan dibawah bagian yang sakit
3. tangani luka dengan hati-hati untuk menghindari timbulnya nyeri
4. tinggikan bagian yang sakit untuk mengurangi pembengkakan dan rasa tak nyaman
5. berikan analgesik yang telah diresepkan serta teknik lain untuk mengurangi nyeri
b. memperbaiki mobilitas

38
1. ajarkan alasan ilmiah pembatasa gerak
2. berikan dorongan melakukan ADL dalam ROM terbatas
c. mengontrol proses infeksi
1. pantau respon klien terhadap terapi antibiotika
2. pastikan sirkulasi adekuat
3. pantau kesehatan umum dan status nutrisi
4. berikan diet seimbang tinggi protein, vitamin C, dan vitamin D untuk menjamin
keseimbangab nitrogen positif dan meningkatkan penyembuhan

II. RHEMATOID ARTRITIS


Rhematoid atritis adalah peradangan yang kronis sistematik, progresif lebih banyak terjadi
pada wanita (3:1 dengan kasus pria) pada usia 25 – 35 tahun.

PATOFISIOLOGI
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinouid disertai edema, kongesti vaskular, eksudat febrin
dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinoval menjadi menebal, terutama pada sendi
artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang
menutupi kartilago. Pannus, masuk ke tulang sub-condria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artukular. Kartilago menjadi nekrotis. Tingkat erasi dari
kartilago persendian menentukan tingkat ketidak mampuan sendi. Nila kerusakan kartilago sangat
luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan febrosa atau tulang bersatu
(ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa
menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang subchondrial bisa
menyebabkan osteporosis setempat (peningkatan keropos tulang).

Lamanya rhematoid artritis berbeda pada setiap orang. Ditandai dengan masa adanya serangan dan
tidak adanya serangan. Sementara orang ada yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya
tidak terserang lagi. Yang lain, terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan
rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi
yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus. Serangan dapat timbul karena status fisik dan
mental.

PENYEBAB
penyebab Rheumatoid arthritis tidak diketahui secara pasti, dimungkinkan berhubungan dengan:

39
1. Mekanisme imunitas (antigen antibodi) seperti interaksi igG dari
imunoglobin dengan rhematoid faktor
2. Faktor metabolik
3. Infeksi dengan kecenderungan virus.

TANDA-TANDA DAN GEJALA SETEMPAT:


1. Secara umum sakit persendian disertai kaku dan gerakan terbatas.
2. Lambat laun membengkak, panas merah, lemah.
3. Perubahan bentuk tangan.
a. Jari bengkak seperti alat pemukul genderang. b. Deformitas bentuk leher angsa dari jari
c. Ulna deviasi dari tangan
4. Semua sendi bisa terserang, panggul, lutut, pergelangan tangan, siku, bahu, rahang.
Gejala sistemik:
Capai, lemah, demam, teachicardi, lesu, berat badan turun, anemi, bilateral yang simetris dari
persendian kesil dan besar pad sendi-sendi ekstemitas.

TERAPI
Istirahat, istirahan mutlak pada tingkat akut, atau 2-4 jam. Istirahat memakai bidai sendi. Terapi fisik:
1. Bantu latihan pasif sampai kepada kegiatan aktif untuk menjaga fugsi.
2. Kompres lembab hangat untuk relaksasi otot dan mengurangi rasa sakit.
Pembedahan rekontruksi bila perlu. Pengobatan dapat dilihat pada tabel 22-2.
PENGKAJIAN
A. Data Subjektif :
Manifestasi awal dari gangguan adalah penderita dapat menerangkan lokasi yang nyeri dan
kaku pada lengan, pada tangan, pada kaki dan bukan menunjuk sendi tertentu.
Ketidaknyamanan ini akan menetap untuk beberapa waktu sebelum terjadi perubahan sendi
yang dapat dilihat atau dirasakan oleh penderita.

B. Data Objektif
1. Infeksi dan palpasi, cek sendi pada kedua bagian tubuh apakah simetris, warnanya, ukuran,
bentuk, kelembekan, dan bengkak.
2. Evaluasi tingkat gerakan pasif dari persendian sinovial.

a. Catat bila ada deviasi (yang paling penting keterbatasan gerakan sendi)

b. Catat bila ada krepitasi, dapat terdengar derik gerakan tulang pada permukaan persendian.

40
c. Catat timbulnya rasa sakit bila digerakkan.

3. Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skeletal secara bilateral.


a. Catat bila ada atrofi, perubahan tonus dan kelembekan.
b. Uji kekuatan otot dengan gerakan yang ditahan.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes serologis
a. BSE akan tinggi
b. Sel darah merah (erythocyt), bisa terjadi anemi dan leukositosis
c. RF (faktor rhematoid), terjadi 50-90% pada penderita, tergatung kepada masa waktu dan
tingkat kegawatan penyakit/serum akan menunjukkan banyak molekul protein anti bodi.
d. Tes fiksasi latex positif.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. pariarticular osteoporosis, permulaan persendian erosi
b. kelanjutan penyakit : ruang sendi menyempit, sub luksasi dan ankilosis

3. Aspirasi sendi
Cairan sinovial menunjukkan adanya proses radang aseptik, cairan dari sendi dikultur dan
bisa diperiksa secara mikroskopik.

ANALISA DATA, DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar pengkajian data pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan pada rhematoid arthritis adalah, (walaupun tidak selamanya tetap

DIAGNOSA
KEMUNKINAN ETIOLOGINYA
Gangguan body image,Potensial timbul cidera,Kurang pengetahuan,Rasa nyeri sendi
Ketidakmampuan ;Mandi, personal hygiene, berpakaian, b.a.b., b.a.k.Perubahan penampilan tubuh,
sendi,bengkok, deformitas, postur berubah. Otot hilang kekuatannya, rasa nyeri, sendi kaku.Tidak
bisa dengan sumber informasi.Perubahan pathalogis oleh rematoid arthritis Gangguan
muskuloskeletal, tidak mampu menggunakan salah satu sendi karena gerakan yang terbatas

PERENCANAAN : HASIL YANG DIHARAPKAN


Hasil yang diharapkan dari pasien rhematoid arthritis adalah sebagai berikut, (tapi tidak selamanya
tetap) :

41
1. Pasien merasa lebih nyaman
2. Gerakan sendi menjadi lebih bebas
3. Pasien memperlihatkan kemampuan ADL (kegiatan kehidupan sehari-hari)
4. Pasien mempunyai konsep yang lebih positif
5. Pasien dapat menerangkan proses penyakit, perawatan berkesinambungan, pengobatAN

(macam-macam atihan, obat-obatan) dan perencanaan pelayanan oleh dokter/medis)


IMPLEMENTASI
C. Memberi bantuan untuk mencapai hasil pengobatan :
1. Memberikan obat pada waktunya dengan menepati dosis yang dianjurkan (lihat tabel
22-2)
2. Membantu memilih makanan, membantu makan bila diperlukan, menganjurkan makan
sedikit-sedikit tapi sering.
3. Menganjurkan pasien mempertahankan berat badan yang normal
4. Menganjurkan dan membantu memperluas gerakan, meningkatkan mobilitas dan kekuatan
otot
D. Membantu kenyamanan dan kegiatan kehidupan sehari-hari :
1. Mempertahankan pasien agar bebas dari rasa nyeri dan obat-obatan
2. Menggunakan penghambat sendi sesuai dengan pesan dokter
3. Membantu perawatan mandiri
4. Membantu perubahan posisi tidur
5. Memberikan waktu istirahat yang adekwat
6. Memperingatkan menggunakan bidai yang dapat mengistirahatkan sendi
E. Konsultasi dan Penyuluhan
Bila memberi penyuluha tentang rhematoid arthritis atau rhematik yang lain, perawat sebaiknya
menggunakan media yang disiapkan artheritis foundation/persatuan yayasan arthritis.Booklet-booklet
mengenai arthritis, dasar-dasar kebutuhan dimana tertulis semuanya sehingga pasien dapat mengerti
dan belajar.

Penyuluhan hendaknya menginformasikan hal berikut :


1. Adanya keseimbangan istirahat dan kegiatan
2. Melindungi sendi dan teknik menghemat energi
3. Menggunakan obat-obat yang tepat, nama obat, dosis, hati-hati dalam mengadministrasian, efek
sampingan dan keracunan.
4. Rencana implementasi program latihan yang dipesan oleh dokter atau fisiotherapi

42
5. Menggunakan kompres hangat atau kompres dingin yang tepat
6. Menggunakan tongkat untuk berjalan yang tepat dan alat bantu yang lain
7. Pencegahan agar terhindar dari cedera
8. Menggunakan bidai dan alat penggendong yang tepat
9. Dasar-dasar nutrisi yang baik, mencegah kenaikan berat badan
10. Penting sekali berobat ulang kepada dokter
11. Harus menganggap penting mengikuti program agar sembuh
12. Informasi tentang kelompok pendukung arthritis setempat, dan yayasan arthritis.

EVALUASI

Evaluasi berdasarkan yang diharapkan dari pasien :


1. Apakah pasien merasa senang
2. Apakah potensial terjadinya cedera berkurang
3. Apakah pasien dapat menerangkan pengobatan selanjutnya
4. Apakah pasien mengerti tentang program latihan
5. Dapatkah pasien menerangkan pentingnya bergantian antara istirahat dan kegiatan.

PEMBEDAHAN REKONSTRUKTIF
Bila rhematoid arthritis progresif dan menyebabkan kerusakan sendi, pembedahan dilakukan untuk
mengurangi rasa nyyeri dan memperbaiki fungsi.Pembedhan dan indikasinya sebagai berikut,
sinovektomy, membuang jaringan sinovial untuk mencegah arthritis pada sendi tertentu untuk
mempertahankan fungsi ksendi, untuk mencegah timbulnya kembali inflamasi. Yang sring dibedah
seperti tersebut adalah sendi lutut dan pergelangan tangan.

a. Arthrotomi, membuka persendian, prosedur dilaksanakan untuk keperluan :


1. Eksplorasi persendian untuk menentukan proses penyakit
2. Membuat draenase
3. Membuang jarangan lunak dan benda asing
4. Pelaksanaan bedah sering dilakukan pada lutut.
Arthrodesis, pembedahan sendi ini sering dilaksanakan pada lutut, pergelangan tangan, tumit. Tujuan
pembedahan adalah agar :
1. Menghilangkan rasa nyeri bila digerakkan
2. Agar sendi stabil

43
Adthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran pada persendian, mungkin sebelah
atau kedua belahannya.
1. Tujuan
a. Agar sendi dapat bergerak kembali b. Mengurangi rasa nyeri
c. Memperbaiki deformitas
2. Tipe pertolongan
a. Mengganti bagian sendi dengan alat protesa yang terbuat dari logam atau bahan lain, seperti
mengganti mangkok atau leher dari sendi panggul.
b. Membentuk lagi tulang sendi, kemudian dilapisi dengan jaringan lunak sebagai alat yang
menempatkan kembali posisi.
c. Mengganti sendi seluruhnya dimana kedua belah sendi diganti dengan pencangkokan metal atau
polyethylene.
Daftar pustaka:
Long Barbara. (1996). Perawatan Medikal Bedah. IAPK. Bandung. Doegoes, Marilynn E., (2000).
Nursing care Planning. EGC. Jakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI. (1984). Ilmu Kesehatan anak. Infomedika. Jakarta. Purnawan. (1982).
Kapita Selekta Kedokteran. Media Aisculapues. Jakarta Wim de Jong. (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah,
EGC. Jakarta Baughman Diane C., Hackley JoAnn C. 1987. Keperawatan Medikal Bedah buku Saku
dari

Brunner & Suddarth. EGC. Jakarta

44
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (BudiAnna Keliat, 2010). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentangkesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60tahun.Tipe-tipe lansia:

1. Tipe arif bijaksana


Tipe mandiri
Tipe tidak puas
Tipe pasrah

2. Tipe bingung Teori-teori proses penuaan:


a.Teori biologi :
Teori genetik dan mutasi
Immunology slow theory
Teori stress
Teori radikal bebas
Teori rantai silang
b. Teori psikolog
Teori sosial
Teori interaksi sosial
Teori penarikan diri
Teori aktivitas
Teori kesinambungan
Teori perkembangan
Teori stratifikasi usia

45
B. Saran
Sebagaimana dalam pandangan islam, orang tua atau orang yang lebih tua dari kita
harusdihormati, dikasihi serta disayangi dan diperhatikan. Betapa beruntungnya menjadi tua,
ada banyaksekali orang yang tidak bisa menginjak usia tua, ada banyak sekali mereka yang
tidak bisa melihatanak serta cucunya tumbuh menjadi dewasa. Jadi, ketika kita bisa melihat
orang tua kita menjaditua atau menginjak usia lanjut itulah saatnya kesempatan untuk kita
menyenangkan masa-masa tuamereka dengan kesuksesan anak-anaknya.Sebagai perawat
yang profesional yang sudah mempelajari ilmu gerontologi sudah sewajarnyamemberikan
pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya untuk para lansia tidak hanya
memberikanpelayanan terhadap kebutuhan biologisnya saja tetapi mencakup kebutuhan
psikologis danspiritualnya.

Untuk para pembaca makalah ini silahkan memberikan masukan maupun kritikan
ataskekurangan dari makalah ini supaya untuk makalah-makalah selanjutnya bisa jauh lebih
baik lagi.

46
DAFTAR PUSTAKA

Long Barbara. (1996). Perawatan Medikal Bedah. IAPK. Bandung. Doegoes, Marilynn E., (2000).
Nursing care Planning. EGC. Jakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI. (1984). Ilmu Kesehatan anak. Infomedika. Jakarta. Purnawan. (1982).
Kapita Selekta Kedokteran. Media Aisculapues. Jakarta Wim de Jong. (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah,
EGC. Jakarta Baughman Diane C., Hackley JoAnn C. 1987. Keperawatan Medikal Bedah buku Saku
dari Brunner & Suddarth. EGC. Jakarta

Beare, Stanley. 2012.


Buku Ajar Keperawatan Gerontik
. Edisi ke-2. Jakarta: ECG
Maryam, R. Siti. 2008.
Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya
. Jakarta: Salemba Medika

47

Anda mungkin juga menyukai