Anda di halaman 1dari 28

GAGASPAJAK

mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan

Bahasan utama

Tanggung Jawab

GAGASPAJAK
mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan

EDISI Agustus 2010

Secara Renteng
Opini Kita
Ditjen Pajak dan Pengadilan Pajak : Mencari Kepastian Dalam Gugatan atas Kesalahan Prosedur
ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Alamat Redaksi : Pusdiklat Pajak Jl. Sakti Raya No.1, Kemanggisan Jakarta Barat 11480 http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

EDISI Agustus 2010

GAGASPAJAK
mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan

EDISI Agustus 2010

Salam

Daftar Isi : 02 Prakata 03 05 14 17 24 26 28 34 43 47 49


Good Governance
Rekonstruksi Hubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus: Upaya Menciptakan Hubungan Yang Sehat

05 TANGGUNG JAWAB
SECARA RENTENG

26

Internet untuk belajar ? Kenapa tidak ?

Akhirnya mimpi kami terwujudYa! Setelah menunggu 1 tahun lamanya, keinginan kami untuk mempunyai media yang kami cita-citakan tercapai sudah. Edisi perdana terbitnya media ini menandai munculnya satu ruang baru yang memungkinkan kami semua di lingkungan Pusdiklat Pajak untuk saling mencoba berkontribusi dalam pengembangan dan pengayaan kapasitas keilmuan dan kapabilitas kemampuan kami sesuai dengan peran dan tugas yang kami emban di lingkungan Pusdiklat Pajak ini. Sedari awal proses ini berjalan, kami sudah meniatkan diri bahwa media ini harus menjadi tempat untuk menampung luapan energi dan emosi yang mampu mendukung upaya pengembangan ilmu dan praktik khususnya di dunia pajak. Maka pilihan nama GAGAS bukanlah sesuatu yang tidak berarti. GAGAS menjadi pilihan karena mengandung arti intrinsik yang mewakili semangat kami di Pusdiklat Pajak untuk selalu mencari ide yang baru; untuk selalu berusaha melihat dari cakrawala yang berbeda; untuk selalu berkeinginan mencari sudut pandang alternatif dan untuk selalu berhasrat memberikan yang terbaik pada lingkungan keilmuan serta praktikpraktik di dunia yang kami tekuni. Semangat itulah yang akan kami bawa.mencoba menjadi teman diskusi yang mencerahkan bukan mengeruhkan.. Pembaca yang kami cintai, Reformasi birokrasi yang sudah dijalankan harus terus menerus dijaga ruhnya agar selalu hadir dalam tiap relung aktivitas kami di birokrasi. GAGAS adalah bagian dari tekad kami untuk terus menerus menegaskan keberadaan ruh itu dalam setiap diskusi dan pewacanaan yang kami tuangkan dalam bentuk guratan pena serta coretan tinta di tiap rubrikasi yang hadir di tangan Anda. Sekali lagi, media ini adalah langkah kecil kami untuk selalu mencoba bergerak dinamis, menghindari pusaran stagnasi yang selalu dipersepsikan lekat dengan mental birokrasi. Itulah tujuan kami hadir Akhirnya, Terima kasih harus kami ucapkan kepada segenap pimpinan Pusdiklat Pajak yang telah membuka ruang dan kesempatan serta memberi kebebasan untuk mempersembahkan karya ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga harus kami sematkan kepada para pujangga-pujangga keilmuan yang telah bersusah payah untuk menggenapi keinginan Redaksi dengan memproduksi tulisan-tulisan yang bernas dan dinamis. Pada akhirnya,dengan segumpal asa, harapan kami lambungkan kepada segenap pembaca. Semoga GAGAS mendapat tempat di hati dan akal untuk menjadi media pencerah bagi kita semua yang cinta akan ide dan ilmu. Selamat menikmati, ENJOY GAGAS.. Salam Redaksi

Bahasan Utama
Tanggung Jawab Secara Renteng
Rahasia Di Balik PBB P2 & BPHTB

28

Opini Kita (OK). KUP


Ditjen Pajak dan Pengadilan Pajak Mencari Kepastian Dalam Gugatan atas Kesalahan Prosedur

Rekonstruksi Hubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus: Upaya Menciptakan Hubungan Yang Sehat

03 34
Aspek Transaksi Murabahah Pasca Perubahan Undang-Undang Perpajakan

Opini Kita (OK). KUP2 Opini Kita (OK). PPH

Penghapusan Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih

Witholding Tax Premi Asuransi Ke Luar Negeri, Apakah Efektif?

Kabare Pusdiklat
Internet Untuk Belajar, Kenapa Tidak?

Opini Kita (OK). PBB


Rahasia Di Balik PBB P2 & BPHTB

14

DITJEN PAJAK DAN PENGADILAN PAJAK MENCARI KEPASTIAN DALAM GUGATAN ATAS KESALAHAN PROSEDUR

Opini Kita (OK) .Akuntansi Pajak


Aspek Transaksi Murabahah Pasca Perubahan Undang-Undang Perpajakan

43 17
PENGHAPUSAN PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH

Penguatan posisi Indonesia dalam Pemajakan terhadap transaksi ekonomi global

Opini Kita (OK). Pajak Internasional


Penguatan Posisi Indonesia Dalam Perpajakan Terhadap Transaksi Ekonomi Global

Refleksi
Memuliakan Diri

Kabare Pusdiklat2
Memperluas jendela cakrawala dunia, melalui digitalisasi perpustakaan

WITHOLDING TAX ATAS PREMI ASURANSI KE LUAR NEGERI, APAKAH EFEKTIF?

24

Refleksi Memuliakan Diri MEMPERLUAS JENDELA CAKRAWALA DUNIA, MELALUI DIGITALISASI PERPUSTAKAAN

Bahasan Utama
TANGGUNG JAWAB
SECARA RENTENG
2010 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

47 49
Roy Martfianto (Pemimpin Redaksi)

Good Governance

Rekonstruksi Hubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus: Upaya Menciptakan Hubungan Yang Sehat
ada saat Subyek Pajak secara formalditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak maka sejak saat itu episode hubungan bilateral antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dimulai. Hubungan bilateral ini telah dimulai sedemikian rupa dalam suatu aturan main yang bertujuan agar kedua belah pihak mengetahui secara jelas hak dan kewajibannya. Harapannya, Wajib Pajak dan Fiskus dapat hidup berdampingan untuk mencapai

to furnish financial data concerning a business enterprise, compiled, and presented to meets the needs of management, investors, and the public (Paton dan Littleton, 1970). Jadi definisi tersebut menyiratkan bahwa sebuah entitas bisnis pada satu waktu dan kondisi tertentu harus menyampaikan keadaannya kepada pihak-pihak lain yang dipersyaratkan oleh suatu ketentuan. Terkait dengan urusan publik, lebih spesifik adalah urusan pajak di Indonesia, pemaparan data finansial tersebut harus memenuhi beberapa kriteria tertentu yang secara formil dituliskan di dalam Pasal 28 UndangUndang KUP. Kriteria pertama bersifat kualitatif , yaitu Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

dipertanggungjawabkan tentang kondisi dirinya kepada pihak lain yang mempunyai hak untuk meminta dilakukannya komunikasi tersebut. Secara teknis, komunikasi yang dilakukan antara fiskus dan Wajib Pajak terjadi dengan adanya pelaporan secara periodik dengan paksaan Undang-Undang melalui media berupa Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPT Masa maupun SPT Tahunan. Isi komunikasi tersebut pada dasarnya berupa angka-angka yang diharapkan menceritakan keadaan sesungguhnya dan

....................................................................
Alhamdullillahirabil allamin, puji syukur kepada Allah SWT atas terbitnya edisi perdana dari majalah Gagas Pajak yang diprakarsai oleh Pusdiklat Pajak. Saya menyambut baik terbitnya majalah ini yang merupakan representasi wajah Pusdiklat Pajak dan menjadi suatu media komunikasi serta sebagai bentuk pelayanan kami dalam memberikan informasi dan wawasan kepada seluruh stakeholders. Terbitnya majalah ini, tidak lepas dari peranan para Widyaiswara Pusdiklat Pajak yang merasa perlunya penyebarluasan pengetahuan dan wawasan khususnya di bidang perpajakan. Selain, para Widyaiswara yang menjadi kontributor utama dari majalah ini, penghargaan dan terima kasih juga Saya sampaikan kepada seluruh tim redaksi, editor serta tim teknis majalah lainnya. Saya berharap, majalah ini dapat menjadi media komunikasi dan media acuan khususnya di bidang wawasan perpajakan, sehingga kualitas artikel, semangat dan konsistensi harus menjadi fokus utama dalam pengembangan majalah Gagas Pajak ini. Tidak berlebihan kiranya jika fokus utama pengembangan majalah tersebut dijalankan dengan tepat, Pusdiklat Pajak akan dikenal sebagai poros wawasan perpajakan, Akhir kata, Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah ini dan selamat datang di era informasi dan publikasi Pusdiklat Pajak.
tujuan hidup-nya masing-masing. Tentu saja kondisi ini akan mewujud jika di setiap aktivitas kehidupan dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut masing-masing pihak secara sadar menyandarkan diri pada nilai-nilai hubungan yang baik. Transparan, akuntabel dan tanggung jawab adalah beberapa dari sekian banyak nilai-nilai kehidupan di dunia pajak yang menjadi nilai idealita yang harus diusung dalam model hubungan bilateral berbasis kepentingan antara Wajib Pajak dan Fiskus tersebut. Salah satu dari sekian banyak aktivitas yang harus dilakukan Wajib Pajak untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam ranah perpajakan adalah melakukan komunikasi secara terbuka dan dapat sebenar-benarnya dari Wajib Pajak. Yang perlu dipahami adalah bahwa angkaangka yang bercerita tersebut berasal dari suatu mekanisme pengikhtisaran dan pengklasifikasian yang di dalam UndangUndang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebut dengan istilah pembukuan dengan produk akhir berupa Laporan Keuangan (mengapa tidak pakai istilah akuntansi saja?). Tanpa mempersoalkan perbedaan istilah pembukuan dan akuntansi, jelaslan bahwa dalam masalah perpajakan, peran pembukuan (atau akuntansi) adalah vital ketika Wajib Pajak dan fiskus telah sepakat untuk mencoba saling berkomunikasi. Meminjam penjelasan dari ranah akuntansi, tujuan dari akuntansi adalah

Kapusdiklat Pajak DR. Ir. Chaizi Nasucha, M.PKN.

Kriteria berikutnya bersifat teknis yaitu: 1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggaarkan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan; 2. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas; 3. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang Jika mencermati isi keseluruhan dari ayatayat yang ada pada Pasal 28 UU KUP tersebut, ada satu pernyataan yang menarik untuk dikaji dalam perspektif etika dan kebiasaan yang berlaku umum dalam praktik-praktik pembukuan.Satu hal yang menarik dalam Pasal 28 adalah dari sekian banyak syarat teknis yang dicantumkan,

02

03

terselip satu ayat berisi ukuran kualitatif yang berbeda dengan ayat lain karena kental dengan nuansa etis dan kepatutan. Pertanyannya, mengapa Undang-Undang merasa perlu secara terang benderang mencantumkan kaidah-kaidah etika dan moral dalam sesuatu hal yang mestinya hanya menyangkut masalah teknis semata? Apakah Undang-Undang Pajak tersebut memang sedari awal disusun dengan kacamata persepsional negatif terhadap Wajib Pajak di Indonesia, dan untuk para fiskus tidak berlaku hal yang sama? Mengapa kaidah kualitatif yang sama tidak dicantumkan pada fiskus dalam prosesproses yang berkaitan dengan pembukuan, misalnya dalam pemeriksaan. Adakah bunyi sebagai berikut .dengan itikad baik, pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Coba bandingkan dengan kutipan berikut, Financial reporting should provide information that is useful to present and potential investors and creditors and others users in making rational investment, credit, and similar decisions. The information should be comprehensible to those who have a reasonable understanding of business and economics activities and are willing to study the information with reasonable diligence (FASB, 1978) Pernyataan tersebut secara tegas telah mensyaratkan satu kualitas pelaporan yang sudah mencakupi unsur transparansi dan akuntabilitas yang komprehensif dalam satu lingkup kondisi yang setimbang dalam batasan profesionalisme berbasis

kompetensi (coba pahami dan rasakan frasa to those who have a reasonable understanding of business and economics activities and are willing to study the information with reasonable diligence). Hubungan antara Wajib Pajak dan fiskus seringkali berada dalam posisi tidak setara secara de facto meskipun secara de yure kesetimbangan ini sudah coba diakomodasi di dalam Pasal 36A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007. Akibat ketidakpahaman Wajib Pajak terhadap Undang-Undang dan cara pandang fiskus yang salah, maka secara persepsi dan kenyataan praktikal, masih sering dijumpai pola hubungan yang mendudukkan Wajib Pajak hanya sebagai obyek penderita dalam proses perpajakan. Pemilihan kata dan penjelasan yang tidak taktis dalam contoh Pasal 28 tersebut menjadi satu indikasi bahwa mungkin paradigma dalam mendesain peraturan lebih cenderung terlihat mengedepankan persepsi-persepsi negatif terhadap salah satu pihak dalam proses ini. Akibat dari ketidakjelasan suatu klausul dalam UndangUndang juga bisa membawa dampak di tataran implementasinya. Sebagai contoh, mengartikulasikan itikad baik harus dapat dilakukan secara praktik dalam suatu cara yang dapat diterima oleh fiskus maupun Wajib Pajak melalui mekanisme teknis yang sudah dikenal. Strategi membumikan klausul normatif menjadi common practice adalah bagian dari cara untuk memudahkan komunikasi yang baik antara dua pihak. Sekadar mengambil sampel upaya membumikan tersebut dapat dilakukan dengan mendefinisika secara operasional klausul itikad baik dengan cara mendorong Wajib Pajak untuk menyampaikan hasil pembukuan yaitu Laporan Keuangan yang telah sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Kewajiban ini kemudian harus disediakan insentif maupun disintef-nya. Meskipun tidak mudah, tetapi ada keyakinan kualitas komunikasi akan meningkat jika

alat komunikasinya juga baik dan di satu sisi dampak positifnya adalah terjadi kejelasan dan kesamaan pandangan dengan bahasa yang satu terhadap definisi itikad baik. Di sisi lain, sebagai bentuk kesetaraan perlakuan agar terjadi hubungan yang sehat, maka fiskus juga harus memperlihatkan itikad baik yang sepadan. Misalnya, Undang-Undang harus mensyaratkan adanya kewajiban melakukan peer-review secara berkala oleh pihak-pihak yang dianggap mampu untuk menguji kualitas pekerjaan fiskus dalam pemeriksaan. Ini semua adalah teknikteknik yang secara definisi dan praktik sudah dipahami secara jelas oleh para pelaku profesional di bidang yang terkait. Ada keyakinan yang kuat bahwa sesungguhnya masih cukup tersedia ruang dan cara untuk meningkatkan kualitas komunikasi antara Wajib Pajak dan fiskus dengan basis pengetahuan dan keilmuan di dalam ranah perpajakan. Akhirnya, penulis yakin adanya ekses-ekses negatif dari suatu perubahan yang berawal dan bersumber dari tidak adanya rasa saling percaya dalam konstruk profesionalisme antara Wajib Pajak dan fiskus dalam menjalankan hak dan kewajibannya di bidang pajak akan semakin berkurang. Maka adanya aturan-aturan pajak yang tegas, adil dan tidak interpretatif dalam memperlakukan hak dan kewajiban Wajib Pajak dan fiskus menjadi suatu keniscayaan yang mesti terjadi dan tidak dapat ditawar lagi. Selamat melanjutkan reformasi

Bahasan Utama

A. Pendahuluan
Dalam UU PPN perubahan ketiga yang diberlakukan 1 April 2010, ketentuan mengenai tanggung jawab secara renteng diberlakukan kembali. Pemberlakuan ini menimbulkan banyak pertanyaan baik substansi maupun pelaksanaannya di lapangan. Yang berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan tentu perlu kita tunggu aturan pelaksanaannya yang sampai tulisan ini dibuat belum diterbitkan. Yang menarik dan akan dikaji dalam makalah ini adalah yang berkaitan dengan substansinya. Tepatkah ketentuan ini diterapkan untuk PPN? Persoalan tepat tidaknya tanggung jawab secara renteng ini diterapkan untuk PPN sebenarnya bukanlah persoalan yang rumit untuk dibahas. Akan tetapi ibarat sebuah bangunan, masalah tanggung jawab secara renteng ini memberikan gambaran bagaimana sebenarnya bangunan PPN ini akan didirikan. PPN di Indonesia dibangun dengan beberapa karakteristik, yaitu pajak atas konsumsi, pajak tidak langsung, dan pajak objektif. Dalam praktiknya tidak semua karakteristik ini bisa diterapkan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan-pertimbangan itu adakalanya memang bisa dipahami namun juga kadangkala tidak bisa dimengerti. Bagaimana dengan tanggungjawab secara renteng? Apakah termasuk ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang memang diperlukan? Makalah sederhana ini mencoba membahas hal tersebut.

TANGGUNG JAWAB
SECARA RENTENG
TANGGUNG JAWAB SECARA RENTENG (Suatu kajian sederhana)

Oleh : Chaizi Nasucha


(Kepala Pusdiklat Pajak)

04

05

B. Pengertian
Renteng mengandung arti berendeng atau beruntun-runtun (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berurutan. Kata renteng biasanya disatukan dengan kata lain untuk memberikan pengertian baru sesuai dengan kata yang diikutinya. Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu tanggung jawab secara renteng. Tidak ada definisi resmi yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam menjelaskan kata ini. Untuk kepentingan pembahasan makalah ini, tanggung jawab secara renteng penulis artikan sebagai pelimpahan beban tanggung jawab secara beruntun kepada pihak berikutnya sesuai urut-urutan. Paling tidak diperlukan dua pihak untuk dapat terlaksananya tanggung jawab renteng. Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya ditulis UU PPN 1984 perubahan ketiga), tanggung jawab secara renteng tercantum dalam Pasal 16F. Selengkapnya berbunyi sbb: Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar. Penjelasannya menyatakan demikian: Sesuai dengan prinsip beban pembayaran PPN yang melekat pada pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pembeli, yang sesuai dengan

karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi merupakan pemikul beban pajak sesungguhnya, dibebani tanggung jawab secara renteng apabila: 1. pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa 2. pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa. Dengan demikian, tanggungjawab secara renteng pada konteks Pasal 16F adalah pelimpahan beban tanggungjawab pembayaran ke Kas Negara atas pajak terutang, yang timbul akibat penyerahan barang kena pajak (Pasal 4 hrurf a) atau penyerahan jasa kena pajak (Pasal 4 huruf c), kepada pembeli yang mestinya menjadi tanggungjawab penjual sebagai akibat pajak terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual dan pembeli tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak. Ketentuan ini berlaku terhadap objek pajak berdasarkan Pasal 4 huruf a dan huruf c dimana yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggungjawab terhadap pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak penjual. Illustrasi: PT ABC telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit komputer kepada PT XYZ dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70juta = Rp7juta. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah: 1. PT ABC menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7juta. 2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu: - lembar pertama diberikan kepada PT XYZ sebagai bukti beban pajak yang seharusnya dibayar; - lembar kedua menjadi arsip PT ABC sebagai bukti pemungutan pajak.

3. PT ABC wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara. 4. PT XYZ wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT ABC. 5. Bagi PT XYZ, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil bagi pengreditan pajak dalam suatu Masa Pajak. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 16F, apabila PT XYZ tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar maka PT XYZ dibebani tanggung jawab secara renteng atas pajak dimaksud. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33 yang berbunyi: Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar. Penjelasannya: Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggungjawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pembeli jasa. Dalam perubahan ketiga UU KUP yaitu UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku 1 Januari 2008, Pasal 33 ini dihapus. Namun dalam UU PPN 1984 perubahan ketiga yang mulai berlaku 1 April 2010 ketentuan mengenai tanggung renteng ini dihidupkan kembali.

C. Karakteristik PPN Indonesia


Karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia beserta aplikasinya berkaitan dengan tema yang dibahas yaitu:

Hal ini bisa dimengerti karena yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas pajak yang terutang untuk Pasal 4 huruf a dan c adalah penjual bukan pembeli. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ketentuan ini untuk kepentingan administratif bagi asas yang dianut sebagai Pajak Tidak Langsung dan mestinya tidak menjadikannya bias sebagai pajak atas konsumsi.

Pajak Objektif
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambhan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama (Untung Sukardji, 2006). Yang menjadi subjek pajak dalam pengertian pajak objektif di atas adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut dikenai pajak yang sama. Lain halnya dengan pajak subjektif seperti Pajak Penghasilan yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Sebagai contoh Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi badan. Demikian pula Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang menikah berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bujangan.

Pajak atas Konsumsi umum dalam negeri


Hakikat PPN di Indonesia adalah pajak atas konsumsi, yaitu pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Hal ini berarti, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi atau dengan kata lain barang-barang atau jasa yang dikonsumsi pada area konsumen akhir. Sepanjang barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dilimpahkan kepada pembeli berikutnya melalui mekanisme pengreditan pajak masukan. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi tersurat jelas dalam penjelasan atas UU PPN 1984 perubahan terakhir, yaitu pada alenia pertama, yang berbunyi: Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat si setiap jalur produksi dan distribusi. Meskipun merupakan pajak atas konsumsi,tidak seperti Pasal 4 (1) huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud), dan huruf e (pemanfaatan JKP), ketentuan mengenai objek pajak yang diatur dalam Pasal 4 huruf a dan huruf c diuraikan dalam sudut pandang penjual bukan konsumen.

Pajak Tidak Langsung


Untuk membedakan pajak langsung dan pajak tidak langsung dalam konteks bahasan ini perlu kiranya penulis uraikan pengertian subjek pajak. Subjek pajak memiliki dua arti yaitu: 1) Sebagai pemikul beban pajak; dan 2) Penanggung jawab pembayaran pajak terutang ke Kas Negara. Pada Pajak Penghasilan dua arti ini melekat pada satu pihak yaitu penerima penghasilan. Penerima penghasilan yang berdasarkan UU PPh adalah Wajib Pajak, selain sebagai pemikul beban pajak juga dibebani tanggung jawab atas pembayarannya ke Kas Negara. Lain halnya dalam PPN, khususnya pada pasalpasal yang menerapkan karakteristik Pajak Tidak Langsung, antara pemikul beban pajak dan penanggungjawab pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak adalah konsumen sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara adalah penjual. Seperti pada ilustrasi di atas, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT ABC adalah bukti pungutan atas PPN terutang yang timbul ketika menjual 10 unit komputer. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap pajak yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Kewajiban pembeli adalah membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Dan faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti beban pajak.

06

07

Pajak terutang dalam sudut pandang PKP Penjual


Undang-undang (baca: Pasal 4 huruf a dan c UU PPN 1984) itu adalah peraturan yang pertama secara realitas dihidupkan petama kalo penjual. Secara material yang pertama kali menentukan suatu peristiwa hukum (dalam konteks Pasal 4 huruf a dan huruf c) itu terutang PPN adalah penjual. Syarat suatu peristiwa hukum itu terutang PPN secara kumulatif yaitu: 1)Yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak; 2)Di dalam daerah Pabean; dan 3)Yang menyerahkan adalah pengusaha (dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya). Secara material pembeli tidak ikut dan tidak dapat menentukan suatu penyerahan itu terutang PPN atau tidak, sebab pembeli tidak mengetahui kondisi hukum syarat nomor 3). Jadi sebenarnya tidak ada beban kewajiban material, dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang pajak, yang bisa dilekatkan pada pembeli untuk kasus dimaksud. Pembeli lebih bersifat pasif. Penjuallah yang menentukan. Jika menurut penjual (belum tentu menurut UU) atas penyerahan barang atau jasa itu tidak terutang pajak maka yang demikian ini sah adanya sampai dapat dibuktikan bahwa itu tidak benar. Pembuktian bahwa itu tidak benar berdasarkan UU KUP ada di pihak fiskus (DJP) bukan di pihak pembeli. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan yang menetapkan penjual sebagai subjek pajak yaitu yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas utang pajak yang timbul. Jadi meskipun PPN adalah pajak atas konsumsi (hal yang menjadi dasar pemikiran tanggung renteng dalam penjelasan UU PPN 1984) tidak serta merta melekat kewajiban material penentuan terutangnya pajak pada konsumen. Kecuali barangkali kalau kita menganut karakteristik PPN sebagai Pajak Langsung.

D. Bagaimana Timbulnya Pajak Terutang Dari Sisi Penjual dan Pembeli


Untuk memperjelas permasalahan ada baiknya kita membahas secara detil timbulnya kewajiban pajak dari dua pihak terkait yaitu penjual dan pembeli, terutama dalam Pasal yang merupakan implikasi dari PPN sebagai Pajak Tidak Langsung. Pasal 4 huruf a dan huruf c UU PPN 1984 menyatakan bahwa: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. ... c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; Karakteristik PPN sebagai pajak objektif tampak dalam ketentuan di atas dengan tidak disebutkannya konsumen sebagai unsur yang menentukan timbulnya pajak yang terutang. Undang-undang (Pasal 3A UU PPN 1984) selanjutnya menetapkan penjual (pengusaha yang menyerahkan BKP/JKP) sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap timbulnya pajak terutang dimaksud.

Jika tidak ada kewajiban materil yang melekat dalam penentuan pajak terutang di pihak pembeli maka tidak mungkin diikuti dengan kewajiban formil berkaitan dengan pelunasan pajak terutang oleh pihak pembeli. Karena kewajiban material dalam menentukan pajak terutang berada di pihak penjual maka sekiranya timbul pajak yang terutang akan selalu diikuti dengan kewajiban formil demi terealisasi menjadi penerimaan Negara. Kewajiban bagi penjual BKP/JKP diatur dalam Pasal 3A UU PPN 1984 yang meliputi: - Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Memungut pajak terutang melalui penerbitan Faktur Pajak; -Menyetor pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak; dan -Melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN. Sebagai konsekuensi apabila penjual tidak memungut PPN atas penjualan BKP/JKP yang menurut ketentuan terutang PPN, maka yang akan dituntut adalah penjual. Penuntutan dapat dilakukan melalui penerbitan surat ketetapan pajak setelah dilakukan pemeriksaan disertai dengan penerapan sanksi. Lain halnya dengan Pasal 4 huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud) dan huruf e (pemanfaatan JKP) UU PPN 1984, di mana konsumen ditetapkan sebagai pihak yang memikul beban pajak sekaligus juga penanggung jawab atas pembayaran ke Kas Negara, karena penjual BKP/JKP yang berada di luar negeri tidak mungkin untuk dibebani kewajiban pemungutan pajak terutang. Timbulnya pajak terutang dalam Pasal 4 huruf b, d dan e tidak mewajibkan importir atau konsumen yang memanfaatkan BKP/JKP untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Kewajiban formil yang melekat berdasarkan Pasal 3A meliputi: -Membayar pajak yang terutang; dan -Melaporkannya.

Pajak terutang dalam sudut pandang konsumen


Bagaimana konsumen mengetahui bahwa atas pembelian barang itu terutang PPN? Pertanyaan ini perlu dijawab untuk melihat apakah tanggung jawab renteng tepat diterapkan pada konsumen. Seperti telah diuraikan di atas bahwa konsumen tidak dibebani kewajiban material dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang PPN. Bagi konsumen, suatu pembelian barang atau jasa itu terutang PPN hanya apabila atas pembelian itu diterbitkan faktur pajak. Selama tidak diterbitkan faktur pajak maka bagi konsumen, atas pembelian itu "dianggap" tidak terutang PPN bahkan meskipun dikemudian hari dapat dibuktikan oleh fiskus bahwa secara material ternyata terutang PPN. Kewajiban untuk membayar pajak terutang atas pembelian barang atau jasa itu timbul bersamaan dengan terbitnya faktur pajak. Pajak terutang yang timbul atau yang tercantum dalam faktur pajak adalah utang yang wajib dibayar oleh konsumen kepada penjual. Dan sifat dari utang ini adalah utang piutang biasa yang menjadi ranah hukum perdata bukan utang pajak dalam ranah hukum publik . Apabila konsumen tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak, tidak dapat kemudian oleh fiskus diterbitkan surat ketetapan pajak untuk memaksanya membayar. Meski faktur pajak sesungguhnya adalah bentuk lain dari suatu penetapan, namun pajak yang terutang di dalamnya adalah utang pajak antara penjual dan Negara. Utang pajak yang timbul akibat peristiwa hukum yang menurut ketentuan (Pasal 4 huruf a dan c) terutang PPN, baik atasnya diterbitkan faktur pajak maupun tidak, adalah utang pajak antara penjual dengan negara yang merupakan ranah hukum publik. Selanjutnya atas pajak terutang ini proses pelunasan oleh penjual atau penagihannya kepada penjual dilakukan dengan ketentuan formil dalam UU di bidang perpajakan. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasar yang bisa dijadikan acuan bagi pelimpahan tanggung jawab pembayaran pajak terutang kepada konsumen pada ranah hukum publik untuk pajak terutang atas penyerahan BKP atau JKP dari penjual kepada pembeli.

08

09

E. Paradoks tanggungjawab secara renteng


(dalam Pasal 16F perubahan ketiga UU PPN 1984)

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar. Pasal ini memiliki beberapa kelemahan yang berpotensi menimbulkan praktik hukum yang tidak adil khususnya bagi konsumen. Secara normatif, kondisi hukum yang menimbulkan tanggungjawab renteng terhadap pembeli adalah apabila: 1. Pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa; dan 2. pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.

Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat a> mengandung pengertian bahwa telah dilakukan tindakan penagihan kepada penjual atau pemberi jasa ybs. Pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar dapat disebabkan hal-hal sbb: 1. Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual; 2. Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli. Akan diuraikan di bawah ini implikasi dari masing-masing kondisi berkaitan dengan tanggungjawab renteng. 1) Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual Faktur pajak yang tidak diterbitkan oleh penjual padahal atas transaksi itu terutang pajak berdasarkan hasil pemeriksaan fiskus dapat menimbulkan implikasi yang berbeda bagi penjual dan bagi pembeli.

Apabila faktur pajak tidak diterbitkan oleh penjual, ini berarti atas transaksi itu menurut penjual tidak terutang pajak dan sah berdasarkan undang-undang sampai ditemukan bukti bahwa transaksi ini terutang pajak. Akibat kesalahan penjual ini, fiskus dapat menerbitkan surat ketetapan pajak untuk menagih pajak terutang yang semestinya dipungut ditambah sanksi administrasi kepada penjual. Meskipun PPN adalah beban pembeli tetapi akibat kesalahan materil penentuan pajak terutang oleh penjual, atas pajak yang semestinya terutang itu akan menjadi beban penjual.

Ini konsekuensi dari karakteristik PPN sebagai pajak tidak langsung dimana fungsi penetapan dilekatkan pada penjual. Bagi pembeli, karena tidak diterbitkan faktur pajak maka atas transaksi ini tidak terutang pajak meskipun dikemudian hari ditemukan bukti bahwa transaksi itu terutang pajak. Pembeli tidak mungkin dibebani pembayaran pajak apabila tidak diterbitkan faktur pajak. Karena pembeli tidak dibebani kewajiban materil dalam menentukan suatu pembelian adalah terutang pajak, dengan alasan: a) Pembeli tidak mengetahui dan tidak ada kewajiban dalam undang-undang untuk mengetahui kondisi hukum penjual apakah pengusaha kena pajak atau bukan; b) Tidak ada kewenangan bagi pembeli untuk menerbitkan faktur pajak atau mekanisme penetapan lainnya yang diatur undang-undang sebagai sarana untuk melakukan pembayaran pajak terutang sekiranya penjual tidak menerbitkan faktur pajak atas penyerahan yang mestinya terutang. Dengan demikian selama penjual tidak menjalankan fungsi penetapan pajak (dalam bentuk menerbitkan faktur pajak) maka ini berarti tidak pernah ada utang pajak yang timbul bagi pembeli dari sudut pandang pembeli. 2) Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli. Tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar bisa juga berarti bahwa faktur pajak telah diterbitkan tetapi pembeli belum atau tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak. Pembeli memang wajib membayar pajak yang terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Tetapi kewajiban membayar pajak ini sederajat dengan kewajiban membayar harga barangnya pada penjual. Faktur pajak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 perubahan ketiga

sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dari definisi itu maka jelas bahwa apabila telah diterbitkan faktur pajak maka utang pajak berada di pihak yang memungut yaitu penjual. Maka ke penjuallah selayaknya tanggungjawab pembayaran itu dialamatkan. Ketika faktur pajak diterbitkan, muncul utang piutang antara penjual dan Negara. Bagi pembeli, faktur pajak bukan bukti pembayaran tetapi bukti beban pajak. Sebagaimana tersirat dalam definisi mengenai Pajak Masukan dalam Pasal 1 angka 24 yaitu: Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Frasa PPN yang seharusnya sudah dibayar pada definisi Pajak Masukan menunjukkan beban. Maka faktur pajak itu bukan bukti pembayaran pajak tetapi bukti beban pajak yang harus dipikul pembeli atas pembelian barang atau jasa yang terutang pajak. Pelunasan beban pajak ini dilakukan dengan pembayaran kepada penjual. Tentu timbul pertanyaan bukti seperti apa yang dapat diterima sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar kepada penjual? Adakah ketentuan dalam undang-undang pajak yang mengatur jatuh tempo pembayaran pajak oleh pembeli kepada penjual? Dapatkah pembeli membayar langsung ke Kas Negara setelah menerima faktur pajak dari penjual dan kepadanya diberikan SSP sebagai bukti pembayaran? Adakah ketentuan yang mengatur pengalihan utang piutang biasa antara pembeli dan penjual ke dalam utang pembeli kepada negara

dalam undang-undang pajak, kaitannya dengan pajak terutang ini? Jika pertanyaanpertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh seperangkat peraturan perundangundangan pajak kita maka terdapat banyak missing link untuk sampai pada tanggung jawab renteng. Di samping itu, jika pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak yang tercantum dalam faktur pajak telah dibayar dan untuk itu diterbitkan surat ketetapan pajak beserta sanksinya maka akan terjadi pemajakan ganda untuk satu objek pajak. Pembeli, disamping harus melunasi utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang merupakan ranah hukum publik, juga harus melunasi pajak yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual yang merupakan ranah hukum perdata untuk satu peristiwa hukum.

10

11

F. Bisakah Tanggung Jawab Renteng Diterapkan Dalam PPN dengan Karakteristik Pajak Tidak Langsung?
Menurut penulis bisa saja, tetapi tidak dengan syarat sebagaimana diberlakukan dalam Pasal 16F.
Syarat yang ditetapkan harus betul-betul tepat bahwa konsumen berada dalam kapasitas yang memang layak untuk dibebani tanggung jawab renteng. Misalkan terdapat bukti persekongkolan antara penjual dan pembeli dimana penjual selanjutnya tidak diketahui rimbanya dan pajak masukan yang menjadi beban pembeli dan tidak pernah dibayar dikreditkan oleh pembeli. Tetapi ini tentunya masuk ke area pidana. Dan harus bisa dibuktikan adanya persekongkolan antara penjual dan pembeli. Untuk menghindari ini DJP perlu melakukan pembinaan yang intensif terhadap PKP di wilayah kerjanya masing-masing.

G. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan sederhana di atas beberapa kesimpulan dapat dibuat sebagai berikut: 1. Tanggung jawab renteng adalah ketentuan formil yang sebelumnya diberlakukan tetapi dihapuskan oleh UU KUP perubahan ketiga dan dihidupkan kembali dalam UU PPN 1984 perubahan ketiga pada Pasal 16F. 2. Tanggung jawab renteng dibebankan kepada pembeli apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pembeli jasa. 3. Yang pertama kali menentukan secara materil bahwa suatu penyerahan barang atau jasa di Daerah Pabean itu terutang PPN adalah penjual bukan pembeli,

maka penjuallah yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap terutang tidaknya transaksi itu. 4. Bagi pembeli, pembelian terutang PPN hanya apabila atas transaksi itu diterbitkan faktur pajak. Kewajiban membayar pajak terutang timbul bersamaan dengan diterbitkannya faktur pajak. 5. Tanggung jawab renteng tidak tepat diterapkan dalam PPN baik terhadapnya diterbitkan faktur pajak maupun tidak, karena: Pembeli tidak dalam kapasitas melakukan fungsi penetapan (menentukan secara materil bahwa pembelian itu terutang pajak); Menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda yang merugikan pembeli; Tidak ada mekanisme hukum dalam undang-undang yang memungkinkan pembeli melakukan eksekusi renteng langsung ketika kewajiban ini timbul

(jika tanggung jawab renteng dipaksakan untuk dilaksanakan). Hukum formil dan hukum materil itu seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Fungsi hukum pajak material adalah melahirkan pajak yang terutang. Fungsi hukum pajak formil adalah menjadikan pajak yang terutang penerimaan ke Kas Negara. Fungsi hukum formil sejatinya adalah membuat yang material menjadi nyata. Hukum formil yang adil tidak mungkin melampaui hukum materil. Dia tidak mungkin menjadikannya ada jika tidak dilahirkan oleh hukum materil. Jika ada hukum formil yang bertindak demikian maka tidak adil namanya. Itulah yang terjadi dengan Pasal 16F UU PPN 1984. Tidak pada tempatnya menempatkan pembeli sebagai penerima tanggungjawab renteng jika tidak ada kewajiban materil yang mendahuluinya.

H . Kepustakaan Sukardji, Untung, SH: Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2009, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Santoso Brotodihardjo, R.S.H: Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Jakarta- Bandung: PT Eresco, 1982. Rochmat Soemitro, Prof. Dr. SH & Dewi Kania Sugiharti, SH., MH.: Asas Dan Dasar Perpajakan 1 edisi revisi

Oleh : Hari Sugiharto


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

12

13

Opini Kita (OK) KUP

DITJEN PAJAK DAN PENGADILAN PAJAK: MENCARI KEPASTIAN DALAM GUGATAN ATAS KESALAHAN PROSEDUR
inamika hubungan Wajib Pajak dan fiskus dalam proses bisnis perpajakan kadang mengalami masa indah, kadang juga sebaliknya. Upaya-upaya pemenuhan ketentuan perpajakan yang dilakukan oleh fiskus pada dasarnya adalah untuk memastikan bahwa ketentuan perundangan dapat dijalankan dengan tepat dan benar sebagaimana yang dimaksudkan. Meski demikian, ada saat dimana antara Wajib Pajak dan fiskus mengalami perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap sebuah ketentuan ataupun sebuah fenomena transaksi baik dengan latar belakang formil maupun materiilnya. Dalam dunia pajak, hal tersebut adalah wajar dan bukanlah tabu ketika fiskus dan Wajib Pajak mengalaminya dan mempersengketakan urusan tersebut untuk kemudian mencari keputusan tepat yang berbasis pada koridor ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Secara teoritik, ketika dua pihak bersengketa maka perlu pihak ketiga untuk menjadi penengahnya, dan dalam urusan pajak penengah itu adalah Pengadilan Pajak. Tentu tidak ada yang sempurna dalam suatu keputusan yang dikeluarkan dengan basis hukum-hukum buatan manusia. Akan tetapi, harapan bahwa Pengadilan Pajak sebagai salah satu institusi yang memegang kekuasaan mengadili dapat membuat keputusan yang tepat sungguh sangat mencuat, manakala ada celah hukum yang ada di dalam hukumhukum buatan manusia tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain dengan niat yang tidak baik, misalnya penghindaran pemenuhan kewajiban pajak. Kadang harapan tidak selalu menemukan kenyataan indahnya. Satu contoh kasus berikut mengilustrasikan beberapa masalah yang timbul dalam pemenuhan ketentuan formil dalam perpajakan. Kasus ini berhubungan dengan pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan Ditjen Pajak karena surat perintah pemeriksaan bukti permulaan telah dibatalkan oleh Pengadilan Pajak. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bahkan kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali yang membatalkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atas dasar ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) UUKUP. Guliran cerita ini berawal dari dikeluarkannya Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak oleh Ditjen Pajak dan menurut WP telah terjadi kesalahan prosedur dalam penerbitannya, sehingga Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf d UUKUP dan dimenangkan oleh Pengadilan Pajak. Sebagai pelaksana UU Perpajakan dan pengamanan hak negara, Ditjen Pajak memberikan respon dengan mengajukan Peninjauan Kembali ke MA atas Putusan Pengadilan Pajak tersebut dan pada akhirnya sesuai pertimbangan hukum hakim agung keluarlah Putusan PK yang menguatkan putusan Pengadilan Pajak tersebut. Sekali lagi, Ditjen Pajak menjadi pihak yang kalah dalam pertarungan ini. Mengapa Ditjen Pajak kembali kalah? Mari kita kupas.

Pemeriksaan bukti permulaan menurut Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Selanjutnya, bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Dengan demikian, pemeriksaan bukti permulaan adalah upaya DJP untuk mendapatkan keadaan, perbuatan dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda sebagai petunjuk yang membuktikan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan didapatkan petunjuk mengenai adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan maka proses selanjutnya ditingkatkan dengan proses penyidikan. Pelaksana pemeriksaan bukti permulaan adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan (sesuai Pasal 1 angka 8 huruf a PMK Nomor 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan). Penyelidikan dalam tindak pidana umum menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Apabila pejabat POLRI mampu menemukan suatu peristiwa yang diduga tersebut ternyata adalah tindak pidana selanjutnya akan dilakukan penyidikan. Penyelidik adalah pejabat POLRI. Berdasarkan kedua uraian tersebut di atas, pemeriksaan bukti permulaan dapat dikatakan setingkat dengan penyelidikan dalam tindak pidana umum, karena pada akhirnya akan bermuara pada dilakukan atau tidaknya suatu penyidikan.

Dalam Pasal 7 Keputusan KAPOLRI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai amanat dari Pasal 35 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2006 tentang Kepolisian diatur bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa antara lain: a. ; b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas; c. . Berdasarkan uraian di atas, dalam hal terjadi kesalahan prosedur tugas seperti penyelidikan maka sesuai ketentuan dalam Pasal 7 huruf b Keputusan KAPOLRI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka masalah tersebut akan diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam hal terjadi kesalahan prosedur antara lain dalam penangkapan atau penahanan, Pasal 77 KUHAP mengatur mengenai praperadilan. Pra-peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undangundang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian/rehabilitasi oleh tersangka/keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Hal menarik untuk didiskusikan dalam tulisan ini adalah apabila terdapat kesalahan prosedur dalam pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan oleh PPNS DJP, misalnya dalam penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan maka upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak? Bagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan mengatur hal tersebut? Ketentuan yang sudah pasti menurut KUHAP atas proses penyelidikan tidak dapat diajukan praperadilan karena bukan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP. Mengingat bahwa tindakan pemeriksaan bukti permulaan masih dalam proses administratif, dengan demikian siapa yang berwenang untuk menyelesaikan pemeriksaan buper yang tidak sesuai prosedur? Direktorat Jenderal Pajak ataukah merupakan kewenangan Pengadilan Pajak? Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak yang diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sengketa pajak menurut undang-undang tersebut adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dengan demikian, objek sengketa pajak adalah gugatan atau banding.

14

15

Pasal 23 ayat (2) UUKUP mengatur bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan ke badan peradilan pajak terhadap: a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau d. penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Menjadi pertanyaan adalah apabila penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan terdapat kesalahan prosedur apakah dapat dijadikan dasar untuk diajukan gugatan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak ke Pengadilan Pajak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP? Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Namun, berdasarkan frasa tersebut pembentuk undang-undang jelas mengamanatkan bahwa yang menjadi objek gugatan sesuai ketentuan tersebut adalah harus ada keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UUPP) menjelaskan yang dimaksud dengan keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Frasa dan dalam rumusan pengertian Pasal 1 angka 4 UUPP mengamanatkan keputusan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Penagihan Pajak dalam rangka Surat Paksa. Berdasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia penempatan frasa dan merujuk pada suatu penghubung satuan ujaran yang setara, yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda atau merujuk pada kelas atau tingkatan. Lebih lanjut, lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan khususnya dalam Bab III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan angka 228, frasa dan dicantumkan dalam hal menyatakan sifat kumulatif. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan jelas bukan merupakan objek gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP. Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak atas gugatan yang diajukan oleh Wajib Pajak terkait penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan menurut penulis kurang pas mengingat objek gugatan sebagaimana diamanatkan Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP tersebut adalah keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan dalam rangka penagihan pajak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka 4 UUPP

Ketika terjadi pelanggaran dalam hal dilakukannya penyelidikan oleh pejabat POLRI maka penyelesaiannya melalui komisi kode etik POLRI, lalu bagaimana dengan kesalahan atau kekeliruan dalam pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan oleh PNS DJP? Mengingat pemeriksan buper setara dengan penyelidikan, maka menurut penulis seharusnya pelanggaran ini diselesaikan melalui Komite Kode Etik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36A ayat (2) UUKUP. Mengingat Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak dan demi kepastian hukum bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka sudah sepatutnya Pengadilan Pajak juga ikut membantu Pemerintah dalam mempertegas kewenangan DJP. Penegasan kewenangan tersebut diperlukan agar pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Opini Kita (OK) KUP2

PENGHAPUSAN PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH


alam dunia bisnis, penghapusan piutang merupakan hal yang lazim terjadi dan seringkali tidak bisa dihindari. Banyak hal yang dapat menyebabkan piutang harus dihapuskan, terutama penyebabnya adalah ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran hutang-hutangnya. Dari aspek perpajakan masalah penghapusan piutang ini telah diakomodir pengaturannya baik itu bagi kreditur atau pihak yang memberikan hutang, maupun bagi debitur sebagai pihak yang berhutang. Pengaturan tentang penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibuat dengan mempertimbangkankan prinsipprinsip deductible dan non deductible, serta prinsip taxable dan non taxable, dimana jika di satu pihak dapat dibebankan sebagai biaya, maka di pihak lain harus menjadi penghasilan. Dalam penerapannya juga diatur tentang adanya fasilitas khusus untuk debitur kecil yang memang diberikan fasilitas bahwa jika debitur kecil yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah mendapat penghapusan utang, maka bagi debitur kecil tersebut bukan merupakan penghasilan, walaupun di pihak kreditur dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Dalam pasal 6 ayat (1) huruf h Undangundang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008,

Oleh : Ida Zuraida


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

mengatur bahwa dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan persyaratan sebagai berikut: 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh. Sedangkan dalam ketentuan undangundang sebelumnya diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-undang 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, persyaratan untuk mengurangkan Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; dan 2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

16

17

Dalam bentuk persandingan persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h:

UU no. 17/2000
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; dan 2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

UU no. 36/2008
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh.

Dalam perubahan ketentuan berdasarkan Undang-undang no. 36 tahun 2008, dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam hal persyaratan untuk dapat memperlakukan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai pengurang p e n g h a s i l a n b r u t o . L e ta k kemudahannya adalah dalam ketentuan yang baru persyaratan: telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu merupakan persyaratan ini bersifat alternatif, artinya Wajib Pajak boleh memilih memenuhi salah satu persyaratan saja.

Berbeda dengan ketentuan dalam Undangundang Nomor 17 Tahun 2000 yang memberikan syarat kumulatif, yaitu: telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; publikasi penghapusan piutang dalam penerbitan umum atau khusus, dimana persyaratan ini harus dipenuhi semuannya untuk dapat membebankan penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai pengurang penghasilan bruto. Dalam Pasal 6 ayat (1) angka 4, diatur bahwa syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; dengan persyaratan membebankan penghapusan debitur kecil adalah penghapusan tersebut telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Tentu saja kemudahan ini lebih dapat dirasakan bagi wajib pajak dalam hal pembebanan sebagai pengurang penghasilan bruto atas penghapusan debitur kecil yang dilakukannya, hanya cukup dengan mencatat pada pembukuan perusahaan dan mencantumkannya pada laporan keuangan serta membuat daftar nominatif untuk dilaporkan sebagai lampiran SPT tahunan PPh tahun dilakukannya penghapusan tersebut. Yang menjadi permasalahannya adalah kriteria debitur kecil. Walau telah tegas dalam Pasal 6 ayat 1 huruf h angka 4 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan debitur kecil adalah debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) Undang-undang PPh, akan tetapi Peraturan Menteri Keuangan menetapkan lain. Dalam Pasal 4 ayat (1) diatur bahwa yang dimaksud sebagai Debitur kecil adalah Debitur yang menurut ketentuan dalan Peraturan Pemerintah dikecualikan dari penetapan sebagai objek PPh atas keuntungan dari pembebasan utang yang diterimanya, sampai dengan batasan jumlah tertentu.

Perubahan keempat Undang-undang PPh belum diikuti dengan perubahan Peraturan Pemerintah, sehingga mengenai debitur kecil yang dibebaskan pengenaan PPh atas keuntungan penghapusan utang, masih menggunakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 130 tahun 2000 Tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan bahwa Debitur Kecil adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), termasuk: a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);

18

19

d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Lebih lanjut dalam pasal 3 diatur bahwa yang berhak mendapatkan fasilitas keuntungan dari penghapusan piutang bukan sebagai objek pajak penghasilan hanyalah debitur kecil yang berasal dari bank atau lembaga pembiayaan. Sehingga berdasarkan Peraturan Pemerintah ini keuntungan dari pembebasan hutang diluar bank atau lembaga pembiayaan, tetap dianggap sebagai objek Pajak Penghasilan bagi yang menerimannya. Dari ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan debitur kecil adalah debitur dengan jumlah utang tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), sehingga berdasarkan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) atas debitur kecil tersebut dalam penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tidak harus memenuhi persyaratan Pasal 6 ayat (1) huruf h angka 3, yaitu telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Pelaksanaan tentang penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat tertagih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2008 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut ditetapkan kriteria debitur kecil yang dibedakan antara debitur kecil dan debitur kecil lainnya. Yang dimaksud dengan debitur kecil adalah piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian: a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS); d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Sedangkan debitur kecil lainnya adalah piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Jika dibandingkan antara Peraturan Pemerintah Nomor 130 tahun 2000 dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 sebagai perubahan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2008, telihat perbedaan yang mendasar dalam menetapkan suatu piutang apakah termasuk dalam kriteria debitur kecil sebagai berikut:

PP nomor 130 tahun 2000 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), termasuk : a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik Sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS); d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

PMK No. 57/PMK.03/2010 dan PMK No. 105/PMK.03/2008 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian: a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS); d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

20

21

Dari sudut Debitur yang mendapat penghapusan hutang, maka berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 130 tahun 2000, jika hutang tersebut tidak berasal dari kredit perbankan atau lembaga pembiayaan yang telah ditentukan, maka keuntungan karena penghapusan piutang tersebut berapa pun jumlahnya tetap dianggap sebagai objek Pajak Penghasilan. Walaupun Keputusan Menteri Keuangan No. 57/PMK.03/2010 telah memutuskan kriteria debitur kecil, penetapan kriteria ini hanya untuk menentukan persyaratan penghapusannya saja, agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto bagi pihak yang menghapuskan. Berdasarkan uruaian di atas dapat disimpulkan mengenai penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai berikut: Penghapusan Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih pada dasarnya dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, dan bagi debitur kecil serta debitur kecil lainnya, tidak diberlakukan persyaratan bahwa piutang tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu, yang merupakan syarat alternatif, yaitu hanya satu persyaratan saja yang wajib dipenuhi.

Walaupun Pasal 6 ayat (1) huruh h angka 4 secara tegas mengatur tentang kriteria debitur kecil adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf k, yaitu debitur kecil yang penetapannya melalui Peraturan Pemerintah, akan tetapi PMK No. 57/PMK.03/2010 jo. PMK No. 105/PMK.03/2008 menetapkan sendiri kriteria debitur kecil. Akibat ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut tentunya mengurangi semangat perubahan undang-undang yang semula dilakukan untuk memberikan kemudahan persyaratan bagi WP dalam hal membebankan penghapusan piutang sebagai pengurang penghasilan bruto.

Contoh: Wajib Pajak PT A akan menghapuskan piutang dagang PT. B sebesar Rp. 150.000.000,- Bagi PT. A, persyaratan untuk menghapuskan Piutang tersebut adalah: - telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; - PT A harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk soft copy atau hard copy; dan - Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut,

atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Seandainya Peraturan Menteri Keuangan No. 57/PMK.03/2010, tunduk pada Ketentuan Pasal 6, ayat 1 huruf h angka 4, maka kriteria debitur kecil adalah sama dengan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k yaitu sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 130 tahun 2000, dimana ditetapkan kriteria debitur kecil utang usaha dengan jumlah yang tidak melebihi RP. 350.000.000,-. Jika demikian persyaratan untuk penghapusannya cukup memenuhi persyaratan telah dibebankan dalam rugi laba komersial dan memberikan daftar nominatif kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Debitur kecil yang mendapat fasilitas keuntungan penghapusan hutang bukan sebagai objek, hanya debitur kecil yang mendapat fasilitas kredit tertentu dari bank atau lembaga pembiayaan. Diluar dari kredit tersebut bagi debitur yang mendapat keuntungan dari penghapusan hutang, harus melaporkan sebagai objek Pajak Penghasilan. Debitur Kecil kredit tertentu dari lembaga bank dan lembaga pembiayaan lainnya jumlahnya tidak melebihi Rp. 350.000.000,(tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan melebihi Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), berlaku ketentuan bagi pihak bank atau lembaga pembiayaan yang menghapuskan piutang, wajib memenuhi persyaratan bahwa Piutang tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan, untuk dapat membebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Bagi debitur yang menerima penghapusan piutang bukan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Oleh : L.Y Hari Sih Advianto


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

22

23

Opini Kita (OK) PPH

WITHOLDING TAX ATAS PREMI ASURANSI KE LUAR NEGERI, APAKAH EFEKTIF?


Pemerintah melalui ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, mengenakan pajak atas penghasilan berupa premi asuransi termasuk premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri dengan pajak sebesar 20% (dua puluh persen) kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar Pengenaan pajak ini disamping bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak juga dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi jasa asuransi ke luar negeri. Apakah tujuan itu akan berhasil ? Dengan jatuhnya nilai rupiah, kewajiban yang harus dipikul oleh perusahaan asuransi bertambah berat karena investasi yang dimiliki umumnya dalam bentuk rupiah. Jasa asuransi adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa perlindungan kepada masyarakat. Melalui premi yang dibayar oleh tertanggung, perusahaan asuransi sebagai asuradur menerima pengalihan risiko darimasyarakat.

dari perkiraan penghasilan neto. Pemotongan Pajak Penghasilan dimaksud dilakukan oleh : a.tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar b. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal pembayaran premi dilakukan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; c.perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal pembayaran premi dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia

Peranan jasa asuransi dalam perekonomian nasional Perusahaan asuransi sempat dikonotasikan sebagai perusahaan angsuransi, yaitu perusahaan yang kalau membayar klaim kepada tertanggung dengan cara diangsur. Kesan semacam itu memang pernah melekat terutama pada saat negara kita dihantam krisis pada tahun 1997-2002. Krisis telah membuat banyak perusahaan gulung tikar, termasuk perusahaan perbankan yang banyak harus dilikuidasi, sedang yang masih bisa bertahan harus dirawat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Saat itu banyak perusahaan asuransi yang juga sakit dan harus melaksanakan kewajibannya membayar klaim dalam denominasi dollar kepada tertanggung atau pemegang polis yang lapse (memutus kontrak asuransinya) karena tidak sanggup lagi membayar preminya dalam mata uang dolar.

Sebagai lembaga keuangan, perusahaan asuransi mengelola dana masyarakat dalam bentuk premi yang harus diinvestasikan guna meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan prestasinya yang dijanjikan kepada tertanggung/pemegang polis dalam bentuk pembayaran klaim apabila risiko kerugian yang diasuransikan itu terjadi. Dalam dunia asuransi, risiko ini diartikan sebagai kerugian yang dapat dinilai dengan uang yang disebabkan oleh peril (bahaya) yang bisa berupa kebakaran, kecelakaan, bencana alam seperti banjir ataupun gempa bumi atau sakit ataupun meninggalnya seseorang. Meninggalnya seseorang bisa diartikan sebagai bahaya bagi keluarganya karena bisa menimbulkan kerugian berupa terputusnya aliran pendapatan. Bahkan produk asuransi yang dipasarkan melalui bank untuk meng-cover produk perbankan yang dinamai bancasurrance juga sudah lama beredar.

Sebagai perusahaan yang menyediakan proteksi maka peranan perusahaan asuransi sangat penting bagi dunia usaha dan perekonomian nasional. Klaim yang dibayar oleh perusahaan asuransi merupakan kompensasi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang memungkinkan tertanggung yang bisa sebagai pelaku usaha bangkit kembali dari malapetaka yang menimpanya. Sedang investasinya dalam bentuk deposito berjangka, SBI, saham, hipotik dan tanah bangunan menjadi sumber bagi pembiayaan ekonomi dan investasi pelaku usaha lain. Bisa dibayangkan apabila jasa asuransi ini tidak tersedia, maka sumber daya akan banyak terbuang dengan percuma dan kegiatan ekonomi tidak terjaga karena tidak ada perlindungan. Suatu ciri yang khas bahwa dimanapun di dunia ini, perusahaan asuransi adalah perusahaan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh pemerintah. Pertama, untuk melakukan kegiatan usaha maka perusahaan asuransi harus mendapatkan izin dari pemerintah dengan persyaratan yang ketat. Sebagai kegiatan usaha yang menjual janji untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat dan mengelola dana masyarakat melalui premi yang diterimanya, akan membahayakan kepentingan umum apabila kegiatan usahanya tidak sah dan bahkan lari meninggalkan nasabahnya. Masyarakat juga akan dirugikan apabila janji untuk memberikan proteksi itu tidak dapat direalisasikan. Karena demikian krusialnya bisnis asuransi, maka setiap saat perusahaan asuransi harus solven, yaitu mampu membayar klaim yang diajukan oleh pemegang polis. Kemudian, guna memenuhi persyaratan itu, modal perusahaan asuransi harus memadai dan dalam bentuk uang tunai, sedang premi yang masih menanggung risiko harus dicadangkan dan diinvestasikan kedalam jenis investasi yang ditentukan oleh pemerintah, dengan jumlah yang dibatasi agar risiko dari investasi dapat disebar.

Dengan sistem solvabilitas yang berlaku saat ini yang dikenal dengan nama Risk Base Capital menuntut semua perusahaan asuransi untuk menerima bisnis (penutupan asuransi) dalam jumlah yang sesuai dengan modal yang dimilikinya. Sistem ini mirip dengan sistem yang diberlakukan pada jasa perbankan yang kita kenal dengan nama CAR (Capital Adequacy Ratio) yang keduanya sebenarnya menggunakan prinsip dasar yang sama. Jadi dengan sistem solvency margin yang berlaku itu mengharuskan perusahaan asuransi hanya menerima risiko yang setara dengan modalnya, apakah modalnya berupa ekuitas ataupun modal sendiri (networth) yang merupakan pengembangan dari modal disetor. Apabila perusahaan asuransi bermaksud meningkatkan besarnya risiko yang diterima, maka perusahaan asuransi harus meningkatkan modalnya. Ketentuan yang berlaku hanya membolehkan perusahaan asuransi menerima risiko maksimal 300% dari modalnya walaupun bila analisis risiko dan hukum the law of the large number tidak dipenuhi, ketentuan itu akan sangat membahayakan. Oleh karena itu maka dalam dunia asuransi dikenal istilah reasuransi, yaitu back up dalam bentuk pertanggungan ulang terhadap risiko yang melampaui owned retention-nya (retensi sendirinya).

Oleh : Agus Prawoto


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

24

25

KABARE PUSDIKLAT

PELIMPAHAN WEWENANG PENGELOLAAN PBB DAN BPHTB KEPADA PEMDA


Dengan menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, segala kegiatan peserta terkait dengan penggunaan modul, konten dan ujian dapat dipantau secara terpusat. Pada saat pelaksanaannya, para calon peserta yang sudah ditunjuk oleh masingmasing Pemerintah Daerah diwajibkan melakukan login ke dalam sistem pembelajaran. Setelah verifikasi oleh dari Pusdiklat Pajak, maka akan dikirimkan paket DVD yang berisi seluruh materi yang dapat dipelajari secara offline. Materi online learning dapat dipelajari langsung melalui aplikasi Learning Management System yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja, dengan menggunakan media internet. Selanjutnya para peserta akan diberikan jadwal untuk mengikuti tutorial, tanya jawab dan diskusi secara online dengan para narasumber. Terakhir, para peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian atau tes untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang diberikan. Bagi peserta, hal ini dapat membantu mereka dalam mendapatkan dan mempelajari materi dengan mudah, karena DVD yang dikirimkan memuat seluruh materi dalam berbagai bentuk, yaitu modul teks, multimedia interaktif, forum tanya jawab, latihan soal,dll. Kemudahan lainnya adalah seluruh materi beserta fasilitas lainnya dapat juga diperoleh secara online, kapan saja dan dimana saja melalui aplikasi LMS yang ditempatkan melalui media internet. Selain itu para peserta dapat berhubungan dengan para narasumber, baik secara online sesuai jadwal yang ditentukan, maupun secara offline dengan mengirimkan pertanyaan melalui forumforum diskusi dan e-mail. Mengenai ujian atau tes, peserta dapat mengulang ujian maupun tes tersebut kapan saja sepanjang masih dalam waktu pelaksanaan diklat. Bagi Pusdiklat Pajak, kegiatan e-learning PBB dan BPHTB untuk Pemda ini merupakan langkah strategis baik dari sisi edukasi publik, maupun sisi pencitraan diri untuk lebih memperkenalkan eksistensi Pusdiklat Pajak sebagai gerbang edukasi perpajakan. Secara internal, manfaat yang dapat diambil adalah sebagai batu pijakan langkah untuk menuju e-learning yang lebih baik lagi. Dengan dukungan infrastruktur dan sumber daya yang ada, kegiatan elearning ini diharapkan dapat menjadi salah satu produk unggulan di Pusdiklat Pajak, selain tentunya diklat-diklat yang sudah selama ini dilaksanakan yang telah memberikan kontribusi terbaik bagi pengembangan SDM khususnya di bidang perpajakan. Pusdiklat Pajak menyadari bahwa belajar melalui media elektronik, internet maupun belajar jarak jauh belum menjadi sebuah budaya belajar di Indonesia. Namun dengan keterbatasan tersebut, Pusdiklat Pajak berusaha untuk menjadi institusi pendidikan yang menyediakan berbagai fasilitas pembelajaran bagi semua orang yang ingin belajar mengenai perpajakan. Perencanaan dan pengembangan terus dilakukan untuk menyempurnakan diklatdiklat berbasis e-learning, dengan tidak lupa untuk lebih menyempurnakan lagi diklat-diklat tatap muka yang selama ini sudah menjadi produk unggulan di Pusdiklat Pajak.

Internet untuk belajar ? Kenapa tidak ?


Awal tahun 2009 merupakan langkah awal bagi Pusdiklat Pajak untuk mulai memanfaatkan media Internet dalam proses pembelajaran. Tidak kurang dari 1200-an peserta memanfaatkan proses pembelajaran melalui internet tersebut yang kami sebut dengan e-learning.
nternet, sebuah kata yang sudah sangat tidak asing di telinga kita. Internet sudah sangat dikenal luas di masyarakat kita. Kebutuhan akan internet dewasa ini meningkat, mulai dari browsing mencari data, menggunakan surat elektronik, atau sekedar chatting, memanfaatkan situs jejaring sosial semacam facebook, twitter, sampai penggunaan untuk proses pembelajaran. Internet sebagai media dalam proses pembelajaran, memang belum menjadi sebuah budaya belajar, khususnya di Indonesia. Namun demikian, beberapa tahun lagi, diyakini bahwa Internet akan menjadi kebutuhan utama orang untuk belajar. Sebagai sebuah institusi pendidikan, Pusdiklat Pajak mulai melirik pemanfaatan jaringan maya terbesar ini untuk mendukung proses belajar mengajar atau proses diklat. Sekilas kembali ke tahun 2009. Pada saat itu terdapat sekitar 1200-an peserta dari penerimaan sarjana baru yang ditempatkan di Direktorat jenderal Pajak yang harus mengikuti pelatihan khusus mengenai perpajakan, maka Pusdiklat Pajak mengambil inisiatif untuk melakukan pendekatan e-learning untuk mendukung kegiatan diklat tatap muka. Metode eLearning dipilih karena metode ini mampu menjangkau peserta diklat yang luas dalam waktu yang relatif singkat. Bentuk eLearning yang dipilih adalah penggunaan Learning Management System untuk mendistribusikan modul, materi maupun penugasan yang harus diselesaikan peserta. Walaupun ini merupakan hal yang pertama kali dilakukan, namun hasilnya cukup memuaskan, dilihat dari respon peserta dan keaktifan peserta yang terpantau melalui system e-learning tersebut. Memasuki tahun 2010, khususnya pada pertengahan tahun ini, konsep dan teknologi e-learning yang akan digunakan Pusdiklat Pajak mulai mengalami perubahan. Kalau pada saat itu, hanya menggunakan modul dalam bentuk teks maupun slide presentasi, kali ini kami mulai memperkenalkan format multimedia interaktif, demikian ungkap Kapusdiklat Pajak. Setelah beberapa kali pelaksanaan, maka proses e-learning diharapkan dapat berjalan lebih baik lagi, baik dari sisi teknologinya maupun dari segi manajerialnya, tambahnya.

Sesuai dengan Undang Undang PDRD tahun 2009, pengelolaan PBB dan BPHTB sektor Pedesaan dan Perkotaan yang selama ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, dialihkan pengelolaannya ke Pemerintah Daerah mulai tahun 2011. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan melalui Pusdiklat Pajak merespon pelimpahan wewenang ini dengan rencana pelaksanaan diseminasi informasi maupun pelatihan khusus bagi para SDM Pemerintah Daerah seluruh Indonesia yang akan menangani pengelolaan PBB dan BPHTB ini. Mengingat jumlah peserta yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, maka salah satu strategi penyampaian materi adalah melalui e-learning. Persiapan demi persiapan saat ini sudah dilakukan, mulai dari persiapan anggaran, SDM, koordinasi dengan Ditjen Pajak, sampai dengan menginformasikan rencana kegiatan ini ke seluruh Pemda se-Indonesia. Materi yang disampaikan adalah materi yang terkait dengan pengelolaan PBB dan BPHTB yang selama ini dilakukan oleh Ditjen Pajak. Materi tersebut dikembangkan dan dikemas dalam konten multimedia dengan Subject Matter Expert dari beberapa Widyaiswara Pusdiklat Pajak dan para pejabat struktural di Ditjen Pajak. Dari sisi aplikasi, pelaksanaan ini akan menggunakan aplikasi Learning Management System yang dikembangkan sendiri oleh Pusdiklat Pajak. Tax Computer Based Test atau lebih dikenal dengan Tax Combat merupakan aplikasi yang disiapkan sebagai instrumen evaluasi dan tes bagi para peserta.

Oleh : Wawan Ismawandi


(Kasubbid Kurikulum dan Metodologi Pembelajaran Pusdiklat Pajak)

26

27

Mengapa PBB P2 dan BPHTB Dialihkan? .....................................................................


Sebagaimana telah diketahui bahwa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, tetapi penerimaan pajak tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja. Singkat kata, mereka tidak ingin menerima pengalihan ini. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 dan BPHTB? Jawabnya adalah, adanya beberapa kenyataan bahwa: a. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah; b. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan APBNP 2010 adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743-an Triliun; c. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB (seluruh sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian, hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK No. 34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah, artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan PBB dan BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku juga untuk BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena berjuta-juta jumlah objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat.

Opini Kita (OK) PBB

PENDAHULUAN
ada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian Ketujuh Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).

28

29

PBB (Pajak Bumi Versus Hak Atas Tanah)


Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB). Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.

c). Memiliki; d)Menguasai, dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan. Seandainya, istilah bumi diganti menjadi hak atas tanah, sehingga PBB berganti menjadi Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.

BPHTB (BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH VERSUS BUMI)

secara luas kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh bumi, artinya bisa saja a). Mempunyai suatu hak atas bumi, b). Memperoleh manfaat atas bumi, c). Memiliki bumi ataupun d) Menguasai bumi. Lebih tepatnya, pengertian tanah adalah mengarah kepada jenis hak yang meliputi hak atas tanah, hak atas air dan hak ruang angkasa.Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4 ayat

PAJAK VERSUS BEA


(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi. (3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Ibarat dalam sebuah keluarga, maka posisi BPHTB sebagai pajak pusat adalah sebagai adik bungsu. Mengapa dinamakan bea, tidak dinamakan saja dengan pajak? Ada beberapa kenyataan, sehingga pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak dinamakan PPHTB (Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), tetapi dinamakan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). 1. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, tidak membutuhkan nomor identitas sebagaimana NOP dalam PBB ataupun NPWP dalam PPh;2. Salah satu fungsi dari nomor identitas adalah untuk memudahkan petugas pajak mengawasi kepatuhan wajib pajak.

Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Penggunaan istilah bumi pada pajak bumi dan bangunan berakibat pada siapa saja yang menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara nyata a). Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau; b). Memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau;

Penggunaan istilah hak atas tanah pada BPHTB berakibat pada jenis perolehan. Artinya, BPHTB dikenakan secara khusus pada orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah (penyusun sebut sertifikat tanah). Seandainya, istilah hak atas tanah diganti menjadi bumi, sehingga BPHTB berganti menjadi Bea Perolehan Bumi dan Bangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan

Jika tidak memiliki nomor identitas, maka ada kecenderungan wajib pajak tidak mematuhi peraturan. Untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak, dibutuhkan pihak lain/pejabat yang secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang BPHTB yaitu pasal 24 ataupun Undang-Undang Bea Meterai Pasal 11. Kehadiran pejabat semacam itu tidak terdapat dalam UndangUndang pajak yang lain; 3. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak diharuskan membayar pajak sebelum saat terhutang. Contoh, cek (salah satu dokumen perbankan) sudah dibayar pajak dokumen (bea meterai), jauhjauh hari sebelum ia dicetak, apalagi saat terhutang. Dengan demikian, cek kosong pun sudah terbayar pajak dokumennya; 4. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak bisa membayar pajak berkali-kali tidak terikat dengan masa ataupun tahunan.

30

31

PERSYARATAN OBJEKTIF BPHTB


Masih banyak orang yang belum mengetahui dan mengenal BPHTB, terutama yang paling mendasar yaitu syarat objektif BPHTB yang berakumulasi, yaitu Pertama, objek BPHTB yaitu Pasal 2 ayat (1) UU BPHTB, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengkibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru dan Kedua, perolehan hak atas tanah (sertifikat yang diterbitkan oleh BPN). Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU BPHTB, hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

PBB P2 (PERDESAAN PERKOTAAN)


UU PBB 1985 tidak pernah menyebutkan perdesaan perkotaan (P2). Sebaliknya instilah ini dimunculkan pada UU PDRD 2009. Bahkan, Keputusan Direktur jenderal Pajak No. KEP-16/PJ.6/1998 tentang Pengenaan PBB juga tidak memberikan definisi, kecuali sebagai berikut yaitu objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta objek khusus perkotaan. 1. Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atan badan hukum yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumberdaya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan Iainnya serta menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial; 2. Objek Pajak Perairan adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia; 3. Objek Pajak Khusus adalah objek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dan segi bentuk, material pembentukan maupun keberadaannya memiliki arti yang khusus seperti Jalan Tol, Pelabuhan laut/sungai/udara, Lapangan Golf, Industri Semen/Pupuk, PLTA, PLTU dan PLTG, Pertambangan, Tempat Rekreasi, Dan lain-lain yang sejenis.

terhadap perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang bersertifikat saja. Sertifikat adalah tanda bukti hak, yang merupakan alat pembuktian yang kuat, baik mengenai macam hak, subjek atau tanahnya. Untuk mendapatkan sertifikat maka perlu dilakukan pendaftaran. Ketiga, perolehan tersebut adalah dibuat, ditandatangani, didaftarkan, diterbitkan, ditunjuk atau diputuskan oleh para pejabat Pasal 24 UU BPHTB (yaitu notaris/PPAT, pejabat lelang negara, hakim dan badan pertanahan). Dengan demikian, akan terhutang BPHTB jika ada perbuatan jual jual beli tanah bersertifikat, yang dilakukan secara otentik. Sebaliknya tidak akan terhutang BPHTB manakala : (a) jual beli tanah bersertifikat dengan akta di bawah tangan; atau (b) jual beli tanah girik walaupun akta otentik apalagi; (c) jual beli tanah girik dengan akta di bawah tangan.

DAFTAR PUSTAKA Supriyanto, Heru, 2008. Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai, Penerbit Index, Jakarta, 2008 Supriyanto, Heru, 2010. Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB, Indonenesia Tax Review, Volume III/Edisi 01/2010 Supriyanto, Heru, 2009. BPHTB terhadap Konversi, Penegasan Hak dan Pengakuan Hak, Indonenesia Tax Review, Volume II/Edisi 08/2009 Supriyanto, Heru, 2008. BPHTB, Sebuah Catatan, Indonenesia Tax Review, Volume 1/Edisi17/2008 Supriyanto, Heru, 2008. NPOPTKP, perSSB ataukah Kolektif?, Indonenesia Tax R e v i e w, Vo l u m e 1 / E d i s i 0 6 / 2 0 0 8

Oleh : Heru Supriyanto


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

32

33

Opini Kita (OK) Akuntansi Pajak

b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna; c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh; Tulisan ini hanya akan membahas aspek perpajakan atas transaksi transaksi murabahah saja, dengan pertimbangan bahwa transaksi ini saat ini yang paling dominan yang dilakukan para pelaku transaksi syariah.

ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN


erlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, memberikan angin segar bagi pelaku transaksi syariah. Pasalnya kedua Undang Undang ini mulai mengatur perlakuan perpajakan secara khusus atas transaksi syariah, sehingga lebih memberikan kepastian hukum perlakuan perpajakan transaksi syariah yang selama ini terjadi terdapat perbedaan persepsi mengenai perlakuan perpajakan antara para pelaku transaksi syariah dan Direktorat Jenderal pajak. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama. Kenyataannya transaksi syariah memang unik. Prinsip dalam transaksi syariah yang melarang adanya unsur: a. riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl); b. kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan); c. maysir (unsur judi dan sikap spekulatif); d. gharar (unsur ketidakjelasan); dan e. haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait). Konsekuensi dengan tidak diperkenankannya adanya unsur riba, maka pengenaan bunga seperti dalam kelaziman pembiayaan konvensional tidak diperkenankan, sehingga dalam transaksi syariah pola pembiayaan diubah dengan skema-skema tertentu yang jika dikenakan pajak dengan perlakuan perpajakan yang berlaku umum akan mengakibatkan perlakuan yang tidak netral antara pembiayaan dengan prinsip syariah dan pembiayaan konvensional. Dalam prakteknya, transaksi syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

A. Transaksi Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggungan penjual dan akan mengurangi nilai akad. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli, tetapi pembayaran dilakukan secara angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.

B. AKUNTANSI MURABAHAH
Sesuai dengan PSAK No 102 diatur mengenai perlakuan akuntansi dari sisi penjual maupun pembeli

Akuntansi Untuk Penjual


Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan. Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut: (a) jika murabahah pesanan mengikat, maka: (i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan (ii) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diaku sebagai beban dan mengurangi nilai aset: (b) jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka: (i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan (ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Diskon pembelian aset murabahah diakui sebagai: (a) pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah; (b) kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati menjadi hak pembeli; (c) tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi hak penjual; atau (d) pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad. Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat: (a) dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian; atau (b) dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual.Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset murabahah ditambah keuntungan yang disepakati.

Pada akhir periode laporan keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang. Keuntungan murabahah diakui: (a) pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau (b) selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya: (i) Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaa piutang serta penagihannya relatif kecil; (ii) Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasih ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga; (iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.Pengakuan keuntungan, dalam dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih.

34

35

Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah. Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut: Tahun Angsuran Pokok Keuntungan 1 500 400 100 2 300 240 60 3 200 160 40 Potongan pelunasan piutang murabahah yang diberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah. Pemberian potongan pelunasan piutang murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut: (a) diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah; atau (b) diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli

Potongan angsuran murabahah diakui sebagai berikut: (a) jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah; (b) jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban. Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan. Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut: (a) uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima; (b) jika barang jadi dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang (merupakan bagian pokok); (c) jika barang batal dibeli oleh pembeli, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual.

(b) Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan; (c) Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah; (d) Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan; (e) Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian; (f) Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.

C. ASPEK PAJAK TRANSAKSI MURABAHAH

Ilustrasi Jurnal
Jurnal Penjual Jurnal Pembeli

Penjual melakukan pembelian barang dari supplier Db. Persediaan murabahah Kr. Kas Penjualan barang murabahah Db. Piutang murabahah Kr. Persediaan murabahan Kr. Pendapatan murabahah ditangguhkan Db. Aktiva Db. Beban murabahan ditangguhkan Dr. Hutang murabahah

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Penghasilan Objek PPh:


Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Ketentuan pemajakan atas transaksi murabahah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.

Pembayaran angsuran murabahah Db. Kas Kr. Piutang murabahah Db. Pendapatan murabahah ditangguhkan Kr. Pendapatan murabahah Db. Hutang murabahah Kr. Kas Db. Beban murabahah Kr. Beban murabahah ditangguhkan

Akuntansi Untuk Pembeli Akhir


(a) Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan);

Dalam hal penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU PPh, akan dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%. Apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP maka akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal. Sedangkan jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak luar negeri maka akan dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20% atau tarif sesuai dengan tax treaty. Namun demikian, dalam hal transaksi murabahah dilakukan oleh Bank Syariah sebagai penjual maka atas margin tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (4) UU Pajak Penghasilan dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Sampai saat ini ketentuan perpajakan belum mengatur secara khusus saat pengakuan penghasilan dalam transaksi murabahah yang dilakukan Bank Syariah. Sesuai dengan pasal 28 UU KUP perlakukan perpajakan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan. Dalam PSAK 102 keuntungan murabahah diakui: pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan,

dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahah-nya: Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil. Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga. Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya. Pengakuan keuntungan, dalam hal dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih, dilakukan dengan cara mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah. Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun;

36

37

dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut: Tahun 1 2 3 Angsuran Pokok Keuntungan 500 400 100 300 240 60 200 160 40

Dalam transaksi murabahah denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan oleh Bank Syariah. Denda yang diterima tersebut secara fiskal merupakan penghasilan objek PPh. Pada akhir tahun pendapatan margin murabahah diakumulasi bersama dengan penghasilan lainnya dikenakan PPh Tarif Umum dari basis netto. Dalam hal Bank Syariah menjual tanah dan bangunan perlu diperhatikan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Ketentuan tersebut mengatur besarnya PPh sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. Nilai pengalihan hak tersebut adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.

Terkait dengan transaksi murabahah ketentuan ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Bank Syariah, karena transaksi murabahah yang dilakukan oleh Bank Syariah tujuannya adalah pembiayaan bukan semata-mata jual beli, sehingga seharusnya Bank Syariah tidak dikenakan PPh Final atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.namun tetap mengacu pada prinsip umum transaksi murabahah dimana objek PPh dikenakan atas margin murabahah dan tidak bersifat final.

Biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PPh :


Dalam PSAK 102 piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Untuk kepentingan penghitungan PPh, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya diatur bahwa Bank syariah diperkenankan untuk membuat pencadangan piutang tak tertagih. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut : (a) 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah

(b) 5 % (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan; (c) 5% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; (d) 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan (e) 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah : (a) 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan (b) 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai. Sedangkan besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah ditetapkan sebagai berikut : 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia; 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah : 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai. PSAK 102 menyatakan pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut: (a) jika murabahah pesanan mengikat, maka: (i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan (ii) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset: (b) jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka: (i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan (ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian. Pengukuran aset murabahah menurut PSAK tersebut merupakan penerapan prinsip konservatisme. UU PPh tidak menganut prinsip konservatisme, sehingga aset murabahah akan selalu dinilai menggunakan biaya perolehan. Biaya yang muncul terkait dengan penerapan prinsip konservatisme oleh ketentuan UU PPh tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Ketentuan perpajakan menganut prinsip realisasi. Kerugian karena penurunan aktiva baru akan diakui ketika benar-benar terealisasi yaitu ketika dijual.

38

39

Perlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Dengan berlakunya UU No 42 tahun 2009, perlakuan PPN untuk transaksi pembiayaan murabahah yang selama ini menjadi ganjalan menjadi lebih jelas. Bank Syariah tidak perlu memungut PPN atas penyerahan barang kena pajak kepada pembeli akhir. Berdasarkan Pasal 1 A ayat (1) huruf h UU No 42 Tahun 2009 penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. Contoh : dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Perlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Dalam hal Bank Syariah melakukan transaksi murabahah atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menjadi objek BPHTB. Tarif BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak. Sehingga BPHTB terutang langsung pada kreditur selaku pembeli. Namun dalam transaksi murabahah, secara akad terjadi dua transaksi jual beli yaitu antara perusahaan pengembang perumahan dengan Bank Syariah dan antara bank syariah dengan nasabah selaku pembeli akhir. Akibatnya BPHTB terutang dua kali, yaitu oleh Bank Syariah dan oleh nasabah selaku pembeli akhir. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kewenangan pengenaan BPHTB paling lambat mulai tahun 2011 berada pada Kabupaten/Kota bukan lagi pada pemerintah pusat. Sehingga mulai tahun 2011 mekanisme pengenaan BPHTB tidap daerah bisa berbeda tergantung dari Peraturan Daerah masing-masing.

Perlakuan Bea Meterai


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 Tentang Bea Meterai, dokumen yang terutang bea meterai saat akad murabahah disepakati, antara lain : surat perjanjian/akad murabahah; kuitansi/tanda terima uang; akta-akta yang dibuat oleh pejabat PPAT dalam hal akad murabahah menyangkut pengalihan tanah

Kondisi ini menciptakan perlakuan yang tidak netral dengan perbankan konvensional. Dalam kasus kredit perumahan oleh bank konvensional jual beli terjadi antara perusahaan pengembang perumahan (developer) dengan kreditur selaku pembeli.

40

41

Akuntansi In ternasional

Penguatan Posisi Indonesia Dalam Pemajakan Terhadap Transaksi Ekonomi Global


Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 tentang Bea Meterai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya Ikatan Akuntan Indonesia, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no. 102 Akuntansi Murabahah

D. PENUTUP
Sampai saat ini aturan pelaksana untuk perlakuan perpajakan terhadap transksi syariah khususnya mengenai Pajak Penghasilan baru sebatas pada Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk perlakuan Pajak Pertambahan nilai baru sebatas Undang-Undang. Tentu saja para pelaku transaksi syariah masih menunggu petunjuk teknis yang lebih jelas dalam aturan-aturan pelaksanaan dibawahnya. Terkait dengan beragamnya pendekatan transaksi syariah dan untuk memberikan perlakuan yang netral antar industri yang sama disarankan pembentukan peraturan pelaksana untuk transaksi syariah menggunakan pendekatan sektor industri, misalnya transaksi syariah industri perbankan, transaksi syariah industri asuransi, dan industri lainnya.

Oleh : Anang Mury Kurniawan


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

ancah bisnis internasional dari perspektif bangsa Indonesia dapat digambarkan dari perjalanan sejarah kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa, Jepang , masa perjuangan kemerdekaan, sampai seperti sekarang ini, dimana sudah semakin banyak warga bangsa Indonesia mengembangkan usaha atau kegiatan bisnisnya di luar Indonesia. Kegiatan investasi misalnya telah merambah ke berbagai negara di kawasan Asia, Eropa, Amerika, dan Australia. Pelaku bisnis lokal yang semula hanya bermain di dalam negeri, kini telah melangkah jauh keluar batas Indonesia. Begitu juga pebisnis mancanegara melalui berbagai jenis kegiatan dan usaha termasuk membangun jaringan perusahaan multinasional (MNC) telah banyak beroperasi di Indonesia.

Data BKPM menginformasikan jumlah foreign investment yang masuk (capital inflow) pada periode Januari Mei 2010 tercatat sebesar Rp 42,1 trilyun meliputi investasi di sektor tranportasi, pergudangan, perdagangan, telekomunikasi, listrik, air dan gas, perumahan, kawasan industri, gedung perkantoran dan sebagainya. Dari gambaran di atas tentunya kita dapat mengatakan bahwa transaksi-transaksi internasional semakin meningkat baik dari segi jumlah maupun volumenya. Ini juga dapat berarti meningkatnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak baik potensi pemajakan dari transaksi ekonomi wajib pajak luar negeri di Indonesia (inbound transaction) maupun dari transaksi ekonomi wajib pajak dalam negeri di luar Indonesia ( outbound transaction). Bagaimanakah kemampuan Indonesia memanfaatkan potensi meraup pajak transaksi-transaksi global tersebut? Ini akan kita amati dari sisi bagaimana Indonesia membidik potensi-potensi pemajakan tersebut melalui peraturan perundang-undangan domestik dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang diterapkan di Indonesia. Praktik pemungutan pajak berkaitan dengan tansaksi ekonomi global (cross-border tax) oleh negaranegara di seluruh dunia meliputi paling tidak 4 hal, yaitu subjek pajak, objek pajak, besaran atau tarif pajak dan hak pemajakan.

42

43

Penentuan Subyek Pajak Luar Negeri


UU PPh Pasal 2 ayat (4) menggariskan bahwa Subjek Pajak Luar Negeri adalah: orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, a. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia; dan b. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Pengertian BUT pada dasarnya sama untuk setiap negara, yaitu mengacu pada pengertian yang dikeluarkan oleh OECD : a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on. termasuk a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari waktu tertentu. (Batasan waktu tertentu ini berbeda-beda untuk masing-masing negara. Indonesia menentukan 60 hari dalam waktu 12 bulan.);

n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di negara pihak lainnya yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di negara pihak lainnya. Dalam perkembangannya, kriteria BUT model OECD tersebut ternyata dianggap tidak memberikan hak pemajakan yang berimbang antara negara OECD dengan negara berkembang. Negara maju lebih banyak memperoleh kesempatan memajaki penghasilan dari transaksi ekonomi global. Oleh karena itu PBB membangun kriteria BUT yang lebih mengakomodasi kebutuhan negara-negara berkembang dalam Perjanjian Penghindaran pajak Berganda (P3B) - tax treaty - model PBB atau UN Model. Selanjutnya masing-masing negara, berdasarkan kepentingannya, memodifikasi lagi pengertian BUT. Indonesia misalnya, - menentukan batasan waktu tertentu pada butir m dengan 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Di samping itu berkaitan dengan perkembangan yang pesat dalam bidang usaha melalui internet e-commerce Indonesia menambahkan 1 butir kriteria, yaitu : komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Dari batasan ini dapat diartikan bahwa setiap warga asing di Indonesia berpotensi dikenakan pajak baik dari hasil investasi maupun penghasilan dari kegiatan yang tidak melalui BUT seperti penghasilan sehubungan dengan pekerjaan (pegawai/bukan pegawai) atau pekerjaan bebas. Tentu saja ada pengecualianpengecualian bahwa pihak-pihak asing tertentu bukan merupakan subjek pajak, seperti para pejabat dan staf perwakilan negara sahabat,

Penentuan menjadi Wajib Pajak Luar Negeri.


Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi wajib pajak luar negeri, antara lain : 1) Terpenuhinya syarat Subjek Pajak Luar Negeri; 2) adanya penghasilan, dan 3) Terpenuhinya syarat BUT; Syarat 1) dan 2) bersifat kumulatif. Sebenarnya satu kriteria saja sudah cukup untuk menetapkan subjek pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak (luar negeri), yaitu apabila SPLN tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia. Kewajiban perpajakannya tergantung dari status wajib pajak luar negeri tersebut, apakah BUT atau selain BUT, apakah penduduk mitra atau bukan. Namun satu hal harus diingat, terpenuhinya kriteria sebagai wajib pajak luar negeri belum menjamin perolehan penerimaan pajak yang optimal. Satu dan lain hal disebabkan adanya praktik-praktik pajak yang tidak sehat yang dapat dilakukan oleh wajib pajak luar negeri, yaitu antara lain : a) jumlah karyawan asing yang dilaporkan kurang dari jumlah yang sebenarnya; b) praktik-praktik pajak yang berkaitan dengan tax heaven country seperti transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign country, hubungan istimewa dan sebagainya..

Adapun jenis-jenis outbound transactions antara lain: transaksi yang dilakukan secara langsung dari Indonesia (tanpa melalui BUT di luar negeri); transaksi yang dilakukan melalui BUT di luar negeri; transaksi yang dilakukan melalui investasi langsung di luar negeri (foreign direct investment) dalam bentuk pengoperasian anak perusahaan (subsidiary company); atau transaksi yang dilakukan melalui ekspor modal yang menghasilkan passive income (dividen, bunga, sewa, atau royalty) Pemajakan yang biasanya terkait dengan outbound transaction antara lain: Pemotongan pajak oleh fihak luar negeri (foreign withholding taxes), kredit pajak luar negeri (foreign tax credit), foreign tax credit limitation, income tax treaties, dan sebagainya.

b. Penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan perkiraan penghasilan neto berupa: penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai

pejabat organisasi internasional tertentu, dan sebagainya. Penguatan posisi Indonesia dapat dilihat dari penentuan kriteria BUT, yaitu batas waktu pemberian jasa dalam bentuk apapun (furnishing services) oleh pegawai atau orang lain, yaitu 60 hari dalam 12 bulan. Namun ini nampaknya hanya berlaku untuk penduduk dari negara yang belum mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B-tax treaty) dengan Indonesia. Dengan negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, batasan waktu tersebut(berdasarkan time test pada setiap P3B) ternyata lebih panjang, yang berarti Indonesia harus menanti lebih lama untuk memperoleh hak pemajakan atas penghasilan penduduk mitra. Weleh---weleh.

Penentuan Penghasilan dari Transaksi Internasional Yang Dikenai Pajak


Penghasilan wajib pajak dalam negeri (WPDN) atau wajib pajak luar negeri (WPLN) yang berasal dari transaksi internasional secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) penghasilan wajib pajak dalam negeri yang berasal dari transaksi luar negeri (outbound transactions); dan 2) penghasilan wajib pajak luar negeri yang berasal dari transaksi /diterima di dalam negeri (inbound transactions); dan 3) penghasilan BUT. Penghasilan wajib pajak dalam negeri yang berasal dari Outbound transactions dikenai pajak di Indonesia berdasarkan pasal 24 UU PPh.

Di sisi lain, penghasilan wajib pajak luar negeri selain BUT yang berasal dari inbound transactions dikenai pajak di Indonesia berdasarkan Pasal 26 UU PPh. yaitu : a. Penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto berupa: dividen; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; hadiah dan penghargaan; pensiun dan pembayaran berkala lainnya; premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau keuntungan karena pembebasan utang.

penjualan atau pengalihan saham badanyang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. c. Penghasilan BUT: Spesifikasi penghasilan BUT terbagi dalam beberapa sumber penghasilan, yaitu : penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasai (attributable rule) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesi (Force of Attraction rule): penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected rule).

44

45

Refleksi

Memuliakan diri
alam kamus besar bahasa Indonesia, mulia berarti : tinggi, luhur, baik budi, bermutu tinggi dan berharga. Diri adalah orang seorang yang utuh, di mana pada diri tersebut berkumpul jasad, pikiran dan ruh, pikiran orang seorang dipengaruhi oleh akal, hati dan nafsu. Diri mempunyai jasad atau tubuh yang mempunyai kebutuhan untuk hidup, diri juga mempunyai ruh yang mempunyai kebutuhan untuk hidup, bedanya adalah jenis kebutuhannya. Kebutuhan jasad antara lain adalah kenyang, enak, nyaman, aman, sehat, senang dan bahagia. Kebutuhan ruh juga sama seperti di atas namun jasad perlu kenyang dengan berbagai asupan jenis makanan sedangkan ruh perlu kenyang dengan berbagai asupan tindakan yang diwajibkan agama dan amal baik. Dalam mengarungi kehidupan untuk memenuhi kebutuhan, diri ini bebas memilih jalan mana yang akan ditempuh dengan segala akibatnya. Pemenuhan kebutuhan ini dilakukan dengan meningkatkan kemampuan, mencari rezeki dan mengaktualisasikan diri dalam lingkungannya. Kita semua merdeka untuk membuat pilihan, jalan yang dapat ditempuh bisa berupa jalan buruk dan biasanya ini mudah, jalan sedang antara baik dan buruk serta jalan baik yang biasanya sukar. Salah satu cara untuk menempuh jalan baik adalah dengan memuliakan diri, yang berarti meninggikan diri, membuat diri menjadi luhur, berbudi baik, bermutu tinggi dan berharga. Segala upaya tersebut akan membuat diri orang seorang menjadi baik, apabila tiap orang berbuat seperti itu maka aman sejahteralah dunia ini, hidup ini nyaman, senang, aman, enak dan bahagia. Dalam mencari rezeki, dengan memuliakan diri upayanya adalah dengan meningkatkan kemampuan diri (kompetensi diri), melebarkan silaturahmi atau membuat suatu jaringan. Dengan meningkatkan kemampuan diri dan melebarkan silaturahmi atau membuat jaringan maka secara logis rezeki akan bertambah, rezeki bisa melimpah. Limpahan rezeki yang banyak ditangan orang seorang yang memuliakan diri akan menjadi limpahan rezeki pula bagi orang dan lingkungan disekitarnya, karena orang tersebut bebas dari kikir. Hal tersebut berarti, orang yang memuliakan diri akan pula memuliakan pihak lain seperti orang tuanya, keluarganya, saudaranya, temannya, tetangganya dan alam lingkungan. Bukan hanya ketika sedang melimpah rezeki, dengan memuliakan diri ketika diri sedang diuji oleh kepapaan atau kekurangan rezeki maka dengan budi baiknya, dengan sifat luhurnya dengan membuat semua perbuatannya bermutu tinggi dan membuat berharga semua perbuatannya maka kebaikanlah yang akan terjadi, terhadap dirinya dan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Ketika seseorang memuliakan orang tuanya, maka dituruti segala perintahnya, kecuali perintah batil, diikuti segala nasihatnya, dikunjungi secara rutin ketika sudah hidup terpisah, dicukupi kebutuhannya, dijaga kesehatannya, dihibur dengan diajak berlibur bersama jika mampu, diberikan hadiah yang menyenangkannya dan diingatkan akan ibadahnya.

Penentuan tarif pajak


Penentuan tarif pajak untuk transaksi global sangat tergantung pada ada /atau tidak adannya tax treaty dengan negara mitra. Apabila antara Indodnesia dengan negara mitra telah mengadakan tax treaty, maka tarif yang digunakan adalah tarif berdasarkan tax treaty tersebut. Sebaliknya apabila belum ada tax treaty, maka digunakan tarif berdasarkan ketentuan pajak domestik.

Pembagian hak pemajakan


Konvensi internasional menggariskan sebagaimana selalu tercantum dalam tax treaty,- laba usaha (business profit) seorang penduduk (orang pribadi atau badan) negara pihak tidak dikenakan pajak di negara pihak lainnya, kecuali laba usaha tersebut diperoleh dari kegiatan BUT di negara pihak lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, berarti negara dimana BUT berada mempunyai hak utama (primary rights) untuk memajaki BUT. Ini berarti pula bahwa keberadaan BUT menentukan pembagian hak pemajakan. Penentuan BUT berdasarkan kriteria fisik barang kali sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Namun penentuan BUT di bidang jasa (furnishing services) kelihatannya kita masih lemah dibanding negara-negara lain. Hal ini nampak dari uji waktu (time test) yang lebih lama pada semua tax treaty dengan negara mitra dibanding dengan uji waktu berdasarkan UU PPh Indonesia. Lalu bagaimana sikap kita untuk meneguhkan posisi sebagai pemungut pajak atas cross-border tax?: Jawabannya tentu tidak sekedar menegakkan aturan, diperlukan usaha untuk memperbaiki daya tawar ekonomi dan kemahiran bernegosiasi dalam perundingan pembentukan tax treaty maupun dalam penerapannya. Penguatan daya tawar ekonomi di masa datang meliputi antara lain : peningkatan investasi di bidang industri berbasis ekspor, inovasi teknologi industri, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka ekspor jasa, kepastian hukum, dan stabilitas ekonomi makro. Untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari tax treaty, disamping kekuatan ekonomi diperlukan pula kemahiran bernegosiasi dengan negara mitra. Kemahiran bernegosasi merupakan bagian integral dalam proses perundingan dan tentu saja memerlukan SDM yang menguasai masalah dan cerdas pula.

Beberapa isu terkini, seperti adanya berbagai kendala dalam memanfaatkan fasilitas pertukaran informasi atau change of Information, perluasan scope dari exchange of information, penentuan beneficial owner atas passive income dan sebagainya sangat memerlukan keterampilan bernegosiasi, khususnya untuk menentukan suatu perusahaan merupakan special purpose vehicle (SPV) atau bukan. Berkenaan dengan penggunaan SPV oleh negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, sudah saatnya Indonesia melakukan investigasi apakah perusahaan pada negara mitra menggunakan SPV atau tidak. Apa bila ada perusahaan negara mitra menggunakan SPV maka sudah saatnya Indonesia melakukan renegosiasi mengenai P3B dengan negara tersebut.

Oleh : Hasanuddin Tatang


(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

46

47

Kabare Pusdiklat2
Ketika seseorang memuliakan orang lain maka disapanya orang lain dengan salam, dikunjungi ketika sakit, diberikan kiriman oleh oleh jika ada, dibantu ketika sedang berada dalam kesempitan, dihibur ketika dalam musibah, didoakan agar memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, dihormati dan jamu tetamu yang datang, diucapkan selamat jika memperoleh penghargaan dan kedudukan baik dan dipenuhi undangannya. Dengan memuliakan diri, orang seorang ini berarti telah memuliakan penciptanya Yang Maha Mulia, Sang pencipta tidak perlu dimuliakan karena dengan sendirinya Sang pencipta telah Mulia, Maha Mulia. Kita semua memuliakan Sang pencipta dengan pengakuan bahwa Sang pencipta Maha Mulia, untuk mewujudkan bahwa kita semua memuliakan Sang pencipta maka kita semua harus memuliakan diri, karena memuliakan diri berarti memuliakan Sang pencipta, memuliakan orang tua, dan seterusnya. Dengan memuliakan diri, kita semua akan berperan mulia dalam segala hal, pekerja akan bekerja dengan baik, memberikan yang jauh lebih baik dari yang diharapkan, seorang pedagang akan berjual beli dengan ramah, jujur dan mengambil untung yang saling menguntungkan, peran apapun yang diembannya maka orang yang memuliakan diri akan selalu berbuat yang terbaik, selalu berfikir positif dan berperasaan positif. Dengan memuliakan diri, orang seorang akan berbuat positif, pro-aktif akan perbuatan baik, baik terhadap diri, menyayangi diri, mengisi semua waktunya hanya dengan kebaikan, bersinergi dan menjadi bijak atau dapat memahami dan memaklumi orang lain. Dengan demikian maka hal baiklah yang akan terjadi dan terasa oleh orang sekelilingnya dan oleh lingkungan sekitarnya, baik terhadap diri dan menyayangi diri akan menghilangkan iri, dengki, sombong dan dendam. Dengan memuliakan diri terhidarlah dari laku tercela dan tidak akan ada markus, koruptor dan pelaku jahat lainnya yang memperoleh kekayaan dengan cara berbuat sebaliknya dari memuliakan diri yaitu merendahkan diri dengan memberikan jasa yang melawan hukum dan keadilan, berbudi buruk karena mengambil yang bukan haknya, berbuat aniaya dan keji. Semua hal buruk akan sirna seperti perbuatan korupsi, maling, madat, mabuk, berbuat zina, boros, keji dan aniaya. Dengan memuliakan diri orang seorang akan menolak semua perbuatan yang rendah, yang tidak baik, yang tidak bermutu dan yang tidak berharga. Menolak semua yang buruk, tidak akan mengambil yang bukan haknya, tidak akan memanfaatkan rezeki ke jalan yang batil, tidak akan menipu diri sendiri dan menolak semua perbuatan negatif. Akhirnya bahagia yang datang, senang yang datang, sehat yang datang, aman yang datang, enak yang datang. Inilah harapan kita semua. Akankah kita semua memilih untuk memuliakan diri?, marilah kita semua berusaha untuk dapat memuliakan diri dengan segala upaya, dengan membulatkan tekad dan dengan berdoa agar dikuatkan, dicenderungkan, dituntun dan dibimbing oleh Sang pencipta agar kita semua dapat memuliakan diri, amin.

MEMPERLUAS JENDELA CAKRAWALA DUNIA, MELALUI DIGITALISASI PERPUSTAKAAN

endela cakrawala dunia, begitulah orang menyebut kata buku. Tak berlebihan, melalui buku kita memang bisa berkelana hingga ke ujung dunia. Membaca buku layaknya menjelajahi sisisisi dunia, mencari tahu apapun yang ada didalamnya, untuk segala bidang, politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Bacalah, maka kau akan tahu. Bicara soal buku, tentunya tak lepas dari urusan pendidikan. Sejak kecil, bahkan sejak masa pra-sekolah, anak-anak sudah diperkenalkan pada buku. Buku memang merupakan sarana yang umum dipakai untuk proses pengajaran. Pendidikan di Indonesia, mulai dari TK hingga perguruan tinggi menggunakan buku sebagai sumber utama proses belajar mengajarnya. Pentingnya keberadaan buku dalam dunia pendidikan menjadikan perpustakaan sebagai pusat penghimpun koleksi bahan bacaan menjadi unsur penting dalam sebuah institusi pendidikan. Keberadaan ruang perpustakaan di setiap institusi pendidikan hampir sudah dapat dipastikan, namun sejauh mana perpustakaan itu berjalan tergantung bagaimana institusi tersebut memanfaatkan setiap fungsi dari perpustakaan itu sendiri.

fungsi dari perpustakaan itu sendiri. Institusi pendidikan yang concern terhadap pentingnya peran perpustakaan, akan melakukan berbagai cara untuk membuat citra perpustakaannya semakin baik. Salah satu cara yang mereka tempuh yaitu membuat perpustakaan digital serta membuatnya dalam versi online dalam bentuk e-library. Berkembangannya teknologi informasi dan komunikasi menjadi pendukung utama maraknya kemunculan e-library di berbagai institusi pendidikan, tak terkecuali institusi pemerintah.

e-library BPPK
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan sebagai institusi pendidikan yang berada di lingkungan Kementerian Keuangan tentunya tak mau ketinggalan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung tugas dan fungsinya, tak terkecuali dengan urusan perpustakaan. Saat ini BPPK memang sedang membangun perpustakaan digital dalam bentuk e-library BPPK. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi latar belakang pentingnya menerapkan sistem e-library di BPPK, antara lain : 1. Perkembangan information and communication technology (ICT) semakin membuka peluang-peluang baru bagi

pengembangan teknologi informasi yang mudah dan murah untuk diimplementasikan di perpustakaan; 2. Untuk mendukung dan mengefektifkan fungsi-fungsi perpustakaan agar informasi/koleksi yang ada dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan baik dari instansi maupun dari seluruh penjuru dunia; 3. Volume pekerjaan yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah koleksi perpustakaan sehingga perlu didukung oleh sistem otomasi agar dapat mempertahankan pelayanan prima khususnya di BPPK; 4. Saat ini sudah banyak perpustakaan khususnya di perguruan tinggi dengan kemampuan dan inisiatifnya sendiri telah merintis pengembangan teknologi informasi dengan mendigitalisasi koleksi perpustakaan. Dan otomasi perpustakaan yang ada saat ini sudah mampu membuat jaringan perpustakaan digital nasional (Indonesia digital library network). Oleh karena itu, BPPK juga dirasa perlu untuk mengembangkan sistem perpustakaannya. Sistem perpustakaan digital e-library BPPK saat ini memang masih dalam tahap membangun. Menerapkan sistem tersebut secara utuh dengan menggabungkan database perpustakaan konvensional sebanyak 8 unit eselon II yang ada di BPPK tentunya bukan pekerjaan mudah. Sangat disadari bahwa perpustakaan digital tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dari sistem otomasi perpustakaan konvensionalnya. Otomasi perpustakaan merupakan proses pengelolaan perpustakaan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mewujudkannya, hal yang terpenting dalam membangun e-library BPPK adalah dengan menerapkan sistem otomasi perpustakaan konvensional yang ada di lingkungan BPPK.

Oleh : Akmal
(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

48

49

Otomasi Perpustakaan Pusdiklat Pajak Pusdiklat Pajak merupakan salah satu perpustakaan yang cukup besar yang ada di lingkungan BPPK. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jumlah koleksi bahan bacaan yang ada di perpustakaan Pusdiklat Pajak yang mencapai lebih dari 7500 buah, dari sekitar 2600 judul bahan bacaan yang ada. Dengan jumlah koleksi sedemikian banyak maka sistem pengelolaan yang mudah dan cepat tentunya menjadi kebutuhan yang mendesak. Otomasi perpustakaan kini menjadi fokus utama pengelolaan perpustakaan di Pusdiklat Pajak. Banyak hal yang harus dipersiapkan dalam rangka mewujudkan otomasi perpustakaan di Pusdiklat Pajak. Diantaranya yaitu : 1. Pencatan/penginventarisasian data buku, mencakup data judul, edisi, abstraksi, nama pengarang, ISSN/ISBN, nomor dan nama klasifikasi buku berdasarkan Decimal Dewey Classification, nama penerbit, kota penerbit, negara penerbit, tahun terbit, collation, bahasa, shelving, serta nomor induk; 2. Penempelan label identitas buku yang mencakup : judul buku, barcode dan nomor induk; 3. Penempelan label call number yang mencakup : nama perpustakaan, nomor klasifikasi, inisial pengarang, huruf depan kata pertama judul. Dengan adanya sistem pencatatan/inventarisasi yang baik, maka proses pengadministrasian akan jauh semakin mudah sehingga akan menunjang penggunaan aplikasi komputer berupa OPAC (online public access catalog) yang sudah dirancang secara khusus oleh tim e-library BPPK. Data aplikasi OPAC dari berbagai Pusdiklat, STAN dan Sekretariat di lingkup BPPK ini nantinya akan dikompilasi dan diintegrasi dalam sistem e-library BPPK. Seluruh dunia dapat mengakses secara online koleksi buku apa saja yang dimiliki perpustakaan di seluruh unit BPPK.

BPPK tentunya juga akan menyediakan konten-konten yang dapat diunduh langsung dari e-library antara lain berupa jurnal keuangan, jurnal umum, karya tulis Ilmiah, abstrak thesis, hasil kajian akademis, buku digital BPPK (annual report, profile BPPK), majalah / buletin, artikel, proceeding dll. Rasanya tak sabar menunggu peluncuran pertama e-library BPPK. Jaya terus BPPK!!.

mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan

SUSUNAN REDAKSI
Disiplin sebagai bagian dari materi-materi diklat yang diilaksanakan di Pusdiiklat Pajak. Belajar dengan media audio visual, beralih dari metode konvensional.
PENANGGUNG JAWAB CHAIZI NASUCHA PEMIMPIN REDAKSI ROY MARTFIANTO WAKIL PEMIMPIN REDAKSI WAWAN ISMAWANDI TIM REDAKSI IDA HAMIDAH KUSMONO AGATHA AIDA PURWANINGSIH E.W NGALIM RUKMIANTA PENYUNTING SUMIYATI FARIZ WAZDI RAHARDI NUGROHO KUSUMAWATI DESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAFER YOGI JAYA KUSUMA

Outbond training, salah satu metode untuk menciptakan pegawai tangguh.

Kegiatan peserta di luar kelas, cocok sebagai penghilang stress.

Hypnoteaching, belajar ilmu hipnotis untuk digunakan dalam proses pembelajaran

Cerita, canda dan tawa di bilik asrama.

Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam majalah ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 10, spasi 1,5. Maksimal 10 halaman yang diulis pada kertas A4 dengan margin atas, bawah 2 cm dan margin kanan, kiri 1,5 cm. Artikel dapat dikirim ke gagaspajak@gmail.com. Alamat Redaksi : Pusdiklat Pajak Jl. Sakti Raya No.1, Kemanggisan Jakarta Barat 11480 http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

Nikmatnya makan bersama seluruh peserta Diklat DTSD II Pajak

Para peserta melakukan kegiatan senam bersama agar selalu fit selama menjalani diklat.

Oleh : Kusumawati Pelaksana Bidang Renbang Pusdiklat Pajak

Tempat favorit peserta berfoto bersama.

Menyanyikan lagu "Bagimu Negeri", sebuah prosesi rutin di setiap acara Pembukaan Diklat.

50

EDISI Agustus 2010

GALERI PUSPA

GAGASPAJAK

PROGRAM DIKLAT PUSDIKLAT PAJAK 2010

NO

NAMA DIKLAT

LAMA DIKLAT TEORI PKL / OUTBOUND

JML J.P

JML M.P.

DIKLAT TEKNIS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 DTS Dasar Pajak I Diklat TNA Komunikator: TOT Perpajakan Diklat Etika Profesi Pegawai DJP DTSS Operator Console Pajak DTSS Juru Sita Pajak Diklat Penyegaran Jurusita DTSS KUP Tingkat Dasar DTSS KUP Tingkat Menengah DTSS KUP Tingkat Tinggi DTSS PPN Tingkat Dasar DTSS PPN Tingkat Menengah DTSS PPN Tingkat Tinggi DTSS PPh Tingkat Dasar DTSS PPh Tingkat Menengah DTSS PPh Tingkat Tinggi Diklat Account Representative Diklat Manajemen Pengawasan dan Konsultasi Diklat Penyegaran Account Representative Diklat Penelaah Keberatan Diklat Manajemen Keberatan DTSS Ekstensifikasi DTS Perpajakan bagi Pegawai Itjen Kemkeu DIKLAT FUNGSIONAL 1 2 3 1 2 3 DF. Menengah Pemeriksa DF. Tinggi Pemeriksa Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB DF. Menengah Pemeriksa DF. Tinggi Pemeriksa Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB 10hr 5hr 5hr 10hr 5hr 5hr 77 44 43 77 44 43 37 hr 3 hr 3 hr 5hr 10hr 10hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 5hr 7 / 3 hr 266 27 27 44 72 68 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44

44

19 20 21 22 23

5hr 5hr 4hr 5hr 10hr

7 / --

44 44

2 / --

33 44 77

Segenap keluarga besar Pusdiklat Pajak mengucapkan

Selamat menunaikan ibadah puasa, Ramadhan 1432 H

Anda mungkin juga menyukai