Anda di halaman 1dari 5

597607157.

docx

Sumber : https://www.teguhhidayat.com/2021/06/kalau-saham-belum-dijual-berarti-belum.html

Indonesia Value Investing


By Teguh Hidayat. Untuk membaca semua postingan sejak tahun 2010, klik 'Arsip' di
sebelah kiri website, lalu klik angka tahunnya (misalnya 2020) untuk membuka semua
postingan di tahun yang bersangkutan.

Kalau Saham Belum Dijual, Berarti Belum Rugi?


Juni 03, 2021

Dalam berinvestasi saham, ada banyak mitos yang diketahui oleh pemula, dimana benar
atau tidaknya mitos tersebut biasanya baru akan diketahui beberapa waktu kemudian
seiring dengan bertambahnya pengalaman. Salah satu mitos tersebut adalah, ketika kita
beli saham lalu saham itu naik, maka selama sahamnya belum dijual kembali, kita belum
benar-benar profit. Sebaliknya ketika kita beli saham lalu saham itu turun, maka selama
sahamnya belum dijual kembali, kita belum benar-benar rugi.

***

Ebook Investment Planning  yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan  edisi  Kuartal
I 2021  sudah terbit! Anda bisa  memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih
dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan
penulis.

***

Karena pemahaman tersebut, maka ketika saham yang kita beli naik barang 2 – 3% saja,
kita sering buru-buru menjualnya agar profitnya terealisasi, selain karena khawatir
besok-besok saham itu akan turun lagi. Sebaliknya ketika saham yang kita beli justru
turun, maka kita akan diam saja. Semakin dalam turunnya, semakin tidak mau kita
menjualnya, karena itu tadi: Selama itu saham belum dijual, berarti kita belum benar-
benar rugi toh??

Pada akhirnya strategi investasi seperti itu, jika itu bisa disebut sebagai strategi, akan
menyebabkan seorang investor tidak pernah profit cukup signifikan karena ia secara

1
597607157.docx

tidak sadar sering melakukan cut profit,  bukan profit taking,  alias memotong potensi
profit maksimal yang seharusnya diperoleh, karena kita menjual saham yang sejatinya
masih bisa lanjut naik. Dan sebaliknya, strategi itu bisa menyebabkan investor menderita
rugi yang sangat besar karena tidak segera melakukan cut loss.  Istilah cut loss mungkin
terdengar menakutkan karena kita seperti dipaksa merealisasikan kerugian. Padahal
sesuai pengertiannya, cut loss artinya memotong kerugian yang terjadi agar kerugian
tersebut tidak menjadi lebih besar lagi. Penjelasan istilah cut loss  dan profit taking  bisa
dibaca lagi disini.

Okay Pak Teguh, tapi meski benar bahwa cut loss disini artinya kita memotong kerugian
agar tidak menjadi lebih besar, tapi tetap saja posisinya kita merealisasikan kerugian
bukan? Sehingga kita jadinya kehilangan sejumlah uang. Nah, itu benar, tapi bagaimana
kalau penulis katakan bahwa ketika anda menjual saham, entah itu dalam posisi profit
maupun loss, maka profit/loss yang dihasilkan tetap bersifat floating  alias belum benar-
benar direalisasikan?

Sebab coba pikir: Ketika kita menjual saham A dalam posisi profit, maka uangnya nanti
akan dibelikan saham lain, sebut saja saham B, dan hasilnya belum tentu profit juga,
melainkan bisa saja rugi. Ini artinya ketika kita merealisasikan profit dari saham A, maka
profit tersebut tetap bisa hilang lagi karena kita merugi di saham B. Sebaliknya ketika
kita menjual saham C dalam posisi rugi, maka uangnya nanti akan dibelikan saham lain,
sebut saja saham D, dan kali ini hasilnya mungkin profit. Ini artinya ketika kita
merealisasikan rugi dari saham C, maka rugi tersebut bisa balik modal, atau bahkan
kembali profit karena keuntungan yang dihasilkan dari saham D.

Dengan kata lain, selama uang hasil penjualan saham belum ditarik dari rekening kita di
sekuritas, maka semua keuntungan dan kerugian yang dihasilkan belum benar-benar
terealisasi, dimana nilai keuntungan/kerugian tersebut masih bisa berubah ketika kita
membeli saham yang berikutnya lagi.

Jadi Kapan Kita Beli dan Jual Saham?

Oke Pak Teguh, jadi maksudnya kita trading saham saja nih? Asal sudah untung jual, dan
kalau rugi juga sama harus langsung jual? Well,  penulis sama sekali tidak bilang begitu,
melainkan begini: Berdasarkan kaidah value investing, kita akan beli saham lalu hold
saja selama saham tersebut masih memenuhi tiga syarat berikut: 1. Kinerja laporan
keuangannya bagus, atau belum bagus tapi itu karena faktor eksternal (seperti

2
597607157.docx

resesi/pandemi) 2. Valuasinya belum terlalu mahal, atau masih sangat murah untuk
saham yang kinerjanya tidak terlalu bagus, dan 3. Prospek kedepannya masih
bagus/tidak ada peristiwa penting tertentu yang mengubah proyeksi masa depan
perusahaan. Jika saham yang kita pegang tidak lagi memenuhi satu saja dari tiga syarat
tersebut, maka kita harus jual, tak peduli posisinya untung ataupun rugi. Ini belum
termasuk kita menjual saham karena faktor eksternal, seperti kalau kita melihat bahwa
IHSG mungkin akan terkoreksi (sehingga saham kita akan ikut turun), atau jika kita butuh
dananya untuk masuk ke saham lain.

Sebagai contoh, pada Juni 2020, penulis membeli saham Indo Tambangraya Megah
(ITMG) pada harga 7,350, setelah melihat valuasinya yang sangat murah dengan PBV-
nya hanya 0.6 kali, sedangkan saya menilai bahwa harga batubara, yang ketika itu hanya
sekitar $50 per ton, itu sudah sangat rendah sehingga kedepannya dia bisa naik lagi
seiring meningkatnya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik dll ketika nanti
ekonomi pulih. Sehingga meski kinerja ITMG, seperti halnya emiten-emiten lainnya di BEI
juga turun signifikan di tahun 2020, tapi harusnya di tahun 2021 nanti bakal naik lagi.
Analisa terkait batubara ketika itu bisa dibaca lagi disini.

Dan memang mendekati akhir tahun 2020, harga batubara naik sampai tembus $80 per
ton (sekarang malah sudah di atas $100 per ton), dan ITMG ikut naik hingga sempat
tembus 15,000 pada bulan November 2020, tapi kita hold saja. Memasuki Januari 2021,
karena penulis menganalisa bahwa pasar/IHSG mungkin akan turun, maka kita jual
ITMG ini di harga sekitar 13,500. Dan IHSG itu sendiri kemudian benar turun. Tapi karena
disisi lain kita melihat harga batubara lanjut naik, dan benar bahwa laba ITMG juga naik
di Kuartal I 2021, maka kita kemudian masuk lagi di ITMG ini di bulan April di 12,150, dan
hingga ketika artikel ini diposting, ITMG masih di-hold.

Nah, jadi dalam hal ini kita bisa melihat bahwa ketika ITMG masih memenuhi tiga syarat
diatas, dan juga tidak terjadi dua kondisi eksternal (IHSG akan turun, atau kita butuh
dana untuk beli saham lain), maka sahamnya akan di-hold saja. Tapi ketika kondisinya
berubah, dalam hal ini karena ada analisa bahwa IHSG mungkin akan turun, maka kita
kemudian keluar dulu, lalu menunggu sampai kondisinya menjadi bagus lagi, barulah
kita masuk lagi. Mungkin perlu dicatat pula bahwa untuk saham-saham lain yang juga
kita pegang, maka ada diantaranya yang sama sekali belum dijual sejak kita membelinya
setahunan lalu, dan ada pula yang kita hanya memegangnya sebentar lalu dijual. Lebih
jelas tentang berapa lama sebaiknya kita hold  sebuah saham bisa dibaca lagi disini.
Sebagai catatan, diluar saham yang saya komitmen untuk hold forever,  maka selama ini

3
597607157.docx

jangka waktu hold kami paling singkat 1 – 2 bulan, dan paling lama bisa hingga 1 – 2
tahun.

Meski sempat berdarah-darah pada awalnya, tapi di tahun 2020 Avere tetap sukses beat the
market,  salah satunya berkat saham ini

Kemudian untuk mencegah kondisi dimana kita terlambat jual, maka jika kita beli saham
tertentu lalu dia turun 10%, sedangkan IHSG juga sedang baik-baik saja, maka coba cek
lagi apakah benar LK-nya bagus? Valuasinya murah? Jika dua syarat itu benar terpenuhi,
maka biasanya terjadi kondisi ketiga: Terjadi peristiwa penting tertentu yang mengubah
fundamental dan prospek masa depan perusahaan. Contoh, pada Semester II 2020,
saham Sritex (SRIL) adalah salah satu yang masuk planning penulis, dan saya sendiri
sempat membelinya di bulan Agustus pada harga average 210, lalu kita jual di 240 – 250
pada Januari 2021 dengan alasan yang sama dengan ketika kita jual ITMG, yakni karena
kita melihat bahwa IHSG mungkin akan turun, jadi bukan karena ada masalah di SRIL-
nya. Ketika itu penulis berencana untuk masuk lagi di harga 190, tapi rencana itu batal
karena di kemudian hari muncul kasus perusahaan gagal bayar.

Tapi let say penulis ketika itu benar-benar beli lagi SRIL ini di 190, maka apa yang akan
saya lakukan? Here we go: Jika SRIL turun sampai 180 (turun 5%), maka saya akan diam
saja, karena biasanya itu cuma fluktuasi pasar yang normal. Tapi ketika SRIL turun lebih
lanjut sampai 170 (turun 10%), maka saya akan analisa ulang, termasuk mencari tahu
tentang peristiwa apa yang mungkin terjadi, yang bisa jadi mengubah prospek SRIL ini
kedepannya. Dan jika ternyata tidak ada peristiwa apa-apa, maka saya akan tetap hold
saja. However,  karena dalam kasus SRIL ini terjadi peristiwa gagal bayar itu tadi, dan
setelah dipelajari kasusnya memang cukup serius, maka saya akan cut loss SRIL ini di
harga 170 tersebut, atau bahkan lebih rendah lagi pun gak apa-apa. Saya tidak akan

4
597607157.docx

menunggu sahamnya untuk balik naik dulu ke 190 (jadi biar posisinya balik modal), lalu
baru jual, melainkan kalau kita sudah tahu bahwa fundamental SRIL ini berubah, maka
saat itu juga kita akan menjualnya. Faktanya meski untuk SRIL ini penulis tidak benar-
benar cut loss, karena kita waktu itu batal membelinya di harga 190, tapi penulis tidak
jarang menderita cut loss di saham-saham lain, dan terkadang dengan kerugian yang
lebih besar dari 10%.

Nah, tapi balik lagi ke tema artikel kali ini: Meskipun kita terpaksa harus merealisasikan
kerugian di SRIL atau saham lainnya, tapi ingat bahwa setelah itu kita masih bisa
membeli lagi saham yang lain, dimana kita kemudian profit dari situ. Sehingga dalam hal
ini kita tidak benar-benar ‘merealisasikan kerugian’, karena nyatanya kerugian tersebut
masih bisa balik modal di saham lain. Ceritanya justru berbeda jika kita terus hold
saham yang turun tersebut hanya karena gak mau merealisasikan kerugian, karena
secara keliru menganggap bahwa ‘kalau sahamnya belum dijual, berarti belum rugi’.
Maka, jika saham yang bersangkutan sejak awal memang sudah tidak layak invest lagi,
entah itu karena perubahan fundamental atau faktor lainnya, maka tindakan tersebut
justru akan menyebabkan ruginya menjadi lebih besar lagi! Dan kita kemudian
kehilangan kesempatan untuk bisa balik modal di saham-saham lain yang lebih baik.

Okay, saya kira cukup. Ada yang mau menambahkan?

Anda mungkin juga menyukai