Anda di halaman 1dari 133

Kenotariatan Dari Sudut Pandang

Syariah

Mieke Aprilia Utami, SH., M.Kn

LPPM STIKES Cahaya Bangsa


Tata Cara Penulisan Skripsi Hukum
STIH Kuala Kapuas

Penulis : Mieke Aprilia Utami , SH., M.Kn

ISBN : 978-623-93974-7-0

Editor : Erika Lismayani SH., M.Kn

Penyunting : Amelia Rachman, SH., MH, Candra Kusuma Negara., Abd.Basid

Desain Sampul dan Tata Letak : Yahya Julianto Eko Prasetyo


Penerbit :
LPPM STIKES Cahaya Bangsa

Redaksi :

Jl. Pemuda no.09 RT.11 km.1,5, Kel.Selat Dalam


Kuala Kapuas Kalimantan Tengah 73516

Distributor Tunggal

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memerbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis
dari penerbit
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya
penulisan buku ini. Shalawat serta salam bagi nabi Muhammad SAW dengan rahmatnya
dan ijinNya buku ini dapat terbit. Buku ini juga penulis persembahkan untuk Dr. Hj Yulia
Qamariyanti. Ketua Prodi Magister Kenotariatan Universitas Lambung Mangkurat yang
memberikan arahan-arahannya tanpa mengenal waktu. Suamiku tercinta Kapten Chk Riyo
Iskandar yang dalam tugasnya bersedia memberikan pencerahan serta anak-anakku Aura
Nashari, Alina Nuraini, Akifa Malaika dan Muhamad Alfatih Rizky yang selalu menghibur
dikala kebuntuan.
Dengan disusunnya buku ini merupakan bagian dari rasa ingin tahu dari penulis
terkait dengan Kenotariatan Dari Sudut Syariah, dengan demikian buku ini diharapkan
dapat membuka pemikiran baru mengenai Kenotariatan Syariah. Sehingga rekan Notaris,
praktisi,dan pembaca dapat memahami dengan baik.

Semoga buku ini dapat bermanfaat dan menjadi barokah dari Allah SWT. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dari penulisan buku ini. Namun tak ada gading yang
tak retak. Kami ucapkan terima kasih.

Kuala Kapuas, 18 Desember 2019

Mieke Aprilia Utami, S.H., M.Kn


DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Kenotariatan...............................................................................................2

B. Syariah........................................................................................................6

BAB II NOTARIS DAN DASAR HUKUM.......................................................7

BAB III DASAR HUKUM SYARIAH.............................................................35

BAB IV KENOTARIATAN DARI SUDUT PANDANG SYARIAH............36

BAB V PENUTUP..............................................................................................42

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................45

1. Contoh Akta Pembiayaan Al-Murabahah.................................46

2. Contoh Akta Pembiayaan Al Musyarakah................................48

3. Contoh Akad pembiayaan As Salam..........................................51

4. Contoh Akad pembiayaan As Salam(UntukProdusen)…........54

5. Contoh Akad Pembiayaan Mudharabah...................................57

6. Contoh Legalisasi.........................................................................61

7. Contoh Waarmerking Syariah....................................................64


BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi syari’ah1 di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini


mengalami kemajuan yang pesat, lebih-lebih setelah berdirinya beberapa lembaga
keuangan yang berbasis syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah,
pasar modal syari’ah, obligasi syari’ah, gadai syari’ah, hingga hotel syari’ah. Kini
eksistensi perbankan syari’ah tampak semakin mantap dan menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan.
Kehadiran sistem perekonomian syari’ah Indonesia dalam kurun waktu dua
dasawarsa terakhir berkembang2 sangat pesat. Hal tersebut terlihat bukan hanya
dalam lingkungan perbankan, melainkan juga tumbuh dalam berbagai bidang
bisnis yang lain, seperti asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, pasar modal
syari’ah, dan lain-lain. Kondisi ini selain disebabkan sistem ekonomi
konvensional ternyata tidak dapat memenuhi harapan kesadaran umat Islam untuk
bersyari’ah secara kaffah dalam pelbagai aspek kehidupan ternyata juga terus
meningkat.3
Dengan penunjukkan data dari banyak sumber tentang perkembangan ekonomi
syari’ah sehingga mengukuhkan pendapat banyak kalangan, terutama akademisi

1
Wacana sistem ekonomi syari’ah itu diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis non-ribawi.
Sebenarnya sistem ekonomi syari’ah mencakup semua aspek ekonomi. Namun, dewasa ini
terkesan ekonomi syari’ah identik dengan konsep tentang keuangan dan perbankan.
Kencenderungan ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, Tuhan dalam Al-Quran dan Sunnah
yang paling menonjol adalah doktrin transaksi non-ribawi (larangan praktik riba). Kedua,
peristiwa krisis minyak tahun 1974 dan 1979 yang menimbulkan kekuatan finansial berupa
petrodollar pada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk
Indonesia, Malaysia, dan Brunei di Asia Tenggara. Lihat M. Dawam Rahardjo, dalam
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003),
halaman Pengantar, Bandingkan dengan M. Kabir Hasan dan Mervyn K. Lewis, Handbook of
Islamic Banking, (Great Britain: Edward Elgar Publishing Limited, 2007) hh. 21-37.
2
Mengenai perkembangan ekonomi syari’ah, baca dalam Nur Kholis, “Penegakan Syari’ah
Islam d Indonesia (Perspektif Ekonomi)”, dalam Jurnal Hukum Islam Yogyakarta, (2006), hh.
169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syari’ah dalam angka, lihat
Dadang Muljawan, Islamic Financial Engineering; A Regulatory Perspective, (2007), Slide
yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10
Januari, Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id, atau bisa dilihat pada
M. Lutfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Senayan Abadi, 2003), h. 185.
3
Tim Penyusun Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006,
(Jakarta, DNS MUI-BI, 2006), h. Kata Pengantar.
dan ekonom Muslim bahwa saat ini tidak ada alasan untuk menolak penerapan
sistem ekonomi syari’ah, khususnya di Indonesia.
Menurut Tim Penyusun Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI dapat
disimpulkan bahwa pengembangan ekonomi berbasis manusia sebagai konsep
ekonomi Islam dan diikuti dengan aplikasinya merupakan kebutuhan apabila ingin
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan abadi karena pada dasarnya tujuan
pembangunan ekonomi adalah mengoptimalkan harga hidup manusia Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita pembangunan di segala bidang. Persaingan yang
tidak sehat antarpelaku ekonomi karena mengejar keuntungan dengan
mengabaikan etika dan akidah bisnis yang sehat. Untuk mencapai kehidupan
bisnis yang sehat dan beretika, hanya satu solusinya, yaitu menerapkan sistem
ekonomi Islam secara kaffah, dimulai dengan melahirkan human capital yang
Islami. Keampuhan sistem ekonomi Islam telah terbukti ketika krisis ekonomi
tahun 1997, yakni hanya bisnis dan bank tanpa bunga yang dapat bertahan dan
bahkan membukukan laba yang berlipat sementara bisnis dan bank konvensional
terpuruk.4
Salah satu wacana yang saat ini kerap didengungkan bahwa perkembangan
ekonomi syari’ah5 sebagai solusi berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan
dan pengangguran. Pengembangan perbankan syari’ah juga dimaksudkan sebagai
perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsur
moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak
pembiayaan yang lebih menekankan sistem bagi hasil mendorong terciptanya pola
hubungan kemitraan (mutual investor relationship), memerhatikan prinsip kehati-
hatian, dan berupaya memperkecil risiko kegagalan usaha.6
Eksistensi perbankan syari’ah dapat kita bagi dalam dua kurun waktu, yaitu:

4
Veithzal, Islamic Financial Management, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. Pengantar.
5
Mengenai perkembangan ekonomi syari’ah, baca dalam Nur Kholis (2006), “Penegakan
Syari’ah Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi)”, dalam Jurnal Hukum Islam Yogyakarta.
Hh. 169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syari’ah dalam angka, lihat
Dadang Muljawan (2007), Islamic Financial Engineering; A Regulatory Perspective, Slide
yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 January,
Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id, atau bisa dilihat pada M. Lutfi
Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Senayan Abadi, 2003), h. 185.
6
Rachmat Syafe’i, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syari’ah, http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm.
o Kurun Waktu Pertama antara 1992-1998

Di mana perbankan syari’ah beroperasi di bawah Undang-Undang Nomor


7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

o Kurun Waktu Kedua antara 1998-Sekarang

Yaitu setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.7
Reksadana syari’ah pertama kali diluncurkan oleh PT Danareksa Investment
Management (DIM) pada 3 Juli 1997 dengan nama Danareksa Syari’ah dan pada
1 Desember 2000 dengan nama Danareksa Syari’ah Berimbang. Reksadana kedua
dikeluarkan oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) pada 5 Mei 2000
dengan nama Reksadana PNM Syari’ah, dan ketiga Rifan Asset Managemetn
(RAM) pada tanggal 1 Oktober 2002 dengan nama Rifan Syari’ah (Rifan
sekarang tutup), setelah itu berkembang berbagai reksadana syari’ah lainnya.
Sedangkan instrumen obligasi syari’ah diluncurkan pada awal September 2002
oleh PT Indonesia Satellite Corporation Tbk. (Indosat) sebagai perusahaan
pertama yang mengeluarkan obligasi syari’ah di Indonesia. Hingga akhir
Desember 2005, obligasi syari’ah yang diterbitkan sudah sebanyak 16 obligasi
syari’ah dan ditambah dengan 2 buah medium term notes (MTN) syari’ah.
Pertumbuhan nilai emisinya mencapai Rp.2.009 miliar. Hingga Juni 2008 sudah
terdapat 39 emiten penerbit obligasi syari’ah.8
Perkembangan lembaga keuangan syari’ah9 di atas pada satu sisi memang
membanggakan, tetapi di sisi lain masih sangat memprihatinkan karena belum

7
Zainulbahar Noor, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan, Fenomena
Kebangkitan Ekonomi Islam, (Jakarta: Bening Publishing, 2006), h. 442)/
8
Ibid.
9
Terciptanya perekonomian yang stabil ini disebabkan sistem syari’ah dapat mengeliminasi dan
melarang kegiatan-kegiatan yang nonproduktif, haram, berbahaya, tidak baik, dan spekulatif.
Kondisi ini akan mendorong pada peningkatan pemanfaatan sumber daya, mengurangi tekanan
inflasi, serta menanggulangi krisis ekonomi sehingga memudahkan pencapaian tujuan-tujuan
ekonomi yang telah direncanakan. Lihat Nurul Huda, dkk., Ekonomi Makro Islam, Pendekatan
Teoritis, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 234.
didukung oleh instrumen hukum10 yang memadai sebagaimana lembaga keuangan
konvensional. Di antara instrumen hukum yang pada saat ini masih dirasa kurang
memadai karena masih berbasis paradigma kontrak bisnis konvensional adalah
bidang notaris.
Keberadaan notaris dalam kontrak bisnis termasuk bisnis syari’ah adalah sangat
penting mengingat tugas pokoknya membuat akta otentik yang diperlukan sebagai
alat bukti telah terjadinya peristiwa hukum. Sebagai pejabat umum pembuat akta
otentik, notaris dituntut memiliki kepribadian yang baik, bekerja mandiri, jujur,
tidak memihak (adil), dan penuh rasa tanggung jawab. 11 Di samping itu, ia juga
dituntut untuk memiliki kecakapan atau penguasaan dalam bidang hukum yang
menjadi kompetensinya. Ini terutama selain karena ia harus cakap dalam
memberikan jasa konsultasi hukum, ia juga dituntut untuk memberikan
penyuluhan hukum kepada kliennya agar mencapai kesadaran hukum yang tinggi,
yaitu menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya.
Mengingat keberadaan dan tugas notaris yang strategis dan penuh tantangan
tersebut maka sudah semestinya seiring dengan perkembangan bisnis syari’ah
yang semakin pesat, perlu segera digagas lahirnya notaris syari’ah, yaitu notaris
yang memiliki kompetensi di bidang hukum perdata Islam dan bisnis syari’ah.
Urgensi keberadaan notaris syari’ah setidaknya didasarkan pada beberapa alasan
berikut:

o Pertama, hampir sebagian besar notaris yang ada saat ini tidak (atau belum)

mengerti aspek teoretis dan praktik hukum bisnis syari’ah apalagi sebagian
besar mereka berlatar belakang pendidikan sarjana hukum (S.H.).
10
Tentang hukum terapan dalam hal sengketa ekonomi syari’ah belum secara gamblang, tegas,
dan jelas tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dalam kaitan hukum
formil maupun materiil yang seharusnya dijadikan rujukan oleh para penegak hukum.
Penegakan hukum harus dilandaskan pada ketentuan yang berlaku meskipun pada kondisi
tertentu hakim memiliki hak prerogatif untuk melakukan penerobosan dan penemuan hukum
(recht vinding) ketika suatu permasalahan dihadapkan kepadanya tidak secara konkret
dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan sebab lembaga peradilan tidak dibenarkan
menolak perkara yang diajukan kepadanya hanya dengan alasan karena ketentuan belum
mengatur. Lihat A. Mukri Agafi, Perspektif Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah pada
Peradilan Agama; Studi Pustaka, (Tesis Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta, 2003), h. 4.
11
Di dunia Islam seni notaris pada awalnya berkembang di Baghdad, Irak, pada abad ke-8. Lihat
Duyah Ratna Meta Novi, “Notaris di Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h. Khazanah.
o Kedua, aspek hukum bisnis syari’ah banyak memiliki perbedaan dengan bisnis

konvensional, baik dari aspek filosofis maupun aspek teknis akad /


kontraknya.

o Ketiga, dalam praktik di lembaga keuangan syari’ah, khususnya perbankan

masih banyak ditemukan adanya pembuatan kontrak bisnis syari’ah yang


melanggar ketentuan aturan-aturan syari’ah, di antaranya, karena notaris yang
menanganinya hanya berfungsi melegalisasi kontrak, tidak mengarahkan isi
kontrak karena keterbatasannya.

o Keempat, seiring dengan perluasan kompetensi peradilan agama untuk

menyelesaikan dispute yang terjadi di lembaga keuangan syari’ah maka


diperlukan notaris-notaris yang cakap dalam merumuskan akad-akad /
kontrak-kontrak bisnis syari’ah sehingga akan terwujud keseimbangan
kemampuan (kompetensi) antara berbagai profesi hukum yang pada gilirannya
akan memenuhi terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia.
Istilah notaris syari’ah masih asing di telinga masyarakat, tetapi karena tuntutan
zaman memerlukan akan notaris syari’ah sebagai back up dari notaris yang ada
yang belum mengerti mengenai akad-akad syar’i yang sering digunakan dalam
perbankan syari’ah sementara mereka sering menjadi saksi dalam transaksi
perbankan syari’ah. Karena itu, di dalam diskursus fikih dikenal satu kaidah yang
sangat populer, yaitu “taghayyur al-ahkam bi al-taghayyuri al-amkan wa al-
azman”12 (perubahan hukum selaras dengan perubahan tempat dan zaman (masa)).
Dulu memang notaris syari’ah kurang begitu penting, tetapi karena perkembangan
zaman dengan semakin maraknya perbankan syari’ah di Indonesia, maka
kehadiran notaris syari’ah sangat dinantikan.
Pada saat ini perkembangan dan pertumbuhan bisnis syari’ah di Indonesia sangat
pesat. Kondisi ini meniscayakan adanya dukungan dari para profesional hukum
untuk mengawal dan mendukung keberlanjutan perkembangan bisnis tersebut.
Bidang hukum yang sangat mendukung dalam proses akad atau transaksi bisnis

12
Lihat Ustad Adil, Pandangan Hugo de Groot, Thomas Hobbes, dan Immanuel Kant terhadap
Pernikahan di Bawah Umur, (Jakarta: Pascasarjana UMJ Jakarta, 2008), Makalah UMJ, h. 13.
adalah notaris. Akan tetapi, “keberadaan notaris yang memahami secara
mendalam aspek bisnis syari’ah pada saat ini masih langka, kalaupun ada, masih
terkesan amatiran”.13 Oleh karena itu, gagasan untuk menggagas notaris syari’ah
dalam hal ini adalah cukup menarik dan urgen. Bahkan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang saat ini ada dan mengatur tentang notaris bisa
memungkinkan berkembangnya notaris syari’ah. Namun demikian, notaris
syari’ah yang nilai-nilai dasar filosofis dan yuridisnya digali dari Al-Quran dan
As-Sunnah sangat memungkinkan untuk dijadikan sumber hukum dalam
pembentukan hukum formil di Indonesia karena hasil pemahaman dari keduanya
dapat dikategorikan sebagai doktrin dalam istilah ilmu hukum. Akan tetapi,
sebuah doktrin baru akan menjadi undang-undang atau hukum yang mengingat
jika dalam pembentukannya memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis
yang jelas dan sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Indonesia, yaitu yang
berdasarkan landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, gagasan tentang
notaris syari’ah dalam konteks Indonesia harus memiliki landasan filosofis,
yuridis, dan sosiologis yang jelas. Dengan demikian, seberapa besar peluang
terwujudnya gagasan tersebut dan apa saja tantangan yang mungkin muncul akan
menjadi fokus penelitian ini.
Guna mendapatkan kesesuaian pemahaman terhadap beberapa pengertian yang
digunakan dalam penulisan ini, maka perlu kiranya diberikan kerangka konseptual
yang dapat menggambarkan suatu hubungan antara konsep-konsep khususnya
yang ingin ditulis.

A. NOTARIS
Nama notaris adalah nama lembaga notaris, dikenal di mana-mana, berasal
dari nama pengabdinya, yakni nama “Notarius”14. Dalam buku-buku hukum
dan tulisan-tulisan Romawi Klasik telah berkali-kali ditemukan nama atau titel
“notarius” untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan
13
Sumber diperoleh dari lapangan hasil wawancara dengan para notaris di wilayah Jakarta dan
juga dengan praktisi Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) di Jakarta, Juni 2010.
14
http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diakses pada 29 Mei 2009.
suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu. Akan tetapi, yang dinamakan
“notarius” dahulu tidaklah sama dengan “notarius” yang dikenal sekarang,
hanya namanya yang sama.15
Menurut Lumban Tobing, dapat disimpulkan bahwa ari dari nama “notarius”
secara lambat laun berubah dari artinya semula. Pada abad ke-2 dan ke-3
Masehi dan bahkan jauh sebelumnya, sewaktu nama itu telah dikenal secara
umum, yang dinamakan para “notarii” tidak lain adalah orang-orang yang
memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat di dalam
menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakikatnya mereka itu dapat
disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagai “stenografer”. Sepanjang
pengetahuan, para “nota literaria”, yaitu “tanda tulisan” atau “character”,
yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-
perkataan.16
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan, melainkan juga karena dikehendaki oleh
pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak
demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang
berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan (Penjelasan
Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris).
15
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta, Erlangga: 1980), h. 5.
16
Menurut Lumban Tobing bahwa untuk pertama kalinya nama “notarii” diberikan kepada
orang-orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam
senat Romawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan (abbreviations atau
characters). Kemudian, dalam bagian kedua dari abad ke-5 dan dalam abad ke-6 nama
“notarii” diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi dari para kaisar sehingga nama
“notarii” kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang diartikan dengan perkataan
“notarii” tidak lain adalah “pejabat-pejabat istana”, yang melakukan berbagai ragam pekerjaan
kanselarij kaisar dan semata-mata merupakan pekerjaan administratif, ibid.
B. SYARI’AH
Istilah syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan
kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri.17
Dilihat dari sudut kebahasaan, kata syari’ah berarti jalan tempat keluarnya air
minum.18 Kemudian, bangsa Arab menggunakan kata ini untuk konotasi jalan
lurus. Dan saat dipakai dalam pembahasan hukum menjadi bermakna “segala
sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya,19 sebagai jalan
lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengingat luasnya persoalan yang mungkin dapat dibahas dalam buku ini,
maka persoalan yang dibahas, antara lain :

1. Bagaimana urgensi berdirinya notaris syari’ah di Indonesia ditinjau dari


aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis?

2. Bagaimana tingkat kebutuhan stake holders (lembaga keuangan syari’ah)


di Indonesia terhadap notaris syari’ah?

17
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h.2.
18
Manna’ al-Qattan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, (Muassasah al-Risalah, t.t.), h. 14.
19
Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981),
h. 10.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP NOTARIS


Notaris berasal dari kata notarisu, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan
menulis pada zaman Romawi. Pada abad ke-5 dan ke-6 sebutan notarius,
majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi saja. 20
Fungsi notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi notaris pada saat
ini.21
Sementara menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, notaris 22 adalah pejabat umum yang satu-
satunya berwenang untuk membuat akta otentik23 mengenal semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
otentik; menjamin kepastian tanggalnya; menyimpan akta-aktanya; dan
memberikan groose, salinan, dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan

20
Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for Documentation
and Studies of Business Law (CDSBL), 2003), h. 31.
21
Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta,
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian Hukum Tahun 2009, (Jakarta: Kanwil Kumham
DKI Jakarta, 2009), h. 10.
22
“A notary public (or notary or public notary) is a public officer constituted by law to serve
public in non-contentious matters usually concerned with estates, deeds, powers-of-attorney,
and foreign and international business.”
Lihat www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009. Sementara dalam Kode Etik Notaris
Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kode Etik Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bahwa :
“Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat
umum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 langka 1 juncto Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.”
23
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis ataupun
kegiatan di bidang perbankan, pertahanan, sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian
tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan
kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,
regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban
para pihak, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari
terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses
penyelesaiannya akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi
sumbangan nyata bagi penyelesaian sengketa. Lihat Tugas dan Wewenang Notaris, Majelis
Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Pusat, (Jakarta: MPD Jakpus, 2006), h. 2.
kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan dan undang-undang.24 Istilah
pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbaare Ambtenaren
yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris 25 dan Pasal 1868
KUHPerdata.26
Pada perkembangan berikutnya, dikenal dua jenis istilah notaris, yaitu notaris
civil law dan notaris common law. Notaris civil law adalah lembaga notariat
yang berasal dari Italia Utara dan ini dianut pula oleh Indonesia. Ciri-cirinya
adalah :

o Notaris diangkat oleh pejabat yang berwenang;

o Bertujuan melayani masyarakat umum; dan

o Mendapat honorarium dari masyarakat umum.

Sementara notaris common law adalah notaris yang ada di negara Inggris dan
Skandinavia. Ciri-cirinya adalah:

o Ia tidak diangkat oleh penguasa.

o Akta yang dibuatnya tidak berbentuk akta otentik tertentu.

Pada abad V, notaris common law ini dianggap sebagai pejabat istana. Akan
tetapi, pada abac IX-XII muncul istilah latijnse notariat, yaitu orang yang
diangkat oleh penguasa umum untuk melayani masyarakat umum dan ia
berhak mendapatkan honorarium atas jasanya dari masyarakat umum.27

24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, Tentang Menjalankan Jabatan dan Daerah Notaris,
Bab I, Pasal 1. Definisi lain bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan
profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan
jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Lihat www.skripsi-tesis.com, diakses pada tanggal
27 Mei 2009.
25
Istilah Openbaare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in
Nederlands Indie (Stbl., 1860: 3) diterjemahkan menjadi pejabat umum oleh G.H.S Lumban
Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta, Erlangga: 1980),
h. 31.
26
Istilah Openbaare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan
menjadi pejabat umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983)
27
www.wikipedia.com, diakses pada 20 Mei 2020.
Sejalan dengan penegasan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik maka ditentukan bahwa
pengangkatan, pemberhentian, dan pengawasan notaris dilakukan oleh menteri
yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan.
Namun, khusus dalam melaksanakan pengawasan notaris, ditentukan untuk
dilakukan majelis pengawas yang dibentuk oleh menteri.28
Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan istilah Openbaare
Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai
pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentingan publik dan kualifikasi itu diberikan kepada notaris.29
Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai
pejabat umum. Sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai pejabat umum
bukan hanya notaris, melainkan ada juga pejabat lain, misalnya, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lelang. Pemberian kualifikasi
sebagai pejabat umum kepada pejabat lain selain pejabat umum bertolak
belakang dengan makna dari pejabat umum itu sendiri karena seperti PPAT
hanya membuat akta-akta tertentu yang berkaitan dengan pertanahan dengan
jenis akta yang sudah ditentukan dan pejabat lelang hanya untuk lelang saja.30
Adalah wajar jika notaris sebagai pejabat umum yang profesional dituntut
untuk selalu meningkatkan kualitas, baik kualitas ilmu, amal, maupun
moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran martabat notaris.
Dengan demikian, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, notaris
senantiasa berpedoman pada kode etik profesi dan berdasarkan Undang-
Undang Jabatan Notaris.31
Peningkatan profesionalisme kerja dapat dimulai dari pribadi masing-masing
notaris sebagai cerminan dari profesionalisme menjalankan jabatan notaris itu

28
Sambutan pemerintah atas persetujuan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Jabatan Notaris dalam Rapat Paripurna Terbuka Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Tanggal 14 September 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya disebut UUJN.
29
Lihat Tim Pengkajian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Ibid., h.
15.
30
Op.cit.
31
Tugas dan Wewenang Notaris, Majelis Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Pusat,
(Jakarta: MPD Jakpus, 2006), h. 1.
sendiri. Karena itu, dengan kesadaran individu para notaris diharapkan pula
akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan notaris sebagai
masyarakat yang memerlukannya guna menjamin kepastian hukum di negara
kita.32
Notaris adalah sebuah profesi di mana pada masa Romawi Kuno mereka
dikenal sebagai scribae, tabellius, atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah
golongan orang yang mencatat pidato.33 Sekitar abad ke-5, notaris dianggap
sebagai pejabat Istana. Di Italia Utara sebagai daerah perdagangan utama pada
abad ke-11 sampai dengan 12, dikenal latijnse notariat, yaitu orang yang
diangkat oleh penguasa umum dengan tujuan melayani kepentingan
masyarakat umum dan boleh mendapatkan honorarium atas jasanya oleh
masyarakat umum.34
Sebagai perbandingan, notaris di negara lain adalah sebagai berikut :
“A notary public in the rest of the United States and most of Canada has
power that are far more limited than those of civil-law or other common-
law notaris, both of whom are qualified lawyers admitted to the bar: such
notaris may e referred to as notaris-at-law or notary lawyers. Therefore,
at common law, notaris sebagai is distinct from the practice of law, and
giving legal advice and preparing legal instruments is forbidden to lay
notaris.”35
(Notaris di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan juga Kanada
mempunyai wewenang yang jauh lebih dibatasi daripada di negara
penganut civil law atau common law, keduanya memiliki pengacara yang
memenuhi syarat diakui di kalangan pengacara, di antara notaris boleh
ditunjuk sebagai pengacara notaris. Di samping itu, pada sistem common
law, pelayanan notaris berbeda dengan praktik hukum sementara
pemberian nasihat hukum dan persiapan instrumen hukum tidak
diperkenankan bagi notaris).

32
Ibid., h. 2.
33
http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diakses pada 29 Mei 2009.
34
Ibid.
35
www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009
Jadi, notaris di beberapa negara bagian Amerika Serikat dan juga Kanada,
mereka merangkap sebagai pengacara. Berbeda dengan di Indonesia, di mana
notaris adalah independen yang diangkat oleh pemerintah dalam hal ini
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia sesuai dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Jadi, tidak ada rangkap jabatan antara notaris dan pengacara.
Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian
menjadi istilah bagi golongan orang penulis cepat atau stenographer. Notaris
adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.36
Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsi notaris dalam masyarakat
hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap
sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang
boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir)
adalah benar. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses
hukum.37
Berbeda dengan Belanda, notaris di Indonesia tidak untuk seumur hidup.
Menurut Pasal 2 “wet op het notarisambt”, notaris di negeri Belanda diangkat
untuk seumur hidup. Apabila ia telah mencapai umur 70 tahun, ia
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, terhitung mulai bulan pertama
berikutnya. Peraturan yang berlaku di negeri Belanda diambil dari
perundangan-undangan yang berlaku di negeri Prancis. Pengangkatan seumur
hidup tidak berarti bahwa notaris itu dapat memangku jabatannya selama
hidupnya. Akan tetapi, ketentuan ini diadakan berdasarkan keinsyafan bahwa
seorang notaris harus dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa
dipengaruhi oleh badan eksekutif dan badan-badan lainnya, dengan tidak
mengurangi ketentuan mengenai batas umur tersebut. 38 Dengan adanya
36
http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/, diakses pada 29 Mei 2009.
37
Tan Thong Kie, Studie Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Iktiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 218.
38
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 57. Lebih
lanjut, Tobing memberikan komentar bahwa dewasa ini pengangkatan para notaris (sekarang
Menteri Hukum dan HAM) dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang sebelumnya hal itu
dilakukan oleh kepala negara. Sepanjang yang dapat diketahui, pengangkatan notaris oleh
Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM) mempunyai wewenang untuk
mengangkat para notaris, hingga kini belum dapat diketahui dengan jelas. Yang jelas bahwa
kebebasan itu, maka notaris tidak akan takut untuk menjalankan jabatannya
dan dapat menjalankan prinsip equality before the law (persamaan di depan
hukum) sehingga dapat diharapkan ia tidak akan bertindak dengan memihak
kepada salah satu pihak tertentu dan terhindar dari praktik mafia hukum.
Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif, atau pun
yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral sehingga apabila
ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut, notaris tidak lagi
dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan dapat
memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang
dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan
hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya karena
tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah. 39 Sebagai
perbandingan, penulis mengambil contoh di Inggris dan Wales adalah :
“In England and Wales, notaris are lawyers who specialize in
international transaction and documentation for use abroad. About 850 in
number, nearly all of them practice as solicitors in addition to their
notaris practice, although there is a growing number of fulltime notaris,
who may also carry out normal conveyance and probate work within this
country.40
(Di Inggris dan Wales bahwa notaris adalah pengacara yang ahli dalam
transaksi dan surat-menyurat pada tingkat internasional. Sekitar 850
notaris, mereka berperan sebagai pengacara di samping sebagai notaris,
bahkan ada penambahan jam terbang bagi mereka, yang juga boleh
melaksanakan tugas dinas dan mengurus surat pengesahan dalam satu
kantor).
Jadi, hampir sama dengan Amerika Serikat, ternyata di Inggris pun notaris
merangkap sebagai pengacara yang mengerti betul tentang proses surat-
menyurat dan administrasi lainnya.

sampai sekarang ini tidak diketahui adanya suatu undang-undang atau peraturan lainnya yang
memberikan wewenang ataupun melimpahkan wewenang itu kepada Menteri Kehakiman
(sekarang Menteri Hukum dan HAM).
39
http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/, diakses pada 29 Mei 2009.
40
www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009.
“In England, notaris never attained the same prominence as they did in
the Continental European jurisdictions based on Roman law. As common
law, with its preference for lay judges and oral testimony over trained
lawyers and documentary evidence, increasingly replaced Roman law, the
need for notaris began to dimish.41
(Di Inggris, notaris tidak pernah mendapat kedudukan yang tinggi
sebagaimana yang berlaku pada hukum Eropa Kontinental yang
menganut hukum Romawi. Sebagai penganut common law, dengan
preferensinya pada kebiasaan hakim dan kesaksian lisan terlebih
dengan para pengacara yang terlatih dan bukti-bukti dokumentasi,
dewasa ini digantikan dengan hukum romawi, maka kebutuhan pada
notaris mulai berkurang).
Ada sedikit perbedaan, ternyata di Inggris posisi notaris berbeda dengan
negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, di mana posisi
notaris mempunyai kewenangan penuh dalam hal hukum dan bukti-bukti
dokumentasi sementara di Inggris sedikit dibatasi.
Tak berbeda dengan di Indonesia, kenyataan di atas dipertegas bahwa posisi
notaris juga diakui oleh undang-undang di negara seperti Inggris dan Kanada.
Hal ini sesuai dengan pernyataan di bawah ini:42

Kesimpulan dari teks ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut :
(“Bahwa notaris itu diakui keberadaannya secara hukum di beberapa
negara termasuk di Inggris, Kanada, dan juga Amerika Serikat, mereka
juga mendapat honorarium dan juga disumpah menjadi notaris di depan
41
www.guselashaw.com, diakses pada 15 Mei 2009
42
http://www.mawsoah.net, diakses pada 6 Juni 2010
pejabat yang berwenang, notaris itu dibutuhkan bertujuan untuk
menghindari pemalsuan data otentik dan kesaksiannya pun dapat menjadi
alat bukti yang sah secara hukum”).
Oleh karena itu, hampir semua negara membutuhkan notaris sebagai pejabat
pembuat akta otentik sehingga akan terhindar dari pemalsuan akta dan juga
kebohongan hukum.

B. DASAR HUKUM DAN FALSAFAH NOTARIS


1. Dasar Hukum Konvensional
Notaris memiliki dasar peraturan atau landasan hukum, yang
memberikan legalitas statusnya. Sebagai negara bekas jajahan Belanda
yang dikenal dengan kolonial Belanda atau Hindia Belanda pada mulanya
notaris telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh pemerintah Belanda. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah
Regiement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860; 3) Ordonantie
16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan
Wakil Notaris Sementara (Lembar Negara Tahun 1954 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 700) sebagai pengganti Stbl. 1860,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379); Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1949 tentang sumpah / janji Jabatan
Notaris,43 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199
k/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994.44
Berbagai peraturan perundang-undangan di atas dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga negara Indonesia
memandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali secara
menyeluruh dan terbentuknya unifikasi. Karena itu, pada tanggal 16
Oktober 2004 legislatif telah membentuk Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.45
Tuntutan dilahirkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris yang baru yang menggantikan Peraturan Jabatan
Notaris yang sudah berlaku sejak tahun 1860 atau 144 tahun yang lalu
pertimbangannya adalah sebagai berikut:

a. Peraturan Jabatan Notaris (PJN) Tahun 1960 sudah tidak sesuai lagi
dengan situasi dan kondisi serta perkembangan dan kemajuan dengan
bergulirnya waktu, yang kesemuanya itu harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi serta kebutuhan sekarang dan masa mendatang
43
Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, lihat juga Tim
Penelitian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Hukum Tahun 2009, (Jakarta Kanwil Kumham DKI Jakarta:
2009), h. 12. Usaha melahirkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris tersebut merupakan perjuangan panjang yang gigih dan ulet sejak tahun 1970-an yang
dilakukan oleh generasi senior yang kemudian dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Sempat
terjadi di kalangan internal Ikatan Notaris Indonesia (INI) adanya perbedaan pendapat, antara
lain, mengenai siapa yang berwenang mengangkat notaris, beberapa kongres terakhir INI
menugaskan kepada Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) untuk memperjuangkan
dilahirkannya Undang-Undang Jabatan Notaris. Setelah itu, dilakukan pembahasan yang
intensif antara INI dan pemerintah khususnya Sekretariat Negara RI untuk mengantisipasi
kelambatan dan mempercepat proses dilahirkannya Undang-Undang Jabatan Notaris, maka
jauh sebelum Bapak Menteri Kehakiman dan HAM RI (sekarang Kementerian Hukum dan
HAM) menyampaikan draf, Undang-Undang Jabatan Notaris ke Sekretariat Negara dengan
sepengetahuan dan izin beliau PP-INI mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Jabatan
Notaris kepada Badan Legislatif Nasional (Prolegnas) dan alhamdulillah berhasil. Sesuai
dengan prosedur Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat maka Rancangan Undang-Undang
Jabatan Notaris selanjutnya menjadi hak inisiatif DPR. Bersamaan dengan itu, pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris kepada DPR. Dengan demikian,
prosesnya menjadi lebih cepat sehingga pada tanggal 24 September 2004 telah menjadi
persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004. Buku Panduan
dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia. (Jakarta: Pengurus Pusat INI, 2006), h. 198.
44
http://groups.google.com/graoup/NOTUNA2003/, diakses pada 28 Mei 2009.
45
Buku Panduan dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, (Jakarta: Pengurus Pusat
INI, 2006), h. 198.
yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, perkembangan hukum dan
demokrasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. Selama ini telah berlangsung beberapa praktik notaris yang dalam


menjalankan jabatannya tidak diatur dalam PJN. Karenanya, perlu
diatur dalam bentuk undang-undang.

c. Dipandang perlu dihimpunnya pelbagai peraturan dan ketentuan


mengenai notaris sebagai pelaksanaan PJN yang berada di luardiatur
dalam bentuk undang-undang.

d. Bahwa notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam


pelayanan hukum masyarakat perlu mendapat perlindungan dan
jaminan demi tercapainya kepastian hukum.46

2. Dasar Hukum Islam


Sementara sumber hukum dalam perspektif Al-Quran mengenai
ayat-ayat yang berhubungan dengan notaris disebutkan dalam banyak
surah, baik secara implisit. Beberapa ayat yang mengelaborasi tentang
notaris, di antaranya :
o QS Al-Baqarah [2]: 282
Dalam ayat ini Allah memerintahkan bahwa dalam transaksi utang
piutang harus tercatat, di mana tugas dan wewenang pencatat harus
profesional dan benar sesuai dengan tuntutan ilahi.
o QS Al-‘Alaq [96]: 4
Melalui wahyu yang pertama kali turun, Tuhan secara eksplisit telah
mengajarkan hambanya dengan pena, di sini dapat dipahami bahwa
posisi para pencatat / notaris sebagai pencatat akta otentik sangat
dibutuhkan dan sangat urgen karena catatan adalah tanda bukti kuat
dalam segala urusan.
o QS Al-Qalam [68]: 2

46
Buku Panduan dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, (Jakarta: Pengurus Pusat
INI, 2006), h. 198.
Surah ini dinamai Al-Qalam (pena) menandai betapa pentingnya
catatan (pena) dalam perspektif Islam dan bahkan catatan itu bisa
dapat dijadikan alat bukti yang kuat, sampai-sampai Allah berani
bersumpah dengan “pena”. Tatkala saksi tidak ada, catatlah (bukti
tulisan) sebagai pengganti bukti otentik.
Demikian secara tegas bahwa Al-Quran menguak secara jelas tentang
fungsi dan tugas seorang juru tulis atau notaris dalam hal pencatatan akta-
akta otentik dan dokumen-dokumen penting.
Menurut Abdullah Faqih bahwa :

(“Apabila notaris menjadi saksi sesuai dengan kode etiknya, dan juga
apabila menjadi saksi terhadap transaksi-transaksi yang sesuai dengan
syariah, serta terhadap kegiatan ekonomi yang dibolehkan secara hukum,
juga menjadi saksi terhadap lembaga-lembaga keuangan syari’ah, maka
kesaksiannya pun sah dan halal secara hukum”).47

“Pun demikian apabila notaris menjadi saksi terhadap transaksi-transaksi


yang haram, atau pada kegiatan ekonomi yang ribawi, atau menjadi saksi
pada perbankan konvensional maka kesaksiannya pun menjadi haram dan
sama sekali tidak ada keraguan secara hukum.”48

Pendapat Abdullah Faqih ini mempertegas bahwa notaris yang


membuat akta otentik, maka harus menganalisis terlebih dahulu apakah
perjanjian dengan kliennya itu sesuai dengan konsep syari’ah ataupun
tidak karena akan mempengaruhi pada produk yang dihasilkannya.
Apabila mengandung riba dan menjadi haram, produknya pun menjadi

47
Abdullah Faqih dalam http://www.islamweb.net, diakses pada 6 Juni 2010
48
Abdullah Faqih, ibid.
haram, sebaliknya apabila sesuai dengan konsep syari’ah, produknya pun
menjadi halal.
Argumen di atas bukan tanpa alasan, melainkan bersumber dari
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Jabir r.a.

“Rasulullah melaknat terhadap pemakan riba, yang mewakilinya, yang


mencatatnya (notarisnya), dan terhadap saksinya, mereka itu sama-sama
mendapat dosa” (HR Muslim dari Jabir r.a.)
Dan bahkan menurut Abdullah Faqih, mereka (baik pemakan,
yang mewakilinya, yang mencatatnya, maupun yang menjadi saksinya
terhadap transaksi riwabi) adalah mereka yang bekerja sama dalam dosa
dan permusuhan.49 Pendapat ini diperkuat oleh Firman Allah dalam QS Al-
Maidah [5]: 2 yang berbunyi:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan.”50
Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara
lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan
adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Akta otentik sebagai
alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, baik bisnis, perbankan,
pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain.51 Semua kegiatan tersebut Al-
Quran lebih dulu menjamin tentang hak seseorang atau dalam istilah ushul
fiqh maqashid as-syari’ah, menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan

49
Abdullah Faqih, ibid.
50
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005)
51
Tim Penelitian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Hukum Tahun 2009. (Jakarta: Kanwil Kumham DKI Jakarta,
2009), hh. 1-2.
harta52 termasuk di dalamnya bahwa Islam menjamin tentang hak harta
seseorang dengan sepenuhnya tatkala ditentukan bukti otentik bahwa harta
tersebut adalah sebagai miliknya.

C. TUGAS DAN FUNGSI NOTARIS


Peranan dan fungsi notaris53 sangat diperlukan untuk saat ini dan masa yang
akan datang. Peranan dan kepedulian dari notaris yang bertugas di setiap
kecamatan di seluruh Indonesia kelak secara merata sangat berguna dan
berfungsi untuk membuat dan membantu masyarakat pedesaan agar membuat
surat tanda bukti kepemilikan tanah lahan pertanian dan perubahan mereka
dengan biaya murah dan cepat. Atas dasar ini, sangat diperlukan generasi
muda bangsa untuk menekuni dan mengikuti pendidikan magister kenotariatan
dalam upaya mengetahui seluk-beluk pertanahan dan penataan administrasi
pertanahan di Indonesia khususnya bagi rakyat di pedesaan yang masih sangat
banyak belum memiliki tanda bukti hak atas tanahnya.54
Disamping rakyat telah memiliki surat tanda bukti kepemilikan tanahnya
dengan baik dan sempurna, dokumen tersebut juga akan sangat berguna bagi
rakyat untuk dapat dijadikan jaminan dan agunan untuk memperoleh pinjaman
dengan bunga ringan ke bank pemerintah yang menyediakan kredit pertanian
rakyat. Dengan demikian, surat tanda bukti kepemilikan tanah oleh rakyat,
yang sewaktu-waktu dapat ditingkatkan menjadi sertifikat oleh Badan
Pertanahan Nasional yang berfungsi pula sebagai jaminan dan agunan bagi
rakyat untuk memperoleh kredit pertanian sehingga mereka akan terbebas dari
jeratan tengkulak dan rentenir sehingga hasil lahan pertanian yang mereka
miliki dapat benar-benar berguna dan bermanfaat bagi kehidupan untuk
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran mereka.

52
Lebih lanjut, lihat A. Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010),
hh. 122-132.
53
Sekaligus sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
54
Roy Fachraby Ginting, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kabupaten Karo dalam
http://notary-herman.blogspot.com/tugas-dan-fungsi-nogaris-dan-ppat.html/, diakses pada 27
Mei 2009.
Kewenangan bagi para notaris untuk membuat akta-akta pertanahan
merupakan amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f bahwa notaris
berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertahanan. Pasal ini tidak
lagi memerlukan peraturan pelaksanaan pun peraturan pemerintah karena
pasal ini sudah final.55
“A notary’s main function are to administer oaths and affirmations, take
affidavits, and statutory declarations, witness and authenticate the
execution of certain classes of documents, take acknowledgements of
deeds and other conveyances, protest notes and bills of exchange, provide
notice of foreign drafts, prepare marine protests in cases of damage,
provide exemplifications and notaris copies. Any such act is known as a
notarization. The term notary public only refers to common-law notaris
and should not be confuses with civil-law notaris.56
(Tugas utama notaris adalah untuk mengatur administrasi perjanjian,
membuat surat penegasan, pengambilan sumpah, membuat undang-
undang tentang akta, menjadi saksi, dan membuktikan bukti asli terhadap
isi dokumen. Di samping itu, notaris pun membuat akta, catatn penting,
tagihan draf, dan lain-lain. Notaris juga bukan hanya mengacu pada
sistem common law semata, melainkan juga pada sistem civil law.
Sebagai pejabat pembuat akta otentik, maka notaris tidak boleh keluar dari
koridor undang-undang yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. Tan
Thong Kie dalam bukunya Studi Notariat memberikan gambaran bahwa
kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat
hingga sekarang masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai
pejabat tempat seseorang memperoleh nasihat yang bisa diandalkan. Segala
sesuatu yang ditulis serta yang ditetapkannya (konstatir) adalah benar. Ia
adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.57

55
http://majalah.depkumham.go.id/node/83_Edisi_Vol_V_No.24
56
www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009
57
http://www.ponianakpost.com/berita, diakses pada 05 Juni 2009.
Sedangkan A.W. Voors mengemukakan bahwa dalam sejarah posisi seorang
notaris mengalami pasang surut yang dikisahkan di Mesir, yang dikenal
sebagai negara tertua yang mempunyai lembaga notariat, kedudukan seorang
notaris dipandang tinggi. Kedudukan seorang notaris sama dengan seorang
pejabat tinggi (Stadhouder), seorang panglima.58
“In recent years, the need for Notaris has grown immensely, due to the
internationalization of the market for legal services, especially within the
European Union, and also due to the large communities of business
persons, residents and migrants in the UK. Further-more, the explosive
growth in the purchase of homes abroad by UK residents has increased
the work of Notaris in England and Wales, since practically all substantial
Property transactions outside the UK need the involvement of a Notary.59
(Akhir-akhir ini, kebutuhan notaris semakin meningkat, dengan tujuan
untuk pengesahan transaksi yang mendapatkan kekuatan hukum, hal
ini terutama pada negara-negara Eropa termasuk di dalamnya negara
Inggris).
Dengan kriteria sebagai “pejabat umum” tersebut sudah implisit dan inheren
bahwa dalam tugasnya ia harus dilengkapi dengan kewenangan atau
kekuasaan umum (openbaar gezag).
Salah satu contoh yang nyata dari hal tersebut adalah kenyataan bahwa suatu
“groosse” akta notaris yang pada bagian atas memuat irah-irah “demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde).60
Inti dari tugas notaris ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-
hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa-jasa
notaris, yang pada asasnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberi
putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa. 61 Baik hakim
58
Ibid.
59
www.giselashaw.com, diakses pada tanggal 15 Mei 2009
60
Paulus Effendie Lotulung, “Perlindungan Hukum bagi Notaris Selaku Pejabat Umum dalam
Menjalankan Tugasnya”, majalah triwulan Media Notariat, 3 Januari, 2000, h. 42.
61
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 58.
maupun notaris dalam menjalankan tugasnya sehari-hari harus bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif. Agar pengaruh dari badan eksekutif tidak ada,
maka seyogyanya pengangkatan notaris tidak dilakukan oleh badan eksekutif,
tetapi oleh kepala negara. Dulu sebelum tahun 1942 pengangkatan notaris
dilakukan oleh Gubernur Jenderal, sedangkan sesudah penyerahan kedaulatan
oleh kepala negara. Berdasarkan pertimbangan ini pulalah semula ditentukan
bahwa para notaris diangkat seumur hidup. Namun, kemudian asas tersebut
dihilangkan dari Pasal 3. PJN yang demikian untuk menyesuaikan dengan
kedudukan pada umumnya dari para pejabat peradilan di Indonesia pada
waktu itu.62
Disamping itu, wewenang notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan groose, salinan atau kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
undang-undang.”
Sedangkan pada ayat (2) notaris juga berwenang:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. Membuat kopi dan asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan fotocopy dengan surat aslinya;
62
Ibid. Lihat juga Tugas dan Wewenang Notaris, (Jakarta: MPD Notaris Kotamadya Jakarta
Pusat, 2006), h. 1.
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
g. Membuat akta risalah lelang.

Sementara, itu tugas utama seorang notaris di Holland adalah :


“As the supreme Court ruled in Groningen (Holland), the function
of a notary in legal matters after all that he is professionally
bound, to the best of his ability, to prevent misuse being made of
ignorance of the law and actual ascendancy (HR 20-1-1989, NJ
989, 766)”63
(Sebagaimana Mahkamah Agung di Holland, fungsi notaris
dalam permasalahan hukum adalah secara profesi mengikat
terhadap kemampuan terbaiknya, menghalangi penyalahgunaan
ketidaktahuan terhadap undang-undang dan kekuasaan).
Jadi, notaris selain sebagai pembuat akta otentik, notaris juga memiliki
kewajiban untuk menegakkan hukum sebagaimana Mahkamah Agung
(MA)

D. NOTARIS DALAM LINTASAN SEJARAN


1. Notaris di Dunia Islam
Di Dunia Islam Abu Hanifah dan murid-muridnya merupakan orang yang
mula-mula mengembangkan bidang notariat. Islam lebih dulu mengenal
dengan istilah notaris, notaris syari’ah bersumber pada Al-Quran 64 dan al-
hadits di samping fatwa dan ijtihad para ulama, berbeda dengan notaris
yang sekarang ada yang sumber hukumnya adalah dari Barat.65 Kajian
ilmu di Dunia Islam mencakup beragam bidang. Tak hanya kajian ilmu
pasti yang berkembang, tetapi juga humoniora yang tekait kajian filsafat,
sejarah, hukum ataupun sastra. Salah satu bidang yang kemudian muncul
63
www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009.
64
Terdapat banyak ayat Al-Quran yang mengelaborasi tentang notaris, di antaranya, QS Al-
Baqarah [2]: 282, QS Al-‘Alaq [96]: 4, dan QS Al-Qalam [68]: 2.
65
Saifuddin Arif, Notaris, Wawancara Pribadi, di Kantor Notaris, Ciledug Tangerang, 29 Maret
2010.
adalah notariat dan kenotarisan. Bidang ini terkait dengan dokumen
hukum atau pengesahan dokumen perjanjian, akta, dan dokumen lainnya.
Pada masa Islam, dokumen kenotarisan dibuat berdasarkan hukum atau
fikih yang ditulis dalam rangkaian kata dan gaya bahasa indah. Dengan
demikian, bidang ini tak hanya terkait dengan hukum tetapi juga adab atau
sastra. Terdapat banyak istilah yang muncul merujuk pada bidang ini.
Menurut Georga A. Makdisi66 dalam Cita Humanisme Islam, istilah itu
menunjukkan berkembangnya bidang tersebut di Dunia Islam. Literatur
Islam mengenal beberapa istilah Arab untuk menunjuk pada dokumen
formal atau akta kenotarisan. Istilah dasar diturunkan dari kata-kata aqad,
syarth, dan wasq. Sementara itu, dokumen formal disebut dengan
watsa’iq, syuruth, dan uqud. Sedangkan, notaris yang berwenang membuat
akta tersebut kerat disebut sebagai muwatstsiq, watstsaq, shahib al-
watsa’iq atau aqid li al-syuruth. Muncul pula istilah lain, yaitu khaththath
al-watsa’iq atau penulis akta notaris dan khidmah al-watsa’iq yang
memiliki makna pelayanan kenotarisan. Di Dunia Islam, seni notariat pada
awalnya berkembang di Baghdad, Irak, pada abad ke-8. Bidang ini
dikembangkan oleh Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu Abu Yusuf
dan Muhammad ibn Hasan Al-Syaybani. Tidak hanya sejumlah ahli
hukum sejaman dengan mereka yang turut mengembangkannya. Al-
Syaybani menulis soal akta notariat dalam karyanya Mabsuth dan Kita Al-
Ashl. Menurut Haji Khalifah, seorang ilmuwan yang meninggal pada
1657 Masehi, karya pertama yang membahas hal ini ditulis oleh Hilal ibn
Yahya Al-Basri yang lebih dikenal dengan nama Hilal Al-Ray. Ia wafat
pada 895 Masehi.67
Haji Khalifah juga membuat daftar mengenai berbagai macam karya
seputar dunia kenotarisan. Dia mengumpulkan akta-akta notariat yang

66
Georga A Makdisi yang dijadikan rujukan oleh Dyah Ratna Meta Novi, dalam “Notariat di
Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h. Khazanah.
67
Sedangkan antologi mengenai akta-akta kenotarisan pertama yang masih terdapat pada karya
milik Al-Thantawi, seorang cendekiawan Muslim yang wafat pada 933 Masehi. Karya yang
ditulisnya itu berjudul Al-Jami al-Kabir fi al-Syuruth dan kita Al-Syuruth al-Shagir. Lihat
Dyah Ratna Meta Novi, “Notariat di Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h. Khazanah.
dibuat oleh para ahli fikih yang bermazhab Hanafi. Ia juga menilai bahwa
akta kenotarisan merupakan gabungan sastra dan praktik hukum. Khalifah
bahkan membuat semacam definisi. Ia mengatakan, ilm al-syuruth al-
sijiillat, merupakan disiplin ilmu yang menguji cara penetapan-yang
dibakukan dalam buku atau catatan-atau keputusan hukum seorang hakim.
Dengan cara yang memungkinkan, penggunaannya dapat dijadikan
sebagai bukti hukum setelah kematian saksi-saksi yang terlibat dalam
sebuah perkara. Menurut Khalifah, muatan disiplin ini mengandung
keputusan hukum, yang tertulis seperti sastra. Jadi, kata khalifah istilah
yang digunakan adalah sesuai dengan hukum terapan dan hukum –hukum
agama. Berdasarkan catatan sejarah, bagian barat Dunia Islam mulai
mengembangkan kenotarisan setelah disiplin ini berkembang pesat di
bagian timur Dunia Islam.
Kehidupan serta kegiatan para notaris banyak diuangkapkan melalui karya
biografi para penulis Muslim di kawasan Barat. Misalnya, ibn al-Fardi
dalam karyanya Maushul. Al-Fardi ini merupakan cendekiawan Muslim
yang meninggal pada 1012 Masehi. Pada masa berikutnya, ada Ibn
Basykuwal dengan karyanya yang berjudul Shilah, sedangkan
Marrakusyi menulis Dzayl. Dalam karyanya itu, mereka menyusun
kumpulan akta kenotarisan sebagai model bagi mereka yang ingin
mempelajari bidang ini. Ilmu notariat ini dipandang sebagai suatu disiplin
yang memiliki banyak manfaat dan menguntungkan. Banyak orang pada
masa itu belajar kenotarisan, baik melalui pendidikan maupun secara
otodidak sebab banyak karya yang dibuat untuk keperluan tersebut.68
68
Salah seorang yang memenuhi kebutuhan hidup dari bidang ini adalah Yahya ibn Amr al-
Judzami. Ia adalah penduduk Kordoba yang juga hakim. Ia menghidupi dirinya dengan
berpraktik sebagai notaris. Ada pula Muhammad ibn Ayyub al-Ghafiqi yang hidup pada abad
ke-12. Ghafiqi meninggalkan kampung halamannya di Saragosa menuju Valestina bersama
ayah dan kakeknya. Saat itu, wilayah tersebut diduduki pasukan Kristen. Di ana, ghafiqi
melanjutkan kehidupannya sebagai seorang pakar ilmu Al-Quran, tata bahasa, leksikografi, dan
syair. Selain itu, Ghafiqi juga menguasai sejarah, genealogi, sastra, dan bahasa Arab klasik.
Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, Ghafiqi diminta bantuan oleh orang-orang untuk
membuat dan menyusun dokumen-dokumen resmi hukum. Ghafiqi bersedia membuat
dokumen yang diinginkan itu dengan meminta bayaran tinggi. Meski orang-orang yang
meminta bantuannya agak keberatan, akhirnya mereka memberikan syarat seperti yang
diingikan Ghafiqi. Lihat Dyah Ratna Meta Novi, “Notariat di Dunia Islam”, Republika, 15
2. Notaris di Awal Kelahiran
Jabatan notaris69 lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan
yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak.
Sejarah lahirnya notaris diawali dengan lahirnya profesi scribae pada
zaman Romawi Kuno (abad ke-2 dan ke-3 Masehi). Scribae adalah
seorang terpelajar yang bertugas mencatat nota dan minuta akan sebuah
kegiatan atau keputusan kemudian membuat salinan Dokumennya, baik
yang sifatnya publik maupun privat. Profesi scribae sangat dibutuhkan
pada waktu itu karena sebagian besar masyarakat buta huruf.70
Dalam buku hukum dan tulisan Romawi Kuno berkali-kali ditemukan
nama jabatan “notarius”, untuk menandakan suatu golongan orang-orang
yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu. Akan
tetapi, yang dinamakan “notarius” dahulu tidaklah sama dengan “notaris”
yang dikenal sekarang, hanya namanya yang sama.71 Dalam Buku Brook’s
Notary juga dikatakan hal yang sama bahwa :
“The office of a public notary is a public office. It has a long and
distinguish history. The office has its origin in the civil institution
of ancient Rome. Public officials, called scribae, that is to say,
scribes, rose in rank from being mere copiers and transcribers to a
learned profession prominent in private an public affairs.72
Kata notaris sendiri berasal dari kata “nota literia”, 73 yaitu tanda tulisan
atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan
ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter di
maksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografi).

Maret 2010, h. Khazanah.


69
Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad II-III pada masa Romawi
Kuno, di mana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius, atau notarius. Pada masa itu, mereka
adalah golongan orang yang mencatat pidato. http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/, diakses
pada 29 Mei 2009.
70
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri
Notaris Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
40.
71
G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 5.
72
Book’s Notary, Chapter 1, lihat juga www.wikipedia.com
73
Lumban Tobing, op.cit.
Stenografi ditemukan oleh Marcus Tullius Tiro sekira tahun 63 SM yang
zaman Romawi, yakni pada masa negarawan terkenal Marcus Tullius
Cicer (106-43 sebelum Masehi). Kata notaris juga pernah dipakai khusus
untuk para penulis kerajaan yang menuliskan segala sesuatu yang
dibicarakan kaisar pada rapat-rapat kenegaraan. Notaris yang menjadi
penulis kerajaan ini mempunyai kedudukan sebagai pegawai istana
sehingga tidak sesuai dengan notaris zaman sekarang. Notarais juga ada
dalam kekuasaan Kepausan yang disebut tabellio dan clericus notarius
publicus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan.
Pada era Romawi juga muncul profesi tabelliones dan tabularii.
Tabelliones diperkirakan diambil dari kata “Tabulae” yang berarti plat
berlapis lilin yang dipakai untuk menulis. Seoran gjurist terkenal pada
masa itu. Domitius Ulpianus (meninggal pada tahun 228 Masehi),
ditugaskan oleh Kaisar Justianus I untuk membantu menyusun semacam
undang-undang mengenai pembuatan akta dan surat di bawah tangah. Akta
dan surat yang dibuat para tabelliones tidak mempunyai kekuatan otentik
sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan
seperti akta di bawah tangan.74
Sedangkan tabullari adalah profesi yang mirif dengan tabelliones, bahkan
menjadi pesaingnya. Dikatakan seorang tabullarii adalah seorang
tabelliones yang mempunyai keahlian dalam teknik menulis sehingga
mereka diberikan status pegawai negeri yang mempunyai tugas
mengadakan dan memelihara pembukuan kota dan menjaga arsip dari
magistrate kota-kota yang berada di bawah resort-nya.

3. Sejarah Notaris di Indonesia


Lembaga notaris mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17
dengan beradanya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)75 di
Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur
Jenderal di Jakarta (sekarang Jakarta) antara tahun 1617-1629, untuk
74
Lumban Tobing, op.cit.
75
Lumban Tobing, op.cit, h.15.
keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu
mengangkat seorang notaris.76 Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkat
notaris pertama di Indonesia, yaitu Melchior Kerchem, sekretaris college
van schepenen.77
Setelah pengangkatan notaris pertama, jumlah notaris di Indonesia kian
berkembang. Namun, pada tahun 1650 di Batavia hanya ada dua orang
notaris yang diangkat. Menurut kenyataannya para notaris pada waktu itu
tidak mempunyai kebebasan di dalam menjalankan jabatannya oleh karena
pada masa itu mereka adalah pegawai dari Verenigde Oost Ind
Compagnie. Bahkan, tahun 1632 dikeluarkan plakat yang berisi ketentuan
bahwa noaris, sekretaris, dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat
akta-akta transport, jual beli, surat wasiat, dan lain-lain akta jika tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal dan daden
van indie dengan ancaman akan kehilangan jabatannya.78
Jika didasarkan pada kenyataan bahwa kita telah mempunyai perundang-
undangan di bidang notariat, yakni Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement Stbl. 1860: 3),79 yang sekarang ini telah berumur kurang lebih
120 tahun, sebagai pengganti dari Instructie voor notarissen in Indonesia’
(Stbl. 1822: 11) dan bahkan jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1620 telah
diangkat notaris pertama di Indonesia, seharusnya lembaga notaris ini
telah dikenal dan meluas sampai ke kota-kota kecil dan bahkan ke desa-

76
Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta,
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian Hukum Tahun 2009, (Jakarta: Kanwil Kumham
DKI Jakarta, 2009), hh. 10-11.
77
http://riz4ldee.wordpress.com/, diakses pada 27 Mei 2009.
78
Namun, dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang
bersangkutan. Maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ke Indonesia adalah untuk
memenuhi kebutuhan akan alat bukti otentik yang sangat dibutuhkan untuk menggunakan hal
dan kepentingan yang timbul karena adanya transaksi dagang yang mereka lakukan. Lebih
lanjut, lihat http://riz4ldee.wordpress.com/, diakses pada 27 Mei 2009.
79
Menurut Habib Adjie, Penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860:
3) ada kesalahan karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut Nederlands Indie,
seharusnya disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3).
Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1954 yang selanjutnya bisa disebut Peraturan Jabatan Notaris atau
PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (STBL.
1860: 3). Lihat Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI
Jakarta, Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian Hukum Tahun 2009, op.cit., h. 13.
desa. Namun, keadaannya tidaklah demikian sehingga timbul pertanyaan,
apa yang menjadi sebab tidak dikenalnya lembaga notariat ini secara
meluas?80
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kurang dikenalnya
lembaga ini secara luas. Salah satu faktor di antaranya bahwa sebelum
Perang Dunia II hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia pada waktu
itu adalah berkebangsaan Belanda, sedangkan jumlah notaris yang
berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu lembag
anotariat seolah-olah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Lagi pula,
pada umumnya mereka mempunyai tempat kedudukan di kota-kota besar
sehingga mudah dimengerti bahwa hubungan mereka dapat dikatakan
hanya dengan orang-orang Eropa, Cina, Timur Asing, dan bangsa asing
lainnya, yang biasanya bermukim di kota-kota besar pula serta sebagian
kecil orang-orang Indonesia, yang terbatas pada golongan tertentu dalam
masyarakat.
Faktor lain yang tidak kurang pentingnya ialah bahwa masuknya lembaga
notariat di Indonesia ialah pada saat tingkat kesadaran dan budaya hukum
masyarakat Indonesia pada waktu itu-suatu masyarakat yang bersifat
primordial, yang masih berpegang teguh pada hukum adanya dan kaidah-
kaidah religius-masih rendah dan sempit. Lebih-lebih lagi, para pengasuh
dari lembaga notariat itu lebih menitik beratkan orientasinya pada hukum
Barat. Semuanya itu merupakan faktor-faktor penghambaan dan yang
tidak menguntungkan bagi perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga
notariat ini dengan cepat dan secara luas di kalangan masyarakat yang
justru harus dilayaninya.
Berbicara tentang sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak dapat
terlepas dari sejarah lembaga ini di negara-negara Eropa dan umumnya
dan di negeri Belanda pada khususnya, dikatakan demikian oleh karena
perundang-undangan Indonesia di bidang notariat berakar pada “Notaris-
wet” dari negeri Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. No. 20). Sedang

80
G.W.S. Lumban Tobing, op.cit., h. 1.
notariswet itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan
terjemahan sepenuhnya, tetapi susunan dan isinya sebagian terbesar
mengambil contoh dari Undang-Undang Notaris Prancis dari 25 Ventose
an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda.
Dengan demikian, apabila seseorang sungguh-sungguh ingin mempelajari
dan mengerti Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang berlaku di Indonesia,
suatu studi perbandingan mengenai ketiga perundang-undangan itu
merupakan suatu syarat yang tidak dapat diabaikan. Perlunya hal itu lebih
terasa lagi, mengingat kenyataan bahwa literatur di bidan gnotariat di
Indonesia dapat dikatakan hampir tidak ada. Satu-satunya literatur lengkap
yang ada di bidang notariat Indonesia adalah buku dari P. Vallema Het
Reglement op het Notarisambt in Indonesia. Adapun buku H.W. Roeby
Het Notarisambt en de Notariele Akte hanya bagian I yang sempat
diterbitkan dan yang hanya membahas 17 pasal dari Notaris Reglement,
sedang bagian-bagian selanjutnya hingga meninggalnya H.W. Roeby
tidak pernah diterbitkan. Berlainan dengan di Indonesia, di Belanda
terdapat banyak literatur di bidang hukum notariat di samping penerbitan-
penerbitan berkala yang memuat karangan-karangan ilmiah di bidang
hukum notariat.81
Dari kilas balik sejarahnya, lembaga notariat berasal dari Belanda yang
dibawa ke Indonesia oleh usahawan Belanda. Tercatat pada tanggal 17
Agustus 1620 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengangkat
Jenderal Mechior Kerchem sebagai notaris pertama yang berkedudukan
di Batavia. Pengangkatan ini berkaitan erat dengan semakin meningkat
dan berkembangnya usaha dari gabungan perusahaan-perusahaan Belanda
yang kita kenal sebagai Verenigde Oost Indische Compagne (VOC).82
Maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ini ke Indonesia adalah
untuk memenuhi kebutuhan akan alat bukti yang otentik yang sangat

81
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri
Notaris Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
40.
82
diperlukan guna menggunakan hak dan kepentingannya yang timbul
karena adanya transaksi-transaksi dagang yang mereka lakukan.83
Sampai saat ini pun, kehadiran lembaga notariat tetap masih sangat di
perlukan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang
menentukan bahwa suatu akta dikatakan otentik bilaman akta tersebut
memenuhi tiga persyaratan pokok, yakni :

o Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang;

o Akta harus dibuat oleh atau di hadapan Ten Overstaan / seorang

pejabat umum; serta

o Pejabat umum itu harus berwenang untuk membuat akta di tempat di

mana akta itu dibuat.


Lembaga notariat di Indonesia pada waktu itu belum dikenal dan belum
meluas ke kota-kota kecil, bahkan ke desa-desa. Hal ini disebabkan
sebelum Perang Dunia Ke-2 hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia
pada waktu itu adalah berkebangsaan Belanda, sedangkan yang
berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya. Lagi pula, notaris
berkebangsaan Belanda mempunyai kedudukan di kota-kota besar,
sedangkan orang-orang Indonesia berada di daerah-daerah. Di samping itu,
tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat Indonesia pada waktu itu
adalah suatu masyarakat yang bersifat primordial yang masih berpegang
teguh pada hukum adanya serta kaidah-kaidah religius. Mereka masih
rendah dan sempit. Lebih-lebih lagi, para pengasuh dari lembag anotariat
itu lebih menitikberatkan orientasinya pada hukum Barat. Semua itu
merupakan faktor-faktor penghambat yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat
dan secara luas di kalangan masyarakat yang justru harus dilayaninya.84
83
Ibid.
84
Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat ini timbul dari kebutuhan dalam
pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan
hukum keperdataan yang ada dan / atau terjadi di antara mereka suatu lembaga dengan para
pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di mana dan
apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat membuat
Atas dasar konkordansi maka lahiriah Peraturan Jabatan Notaris di
Indonesia yang mengalami perubahan sebelum ada perubahan lain terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan
Wakil Notaris Sementara tanggal 13 November 1954 (Lembaran Negara
Tahun 1954 Nomor 101; Tambahan Lembaran Negara Nomor 700) dan
mulai berlaku tanggal 20 November 1954.
Dalam berbagai catatan, dikisahkan awal lahirnya jabatan notaris. Jabatan
ini awalnya adalah profesi kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan
sumber kekuasaan. Para notarislah yang mendokumentasikan sejarah titah
raja. Para notaris juga menjadi orang dekat Paus yang memberikan
bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan, pada Abad Kegelapan
(Dark Age, 500-1000 Masehi) di mana penguasa tidak bisa memberikan
jaminan kepastian hukum, para notaris menjadi rujukan bagi masyarakat
yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus. Jadi,
sejak awal jabatan notaris termasuk jabatan yang prestos, mulia, bernilai
keluhuran, an bermartabat tinggi.85
Dengan melihat kembali sejarah lahirnya jabatan notaris, sebagai notaris
yang lahir dan berpraktik di era informasi sekarang, kebanggaan pasti
muncul di lubuk hati karena menjadi bagian dari salah satu komunikasi
terdepan di masyarakat. Posisi sosial yang tinggi tersebut didapat para
notaris zaman dahulu saat mereka membaktikan seluruh potensi dirinya
untuk kepentingan masyarakat. Mereka sadar sebagai bagian hukum
intelektual, mereka Terpanggil untuk memajukan bangsa dan negara
dengan memberikan segala yang terbaik dari profesinya sebagai seorang
notaris. Notaris juga menjadi bagian dari gerakan perubahan di tengah
masyarakat ketika pemerintah tidak bisa menjamin kepastian hukum dan
kehidupan ekonomi, sosial dan politik.86

alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik. Lebih lanjut, baca G.H.S. Lumban
Tobing, op. cit., h. 1.
85
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, jati Diri
Notaris Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
32.
86
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., h. 33.
Indonesia sebagai penganut sistem hukum Eropa Kontinental
menempatkan notaris berwenang memberikan legal advice dan memeriksa
serta menilai sebuah perjanjian apakah sudah memenuhi kaidah perjanjian
yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak. Notaris merupakan salah
satu komponen profesi di bidang hukum yang perannya sangat besar bagi
pemerintah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya,
seorang notaris harus memiliki integritas dan bertindak profesional.87

E. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN NOTARIS SYARI’AH


Perkembangan perbankan syari’ah88 di Indonesia berpengaruh pada instrumen
lainnya, seperti lembaga notaris yang selama ini terlibat dalam mengeluarkan
surat keterangan hukum mengenai akad-akad bisnis syari’ah. Sebab selama
ini, dirasa masih banyak notaris yang belum mengetahui tentang sistem akad
syari’ah.89
Penting rasanya bagi para notaris untuk belajar dan menguasai tentang praktik
ekonomi syari’ah, seiring dengan perkembangan lembaga keuangan syari’ah.
Hal ini didasari dengan praktik ekonomi syari’ah harus dengan akad syari’ah,
sedangkan notaris masih banyak yang belum paham.90
Mengingat pentingnya para notaris mengerti tentang praktik ekonomi syari’ah
maka Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Indonesia menjalin
kerjasama dengan PKES dalam Seminar Nasional tentang Membumikan

87
Arofah, Windiani, “Fungsi dan Eksistensi Unsur Akademisi dalam Formasi Majelis Pengawas
Daerah Notaris:, Makalah disampaikan pada Perkenalan dan Sosialisasi MPD Jakarta Pusat
Periode 2009-2011, Jakarta, Selasa 10 Februari 2009.
88
Perbankan syari’ah bisa dilakukan oleh semua umat dan semua agama mengharamkan adanya
riba. Dengan adanya perbankan syari’ah diharapkan bisa menjadi sistem ekonomi alternatif
bagi ekonomi masyarakat, dengan berkembangnya ekonomi syari’ah di Indonesia akan
mendorong kesejahteraan umat. Iqbal Lalantro, Direktur Bank Tabungan Negara (BTN).
Diakses pada www.pkes.org, 29 Mei 2009.
89
Dengan pengetahuan akad syari’ah tersebut, saya berharap para notaris dengan mudah
melaksanakan pekerjaannya yang berkaitan dengan lembaga keuangan dan bisnis syari’ah.
Sutjipto, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia di acara Pelatihan Pembuatan Akad Syari’ah,
hasil kerjasama antara PKES, BTN Syariah, dan Ikatan Notaris Indonesia (INI), Sumut, 7 Juli
2008, diakses pada www.pkes.org, 29 Mei 2009.
90
Sutjipto, Anggota pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI), sumber diambil dari
www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.
Praktik Hukum Bisnis Syari’ah, di mana salah satu isi dalam materi seminar
tersebut terkait tentang praktik akad-akad syari’ah di Lembaga Keuangan
Syari’ah.91
Mengingat pentingnya para notaris mengerti tentang praktik ekonomi syari’ah
maka Ikatan Magister Kenotariatan Universitas Indonesia menjalin kerjasama
dengan PKES dalam Seminar Nasional tentang Membumikan Praktik Hukum
Bisnis Syari’ah, di mana salah satu isi dalam materi seminar tersebut terkait
tentang praktik akad-akad syari’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah.92
Berkembangnya ekonomi syari’ah seperti Lembaga Keuangan dan Bisnis
Syariah terus berkembang, untuk menyikapi itu, notaris harus siap untuk
meresponsnya. 93
Melalui pelatihan akad syari’ah, merupakan upaya
pemahaman para notaris untuk lebih mengetahui tentang akad syari’ah dan
bisa diimplementasikan dalam dunia kerja.
Sejak berlaku Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru, melahirkan
perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat
ini.94
o Pertama, Adanya Kewenangan Notaris
Adanya “perluasan kewenangan notaris”, yaitu kewenangan yang
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f, yakni:
“Kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.
Kewenangan selanjutnya adalah kewenangan untuk membuat akta risalah
lelang. Kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan ini merupakan kewenangan yang perlu dicermati, dicari, dan
ditemukan oleh notaris karena kewenangan ini bisa jadi sudah ada dalam
peraturan perundang-undangan dan juga kewenangan yang baru akan lahir
91
Wacana mengenai perlu tidaknya notaris syari’ah mengemuka dalam acara Lokakarya
Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia
(HISSI) di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua
panelis dalam lokakarya sepakat perlu adanya notaris syari’ah, termasuk Prof. M. Amin Suma,
karena didasarkan alasan akan kebutuhan adanya notaris dalam transaksi syari’ah. Kini sudah
banyak lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang beroperasi membutuhkan jasa notaris syari’ah.
http://www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.
92
www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.
93
www.pkes.org, diakses pada 29 Mei 2009.
94
Sumber: http://majalah.depkumham.go.id, diakses pada 27 Mei 2009.
setelah lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru. Kewenangan
yang demikian luas ini tentunya harus didukung pula oleh peningkatan
kemampuan untuk melaksanakannya sehingga program kegiatan yang
bertujuan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kemampuan notaris
merupakan sebuah tuntutan yang merupakan sebuah keharusan. Selain
penambahan kewenangan yang sangat signifikan tersebut. Undang-
Undang Jabatan Notaris juga memberikan perluasan wilayah kewenangan
(yuridis) yang oleh Undang-Undang Jabatan Notaris disebut sebagai
wilayah jabatan. Wilayah jabatan ini sebelum berlaku Undang-Undang
Jabatan Notaris, yaitu Peraturan Jabatan Notaris adalah meliputi kabupaten
/ kota. Namun, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diperluas menjadi meliputi wilayah
provinsi dengan tempat kedudukan di kota / kabupaten.
o Kedua, Masalah Pelaksanaan Sumpah Jabatan Notaris
Yaitu masalah pelaksanaan Sumpah Jabatan Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia berdasarkan Surat NomorM.UM.01.06-139 tanggal 08
November 2004 telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan
Sumpah Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia (sekarang Kementerian Hukum dan
HAM) sehingga Sumpah Jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan di
hadapan pengadilan negeri atau di hadapan kepala daerah, sejak 08
November 2004 Sumpah tersebut dilaksanakan di hadapan Kepala
Kementerian Hukum dan HAM.
o Ketiga, Notaris Dibolehkan Menjalankan Jabatan Notaris dalam
bentuk Perserikatan Perdata
Notaris dibolehkan menjalankan jabatan notaris dalam bentuk perserikatan
perdata sesuai dengan Pasal 20 ayat (1). Hal ini dimungkinkan mengingat
kondisi jumlah notaris saat ini yang sudah mencapai 7.009 orang dan
karenanya bentuk perserikatan perdata (maatschap) dapat dipandang
sebagai upaya efisiensi efektivitas kantor notaris dalam rangka
mempercepat pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dengan tetap
menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan sehingga menjalankan
jabatan dalam bentuk perserikatan perdata ini juga akan melahirkan dan
mengembangkan spesialisasi bidang hukum tertentu.
o Keempat, Masalah Pengawasan Notaris
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai
kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris membentuk Majelis Pengawas
Notaris. Berdasarkan Pasal 81 undang-undang tersebut, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,
Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris terdiri
atas Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis
Pengawas Pusat yang anggotanya terdiri atas unsur pemerintah, unsur
organisasi notaris, dan umur para ahli / akademisi di bidang hukum, yang
masing-masing unsur anggotanya terdiri atas 3 orang untuk masa jabatan 3
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
o Kelima, Organisasi Notaris
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
mengamanatkan agar notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi
notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat (1). Kriteria organisasi notaris adalah:
 Pertama, mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
yang memuat ketentuan tentang tujuan organisasi.
 Kedua, mempunyai daftar anggota yang salinannya disampaikan
kepada Menteri dan Majelis Pengawas Notaris.
 Ketiga, berbentuk perkumpulan berbadan hukum.
 Keempat, mampu menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
BAB III
BISNIS SYARI’AH DI INDONESIA

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP BISNIS SYARI’AH


1. Pengertian Bisnis Syari’ah
Sebelum menyimpulkan definisi bisnis syari’ah, sebaiknya lebih awal di
jelaskan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis dan apa pula yang
dimaksud dengan syari’ah. Setelah diketahui masing-masing definisi, baru
bisa disimpulkan pengertian bisnis syari’ah.
Dalam ilmu ekonomi, bisnis suatu organisasi yang menjual barang ataupun
jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk mendapatkan laba. Secara
historis kata bisnis (Indonesia) berasal dari bahasa Inggris business95
(plural businesses) yang mengandung sejumlah arti, di antaranya:
“Commercial activity involving the exchange of money for goods
or service.”
(Usaha komersial yang menyangkut soal penukaran uang bagi
produsen dan distributor (goods) atau bidang jasa (service).96
Kata business berasal dari kata dasar busy97 yang berarti “sibuk” dalam
konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat, yaitu dalam artian sibuk
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai:
“Usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan,
bidang usaha.98
Sedang dalam bahasa Arab, sebutan bisnis bisa diungkapkan dengan kata
at-tijarah, mengandung arti al-bai’u aw asy-syar’u bil qash di An-Ribhi
(usaha komersial yang berorientasi profit). Yang dimaksud profit
(keuntungan) adalah perbedaan antara penghasilan yang diterima oleh
95
Dalam Kamus Inggris-Indonesia, business diartikan sebagai perusahaan, urusan, dan usaha.
Lihat Joh M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988),
h. 90.
96
A. Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 17.
97
http://rafika.ngeblogs.com/ diakses pada 14 Mei 2010.
98
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), h. 138.
seorang pebisnis dari penjualan barang-barang dan jasa serta biaya yang
dikeluarkan untuk memproduksi barang-barang dan jasa tersebut, atau
dengan kata lain, keuntungan ialah penghasilan dikurangi pengeluaran
(income minus expenses).
Menurut Richard D. Steade, et al., sebagaimana dikutip oleh A. Kadir
mengatakan:
“Business is defined as all the commercial and industrial activities
that provide goods and services to maintain and improve out
quality of life.”99
(Bisnis dapat dipahami sebagai aktivitas dagang dan komersial
yang menawarkan barang dan pelayanan untuk menggapai
kualitas hidup yang bermutu).
Lebih lanjut, bisnis usaha dagang; usaha komersial dalam dunia
perdagangan; bidang usaha. Bisnis atau usaha merupakan sistem
interaksi sosial yang mencerminkan sifat khas bisnis sehingga
seolah-olah menjadi suatu dunia tersendiri yang otonom. Dalam
hal ini bisnis merupakan aktivitas yang cakupannya sangat luas
meliputi aktivitas produksi, distribusi, perdagangan, jasa, ataupun
aktivitas yang berkaitan dengan suatu pekerjaan untuk memperoleh
penghasilan. Walaupun cakupannya luas, tujuan hakikinya adalah
pertukaran barang dan jasa, dan pertukaran itu dipermudah oleh
medium penukar, yaitu uang.100
Karena itu, bisnis dalam pengertian umum tak dapat dipisahkan
dari uang, demikian pula sebaliknya. Dengan begitu, mudah
dipahami bahwa kriteria umum aktivitas dalam dunia bisnis adalah
penyediaan barang atau jasa demi suatu pembayaran dengan uang,
baik secara tunai maupun kredit.
Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir
semua orang terlibat di dalamnya. Semua membeli barang atau jasa
99
Richard D. Steade, et al., Business Its Nature and Environment An Introductions, Tenth
Edition, (Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co., 1984), hh. 304.
100
http://www.fai.umj.ac.id, diakses pada 25 Mei 2010.
untuk bisa hidup atau setidak-tidaknya bisa hidup lebih nyaman.
Bisnis pada dasarnya berperan sebagai jalan bagi manusia untuk
saling memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi,
masalah keinginan dan kebutuhan manusia tak terbatas, sedangkan
sumber daya yang tersedia terbatas. Maka dari itu, perlu adanya
sistem ekonomi yang harus menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu :

o Apa saja yang perlu diproduksi;

o Bagaimana memproduksinya; dan

o Untuk siapa produksi itu.

Menurut pendapat Christoper Pass, et al., bentuk ekonomi dari


suatu bisnis terdiri atas:
a. Bisnis horizontal (horizontal business)
Suatu bisnis yang mengkhususkan diri pada aktivitas tunggal,
misalnya, produksi roti.
b. Bisnis vertikal (vertical business)
Suatu bisnis yang menggabungkan dua atau lebih aktivitas
yang berhubungan secara vertikal, misalnya, pembuatan
gandum dan roti.
c. Bisnis konglomerat atau bisnis terdiversifikasi
(conglomerate or diversified business)
Suatu bisnis yang menggabungkan sejumlah aktivitas produksi
yang tidak berhubungan, misalnya produksi pembuatan roti dan
jasa keuangan.101
Dengan demikian, definisi bisnis adalah segala usaha manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu berupa aktivitas produksi,
distribusi, konsumsi, dan perdagangan, baik berupa barang maupun
jasa.102

101
Christoper Pass, et al., Collins: Kamus Lengkap Bisnis (Collins Dictionary of Business),
Terjemahan Sumarso, (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 62.
Kata syari’ah (syari’at) bisa disebut asy-syari’ah (mufrad dari
syarai) secara harfiyah “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-
orang yang minum”. Orang-orang Arab menggunakan istilah ini
khusus pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan
diberikan tanda yang jelas terlihat mata. Kata ini dikeluarkan dari
kata “syara’ syai yang artinya “menjelaskan dan menyatakan
sesuatu” atau dikeluarkan dari kata asy-syir’atu dan asy-syari’atu
yang artinya “suatu tempat yang menghubungkan sesuatu untuk
sampai pada sumber air yang tidak ada habis-habisnya sehingga
orang yang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk
mengambilnya”.103
Ar-Raghib Al-Asfahani mengatakan, asy-syaru’ adalah:
“Arah jalan yang jelas.”
Seperti ungkapan syara’tu lahu thariqan (saya memberikan
kepadanya jalan). Lalu, dijadikan sebagai nama bagi arah suatu
jalan. Maka ia pun disebut dengan syir’un dan syari’atun. Setelah
itu, ia digunakan bagi jalan Tuhan (Li thariqah al-ilahiyyah).
Kemudian, Al-Asfahani menukil ungkapan sebagai orang:
“Summiyat asy-syari’atu tanbihan bi syari’ati al-mal min
haitsu inna man syara’a al-haqiqat al-mashduqat rawiya
wa tathahar.”
(Syari’at itu disebut dengan syari’ah (sumber air) tiada
lain untuk menyerupakannya dengan sumber air. Karena
pada hakikatnya jika ada orang yang menceburkan diri
di dalamnya, ia akan minum dan suci).104

102
Lihat juga http://www.fai.umj.ac.id. Singkatnya bisnis dapat diartikan sebagai segala bentuk
aktivitas dari pelbagai transaksi yang dilakukan manusia guna menghasilkan keuntungan, baik
berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Lihat A.
Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, op.cit, h. 19. Secara etimologi, bisnis berarti
keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang
menghasilkannya-penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu
kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan,
http://rafika.ngebloks.com/, diakses pada 14 Mei 2010.
103
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 1.
104
Ar-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri, 2003)
Sementara secara terminologi syari’ah mengandung arti hukum-
hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan bagi hamba-Nya
untuk diikuti.105 Sedangkan menurut Faruq Nabhan, syari’ah
secara istilah adalah :
“Segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-
hamba-Nya”106
Mahmod M. Ayoub menulis :
“Kata syari’ah sering kali dipahami sebagai dasar hukum,
ini hanya merupakan sebagian pengertiannya saja.
Syari’ah bukan hukum dalam pengertian kita sebagai
hukum sekuler. Bahkan, pada dasarnya, syari’ah
merupakan serangkaian kewajiban moral yang pertama
kali diabadikan dalam Al-Quran, kemudian diuraikan dan
diterapkan melalui teladan kehidupan Sunnah Nabi, dan
akhirnya dibenarkan dan dapat dipercaya secara nalar
pada umat.107
Dengan demikian, bisnis syari’ah adalah segala macam transaksi
bisnis yang menghasilkan keuntungan (profit) dengan cara yang
sesuai dengan nilai-nilai syari’ah, baik Al-Quran108 maupun al-
hadis guna meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat
manusia.
Sementara itu, Adiwarman Karim mendefinisikan bisnis syari’ah
sebagai :

105
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam: Bagian Pertama, (Jakarta: Logos, 1997), h. 7.
Lihat juga Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. (Jakarta; Rajawali Pers, 1990), h. 46.
106
Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madikhal II al-Tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Shadir, t.t.),
Jilid VIII, h. 10.
107
Mahmod M. Ayoub, Jalan antara Keyakinan dan Praktik Ritual. (Yogyakarta: AK Group,
2004), hh. 168-169.
108
Tidak semua ayat yang berbicara tentang hukum dalam pengertian syari’ah. Namun, secara
umum tetap menggambarkan perihal Kemahaadilan dan Kemahabenaran Allah Swt. dalam
setiap ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Itulah sebabnya mengapa Allah Swt. baru
mengakui kesempurnaan iman seseorang manakala bersedia menerima hukum-hukum Allah
dengan hati yang lapang tanpa diiringi dengan rasa keberatan sekecil apa pun. Lihat Moh.
Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 17.
“Segala macam perjanjian syar’i yang menyangkut for
profit transaction, dengan tujuan mencari keuntungan,
bersifat komersil.109
Dalam konteks Indonesia, istilah bisnis syari’ah kurang familiar
dibandingkan dengan istilah ekonomi syari’ah. Hal ini terutama
karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan direvisi oleh Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 disebutkan dalam Pasal 49 bahwa:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi syari’ah
Kata “ekonomi syari’ah” yang menjadi salah satu wewenang
absolut peradilan agama tersebut kemudian menjadi istilah yang
populer, termasuk ketika dikaitkan dengan aspek kajian hukumnya,
yaitu hukum ekonomi syari’ah. Hal ini misalnya tampak jelas
ketika tim dari Mahkamah Agung Republik Indonesia membuat
rancangan hukum terapan ekonomi Islam yang akan menjadi
hukum materiil di peradilan agama, istilah yang digunakan adalah

109
Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003),
h. 72. Bisnis Syari’ah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan
penghormatan atas hak masing-masing. http://suud83.wordpress.com/, diakses pada 14 Mei
2010.
“Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah”.110 Namun demikian,
istilah bisnis syari’ah sebenarnya juga telah diperkenalkan oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan direvisi oleh Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009, yaitu dalam bagian Penjelasan
Pasal 49 huruf i. Hanya saja bisnis syari’ah dalam pasal penjelasan
tersebut merupakan bagian dari kegiatan ekonomi syari’ah.111
Berikut kutipan Penjelasan Pasal 49 huruf i:
“Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah112 adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain, meliputi :
(a) Bank syari’ah;
(b) Lembaga keuangan mikro syari’ah;
(c) Asuransi syari’ah;
(d) Reasuransi syari’ah;
(e) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah;
(f) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah;
(g) Sekuritas syari’ah;
(h) Pembiayaan syari’ah;
(i) Pegadaian syari’ah;
(j) Pegadaian syari’ah;
110
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam, (Jakarta: Lemlit UIN, 2009), h. 11.
111
Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi dari kesempurnaan
Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam
menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek
kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang Muslin yang menjalankan shalat lima
waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan atau bisnis yang
menyimpang dari ajaran Islam. Lihat Mustafa Edwin Nasution et al., Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 2.
112
Ekonomi syari’ah sebagai sebuah sistem saat ini merupakan pilihan alternatif dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Sebagai sebuah sistem sebagaimana layaknya dengan sistem-
sistem ekonomi yang ada dewasa ini (kapitalisme dan sosialisme), di dalamnya mengusung
seperangkat nilai, asas, dan prinsip yang berfungsi sebagai fundamen, pengarah, bahkan
sebagai sistem pengontrol yang tidak boleh ada penyimpangan yang berhadapan dengan nilai-
nilai tersebut. Lihat M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia. (Jakarta:
eLSAS, 2006), h. 311.
(k) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
(l) Bisnis syari’ah.113
Dari paparan di atas jelas bahwa undang-undang tidak secara
eksplisit menyebutkan istilah “hukum ekonomi Islam” atau
“hukum ekonomi syari’ah” ditemukan dalam draf “Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah” hasil kajian Tim dari Mahkamah
Agung RI. Sementara itu, istilah hukum bisnis syari’ah belum
ditemukan, baik dalam undang-undang maupun dalam draf
“Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah”. Sedangkan istilah bisnis
syari’ah ditemukan dalam Penjelasan Pasal 49, yang merupakan
salah satu bentuk kegiatan ekonomi syari’ah. Adapun kegiatan
ekonomi syari’ah dalam undang-undang tersebut di atas lebih
dimaksudkan pada kegiatan lembaga keuangan syari’ah yang
masuk kategori kegiatan “bisnis jasa”, padahal kegiatan bisnis
meliputi perdagangan, industri, dan jasa. Ini berarti jasa merupakan
salah satu kegiatan bisnis. Sementara dalam penjelasan Pasal 49 di
atas, yang terjadi adalah sebaliknya, bisnis syari’ah merupakan
salah satu bentuk kegiatan ekonomi syari’ah (yang lebih
berorientasi pada jasa lembaga keuangan syari’ah).
Jadi, bisnis syari’ah adalah segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidup berupa aktivitas produksi, distribusi, konsumsi,
dan perdagangan, baik berupa barang maupun jasa yang sesuai
dengan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang terdapat
dalam Al-Quran dan as-Sunnah.114

113
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Tujuan dari ekonomi syari’ah adalah
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya
langka yang seirama dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan
ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan
solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong
kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas, baik bagi
pembahasan teoretis maupun resep kebijakan. Lihat M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu
Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan Ikhwan Abidin Bashri (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 108. Atau bisa lihat juga Afazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam,
Terjemahan Soeroyo dan Nestangin, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 1, h. 8.
114
http://www.fai.umj.ac.id/, diakses pada 6 Mei 2010.
Oleh karena itu, istilah bisnis” dalam definisi di atas dimaksudkan
untuk menetralisasi kegiatan dalam bidang ekonomi syari’ah yang
tidak hanya terbatas pada lembaga keuangan syari’ah (LKS), tetapi
juga beberapa lembaga bisnis syari’ah lainnya, seperti hotel
syari’ah, multilevel marketing syari’ah, dan bengkel syari’ah. Di
samping istilah tersebut dimunculkan mengingat pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia pada saat ini belum
seperti ekonomi konvensional. Dengan demikian, jika pada suatu
saat nanti muncul kegiatan usaha baru yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, akan dapat terakomodasi dalam bingkai kata
“bisnis syari’ah”.115
Disini tampak bahwa bisnis syari’ah merupakan bagian dari
ekonomi syari’ah, yaitu akad tijari. Hal ini senada dengan
pendapat Zainudin Ali bahwa ekonomi syari’ah yang merupakan
bagian dari sistem perekonomian syari’ah memiliki karakteristik
dan nilai-nilai yang berfokus ada amar ma’ruf nahi munkar yang
berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang
dilarang.116 Dan sekarang praktik hukum bisnis syari’ah yang pada
umumnya dilaksanakan sebagai hukum diyani murni telah menjadi
hukum qadhai’. Disebut qadhai’ karena ia berhubungan dengan
permasalahan yuridis.117

2. Ruang Lingkup Bisnis Syari’ah


Kajian tentang bisnis syari’ah merupakan kajian tentang bisnis (profit)
yang didasarkan pada nilai-nilai syar’i118 atau yang dalam istilah ekonomi
syari’ah adalah kajian tentang akad tijari (mencari untung). Sebelum
115
Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 12.
116
Zainudi Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hh. 203)
117
A Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, op. cit., h. 31.
118
Yang menarik adalah institusi ekonomi berlandaskan syari’ah ternyata telah memberikan
harapan-harapan yang cukup menggembirakan karena mampu bertahan dalam kondisi krisis
ekonomi. Bank syari’ah, asuransi syari’ah, dan lembaga keuangan syari’ah lainnya kini
tumbuh dan berkembang dengan pesat walaupun masih banyak memiliki kekurangan dan
kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan secara optimal. Lihat Zainudin Ali,
Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 51.
membahas tentang akad tijari, penulis meringkas akad tersebut dalam
sebuah skema seperti yang tertera pada skema 3.1. pada halaman 54.119
Secara garis besar, ruang lingkup kajian bisnis syari’ah mengkaji tentang
akad-akad nonbagi hasil jasa perbankan dan akad bagi hasil.

119
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 38.
a. Nonbagi hasil jasa perbankan

Skema 3.1

JENIS AKAD / TRANSAKSI

TABBARU’ TIJARAH
(Tidak Mencari Untung) (Mencari Untung)
PENDANAAN PENDANAAN
JASA PERBANKAN PEMBIAYAAN
SOSIAL JASA PERBANKAN

Pola Titipan : Dengan Kepastian : Dengan


Wadi’ah Yad dhamanah Nonbagi Hasil Jasa Ketidakpastian :
Perbankan Bagi Hasil
Pola Pinjaman :
Qardh
Qardhul Hasan Pola Jual Beli: Pola Bagi Hasil:
Murabahah Mudarabah
Salam Musyakarah
Pola Lainnya : Istishna
Wakalah
Kafalah
Hiwalah Pola Sewa: Lain-lain
Rahn Ijarah Muzaraah
Ijarah wa Iqtina Musaqah
Ujr Mukhabarah
Lain-lainL
Hibah
Wakaf Pola Lainnya:
Shodaqah Sharf
Hadiah

1) Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.120 Menurut Ibnu Rusydi yang dikutip oleh
Adiwarman menyatakan bahwa:
“Karena dalam definisinya disebut ada keuntungan yang
disepakati, karakteristik murabahah adalah si penjual
harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian
barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut.121
Misalnya, si A membeli sapi seharga Rp.8 juta, biaya yang
dikeluarkan Rp500 ribu, maka ketika menawarkan sapinya, ia
mengatakan: “Saya jual sapi ini Rp10 juta, saya mengambil
keuntungan Rp1,5 juta.”
2) Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka
dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payament,
forward buying, atau future sales) dengan harga, spesifikasi,
jumlah kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta
disepakati sebelumnya dalam perjanjian.122
3) Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi
barang atau komoditas tertentu untuk pembeli / pemesan. 123 Jika
perusahaan mengerjakan untuk produksi barang yang dipesan
dengan bahan baku dari perusahaan, kontrak / akad istishna
muncul. Agar akad istishna menjadi sah, harga harus ditetapkan di
awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi
yang jelas yang telah disepakati bersama. Dalam istishna
pembayaran dapat di muka, dicicil sampai selesai, atau di

120
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003),
h. 161. Menurut Ascarya bahwa murabahah adalah suatu bentuk jual beli tertentu ketika
penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang tertentu dan tingkat keuntungan. Lihat Ascarya, ibid, h.
83.
121
Adiwarman Karim, ibid.
122
Ascarya, ibid., h. 90.
123
Ascarya, op. cit., h. 96.
belakang, serta istishna bisanya diaplikasikan untuk industri dan
barang manufaktur.124
4) Ijarah
Ijarah bisa disebut sewa, jasa, atau imbalan. Ijarah adalah akad
yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa.125
Menurut Sayyid Sabiq bahwa:
“Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.”
Jadi, hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat.
Ijarrah dapat dipakai sebagai pembiayaan. Individu yang
membutuhkan pembiayaan untuk membeli aset dapat mendatangi
pemilik dana (dalam hal ini bank) untuk membiayai pembelian aset
produksi. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan
menyewakannya kepada yang membutuhkan aset tersebut.126
5) Ijarah wa iqtina
Ijarah wa iqtina127 adalah transaksi sewa beli dengan perjanjian
untuk menjual atau menghibahkan obek sewa pada akhir periode
sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek
sewa. Ijarah mempunyai kemiripan dengan leasing pada sistem
keuangan konvensional karena keduanya terdapat pengalihan
sesuatu dari pihak kepada pihak lain atas dasar manfaat.
6) Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu
pekerjaan yang dilakukan. Akad ujr diaplikasikan dalam produk-
produk jasa keuangan bank syari’ah (fee based services), seperti

124
Ascarya, ibid., hh. 96-97.
125
Ascarya, ibid., h. 99. Ijarah juga berarti memberikan sesuatu untuk disewakan.
126
Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan
pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa
pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut.
Lihat Ascarya, ibid., h. 101.
127
Ijarah ini sering disebut ijarah muntahiya bittamlik, lihat Ascarya, ibid., h. 100.
untuk penggajian, penyewaan safe deposit box, penggunaan ATM,
dan sebagainya.128
7) Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta lain. Produk jasa
perbankan yang menggunakan akad sharf adalah fasilitas
penukaran uang (money changer).
b. Bagi hasil
1) Mudharabah
Mudharabah129 adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah
satu pihak dan kerja dari pihak lain. 130 Menurut Al-Mushlih dan
Ash-Shawi yang dikutip oleh Ascarya bahwa:
“Mudarabah adalah penyerahan modal uang kepada
orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan persentase
keuntungan.131
Dalam praktiknya mudharabah antara Siti Khadijah dan Nabi
Saw., saat itu Siti Khadijah mempercayakan barang dagangannya
untuk dijual oleh Nabi Saw. Ke luar negeri. Dalam kasus ini
Khadijah berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). Nah,
bentuk kontrak antara dua pihak di mana satu pihak berperan
sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan
tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.

128
Ascarya, ibid., h. 110.
129
Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah
adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan qiradh adalah istilah yang digunakan oleh
masyarakat Hijaz. Lihat Adiwarman Karim, ibid, h. 180.
130
Adiwarman Karim, Ibid. lihat juga Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic
Finance. (Pakista: Maktaba Ma’ariful Qur’an, 2002), h. 35.
131
Ascarya, ibid., h. 60.
Menurut Chapra,132 mudharabah juga adakalanya disebut qirad.133
2) Musyawarah
Dalam akad musyawarah pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets)
menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung risiko bersama-
sama untuk mendapatkan keuntungan.134 Disini keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama sesuai dengan porsi modal. Karena
itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return),
baik dari segi jumlah (amount) mau pun waktu (timing)-nya.
Musyawarah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara
bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak
atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan
seluruh bentuk sumber daya, baik yang maupun tidak berwujud.135
3) Muzara’ah
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain), seperti sawah
atau ladang dengan imbalan sebagai hasilnya (seperdua, sepertitiga,
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung pemilik tanah kemudian pembagian hasil dari tanah
pertanian itu dibagi sesuai dengan kesepakatan. Dalam kontrak ini

132
M. Umer Chapra lahir di Pakistan pada 1 Februari 1933. Chapra terlibat dalam Pelbagai
organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi
penasihat pada Islamic Research and Training Institute (IRT) dari IDB Jeddah selama hampir
35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab
Saudi ini membuatnya diberi kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan
Menteri Keuangan Arab Saudi, Syekh Muhammad Aba Al-Khail. Lebih kurang selama 45
tahun beliau menduduki profesi di pelbagai lembaga yang berkaitan dengan permasalahan
ekonomi di antaranya, 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab
Saudi. Selain profesinya itu, banyak kegiatan ekonomi yang diikutinya, termasuk kegiatan
yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan dunia, seperti IMF, IBRD, OPEC,
IDB, OIC, dan lain-lain. Lihat http://www.en.wikipedia.org, diakses pada 06 Juni 2010.
133
M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terjemahan Lukman Hakim,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 323. Sementara Adiwarman Karim
Menyebutnya bahwa mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah
qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. Lihat Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih
dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h. 180.
134
Lihat juga Muhammad Taqi Usmani, loc. Cit., h. 31.
135
Adiwarman Karim, ibid., h. 90. Lihat juga M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah
Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 17. Banding dengan M. Umer Chapra, ibid., h. 235.
juga pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan
dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Di sini keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount)
maupun waktu (timing)-nya.
4) Musaqah
Musaqah adalah bentuk kerja sama di mana pemilik tanah
memberikan pohon atau tanaman kepada petani untuk dikelola atau
disirami sementara pembagian hasilnya sesuai dengan kesepakatan
antara dua belah pihak yang melakukan akad tersebut. Sama halnya
dengan muzara’ah dalam musaqah juga pihak-pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets
maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan kemudian
menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.
5) Mukhabarah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain), seperti sawah
atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga,
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan (petani). Pada akad ini juga
kerugian dan keuntungan ditanggung bersama antara pemilik tanah
dan penggarap tanah (petani).

B. DASAR HUKUM BISNIS SYARI’AH


1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum acara yang berlaku di pengadilan agama untuk mengadili sengketa
ekonomi syari’ah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan
pada lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang direvisi lagi oleh Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009.
Sementara itu, hukum yang berlaku di lingkungan peradilan umum adalah
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, sedangkan
Rechtsreglemetn voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan
Madura. Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di lingkungan
Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang direvisi lagi oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.

2. Sumber Hukum Materiil


a. Nash Al-Quran
Al-Quran136 adalah sumber utama dan pertama dalam bisnis syari’ah
karena di dalamnya banyak ditemukan hal yang berkaitan dengan
permasalahan bisnis dan hukum-hukumnya.
Mustaq Ahmad mengutip dari Charles C. Torrey bahwa:
“Al-Quran menggunakan terminologi bisnis demikian ekstensif.
Tema komersial ini memiliki 20 macam terminologi yang diulang
sebanyak 370 kali di dalam Al-Quran. Masih menurut Torrey
penggunaan term bisnis yang sedemikian banyak itu menunjukkan
sebuah manifestasi adanya sebuah spririt yang bersifat komersial
dalam Al-Quran.137
Praktik bisnis syari’ah dijelaskan dalam banyak ayat Al-Quran, baik
tentang anjuran maupun larangan yang dilakukan dalam bisnis
syari’ah. Salah satu contoh ayat yang paling konkret, yaitu ayat tentang
pengharaman riba (QS Al-Baqarah [2]: 275) bahwa :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

136
Al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Lihat Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 79.
137
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Business Ethic in Islam), Terjemahan Samson
Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 16. Lihat, juga karya A. Kadir, Hukum
Syari’ah dalam Al-Qur’an, op. cit., h. 24.
Bahkan, di dalam Al-Quran terdapat pelbagai ayat yang membahas
tentang ekonomi atau bisnis berdasarkan prinsip syari’ah yang dapat
dipergunakan dalam menyelesaikan pelbagai masalah ekonomi / bisnis
dan keuangan.138 Syauqi Al-Fanjani menyebutkan secara eksplisit ada
21 ayat, lebih banyak dari yang diperkirakan khalaf yang hanya 10
ayat,139 yaitu :

 Al-Baqarah [2]: 188, 275, dan 279;

 An-Nisaa’ [4]: 5 dan 32;

 Hud [11]: 61 dan 116;

 Al-Israa’ [17]: 27;

 An-Nuur [24]: 33;

 Al-Jaatsiyah [45]: 13;

 Ad-Dzariyah: 19;

 An-Najm [53]: 31;

138
Dalam bidang hukum ekonomi, banyak surah dan ayat Al-Quran yang berisikan kritik
membangun, baik tentang teori-teori hukum ekonomi klasik maupun kontemporer yang
mengabaikan prinsip keadilan di satu sisi dan prinsip pemerataan di sisi lain. Teori ekonomi
kapitalis yang lebih mengabdi pada kepentingan kaum pemodal (the have) dengan
mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak tidak terlepas dari kritik-kritik Al-Quran.
Pengharaman riba, pengabaian hak-hak kesejahteraan ekonomi kaum fuqara dan masakin
khususnya anak-anak yatim demikian banyak dalam Al-Quran, paling sedikit mengisyaratkan
hal itu. Demikian pula dengan teori sosialis yang lebih mendewakan kesejahteraan kolektif
tanpa batas dengan mengabaikan hak-hak individu yang dijamin Al-Quran secara legal dan
transparan. Pelbagai kritik sosial ekonomi yang dilontarkan Al-Quran terhadap kondisi objektif
dari sistem ekonomi ribawi yang sama sekali mengabaikan asas keadilan dan pemerataan
sebagaimana diajarkan Islam merupakan indikator lain atas peduli Al-Quran terhadap
bangunan dan pemeliharaan sistem ekonomi. Demikian pula dengan pelurusan dan
pembenahan sistem ekonomi yang oleh Al-Quran diarahkan supaya mendasarkan
perekonomian pad asas keadilan yang berpemerataan atau asas pemerintahan yang berkeadilan.
Lihat Muhammad Amin Suma, “Kemungkinan Penyerapan Nash-Nash Al-Quran ke dalam
Kompilasi Bidang Ekonomi Syari’ah, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 2. Tahun 2007, hh. 104-105.
139
Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-‘Ala al-indunisi li-al-Dakwah al-
Islamiyyah, 1973), h. 32.
 Al-Hadiid [57]: 7;

 Al-Hasyr [59]: 7;

 Al-Jumu’ah [62]: 10;

 Al-Maarif: 24 dan 25; serta

 Al-Maa’un [107]: 1, 2, dan 3.140

Ini pun tampak belum memasukkan ayat-ayat Al-Quran yang


berhubungan dengan sejarah pasar, ekonomi, dan keuangan.141
b. Nash al-hadis
Hadis142 merupakan sumber hukum kedua dalam bisnis syari’ah.143 Di
dalamnya terdapat penjelasan teoritis dan praktik terapan mengenai
transaksi bisnis yang bernuansa syari’ah. Misalnya, sabda Nabi
Muhammad Saw.:
“Dua orang yang melakukan transaksi bisnis memiliki opsi tatkala
keduanya masih berada di tempat. Jika mereka jujur dan
memberikan gambaran (yang jelas tentang barang yang
dibisniskan), maka transaksi yang mereka lakukan akan
mendapatkan berkah. Namun, jika mereka menyembunyikan cacat
yang ada maka transaksi mereka akan jauh dari berkah” (HR
Muslim).
Dan bahkan dengan melihat pada kitab-kitab hadis yang disusun oleh
para ulama ahli waris dapat diketahui bahwa banyak sekali hadis
Rasulullah Saw. Yang berkaitan langsung dengan ekonomi dan

140
Mahmud Syauqi Al Danjani, Al Wajiz fi al iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir A.S.
dengan judul Ekonomi Islam Masa Kini, (Bandung: Husaini, 1989), h. 14.
141
Lihat Muhammad Amin Suma, “Kemungkinan Penyerapan Nash-Nash Al-Qur’an ke dalam
Kompilasi Bidang Ekonomi Syari’ah”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 2, Tahun 2007, h. 109.
142
Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan sikap diam Nabi yang tercatat dalam kitab-kitab Hadits.
Ia merupakan penafsiran dan penjelasan otentik tentang al-Qur’an. Lihat Mohammad Daud
Ali, op. cit., h. 97.
143
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, (Beirut; Daf Fikir, 1997), h. 37.
keuangan Islam. Hadis-hadis yang dapat dijadikan rujukan dapat
diambil dalam beberapa kitab hadis sebagai berikut:144

1) Sahih Bukhari tentang Al-Buyu ada 82 hadis, Ijarah ada 24-82


hadis, As-Salam ada 10 hadis, Al-Hawalah ada 9 hadis, Al-
Wakalah ada 17 hadis, Al-Muzaraah ada 28 hadis, dan Al-
Musawat ada 29 hadis.

2) Shahih Muslim ada 115 hadis dalam Al-Buyu.


3) Shahih Ibn Hiban, tentang Al-Buyu ada 141 hadis dan ijarah ada
38 hadis.

4) Shahih ibn Huzaemah ada 300 hadis tentang pelbagai hal yang
menyangkut ekonomi dan transaksi keuangan.

5) Sunah Abu Daud ada 29 hadis dalam kita Al-Buyu.


6) Sunan Al-Tirmidzi ada 117 hadis dalam kitab Al-Bayu.
7) Sunan Al-Nasai ada 254 hadis dalam kita Al-Bayu.
8) Sunan Ibn Majah ada 170 hadis dalam kitab Tijarah.
9) Sunan Al-Darimi ada 94 hadis dalam Al-Buyu.
10) Sunan Al-Kubra li Al-Baihaqi ada 1.058 hadis tentang
Al-Buyu dan 60 hadis tentang ijarah.
11) Musannaf Ibn Abi Syaibah ada 1.000 hadis.
12) Musannaf Abdul Razzaq ada 13.054 hadis tentang Al-Buyu.
13) Mustadrak Al-Hakim ada 254 hadis tentang Al-Buyu.
14) Dan masih banyak lagi hadis yang terdapat dalam kitab-kitab lain,
seperti Sunan Daruquthni, Shahih Ibn Huzaemah, Musnad
Ahmad, Musnad Abi Ya’la al-Musili, Musnad Abu ‘Awanah,

144
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 15.
Musnad Abu Daud al-Tayalisi, dan Musnad Al-Bazzar, dan
masih banyak lagi hadis-hadis yang mengupas tentang ekonomi
syari’ah dan dapat dijadikan sebagai sumber dalam perkara
ekonomi syari’ah di peradilan agama.
c. Peraturan perundang-undangan
Dalam kajian ilmu ushul fiqh bahwa salah satu sumber bisnis syari’ah
adalah ijtihad ulil amri.145 Yang dimaksud dengan ijtihad ulil amri di
sini adalah semua orang yang memegang urusan umat, baik sebagai
pengusaha maupun ulama.146
Dan salah satu hasil dari ijtihad ini adalah dengan lahirnya peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipakai
sebagai sumber hukum bisnis konvensional juga tetap dipakai sebagai
sumber hukum bisnis syari’ah,147 yaitu beberapa peraturan perundang-
undangan berikut ini:

1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan


Syari’ah.

3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang terkait dengan Perbankan


Syari’ah.

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria.


5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang BUMN.
145
Wahbah Az-Zuhaily, ibid., h. 46.
146
Yusuf Abdullah Daghfaq, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia. Terjemahan As’as Yasin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 25.
147
Di negara hukum Indonesia, kedudukan / posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya
sangatlah kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula dengan
signifikansi fungsi hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan terutama dalam upaya
menopang, melengkapi, dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran
dan fungsi hukum Islam secara umum dalam menopang, melengkapi, dan atau mengisi
kekosongan hukum nasional. Lihat Muhammad Amin Suma, “Arah Pengembangan Hukum
ekonomi Islam / Syari’ah di Indonesia”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 2, Tahun 2007, h. 96.
6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan.

7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perusahaan.


8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Dokumen
Perusahaan.

10) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan


Terbatas.

11) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

12) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak


Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.

13) Undang-Undang Nomor8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

14) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti


Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

15) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen.

16) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase


dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

17) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

18) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat.

19) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusi.


20) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri.

21) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

22) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

23) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

24) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

25) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang


Wakaf Tanah Milik.

26) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang


Pendaftaran Tanah.

27) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang


Perusahaan Terbatas (Perseroan).

28) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang


perusahaan (Perum).

29) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang


Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal.

30) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak


Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

31) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun


2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.

32) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
33) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1999 tentang Badan Koordinasi penanaman Modal.

34) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun


2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

35) Keputusan Menteri Negara Investasi / Kepala Badan


Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SK/1999.

36) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun


2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Perjanjian (akad/kontrak)
Menurut M. Syafi’i Antonio, dalam beberapa hal, praktik bisnis
konvensional dan praktik bisnis syari’ah memiliki persamaan, terutama
dalam sisi teknisi penerimaan uang, mekanisme transfer; teknologi
komputer; syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, seperti KTP,
NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Namun, terdapat
banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu
menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai serta
lingkungan kerja, dan lain-lain termasuk akad.148
Akad menjadi sesuatu yang penting dalam setiap transaksi,149 termasuk
akad / transaksi dalam bisnis syari’ah. Akad atau contract (dalam
bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa Belanda) dalam
pengertian lebih luas sering dinamakan dengan perjanjian.150 Akad
secara khusus berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran /
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan

148
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
h. 74.
149
M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h.
77.
150
Abdul R. Saliman, et al., Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh, (Jakarta:
Kencana, 2008), Cet. IV, h. 49. Lihat Juga M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah
Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 78.
kepemilikan) dalam lingkup yang disyari’atkan151 dan berpengaruh
pada sesuatu.152 Mustafa Ahmad Zarqa, pakar pikih Yordania asal
Syiria, menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau
beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri.
Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan
ijab qabul.153 Menurut Taufiq154 dalam mengadili perkara-perkara
sengketa ekonomi syari’ah sumber hukum utama adalah perjanjian,
sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Karenanya, hakim
harus memahami apakah suatu akad perjanjian itu sudah memenuhi
syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Apakah suatu akad
perjanjian itu sudah memenuhi asas kebebasan berkontrak, asas
persamaan dan kesetaraan, asas keadilan, asas kejujuran dan
kebenaran, serta asas tertulis. Hakim juga harus meneliti apakah akad
perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at Islam
seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya dan unsur
gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif, dan unsur dhulm
atau ketidakadilan. Jika unsur-unsur ini terdapat dalam akad perjanjian
itu, hakim dapat menyimpang dari isi akad perjanjian itu.
e. Fikih dan ushul fikih / qowaid fiqhiyyah
Fikih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab
fikih yang muktabar berisi pelbagai masalah muamalah yang dapat
dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
Selain itu, perlu juga dipahami pelbagai teori atau kaidah ushulliyyah
(ushul fikih) dan kaidah fiqhiyyah (qawaid fiqhiyyah) landasan untuk

151
Ibid, M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., h. 78. Akad ini bisa dianggap sah apabila sejalan
dengan kehendak syara’.
152
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 35.
153
M. Nadrotuzzaman Hosen, ibid., et al., h. 79.
154
Taufiq, “Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah”, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloga
Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006. Hh. 6-7.
pengembangan aspek hukum Islam yang tidak dijelaskan secara
terperinci dan mendetail dalam sumber utamanya, Al-Quran dan hadis.
f. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
Otoritas syari’ah tertinggi di Indonesia berada pada Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat DSN MUI,
pen), yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa
yang berhubungan dengan semua landasan syari’ah agama Islam, baik
masalah ibadah maupun muamalah, termasuk ekonomi, keuangan,
perbankan, dan juga bisnis syari’ah.155
Pada saat ini sebagian besar kegiatan ekonomi syari’ah / bisnis
syari’ah merujuk pada fatwa DSN MUI dalam operasionalisasinya.
Hingga Juli 2008, tidak kurang dari 63 fatwa telah dikeluarkan oleh
lembaga ini.156 Bahkan, tidak sedikit dari fatwa-fatwa tersebut yang
kemudian dijadikan bahan untuk membuat peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan operasionalisasi lembaga ekonomi
syari’ah di Indonesia. Misalnya, untuk fatwa-fatwa yang terkait dengan
perbankan syari’ah telah disusun Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang
merujuk pada fatwa-fatwa tersebut. Selain itu, untuk pengaturan
asuransi syari’ah, Kementerian Departemen Keuangan telah
mengeluarkan beberapa peraturan yang berpedoman pada ketentuan
fatwa DSN.
Oleh sebab itu, keberadaan DSN MUI157 sebagai produk ijtihad para
ulama Indonesia mengenai persoalan ekonomi syari’ah dapat dijadikan
sebagai sumber rujukan hukum. Dalam ilmu hukum, pendapat para

155
Keberadaan DSN MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen,
lebih kredibel, dan diakui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan fatwa yang
berkaitan dengan masalah-masalah syari’ah yang dihadapi oleh perbankan dan lembaga
keuangan syari’ah lainnya. Lebih lanjut, lihat Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 206.
156
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 19.
157
Fatwa yang dimaksud sudah disebarkan oleh MUI Pusat ke MUI Provinsi, Kabupaten / Kota,
dan juga sudah ada yang sampai kepada warga masyarakat, agar umat mengetahui hukum-
hukum ekonomi syari’ah. Lihat Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 130.
ulama ini bisa dimasukkan sebagai sumber hukum dalam kategori
doktrin hukum, yaitu pendapat para pakar hukum yang memiliki
karisma yang pemikirannya dijadikan rujukan oleh masyarakat.158
g. Adat kebiasaan
Bahwa dapat dibenarkan mengambil dalil yang hidup dalam
masyarakat sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syari’at
Islam. Hal-hal yang baik bisa menjadi kebiasaan, berlaku, dan diterima
secara umum, serta tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip syari’ah,
itulah urf. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa urf semacam ini dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Dari sinilah
muncul kaidah “al-‘adah muhakkamah” (bahwa kebiasaan itu dapat
dijadikan sumber hukum). Berdasarkan ketetapan urf, para ahli hukum
islam menyatakan sah bai’ salam, bai’ istishna, bal’ muth’ah, ijarah,
dan lain-lain.
h. Yurisprudensi
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi (putusan pengadilan agama)
yang berhubungan dengan hukum ekonomi / bisnis syari’ah.
Yurisprudensi yang ada hanya putusan pengadilan niaga tentang
hukum ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat dipergunakan
sebagai bahan perbandingan dalam pemeriksaan dan pemutusan
perkara ekonomi syari’ah.

C. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BISNIS


SYARI’AH
1. Bisnis Syari’ah pada Masa Rasulullah Saw.
Bisnis syari’ah sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Masih
hidup. Hal ini terbukti bahwasanya Rasul adalah seorang
businessman yang terkenal jujur, amanah, mencintai customer,
menepati janji, dan bertanggung jawab.159 Kehidupan Rasulullah
158
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), hh. 137-138.
159
http://Syari’ahbisnis.com/bisnisSyari’ah.html, diakses pada 25 Februari 2010.
Saw. Dan masyarakat Muslim pada masa Beliau adalah teladan
yang paling baik dalam implementasi Islam, termasuk dalam
bidang ekonomi / bisnis. Meskipun pada masa sebelum kenabian,
Muhammad Saw. Adalah seorang pebisnis – yang dimaksudkan
perekonomian di sini adalah pada masa Madinah. Pada periode
Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun
perekonomian sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk
mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah
pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun
masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan
beradab. Walaupun perekonomian pada masa Beliau relatif masih
sederhana,160 Beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang
mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari
perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi
terhadap etika dan norma serta perhatiannya yang besar terhadap
keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus
dilakukan secara etis dalam bingkai syari’ah sementara sumber
daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang, tetapi
harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki
peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah
dan masyarakat juga bertindak aktif alam mewujudkan
kesejahteraan dalam menegakkan keadilan.161 Masalah-masalah
ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus
diperhatikan.162 Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim,
Rasulullah Saw. Bersabda:

160
Konsep masyarakat sejahtera dan beradab sering disebut masyarakat madani (civilized
society), di mana konsep ini mengacu kepada masyarakat Madinah pada masa Rasulullah
tersebut.
161
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), hh. 97-98.
162
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), Cet.
V, h. 117.
“Kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”.163
Maka upaya untuk mengentas kemiskinan merupakan dari
kebijakan-kebijakan sosial yang dikeluarkan Rasulullah Saw.
Sebagaimana pada mana masyarakat Arab lainnya, mata
pencaharian mayoritas pendudukan Madinah adalah berdagang,
sedangkan sebagian yang lain bertani, beternak, dan berkebun.
Berbeda dengan Makkah yang gersang, sebagian tanah di Madinah
Relatif subuh sehingga pertanian, peternakan, dan perkebunan
dapat dilakukan di kota ini. Kegiatan ekonomi pasar relatif
menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar mekanisme
pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam maka
Rasulullah mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang
bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah
juga membentuk baitul maal, sebuah institusi yang bertindak
sebagai pengelola keuangan negara. Baitul maal ini memegang
peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam
melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat.
Selanjutnya, untuk memutar roda perekonomian, Rasulullah
mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat
(misalnya muzaara’ah, mudharabah, musaqah, dan lain-lain)
sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun, sejalan dengan
perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan
negara juga meningkat. Sumber pemasukan negara berasal dari
beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr.
Secara garis besar pemasukan negara ini dapat digolongkan
bersumber dari Umat Islam sendiri, non-Muslim, dan masyarakat
umum, sebagaimana dalam tabel berikut :

163
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqail di dalam kitab Adh-Dhu’afa, Abu Mu’aim di dalam kitab al-
Hulliyyah, dan Abu Al-Hasan Ibnu Kuwaih di dalam kitab Tsalasatu Majalis lewat jalur
periwayatan Sufyan dari Hajjaj dari Yazid Ar-Ruqaisyi dari Anak bin Malik dengan derajat
marfu’.
Tabel 3.1
Sumber-Sumber Pendapatan pada Masa Rasulullah Saw.164

Dari Kaum Dari Kaum Non- Umum


Muslimin Muslimin
1. Zakat 1. Jizyah 1. Ghanimah
2. Ushr (5-10%) 2. Kharaj 2. Fay
3. Ushr (2.5%) 3. Ushr (5%) 3. Uang tebusan
4. Zakat fitrah 4. Pinjaman dari
5. Wakaf kaum muslimin
atau non-
6. Amwal fahdia Muslim

7. Nawaib 5. Hadiah dari


pemimpin atau
8. Shadaqah yang pemerintah
lain negara lain.
9. Khumus
Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari
beberapa sumber, misalnya, tebusan tawaran perang, pinjaman dari
kaum Muslim, khusus atas rikaz harta karun temuan pada periode
sebelum Islam, amwal fahdla (harta kaum Muslimin yang
meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak bagi muslimin)
kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa
darurat, zakat fitra, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan

164
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), h. 99.
seorang Muslim pada acara keagamaan), ataupun sedekah dari
kaum Muslim.
Penerapan negara dalam menjaga kesejahteraan rakyatnya
tercermin dari distribusi pengeluaran negara sebagaimana tertera
dalam tabel 3.2. berikut ini.
Primer Sekunder
1. Biaya pertahanan, seperti 1. Bantuan untuk orang yang
persenjataan, unta, kuda, belajar agama di Madinah.
dan persediaan.
2. Hiburan untuk para
2. Penyalur zakat dan ushr delegasi keagamaan.
kepada
menerimanya
yang berhak
menurut
3. Hiburan untuk para utusan
ketentuan Al-Quran. suku dan negara serta biaya
perjalanan mereka.
3. Pembayaran gaji untuk Pengeluaran untuk duta-
wali, qadi, guru, imam, duta negara.
muadzin,
negara lain.
dan pejabat
4. Hadiah untuk pemerintah
negara lain.
4. Pembayaran upah para
5. Pembayaran untuk
sukarelawan.
pembebasan kaum
5. Pembayaran utang negara. Muslimin yang menjadi
6. Bantuan untuk musafir budak.
(dari daerah Fadak) 6. Pembayaran denda atas
mereka yang terbunuh
denda atas mereka yang
terbunuh secara tidak
sengaja oleh pasukan
Muslim.
7. Pembayaran utang orang
yang meninggal dalam
keadaan miskin.
8. Pembayaran tunjangan
untuk orang miskin.
9. Tunjangan untuk anak
saudara Rasulullah Saw.
10. Pengeluaran rumah
tangga Rasulullah Saw.
(hanya sejumlah kecil: 80
butir kurma dan 80 butir
gandum untuk setiap
istrinya).
11. Persediaan darurat
(sebagian dari pendapatan
Perang Khaibar)

2. Perkembangan Bisnis Syari’ah di Indonesia


Berbicara tentang perkembangan bisnis syari’ah di Indonesia maka tak
lepas dari perbincangan perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia
karena kali pertama yang muncul dan lahir dan bahkan ramai dibicarakan
banyak kalangan dari bisnis syari’ah adalah perbankan syari’ah. 165
Perkembangan bisnis berdasarkan prinsip syari’ah di Indonesia sangat
pesat. Gagasan bisnis syari’ah Indonesia terlambat muncul jika
dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mulai tahun 1963. Pada awal
tahun 1990-an para profesional Muslim baru menggagas kelahiran institusi
keuangan syari’ah pertama di Indonesia, yang kemudian dinamakan Bank
Muamalat pada tahun 1991.
Bisnis syari’ah saat ini sedang diuji oleh realitas perekonomian dunia
termasuk Indonesia, yaitu dengan adanya gejolak moneter internasional
baru-baru ini dan bahkan masih terasa dampaknya. Banyak ahli ekonomi
yang mengatakan bahwa bisnis syari’ah tidak akan terpengaruh oleh
gejolak tersebut. Hal ini disebabkan bisnis syari’ah tidak menggunakan
sistem riba dan bergerak di bidang sektor riil. Sektor riil tidak akan dapat
dipengaruhi oleh gejolak dan spekulasi moneter.166 Perekonomian syari’ah
telah membuktikan bahwa dia tidak ikut mengalami krisis keuangan pada

165
Perkembangan bank syari'ah di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan perbankan syari'ah
di negara-negara Islam pada tahun 1970-an. Pada awal periode 1980-an, para cendekiawan
Muslim telah mulai mengembangkan wacana dan studi mengenai bank syari'ah. Setelah
melalui kajian yang cukup panjang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus 1990
menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor. Hasil lokakarya
tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada
tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuklah kelompok kerja
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Lihat Ahmad Ifham Sholihi, Ini Lho, Bank
Syari'ah, (Jakarta: Hamdallah, 2008) h. 11.
166
http://www.fai.umi.ac.id/, diakses pada 6 Mei 2010.
masa krisis ekonomi yang bermula pertengahan tahun 1997 yang sampai
sekarang masih terasa dampaknya.
Indonesia saat ini sedang berusaha memulihkan sistem perekonomian
kapitalisnya, setelah dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak
pertengahan 1997, dan bahkan banyak pihak yang khawatir akan menjadi
krisis ekonomi baba dua. Kekhawatiran ini dipicu oleh sering anjloknya
pasar saham terkemuka di pelbagai negara dan lesunya bisnis sektor
moneter.
Salah satu cara untuk keluar dari krisis ekonomi, pemerintah Indonesia
melirik sistem perekonomian syari’ah yang telah teruji cukup tangguh
dalam menghadapi krisis ekonomi 1997. Mengapa perekonomian syari’ah
tak bergeming dalam menghadapi krisis ekonomi itu? Jawabnya adalah
perekonomian syari’ah tidak terpengaruh oleh tingkat bunga perbankan
yang mendorong timbulnya inflasi. Sementara perekonomian yang
berbasis kapitalistik sangat bergantung pada tingkat bunga perbankan
sehingga sangat rentan terhadap krisis moneter.
Menurut Arifin Hamid, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sistem dan
model ekonomi berbasis syari’ah ini bukan saja menjanjikan
prospektivitas yang baik dan kompetitip, melainkan juga telah teruji di
saat-saat ekonomi berbasis konvensional mengalami tekanan, bahkan tidak
sedikit yang mengalami likuidasi. Karenanya, sistem ini bukan saja
berpotensi menjadi alternatif di antara sistem ekonomi konvensional,
melainkan juga tetap di prediksi akan menjadi pilihan yang terbaik bagi
bangsa ini pada masa yang akan datang.167
Belajar dari keunggulan sistem perekonomian syari’ah, apalagi setelah
berhasil menjadi pemenang dalam pertarungan mengatasi krisis ekonomi,
maka bisnis syari’ah bagaikan cendawan (jamur) yang tumbuh setelah
hujan. Salah satu bisnis syari’ah yang sekarang semakin membumi adalah
perbankan syari’ah. Perbankan syari’ah semakin menjanjikan, terbukti

167
M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari'ah di Indonesia, (Jakarta, Paramuda
Bookstore, 2008), h. Pengantar.
eksistensi perbankan syari’ah mengalami beberapa kurun waktu dalam
perkembangan, yaitu :

 Kurun waktu pertama antara 1992-1998

Beroperasi di bawah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang


Perbankan.

 Kurun waktu kedua antara 1998-sekarang

Yaitu setelah diundangnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.168
Hal ini menunjukkan bahwa semakin adanya perubahan undang-undang
semakin baik pula objek undang-undangnya.
Selama kurun pertama sampai akhir tahun 1998, jumlah bank umum
syari’ah hanya satu bank (Bank Muamalat), hanya saja sejumlah kantor
bertambah dari 2 kantor (1 kantor pusat dan 1 kantor kas) menjadi 26
kantor (1 kantor pusat, 9 kantor cabang, 1 kantor cabang pembantu, dan 15
kantor kas), sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (NPRS) lelah
bertambah dari 20 BPRS menjadi 73 BPRS.169
Berdasarkan data dewa Syari’ah Nasional hingga 30 Agustus 2008, telah
ada 3 bank umum syari’ah, 14 Unit Usaha Syari’ah Bank Umum, 15 Unit
Usaha Syari’ah Bank Pembangunan Daerah, 3 Bank Kustodian Syari’ah,
dan 117 BPRS.170 Dengan total aset per akhir Desember 2008 sebesar
20,88 triliun sementara, jumlah asuransi syari’ah saat ini telah mencapai
52 jenis asuransi, yang terdiri atas 43 asuransi syari’ah, 3 reasuransi
syari’ah, dan 6 broker asuransi dan reasuransi syari’ah. 171 Dengan
demikian, selama dua kurun waktu kedua, dari tahun ke tahun, yaitu
168
Zainulbahar Noor, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan Fenomena
Kebangkitan Ekonomi Islam, (Jakarta: Bening Publishing, 2006), h. 442.
169
Data statistik Bank Indonesia pada akhir Juli 2002 jaringan bank syari'ah telah meningkat
menjadi 20%, 202 kantor, yang terdiri atas 119 kantor bank umum dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syari'ah (BPRS), ibid., h. 443.
170
Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Daftar Lembaga Keuangan
Syari'ah s.d. 30 Agustus 2008, (Jakarta: Arsip.DSN MUI).
171
Ibid
sampai 30 Agustus 2008, jaringan bank syari’ah telah berkembang sebesar
35% dibandingkan dengan akhir kurun waktu pertama.
Sebagai upaya memberikan advokasi kepada lembaga perekonomian
syari’ah dan juga kepada nasabah lembaga ekonomi syari’ah maka perlu
dilakukan penguatan dalam aspek hukum bisnis syari’ah, yaitu
mengenalkan hukum Islam dalam masalah bisnis; mengenalkan
perundangan-undangan tentang bisnis, baik konvensional maupun syari’ah
yang berlaku di Indonesia; aspek hukum apa saja yang terdapat pada bisnis
syari’ah; dan mengenalkan cara penyelesaian sengketa bisnis syari’ah.172
Peluang pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia pada masa
mendatang cukup menggembirakan. Pertama, dengan dukungan kurang
lebih 88% penduduknya yang Muslim diperkirakan size market yang bisa
digarap jauh lebih besar. Kedua, dengan dukungan sumber daya alam yang
melimpah, proyek-proyek yang bisa dibiayai dengan skim syari’ah pun
lebih banyak dari infrastruktur, perkebunan, dan migas. Ketiga, meskipun
share perbankan syari’ah masih terlalu kecil dibandingkan dengan negara-
negara lain yang sudah lebih dulu mengembangkan industri ini, dilihat dari
tren pengembangannya, bank syari’ah di Indonesia jauh lebih pesat.
Bahkan, jika dibandingkan dengan Malaysia, persentase pertumbuhan
perbankan syari’ah Indonesia mencapai 60% atau tiga kali lipatnya negeri
jiran itu.
Tabel 3.3.
Pertumbuhan Perbankan Syari’ah di Beberapa Negara173
Pertumbuhan
Negara 2002 2003 2004 2005 2006
2002-2005
Turki 1.5 1.6 1.5 2.4 2.7 44
Indonesia 0.4 0.6 1.2 1.4 1.6 60
Kuwait 15 16.2 18.1 21.6 25.4 29
Malaysia 8.9 9.7 10.5 11.7 12.3 20
Qatar 12.5 12.5 13.7 14.4 15.9 40
UAE 9 9 10.9 14.4 15.9 39

172
http://www.fai.umi.ac.id/. Diakses pada 6 Mei 2010.
173
Ariawan Amin, Menata Perbankan Syari'ah di Indonesia, (Jakarta: UNIN Press, 2009), h.
105.
Keempat, baik dukungan dari pemerintah maupun Bank Central mulai
konkret. Lolosnya Undang-Undang Perbankan SYari’ah dan Undang-
Undang Surat Berharga Sukuk Negara (UU SBSB), misalnya menjadi
tanda pemerintah cukup serius mendukung perkembangan lembaga
keuangan syari’ah termasuk perbankan syari’ah. Demikian pula dengan
pelbagai langkah pengembangan terobosan yang dilakukan Bank
Indonesia, seperti office channeling yang membuat jaringan perbankan
syari’ah semakin cepat berkembang. Kelima, dukungan pemerintah dan
Bank Indonesia saja tidak cukup, apabila masyarakat sendiri apatis dan
tidak bergairah terhadap penggunaan bank syari’ah. Karenaitu, menjadi
penting ketika dukungan pun mengalir dari ormas keagamaan seperti yang
dilakukan baru-baru ini oleh organisasi keagamaan terbesar, seprti
Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,174 atau dengan munculnya
beberapa buku, jurnal, karya ilmiah tentang ekonomi syari’ah yang tak
bisa dihitung dengan jari, atau bahkan semakin ramainya perguruan tinggi
yang membuka jurusan perbankan syari’ah, baik pada tingkat strata satu
maupun level pascsarjana. Ini semua merupakan bukti kuat bahwa
pertumbuhan perbankan syari’ah sangat menjanjikan dan terus
berkembang pesat.
hal mendasar mengapa bank itu diperlukan adalah karena institusi ini bisa
memainkan perannya sebagai lembaga intermediasi antara penyimpan
dana dan peminjam dana.175 Oleh karena itu, wajarlah apabila mengukur
peran bank dalam bentuk perekonomian sekaligus bisnis sebuah negara
adalah dilihat dari seberapa besar fungsi intermediasi ini bisa dimainkan.176

D. KARAKTERISTIK KONTRAK / KAD DALAM BISNIS SYARI’AH


1. Karakteristik Akad Bisnis Syari’ah
a. Syarat dan rukun akad

174
Ariawan Amin, Ibid, hh. 104-105.
175
Shelagh Haffernan, Modern Banking in Theory and Practice, (Wes Sussex: John Wiley and
Sons, 2003), h. 15.
176
Ariawan Amin, ibid, h. 105.
Munculnya syarat dan rukun dalam akad bertujuan untuk tegaknya
akad anta rodin, akad yang syar’i, serta menghinnya dari unsur-unsur
merugikan par apihak. Ada empat syarat akad yang harus dipenuhi
dalam melakukan kontrak / akad, yaitu :

 Pertama, syarat berlakunya akad (in’iqad)

Syarat ini adalah umum dan ada yang khusus. Syarat umum harus
selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada
pelaku akad, objek akad, dan shighah akad. Akad bukan pada
sesuatu yang diharamkan dan akad pada sesuatu yang bermanfaat.
Sementara syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada
akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad
nikah.

 Kedua, syarat sahnya akad (shihah)

Syarat ini merupakan hal yang mesti secara syar’i agar akad
berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari
cacat.
 Ketiga, syarat terealisasinya akad (nafadz)
Nafadz para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad
(ahliyah dan wilayah), akad harus dilaksanakan atas persetujuan
para pihak akan adanya tekanan, penipuan, atau penggambaran
yang keliru, dan sebagainya.177

Rukun akad ada tiga, yaitu:


 Pertama, pelaku akad;
 Kedua, objek akad; dan
 Ketiga, shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul
Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk
dirinya (ahliyah) dan mempunyai otoritas syari’ah yang diberikan pada
seseorang untuk merealisasikan akad sebagai perwakilan dari yang lain
177
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 53.
(wilayah). Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu
yang jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab gabul harus
jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul dan bersambung antar
aijab dan qabul.
b. Pembagian proporsi keuntungan
Akad dalam artis syari’ah dilakukan secara syar’i, sesuai dengan
konsep yang ditawarkan Al-Quran dan al-hadis, terhindar dari
penipuan serta cacat hukum dapat mengakibatkan salah satu pihak
merasa dirugikan. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus
dipenuhi beberapa syarat, di antaranya:

1) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus


disepakati di awal kontrak / akad. Jika proporsi belum ditetapkan,
akad tidak sah menurut syari’ah.

2) Rasio / nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus


ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari
usaha dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan.
Tidak diperbolehkan untuk menetapkan hukum untuk mitra
tertentu atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan
modal investasinya.
c. Penentuan proporsi keuntungan
Dalam menentukan proporsi keuntungan terdapat beberapa pendapat
dari para ahli hukum Islam sebagai berikut :
1) Malik dan Imam Syafi’i
Berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara mereka
menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
2) Imam Ahmad
Berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari
proporsi modal yang mereka sertakan.
3) Imam Abu Hanifah
Yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah,
berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari
proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang
memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya,
tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
d. Pembagian kerugian
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menanggu kerugian
sesuai dengan porsi investasinya. Oleh karena itu, jika seorang mitra
menyertakan 40% modal, dia harus menanggung 40% kerugian. Jadi,
menurut Imam Syari’i porsi keuntungan atau kerugian dari masing-
masing mitra harus sesuai dengan porsi penyertaan modalnya.
Sementara itu menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad porsi
keuntungan dapat berbeda dari porsi modal yang disertakan, tetapi
porsi kerugian harus ditanggung sesuai dengan porsi penyertaan modal
masing-masing mitra. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan para
pihak, sedangkan kerugian selalu bergantung pada proporsi
investasinya.
2. Persyaratan dalam Akad Syari’ah178

a. Menggunakan kata bentuk akad (musyarakah, mudharabah, dan


sebagainya)

b. Menyebut hari ini dan tanggal akad dilakukan.


c. Menyebutkan pihak yang bertransaksi dan atau yang mewakilinya.
d. Menetapkan bank dan nasabah sebagai mitra atau partner.
e. Mencantumkan nisbah / bagi yang disepakati bagi masing-masing
pihak.

178
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Darus Maktabah, 1984), Juz 4-5.
Oihat AAOIFI, Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions, 2002.
Lihat juga Dewa Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa DSN, 2003.
f. Mencantumkan prosi kerugian dibebankan sebagai dengan kontribusi
dan masing-masing.

g. Menetapkan sanksi bagi nasabah apabila lalai membayar (wanprestasi)


bagi hasilpada waktunya.

h. Menetapkan kesepakatan apabila force majeur.


i. Menetapkan jaminan dari pihak ketiga apabila diperlukan.

j. Menetapkan sanksi-sanksi apabila diperlukan.

k. Menetapkan jenis usaha yang akan dilakukan nasabah.


l. Menetapkan Badan Arbitrase Syari’ah sebagai tempat penyelesaian
apabila terjadi sengketa.

m. Ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.

n. Menggunakan real transactionary cost atau real cost yang ditetapkan


ALCO masing-masing.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh
dalam mengadakan akad, tetapi juga ada cara lain yang dapat
menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama menerangkan
beberapa cara yang ditempuh dalam akad.179
a. Tulisan (kitabah)
Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya, dua aqid berjauhan
tempatnya, maka ijab dan qabul boleh dengan cara kitabah. Atas dasar
inilah fuqaha membentuk kaidah: “tulisan itu sama dengan ucapan”.
Dengan ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak
dengan jelas.
b. Isyarat

179
M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h.
82.
Isyarat bagi orang-orang tertentu akad atau ijab dan qabul tidak dapat
dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya, seseorang yang
bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa atau orang
yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan qabul
dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan yang tidak pandai tulis baca
dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan dengan tulisan.
Dengan demikian, qabul atau akad dilakukan dengan syarat adalah sah
secara hukum oleh karenanya muncul kaidah, ”isyarat bagi orang bisu
ama dengan ucapan lidah”. Isyarat bisa dijadikan cara dalam
melakukan akad.
c. Saling memberi (ta’athi)
Seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan
orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa
ditentukan besar imbalan.
3. Karakteritik Bisnis Syari’ah Vs Nonsyari’ah
Agar lebih jelas, penulis bandingkan beberapa karakteristik akad syari’ah
dan nonsyari’ah atau konvensional, yaitu sebagai berikut.180
Syari’ah Karakter Bisnis Nonsyari’ah
Aqidah Islam (nilai- ASAS Sekularisme (nilai-
nilai transendental) nilai materiil)
Dunia-Akhirat MOTIVASI Dunia
Profit dan benefit, ORIENTASI Profit, pertumbuhan,
pertumbuhan, keberlangsungan
keberlangsungan,
keberkahan
Tinggi, bisnis adalah ETOS KERJA Tinggi, bisnis adalah
bagian dari ibadah. kebutuhan duniawi
Maju dan produktif, SIKAP MENTAL Maju dan produktif
konsekuensi keimanan sekaligus konsumtif,
dan manifestasi konsekuensi
kemusliman aktualisasi diri.
Cakap dan ahli di KEAHLIAN Cakap dan ahli di
bidangnya, bidangnya,
konsekuensi dari konsekuensi dari
kewajiban seorang reward and
muslim punishment
180
http://beyblog.syafaatadvertising.net/, diakses pada 14 Mei 2010.
Terpercaya dan AMANAH Tergantung kemauan
bertanggung jawab, individu (pemilik
tujuan tidak kapital), tujuan
menghalalkan cara menghalalkan cara
Halal MODAL Halal dan haram
Sesuai dengan akad SDM Sesuai dengan akad
kerjanya kerjanya atau sesuai
keinginan pemilik
modal
Halal SUMBER DAYA Halal dan haram
Visi dan misi MANAJEMEN Visi dan misi
organisasi terkait erat STRATEGIK organisasi ditetapkan
dengan misi berdasarkan
penciptaan manusia di kepentingan materi
dunia belaka.
Jaminan halal bagi MANAJEMEN Tidak ada jaminan
setiap masukan, proses OPERASI halal bagi setiap
dan keluaran, masukan, roses dan
mengedepankan keluaran,
produktivitas dalam mengedepankan
koridor syari’ah produktivitas dalam
koridor manfaat
Jaminan halal setiap MANAJEMEN Tidak ada jaminan
masukan, proses dan KEUANGAN halal bagi setiap
keluaran keuangan masukan, proses dan
keluaran keuangan
Pemasaran dalam MANAJEMEN Pemasaran
koridor jaminan halal PEMASARAN menghalalkan cara
SDM profesional dan MANAJEMEN SDM SDM profesional dan
berkepribadian Islam; SDM adalah faktor
SDM adalah produksi, SDM
pengelolaan bisnis bertanggung jawab
SDM bertanggung pada diri dan majikan.
jawab pada diri,
majikan, dan Allah
Swt.
Berdasarkan perbandingan tersebut di atas, maka dapat dibedakan dengan
jelas bahwa bisnis syari’ah adalah upaya untuk membumikan perintah
ilahiyyah, menegakkan bisnis sesuai Al-Quran dan hadis dan oleh
karenanya dengan berbisnis secara syar’i berarti tidak hanya business
oriented, tetapi juga falah oriented (dunia dan akhirat), di mana tujuan
kegiatannya merupakan ibadah, dan semua akad harus dilandasi dengan
ikatan halal, tidak ada pihak yang merasa dirugikan, tertipu, dan merasa
dibohongi. Dengan demikian, jelas bahwa bisnis syari’ah adalah bisnis
yang halal yang sesuai dengan nilai-nilai syari’ah dan tidak meraih
keuntungan sebanyak mungkin bagi satu pihak sementara pihak yang lain
merasa dirugikan. Sangat logic-lah belakangan ini bahwa dari tahun ke
tahun perkembangan bisnis syari’ah semakin menjanjikan. Hal ini terbukti
dengan banyaknya perusahaan yang tadinya konvensional berbalik ke arah
menuju bisnis syari’ah, sebut saja, bank,181 reksadana, hotel asuransi,
gadai, dan lain-lain. Bahkan, bisnis syari’ah ini banyak didukung oleh
lembaga-lembaga terkait yang banyak memikirkan tentang bank syari’ah,
sebut saja Dewa Syari’ah Nasional (DSN), Pusat Komunikasi Ekonomi
Syari’ah (PKES), Masyarakat Ekonomi Syari’ah (MES), Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (Basyamas), dan lain-lain.182
4. Hubungan Notaris dengan Bisnis Syari’ah
Agar suatu perjanjian mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat
di hadapan notaris. Karena itu, setiap bisnis termasuk di dalamnya adalah
bisnis syari’ah, selalu membutuhkan notaris sebagai pejabat yang
membuat akta otentik sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Di samping itu, notaris juga diberi kewenangan untuk
memberikan legal advice kepada kliennya agar mencapai kesadaran
hukum yang tinggi, yaitu menyadari dan menghayati hak dan
kewajibannya sehingga transaksi yang diperjanjikan di hadapan notaris
tidak cacat secara hukum.

181
Terdapat banyak faktor yang berkontribusi mendorong Bertumbuhnya perbankan syari'ah
nasional dalam tahun-tahun mendatang. Faktor pendorong terpenting, antara lain, kejelasan
visi, misi, dan sasaran pengembangan perbankan syari’ah nasional oleh otoritas perbankan
yang diwujudkan dalam cetak biru pengembangan perbankan syari’ah nasional. Termasuk di
dalamnya adalah komitmen untuk menyempurnakan dan melengkapi ketentuan operasional
yang sesuai dengan karakteristik usaha bank syari'ah, mendukung inftrastruktur yang dapat
mendorong beroperasinya bank syari'ah secara lebih efisien, serta bantuan-bantuan teknis yang
diberikan dalam rangka meningkatkan kompetensi para bankir syari'ah dan dalam bentuk
survei pemetaan potensi bank syari'ah di pelbagai wilayah di tanah air. Lihat M. Luthfi Hamidi,
Jejak-Jejak Ekonomi Syari'ah, (Jakarta: Senayan Abadi, 2003), h. 17.
182
Ahmad Ifham Sholihin, ibid., h. 28.
Karena semakin berkembangnya bisnis yang serba syari’ah, keberadaan
notaris syari’ah yang paham betul tentang akad / transaksi yang
berbasiskan syari’ah sangat diperlukan. Jadi, antara notaris dan bisnis
konvensional dan juga bisnis syari’ah sangat berhubungan, laksana dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
BAB IV
URGENSI NOTARIS SYARI’AH

E. URGENSI NOTRAIS “SYARI’AH” DALAM PERSPEKTIF PARA


NOTARIS
Dalam bab ini akan didiskusikan respons para notaris terhadap urgensi notaris
syari’ah di Indonesia dan bagaimana kebutuhan mereka terhadap notaris
syari’ah dan bagaimana pula pendapatnya tentang kemungkinan lahirnya
notaris syari’ah di Indonesia.
Tabel 4.1.
Pernah Mendengar
Unsur Istilah Notaris Syari’ah Keterangan
Ya Tidak
Norman Rizal, S.H. Iya pernah

Notaris Jakarta Selatan)183
Linda, S.H. (Majelis Belum pernah
Pengawas Daerah Notaris 
Jakarta Pusat)184
Titi Sulistiawati, S.H. Notaris itu sama

(Notaris BNI Syari’ah)185 saja
Dr. Amrul Partomuan Belum pernah
Pohan, S.H., LL.M 
(Pengurus INI) 186

Arnisah Vonna, S.H. Pernah diskusi



(Dewan Penasihat INI)187
Saifuddin Arief, S.H., M.H. Mau menggarap
(Forum Notaris Syari’ah)  buku tentang
notaris syari’ah
Muchlis Patahna, SH., Pernah
M.Kn. 
(Notaris Jakarta Pusat)
Total 85,7% 14,3% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan

183
Norman Rizal, Notaris Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Juni 2010.
184
Linda, Notaris dan Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Pusat, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 15 Juni 2010.
185
Titi Sulistiawati, Notaris di BNI Syari’ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Juni 2010.
186
Amrul Partomuan Pohan, Pengurus INI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni 2010.
187
Arnisah Vonna, Dewan Penasihat INI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni 2010.
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, mayoritas responden (85,7%) pernah mendengar
wacana notaris syari’ah. Wacana ini mengemuka seiring berkembangnya
bisnis yang serba syari’ah, bank syari’ah, dan asuransi syari’ah sehingga
semua bisnis mesti berlabel syari’ah untuk menggaet pasar Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Tabel 4.2
Setujukah
Dengan Lahirnya
Unsur Keterangan
Notaris Syari’ah
Ya Tidak
Norman Rizal, S.H. Perintah ilahi,
Notaris Jakarta Selatan) orang yang
menangani akad
 syari’ah adalah
orang yang harus
mengerti tentang
akad syari’ah
Linda, S.H. (Majelis Sama saja dengan
Pengawas Daerah Notaris  notaris biasa
Jakarta Pusat)
Titi Sulistiawati, S.H. Notaris yang
(Notaris BNI Syari’ah) mengerti syari’ah
 setuju, tetapi
tidak pakai kata
syari’ah.
Dr. Amrul Partomuan Tidak mesti pakai
Pohan, S.H., LL.M kata syari’ah,
(Pengurus INI) seperti notaris

orang asing, tidak
disebut notaris
asing.
Arnisah Vonna, S.H. Karena kita
(Dewan Penasihat INI) mayoritas Islam,
harus berani
menegakkan
syari’ah karena
 prinsip syari’ah
adalah kebutuhan
hidup yang
dirasakan bukan
hanya oleh orang
Muslim saja.
Saifuddin Arief, S.H., M.H.  Ini merupakan
(Forum Notaris Syari’ah) jihad, saya
sebelum
meninggal dunia
harus ada notaris
syari’ah, sesuai
Al-Quran dan
hadis
Muchlis Patahna, SH., Karena mayoritas
M.Kn.  penduduk Islam
(Notaris Jakarta Pusat)
Total 57,4 42,6 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan

Berdasarkan tabel 4.2. di atas terdapat dua pendapat yang hampir berdekatan.
Sekitar 57,4% dari responden menyatakan setuju adanya notaris syari’ah
dengan beragam alasan, di antaranya, bahwa notaris syari’ah adalah perintah
ilahi; orang yang menangani akad syari’ah adalah orang yang harus mengerti
tentang akad syari’ah; tidak bisa orang menangani akad syari’ah yang tidak
mengerti akad syari’ah, bahkan akan terjerumus pada praktik ribawi; mereka
berkeyakinan bahwa suatu saat akan muncul notaris syari’ah; kemudian
mereka beralasan bahwa menegakkan syari’ah harus secara kaffah, tidak bisa
setengah-setengah; lahirnya notaris syari’ah berarti jihad; untuk menghindari
praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi; mereka
juga meyakini bahwa kedepan notaris syari’ah bukan hanya wacana; melihat
pasar yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Mereka juga memberikan
catatan bahwa harus adanya konsekuensi di antara para notaris untuk
melahirkan notaris syari’ah kemudian diajukan ke dewan legislatif untuk
dijadikan undang-undang; ada juga yang menganalogikan dengan notaris
pelelangan, notaris pasar modal, notaris koperasi, dan bahkan akan lahir
notaris wakaf, mengapa tidak muncul notaris syari’ah, notaris yang betul-betul
paham tentang akad syari’ah; dan mereka juga tidak menafikan bahwa selama
ini banyak notaris yang paham tentang akad syari’ah karena mereka adalah
jebolan dari pesantren, tetapi kuantitasnya masih bisa dihitung jari.
Sementara itu, 42,6% responden menyatakan bahwa notaris itu sama saja, baik
notaris syari’ah maupun notaris tanpa syari’ah karena notaris itu pejabat
publik yang diangkat oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang
tugasnya menyaksikan dan membuat akta otentik, permasalahan yang
dihadapinya adalah akad syari’ah, tidak serta-merta harus diikuti oleh kata-
kata syari’ah, karena notaris selama ini sudah syari’ah, dianalogikan kalau ada
notaris orang asing, tidak serta-merta disebut notaris asing. Senada dengan itu
Amir Syari’fuddin, guru Besar UIN Jakarta menyatakan bahwa setiap nama
itu memiliki petuah, penamaan bank syari’ah karena ada yang salah dengan
bank konvensional, yaitu praktik ribawi, sementara notaris selama ini tidak
ada yang salah.
Dari paparan di atas, mayoritas responden merasa perlu untuk dilahirkannya
notaris syari’ah di Indonesia. Demi terwujudnya notaris syari’ah harus ada
upaya konkret yang perlu dilakukan, di antaranya, peran Kementerian Agama
atau juga perguruan tinggi Islam mengadakan program pelatihan notaris
syari’ah bekerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat
(selanjutnya disingkat LSM, pen.) yang bergerak di bidang ekonomi syari’ah.
Setelah diadakan program pelatihan, kemudian dilakukan pengujian secara
bersama-sama. Program ini bukan hanya isap jempol belaka yang dengan
mudah mengeluarkan ijazah atau meluluskan peserta tanpa memenuhi kualitas
menjadi notaris syari’ah, melainkan program ini diadakan dengan ujian resmi
dan serius sehingga lahir notaris yang benar-benar paham betul tentang akad
syari’ah. Langkah selanjutnya adalah beberapa LSM bekerja sama dengan
perguruan tinggi Islam mengajukan konsep tentang pentingnya notaris
syari’ah di Indonesia ke Dewan Syari’ah Nasional Ulama Indonesia (DSN
MUI) untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) yang nantinya melahirkan Undang-Undang Notaris Syari’ah.
Tabel 4.3.
Unsur Apakah Ada Keterangan
Kendala Notaris
Dalam Menangani
Akad Syari’ah
Ya Tidak
Norman Rizal, S.H. Ya, karena tidak
Notaris Jakarta Selatan) mengerti akad
syari’ah dan
dikhawatirkan

tentang akad
syari’ah tidak
bisa
menjawabnya.
Linda, S.H. (Majelis Karena ada
Pengawas Daerah Notaris  rekanan tertentu.
Jakarta Pusat)
Titi Sulistiawati, S.H. Karena ada buku
(Notaris BNI Syari’ah) panduan dan bisa
tanya pada yang
ahli. Dan itu juga
tergantung

notarisnya. Kalau
mau belajar, ya
bisa dan bukan
hanya mendapat
sertifikat.
Dr. Amrul Partomuan Tidak punya data
Pohan, S.H., LL.M Tidak tahu Tidak tahu statistiknya.
(Pengurus INI)
Arnisah Vonna, S.H. Secara umum
(Dewan Penasihat INI) tidak ada kendala
karena hanya
berbeda pada cara
penanganan,

ketentuan, nilai-
nilai agama, dan
juga menjawab
kehendak para
klien.
Saifuddin Arief, S.H., M.H.  Jelas, karena
(Forum Notaris Syari’ah) mereka tidak
paham tentang
akad syari’ah dan
tidak ada
kurikulum /
mempelajarinya
semasa
kuliahnya,
mereka hanya
mempelajari
hukum Barat.
Muchlis Patahna, SH., Karena
M.Kn.  pengetahuannya
(Notaris Jakarta Pusat) masih kurang
Total 50% 50% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan.
Berdasarkan tabel 4.3. di atas 50% responden menyatakan bahwa notaris saat
ini mengalami kendala dalam menangani akad syari’ah dengan berbagai
alasan, di antaranya, karena mengerti tidak mengerti dan tidak paham tentang
akad syari’ah dan dikhawatirkan ketika ada pertanyaan tentang akad syari’ah
mereka tidak bisa menjawabnya, hal ini terjadi karena tidak ada kurikulum /
SKS semasa kuliah, dan mereka hanya mempelajari hukum Barat tanpa
mempelajari akad syari’ah sementara di lapangan diadapkan dengan praktik
akad syari’ah. Karena pengetahuannya masih kurang tentang akad syari’ah,
jelas ini merupakan kendala besar bagi mereka.
Sementara itu, 50% responden juga menyatakan bahwa mereka tidak
mengalami kendala dalam menangani akad syari’ah karena hanya berbeda
pada cara penanganan, ketentuan, nilai-nilai agama, dan juga menjawab
kehendak para klien. Walaupun mereka juga tidak pernah mempelajari akad
syari’ah sebelumnya di bangkukuliah; pengetahuan mereka dapatkan dari
pelatihan tentang akad syari’ah; dan kalaupun ada masalah, mereka tinggal
melihat buku panduan ataupun bisa bertanya kepada yang mengerti (ahli).
Jadi, selama ini mereka tidak mengalami kesulitan, biasa-biasa saja.
Maka berdasarkan persentase di atas, masih fifty-fifty, ada yang merasa
mengalami kendala dan ada juga tidak mengalaminya karena masalah teknis
semata.
Tabel 4.4.
Apakah Pelatihan
Tentang Akad
Syari’ah bagi
Unsur Keterangan
Notaris sudah
Memadai
Ya Tidak
Norman Rizal, S.H.  Karena belum ada
Notaris Jakarta Selatan) pelatihan yang
resmi
Linda, S.H. (Majelis Karena ada
Pengawas Daerah Notaris  rekanan tertentu.
Jakarta Pusat)
Titi Sulistiawati, S.H. Karena singkat
(Notaris BNI Syari’ah) sekali waktunya,
cuma satu hari,
itu juga cuma tiga
jam, bagaimana
mau paham,
percuma saja, dan
 akad syari’ah itu
merupakan ilmu
baru sehingga
perlu waktu yang
cukup untuk
mendalaminya,
minimal 2 x x24
jam.
Dr. Amrul Partomuan Tidak punya data
Pohan, S.H., LL.M Tidak tahu Tidak tahu statistik.
(Pengurus INI)
Arnisah Vonna, S.H. Karena hanya
(Dewan Penasihat INI) membahas secara
umum contoh-

contoh,
pemahaman
kasus-kasus.
Saifuddin Arief, S.H., M.H. Memahami
(Forum Notaris Syari’ah) syari’ah itu tidak
cukup 2-3 hari,
 perlu waktu, ada
jurusan /
konsentrasi
notaris syari’ah.
Muchlis Patahna, SH., Perlu waktu yang
M.Kn. cukup untuk

(Notaris Jakarta Pusat) memahami akad
syari’ah
Total 16,7% 83,3% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan
Berdasarkan tabel 4.4., sebagaimana tertera pada halaman 93, disebutkan
sebanyak 16,7 responden menyatakan bahwa, baik pelatihan maupun diklat
tentang akad/ bisnis syari’ah yang selama ini diadakan memadai karena pada
notaris dibantu oleh rekanan tertentu atau bagian legal di sebuah perusahaan
yang lebih dahulu menjelaskan tentang bentuk akad syari’ah. Jadi, selama ini
tidak ada kendala. Sementara itu, sebanyak 83,3% responden menyatakan
tidak memadai dengan perimbangan waktu, yaitu terlalu singkat antara 1-2
hari sementara akad / bisnis syari’ah bagi mereka merupakan ilmu baru
sehingga membutuhkan waktu yang cukup untuk betul-betul memahaminya
sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya, kesalahan
dalam melakukan akad, seperti dalam perjanjian menggunakan akad
mudharabah, tetapi dalam praktiknya ternyata menggunakan akad
musyawarah, yang mengakibatkan cacatnya suatu akad. Hal ini terjadi karena
ketidakpahaman mereka dengan baik terhadap akad / bisnis syari’ah. Di
samping itu, mereka pun menyarankan supaya minimal pelatihan tersebut
diadakan satu minggu penuh. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa dalam
pelatihan itu hanya dibahas secara umum, baik itu contoh-contoh kasus
maupun cara penanganan dan sebagainya sementara di lapangan banyak
permasalahan yang begitu kompleks dan memerlukan pemahaman yang
mendalam.

F. URGENSI NOTARIS “SYARI’AH” DALAM PERSPEKTIF LEMBAGA


BISNIS SYARI’AH
Pada subbab ini penulis akan menganalisis bagaimana respons para stake
holder lembaga bisnis syari’ah terhadap urgensi notaris syari’ah di Indonesia.
Di samping itu, penulis juga mengambil pendapat dari beberapa lembaga
swadaya masyarakat yang banyak bergerak pada ekonomi syari’ah.
Pernah
Mendengar Istilah
Unsur Keterangan
Notaris Syari’ah
Ya Tidak
Pusat Komunikasi Ekonomi Kami sering
Syari’ah (PKES)188 mengadakan

pelatihan (6x)
akad syari’ah
188
Bahrul Muhtasib, Pengurus Pusat Komunikasi Ekonomi Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta,
21 Juni 2010.
bagi para notaris
di berbagai
daerah.
Masyarakat Ekonomi Belum pernah,
Syari’ah189  nanti akan dibawa
ke forum
Basyamas MUI190  Belum pernah
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Sering diskusi
(IAIE)191  tentang notaris
syari’ah
Asbisindo (Asosiasi Pernah
Perbankan Syari’ah Seluruh  mendengar
Indonesia)192
Baitul Tamwil Rumah Zakat Karena hal itu
Indonesia193 merupakan

masalah
kontemporer
Unit Usaha Syari’ah pernah

Asuransi ADIRA 194

Bank DKI Syari’ah195  Pernah


Bank Permata Syari’ah196 A Tidak Pernah
Bank Muamalat Indonesia Sering mendengar

(BMI)197
PT Asuransi Takaful Pernah

Keluarga198
Bank Internasional Pernah
Indonesia Syari’ah (BII 
Syari’ah)199
Bank Syari’ah Bukopin200  Belum Pernah

189
Achmad Djauhari, Sekretaris Umum Basyarnas / Pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah /
MES, Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Juni 2010.
190
Ibid.
191
Agustianto Mingka, Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 15 Juni 2010.
192
Wahyu Dwi Agung, Pendiri dan Mantan Ketua Umum Asosiasi Perbankan Syari'ah Seluruh
Indonesia (Asbisindo), Wawancara Pribadi, Jakarta, 22 Juni 2010.
193
Nurjamil, Pengurus Rumah Zakat / Wakaf Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta 9 Juni 2010.
194
Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 20 Mei 2010.
195
Mumtaz Mahmud, Staff Legal Bank DKI Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 2 Maret 2010.
196
Ismail Jamil, Pimpinan Business Community Bank Permata Syari'ah, Wawancara Pribadi,
Jakarta, Mei 2010.
197
Imam Nikmatullah, Offices Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI), Wawancara Pribadi,
Jakarta, 1 Maret 2010.
198
Zulfahmi, Corporate Financial Consultant PT Asuransi Takaful Keluarga, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 24 Mei 2010.
199
Ade, Staf Legal Bank Internasional Indonesia Syari'ah (BII Syari'ah), Wawancara Pribadi,
Jakarta, 24 Juni 2010.
Total 16,7% 83,3% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan
Berdasarkan tabel 4.5. di atas maka para stake holder bisnis syari’ah
mayoritas pernah mendengar istilah notaris syari’ah, mereka pernah melihat
dari internet, karya ilmiah, koran, atau pernah menjadi peserta bahkan pernah
menjadi Even Organizer (EO) pada pelatihan bisnis syari’ah atau sistem
keuangan ekonomi syari’ah bagi para notaris.
Tabel 4.6.
Setujukah
Dengan Lahirnya
Unsur Keterangan
Notaris Syari’ah
Ya Tidak
Pusat Komunikasi Ekonomi Notaris yang
Syari’ah (PKES) memahami akad /
bisnis syari’ah
mendesak harus
 ada karena
perkembangan
ekonomi syari’ah
cukup
menjanjikan
Masyarakat Ekonomi Karena
Syari’ah  merupakan
perintah ayat.
Basyamas MUI Dikhawatirkan
terjerumus pada
praktik riba,
bisnis itu syari’ah
manakala

akadnya syari’ah,
diselesaikan di
arbitrase syari’ah
dan notarisnya
harus syari’ah
Ikatan Ahli Ekonomi Islam  Fardu ain
(IAIE) hukumnya, untuk
menghindari
pelanggaran-
pelanggaran akad
syari’ah, orang

200
Abdul Madjid, Kepala Legal Bank Syari'ah Bukopin, Wawancara Pribadi, Jakarta 24 Juni
2010.
yang tidak paham
akad syari’ah,
bahkan takut
terjerumus pada
riba. Di samping
itu, untuk
menghindari
kesalahpahaman
terhadap prinsip-
prinsip syari’ah
Asbisindo (Asosiasi Notaris selama ini
Perbankan Syari’ah Seluruh sudah syari’ah
Indonesia) karena notaris itu
pejabat yang

membuat akta
otentik yang
diatur undang-
undang.
Forum Notaris Syari’ah Harus ada.
Adanya notaris
syari’ah
implementansi
syari’ah karena
notaris selama ini
 bersumber dari
hukum Barat
sementara notaris
syari’ah
bersumber dari
Al-Quran dan
hadits.
Baitul Tamwil Rumah Zakat Karena ekonomi
Indonesia syari’ah di
Indonesia dan
bahkan di seluruh
dunia semakin

marak sehingga
keberadaan
notaris syari’ah
menjadi sangat
penting.
Unit Usaha Syari’ah  Seiring dengan
Asuransi ADIRA berkembangnya
bisnis syari’ah,
maka diperlukan
seorang notaris
syari’ah agar para
pihak dalam
melakukan
pengikatan bisnis
mendapatkan
suatu jasa hukum
Islam yang
cukup.
Bank DKI Syari’ah Melihat saat ini
dipertumbuhan
bank syari’ah
cukup signifikan,
maka kehadiran
notaris syari’ah
sudah sangat
diperlukan.
 Adanya notaris
syari’ah juga
dapat menjadi
salah satu
alternatif
sosialisasi
ekonomi syari’ah
kepada
masyarakat luas.
Bank Permata Syari’ah Tidak perlu
karena yang
penting adalah

pengetahuan
tentang bisnis
syari’ah.
Bank Muamalat Indonesia  “Notaris” syari’ah
(BMI) dalam arti notaris
yang menguasai
aspek kesyariahan
mendesak
diperlukan. Akan
tetapi, tidak dapat
dipisahkan dari
notaris
konvensional.
Notaris syari’ah
dapat
di”lahir”kan dari
notaris
konvensional
yang menguasai
aspek syari’ah.
Karena banyak
sekali aspek
hukum di bank
syari’ah yang
membutuhkan
jasa notaris
konvensional,
seperti pembuatan
Surat Kuasa
Membebankan
Hak Tanggungan
(SKMHT), Akta
Pemberian Hak
Tanggungan
APHT), akad jual
beli, dan proses
balik nama atas
aset yang
diagunkan oleh
nasabah kepada
bank sebagai
jaminan
pembiayaan.
Notaris yang saat
ini menangani
akad-akad bisnis
di cabang
perusahaan
tempat bekerja
belum lama ini
mengikuti
pelatihan
sertifikasi
syari’ah. Setelah
mengikuti
pelatihan
tersebut, notaris
jadi lebih
memahami
fundamental
hukum syari’ah
termasuk di
dalamnya akad
syari’ah.
PT Asuransi Takaful Kalau ditinjau
Keluarga dari segi minat
masyarakat
tuntuk menekuni
bidang tersebut
(khusus notaris
syari’ah) yang
dikaitkan dengan
peluang lapangan
kerja, saya rasa
belum begitu
mendesak, tetapi

kalau untuk
tujuan mencetak
notaris yang juga
menguasai aspek-
aspek syari’ah
untuk
kepentingan
perkembangan
ekonomi syari’ah,
itu sendiri saya
rasa cukup
penting.
Bank Internasional Karena sebelum
Indonesia Syari’ah (BII melakukan
Syari’ah) transaksi harus
diberi edukasi
terlebih dahulu
tentang akad

syari’ah, tetapi
kalau ada notaris
syari’ah, enak
tinggal lanjut,
tidak perlu cape
dua kali.
Bank Syari’ah Bukopin  Supaya lebih
menjurus dan
terfokus pada
akad syari’ah
walaupun pada
daarnya semua
notaris itu sama
tugasnya, juga
dengan lahirnya
notaris syari’ah
diharapkan dapat
meminimalisasi
kesalahan dalam
menentukan akad.
Total 84,6% 15,4% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan
Berdasarkan tabel 4.6. di atas mayoritas responden (84,6%) setuju apabila
dilahirkan notaris syari’ah di Indonesia, yaitu untuk menghindari kesalahan
dalam melakukan akad, baik akad pembiayaan antara perusahaan dan nasabah
(paling banyak), akad sewa antara perusahaan dan penyedia jasa, maupun
akad jual beli tanah dan bangunan antara perusahaan dan penjual. Bahkan,
menurut Agustianto201 hukumnya fardu ain untuk mewujudkan notaris
syari’ah karena ketidakpahaman para notaris terhadap akad bisnis syari’ah
dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran terhadap akad-akad syari’ah.
Menurutnya juga orang yang tidak mengerti akad syari’ah tidak bisa
menangani akad atau bisnis syari’ah, bahkan cenderung bisa terjerumus ada
riba. Menurut Zulfahmi,202 dengan adanya notaris syari’ah dapat
meminimalisasi kesalahpahaman atau multitafsir yang mengakibatkan
terjadinya sengketa antar pelaku bisnis.
Sementara itu, responden yang lain mengatakan bahwa mereka sering
berhubungan dengan notaris dalam hal akad pembiayaan, pencairan,
pengikatan pembiayaan, kontrak kerja sama, dan konsultasi legal sesuai
dengan syari’ah sehingga “notaris syari’ah” dalam arti notaris yang menguasai
aspek kesyari’ahan mendesak diperlukan. Notaris syari’ah dapat di”lahir”kan
dari notaris yang menguasai aspek syari’ah. Hal ini disebabkan banyak sekali
aspek hukum di bank syari’ah yang membutuhkan jasa notaris, seperti
pembuatan Surat Kuasa Pembebanan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT), akad jual beli, dan proses balik nama
atas aset yang diagunkan oleh nasabah kepada bank sebagai jaminan
pembiayaan, ada juga yang mengatakan mereka berhubungan dengan notaris

201
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI).
202
Corporate Financial Consultant PT Asuransi Takaful Keluarga Jakarta.
untuk pengurusan tender dengan skala besar.203 Seperti RUPS tahunan,
RUPSLB, jual beli saham, dan pembuatan serta pengesahan perjanjian.204
Notaris yang saat ini menangani akad-akad bisnis di cabang perusahaan
tempat bekerja belum lama ini mengikuti pelatihan sertifikasi syari’ah.
Dengan demikian, setelah mengikuti pelatihan tersebut notaris jadi lebih
memahami fundamental hukum syari’ah termasuk di dalamnya akad
syari’ah.205 Sementara menurut Abdullah Faqih bajhwa:

(“Apabila notaris menjadi saksi sesuai dengan kode etiknya dan juga
apabila menjadi saksi terhadap transaksi-transaksi yang sesuai dengan
syari’ah, serta terhadap kegiatan ekonomi yang dibolehkan secara
hukum, juga menjadi saksi terhadap lembaga-lembaga keuangan syari’ah,
maka kesaksiannya pun sah dan halal secara hukum”)206

(“Pun demikian apabila notaris menjadi saksi terhadap transaksi-


transaksi yang haram, atau pada kegiatan ekonomi yang ribawi, atau
menjadi saksi pada perbankan konvensional, maka kesaksiannya pun
menjadi haram dan sama sekali tidak ada keraguan secara hukum”)207

Pendapat Abdullah Faqih ini mempertegas bahwa notaris yang membuat akta
otentik, maka harus menganalisis terlebih dahulu apakah perjanjian dengan
kliennya itu sesuai dengan konsep syari’ah ataupun tidak karena akan
mempengaruhi pada produk yang dihasilkannya. Apabila mengandung riba
dan menjadi haram, produknya pun menjadi haram. Sebaliknya, apabila sesuai
dengan konsep syari’ah, produknya pun menjadi halal.

203
Iman Nikmatullah, Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 1 Maret 2010.
204
Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 20 Mei 2010.
205
Azharudin Lathif, Peneliti Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, Februari 2010.
206
Abdullah Faqih dalam http://www.islamweb.net, diakses pada 6 Juni 2010.
207
Abdullah Faqih, Ibid.
Kenyataan di atas, menurut penulis bahwa Abdullah Faqih mensyaratkan
bagi notaris yang akan menangani bisnis syari’ah harus paham betul terhadap
akad bisnis syari’ah. Hal ini perlu karena untuk menghindari praktik riba.
Dengan lahirnya notaris syari’ah setidaknya kan mengurangi kesalahan akad
dalam bisnis syari’ah yang berbau ribawi.
Ada juga yang mengakan bahwa bisnis syari’ah semakin berkembang bukan
hanya di Indonesia, melainkan juga di berbagai dunia mengalami
perkembangan serupa sehingga dituntut adanya notaris yang mengerti betul
tentang akad atau bisnis syari’ah.
Menurut Djauhari,208 suatu bisnis sukses dikatakan syari’ah tatkala akadnya
syari’ah; notarisnya syari’ah; dan apabila terjadi sengketa, diselesaikan pada
Badan Arbitrase Syari’ah.209 Seiring dengan berkembangnya bisnis syari’ah,
maka diperlukan seorang notaris syari’ah agar para pihak dalam melakukan
pengikatan bisnis mendapatkan suatu jasa hukum Islam yang cukup. 210
Menurut responden, melihat saat ini pertumbuhan bank syari’ah cukup
signifikan, maka kehadiran notaris syari’ah sudah sangat diperlukan. Adanya
notaris syari’ah juga dapat menjadi salah satu alternatif sosialisasi ekonomi
syari’ah kepada masyarakat luas.
Sementara itu, 15,4% responden berbeda pendapat. Mereka menyatakan
bahwa untuk saat ini yang lebih penting adalah membuka program pelatihan
“notaris syari’ah” sebagai fasilitas bagi para notaris untuk mengetahui tentang
akad bisnis syari’ah. Hal ini dapat dilihat dari aset perbankan syari’ah masih
di bawah 3%. Karenanya, dikhawatirkan lulusannya kesulitan untuk dapat
diserap oleh pasar. Menurut responden selama ini belum ada permasalahan
yang mengkhawatirkan terhadap notaris yang menangani akad bisnis syari’ah.
Kalaupun ada persoalan yang berkaitan dengan pasal-pasal syari’ah, biasanya
pegawai legal sudah dapat mengatasinya hanya dengan bekal training singkat
tentang kesyari’ahan. Menurutnya juga ketika ditanya tentang pentingnya
208
Sekjen Badan Arbitrase Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Basyarnas MUI) dan juga
pengurus pada Masyarakat Ekonomi Syari'ah (MES).
209
Wawancara pribadi dengan Ahcmad Djauhari, 5 Juni 2010 di Kampus UMJ.
210
Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 20 Mei 2010.
dilahirkan notaris syari’ah adalah bahwa kalau ditinjau dari segi minat
masyarakat untuk menekuni bidang tersebut (khusus notaris syari’ah) yang
dikaitkan dengan peluang lapangan kerja, saya rasa belum begitu mendesak,
tetapi kalau untuk kepentingan perkembangan ekonomi syari’ah itu sendiri,
saya rasa cukup penting. Menurut Agung,211 notaris adalah jabatan yang
diterbitkan oleh undang-undang dan notaris merupakan pejabat yang membuat
akta otentik, tidak perlu harus ada notaris syari’ah, hanya saja bagi para
notaris yang menangani akad bisnis syari’ah, idealnya minimal satu minggu,
kalau hanya satu atau dua hari, masih kurang untuk membuat mereka paham
tentang akad bisnis syari’ah.
Tabel 4.7.
Apakah Selama Ini
Ada Kendala Notaris
Unsur Dalam Menangani Keterangan
Akad / Bisnis Syari’ah
Ya Tidak
Pusat Komunikasi Ekonomi Karena tidak
Syari’ah (PKES)  paham tentang
akad syari’ah
Masyarakat Ekonomi Karena belum
Syari’ah memahami akad
syari’ah dan

sering terjadi
kesalahan dalam
akad syari’ah
Basyamas MUI Karena belum
memahami

tentang akad
syari’ah
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Karena tidak
(IAIE) paham akad
syari’ah, akan
 terjadi
pelanggaran
terhadap akad
syari’ah
Asbisindo (Asosiasi  Karena Cuma
Perbankan Syari’ah Seluruh mempelajari akad

211
Wahyu Dwi Agung, Pendiri dan Mantan Ketua Umum Asosiasi Perbankan Syari'ah Seluruh
Indonesia (Asbisindo), Wawancara Pribadi, Jakarta, 22 Juni 2010.
Indonesia) syari’ah
Baitul Tamwil Rumah Zakat Karena belum ada
Indonesia notaris yang
secara kompeten

terfokus pada
masalah bisnis
syari’ah
Unit Usaha Syari’ah Sejauh ini untuk
Asuransi ADIRA perjanjian
berkaitan dengan

unit syari’ah
masih dibuat di
bawah tangan.
Bank DKI Syari’ah Persoalan yang
paling sering
terjadi dan sangat
penting adalah
pengetahuan dan
pemahaman
 notaris terhadap
akad-akad
syari’ah.
Sehingga proses
draffing akad
dapat dibuat
dengan baik.
Bank Permata Syari’ah Masih minim
notaris yang
menguasai bidang
 ilmu kenotarisan
syari’ah dan
sekaligus ilmu
syari’ah.
Bank Muamalat Indonesia  Ketidakpahaman
(BMI) notaris terhadap
akad-akad
syari’ah dan
notaris sering
kesulitan dalam
menjelaskan
kepada kliennya
yang juga
nasabah bank
tentang detail hak
dan kewajiban
klien dalam akad
syari’ah tersebut.
Hal ini
disebabkan
notaris menerima
mentah-mentah
salinan dari
format akad dari
bank syari’ah.
PT Asuransi Takaful Karena bagian
Keluarga legal yang
bertanggung

jawab mengurus
tentang akad
syari’ah.
Bank Internasional Karena kurang
Indonesia Syari’ah (BII  paham tentang
Syari’ah) akad syari’ah
Bank Syari’ah Bukopin Selama
berkecimpung di
bank syari’ah dan

terbiasa
menangani akad
syari’ah/
Total 61,5% 38,5% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan
Berdasarkan tabel 4.7. di atas mayoritas responden (61,5%) mengatakan
bahwa selama ini notaris mengalami kendala dalam menangani akad atau
bisnis syari’ah karena ketidakpahaman para notaris terhadap akad atau bisnis
syari’ah. Di antara kendala yang muncul adalah:

1. Dalam hal penulisan pihak kedua, yaitu nasabah penerima pembiayaan.


Bank syari’ah selalu menyebutnya sebagai nasabah. Hal ini pernah
dikomplain oleh nasabah yang berprofesi sebagai advokat. Bahwa dalam
KUHPerdata disebutkan bahwa orang yang berhutang harus disebut
debitur. Karena apabila disebut nasabah, akan memiliki celah hukum yang
merugikan pihak bank.

2. Adanya pemalsuan dokumen yang diserahkan oleh klien, seperti KTP


palsu, surat nikah palsu, kartu keluarga palsu, dan lain-lain.
3. Adanya klaim dari istri kedua klien yang tidak menyetujui
penandatanganan akad antara bank dan suaminya.

4. Notaris sering kesulitan dalam menjelaskan kepada kliennya yang juga


nasabah bank tentang detail hak dan kewajiban klien dalam akad syari’ah
tersebut. Hal ini disebabkan notaris menerima mentah-mentah salinan
format akad dari bank syari’ah.

5. Terkadang notaris sering kali mengucapkan komentar yang kurang baik


bahwa “akad syari’ah tidak bedanya dengan akad konvensional” kepada
nasabah sehingga membuat nasabah menjadi kebingungan.

6. Masih minim notaris yang menguasai bidang ilmu kenotarisan syari’ah


dan sekaligus ilmu syari’ah sehingga akan menghambat dalam proses
draffing akad yang dibuat dengan baik.212

7. Dalam hal pengikatan pembiayaan, terkadang notaris masih awam


mengenal akad-akad syari’ahnya, hak dan kewajiban secara syar’i
penyesuaian pemenuhan hukum syari’ah yang dipadukan dengan hukum
positif, serta menghadapi nasabah perbankan syari’ah masih dalam
kacamata nasabah konvensional.

8. Pihak bank harus menjelaskan terlebih dahulu kepada notaris pengertian


dan bentuk akad syari’ah yang akan dijadikan kesepakatan antara nasabah
dan pihak bank, dan notaris yang dihadirkan, baik dalam akad pembiayaan
maupun akad pencairan harus diberikan edukasi terlebih dahulu mengenai
akad bisnis syari’ah sebelum kesepakatan dimulai. Dengan adanya notaris
syari’ah diharapkan hal ini tidak terjadi karena mereka sudah paham.

9. Biasanya terkait dengan aturan dalam Fatwa DSN yang tidak sama dengan
aturan hukum positif, sebagai contoh: pertama, mengenai arbitrase, karena
sudah ada Basyamas, tetapi terkadang tetap dicantumkan juga arbitrase
yang lain. Kedua, dalam aturan jual beli, outstanding piutang bank adalah
212
Mumtaz Mahmud Bank DKI Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 2 Maret 2010.
jumlah keseluruhan atas pokok plus margin. Akan tetapi, dalam hukum
positif, pokok saja yang di cantumkan, sedangkan margin dianggap
sebagai komitmen. Ketiga, untuk akad jual beli dalam hukum positif ada
unsur pajak, sedangkan jika akad murabahah dimasukkan dalam aturan
hukum positif sebagai “jenis kredit bank” akan tidak dikenakan pajak.

10. Praktik perbankan syari’ah berlandaskan akad-akad syari’ah, tetapi


hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum positif warisan Belanda.
Dengan demikian, dalam praktiknya banyak akad yang belum sepenuhnya
terlaksana sesuai kehendak fatwa. Sebagai contoh, dalam take over KPR,
jika bank memilih salah satu alternatif dalam fatwa, yaitu dengan cara
“qardh-bai’ dan IMB”, seharusnya dalam hal bai’ di mana jual beli tanah
yang sah dan diakui oleh hukum positif adalah melalui akta jual beli.
Namun, dalam praktiknya hal tersebut belum dapat dilaksanakan,
mengingat akan ada biaya yang sangat besar untuk pelaksanaannya.

11. Persoalan yang paling sering terjadi dan sangat penting adalah
pengetahuan dan pemahaman notaris terhadap akad-akad syari’ah. Dengan
pengetahuan yang memadai proses draffing akad dapat dibuat dengan
baik.
Tabel 4.8
Apakah Pelatihan
Tentang
Akad Syari’ah
Unsur Keterangan
Bagi Notaris
Sudah Memadai
Ya Tidak
Pusat Komunikasi Ekonomi Untuk dasar
Syari’ah (PKES) sudah bisa
memahami akad
 bisnis syari’ah
dan memerlukan
pelatihan minimal
2-3 hari.
Masyarakat Ekonomi  Waktunya yang
Syari’ah kurang cukup
sementara akad
syari’ah perlu
waktu banyak,
tidak cukup 1-2
hari.
Basyamas MUI Terlalu singkat
 masa
pelatihannya.
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Masih jauh dari
(IAIE) yang diharapkan,
training saja tidak
cukup, harus ada
seminar, kalau
perlu ada
 konsentrasi
notaris syari’ah,
kemudian setelah
mengikuti
pendidikan
diadakan ujian
bersama.
Asbisindo (Asosiasi Karena cuma
Perbankan Syari’ah Seluruh menambahkan

Indonesia) materi bisnis
syari’ah
Baitul Tamwil Rumah Zakat Karena
Indonesia memerlukan
waktu yang

cukup, minimal
satu minggu
penuh.
Unit Usaha Syari’ah Harus ada
Asuransi ADIRA program
sertifikasi

syari’ah atau
pendidikan
khusus.
Bank DKI Syari’ah Harus ada
pendidikan

khusus bagi
notaris
Bank Permata Syari’ah  Cukup memadai.
Bank Muamalat Indonesia  Harus ada
(BMI) perguruan tinggi
yang membuat
program
sertifikasi notaris
syariah dan
merekomendasika
n kepada DSN
agar perbankan
syari’ah
mempersyarat
kepada notaris
yang akan terjadi
mitranya harus
memiliki
sertifikasi sebagai
“notaris
syari’ah”.
PT Asuransi Takaful Idealnya harus
Keluarga ada prodi notaris
yang bisa praktik
seperti notaris
 pada umumnya,
tetapi plus
menguasai aspek-
aspek
kesyari’ahan.
Bank Internasional Kurang tahu,
Indonesia Syari’ah (BII tetapi yang jelas
Syari’ah) harus ada notaris

agar benar-benar
paham tentang
akad syari’ah.
Bank Syari’ah Bukopin Waktunya terlalu
A singkat cuma 1-2
hari.
Total 31% 69% 100%
Sumber: Diolah dari Lapangan
Berdasarkan tabel 4.8. di atas mayoritas responden (69%) mengatakan bahwa
pelatihan tentang akad syari’ah bagi notaris belum / tidak memadai karena
waktunya terlalu singkat, rata-rata satu sampai dua hari. Padahal, bisnis
syari’ah bagi mereka merupakan ilmu baru213 dan memerlukan waktu yang
tidak sebentar untuk mempelajarinya di samping bahwa latar belakang
pendidikan mereka adalah mempelajari hukum-hukum konvensional atau

213
Bahrul Muhtasib, Pengurus Pusat Komunikasi Ekonomi Syari'ah (PKES), Wawancara Pribadi,
Jakarta, 21 Juni 2010.
materi-materi yang berkaitan dengan notaris konvensional tanpa membahas
tentang bisnis syari’ah.
Harapan responden terhadap notaris yang menangani kontrak bisnis syari’ah,
yaitu mereka mesti memahami hukum positif, baik perdata maupun pidana
dan kenotarisan (rata-rata mereka sudah mempelajarinya). Di samping itu,
notaris pun harus memahami fiqih muamalat, ushul fiqih, lembaga keuangan
bank dan nonbank, juga harus menguasai dasar-dasar perbankan syari’ah,
penanganan nasabah bermasalah, best practice syari’ah secara internasional,
dasar-dasar Kompilasi Hukum Islam, hukum peradilan Islam, serta
pemahaman tentang penyelesaian sengketa syari’ah.
Di antara masalah yang muncul biasanya terkait dengan aturan dalam Fatwa
DSN yang tidak sama dengan aturan dalam hukum positif. Contoh:

1. Mengenai arbitrase, walaupun sudah ada Basyarnas, terkadang tetap


dicantumkan juga yang lain.

2. Dalam aturan jual beli, outstanding piutang bank adalah jumlah


keseluruhan atas pokok plus margin. Akan tetapi, dalam hukum positif,
pokok saya yang dicantumkan, sedangkan margin dianggap sebagai
komitmen.

3. Untuk jual bel dalam hukum positif ada unsur pajak, sedangkan jika akad
murabahah dimasukkan dalam aturan hukum positif sebagai “jenis kredit
bank”, tidak akan dikenakan pajak.
Sementara itu, sebanyak 31% responden mengatakan bahwa pelatihan tentang
akad syari’ah bagi notaris sudah memadai karena notaris hanya perlu dasar-
dasar akad bisnis syari’ah. Kalaupun ada notaris yang kurang paham, mereka
tinggal menanyakan kepada yang lebih paham tentang akad syari’ah, di
samping bahwa notaris juga punya rekanan tertentu dengan pihak legal sebuah
perusahaan yang menetapkan aspek syari’ah. Jadi, so far tidak ada masalah.

G. ANALISIS PELUANG DAN TANTANGAN NOTARIS SYARI’AH DI


INDONESIA
1. Peluang Notaris Syari’ah di Indonesia
Setelah melakukan wawancara dan diskusi tentang notaris syari’ah,
penulis bisa menganalisis beberapa peluang demi terwujudnya notaris
syari’ah, yaitu:

a. Para notaris dan para stake holder kebanyakan mereka sepakat untuk
melahirkan notaris syari’ah, yaitu notaris yang mengerti akad / bisnis
syari’ah dan mereka lebih menjurus pada bidang-bidang syari'ah dan
mereka lebih menjurus pada bidang-bidang syari'ah sehingga mereka
paham betul tentang bentuk-bentuk sekaligus pengertian tentang akad /
bisnis syari'ah. Ketika notaris sudah terpenuhi, maka tidak lagi ada
kekhawatiran atau kecurigaan tentang kesalahan dalam menentukan
akad dan juga meminimalisasi kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran
dalam akad / bisnis. Dengan adanya konsensus dari para pelaku
sekaligus para stake holder demi terwujudnya notaris syari'ah, maka
buka hal yang mustahil akan lahir notaris syari'ah.

b. Mayoritas penduduk Indonesia sampai saat ini adalah Muslim. Ini


adalah aset untuk menggarap pasar demi terwujudnya notaris syari'ah.

c. Seiring dengan berjalannya waktu, maka perkembangan bisnis syari'ah


pun dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang.214

214
Berdasarkan data Dewan Syari'ah Nasional (DSN) hingga 30 Agustus 2008 telah ada 3 bank
umum syari'ah, 14 Unit Usaha Syari'ah Bank Umum, 15 Unit Usaha Syari'ah Bank
Pembangunan Daerah (BPD), 3 Bank Kustodian Syari'ah, dan 117 Bank Pembiayaan Rakyat
Syari'ah (BPRS). Dengan total aset per akhir Desember 2008 sebesar 20,88 triliun. Sementara
itu, jumlah asuransi syari'ah saat ini telah mencapai 52 jenis asuransi, yang terdiri atas 43
asuransi syari'ah, 3 reasuransi syari'ah, dan 6 broker asuransi dan reasuransi syari'ah. Dengan
demikian, selama dua kurun waktu kedua, dari tahun ke tahun, yaitu sampai 30 Agustus 2008,
jaringan bank syari'ah telah berkembang sebesar 35% dibandingkan dengan akhir kurun waktu
pertama.
Reksadana syari'ah pertama kali diluncurkan oleh PT Danareksa Investment Management
(DIM) pada 3 Juli 1997 dengan nama Danareksa Syari'ah dan pada 1 Desember 2000 dengan
nama Danareksa Syari'ah Berimbang. Reksadana kedua dikeluarkan oleh PT Permodalan
Nasional Madani (PNM) pada 5 Mei 2000 dengan nama Reksadana PNM Syari'ah, dan ketiga
Rifan Asset Management (RAM) pada tanggal 1 Oktober 2002 dengan nama Rifan Syari'ah
(Rifan sekarang ditutup), setelah itu berkembang berbagai reksadana syari'ah lainnya. Hingga
akhir Desember 2005, berdasarkan data Bapepam, danarekasa syari'ah yang diluncurkan
sebanyak 12 buah, dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) mencapai 1,158,6 miliar. Pada Maret
2008, jumlah perusahaan reksadana syari'ah sebanyak 22 perusahaan.
Dengan berkembangnya bisnis yang serba syari'ah, maka buka tidak
mungkin akan lahir notaris syari'ah karena notaris juga merupakan
salah satu bentuk bisnis.

d. Lahirnya organisasi Forum Notaris Syari'ah (FNS) belakangan ini yang


dikendarai oleh notaris senior, Syaifuddin Arif, semakin
mempertajam akan butuhnya notaris syari'ah.

e. Semakin mewacananya notaris syari'ah di kalangan LSM yang


bergerak pada ekonomi syari'ah, di antaranya. Ikatan Ahli Ekonomi
Syari'ah, dan Masyarakat Ekonomi Syari'ah, Himpunan Sarjana
Syari'ah Indonesia. Begitu juga dengan perguruan tinggi Islam, seperti
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sering melakukan
diskusi dan juga seminar tentang notaris syari'ah.

f. Masih minimnya notaris yang paham tentang akad / bisnis syari’ah,


memberi peluang lahirnya notaris syari'ah.

g. Demi terwujudnya notaris syari'ah di Indonesia ada beberapa langkah


yang mesti dilakukan, di antaranya:

1) Perlu dibuat suatu program pendidikan (setingkat S-1) untuk


keahlian sebagai tenaga notaris syari'ah dan juga bisa bekerja sama
dengan badan pelatihan tertentu agar diatur bahwa setiap notaris
yang menangani perbankan syari'ah atau lembaga keuangan
syari'ah wajib mengikuti uji pelatihan tersebut. Dengan demikian,
notaris memiliki kesempatan untuk dapat menangani /
berkecimpung dalam ekonomi syari'ah sepanjang memiliki
kompetensi tersebut.

2) Penyelenggara pendidikan magister kenotariatan pada


kurikulumnya perlu menambahkan materi akad / bisnis syari'ah.
Semua ini dilakukan untuk dapat menyeimbangkan pemahaman
antara hukum positif dan hukum syari'ah (khususnya muamalah
maliyah) sehingga pada akhirnya mampu mencetak notaris syari'ah
yang juga memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam
pengembangan ekonomi syari'ah tidak hanya sebatas kebutuhan
pekerjaan.

3) LSM yang bergerak pada ekonomi syari'ah dan juga perguruan


tinggi Islam bekerja sama dengan MUI dan juga Kementerian
Agama untuk memberikan pelatihan / pendidikan / seminar kepada
para notaris untuk akad / bisnis syari'ah. 215 Di Malaysia pun
pengacara syari’ah atau sebutannya Penguambela / Peguamcara
Syari'ah sudah ada.216

4) LSM dan juga perguruan tinggi Islam merekomendasikan kepada


DSN agar perbankan syari’ah mempersyaratkan kepada notaris
yang akan menjadi mitranya harus pernah mengikuti pelatihan
“notaris syari'ah”.

2. Tantangan Notaris Syari'ah di Indonesia


Dalam upaya melahirkan notaris syari'ah tidak semudah membalikkan
tangan. Ada beberapa tantangan yang ditemukan di lapangan, di antaranya:

a. Tidak semua notaris dan juga ada beberapa stake holder dari lembaga
bisnis syari'ah yang tidak sepakat dengan lahirnya notaris syari'ah.
Mereka berbeda pendapat tentang notaris syari'ah itu sendiri. Ada yang
beranggapan bahwa notaris saat ini sudah syari'ah; ada juga yang
berpendapat bahwa notaris saat ini belum syari'ah karena mengambil
sumber hukumnya dari hukum Barat, tidak berdasarkan Al-Quran; dan
lebih penting lagi dikhawatirkan salahnya dalam menentukan akad

215
Menurut para responden, pelatihan ini harus diadakan sungguh-sungguh, bukan asal jadi, dan
asal mendapatkan sertifikasi, tanpa dilakukan pengujian yang profesional dan sesuai standar
yang berlaku. Minimal pelatihan ini diadakan satu minggu penuh dan diadakan secara intensif
bagi para notaris yang ingin menangani akad / bisnis syari'ah.
216
Azharuddin Latif, Peneliti UIN Jakarta, (Penelitian Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta,
Mei 2010).
yang mengakibatkan cacatnya sebuah akad karena ketidakpahaman
notaris terhadap akad / bisnis syari'ah.

b. Melahirkan notaris syari'ah harus melalui beberapa proses, di


antaranya, melalui lembaga legislatif sehingga berbentuk undang-
undang. Bagaimana mau menjadi sebuah undang-undang sementara
para notaris itu sendiri masih berbeda persepsi dengan lahirnya notaris
syari'ah.

c. Dengan lahirnya notaris syari'ah, maka lahan notaris yang selama ini
ada, akan terambil asetnya karena semakin banyaknya notaris yang ada
sementara aset semakin berkurang.217 Ini jelas bagi mereka bukan
merupakan kabar gembira.

d. Maraknya perbankan syari'ah, hanya “sebatas” topeng belaka. Mereka


hanya menarik minat pasar sementara pada praktiknya mereka belum
secara murni menerapkan konsep syari'ah. Ini dilatar belakangi karena
para bankir syari'ah yang selama ini ada mereka berasal dari perbankan
konvensional, yaitu juga masih banyaknya minat nasabah untuk
berinvestasi di bank konvensional daripada di bank syari'ah.218

217
Achmad Djauhari, Sekretaris Basyarnas dan juga Pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah
(MES), Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Juni 2010.
218
Abdul Madjid, Kepala Legal Bank Syari'ah Bukopin, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni
2010.
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, dapat


disimpulkan bahwa :

1. Ada dua persepsi tentang konsep notaris syari'ah, yaitu:


 Pertama

Mereka mengatakan bahwa notaris selama ini sudah syari'ah sehingga


tidak dibutuhkan notaris syari'ah karena notaris hanya menyaksikan akad
perjanjian yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Kalaupun yang diperjanjikan adalah mengenai
akad atau bisnis syari'ah, mereka tinggal menambahkan paham dan
mengerti akad / bisnis syari'ah dan solusinya adalah dengan mengikuti
pelatihan tentang akad bisnis / syari'ah. Notaris yang mengerti akad
syari'ah maka tidak serta merta dinamai notaris syari'ah. Oleh karena itu,
notaris selama ini sudah syari'ah.

 Kedua

Mereka mengatakan bahwa keberadaan notaris syari'ah sangat diharapkan,


mengingat semakin bertambahnya bank konvensional yang telah
membuka bank syari'ah, yang juga secara otomatis mereka sering
berhubungan dengan notaris yang mesti paham betul tentang akad / bisnis
syari'ah tersebut. Di samping bahwa notaris juga merupakan salah satu
penentu sah tidaknya sebuah akad / transaksi sementara sah tidaknya
sebuah akad bergantung apakah para pihak mengerti betul dan merasa
tidak dirugikan dengan akad yang dijadikan kesepakatan. Maka dari itu, di
sini notaris sangat berperan besar menjelaskan mengenai isi dan bentuk
sebuah akad. Untuk menjelaskan sebuah akad tentu harus dibantu dengan
pengetahuan yang memadai dari notaris itu sendiri.
Yang jelas notaris syari'ah adalah notaris yang paham tentang bisnis syari'ah
tanpa melihat latar belakang agama, selama dia mampu menangani akad /
bisnis syari'ah.

2. Mayoritas (84,6%) pelaku bisnis syari'ah (stake holder) membutuhkan notaris


syari'ah dan juga setuju apabila dilahirkan notaris syari'ah di Indonesia karena
mereka sering berhubungan dengan notaris dalam hal akad pembiayaan,
pencairan, pengikatan pembiayaan, kontrak kerja sama dan konsultasi legal,
pengurusan tender dengan skala besar, RUPS tahunan, RUPSLB, jual beli
saham, dan pembuatan serta pengesahan perjanjian sesuai dengan syari'ah.
Dengan demikian, “notaris syari'ah” dalam arti yang menguasai aspek
kesyari’ahan mendesak diperlukan. Notaris syari'ah dapat di”lahir”kan dari
notaris yang menguasai aspek syari'ah. Hal ini disebabkan banyak sekali aspek
hukum di bank syari'ah yang membutuhkan jasa notaris, seperti pembuatan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), akad jual beli, dan proses balik nama atas aset yang
diagunkan oleh nasabah kepada bank sebagai jaminan pembiayaan. Tujuan
utama dari lahirnya notaris syari'ah adalah untuk menghindari kesalahan
dalam melakukan akad, baik akad pembiayaan antara perusahaan dan nasabah
(paling banyak), akad sewa antara perusahaan dan penyedia jasa, maupun
akad jual beli tanah dan bangunan antara perusahaan dan penjual. Bahkan,
menurut Agustianto, hukumnya fardu ain untuk mewujudkan notaris syari'ah
karena ketidak pahaman para notaris terhadap akad bisnis syari'ah
dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran terhadap akad-akad syari'ah.
Menurutnya juga, orang yang tidak mengerti akad syari'ah maka mereka tidak
bisa menangani akad atau bisnis syari'ah, malahan mereka cenderung bisa
terjerumus pada riba. Dengan adanya notaris syari'ah maka dapat
meminimalisasi kesalahpahaman atau multitafsir yang mengakibatkan
terjadinya sengketa antarpelaku bisnis.
“A notary public (or notary or public notary) is a public officer constituted by law to serve public
in non-contentious matters usually concerned with estates, deeds, powers-of-attorney, and
foreign and international business.” Lihat www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei
2009. Sementara dalam Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kode Etik Bab
I Ketentuan Umum Pasal 1 bahwa : “Notaris adalah setiap orang yang memangku dan
menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1 langka 1 juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.”

A Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, op. cit., h. 31.

A. Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 17.

Abdul Madjid, Kepala Legal Bank Syari'ah Bukopin, Wawancara Pribadi, Jakarta 24 Juni 2010.

Abdul Madjid, Kepala Legal Bank Syari'ah Bukopin, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni 2010.

Abdul R. Saliman, et al., Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh, (Jakarta: Kencana,
2008), Cet. IV, h. 49. Lihat Juga M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah
Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 78.

Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-‘Ala al-indunisi li-al-Dakwah al-
Islamiyyah, 1973), h. 32.

Abdullah Faqih dalam http://www.islamweb.net, diakses pada 6 Juni 2010

Abdullah Faqih dalam http://www.islamweb.net, diakses pada 6 Juni 2010.

Abdullah Faqih, ibid.

Abdullah Faqih, ibid.

Abdullah Faqih, Ibid.

Achmad Djauhari, Sekretaris Basyarnas dan juga Pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah (MES),
Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Juni 2010.

Achmad Djauhari, Sekretaris Umum Basyarnas / Pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah / MES,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Juni 2010.

Ade, Staf Legal Bank Internasional Indonesia Syari'ah (BII Syari'ah), Wawancara Pribadi, Jakarta,
24 Juni 2010.

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h.
161. Menurut Ascarya bahwa murabahah adalah suatu bentuk jual beli tertentu ketika
penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain
yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tertentu dan tingkat keuntungan. Lihat
Ascarya, ibid, h. 83.

Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h.
72. Bisnis Syari’ah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan
penghormatan atas hak masing-masing. http://suud83.wordpress.com/, diakses pada 14
Mei 2010.

Adiwarman Karim, ibid.


Adiwarman Karim, Ibid. lihat juga Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance.
(Pakista: Maktaba Ma’ariful Qur’an, 2002), h. 35.

Adiwarman Karim, ibid., h. 90. Lihat juga M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah
Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 17. Banding dengan M. Umer Chapra, ibid., h.
235.

Agustianto Mingka, Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta,
15 Juni 2010.

Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 15.

Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 19.

Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam, (Jakarta: Lemlit UIN, 2009), h. 11.

Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, op. cit., h. 12.

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), hh. 137-138.

Ahmad Ifham Sholihin, ibid., h. 28.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis
ataupun kegiatan di bidang perbankan, pertahanan, sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan
pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya
tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada
tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara
jelas hak dan kewajiban para pihak, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan
pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat
dihindari, dalam proses penyelesaiannya akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis
terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian sengketa. Lihat Tugas
dan Wewenang Notaris, Majelis Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Pusat,
(Jakarta: MPD Jakpus, 2006), h. 2.

Al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Lihat Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 79.

Amrul Partomuan Pohan, Pengurus INI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni 2010.

Ariawan Amin, ibid, h. 105.

Ariawan Amin, Ibid, hh. 104-105.

Ariawan Amin, Menata Perbankan Syari'ah di Indonesia, (Jakarta: UNIN Press, 2009), h. 105.

Arnisah Vonna, Dewan Penasihat INI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Juni 2010.

Arofah, Windiani, “Fungsi dan Eksistensi Unsur Akademisi dalam Formasi Majelis Pengawas
Daerah Notaris:, Makalah disampaikan pada Perkenalan dan Sosialisasi MPD Jakarta
Pusat Periode 2009-2011, Jakarta, Selasa 10 Februari 2009.

Ar-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri, 2003)
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 38.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 35.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 53.

Ascarya, ibid., h. 110.

Ascarya, ibid., h. 60.

Ascarya, ibid., h. 90.

Ascarya, ibid., h. 99. Ijarah juga berarti memberikan sesuatu untuk disewakan.

Ascarya, ibid., hh. 96-97.

Ascarya, op. cit., h. 96.

Azharuddin Latif, Peneliti UIN Jakarta, (Penelitian Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta,
Mei 2010).

Azharudin Lathif, Peneliti Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, Februari 2010.

Bahrul Muhtasib, Pengurus Pusat Komunikasi Ekonomi Syari'ah (PKES), Wawancara Pribadi,
Jakarta, 21 Juni 2010.

Bahrul Muhtasib, Pengurus Pusat Komunikasi Ekonomi Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21
Juni 2010.

Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan
investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian
tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Lihat
Ascarya, ibid., h. 101.

Berdasarkan data Dewan Syari'ah Nasional (DSN) hingga 30 Agustus 2008 telah ada 3 bank
umum syari'ah, 14 Unit Usaha Syari'ah Bank Umum, 15 Unit Usaha Syari'ah Bank
Pembangunan Daerah (BPD), 3 Bank Kustodian Syari'ah, dan 117 Bank Pembiayaan
Rakyat Syari'ah (BPRS). Dengan total aset per akhir Desember 2008 sebesar 20,88
triliun. Sementara itu, jumlah asuransi syari'ah saat ini telah mencapai 52 jenis asuransi,
yang terdiri atas 43 asuransi syari'ah, 3 reasuransi syari'ah, dan 6 broker asuransi dan
reasuransi syari'ah. Dengan demikian, selama dua kurun waktu kedua, dari tahun ke
tahun, yaitu sampai 30 Agustus 2008, jaringan bank syari'ah telah berkembang sebesar
35% dibandingkan dengan akhir kurun waktu pertama. Reksadana syari'ah pertama kali
diluncurkan oleh PT Danareksa Investment Management (DIM) pada 3 Juli 1997 dengan
nama Danareksa Syari'ah dan pada 1 Desember 2000 dengan nama Danareksa Syari'ah
Berimbang. Reksadana kedua dikeluarkan oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM)
pada 5 Mei 2000 dengan nama Reksadana PNM Syari'ah, dan ketiga Rifan Asset
Management (RAM) pada tanggal 1 Oktober 2002 dengan nama Rifan Syari'ah (Rifan
sekarang ditutup), setelah itu berkembang berbagai reksadana syari'ah lainnya. Hingga
akhir Desember 2005, berdasarkan data Bapepam, danarekasa syari'ah yang diluncurkan
sebanyak 12 buah, dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) mencapai 1,158,6 miliar. Pada
Maret 2008, jumlah perusahaan reksadana syari'ah sebanyak 22 perusahaan.

Book’s Notary, Chapter 1, lihat juga www.wikipedia.com


Buku Panduan dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, (Jakarta: Pengurus Pusat INI,
2006), h. 198.

Buku Panduan dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, (Jakarta: Pengurus Pusat INI,
2006), h. 198.

Christoper Pass, et al., Collins: Kamus Lengkap Bisnis (Collins Dictionary of Business),
Terjemahan Sumarso, (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 62.

Corporate Financial Consultant PT Asuransi Takaful Keluarga Jakarta.

Dalam bidang hukum ekonomi, banyak surah dan ayat Al-Quran yang berisikan kritik
membangun, baik tentang teori-teori hukum ekonomi klasik maupun kontemporer yang
mengabaikan prinsip keadilan di satu sisi dan prinsip pemerataan di sisi lain. Teori
ekonomi kapitalis yang lebih mengabdi pada kepentingan kaum pemodal (the have)
dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak tidak terlepas dari kritik-kritik Al-
Quran. Pengharaman riba, pengabaian hak-hak kesejahteraan ekonomi kaum fuqara dan
masakin khususnya anak-anak yatim demikian banyak dalam Al-Quran, paling sedikit
mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan teori sosialis yang lebih mendewakan
kesejahteraan kolektif tanpa batas dengan mengabaikan hak-hak individu yang dijamin
Al-Quran secara legal dan transparan. Pelbagai kritik sosial ekonomi yang dilontarkan
Al-Quran terhadap kondisi objektif dari sistem ekonomi ribawi yang sama sekali
mengabaikan asas keadilan dan pemerataan sebagaimana diajarkan Islam merupakan
indikator lain atas peduli Al-Quran terhadap bangunan dan pemeliharaan sistem ekonomi.
Demikian pula dengan pelurusan dan pembenahan sistem ekonomi yang oleh Al-Quran
diarahkan supaya mendasarkan perekonomian pad asas keadilan yang berpemerataan atau
asas pemerintahan yang berkeadilan. Lihat Muhammad Amin Suma, “Kemungkinan
Penyerapan Nash-Nash Al-Quran ke dalam Kompilasi Bidang Ekonomi Syari’ah,
Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
HAM RI, Nomor 2. Tahun 2007, hh. 104-105.
Dalam Kamus Inggris-Indonesia, business diartikan sebagai perusahaan, urusan,
dan usaha. Lihat Joh M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,
(Jakarta: Gramedia, 1988), h. 90.

Data statistik Bank Indonesia pada akhir Juli 2002 jaringan bank syari'ah telah meningkat menjadi
20%, 202 kantor, yang terdiri atas 119 kantor bank umum dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syari'ah (BPRS), ibid., h. 443.

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h.2.

Dengan pengetahuan akad syari’ah tersebut, saya berharap para notaris dengan mudah
melaksanakan pekerjaannya yang berkaitan dengan lembaga keuangan dan bisnis
syari’ah. Sutjipto, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia di acara Pelatihan Pembuatan
Akad Syari’ah, hasil kerjasama antara PKES, BTN Syariah, dan Ikatan Notaris Indonesia
(INI), Sumut, 7 Juli 2008, diakses pada www.pkes.org, 29 Mei 2009.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005)

Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Daftar Lembaga Keuangan
Syari'ah s.d. 30 Agustus 2008, (Jakarta: Arsip.DSN MUI).

Di dunia Islam seni notaris pada awalnya berkembang di Baghdad, Irak, pada abad ke-8. Lihat
Duyah Ratna Meta Novi, “Notaris di Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h.
Khazanah.

Di negara hukum Indonesia, kedudukan / posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah
kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula dengan
signifikansi fungsi hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan terutama dalam upaya
menopang, melengkapi, dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi
peran dan fungsi hukum Islam secara umum dalam menopang, melengkapi, dan atau
mengisi kekosongan hukum nasional. Lihat Muhammad Amin Suma, “Arah
Pengembangan Hukum ekonomi Islam / Syari’ah di Indonesia”, Majalah Hukum
Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor
2, Tahun 2007, h. 96.

Diriwayatkan oleh Al-‘Uqail di dalam kitab Adh-Dhu’afa, Abu Mu’aim di dalam kitab al-
Hulliyyah, dan Abu Al-Hasan Ibnu Kuwaih di dalam kitab Tsalasatu Majalis lewat jalur
periwayatan Sufyan dari Hajjaj dari Yazid Ar-Ruqaisyi dari Anak bin Malik dengan
derajat marfu’.

Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi dari kesempurnaan Islam itu
sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam
menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek
kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang Muslin yang menjalankan shalat lima
waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan atau bisnis yang
menyimpang dari ajaran Islam. Lihat Mustafa Edwin Nasution et al., Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 2.

Ekonomi syari’ah sebagai sebuah sistem saat ini merupakan pilihan alternatif dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Sebagai sebuah sistem sebagaimana layaknya dengan sistem-sistem
ekonomi yang ada dewasa ini (kapitalisme dan sosialisme), di dalamnya mengusung
seperangkat nilai, asas, dan prinsip yang berfungsi sebagai fundamen, pengarah, bahkan
sebagai sistem pengontrol yang tidak boleh ada penyimpangan yang berhadapan dengan
nilai-nilai tersebut. Lihat M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia.
(Jakarta: eLSAS, 2006), h. 311.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam: Bagian Pertama, (Jakarta: Logos, 1997), h. 7. Lihat
juga Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. (Jakarta; Rajawali Pers, 1990), h. 46.

Fatwa yang dimaksud sudah disebarkan oleh MUI Pusat ke MUI Provinsi, Kabupaten / Kota, dan
juga sudah ada yang sampai kepada warga masyarakat, agar umat mengetahui hukum-
hukum ekonomi syari’ah. Lihat Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 130.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta, Erlangga: 1980), h. 5.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 57. Lebih lanjut,
Tobing memberikan komentar bahwa dewasa ini pengangkatan para notaris (sekarang
Menteri Hukum dan HAM) dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang sebelumnya hal itu
dilakukan oleh kepala negara. Sepanjang yang dapat diketahui, pengangkatan notaris oleh
Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM) mempunyai wewenang untuk
mengangkat para notaris, hingga kini belum dapat diketahui dengan jelas. Yang jelas
bahwa sampai sekarang ini tidak diketahui adanya suatu undang-undang atau peraturan
lainnya yang memberikan wewenang ataupun melimpahkan wewenang itu kepada
Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 58.

G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 5.

G.W.S. Lumban Tobing, op.cit., h. 1.

Georga A Makdisi yang dijadikan rujukan oleh Dyah Ratna Meta Novi, dalam “Notariat di Dunia
Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h. Khazanah.

Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan sikap diam Nabi yang tercatat dalam kitab-kitab Hadits. Ia
merupakan penafsiran dan penjelasan otentik tentang al-Qur’an. Lihat Mohammad Daud
Ali, op. cit., h. 97.

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), Cet. V,
h. 117.

http://beyblog.syafaatadvertising.net/, diakses pada 14 Mei 2010.

http://groups.google.com/graoup/NOTUNA2003/, diakses pada 28 Mei 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diakses pada 29 Mei 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diakses pada 29 Mei 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/, diakses pada 29 Mei 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/, diakses pada 29 Mei 2009.

http://majalah.depkumham.go.id/node/83_Edisi_Vol_V_No.24

http://rafika.ngeblogs.com/ diakses pada 14 Mei 2010.


http://riz4ldee.wordpress.com/, diakses pada 27 Mei 2009.

http://Syari’ahbisnis.com/bisnisSyari’ah.html, diakses pada 25 Februari 2010.

http://www.fai.umi.ac.id/, diakses pada 6 Mei 2010.

http://www.fai.umi.ac.id/. Diakses pada 6 Mei 2010.

http://www.fai.umj.ac.id, diakses pada 25 Mei 2010.

http://www.fai.umj.ac.id/, diakses pada 6 Mei 2010.

http://www.mawsoah.net, diakses pada 6 Juni 2010

http://www.ponianakpost.com/berita, diakses pada 05 Juni 2009.

Ibid

Ibid, M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., h. 78. Akad ini bisa dianggap sah apabila sejalan dengan
kehendak syara’.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Ibid. Lihat juga Tugas dan Wewenang Notaris, (Jakarta: MPD Notaris Kotamadya Jakarta Pusat,
2006), h. 1.

Ibid., h. 2.

Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi, Jakarta,
20 Mei 2010.

Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi, Jakarta,
20 Mei 2010.

Iim Qoimudin, Ketua Cabang Unit Usaha Syari'ah Asuransi ADIRA, Wawancara Pribadi, Jakarta,
20 Mei 2010.

Ijarah ini sering disebut ijarah muntahiya bittamlik, lihat Ascarya, ibid., h. 100.

Imam Nikmatullah, Offices Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI), Wawancara Pribadi, Jakarta, 1
Maret 2010.

Iman Nikmatullah, Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 1 Maret 2010.

Ismail Jamil, Pimpinan Business Community Bank Permata Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta,
Mei 2010.
Istilah Openbaare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in
Nederlands Indie (Stbl., 1860: 3) diterjemahkan menjadi pejabat umum oleh G.H.S
Lumban Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta,
Erlangga: 1980), h. 31.

Istilah Openbaare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan
menjadi pejabat umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983)

Keberadaan DSN MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen, lebih
kredibel, dan diakui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan fatwa yang
berkaitan dengan masalah-masalah syari’ah yang dihadapi oleh perbankan dan lembaga
keuangan syari’ah lainnya. Lebih lanjut, lihat Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 206.

Konsep masyarakat sejahtera dan beradab sering disebut masyarakat madani (civilized society), di
mana konsep ini mengacu kepada masyarakat Madinah pada masa Rasulullah tersebut.

Lebih lanjut, lihat A. Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), hh.
122-132.

Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan
sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan
hukum keperdataan yang ada dan / atau terjadi di antara mereka suatu lembaga dengan
para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di
mana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh
masyarakat membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik. Lebih lanjut,
baca G.H.S. Lumban Tobing, op. cit., h. 1.

Lihat juga http://www.fai.umj.ac.id. Singkatnya bisnis dapat diartikan sebagai segala bentuk
aktivitas dari pelbagai transaksi yang dilakukan manusia guna menghasilkan keuntungan,
baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-
hari. Lihat A. Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, op.cit, h. 19. Secara
etimologi, bisnis berarti keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang sibuk
melakukan pekerjaan yang menghasilkannya-penggunaan singular kata bisnis dapat
merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan, http://rafika.ngebloks.com/, diakses pada 14 Mei
2010.

Lihat juga Muhammad Taqi Usmani, loc. Cit., h. 31.

Lihat Muhammad Amin Suma, “Kemungkinan Penyerapan Nash-Nash Al-Qur’an ke dalam


Kompilasi Bidang Ekonomi Syari’ah”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 2, Tahun 2007, h. 109.

Lihat Tim Pengkajian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Ibid., h. 15.

Lihat Ustad Adil, Pandangan Hugo de Groot, Thomas Hobbes, dan Immanuel Kant terhadap
Pernikahan di Bawah Umur, (Jakarta: Pascasarjana UMJ Jakarta, 2008), Makalah UMJ,
h. 13.

Linda, Notaris dan Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Pusat, Wawancara Pribadi, Jakarta,
15 Juni 2010.

Lumban Tobing, op.cit, h.15.


Lumban Tobing, op.cit.

Lumban Tobing, op.cit.

M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari'ah di Indonesia, (Jakarta, Paramuda Bookstore,


2008), h. Pengantar.

M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 77.

M. Nadrotuzzaman Hosen, et al., Materi Dakwah Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2008), h. 82.

M. Nadrotuzzaman Hosen, ibid., et al., h. 79.

M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h.
74.

M. Umer Chapra lahir di Pakistan pada 1 Februari 1933. Chapra terlibat dalam Pelbagai organisasi
dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi
penasihat pada Islamic Research and Training Institute (IRT) dari IDB Jeddah selama
hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga-lembaga
ekonomi Arab Saudi ini membuatnya diberi kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja
Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi, Syekh Muhammad Aba Al-
Khail. Lebih kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi di pelbagai lembaga yang
berkaitan dengan permasalahan ekonomi di antaranya, 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di
Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain profesinya itu, banyak kegiatan
ekonomi yang diikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga
ekonomi dan keuangan dunia, seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC, dan lain-lain. Lihat
http://www.en.wikipedia.org, diakses pada 06 Juni 2010.

M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terjemahan Lukman Hakim,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 323. Sementara Adiwarman Karim
Menyebutnya bahwa mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan
istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. Lihat Adiwarman Karim, Bank Islam:
Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h. 180.

Mahmod M. Ayoub, Jalan antara Keyakinan dan Praktik Ritual. (Yogyakarta: AK Group, 2004),
hh. 168-169.

Mahmud Syauqi Al Danjani, Al Wajiz fi al iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir A.S. dengan
judul Ekonomi Islam Masa Kini, (Bandung: Husaini, 1989), h. 14.

Manna’ al-Qattan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, (Muassasah al-Risalah, t.t.), h. 14.

Mengenai perkembangan ekonomi syari’ah, baca dalam Nur Kholis (2006), “Penegakan Syari’ah
Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi)”, dalam Jurnal Hukum Islam Yogyakarta. Hh.
169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syari’ah dalam angka,
lihat Dadang Muljawan (2007), Islamic Financial Engineering; A Regulatory
Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial
Engineering 9-10 January, Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id,
atau bisa dilihat pada M. Lutfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Senayan
Abadi, 2003), h. 185.

Mengenai perkembangan ekonomi syari’ah, baca dalam Nur Kholis, “Penegakan Syari’ah Islam d
Indonesia (Perspektif Ekonomi)”, dalam Jurnal Hukum Islam Yogyakarta, (2006), hh.
169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syari’ah dalam angka,
lihat Dadang Muljawan, Islamic Financial Engineering; A Regulatory Perspective,
(2007), Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial
Engineering 9-10 Januari, Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id,
atau bisa dilihat pada M. Lutfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Senayan
Abadi, 2003), h. 185.

Menurut Habib Adjie, Penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860: 3)
ada kesalahan karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut Nederlands
Indie, seharusnya disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.
1860: 3). Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 yang selanjutnya bisa disebut Peraturan Jabatan
Notaris atau PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in
Nederlands Indie (STBL. 1860: 3). Lihat Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian
Hukum Tahun 2009, op.cit., h. 13.

Menurut Lumban Tobing bahwa untuk pertama kalinya nama “notarii” diberikan kepada orang-
orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam
senat Romawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan (abbreviations atau
characters). Kemudian, dalam bagian kedua dari abad ke-5 dan dalam abad ke-6 nama
“notarii” diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi dari para kaisar sehingga
nama “notarii” kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang diartikan dengan
perkataan “notarii” tidak lain adalah “pejabat-pejabat istana”, yang melakukan berbagai
ragam pekerjaan kanselarij kaisar dan semata-mata merupakan pekerjaan administratif,
ibid.

Menurut para responden, pelatihan ini harus diadakan sungguh-sungguh, bukan asal jadi, dan asal
mendapatkan sertifikasi, tanpa dilakukan pengujian yang profesional dan sesuai standar
yang berlaku. Minimal pelatihan ini diadakan satu minggu penuh dan diadakan secara
intensif bagi para notaris yang ingin menangani akad / bisnis syari'ah.

Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah
istilah yang digunakan di Irak, sedangkan qiradh adalah istilah yang digunakan oleh
masyarakat Hijaz. Lihat Adiwarman Karim, ibid, h. 180.

Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madikhal II al-Tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Shadir, t.t.), Jilid
VIII, h. 10.

Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981), h.
10.

Mumtaz Mahmud Bank DKI Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 2 Maret 2010.

Mumtaz Mahmud, Staff Legal Bank DKI Syari'ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 2 Maret 2010.

Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Business Ethic in Islam), Terjemahan Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 16. Lihat, juga karya A. Kadir, Hukum Syari’ah
dalam Al-Qur’an, op. cit., h. 24.

Namun, dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang
bersangkutan. Maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ke Indonesia adalah untuk
memenuhi kebutuhan akan alat bukti otentik yang sangat dibutuhkan untuk menggunakan
hal dan kepentingan yang timbul karena adanya transaksi dagang yang mereka lakukan.
Lebih lanjut, lihat http://riz4ldee.wordpress.com/, diakses pada 27 Mei 2009.
Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for Documentation and
Studies of Business Law (CDSBL), 2003), h. 31.

Norman Rizal, Notaris Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Juni 2010.

Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad II-III pada masa Romawi Kuno, di
mana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius, atau notarius. Pada masa itu, mereka
adalah golongan orang yang mencatat pidato. http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris/,
diakses pada 29 Mei 2009.

Nurjamil, Pengurus Rumah Zakat / Wakaf Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta 9 Juni 2010.

Op.cit.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Tujuan dari ekonomi syari’ah adalah
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber
daya langka yang seirama dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu,
menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau
melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan
mendorong kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas,
baik bagi pembahasan teoretis maupun resep kebijakan. Lihat M. Umer Chapra, Masa
Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan Ikhwan Abidin Bashri
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 108. Atau bisa lihat juga Afazlur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, Terjemahan Soeroyo dan Nestangin, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
1995), Jilid 1, h. 8.

Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, lihat juga Tim
Penelitian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Hukum Tahun 2009, (Jakarta Kanwil Kumham DKI
Jakarta: 2009), h. 12. Usaha melahirkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris tersebut merupakan perjuangan panjang yang gigih dan ulet sejak tahun
1970-an yang dilakukan oleh generasi senior yang kemudian dilanjutkan oleh generasi
penerusnya. Sempat terjadi di kalangan internal Ikatan Notaris Indonesia (INI) adanya
perbedaan pendapat, antara lain, mengenai siapa yang berwenang mengangkat notaris,
beberapa kongres terakhir INI menugaskan kepada Pengurus Pusat Ikatan Notaris
Indonesia (PP-INI) untuk memperjuangkan dilahirkannya Undang-Undang Jabatan
Notaris. Setelah itu, dilakukan pembahasan yang intensif antara INI dan pemerintah
khususnya Sekretariat Negara RI untuk mengantisipasi kelambatan dan mempercepat
proses dilahirkannya Undang-Undang Jabatan Notaris, maka jauh sebelum Bapak
Menteri Kehakiman dan HAM RI (sekarang Kementerian Hukum dan HAM)
menyampaikan draf, Undang-Undang Jabatan Notaris ke Sekretariat Negara dengan
sepengetahuan dan izin beliau PP-INI mengajukan draf Rancangan Undang-Undang
Jabatan Notaris kepada Badan Legislatif Nasional (Prolegnas) dan alhamdulillah berhasil.
Sesuai dengan prosedur Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat maka Rancangan Undang-
Undang Jabatan Notaris selanjutnya menjadi hak inisiatif DPR. Bersamaan dengan itu,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris kepada DPR.
Dengan demikian, prosesnya menjadi lebih cepat sehingga pada tanggal 24 September
2004 telah menjadi persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR dan disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6
Oktober 2004. Buku Panduan dan Materi Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia.
(Jakarta: Pengurus Pusat INI, 2006), h. 198.

Paulus Effendie Lotulung, “Perlindungan Hukum bagi Notaris Selaku Pejabat Umum dalam
Menjalankan Tugasnya”, majalah triwulan Media Notariat, 3 Januari, 2000, h. 42.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris
Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
40.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris
Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
40.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, jati Diri Notaris
Indonesia: Dulu, Sekarang dan di Masa Datang, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h.
32.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., h. 33.

Perbankan syari’ah bisa dilakukan oleh semua umat dan semua agama mengharamkan adanya riba.
Dengan adanya perbankan syari’ah diharapkan bisa menjadi sistem ekonomi alternatif
bagi ekonomi masyarakat, dengan berkembangnya ekonomi syari’ah di Indonesia akan
mendorong kesejahteraan umat. Iqbal Lalantro, Direktur Bank Tabungan Negara (BTN).
Diakses pada www.pkes.org, 29 Mei 2009.

Perkembangan bank syari'ah di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan perbankan syari'ah di


negara-negara Islam pada tahun 1970-an. Pada awal periode 1980-an, para cendekiawan
Muslim telah mulai mengembangkan wacana dan studi mengenai bank syari'ah. Setelah
melalui kajian yang cukup panjang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus
1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor. Hasil
lokakarya tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Musyawarah Nasional IV MUI di
Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut
dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Lihat Ahmad
Ifham Sholihi, Ini Lho, Bank Syari'ah, (Jakarta: Hamdallah, 2008) h. 11.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008), hh. 97-98.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008), h. 99.

Rachmat Syafe’i, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syari’ah, http://www.pikiran-


rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm.

Richard D. Steade, et al., Business Its Nature and Environment An Introductions, Tenth Edition,
(Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co., 1984), hh. 304.

Roy Fachraby Ginting, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kabupaten Karo dalam
http://notary-herman.blogspot.com/tugas-dan-fungsi-nogaris-dan-ppat.html/, diakses pada
27 Mei 2009.

Saifuddin Arif, Notaris, Wawancara Pribadi, di Kantor Notaris, Ciledug Tangerang, 29 Maret
2010.

Salah seorang yang memenuhi kebutuhan hidup dari bidang ini adalah Yahya ibn Amr al-Judzami.
Ia adalah penduduk Kordoba yang juga hakim. Ia menghidupi dirinya dengan berpraktik
sebagai notaris. Ada pula Muhammad ibn Ayyub al-Ghafiqi yang hidup pada abad ke-12.
Ghafiqi meninggalkan kampung halamannya di Saragosa menuju Valestina bersama ayah
dan kakeknya. Saat itu, wilayah tersebut diduduki pasukan Kristen. Di ana, ghafiqi
melanjutkan kehidupannya sebagai seorang pakar ilmu Al-Quran, tata bahasa,
leksikografi, dan syair. Selain itu, Ghafiqi juga menguasai sejarah, genealogi, sastra, dan
bahasa Arab klasik. Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, Ghafiqi diminta bantuan
oleh orang-orang untuk membuat dan menyusun dokumen-dokumen resmi hukum.
Ghafiqi bersedia membuat dokumen yang diinginkan itu dengan meminta bayaran tinggi.
Meski orang-orang yang meminta bantuannya agak keberatan, akhirnya mereka
memberikan syarat seperti yang diingikan Ghafiqi. Lihat Dyah Ratna Meta Novi,
“Notariat di Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h. Khazanah.

Sambutan pemerintah atas persetujuan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang


Jabatan Notaris dalam Rapat Paripurna Terbuka Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Tanggal 14 September 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya disebut
UUJN.

Sedangkan antologi mengenai akta-akta kenotarisan pertama yang masih terdapat pada karya milik
Al-Thantawi, seorang cendekiawan Muslim yang wafat pada 933 Masehi. Karya yang
ditulisnya itu berjudul Al-Jami al-Kabir fi al-Syuruth dan kita Al-Syuruth al-Shagir. Lihat
Dyah Ratna Meta Novi, “Notariat di Dunia Islam”, Republika, 15 Maret 2010, h.
Khazanah.

Sekaligus sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Sekjen Badan Arbitrase Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Basyarnas MUI) dan juga
pengurus pada Masyarakat Ekonomi Syari'ah (MES).

Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI).

Shelagh Haffernan, Modern Banking in Theory and Practice, (Wes Sussex: John Wiley and Sons,
2003), h. 15.

Sumber diperoleh dari lapangan hasil wawancara dengan para notaris di wilayah Jakarta dan juga
dengan praktisi Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) di Jakarta, Juni 2010.

Sumber: http://majalah.depkumham.go.id, diakses pada 27 Mei 2009.

Sutjipto, Anggota pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI), sumber diambil dari
www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.

Tan Thong Kie, Studie Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Iktiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 218.

Taufiq, “Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah”, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloga
Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006. Hh. 6-7.

Tentang hukum terapan dalam hal sengketa ekonomi syari’ah belum secara gamblang, tegas, dan
jelas tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dalam kaitan hukum
formil maupun materiil yang seharusnya dijadikan rujukan oleh para penegak hukum.
Penegakan hukum harus dilandaskan pada ketentuan yang berlaku meskipun pada kondisi
tertentu hakim memiliki hak prerogatif untuk melakukan penerobosan dan penemuan
hukum (recht vinding) ketika suatu permasalahan dihadapkan kepadanya tidak secara
konkret dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan sebab lembaga peradilan tidak
dibenarkan menolak perkara yang diajukan kepadanya hanya dengan alasan karena
ketentuan belum mengatur. Lihat A. Mukri Agafi, Perspektif Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah pada Peradilan Agama; Studi Pustaka, (Tesis Magister Ilmu Hukum,
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta, 2003), h. 4.

Terciptanya perekonomian yang stabil ini disebabkan sistem syari’ah dapat mengeliminasi dan
melarang kegiatan-kegiatan yang nonproduktif, haram, berbahaya, tidak baik, dan
spekulatif. Kondisi ini akan mendorong pada peningkatan pemanfaatan sumber daya,
mengurangi tekanan inflasi, serta menanggulangi krisis ekonomi sehingga memudahkan
pencapaian tujuan-tujuan ekonomi yang telah direncanakan. Lihat Nurul Huda, dkk.,
Ekonomi Makro Islam, Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 234.

Terdapat banyak ayat Al-Quran yang mengelaborasi tentang notaris, di antaranya, QS Al-Baqarah
[2]: 282, QS Al-‘Alaq [96]: 4, dan QS Al-Qalam [68]: 2.

Terdapat banyak faktor yang berkontribusi mendorong Bertumbuhnya perbankan syari'ah nasional
dalam tahun-tahun mendatang. Faktor pendorong terpenting, antara lain, kejelasan visi,
misi, dan sasaran pengembangan perbankan syari’ah nasional oleh otoritas perbankan
yang diwujudkan dalam cetak biru pengembangan perbankan syari’ah nasional.
Termasuk di dalamnya adalah komitmen untuk menyempurnakan dan melengkapi
ketentuan operasional yang sesuai dengan karakteristik usaha bank syari'ah, mendukung
inftrastruktur yang dapat mendorong beroperasinya bank syari'ah secara lebih efisien,
serta bantuan-bantuan teknis yang diberikan dalam rangka meningkatkan kompetensi para
bankir syari'ah dan dalam bentuk survei pemetaan potensi bank syari'ah di pelbagai
wilayah di tanah air. Lihat M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari'ah, (Jakarta:
Senayan Abadi, 2003), h. 17.

Tidak semua ayat yang berbicara tentang hukum dalam pengertian syari’ah. Namun, secara umum
tetap menggambarkan perihal Kemahaadilan dan Kemahabenaran Allah Swt. dalam
setiap ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Itulah sebabnya mengapa Allah Swt.
baru mengakui kesempurnaan iman seseorang manakala bersedia menerima hukum-
hukum Allah dengan hati yang lapang tanpa diiringi dengan rasa keberatan sekecil apa
pun. Lihat Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajawali Press, 2001),
h. 17.

Tim Penelitian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Hukum Tahun 2009. (Jakarta: Kanwil Kumham DKI
Jakarta, 2009), hh. 1-2.

Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian Hukum Tahun 2009, (Jakarta: Kanwil Kumham DKI
Jakarta, 2009), h. 10.

Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Pengkajian Hukum Tahun 2009, (Jakarta: Kanwil Kumham DKI
Jakarta, 2009), hh. 10-11.

Tim Penyusun Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006,
(Jakarta, DNS MUI-BI, 2006), h. Kata Pengantar.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), h. 138.

Titi Sulistiawati, Notaris di BNI Syari’ah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Juni 2010.

Tugas dan Wewenang Notaris, Majelis Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Pusat,
(Jakarta: MPD Jakpus, 2006), h. 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Peraturan
Jabatan Notaris di Indonesia, Tentang Menjalankan Jabatan dan Daerah Notaris, Bab I,
Pasal 1. Definisi lain bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi
dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan
jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Lihat www.skripsi-tesis.com, diakses pada
tanggal 27 Mei 2009.

Veithzal, Islamic Financial Management, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. Pengantar.

Wacana mengenai perlu tidaknya notaris syari’ah mengemuka dalam acara Lokakarya Nasional
yang diselenggarakan oleh Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia (HISSI)
di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua
panelis dalam lokakarya sepakat perlu adanya notaris syari’ah, termasuk Prof. M. Amin
Suma, karena didasarkan alasan akan kebutuhan adanya notaris dalam transaksi syari’ah.
Kini sudah banyak lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang beroperasi membutuhkan jasa
notaris syari’ah. http://www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.

Wacana sistem ekonomi syari’ah itu diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis non-ribawi.
Sebenarnya sistem ekonomi syari’ah mencakup semua aspek ekonomi. Namun, dewasa
ini terkesan ekonomi syari’ah identik dengan konsep tentang keuangan dan perbankan.
Kencenderungan ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, Tuhan dalam Al-Quran dan
Sunnah yang paling menonjol adalah doktrin transaksi non-ribawi (larangan praktik riba).
Kedua, peristiwa krisis minyak tahun 1974 dan 1979 yang menimbulkan kekuatan
finansial berupa petrodollar pada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei di Asia Tenggara. Lihat M. Dawam
Rahardjo, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:
IIIT Indonesia, 2003), halaman Pengantar, Bandingkan dengan M. Kabir Hasan dan
Mervyn K. Lewis, Handbook of Islamic Banking, (Great Britain: Edward Elgar
Publishing Limited, 2007) hh. 21-37.

Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, (Beirut; Daf Fikir, 1997), h. 37.

Wahbah Az-Zuhaily, ibid., h. 46.

Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Darus Maktabah, 1984), Juz 4-5.
Oihat AAOIFI, Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions,
2002. Lihat juga Dewa Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa DSN, 2003.

Wahyu Dwi Agung, Pendiri dan Mantan Ketua Umum Asosiasi Perbankan Syari'ah Seluruh
Indonesia (Asbisindo), Wawancara Pribadi, Jakarta, 22 Juni 2010.

Wahyu Dwi Agung, Pendiri dan Mantan Ketua Umum Asosiasi Perbankan Syari'ah Seluruh
Indonesia (Asbisindo), Wawancara Pribadi, Jakarta, 22 Juni 2010.

Wawancara pribadi dengan Ahcmad Djauhari, 5 Juni 2010 di Kampus UMJ.

www.giselashaw.com, diakses pada tanggal 15 Mei 2009

www.guselashaw.com, diakses pada 15 Mei 2009

www.pkes.org, diakses pada 29 Mei 2009.

www.pkesinteraktif.com, diakses pada 19 Mei 2009.

www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009


www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009

www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009.

www.wikipedia.com, diakses pada 14 Mei 2009.

www.wikipedia.com, diakses pada 20 Mei 2020.

Yang menarik adalah institusi ekonomi berlandaskan syari’ah ternyata telah memberikan harapan-
harapan yang cukup menggembirakan karena mampu bertahan dalam kondisi krisis
ekonomi. Bank syari’ah, asuransi syari’ah, dan lembaga keuangan syari’ah lainnya kini
tumbuh dan berkembang dengan pesat walaupun masih banyak memiliki kekurangan dan
kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan secara optimal. Lihat Zainudin Ali,
Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 51.

Yusuf Abdullah Daghfaq, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia. Terjemahan As’as Yasin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1991), h. 25.

Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 1.

Zainudi Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hh. 203)

Zainulbahar Noor, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan, Fenomena
Kebangkitan Ekonomi Islam, (Jakarta: Bening Publishing, 2006), h. 442)/

Zainulbahar Noor, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan Fenomena
Kebangkitan Ekonomi Islam, (Jakarta: Bening Publishing, 2006), h. 442.

Zulfahmi, Corporate Financial Consultant PT Asuransi Takaful Keluarga, Wawancara Pribadi,


Jakarta, 24 Mei 2010.

Anda mungkin juga menyukai