Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

MANAJEMEN GENERL ANESTESI PADA PEDIATRI


DENGAN LUKA BAKAR

Disusun Oleh:
Siti Sabrina, S.Ked
NIM : 71 2021 006

Pembimbing
dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An
 

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:


MANAJEMEN GENERaL ANESTESI PADA PEDIATRI
DENGAN LUKA BAKAR

Dipersiapkan dan disusun oleh


Siti Sabrina, S.Ked.
712021006

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Departemen Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari.

Palembang, Desember 2021


Dosen Pembimbing

dr.Rizky Novianti Dani, Sp. An.


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Ma
najemen Anestesi Pada Pasien Combustio” sebagai salah satu tugas individu di
SMF Anestesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Palembang, Desember 2021

Penulis

DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Bakar.............................................................................................6
2.1.1 Definisi.........................................................................................6
2.1.2 Penyebab Luka Bakar..................................................................7
2.1.3 Patofisiologi.................................................................................8
2.1.4 Luas Luka Bakar..........................................................................8
2.1.5 Diagnosis......................................................................................9
2.1.6 Tatalaksana...................................................................................13
2.2 Anestesi Regional pada Pedriatrik.........................................................14
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................33
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................40
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................44
BAB I

PENDAHULUAN

Luka bakar disebabkan oleh beberapa mekanisme termasuk api, melepuh,


kimia, listrik, dan radiasi ion dan non-ion. Sekitar setengah juta kasus luka bakar
adalah terjadi setiap tahun, di mana 40 ribu pasien dirawat di rumah sakit dan
menerima perawatan intensif. Perawatan luka bakar sangat intensif dari segi
sumber dayanya karena rejimen pengobatan dan lamanya perawatan rawat inap
cukup besar. Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman luka superfisial
(derajat pertama), sebagian tebal (derajat kedua), atau ketebalan penuh (derajat
ketiga), yang: menentukan perawatan yang diperlukan untuk penyembuhan yang
sempurna. Tujuan perawatan luka bakar adalah untuk sepenuhnya mengembalikan
fungsi penghalang jaringan secepat mungkin sambil meminimalkan terjadinya
infeksi, terbentuknya jaringan parut, dan kontraktur.1
Luka bakar mewakili cedera traumatis yang unik namun umum, yang
merupakan penyebab utama kedua setelah kecelakaan kendaraan bermotor
sebagai penyebab utama kematian karena kecelakaan. Suhu dan durasi kontak
panas menentukan tingkat cedera luka bakar. Pada anak-anak, karena rasio luas
permukaan tubuh terhadap massa tubuh mereka yang tinggi, dan orang tua, yang
kulitnya lebih tipis memungkinkan luka bakar lebih dalam dari kerusakan termal
yang serupa, keduanya berisiko lebih besar mengalami luka bakar mayor.2
Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbulkan
efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung
pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan
kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
prognosis.3
Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar
setiap tahunnya. Dari angka tersebut, 112.000 penderita luka bakar membutuhkan
tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di
Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan
bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar semakin
meningkat.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Bakar


2.1.1 Definisi
Luka bakar mewakili cedera traumatis yang unik namun umum, yang
merupakan penyebab utama kedua setelah kecelakaan kendaraan bermotor sebagai
penyebab utama kematian karena kecelakaan. Suhu dan durasi kontak panas
menentukan tingkat cedera luka bakar. Pada anak-anak, karena rasio luas
permukaan tubuh terhadap massa tubuh mereka yang tinggi, dan orang tua, yang
kulitnya lebih tipis memungkinkan luka bakar lebih dalam dari kerusakan termal
yang serupa, keduanya berisiko lebih besar mengalami luka bakar mayor. Respon
patofisiologi dan hemodinamik terhadap luka bakar unik dan memerlukan
perawatan luka bakar khusus yang dapat diberikan secara optimal hanya di pusat
perawatan luka bakar, terutama ketika lebih dari 20% dari total luas permukaan
tubuh pasien (Total Body Surface Area- TBSA) terlibat dalam luka bakar derajat
kedua atau ketiga. Pemahaman dasar tentang patofisiologi luka bakar dan
kebutuhan resusitasi, terutama inisiasi awal terapi seperti pemberian oksigen dan
resusitasi cairan agresif, akan meningkatkan kelangsungan hidup pasien.2
2.1.2 Penyebab Luka Bakar
Luka bakar adalah trauma yang dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja
dan di mana saja. Luka bakar dapat disebabkan oleh gesekan, dingin, panas,
radiasi, bahan kimia atau sumber listrik, tetapi sebagian besar luka bakar
disebabkan oleh panas dari cairan panas, padatan atau api. Meskipun
semua luka bakar melibatkan kerusakan jaringan karena transfer energi,
penyebab yang berbeda dapat dikaitkan dengan respon fisiologis dan
patofisiologis yang berbeda. Misalnya, nyala api atau minyak panas dapat
langsung menyebabkan luka bakar yang dalam, Sedangkan luka
melepuh (yaitu, dari cairan atau uap panas) cenderung tampak lebih
dangkal pada awalnya, karena pengenceran sumber dan energi yang cepat.
Bahan kimia alkali menyebabkan nekrosis kolikuatif (di mana jaringan
berubah menjadi cairan, massa kental), sedangkan luka bakar asam
menyebabkan nekrosis koagulasi (di mana arsitektur jaringan mati dapat
dipertahankan).1
6
2.1.3 Patofisiologi
Studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa luka bakar yang
parah (terlepas dari penyebabnya) menghasilkan pengembangan respon
inflamasi host yang sangat tidak teratur dalam beberapa jam setelah
cedera. Respon inflamasi dan stres ditandai dengan peningkatan kadar
sitokin, kemokin, dan protein fase akut serta keadaan hipermetabolik yang
didorong oleh nada simpatik berkelanjutan yang dapat bertahan di luar fase
akut perawatan. Sejumlah faktor berkontribusi terhadap besarnya respons
pejamu: keparahan luka bakar (persentase TBSA dan kedalaman luka
bakar); penyebab luka bakar; cedera inhalasi bersamaan; paparan racun;
cedera traumatis lainnya; dan faktor yang berhubungan dengan pasien
seperti usia, kondisi medis kronis yang sudah ada sebelumnya, keracunan
obat atau alkohol, dan waktu pemberian bantuan medis. Tergantung pada
besarnya cedera, respon host. Awal segera setelah cedera luka bakar parah
serupa dengan setelah banyak kondisi inflamasi lainnya yang dipicu oleh
kerusakan jaringan seperti trauma atau operasi besar, yang membantu
dalam memulai perbaikan jaringan dan penyembuhan luka secara
keseluruhan. Namun, setelah luka bakar yang parah, kaskade inflamasi
dapat dipicu beberapa kali selama perawatan klinis setelah resusitasi awal,
misalnya, selama operasi luka bakar atau komplikasi infeksi berikutnya.
Ketika kaskade inflamasi terjadi berulang kali atau tetap tidak terkendali,
ia dapat menghancurkan jaringan inang dan berkontribusi pada disfungsi
organ dan kematian. Meskipun berbagai bagian dari respon kompleks
setelah luka bakar telah diidentifikasi, bagaimana dan dalam urutan apa
bagian- bagian ini berinteraksi belum diselesaikan.3

2.1.4 Derajat Kedalaman Luka Bakar


Luka bakar diklasifikasikan sebagai derajat pertama, kedua, atau ketiga. Luka
bakar tingkat pertama adalah luka yang tidak menembus epidermis
(misalnya luka bakar akibat sinar matahari dan luka termal superfisial).
Penggantian cairan untuk luka bakar ini tidak diindikasikan, dan area luka
bakar tingkat pertama tidak boleh dimasukkan dalam penghitungan
penggantian cairan bila terdapat luka bakar yang lebih luas atau signifikan.
Luka bakar derajat dua adalah luka sebagian ketebalan (superfisial atau
7
dalam) yang menembus epidermis, meluas ke dermis untuk beberapa
kedalaman, dan berhubungan dengan terik. Terapi penggantian cairan
diindikasikan untuk pasien dengan luka bakar derajat dua bila lebih dari
20% TBSA terlibat. Pencangkokan kulit juga mungkin diperlukan dalam
beberapa kasus luka bakar tingkat dua, tergantung pada ukuran dan lokasi
luka. Luka bakar derajat tiga adalah luka bakar yang luka bakarnya
menembus seluruh ketebalan dermis. Saraf, pembuluh darah, saluran
limfatik, dan struktur dalam lainnya mungkin telah hancur, menciptakan
luka yang parah, tetapi tidak terasa, meskipun jaringan sehat di sekitar luka
bakar tingkat tiga akan sangat menyakitkan debr ebridement dan
pencangkokan kulit hampir selalu diperlukan untuk pemulihan dari luka
bakar tingkat tiga.2

2.1.4 Luas Luka Bakar


The Rule of Nines merupakan cara praktis untuk menentukan luas luka
bakar. Tubuh manusia dewasa dibagi menurut pembagian anatomis yang
bernilai 9% atau kelipatan dari 9% dari keseluruhan luas tubuh. Berbeda
dengan dewasa, kepala bayi dan anak merupakan bagian terbesar dari luas
permukaan tubuh, sedangkan ekstremitas bawah merupakan bagian yang
lebih kecil. Persentase luas permukaan kepala anak adalah dua kali orang
dewasa. Untuk luka bakar yang distribusinya tersebar, rumus luas
permukaan telapak tangan (termasuk jari-jari) pasien sama dengan 1%
luas permukaan tubuhnya dapat membantu memperkirakan luas luka
bakar. Rule of nine membantu memperkirakan luas luka bakar tidak
merata distribusinya dapat dipertimbangkan sebagai pilihan salah satu cara
untuk menghitung dan pencatatan luasnya luka bakar.2

8
Gambar 1. Luas Luka Bakar

2.1.5 Diagnosis
Penilaian yang akurat dari tingkat keparahan luka bakar sangat penting
karena menjadi dasar untuk semua keputusan perawatan selanjutnya, rencana
triase dan penilaian kesia-siaan medis. Bila memungkinkan, keputusan
tentang bagaimana melanjutkan setelah diagnosis dan skrining harus
memasukkan preferensi dan harapan pasien tentang kualitas hidup. Penilaian
yang optimal dari tingkat keparahan luka bakar harus melibatkan pendekatan
metodis sistematis, seperti yang dijelaskan dalam materi kursus untuk
Advanced Trauma Life Support (ATLS) oleh American College of Surgeons
Committee on Trauma, Emergency Management of the Severe Burn (EMSB)
oleh Australian and New Zealand Burn Association, dan Advanced Burn Life
Support (ABLS) oleh ABA. Pendekatan diagnostik tersebut harus melibatkan
evaluasi berurutan yang teratur (pengelolaan fase I), termasuk survei primer
dan sekunder, yang mempertimbangkan kebutuhan untuk konsultasi lebih
lanjut dan kemungkinan transportasi untuk mengoptimalkan hasil di pusat-
pusat khusus.2

Primary Survey

Primary Survey di tempat cedera atau di unit gawat darurat terdiri dari
9
penilaian standar segera - dalam urutan ini - dari: jalan napas, pernapasan,
ventilasi, sirkulasi dan status jantung, kecacatan, defisit neurologis, deformitas
dan tingkat paparan (membutuhkan lepas jubah lengkap untuk memungkinkan
identifikasi cedera terkait). Untuk menghindari hipotermia, terutama pada anak-
anak dan orang tua, penilaian ini harus dilakukan dengan tetap menjaga
lingkungan yang hangat. Perkiraan awal ukuran luka bakar dengan menggunakan
diagram Lund dan Browder untuk anak-anak dan, untuk orang dewasa, Rule of
Nines sangat penting saat ini karena jumlah resusitasi cairan oral atau intravena
didasarkan pada ukuran luka bakar. (persentase TBSA). Mengingat sifat gagal
napas yang mengancam jiwa, penilaian keparahan luka bakar juga harus
mencakup penentuan awal apakah pasien mengalami trauma inhalasi. Paparan
produk pembakaran di ruang tertutup, luka bakar wajah dan jelaga di rongga
mulut tidak dengan sendirinya menunjukkan trauma inhalasi tetapi sangat
memerlukan pemeriksaan fisik lebih lanjut dari faring posterior untuk bukti
cedera termal, termasuk eritema mukosa, pengelupasan dan pembengkakan atau
jelaga di pita suara. Tanda-tanda klinis seperti stridor, suara serak, sputum
berkarbon dan dispnea juga menunjukkan trauma inhalasi dan memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Namun, bahkan di rangkaian kaya sumber daya, pada
sebagian besar pasien, diagnosis dibuat terutama berdasarkan penampilan klinis.3
Secondary Survei
Survei sekunder, seringkali di unit gawat darurat atau pusat luka bakar,
mencakup analisis laboratorium dan pencitraan, seperti yang ditunjukkan oleh
bukti trauma atau komorbiditas lain. Survei sekunder termasuk memastikan
profilaksis tetanus yang memadai, karena luka bakar adalah luka terbuka.
Analisis laboratorium awal pada pasien dengan luka bakar ukuran 15% TBSA
meliputi hitung darah lengkap, penilaian elektrolit, profil koagulasi dan
pengukuran gas darah arteri. Pada pasien dengan dugaan trauma inhalasi asap,
oksigenasi normal dan radiografi dada tidak mengesampingkan diagnosis karena
respon inflamasi paru mungkin memerlukan waktu untuk berkembang.3

Survei sekunder penting mencakup evaluasi definitif dari keparahan luka bakar
termasuk kedalaman dan ukuran berdasarkan TBSA. Memahami luka bakar mana
yang akan sembuh dan mana yang akan mendapat manfaat dari eksisi dini dan
pencangkokan dapat menjadi tantangan, karena kurangnya teknik pencitraan

10
noninvasif yang diterima secara luas untuk memperkirakan kedalaman luka bakar.
Selanjutnya, perkiraan ukuran dan kedalaman luka bakar yang dibuat sebelum
masuk ke pusat luka bakar — dan bahkan oleh para ahli — secara konsisten
terbukti tidak akurat terlepas dari upaya standarisasi dan ketersediaan alat seperti
diagram Lund dan Browder dan Rule of Nines . Mengingat tidak dapat
diandalkannya ukuran luka bakar dan penilaian kedalaman oleh dokter yang bukan
ahli luka bakar dan biaya serta logistik untuk memindahkan pasien ke tingkat
perawatan yang lebih tinggi, pengembangan solusi teknologi kreatif untuk
konsultasi sangatlah penting. Pendekatan baru dalam pengembangan termasuk
penggunaan program berbantuan komputer untuk meningkatkan estimasi ukuran
luka bakar dan memungkinkan konsultasi telemedis yang terfokus dan akurat
.Program telemedicine yang mencakup konferensi video waktu nyata atau gambar
luka yang disimpan di depan memberikan pilihan bagi ahli luka bakar untuk
memfasilitasi triase dengan menilai tingkat keparahan cedera sebelum transfer.
Penilaian kedalaman luka bakar yang tepat dapat menjadi tantangan terutama pada
pasien dengan usia ekstrem dan dengan kulit yang lebih tipis. Untuk mengatasi
masalah ini, beberapa perangkat inovatif yang menggabungkan pencitraan Doppler
laser, pencitraan ultrasound harmonik, tomografi koherensi optik dan termografi
inframerah resolusi tinggi telah dikembangkan dan diperkenalkan ke dalam uji
klinis praklinis dan terbatas. Validasi modalitas ini membutuhkan perbandingan
gambar digital dengan spesimen histologis kulit yang terbakar serta korelasi
objektif data dengan penilaian kedalaman luka bakar oleh para ahli klinis.
Sayangnya, biaya untuk mengintegrasikan ini ke dalam praktik sehari-hari telah
menghadirkan penghalang untuk digunakan secara luas.3
Aspek penting dari survei sekunder adalah menghitung laju infus cairan awal
yang dibutuhkan. Secara historis, resusitasi setelah luka bakar berpusat pada
berbagai formula yang memperkirakan total kebutuhan cairan berbasis kristaloid
24 jam. Dengan menggunakan rumus ini, pedoman ABA merekomendasikan
estimasi volume cairan 24 jam menggunakan 2–4 ml/kg persen TBSA yang
terbakar. Dalam praktiknya, rumus ini terutama digunakan untuk menghitung laju
infus cairan awal yang harus dimulai pada fase awal resusitasi setelah cedera luka
bakar yang parah, setelah itu terdapat perbedaan langsung dari perkiraan laju
infus cairan per jam. Perbedaan ini berasal dari fakta bahwa cairan dititrasi ke
output urin target (0,3-0,5 ml/kg per jam) daripada tetap seperti perkiraan formula
11
tradisional. Oleh karena itu, rumus-rumus ini hanya digunakan untuk menurunkan
laju infus cairan awal. Baru-baru ini, Aturan Sepuluh telah diperkenalkan untuk
menyederhanakan estimasi laju infus cairan awal dan terdiri dari tiga langkah.
Pertama, ukuran luka bakar (persentase TBSA) diperkirakan mendekati 10.
Kedua, persentase TBSA dikalikan dengan 10 untuk menghitung laju infus cairan
awal dalam mililiter per jam. Terakhir, untuk setiap 10 kg di atas 80 kg,
diperlukan tambahan 100 ml/jam120. Metode sederhana untuk menghitung laju
infus cairan awal pada orang dewasa (>40 kg) memungkinkan dokter untuk fokus
pada penerapan prinsip perawatan kritis dasar untuk mentitrasi laju infus cairan
berdasarkan kombinasi berbagai titik akhir (misalnya, kadar laktat, tingkat kasus
defisit, saturasi oksigen vena campuran, tekanan vena sentral dan tekanan arteri
rata-rata) yang berpusat pada output urin target. Sebuah studi validasi in silico
baru-baru ini terhadap 100.000 simulasi berat badan pasien dan ukuran luka bakar
menetapkan bahwa Rule of Tens memberikan laju infus cairan awal yang wajar di
seluruh spektrum ukuran luka bakar dan berat pasien >40 kg. Namun, metode
tradisional untuk menurunkan laju infus cairan awal mungkin harus digunakan
pada pasien dengan berat badan ekstrem. Untuk mereka yang memiliki berat
badan <40 kg, terutama pasien anak, tingkat awal akan lebih tinggi daripada yang
dihitung berdasarkan 4 ml/kg per %TBSA yang terbakar. Untuk mereka yang
memiliki berat badan >130 kg, tarif awal akan lebih rendah daripada yang
dihitung berdasarkan 2 ml/kg per %TBSA yang terbakar.3
2.1.6 Tata Laksana
Airway
Adanya riwayat terkurung api atau terdapatnya tanda-tanda trauma jalan
nafas, memerlukan pemeriksaan jalan nafas dan tindakan pemasangan jalan nafas
definitif. Trauma bakar faring menyebabkan edema hebat jalan nafas bagian atas,
karenanya memerlukan pembebasan jalan nafas segera. Manifestasi klinis trauma
inhalasi mungkin perlahan- lahan dan belum nampak dalam 24 jam pertama. Bila
dokter menunggu hasil pemeriksaan radiologis untuk memastikan adanya
kelainan paru atau menunggu hasil analisa gas darah, edema jalan nafas yang
akan terjadi menyebabkan intubasi sulit dilakukan dan diperlukan tindakan
krikotirodotomi untuk pemasangan pipa endotrakheal.4
Breathing
Penanganan awalnya didasarkan atas tanda dan gejala yang ada, yang
12
timbul akibat trauma, sebagai berikut: 4
 Trauma bakar langsung menyebabkan edema dan/atau
obstruksi jalan nafas bagian atas
 Inhalasi hasil pembakaran (partikel karbon) dan asap beracun
menyebabkan trakheobronkitis kimiawi, edema, dan pneumonia
 Keracunan karbon monoksida (CO)

Circulation
Luka bakar mayor (luka bakar derajat dua atau tiga yang melibatkan ≥20% TBSA)
menyebabkan respons hemodinamik yang unik. Curah jantung menurun hingga
50% dalam 30 menit setelah cedera sebagai respons terhadap vasokonstriksi masif
akibat luka bakar, yang menyebabkan keadaan hipoperfusi normovolemik (syok
akibat luka bakar).4
Kelangsungan hidup tergantung pada pemulihan volume sirkulasi dan infus
cairan kristaloid sesuai dengan protokol yang direkomendasikan. Respon
hemodinamik yang intens ini dapat ditoleransi dengan buruk oleh pasien dengan
signifikan kondisi medis yang mendasari. Jika terapi cairan intravena yang
adekuat diberikan, fungsi jantung kembali normal dalam waktu 48 jam setelah
cedera, kemudian biasanya berkembang menjadi fisiologi hiperdinamik saat
tantangan metabolisme penyembuhan dimulai. Volume plasma dan keluaran urin
berkurang sejak awal, setelah luka bakar mayor.4
Berbeda dengan penatalaksanaan cairan pada trauma tumpul dan tembus, di
mana cairan kristaloid tidak dianjurkan, resusitasi cairan luka bakar menekankan
penggunaan cairan kristaloid yang seimbang daripada albumin, pati hidroksiletil,
saline normal atau hipertonik, atau darah. Setelah cedera luka bakar, gagal ginjal
akut lebih sering terjadi ketika larutan garam hipertonik digunakan selama
resusitasi cairan awal, kematian lebih mungkin terjadi ketika darah diberikan, dan
hasil tidak berubah ketika albumin (daripada kristaloid) digunakan dalam
resusitasi.4
Resusitasi cairan dilakukan terus menerus selama 24 jam pertama setelah
cedera luka bakar. Dua formula biasanya digunakan untuk memandu resusitasi
cairan luka bakar; Parkland dan Brooke yang dimodifikasi. Keduanya
membutuhkan pemahaman tentang Aturan Sembilan untuk menghitung volume
cairan resusitasi. Protokol Parkland dewasa merekomendasikan 4 mL / kg /%
13
TBSA yang terbakar untuk diberikan dalam 24 jam pertama, dengan setengah
volume diberikan dalam 8 jam pertama dan volume tersisa selama 16 jam
berikutnya. Protokol Brooke dewasa yang dimodifikasi merekomendasikan 2
mL / kg /% TBSA yang terbakar, dengan separuh volume dihitung dimulai dalam
8 jam pertama dan sisanya selama 16 jam berikutnya. Kedua formula
menggunakan keluaran urin sebagai indikator yang dapat diandalkan untuk
kecukupan resusitasi cairan, menargetkan produksi urin orang dewasa 0,5 sampai
1,0 mL / kg / jam sebagai indikator volume sirkulasi yang adekuat. Jika keluaran
urin orang dewasa melebihi 1.0 mL,
/ kg/ jam, infus diperlambat. Dalam kedua protokol, jumlah yang sama
dengan setengah volume yang diberikan dalam 24 jam pertama diinfuskan dalam
periode 24 jam kedua setelah cedera. Tujuan mempertahankan output urin orang
dewasa pada 0,5 hingga 1,0 mL /kg/jam terus berlanjut selama fase awal
resusitasi.4
2.2 Teknik Anestesi pada Pediatri
A. Pertimbangan Preoperatif
1) Wawancara Preoperatif
Tergantung pada usia, pengalaman masa lalu dan kematangan, setiap
anak memiliki beragam tingkat ketakutan (bahkan teror) ketika
dihadapkan dengan prosedur operasi atau prosedur lainnya yang
membutuhkan anestesi. Tidak seperti orang dewasa, yang biasanya
paling peduli mengenai cedera atau kematian, anak-anak, ketika
mereka mengucapkan secara lisan mengenai kekhawatiran, yaitu
khawatir mengenai rasa sakit dan pisah dari orang tua. Program
persiapan presurgical (seperti brosur dan video yang sesuai, bahkan
tur) dapat membantu mempersiapkan anak-anak dan orang tua.
Apabila ada waktu, seseorang bisa demistifikasi proses anestesi dan
pembedahan dengan menjelaskan sesuai usia untuk istilah yang ada
didepan. Misalnya, ahli anestesiologi membawa masker anestesi
untuk anak untuk bermain selama wawancara dan
menggambarkannya sebagai sesuatu yang digunakan astronot. Atau,
di beberapa tempat, seseorang kepercayaan anak (orang tua, perawat,
dokter lain) mungkin diizinkan berada selama persiapan preanestetik
dan induksi anestesi. Hal ini dapat memiliki pengaruh yang sangat
14
menenangkan pada anak-anak yang menjalani prosedur yang berulang
(pemberian kemoterapi intratekal). Sayangnya, operasi rawat jalan,
ditambah dengan banyaknya jadwal operasi yang sibuk, membuat
hampir tidak mungkin untuk memadati orang tua dan pasien. Dengan
demikian, premedikasi sangat membantu. Beberapa rumah sakit anak-
anak memiliki ruang induksi yang berdekatan dengan ruang operasi
sehingga memperbolehkan kehadiran orang tua dan lingkungan yang
lebih tenang dan kurang mengejutkan untuk prosedur induksi
anestesi.2
1) Infeksi Saluran Pernafasan Atas
Anak-anak sering hadir untuk operasi dengan tanda dan gejala
hidung berair, demam, batuk atau sakit tenggorokan yang berasal
dari infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Upaya harus
dilakukan untuk membedakan antara penyebab infeksi dari
rinorea dan penyebab alergi atau vasomotor. Infeksi virus dalam
2 sampai 4 minggu sebelum anestesi umum dan intubasi trakea
muncul dapat meningkatkan risiko komplikasi paru perioperatif,
seperti wheezing, laringoskopi, hipoksemia dan atelektasis.
Terutama kemungkinan pada anak yang memiliki batuk berat,
demam tinggi atau riwayat penyakit saluran pernapasan reaktif.
Di sisi lain, anak-anak dapat mengalami ISPA ringan pada
hampir setiap basis dan hampir tidak mungkin menjadwalkan
anestesi pada saat tidak memiliki, atau sedang dalam pemulihan
dari ISPA. Keputusan untuk mengantongi anak-anak dengan
ISPA tetap kontroversial dan harus didasari pada tingkat
keparahan gejala ISPA, urgensi operasi, dan adanya penyakit
lainnya. Waktu yang tepat untuk diberikan anestesi pada anak
dengan ISPA, dapat mempertimbangkan dengan premedikasi
dengan antikolinergik atau beta agonis (misalnya, albuterol),
menghindari intubasi (jika layak), dan humidifikasi gas
terinspirasi. Tinggal yang lebih lama dari biasanya di ruang
pemulihan (recovery room) post anestesia mungkin diperlukan.1
2) Tes Laboratorium

15
Jika terdapat tes laboratorium pra operasi masing-masing hemat
biaya. Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi
beberapa pasien anak dengan kondisi khusus. Pemeriksaan kadar
Hb dilakukan apabila diperkirakan akan ada banyak pendarahan
pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan penyakit
jantung kongenital. Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan
bila terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik lainnya dan pada
kondisi dehidrasi. Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila
terdapat penyakit paru-paru, scoliosis ataupun penyakit jantung.
Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan sesuai penyakit
pasien yang ditemukan.2
3) Puasa Preoperatif
Karena anak-anak lebih rentan terhadap dehidrasi daripada
dewasa, pembatasan cairan pra operasi selalu lebih rentan.
Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah mendokumentasikan
pH lambung yang rendah (<2.5) dan volume residu yang relatif
tinggi pada pasien anak yang dijadwalkan untuk operasi,
menunjukkan bahwa anak-anak mungkin memiliki risiko aspirasi
yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Insiden
aspirasi dilaporkan sekitar 1:1000. Tidak ada bukti bahwa puasa
yang berkepanjangan mengurangi risiko aspirasi. Faktanya,
beberapa penelitian telah menunjukkan volume residu yang lebih
rendah dan pH lambung yang lebih tinggi pada pasien anak yang
menerima cairan bening beberapa jam sebelum induksi. diberi
ASI hingga 4 jam sebelum induksi, dan susu formula atau
Pedoman puasa pra operasi yang diproduksi oleh American
Society of Anesthesiology menetapkan bahwa bayi dapat cairan
dan makanan ringan dapat diberikan hingga 6 jam sebelum
induksi. Cairan bening ditawarkan hingga 2 jam sebelum induksi.
Rekomendasi ini untuk neonatus yang sehat, bayi dan anak-anak
tanpa faktor risiko penurunan pengosongan lambung atau
aspirasi. Bagaimanapun, hampir tidak ada bukti klinis untuk
rekomendasi.2

16
Untuk pemeriksaan fisik yang dilakukan head to toe seperti
tanda-tanda vital, data antropometrik (berat badan dan tinggi
badan), gigi lepas atau goyang. Dilakukan juga pemeriksaan pre
anestesi seperti evaluasi LEMON dan status anestesi ASA (The
American Society of Anesthesiologist).
- ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai
sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.
Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis
dan febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik
berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya:
pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien
ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
- ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien
dengan syok atau dekompensasi kordis.
- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan
perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena rupture
hepatik.
- ASA VI : Pasien yang dinyatakan brain dead, namun
organnya akan didonorkan.
4) Premedikasi
Ada berbagai macam variasi dalam premedikasi pasien anak.
Premedikasi obat penenang biasanya tidak digunakan untuk
neonatus dan bayi yang sakit. Anak-anak yang nampaknya
menunjukkan kecemasan pemisahan yang tidak terkontrol dapat
diberikan obat penenang, seperti midazolam (0,3-0,5 mg/kg,
maksimum 15 mg). Rute oral umumnya lebih disukai karena
kurang traumatis daripada injeksi intramuskuler, tetapi
membutuhkan 20 hingga 45 menit untuk efek. Dosis midazolam
yang lebih kecil telah digunakan dalam kombinasi dengan
17
ketamin oral (4-6 mg/kg) untuk pasien rawat inap. Untuk pasien
yang tidak kooperatif, midazolam intramuskular (0,1-0,15 mg/kg,
maksimum 10 mg) atau ketamin (2-3 mg/kg) dengan atropin
(0,02 mg/kg) dapat membantu. Midazolam dubur (0,5-1 mg/kg,
maksimum 20 mg) atau metoheksital dubur (25-30 mg/kg larutan
10%) juga dapat diberikan dalam kasus-kasus seperti itu
sementara anak berada dalam pelukan orangtua. Beberapa dokter
memberikan dexmedetomidine (1-2 mcg/kg) atau premedikasi
midazolam secara intranasal. Fentanyl juga dapat diberikan
sebagai lollipop (Actiq, 5–15 mcg/kg); Namun, kadar fentanyl
terus meningkat secara intraoperatif dan dapat berkontribusi pada
analgesia pasca operasi.2
Di masa lalu, ahli anestesi secara rutin memberikan perawatan
dini pada anak-anak dengan obat antikolinergik untuk
mengurangi kemungkinan bradikardia. Atropin mengurangi
kejadian hipotensi selama induksi pada neonatus dan pada bayi di
bawah 3 bulan. Atropin juga dapat mencegah akumulasi sekresi
yang dapat memblokir saluran udara kecil dan tabung
endotrakeal. Atropin dapat diberikan secara oral (0,05 mg/kg),
intramuskuler, atau kadang-kadang rektal. Dalam praktik saat ini,
sebagian besar lebih suka memberikan atropin secara intravena
selama induksi.2
A. Intraoperatif
1. Induksi
Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status
fisik, dan tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu
memiliki cara dan taktik tersendiri dalam menginduksi pasien
pediatrik dan harus memiliki informasi yang adekuat dari pasien
yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien, jenis
pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan
mental (kooperatif/tidak) pasien. Hal ini dilakukan untuk
persiapan keperluan-keperluan seperti pipa ETT, pemanjangan
anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan perawatan
intensif yang memadai.1
18
 Induksi Intravena
Kanulasi intravena pada bayi bisa menjadi cobaan yang
menjengkelkan. Hal ini terutama berlaku untuk bayi yang
telah menghabiskan waktu berminggu-minggu di unit
perawatan intensif neonatal dan memiliki sedikit pembuluh
darah yang utuh. Bahkan anak usia 1 tahun yang sehat dapat
menjadi tantangan karena lemak subkutan yang ekstensif.
Kanulasi vena biasanya menjadi lebih mudah setelah usia 2
tahun. Vena safena memiliki lokasi yang konsisten di
pergelangan kaki dan praktisi berpengalaman biasanya dapat
melakukan kanulasi meskipun tidak terlihat atau teraba.
Transiluminasi tangan atau ultrasonografi akan sering
menunjukkan situs kanulasi yang sebelumnya tersembunyi.
Kateter over-the-needle dua puluh empat ukuran cukup untuk
neonatus dan bayi ketika transfusi darah tidak diantisipasi.
Semua gelembung udara harus dikeluarkan dari jalur intravena
untuk mengurangi risiko emboli udara paradoks dari foramen
ovale paten tersembunyi. Dalam situasi darurat di mana akses
intravena tidak memungkinkan, cairan dapat diinfuskan secara
efektif melalui jarum ukuran 18 yang dimasukkan ke dalam
sinusoid meduler di dalam tulang tibialis. Infus intraoseus ini
dapat digunakan untuk semua obat yang biasanya diberikan
secara intravena, dengan hasil yang hampir sama cepatnya,
dan dianggap sebagai bagian dari standar resusitasi trauma,
dukungan kehidupan jantung lanjutan (ACLS), dan protokol
dukungan hidup lanjutan pediatrik (PALS) ketika akses
intravena tidak dapat dilakukan didapat.1
 Induksi Inhalasi
Banyak anak tidak datang ke ruang operasi dengan jalur infus
terpasang dan hampir semua takut kemungkinan akan tertusuk
jarum. Untungnya, sevoflurane dapat membuat anak kecil
tidak sadarkan diri dalam beberapa menit. Kami menemukan
ini lebih mudah pada anak-anak yang telah dibius (paling

19
sering dengan midazolam oral) sebelum memasuki ruang
operasi dan yang cukup mengantuk untuk dibius tanpa pernah
mengetahui apa yang telah terjadi (induksi mencuri).
Seseorang juga dapat memasukkan gas anestesi ke seluruh
wajah, meletakkan setetes perasa makanan di bagian dalam
masker (misalnya, minyak jeruk), dan membiarkan anak
duduk selama tahap awal induksi. Topeng berkontur khusus
meminimalkan ruang mati (lihat Gambar 2.3).1
Ada banyak perbedaan antara anatomi orang dewasa dan anak
yang mempengaruhi ventilasi masker dan intubasi. Peralatan
yang sesuai untuk usia dan ukuran harus dipilih (Tabel 2.5).
Neonatus dan sebagian besar bayi muda adalah pernafasan
hidung yang wajib dan mudah tersumbat. Saluran napas oral
akan membantu menggantikan lidah yang terlalu besar,
saluran udara hidung, sangat berguna pada orang dewasa,
dapat menyebabkan trauma pada lubang hidung kecil atau
kelenjar gondok yang menonjol pada anak kecil. Kompresi
jaringan lunak submandibular harus dihindari selama ventilasi
masker untuk mencegah obstruksi jalan napas bagian atas.1

Biasanya, anak dapat dibujuk untuk menghirup campuran


nitrous oxide (70%) dan oksigen (30%) yang tidak berbau.
Sevoflurane (atau halothane) dapat ditambahkan ke campuran
gas dengan peningkatan 0,5% setiap beberapa tarikan napas.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kami menyukai
sevoflurane dalam banyak situasi. Desflurane dan isoflurane
dihindari untuk induksi inhalasi karena menyengat dan

20
berhubungan dengan lebih banyak batuk, menahan napas, dan
spasme laring. Kami menggunakan satu (kadang dua) teknik
induksi nafas dengan sevoflurane (7-8% sevoflurane dalam
60% nitrous oxide) untuk mempercepat induksi pada pasien
yang bekerja sama. Setelah kedalaman anestesi yang memadai
tercapai, jalur intravena dapat dimulai dan propofol dan opioid
(atau pelemas otot) diberikan untuk memfasilitasi intubasi.
Pasien biasanya melewati tahap kegembiraan di mana setiap
stimulasi dapat menyebabkan spasme laring. Menahan napas
harus dibedakan dari spasme laring. Pemberian tekanan positif
akhir ekspirasi 10 cm secara mantap biasanya akan mengatasi
spasme laring.1
Sebagai alternatif, ahli anestesi dapat memperdalam tingkat
anestesi, dengan meningkatkan konsentrasi anestesi volatil,
dan menempatkan LMA atau intubasi pasien di bawah
anestesi sevofluran "dalam". Karena kedalaman anestesi yang
lebih besar diperlukan untuk intubasi trakea, risiko depresi
jantung, bradikardia, atau spasme laring yang terjadi tanpa
akses intravena mengurangi teknik yang terakhir ini.
Suksinilkolin intramuskular (4 mg/kg, tidak melebihi 150 mg)
dan atropin (0,02 mg/kg, tidak melebihi 0,4 mg) harus tersedia
jika spasme laring atau bradikardia terjadi sebelum jalur
intravena dibuat.2
Ventilasi tekanan positif selama induksi masker dan sebelum
intubasi terkadang menyebabkan distensi lambung, dengan
gangguan ekspansi paru. Penyedotan dengan tabung
orogastrik atau nasogastrik akan mengurai lambung, tetapi
harus dilakukan tanpa membuat trauma pada selaput lendir
yang rapuh.2
Indikasi Intubasi
Memasukkan selang ke dalam trakea telah menjadi bagian
rutin dari pemberian anestesi umum. Intubasi bukanlah prosedur
bebas risiko, dan bukan merupakan persyaratan untuk semua
pasien yang menerima anestesi umum. ETT umumnya
21
ditempatkan untuk melindungi jalan nafas dan untuk akses jalan
nafas. Intubasi diindikasikan pada pasien yang berisiko
mengalami aspirasi dan pada mereka yang menjalani prosedur
pembedahan yang melibatkan rongga tubuh, kepala dan leher
sehingga jalan napas akan lebih sulit diakses (misalnya, mereka
yang menjalani pembedahan dalam posisi tengkurap atau yang
kepalanya diputar menjauh dari stasiun kerja anestesi).2
Persiapan dan Prosedur Intubasi
Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah
besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput
menonjol dan membuat posisi fleksi pada kepala, maka dapat
dikoreksi dengan cara sedikit mengangkat bahu dengan meletakan
handuk dan menaruh kepala pada bantal berbentuk donat. Sebaiknya
menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di
ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah
cincin cricoid. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar
(awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan
akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi
prematur.2
Seratus persen oksigen harus diberikan sebelum intubasi untuk
meningkatkan keselamatan selama intubasi. Untuk intubasi yang
terjaga pada neonatus atau bayi, preoksigenasi yang memadai dan
insuflasi oksigen berkelanjutan selama laringoskopi dapat
membantu mencegah hipoksemia. Oksiput bayi yang menonjol
cenderung menempatkan kepala dalam posisi tertekuk sebelum
intubasi. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan mengangkat bahu
sedikit ke atas dan meletakkan kepala di atas bantal berbentuk
donat. Pada anak yang lebih besar, jaringan tonsil yang menonjol
dapat menghambat visualisasi laring. Pisau laringoskop lurus
membantu intubasi laring anterior pada neonatus, bayi, dan anak
kecil. Tabung endotrakea yang melewati glotis mungkin masih
menimpa tulang rawan krikoid, yang merupakan titik tersempit dari
jalan napas pada anak-anak di bawah 5 tahun. Diameter yang sesuai
22
di dalam tabung endotrakeal dapat diperkirakan dengan rumus
berdasarkan usia:
4 + Usia / 4 = Diameter tabung (dalam mm).1
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-
tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada
neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya
menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar
dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan
napas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu
guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam
keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis
menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-
14 hari atau pada bayi premature.2
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus
pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran
diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. idealnya
menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk
tetapi masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-
25 cmH2O masih sedikit bocor. Sesuai anatomi jalan napas pasien
anak, pada intubasi disarankan menggunakan blade lurus, namun
blade bengkok dapat digunakan bila pasien memiliki berat 6-10 kg.
Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada pasien
berusia dibawah 8 tahun, serta usahakan terdapat sedikit bocoran
pada ETT.2
2. Monitoring
Persyaratan pemantauan untuk bayi dan anak-anak umumnya
serupa dengan orang dewasa dengan sedikit modifikasi. Batas
alarm harus disesuaikan dengan tepat. Bantalan elektroda
elektrokardiografik yang lebih kecil mungkin diperlukan agar
tidak mengganggu area bedah yang steril. Manset tekanan darah
harus dipasang dengan benar. Alat pemantau tekanan darah non-
invasif terbukti andal pada bayi dan anak-anak. Stetoskop
prekordial atau esofagus menyediakan alat yang murah untuk
23
memantau detak jantung, kualitas suara jantung, dan patensi jalan
napas. Akhirnya, monitor terkadang perlu dipasang (atau
dipasang kembali) terlebih dahulu setelah induksi anestesi pada
pasien yang kurang kooperatif.2
Oksimetri nadi dan kapnografi mengambil peran yang lebih
penting pada bayi dan anak kecil karena hipoksia dari ventilasi
yang tidak memadai tetap menjadi penyebab umum morbiditas
dan mortalitas perioperatif. Pada neonatus, probe oksimeter
denyut sebaiknya ditempatkan di tangan kanan atau daun telinga
untuk mengukur saturasi oksigen preduktal. Seperti pada pasien
dewasa, analisis CO2 pasang surut memungkinkan penilaian
kecukupan ventilasi, perubahan curah jantung, konfirmasi
penempatan selang endotrakeal, dan peringatan dini hipertermia
maligna. Alat analisa aliran (arus utama) biasanya kurang akurat
pada pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg. Bahkan
dengan kapnograf aspirasi (aliran samping), CO2 yang diilhami
(baseline) dapat tampak meningkat secara salah dan kadaluarsa
(puncak) CO2 bisa salah rendah. Tingkat kesalahan dapat
diminimalkan dengan menempatkan lokasi pengambilan sampel
sedekat mungkin dengan ujung distal tabung endotrakeal,
mengurangi panjang jalur pengambilan sampel, dan menurunkan
laju aliran pengambilan sampel gas (100–150 mL/menit). Bobot
dari beberapa sensor aliran dapat menyebabkan tabung
endotrakeal yang hangat tertekuk.2
Suhu harus dipantau secara ketat pada pasien anak-anak karena
risiko lebih besar untuk hipertermia maligna dan kerentanan yang
lebih besar untuk hipotermia atau hipertermia intraoperatif.
Risiko hipotermia dapat dikurangi dengan menjaga lingkungan
ruang operasi yang hangat (26 ° C atau lebih hangat), dengan
menghangatkan dan melembabkan gas inspirasi, dengan
menggunakan selimut penghangat dan lampu penghangat, dan
dengan menghangatkan semua cairan intravena dan irigasi.
Kekhawatiran ini, meski penting pada semua pasien, sangat
penting pada bayi baru lahir. Perhatian harus diberikan untuk
24
mencegah luka bakar dan hipertermia yang tidak disengaja akibat
upaya pemanasan yang berlebihan.2
Monitor invasif (misalnya kanulasi arteri, kateterisasi vena
sentral) membutuhkan keahlian dan penilaian. Gelembung udara
harus dihilangkan dari pipa bertekanan dan volume kecil
pembilas harus digunakan untuk menghindari emboli udara,
heparinisasi yang tidak disengaja, atau kelebihan cairan. Arteri
radialis kanan sering dipilih untuk kanulasi pada neonatus karena
lokasi preduktalnya mencerminkan kandungan oksigen dari arteri
karotis dan retinal. Kateter arteri femoralis mungkin merupakan
alternatif yang sesuai pada neonatus yang sangat kecil. Arteri
dorsalis pedis radial kiri atau kanan atau kiri adalah alternatif
lain. Neonatus yang sakit kritis dapat mempertahankan kateter
arteri umbilikalis. Pendekatan jugularis internal dan subklavia
sering digunakan untuk garis tengah. Ultrasonografi harus
digunakan selama penempatan kateter jugularis internal dan
memberikan informasi yang berguna untuk kanulasi arteri juga.
Output urin merupakan indikator penting (tapi tidak sensitif
maupun spesifik) dari kecukupan volume intravaskular dan curah
jantung. Monitor stroke volume noninvasif baru-baru ini diujikan
pada bayi dan anak kecil.2
Neonatus prematur atau kecil untuk usia kehamilan, dan neonatus
yang telah menerima nutrisi parenteral total atau yang ibunya
menderita diabetes, cenderung mengalami hipoglikemia. Bayi ini
harus sering melakukan pengukuran glukosa darah: kadar di
bawah 30 mg/dL pada neonatus, di bawah 40 mg/dL pada bayi,
dan di bawah 60 mg/dL pada anak-anak (dan di bawah 80 mg/dL
pada orang dewasa) menunjukkan hipoglikemia yang
memerlukan pengobatan segera. Pengambilan sampel darah
untuk gas darah arteri, hemoglobin, kalium, dan konsentrasi
kalsium terionisasi dapat sangat berharga pada pasien sakit kritis,
terutama pada mereka yang menjalani operasi besar atau yang
mungkin menerima transfuse.2

25
3. Maintenance
Ventilasi hampir selalu dikontrol selama anestesi neonatus dan
bayi saat menggunakan sistem lingkaran semi tertutup
konvensional. Selama ventilasi spontan, bahkan resistansi rendah
dari sistem lingkaran dapat menjadi hambatan yang signifikan
untuk diatasi oleh neonatus yang sakit. Katup searah, tabung
pernapasan, dan penyerap karbon dioksida bertanggung jawab
atas sebagian besar resistensi ini. Untuk pasien dengan berat
badan kurang dari 10 kg, beberapa ahli anestesi lebih memilih
sirkuit Mapleson D atau sistem Bain karena resistansi rendah dan
ringan. Meskipun demikian, karena hambatan sirkuit pernapasan
mudah diatasi dengan ventilasi tekanan positif, sistem lingkaran
dapat digunakan dengan aman pada pasien dari segala usia jika
ventilasi dikontrol. Pemantauan tekanan jalan nafas dapat
memberikan bukti awal adanya obstruksi dari tabung endotrakeal
yang tertekuk atau kemajuan yang tidak disengaja dari tabung ke
dalam bronkus batang utama.2
Banyak ventilator anestesi pada mesin yang lebih tua dirancang
untuk pasien dewasa dan tidak dapat diandalkan untuk
mengurangi volume tidal dan kecepatan cepat yang dibutuhkan
oleh neonatus dan bayi. Pengiriman volume tidal besar yang
tidak disengaja kepada anak kecil dapat menyebabkan tekanan
saluran napas puncak yang berlebihan dan menyebabkan
barotrauma. Ventilasi kontrol tekanan, yang terdapat di hampir
semua ventilator anestesi yang lebih baru, harus digunakan untuk
neonatus, bayi, dan balita. Volume tidal kecil juga dapat dikirim
secara manual dengan lebih mudah menggunakan kantung
pernapasan 1-L dibandingkan dengan tas dewasa 3-L. Untuk
anak-anak dengan berat kurang dari 10 kg, volume tidal yang
memadai dapat dicapai dengan tekanan inspirasi puncak 15
sampai 18 cm H2O. Untuk anak yang lebih besar, ventilasi
kontrol volume dapat digunakan dan volume tidal dapat diatur
pada 6 hingga 8 mL/kg. Banyak spirometer yang kurang akurat
pada volume tidal yang lebih rendah. Selain itu, gas yang hilang
26
dalam sirkuit pernapasan orang dewasa yang patuh dan lama
menjadi besar dibandingkan dengan volume pasang surut anak
yang kecil. Karena alasan ini, sirkuit pernapasan pediatrik
biasanya lebih pendek, lebih ringan, dan lebih kaku (kurang
sesuai). Namun demikian, kita harus ingat bahwa ruang mati
tambahan yang disumbangkan oleh sistem tabung dan lingkaran
hanya terdiri dari volume tungkai distal konektor Y dan bagian
dari tabung endotrakeal yang melampaui (proksimal) jalan napas.
Dengan kata lain, ruang mati tidak berubah dengan beralih dari
sirkuit pernapasan dewasa ke anak. Humidifier kondensor atau
penukar panas dan kelembapan (HME) dapat menambah ruang
mati yang cukup besar; Tergantung pada ukuran pasien, mereka
tidak boleh digunakan atau ukurannya yang tepat, HME pediatrik
harus digunakan.2
Anestesi dapat dipertahankan pada pasien anak-anak dengan
agen yang sama seperti pada orang dewasa. Beberapa dokter
beralih ke isoflurane setelah induksi sevofluran dengan harapan
mengurangi kemungkinan munculnya agitasi atau delirium pasca
operasi (lihat pembahasan sebelumnya). Pemberian opioid (misal
Fentanyl, 1–1,5 mcg/kg) atau dexmedetomidine (0,5 mcg/kg,
diberikan perlahan dengan pemantauan detak jantung) 15 hingga
20 menit sebelum akhir prosedur dapat mengurangi kejadian
munculnya delirium dan agitasi jika prosedur pembedahan
cenderung menghasilkan nyeri pasca operasi. Meskipun MAC
lebih besar pada anak-anak daripada pada orang dewasa,
neonatus mungkin sangat rentan terhadap efek anestesi umum
yang menekan jantung dan mungkin tidak mentolerir konsentrasi
agen volatil yang diperlukan ketika agen volatil saja digunakan
untuk menjaga kondisi operasi pembedahan yang baik.2
4. Kebutuhan Cairan Perioperatif
Perhatian yang cermat terhadap asupan dan kehilangan cairan
diperlukan pada pasien anak-anak yang lebih muda karena pasien
ini memiliki batas kesalahan yang terbatas. Pompa infus yang
dapat diprogram atau buret dengan ruang mikrodrip berguna
27
untuk pengukuran yang akurat. Obat dapat dibilas melalui pipa
ruang mati yang rendah untuk meminimalkan pemberian cairan
yang tidak perlu. Kelebihan cairan didiagnosis oleh vena yang
menonjol, kulit memerah, peningkatan tekanan darah, penurunan
natrium serum, dan hilangnya lipatan di kelopak mata bagian
atas.2
Terapi cairan dapat dibagi menjadi kebutuhan pemeliharaan,
defisit, dan penggantian.2
a. Persyaratan Cairan Perawatan
Persyaratan pemeliharaan untuk pasien anak dapat ditentukan
dengan “aturan 4: 2:1”: 4 mL/kg/jam untuk 10 kg pertama
berat badan, 2 mL/kg/jam untuk 10 kg kedua, dan 1
mL/kg/jam untuk setiap kilogram yang tersisa. Pilihan cairan
perawatan tetap kontroversial. Larutan seperti D51⁄2 NS
dengan 20 mEq/L kalium klorida memberikan dekstrosa dan
elektrolit yang memadai pada kecepatan infus pemeliharaan
ini. D51⁄4 NS mungkin merupakan pilihan yang lebih baik
pada neonatus karena kemampuannya yang terbatas untuk
menangani beban natrium. Anak-anak sampai usia 8 tahun
membutuhkan 6 mg/kg/menit glukosa untuk mempertahankan
euglikemia (40-125 mg/dL), neonatus prematur membutuhkan
6-8 mg/kg/menit. Euglikemia biasanya dipertahankan dengan
baik pada anak-anak dan orang dewasa dengan glikogenolisis
hati dan glukoneogenesis meskipun pemberian larutan bebas
glukosa. Baik hipoglikemia dan hiperglikemia harus dihindari;
Namun, jumlah produksi glukosa hati sangat bervariasi selama
operasi besar dan penyakit kritis. Jadi kecepatan infus glukosa
selama operasi yang lebih lama, terutama pada neonatus dan
bayi, harus disesuaikan berdasarkan pengukuran glukosa
darah.
b. Defisit
Selain infus pemeliharaan, defisit cairan sebelum operasi
harus diganti. Misalnya, jika bayi dengan berat badan 5 kg
tidak menerima cairan oral atau intravena selama 4 jam
28
sebelum pembedahan, terjadi defisit 80 mL (5 kg × 4 mL/kg/
jam × 4 jam). Berbeda dengan orang dewasa, bayi merespons
dehidrasi dengan penurunan tekanan darah dan tanpa
peningkatan detak jantung. Defisit cairan pra operasi sering
diberikan dengan kebutuhan pemeliharaan setiap jam dengan
jumlah yang sama 50% pada jam pertama dan 25% pada jam
kedua dan ketiga. Pada contoh di atas, total 60 mL akan
diberikan pada jam pertama (80/2 + 20) dan 40 mL pada jam
kedua dan ketiga (80/4 + 20). Pemberian bolus larutan yang
mengandung dekstrosa harus dihindari untuk mencegah
hiperglikemia. Defisit cairan sebelum operasi biasanya diganti
dengan larutan garam seimbang (misal Injeksi Ringer laktat)
atau 1⁄2 NS. Glukosa dihilangkan untuk mencegah
hiperglikemia. Dibandingkan dengan injeksi Ringer laktat,
saline normal memiliki kelemahan dalam meningkatkan
asidosis hiperkloremik.
c. Persyaratan Penggantian
Penggantian dapat dibagi lagi menjadi kehilangan darah dan
kehilangan ruang ketiga.
 Kehilangan darah
Volume darah neonatus prematur (100 mL/kg), neonatus
cukup bulan (85-90 mL/kg), dan bayi (80 mL/kg) secara
proporsional lebih besar daripada orang dewasa (65-75
mL/kg). Hematokrit awal sebesar 55% pada neonatus
cukup bulan yang sehat secara bertahap turun ke level 30%
pada bayi usia 3 bulan sebelum meningkat menjadi 35%
pada 6 bulan. Jenis hemoglobin (Hb) juga berubah selama
periode ini: dari konsentrasi HbF 75% (afinitas oksigen
lebih besar, PaO2 berkurang, pembongkaran jaringan
buruk) saat lahir menjadi hampir 100% HbA (afinitas
oksigen berkurang, PaO2 tinggi, pembongkaran jaringan
baik) dalam 6 bulan.
Kehilangan darah biasanya diganti dengan kristaloid yang
tidak mengandung glukosa (misalnya, 3 mL injeksi Ringer
29
laktat untuk setiap mililiter darah yang hilang) atau larutan
koloid (misalnya, 1 mL albumin 5% untuk setiap mililiter
darah yang hilang) sampai hematokrit pasien mencapai
batas bawah yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
beberapa tahun terakhir telah ada peningkatan penekanan
untuk menghindari pemberian cairan yang berlebihan
dengan demikian, kehilangan darah sekarang biasanya
digantikan oleh koloid (misalnya albumin) atau sel darah
merah yang dikemas. Pada neonatus prematur dan neonatus
yang sakit, hematokrit target (untuk transfusi) mungkin
sebesar 40%, sedangkan pada anak yang lebih tua yang
sehat, hematokrit 20% hingga 26% umumnya dapat
ditoleransi dengan baik. Karena volume intravaskular
mereka yang kecil, neonatus dan bayi berada pada
peningkatan risiko gangguan elektrolit (misalnya,
hiperglikemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia) yang dapat
menyertai transfusi darah yang cepat. Trombosit dan
plasma beku segar, 10 sampai 15 mL/kg, harus diberikan
bila kehilangan darah melebihi satu sampai dua volume
darah. Praktik baru-baru ini, terutama dengan kehilangan
darah akibat trauma, mendukung pemberian plasma dan
trombosit "lebih awal" sebagai bagian dari protokol
transfusi masif. Satu unit trombosit per 10 kg berat
meningkatkan jumlah trombosit sekitar 50.000/μL. Dosis
kriopresipitat pediatrik adalah 1 unit/10 kg berat.
 Kehilangan "ruang ketiga" kehilangan ini tidak mungkin diukur dan harus
diperkirakan sejauh mana prosedur pembedahan. Dalam beberapa tahun
terakhir beberapa peneliti telah mempertanyakan keberadaan ruang ketiga, dan
beberapa menyatakan bahwa ruang ketiga ada sebagai akibat dari pemberian
cairan yang berlebihan. Salah satu pedoman pemberian cairan yang populer
adalah 0-2 mL/ kg/jam untuk operasi yang relatif atraumatik (misalnya
koreksi strabismus di mana seharusnya tidak ada kehilangan ruang ketiga) dan
hingga 6 hingga 10 mL/kg/ jam untuk prosedur traumatis (misal abses perut).
Kehilangan ruang ketiga biasanya diganti dengan injeksi Ringer laktat. Dapat
30
dikatakan bahwa semua masalah yang berkaitan dengan ruang ketiga tidak
pernah lebih kontroversial.
B. Postoperatif
Setelah pembedahan selesai, hentikan pemberian obat anestesia.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan
mulut dari lendir kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh otot,
dapat dinetralkan dengan prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine
(0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg).2
Ekstubasi pada bayi dilakukan jika keadaan bayi sudah benar-benar
sadar, ditandai dengan pergerakan anggota badan, mata terbuka,
napas spontan adekuat. Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan,
akan menyebabkan batuk-batuk, spasme laring atau bronkus.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau napas spontannya adekuat, keadaan
umumnya baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan
pasca intubasi.2
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat sudah pulih dari anestesi
adalah laringospasme post intubasi croup dan pengelolaan nyeri post
operatif. Pediatrik mudah mengalami laringospasme dan post
intubasi croup. Seperti pada orang dewasa nyeri post operatif pada
anak juga harus dikelola dengan baik.2
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita
dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah,
walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan
sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa
dihitung dulu. skomya menurut Lockhart (Skor Aldrete). 2

31
32
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Nama : By Z.A
No RM : 61.48.78
Tanggal lahir : 9 April 2021
Umur : 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal MRS : 29 November 2021

3.2 Anamnesis
(Alloanamnesis) tanggal 21 November 2021
3.2.1 Keluhan Utama
± 20 menit SMRS os tersiram air panas

3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :


Os datang dibawa oleh neneknya dengan keluhan melepuh hampir
seluruh badan dikarenakan tersiram air panas, nyeri (+). Riwayat tidak
sadarkan diri (-), sesak (-), mual (-), muntah (-).

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, alergi, asma, operasi
sebelumnya, dan anestesi disangkal.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, alergi, asma, operasi sebelumnya
dan anestesi disangkal. Riwayat dengan keluhan yang sama disangkal.

3.3 Keadaan Pra Anestesi


Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital

33
BB : 8 kg
PB : 68 cm
TD : 97/69 mmHg
Pernafasan : 30x/menit
Nadi : 130x/menit
Suhu : 36°C
Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 30x/menit
- Penilaian LEMON
L (Look) : Trauma fasialis (-), edema (-)
E (Evaluation) : Buka mulut. Jarak antar gigi incisivus >3jari
Jarak hyoid mental >3 jari
Jarak thyromental >2 jari
M (mallampati Score): II
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : mobilitas maksimal
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat.
- Heart Rate (HR) 140 kali/menit, regular.
- Capillarity refill time (CRT) <2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E:4 V:5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti

3.4 Status Lokalis


Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ada secret/bau/perdarahan
Telinga : tidak ada secret/bau/perdarahan
34
Mulut : Tampak luka bakar grade II A - II B 9%, hiperemis (+),
edema(+), hematoma (+)
Leher:
Tampak luka bakar grade II A - II B 3%, hiperemis (+), edema(+), hematoma
(+), bulla (+)
Thoraks:
Cor:
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas jantung atas ICS II parasternal dextra et sinistra, batas bawah
ICS IV Parasternal dekstra, ICS V linea midclavicularis sinistra
A: BJ I dan II normal
Pulmo:
I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak
P: Fremitus raba normal
P: Sonor
A: Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)
Abdomen:
I : cembung, tegang, tampak luka bakar grade II A - II B 8%,
hiperemis (+), edema(+), hematoma (+), bulla (+)
A: bising usus (+) normal, nyeri tekan (+)
Ekstremitas:
Superior anterior dextra : Tampak luka bakar grade II A - II B
5 %, hiperemis (+), edema(+), hematoma (+), bulla (+)
Superior anterior sinistra : Tampak luka bakar grade II A - II B 5%,
hiperemis (+), edema(+), hematoma (+), bulla (+)
Inferior anterior dextra : tampak luka bakar grade II A - II B 7%,
hiperemis (+), edema(+), hematoma (+), bulla (+)
Inferior anterior sinistra : mpak luka bakar grade II A - II B 7%,
hiperemis (+), edema(+), hematoma (+), bulla (+)

3.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
35
Hematologi : 29 November 2021
Hemoglobin 11.5 g/dl 11-15.5 g/dl
Eritrosit 3.88 juta/uL 4.5-5.5 juta/uL
Leukosit 13.2 ribu/uL 6-17,5 ribu/uL
Trombosit 264 ribu/mm3 217-497 ribu /mm3
Hematokrit 35% 35-45%
Hitung Jenis Leukosit :
- Basofil 0% 0-1%
- Eosinofil 0% 1-3%
- Batang 3% 2-6%
- Segmen 65% 50-70%
- Limfosit 30% 20-40%
- Monosit 5% 2-8%
Hemostasis :
Masa Perdarahan (BT) 3 menit 1-6 menit
Masa Pembekuan (CT) 6 menit 10-15 menit
Elektrolit : 29 November 2021
Natrium 140 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium 4.27 mmol/L 3.5-5.5 mmol/L
Imunologi : 2 November 2021
Pemeriksaan antigen Swab nasofaring Negatif
SARS Cov-2 negatif

Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas,
maka
 Diagnosis klinis : Luka Bakar Grade IIA-IIB 43%
 Diagnosis Anestesi: ASA II
 Rencana operasi : Debridement luka bakar
 Rencana Anestesi : General Anestesi

3.6 Laporan Anestesi Durante Operasi (Catatan Anestesi)


36
Mulai anestesi : 29 November 2021, pukul 19.00 WIB
Lama anestesi : 1 jam
Lama operasi : 30 menit

3.6.1. Status Fisik ASA


ASA II

3.6.2. Penyulit Pranastesi


- (-)

3.6.3. Ceklist Sebelum Induksi


- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan :+

3.6.4. Teknik Anestesi


General Anestesi : Endotracheal Tube

3.6.5. Monitoring
SpO2 :+
TD :-
HR :+
RR :+
Urine Catheter: +

3.6.6. Posisi Pasien


Posisi supine

3.6.7. Pramedikasi
- (-)

3.6.8. Obat Anestesi


- Fentanyl 7,6 mcg (IV), atracurium 0,5 cc (IV)
37
3.6.9. Intraoperatif
- Paracetamol 20cc (IV)
- Ketoprofen 50 ml (IV)
-
3.6.10. Cairan Intraoperatif
IWL = jenis operasi x BB
=6x8
= 48
Maintenance = 10/jam
Puasa = jam puasa x maintenance
= 3x 10
= 30
1 jam pertama = (½ x 30) + 10 = 72 mL
1 jam kedua = (1/4 x 30) + 15 + 48 = 65,5 mL

RL 500 cc 8 jam pertama = 672 cc = 84 cc/jam


RL 500 cc 16 jam berikutnya = 672 cc = 42 cc/jam

3.6.11. Obat Tambahan


(-)

Observasi Tanda-tanda Vital


Pukul Nadi SpO2 Cairan Infus

20.30 140 100% RL 500ml


20.45 138 100% RL 500ml
21.00 140 100% RL 500ml
21.15 139 100% RL 500ml
21.30 140 100% RL 500ml
Pemantauan
SpO2 : 100%
Infus : 600ml
Urin : 50 ml
Darah :-
3.7 Post Operasi
38
Pada postoperatif setelah dilakukan tindakan, pasien di tunggu sampai sadar,
setelah itu di lakukan penilaian menurut ALDERETE Score di dapatkan nilai 7
yang artinya pasien belum pulih dari anestesi dan tidak dapat dipindahkan ke
ruang perawatan. Pasien selanjutnya dipindahkan ke PICU.

1
1.1
1.2
1.3
1.3.1
3.7.1. Intruksi Pasca Bedah

Bila kesakitan : Sesuai instruksi dokter


Bila mual/muntah : Sesuai instruksi dokter
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : Sesuai instruksi dokter
Infus : Sesuai instruksi dokter
Minum : Sesuai instruksi dokter
Pemantauan Tanda Vital dan GCS

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien adalah bayi perempuan usia 7


bulan dengan keluhan luka bakar hamper seluruh tubuh yang dirasakan ± SMRS
saat nenek pasien sedang memasak air untuk mandi. Pasien diantar ke ruang
operasi unutk menjalani tindakan Debridement luka bakar dengan diagnosis pre
operatif Luka Bakar Grade IIA-IIB 43%. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
Tekanan Darah pasien 97/69 mmHg, Nadi 130 x/menit, RR 30x/menit, BB 8 kg,
PB 68 cm. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, pasien didiagnosis dengan hernia inguinalis
lateralis. Pada kunjungan preoperatif didapatkan kondisi pasien baik dengan skor
American Society of Anesthesiologist (ASA) I dimana dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sistemik. Klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology) adalah sebagai berikut:

ASA I : Pasien normal dan sehat


ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan tanpa batasan
aktivitas fisik. Contohnya pada perokok aktif, peminum
alcohol, kehamilan, obesitas (30<BMI<40), hipertensi dan
DM terkontrol, penyakit paru ringan.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Contohnya pada pasien dengan satu atau
lebih penyakit berat, hipertensi dan DM tidak terkontrol,
COPD, obesitas ≧ 40 BMI, hepatitis aktif,
penyalahgunaan alkohol, pemasangan pacemaker, riwayat
(>3 bulan) infark miokard, CVA, TIA atau CAD dll.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, Contohnya riwayat infark miokard (<3 bulan), CVA,
TIA, iskemik, gangguan katup jantung, shock, sepsis dll.
ASA V : Pasien yang tidak bisa diharapkan untuk bertahan tanpa
operasi. Contohnya ruptur abdominal, ruptur aneurisma,
perdarahan intrakranial dengan massa, kegagalan
multiorgan.

40
ASA VI : Pasien mati otak.
Penilaian pasien luka bakar dimulai dengan inspeksi jalan
napas. Meskipun wajah mungkin terbakar (rambut wajah hangus,
vibrissae hidung), luka bakar wajah bukan merupakan indikasi
untuk intubasi trakea. Kebutuhan untuk manajemen jalan napas
yang mendesak, ventilasi mekanik, dan terapi oksigen ditunjukkan
apabila pasien mengalami suara serak, dispnea, takipnea, atau
perubahan derajat kesadaran.2 pada pasien dilakukan manajemen
jalan napas berupa pemasangan ETT. Intubasi endotrakeal
digunakan baik untuk melakukan anestesi umum dan untuk
memfasilitasi manajemen ventilator pada pasien yang sakit
kritis.2 Ukuran ETT yang digunakan pada pasien adalah No. 3,5.
Jenis pembedahan yang dilakukan pada pasien ini adalah
debridement dengan jenis anestesi yang digunakan adalah anestesi
umum atau general anestesi. Anestesi umum merupakan prosedur
menghilangkan rasa sakit di seluruh tubuh secara sentral yang
diikuti hilangnya kesadaran bersifat sementara dengan cara
mempengaruhi membran lipid, dan vaskularisasi organ.
Diharapkan dengan penggunaan anestesi umum maka akan
diperoleh trias anestesi yaitu Hipnotik (tidur), Analgesik (bebas
nyeri), dan Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot).4
Tahapan pada anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama adalah induksi (Induction), fase kedua adalah fase
pemeliharaan (Maintenance) dan yang terakhir adalah fase gawat
darurat (Emergency). Anestesi umum yang digunakan dimulai dari
zat yang dihirup (inhalan), namun pada praktek terkini, anestesi
dapat diinduksi dan dipertahankan dengan obat-obatan yang dapat
masuk melalui berbagai rute, pada sedasi praoperatif dapat
dilakukan melalui rute oral maupun intravena.
Metode anestesi umum biasanya menggunakan induksi secara
inhalan atau intravena.4
Anestesi umum yang digunakan dimulai dari zat yang dihirup (inhalan),
namun pada praktek terkini, anestesi dapat diinduksi dan dipertahankan
dengan obat- obatan yang dapat masuk melalui berbagai rute, pada sedasi
41
praoperatif dapat dilakukan melalui rute oral maupun intravena. Metode
anestesi umum biasanya menggunakan induksi secara inhalan atau intravena.
Kebutuhan cairan:
IWL = jenis operasi x BB
=6x8
= 48
Maintenance = 10/jam
Puasa = jam puasa x maintenance
= 3x 10
= 30
1 jam pertama = (½ x 30) + 10 = 72 mL
1 jam kedua = (1/4 x 30) + 15 + 48 = 65,5 mL

RL 500 cc 8 jam pertama = 672 cc = 84 cc/jam


RL 500 cc 16 jam berikutnya = 672 cc = 42 cc/jam

Pada kasus ini pasien diberikan premedikasi berupa paracetamol 20cc dan
Ketoprofen 50 ml. Tujuan dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi
keluhan nyeri pasca operasi.

42
BAB V
KESIMPULAN

1. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional pada
Luka Bakar 43% Grade II A – II B.
2. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional (spinal)
menggunakan bupivacaine dan diberikan juga premedikasi berupa
ondansetron.
3. Dalam kasus ini, selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun tindakan operasi.
4. Post operasi pasien dirawat di PICU untuk dimonitoring stabilitas pasien post
operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian dapat
dipulangkan.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Stone II R, Natesan S, Kowalczewski C, Mangum L, Clay N, Clohessy R et al.


2018. Advancements in Regenerative Strategies Through the Continuum of Burn
Care. Frontiers in Pharmacology.
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fphar.2018.00672/full
2. Morgan & Mikhail. 2018. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. US:
McGraw-Hill.
3. Jeschke, M. G., van Baar, M. E., Choudhry, M. A., Chung, K. K.,
Gibran,N. S., & Logsetty, S. (2020). Burn injury. Nature reviews. Disease
primers, 6(1), 11. https://doi.org/10.1038/s41572-020-0145-5
4. Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. (2015).8th Edition.
Hal: 278-289.

44

Anda mungkin juga menyukai