Anda di halaman 1dari 130

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Teknik Kimia Skripsi Sarjana

2017

Pengaruh Penambahan Selulosa


Mikrokristal dari Serat Ijuk dan
Plasticizer Gliserol Terhadap
Karakteristik Bioplastik dari Pati Biji
Alpukat (Persea Americana mill)

Sartika, Mora
Universitas Sumatera Utara

https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/9513
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PENGARUH PENAMBAHAN SELULOSA
MIKROKRISTAL DARI SERAT IJUK DAN
PLASTICIZER GLISEROL TERHADAP
KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI
BIJI
ALPUKAT (Persea Americana mill)

SKRIPSI

Oleh

MORA SARTIKA
120405054

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA JANUARI 2017

Universitas Sumatera Utara


PENGARUH PENAMBAHAN SELULOSA
MIKROKRISTAL DARI SERAT IJUK DAN
PLASTICIZER GLISEROL TERHADAP
KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI
BIJI
ALPUKAT (Persea Americana mill)

SKRIPSI

Oleh

MORA SARTIKA
120405054

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN


PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA JANUARI 2017

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:

PENGARUH PENAMBAHAN SELULOSA MIKROKRISTAL DARI


SERAT IJUK DAN PLASTICIZER GLISEROL TERHADAP
KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI BIJI ALPUKAT (Persea
Americana mill)

yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada
Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi
ini adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang telah saya sebutkan
sumbernya.
Demikian pernyataan ini diperbuat, apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya
ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Medan, Januari 2017

Mora Sartika
NIM 120405054

i
Universitas Sumatera
PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

PENGARUH PENAMBAHAN SELULOSA MIKROKRISTAL DARI


SERAT IJUK DAN PLASTICIZER GLISEROL
TERHADAP KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI BIJI
ALPUKAT (Persea Americana mill)

dibuat sebagai kelengkapan persyaratan untuk mengikuti ujian skripsi Sarjana


Teknik pada Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera
Utara. Skripsi ini telah diujikan pada sidang ujian skripsi pada 26 Januari 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat/sah sebagai skripsi pada Departemen Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Mengetahui, Medan, Januari 2017


Koordinator Skripsi Dosen Pembimbing

Ir. Renita Manurung, M.T Dr. Maulida, S.T., M.Sc


NIP. 19681214 1997022 002 NIP. 19700611 199702 2 001

Dosen Penguji I Dosen Penguji II

Mhd. Hendra S. Ginting, S.T., M.T Dr. Halimatuddahliana, S.T.,


M.Sc NIP. 19700919 199903 1 001 NIP. 19730408 199802 2 002

ii
Universitas Sumatera
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan skripsi
dengan judul “Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk dan
Plasticizer Gliserol Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Pati Biji Alpukat
(Persea Americana mill)”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di
Laboratorium Kimia Fisika Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universtas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana teknik.
Selama melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini, penulis banyak
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Maulida, ST, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberi pengarahan, diskusi dan bimbingan serta
persetujuan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
2. Bapak Mhd. Hendra S. Ginting, ST. MT. dan Ibu Dr. Halimatuddahliana,
S.T., M.Sc., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan
yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr.Eng.Ir. Irvan, MT., selaku ketua Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Ir. Renita Manurung, MT., selaku koordinator penelitian.
5. Hidayatul Azmi, selaku partner penelitian yang telah banyak membantu dan
menyumbangkan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.
6. Teman seperjuangan, Rizka Dwi Hidayati, Nilna Iqbal dan Dicky Setiawan
Tanjung yang telah banyak membantu memberikan saran dalam penulisan
skripsi ini.
7. Seluruh teman seangkatan dan seperjuangan lainnya angkatan 2012.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

ii
Universitas Sumatera
Medan, Januari 2017
Penulis

Mora Sartika

i
Universitas Sumatera
DEDIKASI

v
Universitas Sumatera
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama: Mora Sartika


NIM: 120405054
Tempat/tgl lahir: Medan, 5 Januari 1995
Nama orang tua: Sawon
Alamat orang tua:
Desa Sorkam, Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli
Tengah.
Asal sekolah
 SDN 153007 Sorkam tahun 2000 – 2006
 SMP Negeri 2 Sorkam Barat tahun 2006 – 2009
 SMA Negeri 1 Sibolga tahun 2009-2012
Pengalaman organisasi/kerja:
1. HIMATEK USU periode 2014-2015 sebagai anggota Bidang Bakat dan
Minat
2. Covalen Study Group (CSG) periode 2013-2014 sebagai anggota Hubungan
Masyarakat
3. Kerja Praktek di PT Chandra Asri Petrochemical, Tbk., Cilegon, Banten
Februari 2016
Artikel yang telah dipublikasikan dalam Jurnal/Pertemuan Ilmiah:
1. Prosiding Phuket 6th International Conference on “Engineering &
Technology, Computer, Basic & Applied Sciences” (ECBA-2016) dengan
judul “Effect of Microcrystalline Cellulose from Sugar Palm Fibres and
Glycerol Addition on Mechanical Properties of Bioplastic from Avocado
Seed Starch (Persea Americana mill)”
2. Prosiding 1st International Conference on Computing and Applied Informatics
(ICCAI) 2016 dengan judul “Utilization Starch of Jackfruit Seed (Artocarpus
heterophyllus) as Raw Material for Bioplastics Manufacturing Using Sorbitol
as Plasticizer and Chitosan as Filler”

v
Universitas Sumatera
ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHAN SELULOSA MIKROKRISTAL DARI


SERAT IJUK DAN PLASTICIZER GLISEROL
TERHADAP KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI BIJI
ALPUKAT (Persea Americana mill)

Penelitian tentang pengaruh penambahan selulosa mikrokristal dari serat ijuk dan
plasticizer gliserol terhadap karakteristik bioplastik dari pati biji alpukat (Persea
Americana mill) bertujuan untuk menentukan massa selulosa mikrokristal dan
volume gliserol yang paling optimum dalam menghasilkan produk bioplastik.
Pembuatan selulosa mikrokristal terdiri dari tahap delignifikasi, bleaching, dan
hidrolisis asam sebelum mikrokristalin selulosa dapat diproduksi. Tahap
delignifikasi dilakukan dengan merendam serat ijuk dengan larutan NaOH 17,5%
untuk menghasilkan -selulosa, kemudian -selulosa direndam dengan NaOCl
3,5% pada suhu mendidih, selanjutnya tahap hidrolisis asam dengan
menghidrolisis -selulosa dalam larutan HCl 2,5 N untuk menghasilkan selulosa
mikrokristal. Pembuatan bioplastik dilakukan dengan Metode Casting. Pembuatan
bioplastik dilakukan dengan variasi rasio massa pati dan selulosa mikrokristal 6:
4, 7: 3, 8: 2, dan 9: 1, serta variasi volume gliserol 0,1; 0,2; 0,3 dan 0,4 ml/gr.
Selulosa mikrokristal dilarutkan terlebih dahulu dalam larutan NaOH 5% sebelum
dicampurkan kedalam suspensi pati. Karakterisasi pada selulosa mikrokristal
meliputi karakterisasi dengan menggunakan instrumen Fourier Transform
Infrared (FTIR), X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy
(SEM) yang masing-masing dilakukan untuk mengetahui struktur molekul, indeks
kristalinitas dan morfologi selulosa mikrokristal yang dihasilkan. Sedangkan
karakterisasi pada bioplastik meliputi karakterisasi kekuatan tarik, sifat
pemajangan pada saat putus, analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform
Infrared (FTIR), analisis morfologi dengan Scanning Electron Microscopy
(SEM), dan uji biodegradasi bioplastik. Pada penelitian ini diperoleh indeks
kristalinitas selulosa mikrokristal yang dihasilkan adalah 97,5% dengan diameter
kristal sebesar 25,08 nm. Selulosa mikrokristal yang dihasilkan berbentuk batang
dengan diameter sebesar 55-9.44 µm. Sedangkan untuk hasil bioplastik diperoleh
kondisi optimum yang dihasilkan yaitu pada rasio pati dan selulosa mikrokristal 7:
3 dan volume gliserol 0,2 ml/gr dengan nilai kekuatan tarik sebesar 2,74 MPa dan
nilai pemanjangan pada saat putus 3,16%.

Kata kunci : pati, biji alpukat, bioplastik, gliserol, selulosa mikrokristal, serat ijuk

v
Universitas Sumatera
ABSTRACT
EFFECT OF MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM SUGAR
PALM FIBERS AND GLYCEROL ADDITION ON THE
CHARACTERISTIC OF BIOPLASTIC FROM AVOCADO SEED
STARCH (Persea Americana mill)

The effect of microcrystalline cellulose from sugar palm fibers and glycerol
addition on the characteristic of bioplastic from avocado seed starch (Persea
Americana mill) was aimed to determine the most optimum mass and volume of
microcrystalline cellulose and glycerol in producing bioplastics.. Sugar palm
fibers was undergoing alkali treatment, bleaching process, and hydrocloric acid
hydrolysis before microcrystalline cellulose can be produced. Delignification
stage carried out by soaking the sugar palm fiber with 17.5% NaOH solution to
produce -cellulose, then -cellulose soaked with NaOCl 3.5% at boiling
temperatures. Furthermore, - hydrolyzed -cellulose in a solution of HCl 2.5 N
to produce microcrystalline cellulose. Bioplastic was succesfully fabricated
through solution casting technique. Bioplastics were prepared from avocado seed
starch and reinforced with microcrystalline cellulose from sugar palm fibers with
composition ratio were 6:4; 7: 3, 8: 2, and 9: 1 (w/w) and using glycerol as
plasticizer with variation of 0.1; 0.2; 0.3 and 0.4 (v/w of starch). Microcrystalline
cellulose dissolved in a solution of NaOH 5% (w/v) before mixed into the
plasticized starch. The characterization of microcrystalline cellulose include the
characterization using the instrument Fourier Transform Infrared (FTIR), X-Ray
Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscopy (SEM) are each conducted
to determine the molecular structure, index of crystallinity, and morphology of
microcrystalline cellulose produced. The characterization of bioplastics include
the characterization of tensile strength, elongation at break properties, functional
group analysis by Fourier Transform Infrared (FTIR), morphological analysis by
Scanning Electron Microscopy (SEM), and biodegradation testing. In this
research, the microcrystalline cellulose crystallinity index produced was 97.5%
with a crystal diameter of 25.08 nm. Morphologycal analysis using Scanning
Electron Microscope showed that the isolated microcrystalline cellulose from
sugar palm fibers are rod-like shape with diameter of 5.55-9.44 µm and crystallite
size of 25.08 nm. Mechanical properties of bioplastic were determined by tensile
strength and elongation at break. From the analysis, the best condition of
bioplastics obtained at comparison of mass starch-microcrystalline cellulose 7 : 3
and the addition of glycerol 0.2 (v/w) for tensile strength of 2.74 MPa and
elongation at break of 3.16%.

Keywords: starch, avocado seed, bioplastic, glycerol, microcrystalline cellulose,


sugar palm fiber

Universitas Sumatera
viii

Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i
PENGESAHAN ii
PRAKATA iii
DEDIKASI v
RIWAYAT HIDUP PENULIS vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH 3
1.3 TUJUAN PENELITIAN 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN 4
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 BIOPLASTIK 7
2.2 PATI 9
2.3 GELATINISASI DAN RETRODEGRADASI PATI 13
2.4 BIJI ALPUKAT 15
2.5 SELULOSA 17
2.6 SELULOSA MIKROKRISTAL 20
2.7 IJUK 21
2.8 GLISEROL 23
2.9 METODE PEMBUATAN BIOPLASTIK 24
2.10 ANALISA KARAKTERISTIK HASIL PENELITIAN 26
2.10.1 Analisa Karakteristik Pati 26
2.10.2 Karakteristik Profil Gelatinisasi 28

ix
Universitas Sumatera
2.10.3 Analisa Gugus Fungsi (FT-IR) 29
2.10.4 Analisa Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) 29
2.10.5 Analisa Sifat Pemanjangan Saat Putus 30
2.10.6 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) 30
2.10.7 Uji Biodegradasi 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 33
3.1 LOKASI PENELITIAN 33
3.2 ALAT DAN BAHAN 33
3.2.1 Alat 33
3.2.2 Bahan 34
3.3 PROSEDUR PENELITIAN 34
3.3.1 Prosedur Pembuatan Selulosa Mikrokristal 34
3.3.1.1 Prosedur Preparasi Ijuk 34
3.3.1.2 Prosedur Ekstraksi α-Selulosa dari Ijuk 35
3.3.1.3 Prosedur Isolasi Selulosa Mikrokristal 35
3.3.2 Prosedur Isolasi Pati Biji Alpukat 36
3.3.3 Prosedur Pembuatan Bioplastik 36
3.4 FLOWCHART PERCOBAAN 38
3.4.1 Flowchart Isolasi Pati Biji Alpukat 38
3.4.2 Flowchart Pembuatan Selulosa Mikrokristal 39
3.4.2.1 Flowchart Preparasi Ijuk 39
3.4.2.2 Flowchart Ekstraksi α-selulosa dari Serat Ijuk 40
3.4.2.3 Flowchart Isolasi Selulosa Mikrokristal 41
3.4.3 Flowchart Pembuatan Bioplastik 42
3.5 ANALISA KARAKTERISTIK PATI BIJI ALPUKAT 43
3.5.1 Kadar Pati 43
3.5.2 Kadar Amilosa 43
3.5.3 Analisa Sifat Pasting Pati Biji Alpukat 44
3.5.4 Kadar Air dan Kadar Abu 44
3.5.5 Kadar Protein dan Lemak 44
3.6 ANALISA PRODUK BIOPLASTIK DAN SELULOSA 44
MIKROKRISTAL

x
Universitas Sumatera
3.6.1 Analisa Kekuatan Tarik 44
3.6.2 Analisa Sifat Pemanjangan pada Saat Putus 45
3.6.3 Karakterisasi Scanning Electron Microscope 45
3.6.4 Karakterisasi Fourier Transform Infra-Red (FTIR) 46
3.6.5 Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) 46
3.6.6 Uji Biodegradasi 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 50
4.1 HASIL EKSTRAKSI PATI BIJI ALPUKAT 50
4.2 HASIL KARAKTERSASI PATI BIJI ALPUKAT 50
4.2.1 Kadar Pati 51
4.2.2 Kadar Amilosa dan Amilopektin 51
4.2.3 Kadar Air 52
4.2.4 Kadar Abu 53
4.2.5 Kadar Protein 54
4.2.6 Kadar Lemak 54
4.3 KARAKTERISTIK SELULOSA MIKROKRISTAL 55
4.3.1 Hasil Analisa Kristalinitas dengan XRD (X-Ray Diffraction)
56
Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk
4.3.2 Karakteristik Morfologi Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk
58
Dengan SEM (Scanning Electron Microscope)
4.4 KARAKTERISTIK HASIL ANALISA FOURIER TRANSFORM
INFRA RED (FT-IR) PATI BIJI ALPUKAT, SELULOSA
59
MIKROKRISTAL DAN BIOPLASTIK BERPENGISI SELULOSA
MIKROKRISTAL DENGAN PEMLASTIS GLISEROL
4.5 KARAKTERISTIK MORFOLOGI PATI BIJI ALPUKAT DENGAN
63
SEM (SCANNING ELECTRON MICROSCOPE)
4.6 KARAKTERISTIK PROFIL GELATINISASI PATI DENGAN RVA
64
(RAPID VISCO ANALYZER)
4.7 HASIL SIFAT MEKANIK BIOPLASTIK DARI PATI BIJI ALPUKAT 66
4.7.1 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis
66
Gliserol Terhadap Sifat Kekuatan Tarik Bioplastik
4.7.2 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis 69

xi
Universitas Sumatera
Gliserol Terhadap Pemanjangan Pada Saat Putus Bioplastik
4.8 HASIL UJI BIODEGRADASI BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT
DENGAN SELULOSA MIKROKRISTAL DAN PEMLASTIS 71
GLISEROL
4.9 HASIL ANALISA MORFOLOGI PUTUSAN BIOPLASTIK 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 75
5.1 Kesimpulan 75
5.2 Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77

xi
Universitas Sumatera
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Polimer Biodegradable sebagai Bahan Biokemasan 9
Gambar 2.2 Struktur Amilosa 10
Gambar 2.3 Struktur Amilopektin 11
Gambar 2.4 Perubahan Granula Pati selama Pemanasan dan Pendinginan 14
Gambar 2.5 (a) tanaman alpukat (b) buah alpukat 16
Gambar 2.6 Struktur Kimia Selulosa 18
Gambar 2.7 Struktur Kimia α-selulosa 18
Gambar 2.8 Struktur Kimia β-selulosa 19
Gambar 2.9 Pohon Aren 22
Gambar 2.8 Struktur Gliserol 23
Gambar 2.9 Prosedur Pembuatan Bioplastik Metode Casting 25
Gambar 3.1 Flowchart Isolasi Pati Biji Alpukat 38
Gambar 3.2 Flowchart Preparasi Serat Ijuk 39
Gambar 3.3 Flowchart Ekstraksi α-selulosa dari Serat Ijuk 40
Gambar 3.4 Flowchart Isolasi Selulosa Mikrokristal 41
Gambar 3.5 Flowchart Pembuatan Bioplastik 42
Gambar 3.6 Sketsa Spesimen Uji Tarik 44
Gambar 3.7 Flowchart Uji Biodegradabilitas di Atas Permukaan Tanah 48
Gambar 3.8 Flowchart Uji Biodegradabilitas di dalam Tanah 49
Gambar 4.1 (a) Biji Alpukat (b) Pati Biji Alpukat 50
Gambar 4.2 Hasil Penelitian (a) Alfa-Selulosa (b) Selulosa Mikrokristal 55
Gambar 4.3 Karakteristik XRD dari Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk 56
Gambar 4.4 Hasil SEM Selulosa Mikrokristal Perbesaran (a) 1000x dan (b) 58
5000x
Gambar 4.5 Karakteristik Hasil Analisa FT-IR 59
Gambar 4.6 Hasil SEM Pati Biji Alpukat dengan Perbesaran (a) 1000x dan 63
(b) 5000x
Gambar 4.7 Grafik Profil Gelatinisasi Pati Biji Alpukat yang Diukur dengan 64
RVA (Rapid Visco Analyzer)
Gambar 4.8 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Plastisizer 66

xi
Universitas Sumatera
Gliserol terhadap Sifat Kekuatan Tarik Bioplastik Biji Alpukat
Gambar 4.9 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Gliserol 69
terhadap Pemanjangan Saat Putus Bioplastik Pati Biji Alpukat
Gambar 4.10 Perbandingan Biodegradabilitas Bioplastik dengan metode soil 71
burial test dan di atas permukaan tanah
Gambar 4.11 Hasil Analisa Morfologi Putusan (a) Bioplastik Tanpa Pengisi 73
Selulosa Mikrokristal dan (b) Bioplastik Pati Biji Alpukat
dengan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis Gliserol
Gambar L3.1 Biji Alpukat 98
Gambar L3.2 Serat Ijuk 98
Gambar L3.3 Proses Isolasi Pati dari Biji Alpukat 99
Gambar L3.4 Proses Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Ijuk 99
Gambar L3.5 Proses Isolasi Selulosa Mikrokristal dari α-Selulosa 100
Gambar L3.6 Pati Biji Alpukat 100
Gambar L3.7 Alfa-Selulosa dari Serat Ijuk 101
Gambar L3.8 Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk 101
Gambar L3.9 Proses Pembuatan Bioplastik 102
Gambar L3.10 Proses Pencetakan Bioplastik 102
Gambar L3.11 Bioplastik 103
Gambar L3.12 Alat UTM Gotech Al-7000M Grid Tensile 103
Gambar L4.1 Hasil XRD Selulosa Mikrokristal 104
Gambar L4.2 Hasil FTIR Selulosa Mikrokristal 104
Gambar L4.3 Hasil FTIR Pati Biji Alpukat 105
Gambar L4.4 Hasil FTIR Serat Ijuk 105
Gambar L4.5 Hasil FTIR Bioplastik Tanpa Pengisi Selulosa Mikrokristal 106
Gambar L4.6 Hasil FTIR Bioplastik 106
Gambar L4.7 Hasil RVA Pati Biji Alpukat 107

xi
Universitas Sumatera
DAFTAR
TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Karakteristik Komponen Amilosa dan Amilopektin 11
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Biji Alpukat 16
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Serat Ijuk 22
Tabel 4.1 Standar Mutu Pati Menurut Standar Industri Indonesia 51
Tabel 4.2 Karakteristik rentang frekuensi pada spektrofotometri IR 59
Tabel 4.3 Pergeseran Bilangan Gelombang pada Selulosa Mikrokristal dan 61
Serat Ijuk
Tabel 4.4 Pergeseran Bilangan Gelombang pada Pati Biji Alpukat, 63
Bioplastik Pati-Gliserol dan Bioplastik Pati-Gliserol- Selulosa
Mikrokristal
Tabel L1.1 Hasil Bioplastik Pati Biji Alpukat dengan Selulosa Mikrokristal 89
dan Plasticizer Gliserol
Tabel L1.2 Data Hasil Kekuatan Tarik (Tensile Strength) 91
Tabel L1.3 Data Hasil Pemanjangaan pada saat Putus (Elongation at Break) 92
Tabel L1.4 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik 93
Tabel L1.5 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik 93
Tabel L1.6 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik 94
Tabel L1.7 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik 94
Tabel L1.8 Data Hasil Uji XRD Selulosa Mikrokristal 107

x
Universitas Sumatera
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN 89
L1.1 HASIL BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT DENGAN SELULOSA 89
MIKROKRISTAL DAN PLASTICIZER GLISEROL
L1.2 DATA HASIL KEKUATAN TARIK (TENSILE STRENGTH) 91
L1.3 DATA HASIL PEMANJANGAN PADA SAAT PUTUS 92
(ELONGATION AT BREAK)
L1.4 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS BIOPLASTIK DENGAN 93
METODE SOIL BURIAL TEST
L1.5 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS BIOPLASTIK DI ATAS 93
PERMUKAAN TANAH
L1.6 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS FRAKSI RESIDUAL 94
BIOPLASTIK DENGAN METODE SOIL BURIAL TEST
L1.7 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS FRAKSI RESIDUAL 94
BIOPLASTIK DI ATAS PERMUKAAN TANAH
LAMPIRAN 2 CONTOH PERHITUNGAN 95
L2.1 PERHITUNGAN PEMBUATAN BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT
DENGAN SELULOSA MIKROKRISTAL DAN PLASTICIZER
GLISEROL 95
L2.2 PERHITUNGAN SIFAT KEKUATAN TARIKBIOPLASTIK PATI 95
BIJI ALPUKAT DENGAN SELULOSA MIKROKRISTAL DAN
PLASTICIZER GLISEROL
L2.3 PERHITUNGAN SIFAT PEMANJANGAN PADA SAAT PUTUS 96
BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT DENGAN SELULOSA
MIKROKRISTAL DAN PLASTICIZER GLISEROL
L2.4 PERHITUNGAN INDEKS KRISTALINITAS DARI HASIL XRD 96
L2.5 PERHITUNGAN DIAMETER KRISTAL ATAU UKURAN KRISTAL 97
DARI HASIL XRD
L2.6 PERHITUNGAN BERAT RESIDUALBIOPLASTIK 97
LAMPIRAN 3 DOKUMENTASI PENELITIAN 98
L3.1 BIJI ALPUKAT 98

x
Universitas Sumatera
L3.2 SERAT IJUK 98
L.3.3 PROSES ISOLASI PATI DARI BIJI ALPUKAT 99
L3.4 PROSES EKSTRAKSI α – SELULOSA DARI SERAT IJUK 99
L3.5 PROSES ISOLASI SELULOSA MIKROKRISTAL DARI α – 100
SELULOSA
L.3.6 PATI BIJI ALPUKAT 100
L3.7 ALFA-SELULOSA DARI SERAT IJUK 101
L3.8 SELULOSA MIKROKRISTAL DARI SERAT IJUK 101
L3.9 PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK 102
L3.10 PROSES PENCETAKAN BIOPLASTIK 102
L3.11 BIOPLASTIK 103
L3.12 ALAT UNIVERSAL TESTING MACHINE (UTM) GOTECH AL- 103
7000M GRID TENSILE
LAMPIRAN 4 HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM 104

ANALISIS DAN INSTRUMEN


L4.1 HASIL XRD SELULOSA MIKROKRISTAL 104
L4.2 HASIL FTIR SELULOSA MIKROKRISTAL 104
L4.3 HASIL FTIR PATI BIJI ALPUKAT 105
L.4.4 HASIL FTIR SERAT IJUK 105
L4.5 HASIL FTIR BIOPLASTIK TANPA PENGISI SELULOSA 106
MIKROKRISTAL
L.4.6 HASIL FTIR BIOPLASTIK 106
L4.7 HASIL RVA PATI BIJI ALPUKAT 106
L4.8 HASIL ANALISA XRD SELULOSA MIKROKRISTAL 107

xvii

Universitas Sumatera
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Permintaan akan produk plastik oleh masyarakat pada saat ini terus meningkat. Hal
ini disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang sebagian besar tidak terlepas dari
penggunaan produk plastik tersebut dan dikarenakan sifatnya yang fleksibel,
ekonomis, kuat, serta bersifat sebagai penahan yang baik bagi oksigen, uap air, dan
karbondioksida [1]. Setiap tahun limbah plastik menunjukkan peningkatan yang
signifikan dikarenakan kebutuhan plastik yang juga meningka. Data dari
Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2007 menunjukkan, volume timbunan
sampah di 194 kabupaten dan kota di Indonesia mencapai 666 juta liter atau setara 42
juta kilogram, di mana komposisi limbah plastik mencapai 14 persen atau 6 juta ton.
Dari sumber yang sama di tahun 2012, jumlah sampah di 14 kota besar di Indonesia
mencapai 1,9 juta ton. Adapun, jumlah limbah plastik secara umum pada tahun 2013
sebanyak 53% dari jumlah sampah yang ada [2]. Meningkatnya jumlah limbah
plastik dari tahun ke tahun dapat mengnacam kestabilan ekosistem lingkungan. Oleh
sebab itu, diperlukannya pengembangan solusi ekologi yang berfungsi sebagai
alternatif, mengingat bahwa plastik berasal dari minyak mentah yang merupakan
bahan bakar fosil yang tidak terbarukan yang kemudian akan berdampak pada
peningkatan polusi lingkungan [3].
Solusi yang dimaksud adalah pengembangan plastik biodegradable. Istilah
bioplastik berarti plastik yang dihasilkan dari sumber biologis (siklus karbon
pendek), sedangkan biodegradable merujuk bahan yang dapat terdegradasi relatif
cepat oleh mikroba di lingkungan yang sesuai [4]. Bioplastik terbuat dari sumber
daya terbarukan dapat didaur ulang secara alami oleh proses biologis, sehingga dapat
melestarikan sumber daya alam yang terbatas (bahan bakar fosil) dan mengurangi
emisi gas rumah kaca (CO2 netral). Saat ini, bioplastik telah menjadi kebutuhan
dalam banyak aplikasi industri seperti kemasan makanan, pertanian, tas kompos, dan
kebersihan [5].
Salah satu komponen utama penyusun bioplastik adalah pati. Pati secara luas
digunakan dalam bentuk film biodegradable dalam aplikasi yang bervariasi karena
merupakan bahan terbarukan, melimpah dan murah [6]. Dibandingkan dengan lemak
dan protein, pati telah menjadi salah satu bahan yang paling menjanjikan untuk

1
Universitas Sumatera
digunakan dalam produksi plastik, karena sifatnya yang mudah terurai, lebih ramah
lingkungan, dan murah [7].
Pati yang digunakan untuk penelitian ini adalah pati yang berasal dari biji
alpukat. Alpukat merupakan salah satu komoditas buah yang digemari oleh seluruh
lapisan masyarakat. Namun, kebanyakan masyarakat hanya memanfaatkan daging
buahnya saja, sedangkan biji alpukat dibuang dan menjadi limbah begitu saja.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, produksi buah alpukat di Indonesia
cukup tinggi yaitu mencapai 276318 ton per tahun. Produksi alpukat mengalami
peningkatan pada tahun 2014 hingga mencapai 307326 ton [8]. Kandungan pati
dalam biji alpukat cukup besar, yaitu 23% dalam basis kering [9]. Dengan terus
meningkatnya produksi alpukat dan kandungan pati yang terkandung didalamnya
cukup besar, maka dari itu peneliti memilih biji alpukat sebagai bahan baku
pembuatan bioplastik, sehingga menjadi bahan yang lebih bermanfaat dan dapat
menaikkan nilai ekonominya. Biji buah alpukat sampai saat ini hanya dibuang
sebagai limbah yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan [10].
Selulosa adalah salah satu biopolimer terbarukan yang paling banyak di
dunia. Produksi selulosa di alam adalah sekitar 100 miliar ton per tahun. Selulosa
biasanya ditemukan bersama-sama dengan lignin dan polisakarida lainnya, seperti
hemiselulosa di dinding sel tanaman berkayu, baik kayu lunak maupun kayu keras
[11].
Salah satu sumber selulosa yang paling potensial adalah ijuk. Ijuk merupakan
salah satu bagian terpenting dari tumbuhan Aren (Arenna pinnata). Ada tiga
kelebihan utama ijuk, yaitu memiliki kekuatan tarik tinggi, lebih tahan lama, dan
tidak dipengaruhi oleh panas dan kelembaban [12]. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Sahari et al. (2012) diperoleh kadar selulosa pada serat ijuk sebesar 52.3%
dengan nilai kekuatan sebesar 276.6 N/mm2 [13]. Angka ini menunjukkan bahwa
kandungan selulosa dalam ijuk cukup tinggi, mengingat bahwa kandungan selulosa
yang rendah pada suatu serat menunjukkan sifat fisik yang rendah pula, seperti
kekuatan tarik, modulus, perpanjangan saat putus dan ketangguhan [12].
Shinoj dkk. (2011) melaporkan bahwa interaksi yang lebih baik antara partikel
serat dan matriks polimer dapat meningkatkan sifat mekanik dari biokomposit.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan sifat mekanik adalah ukuran partikel serat,
aspek rasio dan adhesi serat-matriks. Selulosa terdiri daerah kristal dan daerah
amorf.

2
Universitas Sumatera
Selulosa kristal jauh lebih kuat dan kaku, dan dianggap sebagai agen penguat lebih
baik dari selulosa amorf atau selulosa asli itu sendiri [14]. Oleh sebab itu, dalam
penelitian ini digunakan selulosa mikrokristal dari serat ijuk sebagai pengisi. Selain
bersifat biodegradable dan lebih ramah lingkungan, fabrikasi bahan selulosa menjadi
mikro serta dimensi nano juga meningkatkan karakteristik yang menguntungkan
seperti sifat mekanik yang baik, kristalinitas tinggi dan berat molekul rendah [15].
Plastik biodegradable dari pati masih memiliki kekurangan sehingga
dibutuhkan zat aditif untuk memperbaiki sifatnya, seperti plasticizer karena dapat
meningkatkan elastisitas pada suatu material [16], salah satunya adalah gliserol.
Gliserol mengandung molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah disisipkan
diantara rantai polimer bahan dasar. Kondisi tersebut menyebabkan modifikasi
struktural molekul- molekul penyusun bioplastik. Molekul gliserol akan mengganggu
kekompakan polimer-polimer bahan dasar dengan menurunkan interaksi
intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer sehingga memperbaiki
fleksibilitas dan extensibilitas bioplastik [17].
Penelitian yang dilakukan oleh Ginting et al. (2015) tentang temperatur
gelatinisasi dan penambahan kitosan terhadap karakteristik bioplastik dari pati biji
alpukat dengan rasio pati dan kitosan yaitu 7 : 3, 8 : 2, dan 9 : 1, sedangkan variasi
temperatur larutan pati yaitu 80 oC, 85 oC dan 90 oC diperoleh bioplastik dengan
karakteristik terbaik yaitu pada temperatur 90 oC dengan perbandingan pati dan
kitosan 7 : 3, dengan nilai kekuatan tarik sebesar 5.096 MPa, pemanjangan saat putus
14.016% dan Modulus Young sebesar 36.359 MPa [18]. Berdasarkan uraian di atas,
maka perlu dilakukan penelitian menggunakan pati biji alpukat dengan pengisi yang
berbeda, yaitu selulosa mikrokristal dari serat ijuk untuk mengetahui pengaruh
penambahan selulosa mikrokristal dan gliserol terhadap karakteristik bioplastik yang
dihasilkan.

1.2 Perumusan Masalah


Ada pun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik pati biji alpukat berupa kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar amilosa, kadar amilopektin, kadar pati dan
analisa sifat pasting.

3
Universitas Sumatera
2. Bagaimana karakteristik selulosa mikrokristal dari serat ijuk berupa analisa
kristalinitas, analisa morfologi dan analisa gugus fungsi.
3. Bagaimana pengaruh penambahan selulosa mikrokristal dari serat ijuk dan
gliserol terhadap karakteristik bioplastik dari pati biji alpukat meliputi sifat
kekuatan tarik, sifat pemanjangan pada saat putus, sifat gugus fungsi dan sifat
morfologi.
4. Bagaimana kemampuan biodegradasi bioplastik yang dihasilkan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui karakteristik pati biji alpukat berupa kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar amilosa, kadar amilopektin, kadar pati dan analisa
sifat pasting.
2. Mengetahui karakteristik selulosa mikrokristal dari serat ijuk berupa analisa
kristalinitas, analisa morfologi dan analisa gugus fungsi.
3. Mengetahui pengaruh penambahan selulosa mikrokristal dari serat ijuk dan
gliserol terhadap karakteristik bioplatik dari pati biji alpukat meliputi sifat
kekuatan tarik, sifat pemanjangan pada saat putus, sifat gugus fungsi dan sifat
morfologi.
4. Mengetahui kemampuan biodegradasi bioplastik yang dihasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dengan pemanfaatan biji
alpukat dan serat ijuk sebagai bahan baku pembuatan bioplastik.
2. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang bioplastik dari pati biji
alpukat-selulosa mikrokristal dari serat ijuk dengan plasticizer gliserol dan
memberikan informasi pengaruh penambahan selulosa mikrokristal dari serat
ijuk dan plasticizer gliserol terhadap kualitas bioplastik yang dihasilkan.

4
Universitas Sumatera
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika dan Laboratorium
Penelitian Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara. Variabel yang
digunakan adalah:
Variabel Tetap
Kondisi Operasi:
1. Massa pati biji alpukat dan selulosa mikrokristal
selulosa mikrokristal : 10 gram [18]
2. Larutan pati : 1:10 (w/v)
3. Suhu pemanasan larutan pati : 90˚C [18]
4. Ukuran pati : 100 mesh
5. Larutan NaOH (w/v) : 5%
Variabel Penelitian
1. Perbandingan pati :
selulosa mikrokristal : 6 : 4; 7 : 3; 8 : 2; 9 : 1 [18]
2. Rasio Penambahan gliserol (v/w) : 0 ml/gr; 0,1 ml/gr; 0,2 ml/gr; 0,3 ml/gr
[18]
Analisa hasil penelitian :
1. Analisa karakteristik pati, meliputi:
a. Analisa kadar air dengan standar SNI 01-2891-1992.
b. Analisa kadar abu dengan standar SNI 01-2891-1992.
c. Analisa kadar protein dan kadar lemak dengan standar SNI-01-2891-1992
dan temperatur gelatinisasi.
d. Kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin.
e. Analisa Sifat Pasting (Rapid Visco Analyzer).
2. Analisa karakteristik selulosa mikrokristal, meliputi:
a. Analisa Gugus Fungsi (FTIR).
b. Analisa Morfologi (SEM).
c. Analisa X-Ray Diffraction. (XRD)
3. Analisa karakteristik bioplastik, meliputi:
a. Kekuatan tarik (Tensile Strength) berdasarkan ASTM D882.
b. Perpanjangan saat putus (Elongation Break) berdasarkan ASTM D882.

5
Universitas Sumatera
c. Analisa Gugus Fungsi (FTIR).
d. Analisa Morfologi (SEM).
e. Uji Kemampuan Biodegradasi.

6
Universitas Sumatera
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioplastik

Menurut Šprajcar, et al (2013) komponen utama dari plastik adalah polimer


dengan aditif sebagai pengisi (organik atau anorganik), pigmen, pelumas, inhibitor
oksidasi dan lain-lain. Bahan plastik yang mengandung polimer sintetis sebagai
kunci komponennya ditandai dengan massa molekul yang tinggi [19].
Secara umum film biodegradable diartikan sebagai film yang dapat didaur ulang
dan dapat dihancurkan secara alami. Plastik biodegradable adalah salah satu bahan
dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur
kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh
mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan film plastik biodegradable
adalah suatu material polimer yang berubah ke dalam senyawa berat molekul rendah,
dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme
organisme secara alami [20].
Bioplastik tidak hanya satu substansi tunggal, tetapi terdiri dari beberapa
material dengan sifat dan aplikasi yang berbeda. Menurut European Bioplastic
(2015) bahan plastik didefinisikan sebagai bioplastik jika memiliki sifat biobased,
biodegradable, atau keduanya [21].
a. Biobased: Istilah "biobased" berarti bahwa materi atau produk (sebagian)
berasal dari biomassa (tanaman). Biomassa yang digunakan untuk bioplastik
misalnya berasal dari jagung, tebu, atau selulosa
b. Biodegradable: Biodegradasi adalah suatu proses kimia yang dilakukan oleh
mikroorganisme yang tersedia di lingkungan dengan mengkonversi bahan
menjadi zat alami seperti air, karbon dioksida, dan kompos. Proses
biodegradasi tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya (misalnya lokasi
atau suhu), pada bahan dan aplikasinya.
Agustin et al. (2014) dalam penelitiannya tentang pembuatan bioplastik dengan
selulosa mikrokristal dari batang bawang putih dan jerami sebagai penguat dan
gliserol sebagai plastisizer dengan variasi pati dengan CNCs adalah 100:0, 100:2.5,
100:5, 100:10 dan 100:15 diperoleh bahwa film pati-CNCs (jerami) memiliki sifat
mekanik yang lebih tinggi daripada film pati-CNCs (batang bawang putih) [22].
Bioplastik ini

7
Universitas Sumatera
memiliki sifat biobased dan biodegradable karena berasal dari biomassa (tanaman)
dan memiliki kemampuan biodegradasi yang tinggi.
Berdasarkan sumber atau cara memperolehnya, biopolimer sebagai bahan baku
bio-kemasan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berikut [23]:
1. Biopolimer yang berasal dari sumber hewan yaitu; collagen gelatin.
2. Biopolimer yang berasal dari limbah industri pengolahan ikan yaitu
chitin/chitosan.
3. Biopolimer yang berasal dari pertanian yaitu diklasifikasikan menjadi dua
bagian yaitu lemak dan hydrocelloid. Yang berasal dari lemak terdiri dari:
bees wax, camauba wax, asam lemak; sedangkan dari hydrocolloid dibagi
menjadi dua bagian yaitu: protein dan polysacharida. hydrocolloid yang
berasal dari protein adalah: zein (protein jagung), kedelai, whey susu, glutera
gandum sedangkan hydrocolloid yang berasal dari polysacharida adalah:
cellulosa, serat, pati, pektin, garns. Selain dari polimer alami, ada beberapa
zat sintetis yang merupakan campuran antara zat petrokimia dengan
biopolimer dan atau biopolimer yang telah mengalami perlakuan yang
kompleks tetap tetap memiliki sifat biodegradable, contohnya adalah poly
alkilene esters, poly lactic acid, poly amid esters, poly vinil esters, poly vinil
alcohol, dan poly anhidrides. Kelompok terakhir didapatkan dari produk
petrokimia yang disintesis secara konvensional dari monomer sintetis [24].
Skema pengelompokan biopolimer sebagai biokemasan dapat dilihat pada
Gambar 2.1 berikut ini [23]:

8
Universitas Sumatera
Gambar 2.1 Polimer Biodegradable sebagai Bahan Biokemasan
Ginting et al. (2015) dalam penelitiannya menggunakan kitosan sebagai filler
dan pati biji alpukat sebagai matriks pada pembuatan bioplastik [18]. Berdasarkan
sumber dan cara memperolehnya, kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari
limbah industri pengolahan ikan sedangkan pati merupakan biopolimer yang berasal
dari pertanian yang termasuk dalam kelompok polysacharida.

2.2 Pati
Upaya pengembangan bioplastik telah difokuskan terutama pada pati, yang
merupakan bahan baku terbarukan dan tersedia berlimpah di alam. Pati adalah bahan
ekonomi yang kompetitif dengan minyak bumi dan telah digunakan dalam beberapa
metode untuk mengembangkan plastik kompos [25].
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa,
amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak [26]. Umumnya pati
mengandung 15- 30% amilosa, 70 – 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara.
Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat
botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian
mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi
[27].
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1−>4) unit glukosa. Derajat
polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa, bergantung pada

9
Universitas Sumatera
sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1−>4) unit glukosa dengan rantai
samping α-(1−>6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-(1−>6) unit
glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4−5%. Namun, jumlah molekul
dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan derajat
polimerisasi 105 −3x106 unit glukosa [28].
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan oleh air panas [29], yaitu:
a. Molekul dengan rantai linear yang dikenal sebagai amilosa
Amilosa merupakan fraksi pati yang larut air, tidak larut dalam n-butanol atau
pelarut organik polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang
berikatan α-1,4 dengan derajat polimerisasi antara 100-400, memiliki BM
4000-150.000. Amilosa akan memberikan warna biru tua bila bereaksi
dengan iodin.
b. Polimer glukosa rantai bercabang yang dikenal sebagai amilopektin
Amilopektin adalah fraksi pati yang tidak larut dalam air, yang selain
tersusun dari rantai lurus D-glukosa juga berikatan dengan α-1,4, serta
memiliki rantai cabang α-1,6. Amilopektin memiliki BM ± 500.000, dan
apabila ditambahan iodin maka akan memberika warna cokelat violet.
Amilosa memberikan sifat keras sedangkan amilopektin menyebabkan sifat
lengket. Konsentrasi kedua komponen ini nantinya akan mempengaruhi sifat
mekanik dari polimer alami yang terbentuk. Untuk struktur amilosa dan amilopektin
dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2 berikut [30]:

Gambar 2.2 Struktur Amilosa

1
Universitas Sumatera
Gambar 2.3 Struktur Amilopektin

Granula pati dibedakan dalam dua polimer. Amilosa, yang pada dasarnya linier,
dan amilopektin, bercabang. Amilosa terutama ditemukan sebagai rantai linear dari
sekitar 840 sampai 22.000 unit residu -D-glucopyranosyl dihubungkan oleh obligasi
α- (1-> 4) (berat molekul sekitar 136.000 sampai 3,5 106). Bagaimanapun,
kandungan dari unit anhidroglukosa, bervariasi cukup luas untuk setiap spesies
tanaman dan tahap pembangunan. Beberapa molekul amilosa sebagian kecil adalah
bercabang (α- 1-> 6- D glukopiranosa; Satu per 170-500 unit glucosyl). Sebaliknya,
amilopektin yang biasanya terdiri dari sekitar 70% dari granul pati, lebih bercabang
dengan sekitar 4 sampai 5% dari ikatan glukosidik menjadi α-1-> 6. Molekul
amilopektin adalah berupa disk datar besar yang terdiri dari α-(1,4) – rantai glukan
sering bergabung dengan α- (1,6) cabang [31]. Karakteristik komponen amilosa dan
amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut [32]:
Tabel 2.1 Karakteristik Komponen Amilosa dan Amilopektin
Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur Pada dasarnya linear Bercabang
Warna dengan iodin Biru gelap Ungu
Λmaks of iodine complex -650 nm -540 nm
Affinitas iodin 19-20% <1%
Panjang rantai (unit 100-10000 20-30
glukosil)
Derajat polimerisasi 100-10000 10000-100000
(unit glukosil)
Kelarutan dalam air Tidak tetap Terlarut
Stabilitas dalam larutan Retrogradasi Stabil
Konversi ke maltosa -70% -55%
(kristalisasi β-amilase)

Selain penggunaan umum pati dalam industri pengolahan makanan, permintaan


pati sebagai pati yang digunakan secara luas dalam produksi bioetanol dan plastik

1
Universitas Sumatera
biodegradable sangat meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat ini, aplikasi
pati dalam industri kemasan dalam bentuk bioplastik (edible film) sedang dalam tahap
pengembangan sehingga permintaan terhadap pati untuk industri terus meningkat [33].
Menurut Erfan (2012), pengkajian pemanfaatan sumber daya pati di Indonesia
untuk produk plastik biodegradabel dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu [34]:
1. Pencampuran (blending) antara polimer plastik dengan pati
Pencampuran dilakukan dengan menggunakan extruder atau dalam mixer
berkecepatan tinggi (high speed mixer) yang dilengkapi pemanas untuk
melelehkan polimer plastik. Plastik yang digunakan dapat berupa plastik
biodegradabel (PCL, PBS atau PLA) maupun plastik konvensional
(polietilen). Sedangkan pati yang digunakan dapat berupa pati mentah
berbentuk granular maupun pati yang sudah tergelatinisasi. Sifat mekanik
dari plastik biodegradabel yang dihasilkan tergantung dari keadaan
penyebaran pati dalam fase plastik, dimana bila pati tersebar merata dalam
ukuran mikron dalam fase plastik, maka produk plastik biodegradabel yang
didapat akan mempunyai sifat mekanik yang baik.
2. Modifikasi kimiawi pati
Untuk menambahkan sifat pastisitas pada pati, metode grafting sering
digunakan. Sifat biodegradasi dari produk plastik yang dihasilkan tergantung
pada jenis polimer yang dicangkokkan pada pati. Jika polimer yang
dicangkokkan adalah polimer yang bersifat biodegradabel, maka produk yang
dihasilkan juga akan bersifat biodegradabel. Namun demikian, biasanya sifat
biodegradasi pati akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali dengan
proses modifikasi kimiawi.
3. Penggunaan pati sebagai bahan baku fermentasi menghasilkan
monomer/polimer plastik biodegradabel. Pati dapat dipakai sebagai bahan
baku fermentasi untuk menghasilkan asam laktat (monomer dari PLA), 1,4-
butanediol (monomer dari PBS) atau poliester mikroba (PHB) atau
biopolimer lainnya seperti pullulan.
Pada saat ini banyak penelitian tentang bioplastik yang menggunakan pati
sebagai matriksnya. Diantaranya, Widyaningsih, dkk. (2012) menggunakan pati kulit
pisang [35], Setiani, dkk. (2013) menggunakan pati sukun [1], Sinaga, dkk.
(2014)

1
Universitas Sumatera
menggunakan pati ubi talas [36], Muhammed et al. (2015) menggunakan pati buah
aren [37] dan Ulloa et al. (2012) menggunakan pati dari kulit singkong [3].

2.3 Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati


Gelatinisasi pati adalah sebuah proses pemutusan ikatan antarmolekul antara
molekul amilosa dan amilopektin pada solid state (butiran) ketika dipanaskan [38].
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam
media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat
mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan
pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya
penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula
pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu
sudah terlewati, pembengkakan granula pati menjadi irreversible (tidak dapat
kembali). Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut
dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu
gelatinisasi [39]. Suhu gelatinisasi ini berlainan tergantung jenis patinya. Suhu
gelatinisasi merupakan kisaran suhu, misalnya pati jagung mempunyai suhu
gelatinisasi antara 61- 72˚C, pati kentang 62-68˚C, tapioka 59-70˚C, gandum 53-
64˚C, dan beras 65-73˚C [39]. Ginting et al. (2015) dalam penelitiannya tentang
pengaruh suhu gelatinisasi dan Kitosan terhadap sifat mekanik bioplastik dari pati
biji alpukat memperoleh nilai temperatur gelatinisasi untuk pati biji alpukat adalah
85,17 °C [18].
Menurut Winarno (2002) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suhu
gelatinisasi, yaitu [40] :
1. Ukuran Granula Pati
Semakin besar ukuran granula memungkinkan pati lebih mudah dan lebih
banyak menyerap air sehingga mudah membengkak menyebabkan pati lebih
mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif rendah).
2. Konsentrasi Pati
Semakin kental larutan, suhu tersebut akan semakin lambat tercapai, hingga
mencapai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang
turun. Makin tinggi konsentrasi, gel yang terbentuk makin kurang kental dan
setelah beberapa waktu viskositas akan turun.

1
Universitas Sumatera
3. pH Larutan
Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan
gel semakin cepat tercapai namun semakin cepat turun pula. Sedangkan bila
pH terlalu rendah terbentuknya gel lambat dan bila pemanasan diteruskan,
viskositas akan turun kembali. Pada pH 4-7 kecepatan pembentukan gel lebih
lambat dari pada pH 10, tapi bila pemanasan diteruskan, viskositas tidak
berubah.
Setelah melarutkan pati dengan pemanasan, akan terbentuk larutan dengan
kekentalan tinggi dan lama kelamaan berubah menjadi gel (retrogradasi) pada
penyimpanan untuk waktu yang lama [38]. Retrogradasi adalah proses kristalisasi
kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya
amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang
membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu,
pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang
membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa
yang terdispersi ke dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus
terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta
masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati
tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan
kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul
amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin
pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggambungkan butir-
butir pati yang bengkak tersebut menjadi semacam jaring-jaring membentuk
mikrokristal dan mengendap [39].
Berikut ini merupakan proses perubahan granula pati selama pemanasan dan
pendinginan [41]:

Gambar 2.4 Perubahan Granula Pati selama Pemanasan dan Pendinginan

1
Universitas Sumatera
Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati memiliki
beberapa efek sebagai berikut [42]:
1. Peningkatan viskositas;
2. Terbentuknya kekeruhan;
3. Terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas;
4. Terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut;
5. Terbentuknya gel;
6. Terjadinya sineresis pada pasta pati.
Retrogradasi adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu
peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan komponen lain [39].
Hasil penelitian Zielinska dan Teresa (2010) tentang retrogradasi dan
maltodekstrin dari beberapa sumber pati menunjukkan bahwa pati sereal memiliki
tingkat retrodragasi lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang berasal dari umbi
atau akar. Selain itu, pati jagung merupakan pati yang paling rentan terhadap
retrogradasi [43].

2.4 Biji Alpukat


Tanaman alpukat (Persea americana, Mill) merupakan tanaman yang berasal
dari daratan tinggi Amerika Tengah dan memiliki banyak varietas yang tersebar di
seluruh dunia. Alpukat secara umum terbagi atas tiga tipe: tipe West Indian, tipe
Guatemalan, dan tipe Mexican. Daging buah berwarna hijau di bagian bawah kulit
dan menguning kearah biji. Warna kulit buah bervariasi, warna hijau karena
kandungan klorofil atau hitam karena pigmen antosiasin [10].
Alpukat adalah salah satu jenis buah yang berpotensi di Indonesia. Biji alpukat
sampai sekarang hanya dibuang sebagai limbah yang dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan. Biji alpukat memiliki kadar air 12,67%, kadar abu 2,78%,
kandungan mineral 0,54% lebih tinggi dari biji buah lainnya. Biji alpukat merupakan
sumber yang kaya senyawa polifenol mencakup campuran kompleks catechin
sederhana dan epicatechin dengan zat polimer terbesar. Biji alpukat mengandung pati
yang cukup tinggi, sekitar 23%. Pati dalam biji alpukat sekitar 80,1%. Hal ini
menunjukkan bahwa

1
Universitas Sumatera
biji alpukat dapat dijadikan sebagai alternatif sumber pati [44]. Berikut pada Tabel 2.2
akan disajikan komposisi kimia dari pati biji alpukat.
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Biji Alpukat [45]
Komponen Wet Basis Dry Basis
Abu 1,3% 2,7%
Protein 2,5% 5,0%
Pati 29,6% 60,0%
Serat 3,7% 7,2%
Pentosan 1,6% 3,3%
Arabinosa 2,0% 4,1%
Gula pereduksi 1,6% 3,2%
Gula 0,6% 1,2%
Ekstrak ether 1,0% 2,0%
Lain-lain 5,6% 11,3%

Biji alpukat yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pedagang
alpukat kocok di jalan H.M Joni, Medan. Gambar tanaman dan buah alpukat
disajikan pada Gambar 2.5 berikut [10]:

(a) (b)
Gambar 2.5 (a) tanaman alpukat (b) buah alpukat
Biji alpukat mengandung senyawa utama yaitu amilosa dan amilopektin.
Kandungan amilum pada biji alpukat cukup tinggi, yakni sekitar 23% [46]. Maryam,
et al. (2016) menlakukan analisa pati biji alpukat dengan parameter kualitas seperti
yang disajikan pada Tabel 2.3 berikut ini [9]:
Tabel 2.3 Analisa Kualitas Pati Biji Alpukat
Parameter Kualitas Value
Kadar pati 85,3%
Warna Brownish white
Kadar abu 1,64%
Kandungan air 9,20%
Kadar serat 1,86%
Kelolosan dalam ayakan 80 80,91%
mesh

1
Universitas Sumatera
Kelarutan dalam air dingin 40,29%
Viskositas 70,19 cSt
Reaksi dengan larutan lugol Blue
Derajat asam 5,6%

Penelitian lain oleh Andy dkk. (2013) yang berjudul pengaruh pH dan jenis
pelarut pada perolehan dan karakterisasi pati dari pati biji alpukat memperoleh kadar
pati terbaik yakni sebesar 74,68 % [10]. Selain pemanfaatannya yang masih terbatas,
kandungan pati yang cukup tinggi inilah yang menjadikan biji alpukat sebagai salah
satu sumber pati potensial di Indonesia.
Ginting et al. (2015) dalam penelitiannya mengenai sintesis bioplastik berpengisi
kitosan sebagai filler, memanfaatkan pati biji alpukat sebagai matriks dalam
pembuatan bioplastik. Dalam hasil analisa karakteristik pati biji alpukat yang
dilakukan, diperoleh kadar pati sebesar 67,69%, kadar abu 1,013%, kadar air 1,087%
kadar lemak 1,860% dan kadar protein sebesar 10,44% [18].

2.5 Selulosa
Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida yang merupakan pembentuk sel-sel
kayu hampir 50%. Kertas saring dan kapas hampir merupakan selulosa yang murni.
Berat molekul selulosa kira-kira 300.000. Polisakarida ini adalah polimer alam yang
paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Jutaan ton selulosa digunakan
setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan kertas [47].
Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya
berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin dan substansi-
substansi mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000,
dibandingkan dengan sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu
dari lignin menyebabkan penurunan DP ke sekitar 2600 [48]. Struktur kimia selulosa
dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut [49]:

1
Universitas Sumatera
Gambar 2.6 Struktur Kimia Selulosa
Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit – unit β-D-
glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan – ikatan glikosida (1→4).
Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium
hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu [50] :
a. α - Selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) 600
– 15000. α - selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian
selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92 % memenuhi syarat untuk
bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa
kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan
industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin
baik mutu bahannya. Rumus struktur alfa selulosa sebagai berikut:

Gambar 2.7 Struktur Kimia α-seluloa

b. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 15 – 90, dapat
mengendap bila dinetralkan. Rumus struktur beta selulosa sebagai berikut:

1
Universitas Sumatera
Gambar 2.8 Struktur Kimia β-selulosa
c. Selulosa γ (Gamma Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) kurang dari
15, kandungan utamanya adalah hemiselulosa.
Sifat – sifat selulosa menurut Puji (2013) adalah [49] :
• Tidak berwarna
• Tidak larut dalam air dan alkali
• Dapat dihidrolisis sempurna dalam suasana asam menghasilkan glukosa
• Hidrolisis tak sempurna menghasilkan maltosa
Morfologi selulosa mempunyai pengaruh besar pada reaktivitasnya. Gugus –
gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah – daerah amorf sangat mudah dicapai
danmudah bereaksi, sedangkan gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah
kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak
dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam
eterifikasi (alkali) maupun dalam esterifikasi (asam) [51].
Ditinjau dari strukturnya, diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar
dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk
ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Akan tetapi
kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga
dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-
rantai akibat ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan.
Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa
[49].

1
Universitas Sumatera
2.6 Selulosa Mikrokristal
Selulosa mikrokristal dapat diperoleh dengan penguraian unit glukosa
penyusunnya melalui hidrolisis asam pada suhu tinggi dan melalui proses enzimatik.
Saat ini, selulosa mikrokristalin menjadi revolusioner teknologi tablet karena sifat
kompresibilitas yang unik dan kapasitasnya [52].
Selulosa mikrokristal dimurnikan dengan mereaksikan Alpha selulosa dengan
asam mineral sehingga diperoleh pulp dari bahan tanaman berserat. Selulosa
mikrokristal pada dasarnya adalah selulosa dan hanya dapat diturunkan dari kelas
khusus Alpha selulosa dari tanaman berserat, direaksikan dengan asam mineral.
Selulosa mikrokristal memiliki banyak kegunaan dalam makanan, kosmetik dan
industri farmasi sebagai agen anticaking, emulsifier, stabilizer, pendispersi,
pengental dan pembentuk gel dan yang paling sering digunakan yaitu ssebaga filler-
binder dalam kompresi tablet langsung karena sifat mengikatnya yang sangat baik
[53]. Selulosa mikrokristal komersial didapat dari berbagai tanaman gymnospermae
(umumnya tanaman conifer) dan berbagai softwood dan tanaman hardwood
dicotyledons. Kayu – kayu ini berbeda dari segi komposisi kimianya (proporsi
kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan struktur organisasi yang
memberikan pengaruh terhadap komposisi α-selulosa yang terekstrak serta komposisi
dan kristalinitas selulosa mikrokristal yang dihasilkan [54].
Selulosa dapat dibuat menjadi mikrokristalin selulosa, yaitu dengan melarutkan
selulosa dalam larutan alkali kuat maka akan diperoleh selulosa yang hampir murni
yang dikenal dengan α-selulosa dan dengan merendam α-selulosa dengan asam,
kemudian dihaluskan secara mekanik akan didapat mikrokristalin selulosa [14].
Terdapat beberapa jenis proses hidrolisis yang digunakan dalam sintesis selulosa
mikrokristal dari α-selulosa, diantaranya [55]:
1. Hidrolisis murni (sebagai reaktan hanya air)
Pada reaksi hidrolisis polisakarida dengan air, air akan menyerang selulosa pada
ikatan 1- 4 α glukosida menghasilkan dextrin, sirup atau glukosa tergantung
pada derajat pemecahan rantai polisakarida dalam selulosa. Tetapi reaksi antara
air dan selulosa ini berlangsung sangat lambat sehingga diperlukan bantuan
katalisator untuk memperbesar kereaktifan air [55].
2. Hidrolisis dengan larutan asam (asam encer atau pekat)

2
Universitas Sumatera
Hidrolisis selulosa yang umum digunakan adalah dengan menggunakan asam
kuat. Asam kuat dapat menghilangkan bagian amorf dari suatu rantai selulosa
sehingga isolasi pada bagian kristalin selulosa dapat dilakukan [56]. Proses
hidrolisis dengan menggunakan asam dipengaruhi oleh ukuran bahan, kecepatan
pengadukan, konsentrasi asam, rasio bahan, suhu, dan waktu. Semakin halus
ukuran bahan permukaan bidang kontak akan semakin luas sehingga kecepatan
reksi akan bertambah cepat dan akan memperbesar konversi reaksi [57]. Asam
yang sering digunakan dalam hidrolisis adalah asam klorida, asam nitrat dan
asam sulfat [55].
3. Hidrolisis dengan enzim
Melalui metode enzimatis, selulosa mikrokristal dapat diperoleh melalui
pemotongan yang spesifik pada bagian amorf suatu rantai selulosa. Melalui
proses top-down, metode enzimatis dapat menghasilkan selulosa mikrokristal
yang berguna sebagai komponen penguat dalam preparasi dari polimer untuk
aplikasi performa tinggi [56].
Dari ketiga jenis proses hidrolisis di atas, dipilihlah proses hidrolisis dengan
menggunakan larutan asam, yaitu asam klorida. Jahan, et al (2010) melalui
penelitiannya tentang preparasi selulosa mikrokristal dari serat rami. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode pembuatan selulosa mikrokristal dengan konsentrasi
asam yang tinggi memberikan sifat yang lebih baik daripada asam dengan
konsentrasi rendah [58].

2.7 Ijuk
Serat alami sekarang menjadi bahan alternatif baru yang dapat menggantikan
sumber daya minyak bumi baik alami atau dikombinasikan dengan bahan lain untuk
menghasilkan komposit ramah lingkungan. Keuntungan dari serat alami, seperti
biaya rendah, kepadatan rendah, ketersediaan berlimpah, dapat didaur ulang dan
biodegradasi membuat serat alami lebih menarik untuk diterapkan dalam penelitian
untuk memanfaatkan potensi penuh serat alami itu sendiri.
Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman asli kepulauan Indo-Malaya, dapat
ditemukan di daerah tropis Tenggara dan Asia Selatan, Guam, Papua Nugini. Aren
(Arenga pinnata) disebut dengan nama yang berbeda seperti Kabung atau enau di

2
Universitas Sumatera
Malaysia, aren di Indonesia dan gumoti di India. Ijuk adalah sejenis serat alami
(dalam bentuk tekstil) yang berasal dari tanaman Arenga pinnata; tanaman hutan
yang dapat ditemukan sangat besar di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia.
Serat ini tampaknya memiliki sifat seperti serat alam lainnya. Bagian-bagian dari
tumbuhan aren dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut ini [59]:

Gambar 2.9 Pohon Aren


Pada Gambar 2.9 diatas terlihat bahwa pohon aren terdiri dari beberapa bagian
yaitu aren (Sugar Palm Bunch), Pelepah (Sugar Palm Frond), batang (Sugar Palm
Trunk), dan ijuk (Sugar Palm Fiber). Pohon aren dianggap sebagai salah satu pohon
multi-fungsi. Hampir semua bagian dari pohon tersebut dapat dimanfaatkan, seperti
sagu yang diperoleh dari batang pohon aren, cuka dan gula aren yang diperoleh dari
buah [13].
Menurut Sahari et al. (2012), ijuk mengandung komponen-komponen kimia
yang mendukung fungsinya sebagai serat. Komponen kimia tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.4 berikut [13]:
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Serat Ijuk
Komponen Komposisi
Kandungan Air, % 7,4
Zat ekstraktif, % 4,4
Holoselulosa, % 65,6
Selulosa, % 52,3
Lignin, % 31,5
Abu, % 4,0

2
Universitas Sumatera
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa ijuk memiliki kandungan selulosa yang
cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ijuk merupakan jenis serat yang baik.
Kandungan selulosa menunjukkan tingkat kekuatan tarik suatu serat. Semakin tinggi
kadar selulosa, maka kekuatan tarik akan semakin besar dan perpanjangan putus
semakin kecil. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ijuk digunakan sebagai pengisi
dari bioplastik dengan pati biji alpukat.

2.8 Gliserol
Pembuatan film layak makan berbahan pati (starch) memerlukan campuran
bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu
perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses
ini dikenal sebagai plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis. Selain
dapat meningkatkan elastisitas bahan, zat pemlastis juga membuat plastik menjadi
tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang – kadang disebut
juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan
mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanis film seperti kekuatan tarik, elastisitas,
kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.
Adapun zat pemlastis atau plastisiser yang digunakan adalah gliserol, karena
gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat
diperbaharui dan juga ramah lingkungan karena mudah terdegradasi di alam.
Penggabungan antara polimer dengan polimer lainnya dapat dicapai melalui proses
blending (pencampuran), laminating, atau coating (pelapisan) dengan sifat – sifat
yang diinginkan. Blending adalah prosedur yang lebih mudah dan cara yang lebih
efektif untuk membuat bahan polimer multifase [60]. Struktur kimia dari gliserol
dapat dilihat pada Gambar 2.10 [60] berikut ini:

Gambar 2.10 Struktur Kimia Gliserol


Hasil penelitian Zhong dan Xia (2007) membuktikan bahwa film kitosan yang
dicampur (blending) dengan pati ubi kayu, gelatin dan gliserol menghasilkan film
yang

2
Universitas Sumatera
transparan, homogen, tipis dan fleksibel. Secara visual, film yang dicampur
memberikan penampilan warna kuning yang tipis. Karena konsentrasi kitosan dan
gelatin bertambah pada larutan pembentuk film, warna dari film menjadi lebih
kuning. Ketebalan dari film kitosan tersebut berkisar 0,100 ± 0,017 mm [61].
Telah banyak penelitian mengenai pengaruh penambahan gliserol sebagai
plastisiser diantaranya, Muhammed et al. (2015) dalam penelitiannya mengenai
pengaruh tipe dan konsentrasi plasticizer terhadap kekuatan tarik dari film
biodegradable pati aren. Hasil yang diperoleh adalah suhu transisi kaca dari film
sedikit menurun dengan meningkatnya konsentrasi plasticizer dari 15% menjadi 45%
[37].
Penelitian lain oleh Juliyarsi et al. (2011) tentang pengaruh penambahan gliserol
sebagai plastisiser terhadap kualitas edible film berbahan whey milk. Hasilnya ada
kecenderungan penurunan aktivitas air dari edible film whey milk yang sebanding
dengan penambahan gliserol sebagai pemlastis.yang diakibatkan oleh karakteristik
hidrofilik dari gliserol sehingga gliserol mampu terikat dengan air. Penambahan
gliserol yang berlebihan akan menurunkan aktivitas air dari edible film yang
diperoleh [62].

2.9 Metode Pembuatan Bioplastik Yang Digunakan (Metode Casting)


Bioplastik dapat dibuat dengan berbagai metode. Beberapa metode yang
diterapkan dan dikembangkan oleh yamada et al (1995), Frinault et al. (1997) dan
Isobe (1999) yang didasarkan pada nilai kemampuan biodegradasi [63].
a. Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan
dasar (zein) dilarutkan dalam aseton dengan air 30% (v/v) atau etanol dengan
air 20% (v/v). Kemudian ditambahkan bahan pemlastis (lipida atau gliserin),
dipanaskan pada 50oC selama 10 menit. Selanjutnya, dilakukan pencetakan
pada casting dengan menungkan 10 ml campuran ke permukaan plat polietilen
yang licin. Bahan dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45 oC dengan
RH ruangan terkendali. Film yang terbentuk dilepaskan dari permukaan
cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu selama 24 jam.
b. Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault et al. (1997) dengan bahan dasar
(kasein) menggunakan pencetak ekstruder dengan beberapa tahap proses yang

2
Universitas Sumatera
terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan aseton/etanol-air, penambahan
pemlastik, pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film [64].
c. Metode yang dikembangkan oleh Yamada et al. (1995), bahan dasar (zein)
dilarutkan dalam etanol 80% ditambahkan pemlastik, dipanaskan pada suhu 60
sampai 70oC selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting
machine. Selanjutnya, dibiarkan selama 3-6 jam pada suhu 35 oC dengan RH
ruangan 50%. Film kemudian dikeringkan selama 12-18 jam pada suhu 30 oC
pada RH 50%, dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam
pada suhu dan RH ambien [65].
Dalam penelitian ini menggunakan metode casting. Selama prosedur casting
berlangsung, suhu pemanasan dan waktu secara signifikan dapat mempengaruhi TPS
(thermoplastic starch). Ilustrasi pembuatan bioplastik dengan metode casting dapat
dilihat pada Gambar 2.11 berikut [7]:

Gambar 2.11 Prosedur Pembuatan Bioplastik dengan Metode Casting pada film
TPS: (1) formulasi suspensi pati dan pemanasan. (2) Penuangan suspensi ke
platform. (3) Pendinginan dan pengeringan. (4) Pengelupasan film yang telah kering
dari platform.
Dalam metode casting, pati, plasticizer, dan aditif lainnya terlebih dahulu di
formulasikan kedalam bentuk suspensi yang sangat bergantung pada panas selama
proses pemanasan berlangsung. Suspensi yang telah dipanaskan dicetak dalam
sebuah platform yang telah diratakan, didinginkan dan dikeringkan sampai film pati
dapat dikelupas dari platform.
Metode casting umumnya digunakan di laboratorium untuk mempelajari
gelatinisasi pati, plasticization, dan sifat termomekanis film TPS, tetapi tidak praktis
untuk produksi skala industri. Melo dkk. (2011) menyimpulkan bahwa pemrosesan

2
Universitas Sumatera
dengan metode casting menghasilkan film pati yang transparan, homogen, dan halus
serta permeabilitas uap air yang lebih rendah (WVP) [66].
2.10 Analisa Karakteristik Hasil Penelitian
2.10.1 Analisa Karakteristik Pati
a. Analisa Kadar Air
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah atau berdasarkan berat kering. Kadar air
merupakan pemegang peranan penting, dimana aktivitas air mempunyai tempat
tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kandungan air dalam
bahan ikut menentukan daya tahan bahan itu sendiri [67]. Standar Industri
Indonesia untuk nilai kadar air maksimum 14% [10]. Uji kadar air dilakukan
berdasarkan standar SNI 01-2891-1992. Kadar air yang tinggi pada tepung atau
pati dapat menimbulkan gumpalan, perubahan warna dan bau akibat timbulnya
jamur [68]. Semakin sedikit kadar air yang dikandung oleh bahan maka
ketahanan terhadap mikroba maupun serangga akan semakin tinggi.

b. Analisa Kadar Abu


Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan, dan mineral yang
terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam
organik dan garam anorganik. Kadar abu merupakan ukuran umum kualitas.
Bila diperoleh nilai abu yang lebih besar dari nilai standar, maka di dalam
bahan tersebut terkandung zat pengotor asing [69]. Berdasarkan standar mutu
pati menurut Standar Industri Indonesia, kadar abu yang diizinkan adalah
maksimal 15% [10]. Uji kadar abu dilakukan berdasarkan standar SNI 01-
2891-1992. Kadar abu akan mempengaruhi mutu pati yang dihasilkan terutama
warna dan kandungan mineral. Kandungan abu yang terlalu tinggi dapat
menghasilkan warna yang kurang baik pada pati. Selain itu, proporsi kadar abu
dalam suatu bahan dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti spesies,
keadaan unsur hara tanah, keadaan kematangan tanaman, iklim, daerah tempat
tumbuh, dan perlakuan penanaman [70].

2
Universitas Sumatera
c. Analisa Kadar Amilosa dan Amilopektin
Kandungan amilosa dan amilopektin pada pati mempengaruhi sifat mekanik
film yang dihasilkan. Pati dengan kadar amilosa tinggi, akan menghasilkan
film yang kuat dan fleksibel. Hal ini disebabkan karena struktur kristal dari
amilosa itu sendiri [71]. Amilosa sangat berperan pada saat proses gelatinisasi
dan lebih menentukan karakteristik pasta pati. Pati yang memiliki amilosa yang
tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar. Sedangkan
amilopektin memiliki rantai cabang yang panjang memiliki kecenderungan
yang kuat untuk membentuk gel. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada
tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi [39].

d. Analisa Kadar Lemak


Lemak adalah senyawa ester dari gliserol dan asam lemak. Lemak yang
terdapat pada jaringan baik hewan maupun tumbuhan juga disertai dengan
senyawa lain seperti fosfolipida, sterol, dan beberapa pigmen [72]. Kadar
lemak di dalam pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak dapat
membentuk kompleks dengan amilosa sehingga dapat menghambat keluarnya
amilosa dari granula pati. Lemak juga akan diabsorbsi oleh permukaan granula
hingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik disekitar granula.
Lapisan tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati, sehingga
kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air untuk terjadinya
pengembangan granula berkurang [44]. Sebaliknya kadar lemak yang tinggi
dapat menyebabkan rendahnya absorbsi air, karena komponen tersebut akan
menutupi partikel pati, sehingga penyerapan air menjadi terhambat [8]. Dalam
penelitian ini diterapkan metode soxhlet menggunakan heksana sebagai pelarut.

e. Analisa Kadar Protein


Protein merupakan makromolekul yang tersusun oleh asam-asam amino
yang mengandung unsur utama C, O, H dan N. Molekul protein juga
mengandung belerang, fosfor, besi dan tembaga [72]. Pada analisa kadar
protein pada pati dilakukan dengan menggunakan metode kjeldahl.
Pengurangan atau penghilangan protein dari larutan pati menyebabkan pati
mempunyai viskositas

2
Universitas Sumatera
lebih besar karena granula tanpa protein lebih mudah pecah dan jumlah air
yang masuk ke granula lebih banyak yang mengakibatkan peningkatan
pengembangan granula. Semakin kecil kadar protein semakin besar
pengembangan granula yang meningkatkan viskositas pada pemanasan. Selain
itu, pati yang diperoleh dengan cara ekstraksi mampu menurunkan kadar
protein dan lemak sehingga tidak berpengaruh terhadap sifat emulsi [8].

2.10.2 Karakteristik Profil Gelatinisasi


Perubahan sifat pasting pada setiap jenis pati selama penyimpanan ditentukan
untuk mengetahui perubahan kemampuan pati dalam sampel mengalami gelatinisasi,
yang dapat diketahui dengan menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA).
Rapid Visco Analyzer (RVA) memberikan hasil analisa secara sistematis
berupa sifat pati yang terkandung dalam bahan. Dalam analisa RVA penentuan sifat
viskositas yang terdapat pada bahan, dilakukan berdasarkan parameter paste peak
viscosity, trough, breakdown, final viscosity, set back dan peak time yang dibentuk
bahan selama proses analisa RVA berlangsung [73].
Paste peak viscosity dalam analisa RVA merupakan parameter untuk
mengetahui titik tertinggi atau nilai puncak viskositas yang dapat dicapai oleh
produk, yang merupakan titik keseimbangan antara swelling (daya kembang) dan
pelepasan polimer yang disebabkan karena peningkatan viskositas, peningkatan
viskositas ini menunjukkan adanya proses gelatinisasi pati, selain itu parameter paste
peak viscosity menunjukkan kapasitas atau daya ikat air yang dapat dikorelasikan
dengan kualitas akhir suatu produk. Setelah mencapai titik puncak viskositas, produk
akan mengalami tahap penurunan viskositas yang ditentukan dengan parameter
trough yang merupakan nilai viskositas terendah setelah suatu produk mengalami
peak viscosity [74].
Parameter breakdown merupakan selisih nilai yang dibentuk pada peak
viscosity dan trough yang dicapai produk. Parameter breakdown tersebut
menunjukkan nilai kekuatan viskositas suatu produk selama proses pemanasan pada
suhu maksimal (± 95oC). Kemudian parameter final viscosity yang dibentuk produk
merupakan nilai viskositas akhir suatu produk setelah mengalami penurunan suhu
(pendinginan) ± 50oC. Pada tahap ini produk mengalami retrogradasi molekul pati.
Parameter final viscosity sering digunakan sebagai parameter produk yang
ditunjukkan dengan

2
Universitas Sumatera
kemampuan produk dalam membentuk pasta atau gel setelah proses pemanasan dan
pendinginan. Parameter set back merupakan selisih nilai dari final viscosity dan paste
peak viscosity. Hasil yang diperoleh pada parameter set back tersebut dapat
dikorelasikan dengan tekstur produk. Bila nilai set back tinggi akan mengindikasikan
semakin mudahnya suatu produk mengalami syneresis (keluarnya cairan dari produk)
[74].

2.10.3 Analisa Gugus Fungsi (FTIR)


Serapan radiasi infra merah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi
vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan
listrik gelombang elektromagnetik. Ada dua jenis vibrasi ikatan kimia yang dapat
menyerap radiasi infra merah, yakni vibrasi longitudinal dan vibrasi sudut.
Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari
sejumlah satuan-ulangan (sampai 102 – 105 unit per rantai). Secara teori spektrum
inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur
kimia satuan ulangannya. Akan tetapi, berbeda dengan senyawa bobot molekul
rendah yang murni, struktur satuan-ulangan dalam rantai polimer tidak selamanya
identik. Ditambah lagi perubahan susunan geometris, perubahan orientasi ikatan dan
bentuk kristal akan mempengaruhi serapan inframerah oleh kimia satuan-ulangan.
Karena itu dapat diduga bahwa polimer dengan bobot molekul tinggi yang terdiri
dari 103 – 106 atom per molekul akan memberikan sejumlah besar pita serapan.
Pada dasarnya teknik FTIR adalah sama dengan spektroskopi inframerah
biasa, kecuali dilengkapi dengan cara penghitungan Fourier Transform dan
pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi [49].

2.10.4 Analisa Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength)


Analisa sifat kekuatan tarik dilakukan berdasarkan ASTM D882. Pengujian
tarik adalah salah satu uji stress strain mekanik yang bertujuan untuk mengetahui
kekuatan material terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya, material uji ditarik
sampai putus. Uji tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian
tarik sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi diseluruh
dunia.

2
Universitas Sumatera
Dengan menarik suatu material kita akan mengetahui bagaimana bahan tersebut
bereaksi terhadap tarikan dan sejauh mana material itu bertambah panjang [75].
Penarikan suatu bahan biasanya menyebabkan terjadi perubahan bentuk
dimana penipisan pada tebal dan pemanjangan. Kekuatan tarik (tensile strength)
suatu bahan ditetapkan dengan membagi gaya maksimum dengan luas penampang
mula- mula, dimensinya sama dengan tegangan. Pada peregangan suatu bahan
polimer, pemanjangan tidak selalu berbanding lurus dengan beban yang diberikan,
dan pada penurunan kembali beban,sebahagian regangannya hilang, karena bahan
polimer bukan merupakan bahan sepenuhnya elastis tetapi ada sifat viskositasnya
[76].

2.10.5 Analisa Sifat Pemanjangan Saat Putus (Elongation at Break)


Analisa sifat pemanjangan saat putus dilakukan berdasarkan ASTM D882.
Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban tarik,
dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau millimeter. Persen elongasi
adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari panjangnya.
Percent elongation at break adalah persen pemanjangan pada saat putusnya benda uji
Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama dengan kekuatan tarik yaitu dilakukan
berdasarkan ASTM D882 dengan ketentuan model Universal Testing Machine
(UTM) [77].

2.10.6 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM)


SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal ini
suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan
sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda.
Elektron- elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang
memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan
kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi.
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi
memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan
resolusi Universitas Sumatera Utara sekitar 100 Å. Aplikasi-aplikasi yang khas
mencakup penelitian dispersi-dispersi pigmen dalam cat, pelepuhan atau peretakan
koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-

3
Universitas Sumatera
busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam
mengevaluasi betapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan
lingkungan bagian-bagiannya [47].

2.10.7 Uji Biodegradasi


Biodegradasi adalah penurunan sifat-sifat dikarenakan oleh aksi
mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya
serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh organisme sehingga dapat
menyebabkan pemutusan rantai polimer [78]. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan biodegradasi dari bioplastik yang dihasilkan dengan
menanam sampel didalam tanah (soil burial test) dan meletakkan sampel di
atas/permukaan tanah [79].
Biodegradasi diatas permukaan tanah dilakukan dengan meletakkan sampel
diatas permukaan tanah yang tidak langsung terkena curahan air hujan ketika musim
hujan tiba. Hal ini dihindari mengingat sampel bisa saja hilang terembes oleh air atau
terbawa oleh angin. Biodegradasi dihitung berdasarkan kehilangan berat dan
perubahan penampilan fisik material untuk periode waktu tertentu.
Metode soil burial merupakan salah satu metode yang paling umum yang
digunakan untuk menentukan kemampuan biodegradasi dari plastik dan komposit.
Biodegradasi dihitung berdasarkan kehilangan berat dan perubahan penampilan fisik
material. Metode soil burial dilakukan dengan menanam sampel dengan berat
tertentu pada kedalaman tanah tertentu untuk periode waktu tertentu [80].
Biodegradasi dengan metode soil burial test dilakukan dengan menanam
sampel bioplastik di dalam tanah dengan menjaga kestabilan suhu dan kelembaban
tanah. Akan tetapi metode ini memiliki banyak kekurangan jika digunakan pada
sampel edible film. Metode ini tidak dapat membedakan dan mengontrol apakah
pengurangan berat sampel lebih disebabkan karena aktivitas mikroorganisme ataukah
oleh degradasi absorbsi air yang masuk ke dalam film. Oleh karenanya sangat
disarankan untuk mengontrol sifat fisika dan kimia dari tanah yang digunakan seperti
konsentrasi air dalam air yang tidak terlalu tinggi [79][34].
Di dalam tanah terdapat berbagai macam komponen organik maupun
komponen anorganik dan juga terdapat mikroorganisme. Mikroorganisme
mempunyai peranan penting dalam penguraian semua material organik termasuk
biopolimer.

3
Universitas Sumatera
Mikroorganisme yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan
aktinomisetes [81].
Karakterisasi kemampuan biodegradasi dilakukan dengan membandingkan
fraksi berat residual bioplastik yang ditanam didalam tanah dan diletakkan di atas
tanah.

3
Universitas Sumatera
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Farmasi, Fakultas Farmasi,
Laboratorium Kimia Fisika dan Laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan
kurang lebih selama 6 bulan.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Pada penelitian ini alat yang digunakan antara lain:
1. Blender 14. Furnace
2. Termometer 110oC 15. Tabung Reaksi
3. Beaker glass 16. Cawan Porselin
4. Oven 17. Magnetic Stirrer
5. Gelas ukur 18. Ayakan 100 mesh
6. Pipet tetes 19. Corong Gelas
7. Pisau 20. Kertas saring Whatmann No. 1
8. Saringan 21. Erlenmeyer
9. Hot plate
10. Neraca analitik
11. Desikator
12. Batang pengaduk
13. Cetakan bioplastik

3
Universitas Sumatera
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Bahan yang digunakan dalam Pembuatan Selulosa
Mikrokristal
Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan selulosa
mikrokristal antara lain:
1. Serat ijuk dari pabrik sapu di daerah Binjai, Sumatera Utara.
2. Aquadest (H2O) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
3. Asam Nitrat (HNO3) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
4. Natrium Hidroksida (NaOH) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
5. Natrium Hipoklorit (NaOCl) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
6. Hidrogen Peroksida (H2O2) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
7. Natrium Nitrit (NaNO2) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
8. Natrium Sulfit (Na2SO3) dari Toko Kimia Rudang Jaya.
9. Asam Sulfat (H2SO4) dari Toko Kimia Rudang Jaya.

3.2.2.2 Bahan yang digunakan dalam Pembuatan Bioplastik


Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan bioplastik antara
lain:
1. Biji Alpukat dari penjual alpukat kocok di jalan H.M Joni, Medan.
2. Air
3. Selulosa mikrokristal
4. Gliserol dari Toko Kimia Rudang Jaya.
5. Aquadest (H2O) dari Toko Kimia Rudang Jaya.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Prosedur Pembuatan Selulosa Mikrokristal
Adapun prosedur pembuatan selulosa mikrokristal terdiri dari [82]:
3.3.1.1 Prosedur Preparasi Serat Ijuk
Adapun prosedur preparasi ijuk adalah sebagai berikut:
1. Ijuk dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran.
2. Dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 jam.
3. Digunting hingga diperoleh ukuran ijuk yang lebih kecil.

3
Universitas Sumatera
3.3.1.2 Prosedur Ekstraksi α-Selulosa dari Ijuk
Adapun prosedur ekstraksi α-selulosa dari ijuk adalah sebagai
berikut [82]:
1. 50 gram serat dimasukkan kedalam beaker glass, kemudian
ditambah 700 ml campuran HNO3 3,5% dan 8 mg NaNO2,
dipanaskan diatas hot plate pada suhu 90 oC selama 2 jam.
2. Disaring dan serat dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
3. Didigesti dengan 500 ml larutan yang mengandung NaOH 2%
dan Na2SO3 2% pada suhu 50 oC selama 1 jam.
4. Disaring dan serat dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
5. Dilakukan pemutihan dengan 340 ml larutan NaOCl 3,5% dan
air (1:1) hingga mendidih selama 10 menit.
6. Disaring dan serat dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
7. Dilakukan pemurnian α-selulosa dari sampel dengan 340 ml
larutan NaOH 17,5% pada suhu 80 oC selama 30 menit.
8. Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral.
9. Dilakukan pemutihan dengan H2O2 10 % pada suhu 60 oC
selama 15 menit.
10.Serat disaring dan dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
11.Serat yang sudah netral dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 60 oC dalam oven selama 1 jam.

3.3.1.3 Prosedur Isolasi Selulosa Mikrokristal dari α –Selulosa


Adapun prosedur isolasi selulosa mikrokristal dari α –selulosa
adalah sebagai berikut [82]:
1. Sebanyak 5 gram α-Selulosa dilarutkan dalam 120 ml HCl 2,5
N pada suhu mendidih selama 15 menit.
2. Kemudian dituangkan pada air dingin dan diaduk kuat-kuat
menggunakan spatula.
3. Dibiarkan satu malam hingga terbentuk suspensi.
4. Suspensi dicuci dengan aquadest sampai netral.
5. Dikeringkan pada oven dengan suhu 60 oC selama 1 jam.

3
Universitas Sumatera
6. Mikrokristal yang telah kering disimpan didalam desikator.

3.3.2 Prosedur Isolasi Pati Biji Alpukat


Prosedur isolasi pati dari biji alpukat adalah sebagai berikut [18]:
1. Biji alpukat sebanyak 100 gr dicuci dengan air bersih kemudian
ditiriskan.
2. Biji alpukat dipotong dengan ukuran 2 cm2, kemudian dimasukkan
kedalam blender dan ditambahkan dengan air sebanyak 100 ml lalu
diblender hingga halus.
3. Bubur biji alpukat kemudian disaring dan filtrat yang diperoleh
didiamkan selama 1 jam hingga terbentuk endapan (pati).
4. Air dipisahkan dengan endapan untuk memperoleh endapan pati.
5. Endapan pati dicuci dengan menambahkan air pada pati tersebut,
kemudian diaduk, lalu diendapkan lagi selama 1 jam.
6. Pati yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven dengan
suhu 70 oC selama 30 menit.
7. Pati kering yang diperoleh masih berbentuk padatan dihaluskan
hingga berbentuk serbuk dan kemudian diayak dengan ayakan 100
mesh.

3.3.3 Prosedur Pembuatan Bioplastik


Adapun prosedur pembuatan bioplastik adalah sebagai berikut [18]
[83]:

1. Sejumlah massa pati dan selulosa mikrokristal yang diinginkan


ditimbang dengan variasi perbandingan 6: 4, 7: 3, 8: 2 dan 9:1
sebanyak 10 gram dari total berat kering pati- selulosa
mikrokristal.
2. Kemudian dibuat larutan pati dengan perbandingan pati : aquadest
1:10 dan larutan selulosa mikrokristal dengan larutan NaOH 5%
sebanyak 100 ml.
3. Larutan pati dipanaskan sambil dilakukan pengadukan
menggunakan stirrer selama 10 menit kemudian ditambahkan

3
Universitas Sumatera
gliserol dengan variasi volume 0,1; 0,2; 0,3 dan 0,4 ml/gr dari
berat pati.
4. Larutan selulosa mikrokristal kemudian ditambahkan kedalam
campuran setelah 20 menit. Campuran kemudian dipanaskan
sambil diaduk hingga mencapai suhu 90oC.
5. Campuran kemudian didinginkan dan dicetak pada cetakan akrilik
dengan ukuran 25 x 25 x 3 mm.
6. Plastik dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam.
7. Plastik dikeluarkan dari oven kemudian membiarkannya pada
suhu kamar hingga plastik dapat dilepaskan dari cetakan.

3
Universitas Sumatera
3.4 Flowchart Percobaan
3.4.1 Flowchart Isolasi Pati Biji Alpukat
Adapun flowchart isolasi pati biji alpukat dapat dilihat pada Gambar 3.1
dibawah ini:

Mulai

Biji alpukat dibersihkan sebanyak 100 gram

Biji alpukat dipotong dengan ukuran 2 cm2 dan ditambah


air
Dilakukan proses penghancuran biji alpukat dengan alat
blender
Bubur biji alpukat disaring dan dibiarkan selama 30 menit
Setelah 30 menit, endapan dipisahkan dari air
Endapan ditambahkan lagi dengan air dan diendapkan
kembali
Endapan dikeringkan dalamselama 30 menitsuhu 70 oC selama
oven dengan
30 menit

Diperoleh pati biji alpukat kering, kemudian diayak dengan


ayakan 100 mesh

Selesai

Gambar 3.1 Flowchart Isolasi Pati Biji Alpukat

3
Universitas Sumatera
3.4.2 Flowchart Pembuatan Selulosa Mikrokristal
3.4.2.1 Flowchart Preparasi Serat Ijuk
Adapun Flowchart Preparasi Serat Ijuk dapat dilihat pada
Gambar 3.2 dibawah ini [82]:

Mulai

Serat ijuk dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran

Gambar
Dijemur3.2 Flowchart
di bawah sinarPreparasi
matahariSerat Ijuk
hingga

Digunting hingga ukuran lebih kecil

Selesai

39

Universitas Sumatera
3.4.2.2 Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Ijuk
Adapun Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Ijuk dapat
dilihat pada Gambar 3.3 dibawah ini [82] :

Mulai

50 gram serat dimasukkan kedalam beaker glass, kemudian ditambah 700 ml campuran H

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

Didigesti dengan 500 ml larutan yang megandung NaOH 2% dan Na2SO3 2% pada suhu 50 oC selam

Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Dilakukan pemutihan dengan 340 ml larutan NaOCl 3,5% dan air (1:1) hingga mendidih selama 10 meni

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

Dilakukan pemurnian alfa selulosa dari sampel dengan 340 ml larutan NaOH 17,5% pada

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

40
Universitas Sumatera
A

Dilakukan pemutihan dengan H2O2 10 % pada suhu 60


oC dalam oven selama 1 jam

Serat dicuci dan disaring sampai filrat netral

Serat yang sudah netral dikeringkan menggunakan oven

Selesai

Gambar 3.3 Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Ijuk

3.4.2.3 Flowchart Isolasi Selulosa Mikrokristal dari α –Selulosa


Adapun Flowchart Isolasi Selulosa Mikrokrital dari α –Selulosa
dapat dilihat pada Gambar 3.4 dibawah ini [82]:

Mulai

Sebanyak 5 gram alfa selulosa dimasukkan ke dalam


beaker glass dan dihidrolisis dengan HCl 2,5 N

Campuran di didihkan selama 15 menit

Dituangkan pada air dingin dan diaduk kuat –


kuat menggunakan spatula

Didiamkan selama 24 jam sampai terbentuk suspensi

Suspensi disaring dan dicuci sampai netral

41
Universitas Sumatera
A

Dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 1 jam

Selesai

Gambar 3.4 Flowchart Isolasi Selulosa Mikrokristal dari α-Selulosa

3.4.3 Flowchart Pembuatan Bioplastik


Adapun Flowchart Pembuatan Bioplastik dapat dilihat pada Gambar 3.5
dibawah ini [84]:
Mulai

Ditimbang pati yang massanya divariasikan 9, 8, 7,


dan 6 gr

Ditimbang selulosa mikrokristal yang massanya


divariasikan 1, 2, 3 dan 4 gr

Dibuat larutan pati dengan perbandingan pati : aquadest 1 :10

Selulosa mikrokristal dilarutkan dalam larutan NaOH 5% sebanyak 100 ml

Larutan pati dipanaskan sambil diaduk dengan stirrer selama 10 menit lalu di tambahkan glise

kemudian ditambahkan kedalam campuran setelah 20 menit.. Larutan dipanaskan sambil dilakukan pengadukan menggunak

42
Universitas Sumatera
A

Campuran didinginkan dan dicetak pada cetakan plastik

Plastik dikeringkan dengan suhu 60 oC selama 24 jam


Gambar 3.5 Flowchart Pembuatan Bioplastik Dari Pati Biji Alpukat
Plastik dilepaskan dari cetakan

Selesai

3.5 Analisa Karakteristik Pati Biji Alpukat


3.5.1 Kadar Pati
Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan pati yang
terdapat pada pati biji alpukat. Analisa Kadar Pati dilakukan di Laboratorium
Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada.

3.5.2 Kadar Amilosa


Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan amilosa yang
terdapat pada pati biji alpukat yang umumnya memberikan sifat kekuatan pada suatu
film. Analisa Kadar Amilosa dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian Universitas Gadjah Mada.

3.5.3 Kadar Amilopektin


Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan amilopektin
yang terdapat pada pati biji alpukat yang umumnya memberikan sifat mekanik yang
rendah pada suatu film. Analisa Kadar Amilopektin dilakukan di Laboratorium
Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada.

43
Universitas Sumatera
3.5.4 Analisa Sifat Pasting Pati Biji Alpukat
Proses analisa sifat pasting dilakukan dengan menggunakan alat RVA (Rapid
Visco Analyzer). Analisa ini dilakukan di Laboratorium Jasa Uji, Fakultas Teknologi
Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.

3.5.5 Kadar Air dan Abu


Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan air dan abu
yang terdapat pada pati biji alpukat. Analisa ini dilakukan di Balai Ristek dan
Standardisasi Industri (Baristand), Medan berdasarkan standar SNI 01-2891-1992.

3.5.6 Kadar Protein dan Lemak


Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan protein dan
lemak yang terdapat pada pati biji alpukat. Analisa ini dilakukan di Balai Ristek dan
Standardisasi Industri (Baristand), Medan berdasarkan standar SNI 01-2891-1992..

3.6 Analisa Produk Bioplastik dan Selulosa Mikrokristal


3.6.1 Analisa Kekuatan Tarik (Tensile Strength) dengan Standar ASTM D882
Pengukuran uji kekuatan tarik dilakukan di Laboratorium Polimer, Departemen
Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Medan berdasarkan ASTM D882 dengan
ketentuan model Universal Testing Machine (UTM). Sampel yang akan dianalisa
yaitu berupa :
1. Produk bioplastik tanpa pengisi selulosa mikrokristal.
2. Produk bioplastik dengan pengisi selulosa mikrokristal.
Sketsa Spesimen untuk uji tarik dapat dilihat pada Gambar 3.6 berikut ini [77]:

Gambar 3.6 Sketsa Spesimen Uji Tarik

44
Universitas Sumatera
Kekuatan tarik dihitung dengan membagi gaya maksimum dalam Newton
(ataupound-force) dengan luas penampang minimum dalam meter persegi (atau inci
persegi). Hasil dinyatakan dalam pascal (atau pound-force per square inch) [43].

Gaya kuat tarik (F)


kekuatan Tarik, σ= Luas permukaan (A) (3.1)

3.6.2 Analisa Sifat Pemanjangan Pada Saat Putus (Elongation At Break)


Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban tarik,
dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau millimeter. Persen elongasi
adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari panjangnya.
Percent elongation at break adalah persen pemanjangan pada saat putusnya benda uji
Pengukuran dilakukan di Laboratorium Polimer, Departemen Teknik Kimia,
Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama
dengan kekuatan tarik yaitu dilakukan berdasarkan ASTM D882 dengan ketentuan
model Universal Testing Machine (UTM) [43]. Sampel yang akan dianalisa yaitu
berupa :
1. Produk bioplastik tanpa pengisi selulosa mikrokristal.
2. Produk bioplastik dengan pengisi selulosa mikrokristal.
Perpanjangan saat putus dinyatakan dalam persentase melalui perhitungan
berikut:

Panjang setelah putus-Panjang awal


Elongasi(%)= Panjang awal × 100% (3.2)

3.6.3 Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM)


Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di Laboratorium
Sentral, Universitas Malang dan LPPT UGM. Sampel yang akan dianalisa dengan
Scanning Electron Microscope (SEM) yaitu berupa :
1. Produk bioplastik tanpa pengisi selulosa mikrokristal.
2. Produk bioplastik dengan pengisi selulosa mikrokristal.
Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM) menggunakan metode
Secondary Electron Image (SEI). Hasil yang didapat adalah foto polaroid dan
mampu memfoto dengan perbesaran dari 25 sampai 2 juta kali. Tujuan dilakukan
analisa ini

45
Universitas Sumatera
adalah untuk melihat morfologi penyebaran pengisi dalam matriks pati biji alpukat
dengan dan tanpa penambahan plasticizer gliserol.

3.6.4 Karakterisasi Fourier Transform Infra-Red (FTIR)


Analisa FTIR (Shimadzu-IR Prestige 21) dilakukan dengan mencampur sampel
kering dengan serbuk KBr. Semua spektrum inframerah dicatat dalam unit
absorbansi dalam kisaran 4000 - 400 cm-1. Sampel yang akan dianalisa dengan
Fourier Transform Infra-Red (FTIR) yaitu berupa :
1. Selulosa Mikrokristal.
2. Pati biji alpukat.
3. Serat ijuk.
4. Produk bioplastik tanpa pengisi selulosa mikrokristal.
5. Produk bioplastik dengan pengisi selulosa mikrokristal.
Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahui gugus fungsi dari
setiap sampel dan ada atau tidaknya gugus baru yang terbentuk dalam produk
bioplastik dengan tambahan pengisi mikrokristalin selulosa dan plasticizer gliserol.
Analisa Fourier Transform Infra-Red (FTIR) dilakukan di Laboratorium Penelitian
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.6.5 Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD)


Sampel yang akan dianalisa dengan X-Ray Diffracion (XRD) yaitu pengisi
selulosa mikrokristal. Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengukur
kristalinitas mikrokristalin selulosa yang dihasilkan. Karakterisasi difraksi Sinar-X
dilakukan menggunakan seperangkat alat yang disebut diffraktometer Sinar-X.
Karakterisasi ini dilakukan pada sampel selulosa mikrokristal yang telah dihaluskan
menjadi serbuk untuk melihat struktur kristal dan fase-fase yang terbentuk. Analisa
ini dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Serpong. Alat yang
dipakai menggunakan prinsip difraktometer, panjang gelombang 1,54060 Ǻ, 1,54443
Ǻ dan 1,39225 Ǻ yang dihasilkan dari tegangan 40 kV dan arus 30 mA. Sudut teta
yang digunakan bervariasi.
Penentuan index kristalinitas suatu bahan dapat dilakukan dengan
menggunakan metode Segal dengan persamaan dibawah ini [85]:

46
Universitas Sumatera
𝐼002−𝐼𝐴𝑀
𝐶𝑟𝐼 = 𝐼002 (3.3)

Dalam persamaan ini, Crl menyatakan derajat relatif kristalinitas, I 002 adalah
intensitas maksimum dari difraksi pola 0 0 2 dan IAM adalah intensitas dari difraksi
dalam unit yang sama pada 2θ-18o. I002 merupakan representasi dari kedua region
yaitu region kristal dan region amorphous, IAM merupakan representasi dari region
amorphous [86].
Diameter kristal dapat juga dihitung pada hasil uji kristalinitas dengan XRD,
dengan menggunakan persamaan Scherrer berdasarkan lebar pola difraksi [85]:
𝐾𝜆
𝐿 = 𝐵(2𝜃).cos(𝜃) (3.4)

Keterangan:
o L = Diameter kristal/ukuran kristal
o 𝜆 = Panjang gelombang (nm)
o 𝐾 = Konstanta Scherrer (0,8-1)
o B = Full Width at Half Maximum (FWHM)

3.6.6 Uji Biodegradasi


Pengujian kemampuan biodegradasi bertujuan untuk mengetahui laju degradasi
bioplastik sehingga dapat diperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan
bioplastik hingga terurai. Uji kemampuan biodegradasi dilakukan dengan
membandingkan metode soil burial test (sampel ditanam di dalam tanah) dan sampel
diletakkan di atas tanah. Pengujian kemampuan biodegradasi ini dilakukan pada
sampel bioplastik dengan sifat mekanik yang terbaik, yaitu bioplastik dengan
formulasi pati- selulosa mikrokristal 7 : 3 dengan penambahan gliserol 0,2 ml/gr.
Pengujian dilakukan pada empat buah sampel bioplastik.
Biodegradasi di atas tanah dilakukan dengan menimbang terlebih dahulu
masing-masing sampel seberat 0.25 gram sebelum diletakkan diatas tanah yang tidak
langsung terkena curahan hujan mengingat sampel bisa saja hilang terbawa arus air
atau tertiup angin. Sampel ditimbang beratnya tiap dua hari sekali selama dua belas
hari.
Biodegradasi didalam tanah dilakukan dengan menimbang terlebih dahulu
masing-masing sampel seberat 0.25 gram. Sampel bioplastik dikubur di dalam tanah

47
Universitas Sumatera
kebun disekitar Fakultas Teknik USU dengan menjaga kestabilan suhu dan
kelembaban tanah dengan kedalaman 30 cm.. Kemudian, bioplastik yang dikubur di
dalam tanah ditimbang tiap satuan waktu. Fraksi massa bioplastik ditimbang setiap
dua hari sekali selama dua belas hari [87] [79]. Sampel dikeluarkan dari dalam tanah
untuk ditimbang dalam keadaan kering. Persamaan di bawah ini digunakan untuk
menghitung fraksi berat residual [79].
(𝑊1−𝑊2)
% berat residual = 100% − 𝑥 100% (3.5)
𝑊1

Dimana :
W1 = massa sampel pada hari ke-0 (gram)
W2 = massa sampel pada hari ke- 2, 4, 6, 8 dan 10 (gram)

3.6.6.1 Flowchart Uji Kemampuan Biodegradasi


Uji kemampuan biodegradasi di atas tanah dilakukan dengan prosedur:
Mulai

Siapkan sampel dengan berat 0,25 gram

Sampel diletakkan di atas permukaan tanah

Sampel ditimbang beratnya dua hari sekali selama dua belas hari

Dihitung fraksi berat residual sampel

Selesai

Gambar 3.7 Flowchart Uji Kemampuan Biodegradasi di Atas Permukaan Tanah

48
Universitas Sumatera
Uji kemampuan biodegradasi di dalam tanah dilakukan dengan prosedur:
Mulai

Siapkan sampel dengan berat 0,25 gram

Sampel dikubur di dalam tanah dengan kedalaman 30 cm

Sampel ditimbang beratnya dua hari sekali selama dua belas hari

Dihitung fraksi berat residual sampel

Selesai

Gambar 3.8 Flowchart Uji Kemampuan Biodegradasi di dalam Tanah

49
Universitas Sumatera
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL EKSTRAKSI PATI BIJI ALPUKAT
Pati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik dalam
penelitian ini adalah pati yang di ekstrak dari pati biji alpukat. Biji alpukat diperoleh
dari pedagang Alpukat Kocok di Jalan H. M. Joni, Medan. Pati yang dihasilkan
berwarna kecokelatan dengan ukuran ± 100 mesh. Pati berwarna cokelat disebabkan
karena adanya senyawa fenolik yaitu dopamin (3,4-dihidroksi `phenilalanin) yang
terkandung di dalam biji alpukat yang dapat menyebabkan reaksi pencoklatan
(browning) secara enzimatik yang disebabkan oleh reaksi antara oksigen dengan
substrat fenolik dengan katalisator polifenol oksidase [10].
Rendemen pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi pati biji alpukat adalah
sebesar 16%, dimana dari 100 g biji alpukat diperoleh pati kering sebanyak 16 g dan
kemudian selanjutnya dilakukan analisa pada pati yang diperoleh. Adapun biji
alpukat yang diperoleh dari pedagang di Jalan H. M. Joni, Medan ditunjukkan pada
Gambar
4.1 (a) dan hasil ekstraksi berupa pati ditunjukkan pada Gambar 4.1 (b).

(a) (b)
Gambar 4.1 (a) Biji Alpukat (b) Pati Biji Alpukat

4.2 HASIL KARAKTERISASI PATI BIJI ALPUKAT


Karakteristik pati biji alpukat yang dianalisa pada penelitian ini terdiri dari
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar amilosa dan kadar
amilopektin. Karakterisasi ini bertujuan untuk mengetahui jumlah komponen-
komponen yang terkandung didalam pati biji alpukat. Hasil karakteristik pati biji
alpukat dan standar mutu pati menurut Standar Industri Indonesia disajikan pada
Tabel 4.1 dibawah ini:
50
Universitas Sumatera
Tabel 4.1 Standar Mutu Pati Menurut Standar Industri Indonesia [88]
Komponen Kadar (%) Standar Industri
Indonesia (%)
Kadar Air 16,6 Maks 14
Kadar Abu 0,23 Maks 1,5
Kadar Lemak 1,09 -
Kadar Protein 2,16 -
Kadar Pati: 73,62 Min 75
-Amilosa 0,07
-Amilopektin 73,55

4.2.1 Kadar Pati


Kadar pati merupakan banyaknya pati yang terkandung dalam bahan kering
yang dinyatakan dalam persen [89]. Tujuan analisa kadar pati adalah untuk
menentukan persentase kadar pati yang terdapat pada biji alpukat (Persea americana
mill). Dari hasil analisa pati biji alpukat diperoleh kadar pati dalam biji alpukat
sebesar 73,62%. Berdasarkan standar mutu pati menurut Standar Industri Indonesia,
kadar pati yang diizinkan adalah minimal 75%. Jika dibandingkan dengan kadar pati
menurut Standar Industri Indonesia, kadar pati biji alpukat belum memenuhi standar
yang berlaku.
Proses pemarutan berpengaruh pada tingginya kadar pati dari pati umbinya.
Penggilingan bertujuan untuk memecah dinding sel agar granula – granula pati dapat
terlepas. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan pencacahan, pengirisan atau
pemarutan. Dengan proses pemarutan, jumlah pati yang terlepas mencapai 70 - 90 %.
Kondisi ini biasa disebut dengan efek pemarutan atau rasping effect [88]. Pada
penelitian ini, pati biji alpukat terlebih dahulu dicacah sebelum dihaluskan. Metode
pengekstraksian pati biji alpukat yang digunakan adalah dengan cara pengahncuran
menggunakan blender.

4.2.2 Kadar Amilosa dan Amilopektin


Pati mempunyai dua fraksi yaitu fraksi yang larut dalam air panas namanya
amilosa dan fraksi yang tidak larut dalam air panas namanya amilopektin. Tujuan
dari analisa kadar amilosa dan amilopektin adalah untuk menetapkan perbandingan
jumlah

51
Universitas Sumatera
amilosa dan amilopektin di dalam pati biji alpukat. Dari hasil analisa diperoleh kadar
amilosa dan amilopektin dalam pati biji alpukat masing-masing sebesar 0,07% dan
73,55%. Kadar amilosa yang diperoleh jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
hasil penelitian Ginting et al. (2015) mengenai pengaruh temperatur gelatinisasi dan
kitosan terhadap sifat mekanik bioplastik dari pati biji alpukat dengan plastisizer
gliserol. Kadar amilosa pati biji alpukat yang diperoleh adalah 32,47% sedangkan
kadar amilopektin yang diperoleh sebesar 35,32% [18].
Rendahnya kadar amilosa yang diperoleh disebabkan karena kadar amilosa
juga dipengaruhi oleh kadar pati yang rendah. Selain itu, karena amilosa mempunyai
sifat hidrofilik (yang mengandung gugus hidroksil) sehingga mempunyai
kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen dan bersifat larut dalam air ketika
proses ekstraksi berlangsung [88].
Kandungan amilosa dan amilopektin pada pati mempengaruhi sifat mekanik
film yang dihasilkan. Pati dengan kadar amilosa tinggi, akan menghasilkan film yang
kuat dan fleksibel. Hal ini disebabkan karena struktur kristal dari amilosa itu sendiri
[71]. Kandungan amilopektin yang cukup tinggi pada pati serta amilopektin yang
memiliki ikatan cabang 1,6 α–glukosa mempunyai sifat sedikit menyerap air dan
sukar larut di dalam air. Pati dengan kadar amilopektin yang tinggi dapat mengurangi
mobilitas rantai polimer dan cenderung mengganggu kemungkinan terbentuknya
ikatan hidrogen [90]. Selain itu, kandungan amilosa mempengaruhi tingkat
pengembangan dan penyerapan air pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka
kemampuan pati untuk menyerap air dan mengembang menjadi lebih besar karena
amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar
daripada amilopektin. Semakin tinggi kadar amilosa pada pati maka kelarutannya di
dalam air juga akan meningkat karena amilosa memiliki sifat polar [44].

4.2.3 Kadar Air


Kadar air menunjukkan jumlah total air yang terdapat dalam suatu bahan, baik
berupa air terikat maupun air bebas, dibandingkan terhadap massa bahan tersebut
[49]. Tujuan dari analisa kadar air adalah untuk mengetahui kandungan air dalam
pati yang dapat mempengaruhi karakteristik bioplastik. Kadar air suatu bahan akan
menentukan akseptabilitas, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut [9]. Dari hasil
analisa

52
Universitas Sumatera
diperoleh kadar air sebesar 16,6% dimana standar mutu pati menurut Standar Industri
Indonesia untuk nilai kadar air maksimum 14%, sehingga kadar air pati biji alpukat
yang diperoleh belum memenuhi syarat Standar Industri Indonesia [88]. Tingginya
kadar air pati disebabkan karena proses pengeringan yang tidak maksimal sebelum
dilakukan pengujian.
Penghilangan kadar air salah satunya dilakukan dengan cara pengeringan.
Pengeringan merupakan suatu proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan
dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan
menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan dikurangi sampai batas
dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi didalamnya [69]. Sehingga, kadar air sangat
erat hubungannya dengan ketahanan suatu bahan untuk disimpan akibat adanya
pengaruh aktivitas mikroba. Jumlah kadar air yang rendah membuat bahan akan
lebuh tahan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga kemungkinan
rusak karena jamur pada saat penyimpanan sangat kecil [91].

4.2.4 Kadar Abu


Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang sebagian besar dalam bentuk
senyawa kimia dan memegang peranan penting dalam penentuan kualitas dan
ketahanan suatu bahan [92]. Abu adalah residu anorganik dari pembakaran bahan
organik. Kadar abu dapat dihitung berdasarkan pengurangan bobot sampel selama
proses pembakaran pada suhu tinggi (500–600˚C) melewati proses penguapan dari
material organik. Semakin besar kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan
semakin tinggi kandungan mineral bahan pangan tersebut [10].
Kadar abu pati biji alpukat yang diperoleh adalah sebesar 0,23%. Berdasarkan
standar mutu pati menurut Standar Industri Indonesia, kadar abu yang diizinkan
adalah maksimal 15%. Jika dibandingkan dengan kadar abu pati menurut Standar
Induatri Indonesia, kadar abu pati biji alpukat telah memenuhi standar.
Berdasarkan hasil penelitian Chandra dkk. (2013) menunjukkan bahwa kadar
abu pati biji alpukat lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu biji alpukat. Hal ini
disebabkan karena adanya proses ekstraksi dan pencucian berulang-ulang dengan air.
Pencucian dan pemerasan dalam proses ekstraksi pati dapat mengurangi kadar abu
pati. Pencucian dapat melarutkan sebagian mineral sedangkan pemerasan yang

53
Universitas Sumatera
bertujuan untuk memisahkan larutan pati dari ampasnya memungkinkan terbawanya
mineral dalam ampas yang akan dibuang [10].

4.2.5 Kadar Protein


Protein adalah salah satu dari tiga makromolekul penting dalam sistem biologis
yang dapat dengan mudah diisolasi dari sumber daya alam [90], diantaranya adalah
pati. Tujuan analisa kadar protein adalah untuk melihat kandungan protein yang
terdapat pada pati biji alpukat yang mempengaruhi karakteristik bioplastik yang
dihasilkan. Hasil uji kadar protein diperoleh kadar protein pati biji alpukat sebesar
2,16%. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Ginting, et al
(2015) yaitu 10,44% [18]. Perbedaan kandungan antar varietas diduga disebabkan
oleh faktor genetik dan tingkat usia tanaman [93].
Protein dapat mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen yang kuat,
kemampuan ini disebabkan protein bersifat hidrofilik. Kapasitas pengikatan ini
mempengaruhi daya lekat, pembentukan film, dan serat [44]. Film dengan
kandungan protein yang lebih banyak akan lebih banyak mengikat air, dan
mempengaruhi kualitas film yang dihasilkan. Protein juga mempengaruhi suhu
gelatinisasi dari pati dengan membentuk susunan kompleks dengan pati pada
permukaan granula, dan mencegah pembebasan eksudat dari granula, sehingga
menyebabkan meningkatnya suhu gelatinisasi dari pati. Sifat hidrofilik protein
adalah faktor lain yang dapat menjelaskan bahwa protein mempengaruhi suhu
gelatinisasi pati. Pada sistem air-pati dengan kandungan air kurang dari 30% tidak
ditemukan adanya gelatinisasi pada pati [94].

4.2.6 Kadar Lemak


Tujuan analisa kadar lemak adalah untuk melihat pengaruh kandungan lemak
terhadap karakteristik pati. Hasil uji kadar lemak pati biji alpukat adalah sebesar
1,09%. Angka ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Ginting, et al (2015) yaitu 1,86% [18]. Kadar lemak dalam pati diinginkan sekecil
mungkin karena kadar lemak dapat mengganggu proses gelatinisasi dengan
membentuk kompleks dengan amilosa sehingga dapat menghambat keluarnya
amilosa dari pati [44]. Kadar lemak memiliki pengaruh yang paling menonjol
terhadap gelatinisasi pati. Peningkatan kadar lemak secara signifikan akan
menurunkan derajat gelatinisasi pati.

54
Universitas Sumatera
Hal ini terutama karena pengaruh minyak/pelumas dari lemak itu sendiri, yang
mengakibatkan penurunan temperatur produk dan dengan demikian menurunkan
derajat gelatinisasi [95].

4.3 KARAKTERISTIK SELULOSA MIKROKRISTAL


Pada pembuatan selulosa mikrokristal serat ijuk dari 50 gram sampel serat ijuk
diperoleh α-selulosa sebanyak 13 gram (% hasil = 26%) dan dari 5 gram α-selulosa
dihasilkan selulosa mikrokristal sebanyak 3 gram (% hasil = 60%). Sehingga dapat
diperoleh hasil bahwa dari 50 gr serat ijuk dapat diproduksi selulosa mikrokristal
sebanyak 7,8 gram.
Selulosa mikrokristal yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa serbuk
putih yang dapat dilihat pada Gambar 4.2 dibawah ini.

(a) (b)
Gambar 4.2 Hasil Penelitian (a) Alfa-Selulosa (b) Selulosa Mikrokristal
Pada penelitian ini, selulosa mikrokristal dibuat dengan proses hidrolisis asam.
Hal ini dikarenakan hidrolisis dengan asam sangat efektif melarutkan bagian amorf
dari selulosa dan meninggalkan bagian kristalnya [58]. Menurut Ohwavworhua et al,
(2005) mengenai karakteristik fisiko-kimia selulosa mikrokristal menyatakan bahwa
selulosa mikrokristal dapat larut sempurna tanpa residu dalam larutan ammoniakal
tetraamin tembaga [96]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selulosa mikrokristal
yang diperoleh dapat larut sempurna dalam larutan ammoniakal tetraamin tembaga
dengan rentang waktu ± 3 detik. Karakteristik lain dari selulosa mikrokristal serat
ijuk akan disajikan pada subbab dibawah ini.

55
Universitas Sumatera
4.3.1 Hasil Analisa Kristalinitas dengan XRD (X-Ray Diffraction) Selulosa
Mikrokristal dari Serat Ijuk
Kristalinitas adalah banyaknya kandungan kristal di dalam suatu bahan
kristalin. Semakin teratur susunan atom dalam bahan, semakin tinggi tingkat
kristalinitasnya. Kristalinitas bisa ditentukan dengan berbagai metode, salah satunya
adalah difraksi sinar-x (XRD) berdasarkan pola spektrum difraksi kristal dan amorf
[97]. Hasil dari pengujian kristalinitas menggunakan XRD dapat ditunjukan oleh
Gambar 4.3 dibawah ini.

Gambar 4.3 Karakteristik XRD dari Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk
Dari Gambar 4.3 dapat diketahui indeks kristalinitas dari selulosa mikrokristal
yang dihitung dengan menggunakan metode Segal adalah sebesar 80,34%,
diindikasikan oleh puncak serapan yang tajam (sharp peak) dari spektra yang
dihasilkan oleh sampel selulosa mikrokristal. Puncak serapan dari spektra yang
dihasilkan oleh sampel selulosa mikrokristal adalah pada 2θ = 12,01 o; 20,06o dan
21,91o. Persentase kristalinitas selulosa mikrokristal dari serat ijuk (80,34%) adalah
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahan non-wood lainnya (52-53%) [58].
Selulosa mikrokristal diproduksi dengan proses hidrolisis asam. Proses ini
melibatkan depolimerisasi rantai selulosa dengan memecah ikatan glikosidik antara
dua unit anhidroglukosa. Depolimerisasi selulosa terjadi secara acak dan tidak
terkendali, dimana asam cenderung menyerang daerah amorf dari selulosa
dibandingkan bagian kristalin, sehingga mengakibatkan pembentukan ukuran yang

56
Universitas Sumatera
tidak seragam dari selulosa mikrokristal [98]. Selama proses hidrolisis berlangsung,
daerah amorf akan hancur sehingga meninggalkan subsrat kristalin [99]. Penggunaan
asam sulfat (H2SO4) dalam proses hidrolisis, mengakibatkan pemecahan ikatan inter-
dan intra-hidrogen. Permukaan mikrokristal selulosa yang bermuatan negatif akan
menyebabkan stabilisasi anion, menghasilkan gaya tolak yang mencegah agregasi
dari mikrokristal selulosa itu sendiri [98].
Indeks kristalinitas yang tinggi mengindikasikan bahwa hemiselulosa dan
lignin yang ada pada bagian amorf telah berhasil dipisahkan dari bagian kristalin
selulosa melalui perlakuan asam. Kristalinitas yang tinggi lebih efektif untuk
mencapai efek penguatan yang lebih tinggi pada bahan komposit karena sifat
mekanik dan termal menjadi lebih baik dengan peningkatan kristalinitas selulosa
[100][101].
Diameter kristal dapat juga dihitung pada hasil uji kristalinitas dengan XRD,
puncak serapan dari spectra yang dihasilkan oleh sampel selulosa mikrokristal adalah
pada 2θ = 12,01o; 20,06o dan 21,91o. Dengan menghitung diameter kristal dari
selulosa mikrokristal pada puncak serapan 2θ=20,06o menggunakan persamaan
Scherrer, diperoleh diameter kristal yang dihasilkan adalah sebesar 25,08 nm.
Ukuran kristal berpengaruh pada kompatibilitas atau kekompakan suatu
bahan. Semakin kecil ukuran kristal, maka kompatibilitas suatu bahan akan semakin
baik [102].

57
Universitas Sumatera
4.3.2 KARAKTERISTIK MORFOLOGI SELULOSA MIKROKRISTAL
DARI SERAT IJUK DENGAN SEM (SCANNING ELECTRON
MICROSCOPE) Karakteristik morfologi selulosa mikrokristal dilakukan
dengan SEM (Scanning
Electron Microscope). Hasil pengamatan SEM ditunjukkan pada Gambar 4.4
dibawah ini.

(a) (b)
Gambar 4.5 Hasil SEM Selulosa Mikrokristal Perbesaran (a) 1000x dan (b) 5000x
Gambar 4.5 menunjukkan hasil analisa SEM selulosa mikrokristal dari serat
ijuk
dengan perbesaran 1000x dan 5000x. Dari analisa SEM dapat dilihat bahwa sebagian
besar morfologi selulosa mikrokristal dari serat ijuk berbentuk batang (rod-shape)
yang berbelit-belit dengan diameter yaitu sekitar 5,55-9,44 µm. Morfologi selulosa
mikrokristal yang diperoleh dari sisal menunjukkan hasil yang sama, yaitu berbentuk
batang (rod-shape) [103] [11]. Beberapa helai serat mikro ditemukan pada sampel
selulosa mikrokristal yang diamati. Bentuk partikel merupakan faktor penentu
penting dalam penentuan kepadatan (densitas) suatu bahan. Bentuk partikel suatu
bahan juga menggambarkan porositas bahan tersebut. Partikel dengan ukuran yang
lebih besar memiliki porositas yang lebih rendah [104]. Porositas mencerminkan
densitas, yang merupakan faktor penting dalam penerapan selulosa mikrokristal.
Secara khusus, ukuran, distribusi dan morfologi porositas berpengaruh besar
terhadap sifat mekanik bahan [105].

58
Universitas Sumatera
4.4 KARAKTERISTIK HASIL ANALISA FOURIER TRANSFORM INFRA
RED (FT-IR) PATI BIJI ALPUKAT, SELULOSA MIKROKRISTAL
DAN BIOPLASTIK BERPENGISI SELULOSA MIKROKRISTAL
DENGAN PEMLASTIS GLISEROL
Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FT-IR) pada pati biji alpukat,
selulosa mikrokristal, serat ijuk dan bioplastik dilakukan untuk mengidentifikasi
gugus fungsi yang ada pada masing-masing sampel. Dari analisa gugus fungsi
menggunakan FT-IR diperoleh hasil spektrum dalam bentuk grafik yang dapat
dilihat pada Gambar
4.5 berikut ini.

Bioplastik Pati-Gliserol-MCC Pati Biji Alpukat


OH Bioplastik-Gliserol
Nang
Selulosa Mikrokristal Serat Ijuk
Alkohol
C-H C-O
100 M

80
OH OH
%Transmita

alkohol Karboksilat
60
C=C C=O
C-O C-H
40

20 C=O

0
45004000350030002500200015001000 500 0
Wave Number (cm-1)

Gambar 4.5 Karakteristik Hasil Analisa FT-IR


Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik rentang frekuensi pada IR untuk tiap
gugus fungsional [106].
Tabel 4.2 Karakteristik rentang frekuensi pada spektrofotometri IR

Daerah Gugus Fungsi Ikatan Rentang (cm-1)

1 3700-3200 cm-1
Alkohol O-H 3650-3200
Alkina =C-H 3300
Amina, amida N-H 3500-3300
2 3200-2700 cm-1
Alkana C-H 2960-2850

59
Universitas Sumatera
Aril, vinil C-H 3100-3000
Aldehid C-H 2900, 2700
Asam Karboksilat O-H 3000-2500
3 2300-2100 cm-1
Alkuna C=C 2260-2100
Nitil C=N 2260-2220
4 1950-1650 cm-1
Aldehid C=O 1740-1720
Amida C=O 1690-1650
Aril Keton C=O 1700-1680
Asam Karboksilat C=O 1725-1700
Ester C=O 1750-1735
Keton C=O 1750-1705
Enon (C=C-C=O) C=O 1685-1665
Gugus Aromatik 1950-1750
lain
5 1680-1450 cm-1
Alkena C=C 1680-1620
C=C 1600, 1500-
Aromatik 1450
6 1300-1000 cm-1
Ether C-O 1300-1000

Spektra hasil analisis FT-IR dari pati biji alpukat memberikan puncak-puncak
spektrum yang menunjukkan adanya gugus O-H alkohol, C-H alkana, C=C alkena,
C=O aldehid dan gugus C-O eter pada pati biji alpukat. Munculnya gugus C=O
aldehida pada pati kemungkinan disebabkan karena terjadinya pemutusan rantai
glikosida membentuk gugus C=O aldehida dan gugus OH pada ujung amilosa atau
amilopektin yang terdapat pada pati [107].
Hasil FT-IR yang diperoleh telah sesuai dengan hasil penelitian Ginting, et al
(2015) yang menunjukkan gugus fungsi yang sama pada pati biji alpukat [18].
Kehadiran gugus fungsi tersebut telah mewakili kandungan dari pati biji alpukat
yang terdiri dari amilosa dan amilopektin serta gula pereduksi (C6H10O5)n [107].
Spektra hasil analisis FT-IR dari selulosa mikrokristal memberikan puncak-
puncak spektrum serapan dengan bilangan gelombang yang muncul adalah pada
3437, 2897, 2314, 1631, 1060 dan 898 cm-1. Band besar pada bilangan gelombang
3437 cm-
1
mengindikasikan keberadaan gugus –OH (3330-3500 cm-1 merujuk pada –OH

60
Universitas Sumatera
stretching) dan pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 2897 cm-1
mengindikasikan keberadaan gugus C-H yang membuktikan adanya ikatan C-H pada
ujung struktur selulosa dan C-O karbonil pada bilangan gelombang 1369,46 cm-1
yang juga merupakan gugus khas selulosa. Akibat penyerapan air (water absorption),
puncak pada bilangan gelombang 1631,78 teridentifikasi pada sampel selulosa
mikrokristal yang menyatakan keberadaan gugus OH dan juga terdapat puncak
serapan 898,83 cm-1 yang menunjukkan adanya peregangan C-O-C dari ikatan β-1,4-
D-glikosida yang juga menunjukkan keberadaan fasa amorf dari mikrokristalin
selulosa [99].
Pada hasil uji FT-IR dengan sampel serat ijuk, puncak serapan yang diperoleh
banyak memiliki kesamaan dengan sampel selulosa mikrokristal, dikarenakan
selulosa mikrokristal yang diperoleh merupakan hasil perlakuan kimia dari serat ijuk
itu sendiri sehingga gugus-gugus mengindikasikan keberadaan selulosa terdapat pada
puncak serapan dengan bilangan gelombang yang hampir sama. Puncak serapan yang
muncul pada sampel serat ijuk adalah 3406, 2893, 1724, 1253, 1045, dan 902 cm -1.
Namun, terdapat beberapa perubahan gugus yang cukup signifikan antara hasil uji
FT-IR serat ijuk dan selulosa mikrokristal. Pada puncak serapan dengan bilangan
gelombang 1253,73 cm-1 menandakan keberadaan gugus C-O ether (1300-1000 cm-1
merujuk pada C-O ether dan ester), gugus ini menunjukkan eksistensi ikatan antara
lignin dan karbohidrat dan juga menandakan keberadaan lignin dan hemiselulosa
pada serat ijuk. Selain itu, pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 1724,36
cm-1 mengindikasikan keberadaan dari gugus C=O (1760-1665 merujuk pada gugus
C=O karbonil), dimana gugus tersebut merupakan gugus khas yang terdapat pada
lignin. Menurut Dufresne, et al (1997) hilangnya puncak serapan pada bilangan
gelombang 1253,73 dan 1724,36 cm-1 pada hasil uji FTIR pada selulosa mikrokristal
menunjukkan bahwa eksistensi dari lignin dan hemiselulosa pada selulosa
mikrokristal telah diakhiri dengan baik oleh proses delignifikasi dengan perlakuan
asam dan bleaching yang berfungsi untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa
dari material lignoselulosa [86]. Perubahan bilangan gelombang pada kedua sampel
disajikan pada Tabel 4.3 berikut.

61
Universitas Sumatera
Tabel 4.3 Pergeseran Bilangan Gelombang pada Selulosa Mikrokristal dan Serat Ijuk
Selulosa
Jenis Ikatan (cm-1)
Serat Ijuk
Mikrokristal
Gugus CH 898,83 902,69
Gugus C=O - 1724,36
Gugus C=C 1631,78 -
Gugus C-O - 1253,73
Gugus O-H 3437,15 3406,09

Pada bioplastik pati-gliserol puncak serapan menunjukkan adanya gugus OH


bebas, C-H alkana, O-H karboksilat, C=O aldehid, dan gugus C-O karboksilat, sama
halnya dengan bioplastik pati-gliserol- selulosa mikrokristal puncak serapan yang
muncul tidak menunjukkan adanya gugus baru terbentuk. Namun, terjadi
peningkatan bilangan gelombang ikatan O-H pada pati dan selulosa mikrokristal
yaitu dari 3394.72 cm-1 pada pati, menjadi 3603.03 cm-1 pada bioplastik dan dari
3437.15 cm-1 pada selulosa mikrokristal menjadi 3603.03 cm-1 pada bioplastik.
Perubahan bilangan gelombang pada ketiga sampel disajikan pada Tabel 4.4 dibawah
ini.
Tabel 4.4 Pergeseran Bilangan Gelombang pada Pati Biji Alpukat, Bioplastik Pati-
Gliserol dan Bioplastik Pati-Gliserol- Selulosa Mikrokristal
Bioplastik
Jenis Ikatan Pati Biji Bioplastik Pati-Gliserol-
(cm-1) Alpukat Pati-Gliserol Selulosa
Mikrokristal
759,95
Gugus CH 725,23 732,95
775,38
Gugus C=O 1635,64 1693,5 1708,93
Gugus C-O 1147,72 1172,72 1172,72
2927,94 2877,79 2877,79
Gugus O-H 3394,72 2993,52 2997,38
3537,45 3603,03

Peningkatan bilangan gelombang pada ikatan O-H disebabkan karena interaksi


dari hidrogen ketika komponen pati dan selulosa mikrokristal dicampurkan pada
proses pembuatan bioplastik, dimana ikatan hidrogen terdiri dari ikatan antara rantai
amilosa-amilosa, -amilosa-amilopektin dan amilosa- selulosa mikrokristal -
amilopektin [108].

62
Universitas Sumatera
4.5 KARAKTERISTIK MORFOLOGI PATI BIJI ALPUKAT DENGAN
SEM (SCANNING ELECTRON MICROSCOPE)
Karakteristik morfologi pati biji alpukat dilakukan dengan SEM. Hasil
pengamatan SEM ditunjukkan pada Gambar 4.6 berikut ini.

Impurities

Gambar 4.6 Hasil SEM Pati Biji Alpukat dengan Perbesaran (a) 1000x dan (b)5000x
Gambar 4.6 menunjukkan hasil analisa SEM partikel pati biji alpukat yang
berukuran 100 mesh dengan perbesaran 1000x dan 5000x. Dari hasil analisa SEM
dapat dilihat bahwa bentuk granula pati biji alpukat adalah bulat atau elips dan
memiliki permukaan halus dengan ukuran granula yang relatif besar yaitu sekitar 5-
18,3 µm. Fungsionalitas dari pati dipengaruhi oleh sifat penting pati seperti ukuran
granula dan distribusi pati [33]. Ukuran granula yang berbeda, bentuk dan campuran
dari ukuran granula yang berbeda pada pati memiliki pengaruh terhadap reologi serta
sifat fungsional dan struktural pati [109]. Selain itu, hasil SEM juga memperlihatkan
bahwa sebagian besar granula pati masih terlihat utuh dengan permukaan yang masih
halus dan utuh yang menunjukkan bahwa granula pati belum mengalami kerusakan
struktur granulanya. Granula pati yang belum mengalami proses modifikasi akan
memiliki permukaan yang halus dan utuh [110].
Namun terlihat beberapa pengotor yang mengelilingi granula, ditandai dengan
adanya butiran-butiran yang tidak seragam dan teratur pada granula. Kotoran
(impurities) dapat berupa abu, protein, lemak, fosfor dan serat [111]. Selain itu,
semua pati mengandung sejumlah kecil mineral, seperti kalsium, magnesium, kalium
dan natrium. Beberapa kotoran dalam suspensi pati dapat mempengaruhi
karakteristik suspensi pati itu sendiri. Ahmad & Williams (1999) dalam Salmela
(2006) telah menunjukkan bahwa garam memiliki pengaruh yang signifikan pada
gelatinisasi, pembengkakan (swelling) dan sifat reologi dari pati [112] [113].
Struktur dan

63
Universitas Sumatera
morfologi granula pati mempengaruhi daya pengembangan (swelling), kelarutan dan
kapasitas penyerapan air dari pati, sehingga mempengaruhi aplikasi akhir dari pati
dalam produk [114].

4.6 KARAKTERISTIK PROFIL GELATINISASI PATI DENGAN RVA


(RAPID VISCO ANALYZER)
Karakteristik profil gelatinisasi pati biji alpukat diukur dengan RVA (Rapid
Visco Analyzer). Karakteristik ini berkaitan dengan pengukuran viskositas pati
dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Hasil dari
pengukuran RVA dapat diplotkan menjadi kurva profil gelatinisasi yang ditunjukkan
pada Gambar 4.7 dimana terdapat hubungan antara nilai viskositas (cP) (pada sumbu
y) dan perubahan temperatur (oC) (juga pada sumbu y) selama waktu proses
pemanasan dan pendinginan (detik) (pada sumbu x).

100 10000
90 9000
80 8000
70 7000
60 6000
50 5000
Temperatur

Viskositas
40 4000
30 3000
20 2000
10 1000
0 0
Temperatur
Viskositas

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Waktu (menit)

Gambar 4.7 Grafik Profil Gelatinisasi Pati Biji Alpukat yang Diukur dengan RVA
(Rapid Visco Analyzer)
Gelatinisasi pati adalah proses ambruknya molekul dalam granul pati yang
ditandai dengan perubahan sifat yang ireversibel seperti pembengkakan granula,
melelehnya bagian kristal, dan kelarutan pati. Pemanasan pati mengakibatkan
peningkatan substansial pada sifat pasta namun puncak waktu dan suhu pasta
menurun secara signifikan [33]. Perbedaan rasio amilosa dan amilopektin pada pati
menyebabkan perbedaan derajat gelatinisasi pada setiap pati. Gel pati merupakan
jaringan amilosa, yang mengalami pembengkakan pada granula pati [109].
Pemecahan

64
Universitas Sumatera
molekul pati selama pemanasan diukur dengan mengambil perbedaan antara
viskositas puncak dan viskositas awal [115].
Pada Gambar 4.7 diatas terlihat bahwa pati biji alpukat mulai mengalami
gelatinisasi pada suhu yang cukup tinggi 81,7 oC. Viskositas puncak tercapai pada
suhu 95,05 oC, dengan nilai viskositas sebesar 4934 cP. Pada pemanasan diatas suhu
95,05 oC, pati biji alpukat mengalami sedikit penurunan viskositas dengan viskositas
breakdown sebesar 540 cP. Viskositas breakdown menunjukkan kestabilan viskositas
terhadap pemanasan. Pasta pati biji alpukat secara berangsur-angsur mengalami
peningkatan viskositas selama fase pendinginan yang disebabkan oleh terjadinya
penggabungan kembali (re-association) molekul-molekul amilosa dan amilopektin
melalui ikatan hidrogen [110]. Viskositas setback selama fase pendinginan ini
sebesar 4368 cP. Viskositas setback menunjukkan kecenderungan pati untuk
mengalami retrogradasi [110].
Swelling (pembengkakan/pengembangan) terjadi jika pati pada keadaan
berlebihan air dan suhu suspensi pati meningkat di atas rentang tertentu, ikatan
hidrogen molekul terganggu, molekul air akan terikat dengan gugus hidroksil pada
amilosa dan amilopektin, maka granula pati semakin membesar. Mekanisme
pengembangan tersebut disebabkan ikatan-ikatan hidrogen yang menghubungkan
molekul-molekul amilosa dan amilopektin semakin melemah dengan meningkatnya
suhu pemanasan, sehingga mengganggu kekompakan granula pati. Peningkatan suhu
menyebabkan molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi
sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula pati [116]. Keadaan ini biasa
disebut suhu awal gelatinisasi. Pada suhu tersebut, granula mulai mengembang
secara ireversibel dan beberapa granula pati mulai kehilangan birefringence-nya. Hal
ini mengakibatkan meningkatnya viskositas serta hilangnya struktur kristal pada pati.
Titik di mana suspensi pati mulai menebal dan menunjukkan peningkatan viskositas
disebut suhu pasting, sedangkan suhu gelatinisasi adalah suhu di mana struktur
kristal dari granula telah mencair [113]. Suhu gelatinisasi terjadi dalam rentang suhu
yang berbeda untuk setiap sumber pati yang berbeda pula [95] [10].
Selama proses pemanasan, terjadi pemecahan granula sehingga jumlah amilosa
yang keluar dari granula semakin banyak sehingga kecenderungan untuk terjadinya
retrodegradasi meningkat selama pendinginan [117]. Nilai viskositas setback yang

65
Universitas Sumatera
tinggi pada pati menunjukkan peningkatan viskositas yang tinggi pada saat
pendinginan. Pasta biji alpukat berbentuk gel kental saat dingin daripada saat
pemanasan, sehingga pati biji alpukat mempunyai retrogradasi tinggi selama
pendinginan dan meningkatkan viskositas akhir selama pendinginan [116].
Ginting et al. (2014) menyatakan bahwa temperatur gelatinisasi pati
berpengaruh terhadap sifat kekuatan tarik dan pemanjangan pada saat putus
bioplastik. Gelatinisasi mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling
berdekatan karena adanya ikatan hidrogen, sedangkan temperatur diatas temperatur
gelatinisasi akan mengakibatkan penurunan sifat kekuatan tarik sebesar dikarenakan
pati mengalami pengembungan butiran sehingga butiran pati akan rusak dan
kekentalan larutan akan menurun, sehingga pati mengalami proses retrogradasi.
Semakin tinggi temperatur gelatinisasi maka sifat pemanjangan pada saat putus
semakin besar. [118].

4.7 HASIL SIFAT MEKANIK BIOPLASTIK DARI PATI BIJI ALPUKAT


4.7.1 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis Gliserol
Terhadap Sifat Kekuatan Tarik Bioplastik
Gambar 4.8 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa
mikrokristal dan plastisizer gliserol terhadap sifat kekuatan tarik bioplastik pati biji
alpukat.

Gambar 4.8 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Plastisizer Gliserol


terhadap Sifat Kekuatan Tarik Bioplastik Biji Alpukat

66
Universitas Sumatera
Pada Gambar 4.8 diatas dapat dilihat pengaruh penambahan selulosa
mikrokristal dan plastisizer gliserol terhadap kekuatan tarik bioplastik pati biji
alpukat. Pada Gambar 4.8 terlihat bahwa penambahan massa selulosa mikrokristal
terhadap kekuatan tarik mengalami fluktuasi, begitu juga penambahan pemlastis
gliserol. Nilai kekuatan tarik tertinggi adalah sebesar 2,74 MPa yang diperoleh pada
formulasi pati- selulosa mikrokristal 7:3 dengan penambahan gliserol 0,2 ml/gr (v/w).
Sedangkan nilai kekuatan tarik terendah diperoleh pada formulasi pati- selulosa
mikrokristal 6:4 dan penambahan gliserol 0,4 ml/gr (v/w) dengan nilai kekuatan tarik
sebesar 0,40 MPa.
Kehomogenan bioplastik sangat diperlukan untuk memperoleh bioplastik
dengan karakteristik yang baik. Kehomogenan ini berhubungan dengan kelarutan
filler selulosa mikrokristal dalam pelarut NaOH. Kontturi (2015) melaporkan bahwa
bagian kristalin selulosa dapat larut sebagian dalam larutan NaOH 5-20% setelah
pretreatment yang tepat sedangkan bagian amorf dapat larut dalam NaOH 4% [119].
Dalam penelitian ini digunakan larutan NaOH 5% (w/v) sebagai pelarut. Jumlah
selulosa yang larut dalam NaOH-air tergantung pada derajat polimerisasi dan juga
kristalinitas selulosa [120]. Kristalinitas merupakan sifat penting pada polimer yang
menunjukkan ikatan antara rantai molekul sehingga menghasilkan susunan molekul
yang lebih teratur. Sifat kristalinitas yang tinggi menyebabkan tegangan yang tinggi
dan kaku [121] sehingga sulit untuk dibubarkan (larut). Penggunaan pelarut
bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik dari bioplastik yang dihasilkan.
Selulosa mikrokristal bersifat amfifilik, yaitu memiliki gugus hidrofilik dan
hidrofobik dalam satu molekul [122].
Nilai kekuatan tarik tertinggi yang diperoleh oleh Siagian (2016) dengan filler
selulosa mikrokristal Avicel PH-101, matriks pati kulit singkong dan pelarut yang
sama adalah 1,96 MPa. Siagian (2016) juga melaporkan bahwa rendahnya kekuatan
tarik pada bioplastik dengan pelarut NaOH disebabkan oleh kemampuan larut
selulosa mikrokristal dalam NaOH, yaitu sekitar 25-30% saja [84]. Jika
dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik yang diperoleh, hasilnya tidak jauh
berbeda. Bioplastik yang dihasilkan memiliki nilai kekuatan tarik yang masih rendah.
Dari Gambar 4.9 diatas juga dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya massa
selulosa mikrokristal maka nilai kekuatan tarik juga semakin meningkat.
Penambahan selulosa mikrokristal pada film pati tergelatinisasi mengakibatkan
pengelompokan

67
Universitas Sumatera
ikatan hidrogen intermolekuler yang menyebabkan ikatan molekul amilosa dalam
pati semakin kompak. Sehingga dengan kenaikan ikatan hidrogen ini mempertinggi
kekuatan tarik [123]. Namun terjadi penurunan kekuatan tarik pada penambahan 4
gram selulosa mikrokristal pada semua variasi gliserol. Adanya penyimpangan ini
dikarenakan daya larut selulosa mikrokristal dalam pelarut NaOH semakin berkurang
dengan bertambahnya jumlah selulosa mikrokristal yang akan dilarutkan. Dalam hal
ini batas daya larutnya adalah konsentrasi larutan jenuh. Siagian (2016) melaporkan
bahwa massa pengisi selulosa mikrokristal yang tinggi berkontribusi terhadap
perlambatan interaksi antar molekul bioplastik pati. Hal ini menyebabkan
perkembangan struktur bioplastik menjadi heterogen dan hasil yang diskontinuitas.
Ketidakhomogenan selulosa mikrokristal dengan larutan pati memicu pembentukan
agregat [84]. Adanya penggumpalan (agregat) pada bioplastik dapat dilihat dari hasil
analisa morfologi pada bioplastik.
Kehomogenan penyebaran di dalam matrik polimer juga penting untuk
meningkatkan kekuatan interaksi diantara pengisi dan matriks polimer. Partikel yang
berserakan secara homogen dapat meningkatkan interaksi mulai penyerapan polimer
pada permukaan pengisi. Sebaliknya, partikel yang tidak berserakan secara homogen
mungkin menghasilkan aglomerat dalam matriks polimer. Adanya aglomerat akan
memperkecil luas permukaan dan seterusnya akan melemahkan interaksi diantara
pengisi dan matriks dan mengakibatkan penurunan sifat fisik bahan polimer [124].
Pada Gambar 4.8 juga terlihat bahwa kekuatan tarik cenderung menurun
dengan meningkatnya volume gliserol yang ditambahkan. Kekuatan tarik yang tinggi
dikaitkan dengan banyaknya ikatan hidrogen antara rantai pati. Ikatan ini
memberikan kontribusi pada kekompakan dan fleksibilitas yang rendah. Ketika
gliserol ditambahkan pada jaringan pati, persaingan pada ikatan hidrogen terjadi.
Akibatnya, interaksi langsung antara rantai pati yang sebagian berkurang karena
pembentukan ikatan hidrogen dengan gliserol, mengakibatkan rantai polimer lebih
leluasa bergerak bebas [71]. Molekul gliserol akan mengganggu kekompakan
molekul-molekul penyusun bahan, sehingga interaksi intermolekul menurun dan
mobilitas polimer meningkat. Kondisi ini menyebabkan fleksibilitas edible film
meningkat. Selanjutnya menyebabkan edible film mengalami kemuluran dan
kekuatan tariknya semakin menurun [125]. Namun, terjadi peningkatan kekuatan
tarik pada formulasi pati-

68
Universitas Sumatera
selulosa mikrokristal 7:3 dengan 0,2 ml/gr gliserol kemudian mengalami penurunan
kembali. Penyimpangan ini menurut Abdorreza et al. (2011) adalah kemampuan
pemlastis mengalami kristalisasi pada film bioplastik. Fleksibitas dapat meningkat
dengan penambahan pemlastis, namun dapat memicu terbentuknya kristal pemlastis
didalam film [126].
Kekuatan tarik yang rendah juga disebabkan penggunaan NaOH sebagai
pelarut dalam pembuatan bioplastik. Berdasarkan penelitian Dasuki, dkk., (2013)
yang menyatakan bahwa penambahan NaOH mempengaruhi karakteristik film
bioplastik tepung porang, namun tidak menunjukkan perbedaan gugus fungsi yang
terbentuk. Semakin besar penambahan NaOH, sifat kekuatan tarik, modulus elastis,
dan derajat penggembungan film bioplastik cenderung menurun [127]. Begitu pula
jika konsentrasi NaOH yang digunakan semakin besar, maka kekuatan tarik akan
semakin menurun [128]. Febrianto dkk. (2014) menyatakan bahwa semakin banyak
konsentrasi alkali yang digunakan, proses gelatinisasi pati terjadi dengan cepat dan
memberikan tingkat kelunakan yang besar pada sampel [129].

4.7.2 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis Gliserol


Terhadap Pemanjangan Pada Saat Putus Bioplastik
Gambar 4.9 dibawah ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa
mikrokristal dan pemlastis gliserol terhadap pemanjangan pada saat putus bioplastik
pati biji alpukat.

Gambar 4.9 Pengaruh Penambahan Selulosa Mikrokristal dan Gliserol terhadap


Pemanjangan Saat Putus Bioplastik Pati Biji Alpukat

69
Universitas Sumatera
Perpanjangan pada saat putus adalah kemampuan perpanjangan film dari
panjang awal ke titik pemutusan [37]. Moraes et al. (2009) melaporkan bahwa
pemanjangaan pada saat putus (E%) didefinisikan sebagai kemampuan film untuk
terderformasi sebelum akhirnya putus [130]. Pemanjangan pada saat putus (E%)
dapat dijadikan sebagai parameter untuk menentukan fleksibilitas dan kemampuan
merenggang film bioplatik [37].
Pada Gambar 4.9 diatas dapat dilihat pengaruh penambahan selulosa
mikrokristal dan pemlastis gliserol terhadap nilai pemanjangan saat putus bioplastik
pati biji alpukat. Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa dengan bertambahnya massa
selulosa mikrokristal maka nilai pemanjangan saat putus bioplastik semakin
menurun. Sedangkan dengan bertambahnya volume gliserol, nilai pemanjangan saat
putus bioplastik semakin meningkat. Nilai pemanjangan saat putus tertinggi
diperoleh pada bioplastik dengan penambahan selulosa mikrokristal sebesar 1 gram
serta gliserol 0,4 ml/gr yaitu sebesar 13,36%. Sedangkan nilai pemanjangan saat
putus bioplastik terendah diperoleh pada penambahan selulosa mikrokristal sebanyak
3 gram dan gliserol 0,1 ml/gr yaitu sebesar 2,50%.
Meningkatnya nilai pemanjangan pada saat putus bioplastik akibat
penambahan konsentrasi gliserol adalah karena plastisizer menurunkan obligasi
antarmolekul antara amilosa, amilopektin dan amilosa-amilopektin dari matriks pati,
sehingga terjadi pembentukan ikatan hidrogen antarmolekul plastisizer dan pati.
Rekontruksi rantai molekul pati ini akan mengurangi kekakuan dan meningkatkan
fleksibilitas film [37]. Zavareze et al. (2012) melaporkan bahwa pemanjangan bahan
polimer tergantung pada mobilitas rantai molekul mereka [131]. Sedangkan
menurunnya nilai pemanjangan pada saat putus akibat penambahan massa selulosa
disebabkan karena peran gliserol sebagai pemlastis berkurang karena selulosa
mikrokristal yang cenderung lebih aktif berinteraksi hidrogen dengan monomer lain
pada bioplastik [1]. Namun, terjadi penyimpangan pada formulasi pati dan selulosa
mikrokristal 6:
4 dengan penambahan gliserol 0,1 ml/gr dimana terjadi penurunan nilai pemanjangan
pada saat putus dengan bertambahnya gliserol. Plastisizer dapat mengurangi elongasi
dan permeabilitas gas, dan meningkatkan kekuatan tarik dan modulus elastisitas film
ketika plastisizer ditambahkan dalam jumlah rendah (umumnya < 25%).
Penambahan pastisizer pada kisaran rendah untuk tingkat konsentrasi menengah
(1% - 25%)

70
Universitas Sumatera
memfasilitasi pembentukan kristal dalam film pati, yang mengarah ke perilaku
antipastisizer. Hal ini disebabkan oleh gerakan dari rantai polimer yang
menyebabkan tersingkirnya molekul air dan plastisizer secara bertahap
mengakibatkan amilosa dan amilopektin membentuk ikatan hidrogen yang kuat
sehingga terjadi rekristalisai atau retrodradasi [132]. Hasil penelitian Sanyang et al.
(2015) juga menunjukkan penurunan secara signifikan nilai pemanjangan pada saat
putus dari 61.63% ke 28.39% pada film pati aren dengan penambahan gliserol dari
30% ke 45% [37].

4.8 HASIL UJI BIODEGRADASI BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT


DENGAN SELULOSA MIKROKRISTAL DAN PEMLASTIS
GLISEROL
Pengujian kemampuan biodegradasi bertujuan untuk mengetahui laju degradasi
bioplastik sehingga dapat diperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan
bioplastik hingga terurai. Uji kemampuan biodegradasi dilakukan dengan
membandingkan metode soil burial test (sampel ditanam di dalam tanah) dan sampel
diletakkan di atas tanah. Pengujian kemampuan biodegradasi ini dilakukan pada
sampel bioplastik dengan sifat mekanik yang terbaik, yaitu bioplastik dengan
formulasi pati- selulosa mikrokristal 7 : 3 dengan penambahan gliserol 0.2 ml/gr.
Pengujian dilakukan pada empat buah sampel bioplastik.
Biodegradasi di atas tanah dilakukan dengan meletakkan sampel diatas tanah
yang tidak langsung terkena curahan hujan mengingat sampel bisa saja hilang
terbawa arus air atau tertiup angin. Dewi dkk. (2012) berpendapat bahwa apabila
pengujian dilakukan langsung di alam terbuka (in-situ) akan sangat sulit mengontrol
keamanan dari sampel-sampel uji dan ada kemungkinan sampel hilang dimakan oleh
hewan yang berada disekitar sawah tersebut. Di samping itu, kondisi cuaca seperti
panas dan hujan juga tidak bisa dikontrol yang juga akan mempengaruhi kecepatan
penguraian sampel film plastik yang diuji [133].
Biodegradasi dengan metode soil burial test dilakukan dengan menanam
sampel bioplastik di dalam tanah pada kedalaman 30 cm dengan menjaga kestabilan
suhu dan kelembaban tanah. Akan tetapi metode ini memiliki banyak kekurangan
jika digunakan pada sampel edible film. Metode ini tidak dapat membedakan dan
mengontrol apakah pengurangan berat sampel lebih disebabkan karena aktivitas

71
Universitas Sumatera
mikroorganisme ataukah oleh degradasi absorbsi air yang masuk ke dalam film. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pengontrolan sifat fisika dan kimia dari tanah yang
digunakan seperti konsentrasi air dalam air yang tidak terlalu tinggi [79][34].
Pemilihan kedua media biodegradasi ini karena mewakili salah satu kondisi
lingkungan di alam dimana biasanya limbah plastik dibuang begitu saja di atas
permukaan tanah (tanpa dikubur) dan seiring bertambahnya waktu, akibat aktivitas
manusia dan kondisi cuaca, plastik akan terkubur sendirinya didalam tanah. Sehingga
penelitian ini dapat membandingkan kemampuan biodegradasi bioplastik dari dua
media yang berbeda.
Perbandingan kemampuan biodegradasi bioplastik dengan metode soil burial
test dan di atas permukaan tanah disajikan pada Gambar 4.10 di bawah ini.

Biodegradasi di dalam tanah


Biodegradasi di permukaan tanah

120

100
Fraksi Berat Residual

80

60

40

20

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (Hari)

Gambar 4.10 Perbandingan Kemampuan Biodegradasi Bioplastik dengan metode soil


burial test dan di atas permukaan tanah
Melalui grafik di atas dapat dilihat bahwa waktu degradasi mempengaruhi
berat dari sampel bioplastik pati biji alpukat. Dari gambar terlihat bahwa tingkat
kemampuan biodegradasi dari bioplastik yang ditanam didalam tanah lebih tinggi
dibandingkan daripada sampel yang diletakkan diatas tanah dimana fraksi berat yang
sisa semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Hal yang sama juga dilaporkan
oleh Ochi (2011) bahwa spesimen dengan bagian yang banyak berkontak langsung
dengan mikroba di dalam tanah akan terurai lebih awal [134]. Hal tersebut dapat
terjadi karena gliserol dan pati memiliki gugus OH yang dapat menginisiasi reaksi
hidrolisis setelah mengabsorbsi air dari tanah. Sehingga polimer pati akan
terdekomposisi

72
Universitas Sumatera
menjadi potongan-potongan kecil hingga menghilang dalam tanah. Polimer akan
terdegradasi karena proses kerusakan atau penurunan mutu akibat putusnya ikatan
rantai pada polimer [87]. Lazuardi dan Cahyaningrum (2013) juga melaporkan
bahwa penambahan gliserol akan menyebabkan film pati memiliki kemampuan daya
serap air yang tinggi, mempengaruhi kekuatan rantai dan tingginya gaya antar rantai
dari ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang menyebabkan mudah
berinteraksi dengan adanya aktivitas beberapa mikroba yang terdapat pada tanah
[135].
Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai
dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan
polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process)
adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim
(intracellular, extracellular) [136].

4.9 HASIL ANALISA MORFOLOGI PUTUSAN BIOPLASTIK


Karakteristik morfologi permukaan patahan ditunjukkan dengan analisa
Scanning Electron Microscopy (SEM). Gambar 4.11 diibawah ini menampilkan
karakteristik hasil analisa morfologi putusan bioplastik tanpa pengisi selulosa
mikrokristal dan bioplastik dengan formulasi pati biji alpukat dan selulosa
mikrokristal 7:3 serta gliserol 0,2 ml/gr dengan perbesaran 1000x.

(a) (b)
Gambar 4.11 Hasil Analisa Morfologi Putusan (a) Bioplastik Tanpa Pengisi Selulosa
Mikrokristal dengan Pemlastis Gliserol dan (b) Bioplastik Pati Biji
Alpukat dengan Selulosa Mikrokristal dan Pemlastis Gliserol
Dari Gambar 4.11 diatas dapat dilihat hasil analisa morfologi patahan uji
kekuatan tarik bioplastik. Pada hasil analisa SEM bioplastik pati biji alpukat tanpa

73
Universitas Sumatera
pengisi selulosa mikrokristal (Gambar 4.11 (a)) menunjukkan permukaan matriks
yang tidak halus dan rata. Hal ini disebabkan oleh pati yang tidak menyatu sehingga
mengakibatkan terbentuknya fraksi kosong dan aglomerasi (penggumpalan). Dari
hasil analisa kandungan amilosa dan amilopektin diperoleh kandungan amilosa
dalam pati biji alpukat sangat rendah, yaitu hanya 0,07% sedangkan amilopektin
sebesar 73,55%. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi yang
terlarut disebut amilosa sedangkan yang tidak larut disebut amilopektin [40]. Tidak
larutnya amilopektin menyebabkan bioplastik tanpa pengisi selulosa mikrokristal
memiliki kekuatan tarik rendah.
Pada (Gambar 4.11 (b)) yang merupakan bioplastik berpengisi selulosa
mikrokristal, terlihat permukaan matriks yang lebih kompak dan padu. Namun,
masih terlihat adanya fraksi kosong. Retakan yang terjadi pada bioplastik tersebut
diduga diakibatkan oleh selulosa mikrokristal yang tidak larut sempurna didalam
larutan NaOH 5%. Siagian (2016) melaporkan bahwa kemampuan larut selulosa
mikrokristal dalam larutan NaOH 5% hanya sekitar 25-30% saja [84]. Sehingga,
diperoleh struktur yang kurang rapat dan terdapat retakan. Dengan kurang rapatnya
struktur dan retakan tersebut menyebabkan air akan terserap lebih banyak. Gambar
tersebut juga menunjukkan permukaan yang kurang halus dan berpori. Permukaan
yang tidak halus tersebut mengindikasikan bahwa film kurang homogen [1].

74
Universitas Sumatera
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Dari hasil analisis kadar pati, amilosa, amilopektin, protein, lemak, spektrum
(FT-IR) dan sifat pasting pati biji alpukat, serta uji kekuatan tarik, uji pemanjangan
pada saat putus, analisa morfologi (SEM), uji kemampuan biodegradasi bioplastik
pati biji alpukat dengan selulosa mikrokristal dan plasticizer gliserol dapat diambil
beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Karakteristik hasil analisa kristalinitas dan diameter kristal selulosa
mikrokristal dari serat ijuk dengan menggunakan XRD diperoleh kristalinitas
sebesar 97,5% dan diameter kristal sebesar 25,08 nm.
2. Karakteristik hasil analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan
morfologi selulosa mikrokristal dari serat ijuk berbentuk batang (rod-shape)
yang berbelit-belit dengan diameter yaitu 5,55-9,44 µm.
3. Karakteristik hasil analisa pati biji alpukat diperoleh kadar pati sebesar 73,62%,
kadar air 16,60%, kadar abu 0,23%, kadar amilosa 0,07%, kadar amilopektin
73,55%, kadar protein 2,16% dan kadar lemak sebesar 1,09%.
4. Karakteristik hasil analisa pasting diperoleh pati biji alpukat memiliki
temperatur gelatinisasi yakni 81,70oC, peak viscosity pada 95,05 oC sebesar
4934 cP dan viskositas breakdown sebesar 540 cP.
5. Karakteristik hasil analisa FT-IR terhadap spektrum pati biji alpukat diperoleh
gugus yang menandakan keberadaan amilosa dan amilopektin serta gula
pereduksi (C6H10O5)n. Serat ijuk diperoleh gugus yang mengindikasikan
keberadaan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada selulosa mikrokristal tidak
ditemukannya beberapa gugus yang menunjukkan hilangnya lignin setelah
proses delignifikasi dan bleaching. Bioplastik pati biji alpukat dengan
plasticizer gliserol diperoleh gugus yang sama dengan bioplastik pati biji
alpukat dengan selulosa mikrokristal dan plasticizer gliserol dengan gugus O-H
bertambah akibat penambahan selulosa mikrokristal.
6. Hasil analisa sifat kekuatan tarik (Tensile Strength) bioplastik pati biji alpukat
dengan selulosa mikrokristal dan plasticizer gliserol terbaik yang diperoleh

75
Universitas Sumatera
adalah pada komposisi pati : selulosa mikrokristal 7: 3 (w/w) dan gliserol 0,2
ml/gr dimana nilai kekuatan tarik adalah sebesar 2,74 MPa.
7. Hasil analisa sifat pemanjangan pada saat putus (Elongation at Break)
bioplastik pati biji alpukat dengan selulosa mikrokristal dan plasticizer gliserol
terbaik yang diperoleh adalah formulasi pat- selulosa mikrokristal 9: 1 serta
gliserol 0,4 ml/gr yaitu sebesar 13,36%.
8. Karakteristik hasil analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) bioplastik pati
biji alpukat dengan selulosa mikrokristal dan plasticizer gliserol diperoleh pada
daerah patahan hasil analisa kekuatan tarik bioplastik terdapat retakan dan
permukaan yang tidak rata akibat tidak larutnya selulosa mikrokristal didalam
larutan NaOH.
9. Hasil uji kemampuan biodegradasi bioplastik menunjukkan bahwa waktu
degradasi mempengaruhi berat dari sampel bioplastik pati biji alpukat.
Kemampuan biodegradasi dari bioplastik yang ditanam didalam tanah lebih
tinggi dibandingkan sampel yang diletakkan diatas tanah dimana fraksi berat
yang sisa semakin menurun dengan bertambahnya waktu.

5.2 SARAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rendahnya kekuatan tarik dari
bioplastik yang dihasilkan salah satunya disebabkan oleh penambahan NaOH sebagai
pelarut selulosa mikrokristal. Perlu dikaji penelitian selanjutnya mengenai:
1. Pengaruh penambahan NaOH sebagai pelarut selulosa mikrokristal dalam
pembuatan bioplastik.
2. Pengaruh penggunaan pelarut dalam pembuatan bioplastik dari pati biji alpukat.

76
Universitas Sumatera
DAFTAR PUSTAKA

[1] W. Setiani, T. Sudiarti, and L. Rahmidar, “Preparasi Dan Karakterisasi Edible


Film Dari Poliblend Pati,” vol. 3, no. 2, 2013.
[2] A. Susanti, “Pemanfaatan Limbah Plastik dan Serbuk Kayu Sengon sebagai
Bahan Komposit Plastik,” Universitas Gadjah Mada, 2014.
[3] M. J. V. Ulloa and M. G. PunínBurneo, “Development of Starch Biopolymers
from Waste Organic Materials (Cassava Peel) and Natural Fiber (Agave),”
vol. 2, no. 11, pp. 728–736, 2012.
[4] A. Soroudi and I. Jakubowicz, “Recycling of bioplastics , their blends and
biocomposites : A review,” Eur. Polym. J., no. July, 2013.
[5] S. Pilla, Handbook of Bioplastics and Biocomposites Engineering
Applications. Madison-USA: John Wiley and Son inc, 2011.
[6] J. S. Alves, K. C. Reis, E. G. T. Menezes, F. V Pereira, and J. Pereira, “Effect
of Cellulose Nanocrystals and Gelatin in Corn Starch Plasticized Films,”
Carbohydr. Polym., vol. 14, pp. 1–36, 2014.
[7] Y. Zhang, C. Rempel, and D. Mclaren, “Thermoplastic Starch,” in Innovations
in Food Packaging, Canada: Elsevier Ltd, 2014, pp. 389–410.
[8] Firmansyah, I. U. Suarni, and M. Aqil, “Keragaman Mutu Pati Beberapa
Varietas Jagung,” Penelit. Pertan. Tanam. Pangan, vol. 32, no. 1, 2013.
[9] Maryam, A. Kasim, and Santosa, “Utilization Starch of Avocado Seed (Persea
Americana Mill.) as a Raw Material for Dextrin,” J. Food Sci. Eng., vol. 6, pp.
32–37, 2016.
[10] A. Chandra, H. M. Inggrid, and Verawati, “Pengaruh pH dan Jenis Pelarut
pada Perolehan dan Karakterisasi Pati dari Biji Alpukat,” Lemb. Penelit. dan
Pengabdi. Masy., vol. 03, no. 7, pp. 30–39, 2013.
[11] Sumaiyah, B. Wirjosentono, Karsono, M. P. Nasution, and S. Gea,
“Preparation and Characterization of Nanocrystalline Cellulose from Sugar
Palm Bunch ( Arenga pinnata (Wurmb) Merr.),” nternational J. PharmTech
Res., vol. 6, no. 2, pp. 814–820, 2014.
[12] I. Ahmad and N. Johar, “Influence of Cellulose Nanocrystals ( CNC ) from
Rice Husk on the Properties of Cassava Starch Biocomposites,” Sci. Coop. Int.
Work. Eng. Branches, no. August, pp. 175–177, 2014.

77
Universitas Sumatera
[13] J. Sahari, S. M. Sapuan, Z. N. Ismarrubie, and M. Z. A. Rahman, “Physical
and Chemical Properties of Different Morphological Parts of Sugar Palm
Fibres,” vol. 2, no. 91, pp. 21–24, 2012.
[14] Zulharmita, S. Nola Dewi, and Mahyuddin, “Pembuatan Mikrokristalin
Selulosa dari Ampas Tebu (Saccharum officinarum L.),” J. Sains dan Teknol.
Farm., vol. 17, no. 2, pp. 158–163, 2012.
[15] B. S. A. Hamid and Z. Z. Chowdhury, “com Catalytic Extraction of
Microcrystalline Cellulose (MCC) from Elaeis guineensis using Central
Composite Design (CCD),” vol. 9, no. Mcc, pp. 7403–7426, 2014.
[16] Y. Darni, “Penentuan Kondisi Optimum Ukuran Partikel dan Bilangan
Reynold Pada Sintesis Bioplastik Berbasis Sorgum,” J. Rekayasa Kim. dan
Lingkung., vol. 8, no. 2, pp. 95–103, 2011.
[17] F. Ratmawati Malaka and M. Taufik, “Pengaruh Variasi Persentase Gliserol
sebagai Plastisizer terhadap Sifat Mekanik Edible Film dari Kombinasi Whey
Dangke dan Agar,” Universitas Hasanuddin, 2012.
[18] M. H. S. Ginting, M. F. R. Tarigan, and A. M. Singgih, “Effect of
Gelatinization Temperature and Chitosan on Mechanical Properties of
Bioplastics from Avocado Seed Starch (Persea americana mill) with
Plasticizer Glycerol,” Int. J. Eng. Sci., vol. 4, no. 12, pp. 36–43, 2015.
[19] M. Šprajcar, P. Horvat, and A. Kržan, “Biopolymers and Bioplastics,”
Ljubljana, 2012.
[20] K. J. Seal, “Test Methods and Standards for Biodegradable Plastics,” in
Chemistry and Technology of Biodegradable Polymer, 1994.
[21] “What are bioplastics?,” European Bioplastics, Berlin, pp. 19–20, 2015.
[22] M. B. Agustin, E. R. P. De Leon, J. L. Buenaobra, S. M. M. Alonzo, F. M.
Patriana, F. Hirose, and B. Ahmmad, “Starch Based Bioplastics Reinforced
with Cellulose Nanocrystals from Agricultural Residues,” in International
Conference on Advances in Engineering and Technology (ICAET’2014),
2014, pp. 593–597.
[23] W. M. Putra, “Pengaruh Penambahan Selulosa Mahkota Nanas dalam
Pembuatan Plastik Biodegradable dari Pati Umbi Gadung (Dioscorea densst)
dengan menggunakan Plastisizer Gliserin,” Politeknik Negeri Sriwijaya, 2015.

78
Universitas Sumatera
[24] L. Avérous, “Polylactic Acid: Synthesis, Properties and Applications,” in
Monomers, Polymers and Composites from Renewable Resources, 2008, pp.
433–449.
[25] L. Liu, J. L. Kennedy, and P. K. Joseph, “Selection of Optimum Extraction
Technology Parameters in The Manufacture of Edible/Biodegradable
Packaging Film Derivated from Food Based Polymers,” J. Agric. Environ.,
vol. 3, 2005.
[26] W. Banks and C. T. Greenwood, Starch Its Components. New York: John
Wiley and Sons, 1975.
[27] S. Koswara, “Pengolahan Singkong,” in Teknologi Pengolahan Umbi-
Umbian, Bogor: Southeast Asian Food and Agricultural Science and
Technology (SEAFAST) Center, 2013.
[28] H. Herawati, “Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai
Pangan Fungsional,” J. Litbang Pertan., vol. 30, no. 024, 2011.
[29] M. Rohmah, “Kajian Kandungan Pati, Amilosa dan Amilopektin Tepung dan
Pati pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp),” Pros. Semin. Nas. Kim.
2013, pp. 223–227, 2013.
[30] E. Perez and M. Lares, “Chemical Composition, Mineral Profile, and
Functional Properties of Canna (Canna edulis) and Arrow Root (Maranta
spp.) Starches,”
J. Plant Foods Hum. Nutr., vol. 60, no. 3, pp. 113–116, 2005.
[31] A.-C. Elliasson, Starch in Food: Structur, Function and Applications, First
Publ. Cambridge: Woodhead Publishing Limited, 2004.
[32] J. BeMiller and R. Whistler, Starch: Chemistry and Technology. USA:
Elsevier, 2009.
[33] D. Chandanasree, K. Gul, and C. S. Riar, “Effect of Hydrocolloids and Dry
Heat Modification on Physicochemical, Thermal, Pasting and Morphological
Characteristics of Cassava (Manihot esculenta) Starch,” Food Hydrocoll.,
2015.
[34] A. Erfan, “Sintesis Bioplastik dari Pati Ubi Jalar Menggunakan Penguat
Logam ZnO dan Penguat Alami Kitosan,” Universitas Indonesia, 2012.
[35] S. Widyaningsih, D. Kartika, and Y. Tri Nurhayati, “Pengaruh Penambahan
Sorbitol dan Kalsium Karbonat terhadap Karakteristik dan Sifat Biodegradasi
Film dari Pati Kulit Pisang,” Molekul, vol. 7, no. 1, pp. 69–81, 2012.

79
Universitas Sumatera
[36] R. F. Sinaga, G. M. Ginting, and R. Hasibuan, “Pengaruh Penambahan
Gliserol terhadap Sifat Kekuatan tarik dan Pemanjangan Saat Putus Bioplastik
dari Pati Umbi Talas,” J. Tek. Kim. USU, vol. 3, no. 2, pp. 19–24, 2014.
[37] M. L. Sanyang, S. M. Sapuan, M. Jawaid, M. R. Ishak, and J. Sahari, “Effect
of Plasticizer Type and Concentration on Tensile, Thermal and Barrier
Properties of Biodegradable Films Based on Sugar Palm (Arenga pinnata)
Starch,” Polymers (Basel)., vol. 7, pp. 1106–1124, 2015.
[38] M. Tako, Y. Tamaki, T. Teruya, and Y. Takeda, “The Principles of Starch
Gelatinization and Retrogradation,” Food Nutr. Sci., vol. 5, pp. 180–291,
2014.
[39] N. A. Amin, “Pengaruh Suhu Fosforilasi terhadap Sifat Fisikokimia Pati
Tapioka Termodifikasi,” Universitas Hasanuddin, 2013.
[40] F. G. Winarno, Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2002.
[41] R. L. Whistler and J. R. Daniel, “Carbohydrates,” in Food Chemistry, 1985.
[42] J. J. . Swinkels, “Source of Starch, Its Chemistry and Physics,” in Starch
Conversion Technology, 1985.
[43] J. S. Zielinska and T. Fortuna, “Retrodegradation of Starches and
Maltodekstrin of Origin Various,” Acta Sci. Pol., Technol, vol. 9, no. 1, pp.
71–81, 2010.
[44] R. Amalia, “Karakterisasi Fisikokimia dan Fungsional Tepung Komposit
Berbahan Dasar Beras, Ubi Jalar, Kentang, Kedelai, dan Xanthan Gum,”
Universitas Sumatera Utara, 2013.
[45] L. S. Weatherby, Composition of Avocado Seed, 19th ed. Los Angeles:
California Avocado Association, 1934.
[46] D. H. Kartika, Mutmainah, and Mufrod, “Pengaruh Peningkatan Konsentrasi
Pati Biji Alpukat (Persea americana Mill.) Sebagai Pengikat terhadap
Karakteristik Fisik Granul dan Tablet Ekstrak Akar Alang- Alang (Imperata
cylindrica Linn.),” Maj. Obat Tradis., vol. 17, no. 2, pp. 22–26, 2012.
[47] P. L. King, P. F. Mcmillan, and G. M. Moore, “Infrared Spectroscopy of
Silicate Glasses with Application to Natural Systems,” in Infrared
Spectroscopy in Geochemistry, Exploration Geochemistry and Remote
Sensing, 2004, vol. 33, pp. 93–133.
[48] M. P. Stevens, Kimia Polimer, Cetakan Pe. Jakarta, 2001.

80
Universitas Sumatera
[49] P. Purworini, “Pemanfaatan Mikrokristal Selulosa Limbah Tandan Kelapa
Muda (Cocos nucifera Linn) Sebagai Bahan Pengisi dalam Film Layak Makan
Pati Tapioka dengan Gliserol sebagai Plastisiser,” Universitas Sumatera Utara,
2013.
[50] K. Sumada, P. E. Tamara, and F. Alqani, “Kajian Proses Isolasi Alpha-
Selulosa dari Limbah Batang Tanaman Manihot esculenta crantz yang
Efisien,” J. Tek. Kim., vol. 5, no. 2, 2011.
[51] E. Sjöström, Kimia Kayu Dasar–Dasar dan Penggunaannya, Edisi 2.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.
[52] Y. J. Oyeniyi and O. A. Itiola, “The Physicochemical Characteristic of
Microcrystalline Cellulose, Derived from Sawdust, Agricultural Waste
Products,” Int. J. Pharm. Pharm. Sci., vol. 4, no. 2, pp. 3–6, 2012.
[53] M. Achor, O. Yj, and A. Yahaya, “Extraction and characterization of
microcrystalline cellulose obtained from the back of the fruit of Lageriana
siceraria (water gourd),” J. Appl. Pharm. Sci., vol. 4, no. 01, pp. 57–60, 2014.
[54] M. Vecchi, R. De Francis, and F. S. Dioguardi, “A New Effective Therapeutic
Approach to Chronic Constipation,” in Abstract of Invited Lectures,
Constipation and Anorectal Insufficiency, 1996.
[55] E. K. Artati, F. I. W. H, and Fatimah, “Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam
Terhadap Kinetika Rekasi Hidrolisis Pelepah Pisang (Musa Paradisiaca L),”
EKUILIBRIUM, vol. 11, no. 2, pp. 73–77, 2012.
[56] D. B. Effendi, N. H. Rosyid, A. Bayu, D. Nandiyanto, and A. Mudzakir,
“Review: Sintesis Nanoselulosa,” J. Integr. Proses, vol. 5, no. 2, pp. 61–74,
2015.
[57] Supranto, Proses Industri Kimia II. Yogyakarta: Teknik Kimia FT UGM, 1998.
[58] M. S. Jahan, A. Saeed, Z. He, and Y. Ni, “Jute as Raw Material for The
Preparation of Microcrystalline Cellulose,” Cellulose, vol. 18, no. 2, pp. 451–
459, 2011.
[59] M. S. Salit, “Tropical Natural Fibres and Their Properties,” Eng. Mater., vol.
9, no. 124, p. 109, 2014.
[60] “Glycerol,” UNEP Publications, Paris, 2002.
[61] Q. P. Zhong and W. S. Xia, “Physicochemical Properties of Edible and

81
Universitas Sumatera
Preservative Films from Chitosan/Cassava Starch/Gelatin Blend Plasticized
with Glyserol,” Food Technol. Biotechnol, vol. 46, no. 3, pp. 262–269, 2007.
[62] I. Juliyarsi, S. Melia, and A. Sukma, “The Quality of Edible Film by Using
Glycerol as Plastisizer,” Pakistan J. Nutr., vol. 10, no. 9, pp. 884 – 887, 2011.
[63] F. Firdaus, “Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung Tapioka sebagai
Bahan Baku Film Plastik Biodegradabel,” LOGIKA, vol. 1, no. 2, pp. 38–44,
2004.
[64] A. D. J. Frinault, B. Gallant, Bouchet, and J. . Dumont, “Preparation of Casein
Film by A Modified Wet Spinning Process,” J. Food Sci., vol. 62, no. 4, pp.
744–747, 1997.
[65] H. Yamada, K., Takahashi, and A. Noguchi, “Improved Water Resistance in
Edible Zein Films and Composites for Biodegradable Food Packaging,” Int. J.
Food Sci. Technol., vol. 30, pp. 599–608, 1995.
[66] C. P. B. Melo, M. V. E. Grossmann, F. Yamashita, E. Y. Youssef, L. H. Dall
Antonia, and S. Mali, “Effect of Manufacturing Process and Xanthan Gum
Addition on The Properties of Cassava Starch Films,” J. Polym. Env., vol. 19,
pp. 739–749, 2011.
[67] Tabrani, Emping Jagung: Teknologi dan Kendalanya. Bandung: Institut
Teknologi Bandung, 1997.
[68] S. Wijana, I. Nurika, and E. Habibah, “Analisis Kelayakan Kualitas Tapioka
Berbahan Baku Gaplek (Pengaruh Asal Gaplek Dan Kadar Kaporit Yang
Digunakan),” J. Teknol. Pertan., vol. 10, no. 2, pp. 97–105, 2009.
[69] A. Triyono, “Peningkatan Fungsional Pati dari Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)
dengan Enzim Alfa-Amilase (Bacillus subtilis) sebagai Bahan Substitusi
Pengolahan Pangan,” J. Sains MIPA, vol. 13, no. 1, pp. 60–66, 2007.
[70] Martunis, “Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan
Kualitas Pati Kentang Varietas Granola,” J. Teknol. dan Ind. Pertan. Indones.,
vol. 4, no. 3, 2012.
[71] M. A. Bertuzzi, “Mechanical properties of a high amylose content corn starch
based film , gelatinized at low temperature Propriedades mecânicas de filme a
base de amido de milho,” Brazilian J. Food Technol., vol. 15, no. 3, pp. 219–
227, 2012.
[72] A. M. Legowo, “Analisis Pangan,” Semarang, 2004.

82
Universitas Sumatera
[73] J. S. Higley, J. E. Nelson, and K. C. Huber, “The Rapid Visco Analyzer as a
Toolfor Differentiating Potato Genotypes on The Basis of Starch Pasting
Properties,” University of Idaho, 2001.
[74] D. Listiyaningsih, “Manufacture and Characterization of Dioscorea esculenta
Starch-Chitosan with Plasticizer Polyvinyl Alcohol (PVA),” Universitas
Negeri Semarang, Semarang, 2013.
[75] Basri, M. W. Suhadirman, and Razali, “Analisa Kekuatan Tarik Komposit
Polimer Diperkuat Serat Rotan (Calamus Inops Becc) Untuk Bangunan Kapal
Fiber Reinforced Plastics (FRP),” J. Ilm. Mhs., vol. 1, no. 1, pp. 154–158,
2012.
[76] V. L. Vlack, Ilmu dan Teknologi Bahan, Edisi Keli. Penerbit Erlangga, 1989.
[77] M. S. Madruga, F. S. M. de Albuequerque, I. R. A. Silva, D. S. do Amaral, M.
Magnani, and V. Q. Neto, “Chemical, Morphological and Functional
Properties of Brazilian Jackfruit (Artocarpus Heterophyllus) Seeds Starch,”
Elsevier Food Chem., vol. 143, pp. 440–445, 2014.
[78] M. S. Alger, Polymer Science Dictionary. London: Elsevier Applied Science,
1990.
[79] E. S. Marbun, “Sintesis Bioplastik dari Pati Ubi Jalar Menggunakan Penguat
Logam ZnO dan Penguat Alami Selulosa,” Universitas Indonesia, 2012.
[80] S. Kalia, Biodegradable Green Composites, no. 16 Februari. John Wiley &
Sons, 2016.
[81] W. Schnabel, Polymer Degradation, Principles and Particle Applications.
New York: MacMillan Publ. Co. Inc., 1981.
[82] A. Halim, E. S. Ben, and E. Sulastri, “Pembuatan Mikrokristalin Selulosa dari
Jerami Padi (Oryza sativa Linn) dengan Variasi Waktu Hidrolisa,” J. Sains
dan Teknol. Farm., vol. 7, no. 2, 2002.
[83] Maulida, M. Siagian, and P. Tarigan, “Production of Starch Based Bioplastic
from Cassava Peel Reinforced with Microcrystalline Celllulose Avicel PH101
Using Sorbitol as Plasticizer,” J. Phys. Conf. Ser. 710, 2016.
[84] M. Siagian, “Pembuatan Bioplastik dari Pati Kulit Singkong (Manihot
esculenta) Berpengisi Mikrokristalin Selulosa AVICEL PH-101 (Wood Pulp)
dengan Plastisizer Sorbitol,” Universitas Sumatera Utara, 2016.
[85] Q. Wang, Q. Chen, H. Niida, N. Mitsumura, and T. Endo, “Effect of Water

83
Universitas Sumatera
Content on Crystalline Structure of Ionic Liquids Mixture Pretreated
Microcrystalline Cellulose (MCC),” Mater. Sci. Appl., vol. 5, no. March, pp.
183–192, 2014.
[86] A. Dufresne, J. Caville, and M. Vignon, “Mechanical Behavior of Sheets
Prepared from Sugar Beet Cellulose Microfibrils,” J. Appl. Polym. Sci., vol.
64, pp. 1185–1194, 1997.
[87] Z. Anita, F. Akbar, H. Harahap, D. T. Kimia, F. Teknik, and U. S. Utara,
“Effect of Glycerol Addition on Mechanical Properties of Biodegradabilty
Film from Cassava Peel Starch,” J. Chem. Eng. USU, vol. 2, no. 2, pp. 37–41,
2013.
[88] W. Rahmawati, Y. A. Kusumastuti, and N. Aryanti, “Characterization of Taro
Starch (Colocasia esculenta (L.) schott) as Alternative Sources of Starch
Industry in Indonesia,” J. Chem. Technol. Ind., vol. 1, no. 1, pp. 347–351,
2012.
[89] J. E. Manatar, J. Pontoh, and M. J. Runtuwene, “Analisis Kandungn Pati
dalam Batang Tanaman Aren (Arenga pinnata),” J. Ilm. Sains, vol. 12, no. 2,
2012.
[90] L. Yu, Biodegradable Polymer Blends and Composites from Renewable
Resources. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009.
[91] L. P. Malangngi, M. S. Sangi, and J. J. E. Paendong, “Penentuan Kandungan
Tanin dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat ( Persea
americana Mill .),” J. MIPA UNSRAT, vol. 1, no. 1, pp. 5–10, 2012.
[92] Arukwe, B. A. Amadi, M. K. C. Duru, E. N. Agomuo, E. A. Adindu, P. C.
Odika, K. C. Lele, L. Egejuru, and J. Anudike, “Chemical Composition of
Persea Americana Leaf, Fruit and Seed,” IJRRAS, vol. 11, no. May, pp. 346–
349, 2012.
[93] M. N. Afidin, Y. Hendrawan, and R. Yulianingsih, “Analisis Sifat Fisik dan
Kimia pada Pembuatan Tepung Umbi Uwi Ungu (Discorea alata), Uwi
Kuning (Discorea alata) dan Uwi Putih (Discorea alata),” J. Keteknikan
Pertan. Trop. dan Biosist., vol. 2, no. 3, pp. 297–303, 2014.
[94] G. Sumnu, M. K. Ndife, and L. Bayindirh, “Effect of Sugar, Protein, and
Water content on Wheat Starch Gelatinization due to Microwave Heating,”
Eur. Food Res Techonology, vol. 209, pp. 68–71, 1999.
[95] F. Xie, H. Liu, P. Chen, T. Xue, L. Chen, L. Yu, and P. Corrigan, “Starch

84
Universitas Sumatera
Gelatinization under Shearless and Shear Conditions Starch Gelatinization

85
Universitas Sumatera
under Shearless and Shear Conditions,” Int. J. Food Eng., vol. 2, no. 5, 2006.
[96] F. O. Ohwoavwoorhua and T. Adelakun, “Some Physical Characteristics of
Microcrystalline Cellulose Obtained from Raw Cotton of Cochlospermum
planchonii,” Trop. J. Pharm. Res., vol. 4, no. 2, pp. 501–507, 2005.
[97] Sugondo and M. Badruzzaman, “Karakterisasi Kristalinitas Bahan Kristalin
dengan Difraksi Sinar X,” Pros. Semin. Nas. Hamburan Neutron dan Sinar X
Ke 2, vol. 2, no. 3, pp. 1410–7686, 1999.
[98] M. Yahya, H. V. Lee, S. B. A. Hamid, and S. K. Zain, “Chemical Conversion
of Palm-based Lignocellulosic Biomass to Nano-Cellulose: Review,”
Nanotechnol. Catal. Res. Cent., 2002.
[99] Z. Karim, Z. Z. Chowdhury, S. Bee, A. Hamid, and E. Ali, “Statistical
Optimization for Acid Hydrolysis of Microcrystalline Cellulose and Its
Physiochemical Characterization by Using Metal Ion Catalyst,” Materials
(Basel)., vol. 7, pp. 6982–6999, 2014.
[100] X. Lu, Hongjia., Gui, Yu, Zheng, Longhui dan Liu, “Morphological,
Crystalline, Thermal and Physicochemical Properties of Cellulose
Nanocrystals Obtained From Sweet Potato Residue,” J. Food Res. Int., vol.
50, pp. 121–128, 2013.
[101] C. W. Tan, X. Y., Hamid, S. B. A. dan Lai, “Preparation of High Crystallinity
Cellulose Nanocrystals (CNCs) by Ionic Liquid Solvolysis,” Biomass and
Bioenergy, vol. 81, pp. 584–591, 2015.
[102] D. W. I. Setyawan, B. Widjaja, and R. Sari, “Study on Crystalinity and
Compactibility of Binary Mixture of Analgesic Substances with
Microcrystalline Cellulose,” vol. 5, no. 3, pp. 3–8, 2013.
[103] Y. Habibi, L. A. Lucia, and O. J. Rojas, “Cellulose Nanocrystals: Chemistry,
Self-Assembly, and Applications,” Chem. Rev., vol. 110, no. 6, pp. 3479–
3500, 2010.
[104] N. A. Bhimte and P. T. Tayade, “Evaluation of Microcrystalline Cellulose
Prepared From Sisal Fibers as a Tablet Excipient : A Technical Note,” AAPS
PharmSciTech, vol. 8, no. 1, pp. 1–7, 2007.
[105] N. Chawla and X. Deng, “Effect of Density on The Microstructure and
Mechanical Behaviour of Powder Metallurgy Fe-Mo-Ni Steels,” Mech. Behav.

86
Universitas Sumatera
Mater. Facil., 2004.
[106] A. Mudzakir, Metode Spektroskopi Inframerah untuk Analisis Material.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.
[107] A. Irwan, Sunardi, and A. Syabatini, “Acrylamide-based Superabsorbent
Polymer (AAM) Grafted BananaTuber Starch (Musa paradisiaca),” Semirata
FMIPA Univ. Lampung Proceeding, pp. 1–5, 2013.
[108] M. H. S. Ginting, M. Kristiani, and Y. A. Siagian, “The Effect of Chitosan ,
Sorbitol, and Heating Temperature Bioplastic Solution on Mechanical
Properties of Bioplastic from Durian Seed Starch ( Durio zibehinus ),” Princ.
author al. Int. J. Eng. Res. Appl., vol. X, no. X, 2015.
[109] S. W. Horstmann, M. C. E. Belz, M. Heitmann, E. Zannini, and E. K. Arendt,
“Fundamental Study on the Impact of Gluten-Free Starches on the Quality of
Gluten-Free Model Breads,” 2016.
[110] D. Nur Faridah, D. Fardiaz, N. Andarwulan, and T. C. Sunarti, “Karakteristik
Sifat Fisikokimia Pati Garut (Maranta arundinaceae),” Agritech, vol. 34, no. 1,
pp. 14–21, 2014.
[111] R. Yulianti and E. Ginting, “Perbedaan Karakteristik Fisik Edible Film dari
Umbi-umbian yang Dibuat dengan Penambahan Plasticizer,” Balai Penelit.
Tanam. Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, no. 1990, pp. 131–136, 2012.
[112] F. B. Ahmad and P. A. Williams, “Effect of Salts on the Gelatinization and
Rheological Properties of Sago Starch,” J. Agric. Food Chem., vol. 47, no. 8,
pp. 3359–3366, 1999.
[113] N. Salmela, “Washing and Dewatering of Different Starches in Pressure
Filters,” 2006.
[114] D. K. Reddy and M. G. Bhotmange, “Isolation of Starch from Rice ( Oryza
Sativa L . ) and its Morphological Study using Scanning Electron
Microscopy,” Int. J. Agric. Food Sci. Technol., vol. 4, no. 9, pp. 859–866,
2013.
[115] F. Alam, A. Siddiqui, Z. Lutfi, and A. Hasnain, “Effect of Different
Hydrocolloids on Gelatinization Behaviour of Hard Wheat Fluor,” Trakia J.
Sci., vol. 7, no. 1, pp. 1–6, 2009.
[116] E. Indrastuti, Harijono, and B. Susilo, “Karakteristik Tepung Uwi Ungu
(Dioscorea alata L.) yang Direndam dan Dikeringkan sebagai Bahan Edible

87
Universitas Sumatera
Paper,” J. Teknol. Pertan., vol. 13, no. 3, pp. 169–176, 2012.
[117] Medikasari, S. Nurdjanah, N. Yuliana, and N. C S Lintang, “Sifat Amilografi
Pasta Pati Sukun Termodifikasi Menggunakan Sodium Tripolifosfat,” J.
Teknol. Ind. dan Has. Pertan., vol. 14, no. 2, pp. 173–177, 2009.
[118] M. H. S. Ginting, R. F. Sinaga, R. Hasibuan, and G. Ginting, “Pengaruh
Variasi Temperatur Gelatinisasi Pati Terhadap Sifat Kekuatan Tarik dan
Pemanjangan pada Saat Putus Bioplastik Pati Umbi Talas,” in Seminar
Nasional Sains dan Teknologi 2014, 2014, no. November, pp. 1–3.
[119] E. Kontturi, “Cellulose : dissolution,” Chem. Adv. Biomater., no. November,
2015.
[120] C. Olsson and G. Westman, “Direct Dissolution of Cellulose : Background ,
Means and Applications,” 2013.
[121] H. Agusnar, “Penentuan Derajat Kristalinitas Larutan Kitin dengan Variasi
Waktu Penyimpanan Menggunakan Difraksi Sinar-X (XRD),” J. Sains Kim.,
pp. 43–45, 2004.
[122] Y. Youchun, “Enzymatic Production of Sugar Fatty Acid Esters,” Institut für
Technische Biochemie der Universität Stuttgart, 2001.
[123] S. M. Lii, C.Y and Chang, “Characterization of Red Bean (Phaseoulus
Radiatus Var. Aurea) Starch and Its Noodle Quality,” J. Food Sci., vol. 46,
1981.
[124] P. Syahfriana, “Pemanfaatan Selulosa Mikrokristal dari Tandan Kelapa
(Cocos nucifera L) sebagai Pengisi Plastik Polipropena yang
Terbiodegradasikan,” Universitas Sumatera Utara, 2013.
[125] R. Malaka, M. Taufik, and U. Hasanuddin, “Pengaruh variasi persentase
gliserol sebagai,” pp. 214–219, 2014.
[126] M. N. Abdorreza, L. H. Cheng, and A. A. Karim, “Food Hydrocolloids Effects
of plasticizers on thermal properties and heat sealability of sago starch films,”
Food Hydrocoll., vol. 25, no. 1, pp. 56–60, 2011.
[127] M. D. Z and L. J. Mawarani, “Pengaruh Penambahan NaOH Terhadap
Karakteristik Bioplastik Tepung Porang,” no. 2008, pp. 1–6, 2013.
[128] M. K. F. MdRadzi, A. B. Sulong, N. Muhammad, M. A. MohdLatiff, and N.
F. Ismail, “Effect of Filler Loading and NaOH Addition on Mechanical
Properties of Moulded Kenaf / Polypropylene Composite,” vol. 38, no. 4,
pp. 583–590,

88
Universitas Sumatera
2015.
[129] A. Febrianto, Basito, and C. Anam, “Kajian Karakteristik Fisikokimia dan
Sensoris Tortilla Corn Chips dengan Variasi Larutan Alkali pada Proses
Nikstamalisasi Jagung,” Jur. Ilmu dan Teknol. Pangan, vol. 3, no. 3, 2014.
[130] A. M. Pascoal, M. C. B. Di-Medeiros, K. A. Batista, M. I. G. Leles, L. M. Li??
o, and K. F. Fernandes, “Extraction and chemical characterization of starch
from
S. lycocarpum fruits,” Carbohydr. Polym., vol. 98, no. 2, pp. 1304–1310, 2013.
[131] R. Zavareze, V. Zanella, B. Klein, S. Lisie, M. El, M. Cardoso, C. Prentice-
hernández, A. Renato, and G. Dias, “Development of oxidised and heat –
moisture treated potato starch film,” Food Chem., vol. 132, no. 1, pp. 344–
350, 2012.
[132] Y. Zhang and C. Rempel, “Retrogradation and Antiplasticization of
Thermoplastic Starch,” in Thermoplastic Elastomers Edited, 7th ed., P. A. El-
Sonbati and ISBN, Eds. Canada: InTech, 2012, pp. 117–134.
[133] Asiska PermataDewi, M. Octaviani, Rustini, E. Zaini, and A. Djamaan, “Uji
Biodegradasi Filem Plastik Campuran Polistiren dengan Poli(3
Hidorksobutirat-Ko-3-Hidroksivalerat) dalam Lumpur,” J. Sains dan Teknol.
Farm., vol. 17, no. 1, pp. 44–51, 2012.
[134] S. Ochi, “Durability of Starch Based Biodegradable Plastics Reinforced with
Manila Hemp Fibers,” Materials (Basel)., vol. 4, pp. 457–468, 2011.
[135] G. P. Lazuardi and S. E. Cahyaningrum, “Pembuatan dan Karakterisasi
Bioplastik Berbahan Dasar Kitosan dan Pati Singkong dengan Plasticizer
Gliserol,” UNESA J. Chem. Vol., vol. 2, no. 3, pp. 161–166, 2013.
[136] F. Akbar, Z. Anita, H. Harahap, D. T. Kimia, F. Teknik, and U. S. Utara,
“Pengaruh Waktu Simpan Film Plastik Biodegradasi dari Pati Kulit Singkong
terhadap Sifat Mekanikalnya,” J. Tek. Kim. USU, vol. 2, no. 2, pp. 11–15,
2013.

89
Universitas Sumatera
LAMPIRAN 1
DATA PENELITIAN

L1.1 HASIL BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT DENGAN MCC DAN


PLASTICIZER GLISEROL
Tabel L1.1 menunjukkan gambar hasil bioplastik.pati biji alpukat dengan MCC
dan gliserol
Tabel L1.1 Hasil Bioplastik Pati Biji Alpukat dengan MCC dan Plasticizer
Gliserol
Pati :
Gliserol
RUN MCC GAMBAR KETERANGAN
(ml/gr)
(%w)
Warna bioplastik
hitam kecokelatan
1 0,1

Warna bioplastik
hitam kecokelatan
2 0,2

9:1 Warna bioplastik


hitam kecokelatan
dan elastis
3 0,3

Warna bioplastik
hitam kecokelatan
4 0,4 dan elastis

Warna bioplastik
hitam kecokelatan
5 0,1
8:2

90
Universitas Sumatera
Warna bioplastik
hitam kecokelatan
6 0,2

Warna bioplastik
hitam kecokelatan

7 0,3

Warna bioplastik
hitam kecokelatan
dan permukaan
8 0,4
tidak rata

Warna bioplastik
hitam kecokelatan
dan retak
9 0,1

Warna bioplastik
hitam kecokelatan

10 0,2

7:3 Warna bioplastik


hitam kecokelatan

11 0,3

Warna bioplastik
hitam kecokelatan

12 0,4

91
Universitas Sumatera
Warna bioplastik
hitam kecokelatan
dan kaku
13 0,1

Warna bioplastik
hitam
14 0,2

6:4
Warna bioplastik
hitam
15 0,3

Warna bioplastik
hitam

16 0,4

L1.2 DATA HASIL KEKUATAN TARIK (TENSILE STRENGTH)


Tabel L1.2 menunjukkan data hasil kekuatan tarik (tensile strength) bioplastik.
Tabel L1.2 Data Hasil Kekuatan Tarik (Tensile Strength)
Volume
Pati:MCC Sampel Sampel Sampel
Gliserol Rata-Rata
(gr) 1 2 3
(ml/gr)
0,1 1,176 1,372 1,274 1,274
0,2 1,176 0,980 1,176 1,110
9:1
0,3 1,960 0,490 0,784 1,078
0,4 0,490 0,686 0,490 0,555
0,1 1,078 1,433 1,372 1,294
8:2 0,2 1,274 1,176 1,225 1,225
0,3 0,882 1,372 1,274 1,176

92
Universitas Sumatera
0,4 0,588 0,688 0,588 0,620
0,1 1,274 1,176 1,568 1,339
0,2 2,254 2,842 3,136 2,744
7:3
0,3 1,470 1,568 0,784 1,274
0,4 0,784 0,784 0,883 0,816
0,1 0,98 0,882 1,078 0,980
0,2 0,686 0,882 0,882 0,816
6:4
0,3 0,784 0,882 0,784 0,816
0,4 0,392 0,392 0,49 0,424

L1.3 DATA HASIL PEMANJANGAN PADA SAAT PUTUS (ELONGATION


AT BREAK)
Tabel L1.3 menunjukkan data hasil pemanjangan saat putus (Elongation at
Break) bioplastik.
Tabel L1.3 Data Hasil Pemanjangaan pada Saat Putus (Elongation at Break)
Volume
Pati:MCC Sampel Sampel Sampel
Gliserol Rata-Rata
(gr) 1 2 3
(ml/gr)
0,1 10,068 10,922 10,495 10,495
0,2 8,953 14,592 8,822 10,789
9:1
0,3 9,332 13,665 12,646 11,881
0,4 17,512 14,962 15,18 15,884
0,1 8,145 6,452 6,334 6,977
0,2 5,873 9,945 7,149 7,656
8:2
0,3 7,689 8,229 7,206 7,708
0,4 12,577 13,574 13,362 13,171
0,1 3,144 3,144 4,088 3,458
0,2 3,057 6,274 6,145 5,159
7:3
0,3 4,012 6,764 6,884 5,886
0,4 10,317 7,884 10,876 9,692
6:4 0,1 2,185 3,654 3,095 2,978

93
Universitas Sumatera
3,051 2,900
0,2 2,390 3,261

0,3 7,740 5,717 4,550 6,002


0,4 10,417 4,992 5,126 6,845

L1.4 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS BIOPLASTIK DENGAN


METODE SOIL BURIAL TEST
Tabel L1.4 menunjukkan data hasil uji biodegradabilitas bioplastik dengan
Metode Soil Burial Test.
Tabel L1.3 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik
Massa Bioplastik (gram)
Sampel 10
0 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 12 14
ke-
hari hari hari
1 0,25 0,18 0,15 0,12 0,08 0,05 0,01 0
2 0,25 0,23 0,18 0,13 0,07 0,03 0 0
3 0,25 0,21 0,17 0,07 0,04 0,01 0 0
4 0,25 0,22 0,19 0,16 0,01 0,07 0,04 0,01
Rata-
rata 0,25 0,21 0,17 0,12 0,07 0,04 0,0125 0,0025

L1.5 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS BIOPLASTIK DI ATAS


PERMUKAAN TANAH
Tabel L1.5 menunjukkan data hasil uji biodegradabilitas bioplastik di atas
permukaan tanah.
Tabel L1.5 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik
Massa Bioplastik (gram)
Sampel
0 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 10 12 14
ke-
hari hari hari
1 0,25 0,24 0,24 0,23 0,23 0,22 0,21 0,20
2 0,25 0,23 0,23 0,23 0,22 0,22 0,21 0,21
3 0,25 0,24 0,24 0,24 0,23 0,23 0,22 0,21
4 0,25 0,24 0,24 0,23 0,21 0,20 0,20 0,19
Rata-rata 0,25 0,23 0,23 0,23 0,22 0,21 0,21 0,20

94
Universitas Sumatera
L1.6 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS FRAKSI RESIDUAL
BIOPLASTIK DENGAN METODE SOIL BURIAL TEST
Tabel L1.6 menunjukkan data hasil uji biodegradabilitas fraksi residual
bioplastik dengan Metode Soil Burial Test.
Tabel L1.6 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik
Fraksi Berat Residual (%)
Sampel
0 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 10 12 14
ke-
hari hari hari
1 100 72 60 48 32 20 4 0
2 100 92 72 52 28 12 0 0
3 100 84 68 28 16 0 0 0
4 100 88 76 64 40 28 16 4
Rata-rata 100 84 69 48 29 15 5 1

L1.7 DATA HASIL UJI BIODEGRADABILITAS FRAKSI RESIDUAL


BIOPLASTIK DI ATAS PERMUKAAN TANAH
Tabel L1.7 menunjukkan data hasil uji biodegradabilitas fraksi residual
bioplastik di atas permukaan tanah.
Tabel L1.7 Data Hasil Uji Biodegradabilitas Bioplastik
Fraksi Berat Residual (%)
Sampel
0 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 10 12 14
ke-
hari hari hari
1 100 96 96 92 92 88 84 80
2 100 96 92 92 88 88 84 84
3 100 100 96 96 92 92 88 84
4 100 100 96 92 84 80 80 76
Rata-rata 100 98 95 93 89 87 84 81

95
Universitas Sumatera
LAMPIRAN 2
CONTOH PERHITUNGAN

L2.1 PERHITUNGAN PEMBUATAN BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT


DENGAN MCC DAN PLASTICIZER GLISEROL
Perhitungan pembuatan bioplastik pati biji alpukat dengan MCC dan
plasticizer gliserol pada lampiran ini diambil contoh bioplastik dengan komposisi
pati : MCC adalah 7: 3 (%w) dan gliserol 0,2 ml/gr (v/w). Pati biji alpukat yang akan
digunakan ditimbang sebanyak 7 gram kemudian dilarutkan dengan air dengan
perbandingan pati : air 1:20 sehingga volume air yang digunakan adalah 140 ml.
Sedangkan MCC yang digunakan ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dilarutkan
dalam NaOH 5%.
Pada pelarutan MCC menggunakan NaOH 5% dilakukan dengan menyiapkan
5 gram NaOH kedalam Beaker glass kemudian ditambahkan dengan air hingga
volumenya mencapai 100 ml. Setelah itu, MCC dilarutkan dengan NaOH 5% hingga
volumenya mencapai 100 ml. Setelah MCC dilarutkan, larutan MCC kemudian
dicampurkan dengan larutan pati.
Pada proses penambahan gliserol 0,2 ml/gr dilakukan dengan cara
menghitung volume gliserol berdasarkan berat pati yang digunakan.
V gliserol = 𝟎,𝟐 𝒎𝒍 × 𝟕 𝒈𝒓
𝟏 𝒈𝒓

V gliserol = 1,4 ml
Setelah diperoleh volume gliserol sebanyak 1,4 ml, kemudian dicampurkan kedalam
Beaker glass larutan pati dan MCC. Perhitungan diatas juga digunakan pada
bioplastik dengan komposisi pati : MCC 9: 1, 8: 2, dan 6: 4, dengan gliserol 0,1
ml/gr, 0,3 ml/gr
dan 0,4 ml/gr.

L2.2 PERHITUNGAN SIFAT KEKUATAN TARIK BIOPLASTIK PATI


BIJI ALPUKAT DENGAN MCC DAN PLASTICIZER GLISEROL
Sebagai contoh perhitungan diambil pada variasi komposisi pati : MCC 7: 3
dan gliserol 0,2 ml/gr. Diperoleh data:
Length = 117 mm
Width = 7 mm

96
Universitas Sumatera
Thick = 0.51 mm
Gouge = 75 mm
Grip = 40 mm
Max Load = 0.28 kg/mm2
Extention = 2,32 mm
Tensile Strength = Max Load × gaya grafitasi
= 0.28 kg/mm2 × 9.8
= 2,74 MPa

L2.3 PERHITUNGAN SIFAT PEMANJANGAN PADA SAAT PUTUS


BIOPLASTIK PATI BIJI ALPUKAT DENGAN MCC DAN
PLASTICIZER GLISEROL
Sebagai contoh perhitungan diambil pada variasi komposisi pati : MCC 7: 3,
dan gliserol 0,2 ml/gr. Data diperoleh dari perhitungan L2.2 maka:
Elongation at Break = EXtention
× 100%
Gouge

2,32 mm
= 75 mm × 100%
= 3,15%

L2.4 PERHITUNGAN INDEKS KRISTALINITAS DARI HASIL XRD


Menggunakan metode Segal:

(L2.1)
Keterangan:
Crl = Derajat relatif kristalinitas
I002 = Intensitas maksimum dari difraksi pola 0 0 2
IAM = Intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 12-
18o Dari grafik XRD diperoleh I002 = 5151,33 dan IAM = 1012,51
Sehingga,
5151,33−1012,51
𝐶𝑟𝐼 = 5151,33 𝑥100 = 80,34%

97
Universitas Sumatera
L2.5 PERHITUNGAN DIAMETER KRISTAL ATAU UKURAN KRISTAL
DARI HASIL XRD
Dengan persamaan Scherrer:
𝐾𝜆
𝐵(2𝜃) = (L2.2)
𝐿.cos(𝜃)

Keterangan:
L = Diameter kristal/ukuran kristal
𝜆 = Panjang gelombang (nm)
𝐾 = Konstanta Scherrer (0,8-1)
B = Full Width at Half Maximum (FWHM)
Untuk perhitungan pada puncak serapan 2𝜃 = 20,06
λ (Panjang gelombang) = 4.42147 Ǻ = 0,4421417 nm
K (Konstanta Scherrer) =1
B (FWHM) = 1.0228 = 0,017899 rad
Cos θ = 0,984
Sehingga,
𝐾𝜆 1 (0,4421417)
𝐿= = = 25,08 𝑛𝑚
𝐵(2𝜃). cos(𝜃) 0,017899(0,984)

L2.6 PERHITUNGAN BERAT RESIDUAL BIOPLASTIK


Persamaan di bawah ini digunakan untuk menghitung fraksi berat residual:
(𝑊1−𝑊2)
% berat residual = 100% − 𝑥 100% (L2.3)
𝑊1

Dimana :
W1 = massa sampel pada hari ke-0 (gram)
W2 = massa sampel pada hari ke- 2, 4, 6, 8 dan 10 (gram)
Sebagai contoh perhitungan diambil pada sampel yang ditanam di dalam tanah
pada hari ke- 2. Diperoleh data:

98
Universitas Sumatera
LAMPIRAN 3
DOKUMENTASI PENELITIAN

L3.1 BIJI ALPUKAT

Gambar L3.1 Biji Alpukat

L3.2 SERAT IJUK

Gambar L3.2 Serat Ijuk

99
Universitas Sumatera
L3.3 PROSES ISOLASI PATI DARI BIJI ALPUKAT

Gambar L3.3 Proses Isolasi Pati dari Biji Alpukat

L3.4 PROSES EKSTRAKSI α – SELULOSA DARI SERAT IJUK

Gambar L3.4 Proses Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Ijuk

10
Universitas Sumatera
L3.5 PROSES ISOLASI SELULOSA MIKROKRISTAL DARI α – SELULOSA

Gambar L3.5 Proses Isolasi Selulosa Mikrokristal dari α-Selulosa

L3.6 PATI BIJI ALPUKAT

Gambar L3.6 Pati Biji Alpukat

10
Universitas Sumatera
L3.7 ALFA-SELULOSA DARI SERAT IJUK

Gambar L3.7 Alfa-Selulosa dari Serat Ijuk

L3.8 SELULOSA MIKROKRISTAL DARI SERAT IJUK

Gambar L3.8 Selulosa Mikrokristal dari Serat Ijuk

10
Universitas Sumatera
L3.9 PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK

Gambar L3.9 Proses Pembuatan Bioplastik

L3.10 PROSES PENCETAKAN BIOPLASTIK

Gambar L3.10 Proses Pembuatan Bioplastik

10
Universitas Sumatera
L3.11 BIOPLASTIK

Gambar L3.11 Bioplastik

L3.12 ALAT UNIVERSAL TESTING MACHINE (UTM) GOTECH AL-


7000M GRID TENSILE

Gambar L3.12 Alat UTM Gotech Al-7000M Grid Tensile

10
Universitas Sumatera
LAMPIRAN 4
HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM ANALISIS DAN
INSTRUMEN

L4.1 HASIL XRD SELULOSA MIKROKRISTAL

Gambar L4.1 Hasil XRD Selulosa Mikrokristal

L4.2 HASIL FTIR SELULOSA MIKROKRISTAL

Gambar L4.2 Hasil FTIR Selulosa Mikrokristal

10
Universitas Sumatera
L4.3 HASIL FTIR PATI BIJI ALPUKAT

Gambar L4.3 Hasil FTIR Pati Biji Alpukat

L4.4 HASIL FTIR SERAT IJUK

Gambar L4.4 Hasil FTIR Serat Ijuk

10
Universitas Sumatera
L4.5 HASIL FTIR BIOPLASTIK TANPA PENGISI MCC

Gambar L4.5 Hasil FTIR Bioplastik Tanpa Pengisi MCC

L4.6 HASIL FTIR BIOPLASTIK

Gambar L4.6 Hasil FTIR Bioplastik

10
Universitas Sumatera
L4.7 HASIL RVA PATI BIJI ALPUKAT

Gambar L4.7 Hasil RVA Pati Biji Alpukat

L4.8 HASIL ANALISA XRD SELULOSA MIKROKRISTAL


Tabel L1.8 menunjukkan data hasil uji X-Ray Diffraction (XRD) selulosa
mikrokristal.
Tabel L1.8 Peak List hasil uji XRD selulosa mikrokristal
Pos. [°2Th.] Height [cts] FWHM d-spacing [Å] Rel. Int.
[°2Th.] [%]
12.0104 2025.01 2.6514 7.36294 39.31
12.0403 1012.51 2.6514 7.36294 19.66
20.0663 5151.33 1.0228 4.42147 100.00
20.1167 2575.66 1.0228 4.42147 50.00
21.9103 4978.22 2.2839 4.05335 96.64
21.9654 2489.11 2.2839 4.05335 48.32
26.1494 343.54 2.2577 3.40507 6.67
26.2155 171.u77 2.2577 3.40507 3.33
28.6509 256.35 0.9251 3.11321 4.98
28.7236 128.18 0.9251 3.11321 2.49
30.3535 141.90 2.0508 2.94234 2.75
30.4308 70.95 2.0508 2.94234 1.38

10
Universitas Sumatera
34.9061 509.41 1.7775 2.56831 9.89
34.9956 254.70 1.7775 2.56831 4.94
38.5242 301.80 4.0000 2.33502 5.86
38.6237 150.90 4.0000 2.33502 2.93
41.0734 497.29 1.2826 2.19579 9.65
41.1801 248.65 1.2826 2.19579 4.83
45.7007 144.47 2.7393 1.98364 2.80
45.8207 72.24 2.7393 1.98364 1.40
48.4450 129.82 2.3661 1.87749 2.52
48.5731 64.91 2.3661 1.87749 1.26
54.2863 55.41 1.4976 1.68846 1.08

10
Universitas Sumatera

Anda mungkin juga menyukai