Anda di halaman 1dari 110

BLOK.

14 ASUHAN KEBIDANAN KOMPLEKS

PARTUS PRECIPITTUS & MALL PRESENTASI/SUNGSANG

Zuhrotunida, SST, M.Kes

Disusun Oleh :

Nabila Aulia Rahma 1915201027

Ayu marhamah 1915201028

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Partus precipittus tepat waktu.

Makalah partus precipittus disusun guna memenuhi tugas pada Zuhrotunida, SST, M.Kes.
dengan mata kuliah asuhan kebidanan kompleks di Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang Pelayanan Kontrasepsi

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Zuhrotunida, SST, M.Kes.


selaku dosen mata kuliah asuhan kebidanan kompleks. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 14 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................................2


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................2
C. Tujuan ......................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Definisi partus precipittus ........................................................................................3


B. Faktor resiko partus precipittus................................................................................4
C. Tanda-tanda persalinan ..............................................................................................
D. Komplikasi partus precipittus ..................................................................................6
E. Definisi mall presentasi/sungsang............................................................................7
F. Etiologi Patofisiologi Mall Presentasi/Sungsang .......................................................
G. Komplikasi mall presentasi/sungsang ........................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Persalinan normal menurut WHO (World Health Organization) adalah persalinan
yang dimulai secara spontan, beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap
demikian selama proses persalinan, bayi lahir secara spontan dalam presentas
belakang kepala pada usia kehamilan 37-42 minggu lengkap dan setelah persalinan
ibu maupun bayi berada dalam kondisi sehat (JNPK-KR Depkes RI, 2012).

Menurut UNICEF mengawali tahun 2019 terdapat 395.000 persalinan terjadi


diseluruh dunia. Hampir setengah kelahiran ini diestimasikan berasal dari 8 negara
diseluruh dunia yaitu, India, China, Nigeria, Indonesia, Amerika Serikat dan Republik
Kongo (WHO, 2019). Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42), lahir spontan dengan
presentase belakang kepala berlangsung dalam 18-24 jam tanpa komplikasi baik pada
ibu ataupun janin (Prawirohardjo, 2014)

Partus presipitatus merupakan salah satu kelainan dari his, kelainan his adalah suatu
keadaan dimana his tidak normal baik kekuatannya maupun sifatnya sehingga
menghambat kelancaran persalinan. Kelainan his dibagi menjadi 3 yaitu his hipotonik,
his hipertonik, dan his yang tidak terkordinasi. Dan yang menyebabkan partus
presipitatus adalah his hipertonik adalah his yang cepat, sifat hisnya normal, tonus
otot diluar his yang biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his. His yang terlalu
kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan berlangsung cepat <3jam

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan partus precipittus
2. Apa faktor resiko partus precipittus
3. Bagaimana tanda tanda partus precipittus
4. Apa saja komplikasi partus preipittus
5. Apa definisi mall presentasi/sungsang
6. Apa Etiologi Patofisiologi Mall Presentasi/Sungsang
7. Bagaimana Komplikasi mall presentasi/sungsang

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan partus precipittus
2. Untuk mengetahui faktor resiko partus precipittus
3. Untuk mengetahui tanda tanda partus precipittus
4. Untuk mengetahui komplikasi partus precipittus
5. Untuk mengetahui Apa definisi mall presentasi/sungsang
6. Untuk mengetahui Apa Etiologi Patofisiologi Mall Presentasi/Sungsang
7. Untuk mengetahui Bagaimana Komplikasi mall presentasi/sungsang
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi partus precipittus

Di dunia kedokteran, dikenal persalinan cepat (precipitious labor and delivery), yang
prosesnya terjadi kurang dari 3 jam hingga bayi lahir. Persalinan cepat ini terjadi
dalam kehamilan cukup bulan (sudah masuk 37 minggu), berbeda dengan kasus
kelahiran bayi prematur.( dr. Boy.2020)

Pertama, kontraksi rahim yang berlebihan, yang bisa saja terjadi secara spontan.
Kedua, karena Mama mengonsumsi obat-obatan yang memicu proses persalinan
terjadi lebih cepat. Jika obat diberikan oleh dokter atau bidan, tentu tidak apa-apa,
karena sudah terkontrol. Tetapi, ada sebagian ibu hamil minum herba, misalnya
rumput fatimah, yang mengandung zat yang menyebabkan kontraksi menjadi sangat
kuat tanpa istirahat, mengakibatkan proses persalinan terjadi sangat cepat. Karena itu,
konsumsi herba semacam rumput fatimah dari sisi medis tidak disarankan
Yang ketiga adalah ambang nyeri yang rendah. Pada kondisi ini, ibu hamil tidak
merasakan nyeri saat terjadi kontraksi, sehingga dia tidak menyadari sedang terjadi
proses persalinan. (dr.boy. 2020)

Partus presipitatus dapat disebabkan karena abnormalitas kontraksi uterus yang


terlalu kuat atau pada keadaan yang sangat jarang dijumpai tidak adanya rasa neri
pada saat his sehingga ibu tidak menyadari adanya proses persalinan yang sangat
kuat. Sehingga seringkali penolong persalinan belum siap untuk menolong persalinan,
ibu meneran yang sangat kuat tidak terkontrol, kepala janin defleksi terlalu cepat.
Keadaan ini memperbesar kemungkinan terjadinya laserasi perineum pada persalinan
spontan dapat terjadi pada saat kepala dan bahu dilahirkan.Partus presipitatus adalah
persalinan yang berlangsung lebih pendek dari normal yang sering berlangsung antara
2-3 jam

Partus presipitatus merupakan salah satu kelainan dari his, kelainan his adalah suatu
keadaan dimana his tidak normal baik kekuatannya maupun sifatnya sehingga
menghambat kelancaran persalinan. Kelainan his dibagi menjadi 3 yaitu his hipotonik,
his hipertonik, dan his yang tidak terkordinasi. Dan yang menyebabkan partus
presipitatus adalah his hipertonik adalah his yang cepat, sifat hisnya normal, tonus
otot diluar his yang biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his. His yang terlalu
kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan berlangsung cepat (<3jam).

Beberapa wanita yang mengalami partus precipittus memiliki kontraksi yang sangat
sering dan kuat sejak awal daripada penumpukan kontraksi yang lambat yang
biasanya terjadi selama beberapa jam. Orang lain yang memiliki kelahiran terjal tidak
menyadari bahwa mereka sedang melahirkan sampai mendekati akhir. Mereka
mungkin melewati tahap pertama persalinan tanpa merasakan kontraksi dan
menyadari bayi mereka tiba ketika mereka merasakan dorongan untuk mendorong
atau merasakan kepala bayi turun

Tidak ada yang tahu pasti apa yang membuat beberapa wanita mengalami partus
precipittus , sementara yang lain melahirkan selama berjam-jam bahkan berhari-hari.
Beberapa menyarankan bahwa wanita yang mengalami partus precipittus mungkin
memiliki kombinasi resistensi jalan lahir yang rendah (karena tonus otot vagina dan
dasar panggul yang rendah) dan kontraksi uterus yang sangat kuat

B. Faktor resiko partus precipittus


Ada beberapa faktor risiko partu precipittus
a) Riwayat partus precipittus
b) Bayi yang dikandung dengan bantuan perawatan kesuburan
c) Usia ibu muda
d) Pernah melahirkan sebelumnya
e) Persalinan yang diinduksi menggunakan prostaglandin
f) Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dengan baik
g) Bayi kecil untuk kurma (pembatasan pertumbuhan intrauterin)
h) Solusio plasenta

C. Tanda-tanda persalinan yang cepat mungkin termasuk:


a) Kontraksi yang tiba-tiba dan kuat sangat berdekatan
b) Rasa sakit yang terasa seperti satu kontraksi terus menerus
c) Sensasi tekanan di panggul dan dorongan tiba-tiba untuk mendorong

Apa yang harus dilakukan jika kemungkinan mengalami partus precipittus

a) Hubungi 911 jika menurut Anda bayi Anda akan segera lahir.
b) Hubungi dokter atau bidan Anda dan doula, jika Anda memilikinya.
c) Berbaring miring sampai bantuan datang.
d) Cobalah untuk tetap tenang. Gunakan teknik pernapasan untuk membantu
Anda melalui kontraks

Apakah partus precipittus membahayakan bayi?

Sebagian besar bayi cukup bulan yang lahir partus precipittus baik-baik saja dan tidak
mengalami masalah apa pun sebagai akibat dari kelahiran yang cepat. (Jika bayi
dilahirkan lebih awal, ia mungkin memiliki masalah yang berkaitan dengan
prematuritas. Jika tidak berhasil sampai di rumah sakit dan bayi Anda lahir di
lingkungan yang dingin, ia mungkin akan kedinginan dengan sangat cepat, yang bisa
berbahaya. (Bayi kehilangan panas tubuh dengan cepat dan kulit yang basah dapat
mempercepat kehilangannya.) Mulailah kontak kulit-ke-kulit dengannya sesegera
mungkin, menutupi kepala dan punggungnya dengan apa pun yang tersedia. Kontak
kulit ke kulit adalah cara paling efektif untuk menjaga bayi tetap hangat setelah
melahirkan, terutama jika bantuan tidak segera tersedia

D. Komplikasi partus precipittus


a) Memar atau robek pada leher rahim, vagina, atau perineum karena kecepatan
persalinan
b) Pendarahan hebat (perdarahan pascapersalinan), karena rahim Anda belum
berkontraksi dengan baik setelah melahirkan (atonia uteri).
c) Retensi plasenta, ketika semua atau sebagian dari plasenta tetap berada di
dalam rahim Anda setelah kelahiran bayi.
d) Infeksi pada ibu atau bayi jika kelahiran terjadi di tempat yang tidak steril.
e) Persalinan cepat juga dapat memiliki efek mendalam pada emosi. pasien
mungkin menemukan diri nya terguncang dari adrenalin yang kuat tinggi
setelah melahirkan. Atau pasien mungkin merasa trauma atau tertekan oleh
kecepatan pengalaman melahirkan pasien dan mengalami kesulitan untuk
mengatasinya. Beberapa wanita merasa butuh berhari-hari, berminggu-
minggu, atau bahkan lebih lama untuk menerima persalinan yang tidak mereka
harapkan.

E. Pengertian mall presentasi/sungsang

Letak sungsang merupakan suatu letak dimana bokong bayi merupakan bagian
rendah dengan atau tanpa kaki (keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri)
(Marmi,2016).
Sungsang merupakan keadaan dimana bagian terendah janin berada di segmen
bawah rahim, bukan belakang kepala. Di kenal beberapa jenis sungsang, yakni :
presentasi bokong, presentasi bokong kaki sempurna, presentasi bokong kaki tidak
sempurna. Dengan insiden 3-4% dari seluruh kehamilan tunggal pada umur
kehamilan cukup bulan (lebih dari 37 minggu), presentasi bokong merupakan mall
presentasi yang sering di jumpai. Sebelum umur kehamilan 28 minggu, kejadian
presentasi bokong sekisar antara 25-30% dan sebagian besar akan berubah menjadi
presentasi kepala setelah umur kehamilan 34 minggu. Penyebab terjadinya presentasi
bokong tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor resiko selain prematuritas,
yaitu abnormal struktural uterus, polihidramnion, plasenta previa, multiparitas, mioma
uteri, dan riwayat presentasi bokong sebelumnya (Prawirohardjo, 2010)

F. Etiologi Patofisiologi Mall Presentasi/Sungsang


Adapun penyebab presentasi bokong (letak sungsung) antara lain :
1. Faktor dari ibu dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, yaitu :
a) Plasenta previa
b) Bentuk rahim yang abnormal
c) Panggul sempit
d) Multiparitas
e) Adanya tumor pada rahim dan
f) Implantasi plasenta di fundus yang memicu terjadinya letak bokong
(Winkjosastro, 2008).
2. Faktor dari janin dapat disebabkan oleh keadaan seperti :
a) Hidrosefalus atau anasefhalus
b) Kehamilan kembar
c) Hidramnion dan
d) Prematuritas (Winkjosastro,2008)
Faktor-faktor etiologi bokong meliputi prematuritas, air ketuban yang
berlebihan, kehamilan ganda, plancenta previa, panggul sempit, fibromyoma,
hydrocepalus, dan janin besar. Setiap keadaan yang mempengaruhi masuknya kepala
janin ke dalam panggul mempunyai peranan dalam etiologi presentasi bokong.
Banyak yang tidak diketahui sebabnya, dan setelah mengesampingkan kemungkinan-
kemungkinan lain maka sebab malposisi tersebut baru dinyatakan hanya karena
kebetulan saja. Sabaliknya, ada presentasi bokong yang membakat. Beberapa ibu
melahirkan bayinya semuanya dengan presentasi bokong, menunjukan bahwa bentuk
panggulnya adalah sedemikian rupa sehingga lebih cocok untuk presentasi bokong
dari pada presentasi kepala. Implantasi placenta di fundus di cornu uteri cenderung
untuk mempermudah terjadinya presentasi bokong (Oxorn & William, 2010).
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap
ruangan dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air
ketuban relatif banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa.
Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak
sungsang atau letak lintang.
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relative berkurang. Karna bokong dengan kedua tungkai terlipat lebih besar
daripada kepala, maka bokong dipaksa menempati ruang yang lebih luas dari fundus
uteri, sedangkan kepala berada di ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus.
Dengan demikian dapat di mengerti mengapa pada kehamilan belum cukup bulan,
frekuensi letak sungsang lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin
sebagian besar ditemukan dalam presentasi kepala. Sayangnya, beberapa fetus tidak
seperti itu. Sebagian dari mereka berada dalam posisi sungsang (Saifuddin, 2014 :
148).

G. Komplikasi Mall Presentasi/Sungsang


Posisi janin sungsang tentunya dapat mempengaruhi proses persalinan. Proses
persalinan yang salah jelas menimbulkan resiko, seperti pada ibu mengalami
perdarahan, trauma persalinan dan infeksi, sedangkan pada bayi terjadi perdarahan,
infeksi pasca artus seperti meningitis dan trauma persalinan seperti kerusakan alat
vital, trauma ekstermitas dan trauma alat vesera seperti lever ruptur dan lien rupture
(Manuaba, 2008).
Pertolongan persalinan letak sungsang secara fisiologis dilakukan menurut
metode Brach. Kegagalan pertolongan secara Brach diikuti oleh persalinan dengan
ekstraksi bokong partial atau dengan ekstraksi bokong total yang dapat menimbulkan
komplikasi. Komplikasi persalinan letak sungsang dapat dibagi sebagai berikut :
1. Komplikasi pada ibu
Trias komplikasi ibu : perdarahan, robekan jalan lahir ( pada vagina atau
serviks), infeksi ( endometritis )
2. Komplikasi pada bayi
Trias komplikasi pada bayi : asfiksia, trauma persalinan, infeksi
 Asfiksia bayi
Dapat disebabkan oleh :
 Kemacetan persalinan kepala : aspirasi air ketuban-lendir
 Perdarahan atau oedema jaringan otak
 Kerusakan medula oblongata
 Kerusakan persendian tulang leher
 Kematian bayi karena asfiksia berat
 Trauma persalinan
 Dislokasi-fraktura persendian, tulang ekstrimitas
 Kerusakan alat vital : lien, hati, paru-paru, jantung
 Dislokasi fraktura persendian tulang leher.
 Infeksi dapat terjadi karena :
 Persalinan lama
 Ketuban pecah dini
 Manipulasi pada pemeriksaan dalam
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Di dunia kedokteran, dikenal persalinan cepat (precipitious labor and delivery), yang
prosesnya terjadi kurang dari 3 jam hingga bayi lahir. Persalinan cepat ini terjadi
dalam kehamilan cukup bulan (sudah masuk 37 minggu), berbeda dengan kasus
kelahiran bayi prematur.( dr. Boy.2020)

Partus presipitatus dapat disebabkan karena abnormalitas kontraksi uterus yang terlalu
kuat atau pada keadaan yang sangat jarang dijumpai tidak adanya rasa neri pada saat
his sehingga ibu tidak menyadari adanya proses persalinan yang sangat kuat.
Sehingga seringkali penolong persalinan belum siap untuk menolong persalinan, ibu
meneran yang sangat kuat tidak terkontrol, kepala janin defleksi terlalu cepat.
Keadaan ini memperbesar kemungkinan terjadinya laserasi perineum pada persalinan
spontan dapat terjadi pada saat kepala dan bahu dilahirkan.Partus presipitatus adalah
persalinan yang berlangsung lebih pendek dari normal yang sering berlangsung antara
2-3 jam

Partus presipitatus merupakan salah satu kelainan dari his, kelainan his adalah suatu
keadaan dimana his tidak normal baik kekuatannya maupun sifatnya sehingga
menghambat kelancaran persalinan. Kelainan his dibagi menjadi 3 yaitu his hipotonik,
his hipertonik, dan his yang tidak terkordinasi. Dan yang menyebabkan partus
presipitatus adalah his hipertonik adalah his yang cepat, sifat hisnya normal, tonus
otot diluar his yang biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his. His yang terlalu
kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan berlangsung cepat (<3jam) partus
precipittus adalah salah satu yang terjadi dengan cepat. Ini biasanya didefinisikan
sebagai satu di mana bayi Anda lahir dalam waktu tiga jam dari awal kontraksi.

Posisi janin sungsang tentunya dapat mempengaruhi proses persalinan, jika yang
terjadi adalah presentasi bokong murni, maka persalinan normal masih relatif mudah
dilakukan. Namun, hanya berlaku bagi ibu yang sudah pernah melahirkan bayi cukup
bulan pervaginam. Sedangkan jika yang terjadi adalah presentasi kaki, pada saat
ketuban pecah spontan mungkin saja tali pusat ikut keluar (prolapsus tali pusat). Jika
tidak segera dilakukan persalinan, janin mungkin tidak terselamatkan. Untuk
mencegahnya, persalinan dapat dilakukan dengan cara sesar.
Proses persalinan yang salah jelas dapat menimbulkan resiko bagi janin.
Untuk itu biasanya dokter, bidan menggunakan partograf (alat untuk memantau
kemajuan persalinan). Jika persalinan dinilai berjalan lambat, maka harus segera
dilakukan operasi (seksiosesaria).
Untuk ibu yang baru pertama kali hamil atau terdapat faktor resiko tinggi/
penyulit pada kehamilannya maka persalinan sesar merupakan jalan terbaik. Dalam
hal ini, serahkan keputusan terbaik kepada dokter yang menangani.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.babycenter.com/pregnancy/your-body/precipitous-labor_40007944

http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/1136/1/BAB%20I.pdf

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4285060/pdf/jocmr-07-150.pdf
MAKALAH
KELAINAN HIS/INERSIA UTERI DAN DISTOSIA

Disusun Oleh :
Leni Apriliani 1915201029
Ayu Puji Lestari 1915201031

PROGRAM STUDI KEBIDANAN DAN PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TANGERANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi rabbi karena atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyusun “Distosia dan Kelainan his/inersia uteri“paper ini disusun
sebagai wujud pertanggung jawaban atas tugas yang dibebankan kepada penulis.

Paper yang penulis sajikan memang belum sempurna, hal tersebut terjadi karena
keterbatasan disiplin ilmu yang penulis miliki. Selain itu penulis juga memiliki sumber yang
terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi
kesempurnaan paper ini. Segala kesempurnaan datang dari Allah dan kesalahan datang dari
penulis sendiri.

Kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
dalam penulisan paper ini penulis mengucapkan terima kasih. Semoga paper ini bisa
bermanfaat.

Tangerang,14 Oktober 2021

Penyusun.
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1


B. Rumusan masalah............................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Kelainan His/Inersia Uteri ................................................................................................. 4


B. Distocia ............................................................................................................................... 9

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 27


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) ialah salah satu dari beberapa parameter yang dapat
mendeskripsikan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara, terutama negara
berkembang seperti Indonesia. AKI di dunia berdasarkan data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2015 yaitu 216 setiap 100.000 kelahiran hidup atau diperkirakan jumlah
kematian ibu sekitar 303.000 kematian dengan jumlah tertinggi berada di negara
berkembang yaitu sebesar 302.000 kematian. Berdasarkan data dari survei demografi dan
kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia pada tahun 2007 tergolong sangat tinggi
dan menempati urutan pertama di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yaitu
sebesar 228 setiap 100.000 kelahiran hidup. Etiologi yang secara tidak langsung
mengakibatkan kematian ibu sebagian besar ialah anemia pada kehamilan yaitu sebesar
40%.
Menurut WHO pada tahun 2015, anemia merupakan salah satu penyebab kematian
ibu yang cukup besar baik pada saat masa kehamilan maupun ketika memasuki persalinan.
Pada kehamilan, ibu dikatakan anemia apabila kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dl
pada trimester pertama dan ketiga atau kurang dari 10,5 g/dl pada saat memasuki trimester
kedua. Batasan kadar hemoglobin tersebut berbeda dengan perempuan yang sedang tidak
hamil oleh karena pada wanita hamil terjadi hemodilusi, terlebih pada saat memasuki
trimester kedua (Cunningham, et al., 2012). Secara umum, etiologi terbanyak dari anemia
pada kehamilan ialah defisiensi zat besi (Fe) yang menyebabkan kadar hemoglobin menjadi
rendah dan tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh dalam menyalurkan oksigen untuk
perfusi ke jaringan. Hal ini mengakibatkan terganggunya pembentukan adenosin trifosfat
(ATP) untuk energi didalam otot sehingga mengakibatkan terjadinya kelelahan dan
melemahnya kontraksi otot rahim yang disebut dengan inersia uteri (Price, 2005). Selain
anemia, terdapat beberapa etiologi yang dapat menyebabkan inersia uteri diantaranya
adalah faktor uterus oleh karena overdistensi uterus pada kehamilan gemelli dan
hidramnion. faktor herediter dan faktor psikologis seperti keadaan ibu yang terlalu cemas
atau ketakutan saat persalinan. Disproporsi sefalopelvik seperti pada makrosomia
merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian inersia uteri, hal ini disebabkan oleh
karena bagian terbawah janin tidak dapat berhubungan langsung dengan segmen bawah
rahim. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida tua (Prawirohardjo, 2014).
1
Primigravida tua (older primigravida) adalah seorang wanita yang mengalami kehamilan
pertama pada usia lebih dari 35 tahun.
distosia adalah proses persalinan yang menyimpang dari persalinan eutosia yang di
sebabkan oleh ketidak serasian antara tiga komponen penting yaitu power, passege dan
pesseger sehingga menimbulkan kesulitan jalannya persalinan (Manuaba, 2010).
Partus lama masih merupakan suatu masalah di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun dilaporkan bahwa dari seluruh
persalinan, kejadian persalinan lama adalah sebesar 31% perdarahan berlebihan terjadi
pada 7% persalinan, dan angkake jadian infeksi sebesar 5%. Sementara ibu yang tidak
mengalami komplikasi selama persalinan adalah sebesar 64%. Berdasarkan survey ini,
maka pelayanan kesehatan ibu di Indonesia masih perlu peningkatan pelayanan dan harus
dibenahi dengan berbagai pendekatan (Kusumawati, 2006).
Apabila semua faktor ini dalam keadaan baik, sehat dan seimbang, maka proses
persalinan akan berlangsung dengan baik. Namun apabila salah satu dari faktor tersebut
mengalami kelainan, misalnya keadaan yang menyebabkan his tidak adekuat, kelainan
pada bayi, kelainan jalan lahir, kelainan penolong ataupun gangguan psikis maka persalinan
tidak dapat berjalan secara baik. Persalinan yang mengalami kesulitan unutk berjalan
spontan normal juga di pengaruhi berbagai faktor yang kompleks, misalnya ketidaktahuan
akan bahaya persalinan, keterampilan yang kurang, sarana yang tidak memadai, masih
tebalnya kepercayaan pada dukun serta rendahnya pendidikan dan rendahnya keadaan
sesial ekonomi rakyat (Kusumawati, 2006) Karena kurangnya pengetahuan terhadap ibu
hamil tentang pemeriksaan kesehatan janin sehingga banyak ibu hamil yang mengalami
kesulitan dalam proses persalinan. Kita sebagai perawat memberikan edukasi kepada ibu
hamil seperti melakukan pemeriksaan secara rutin, pemeriksaan USG untuk mengetahui
kondisi janin agar tidak terjadi masalah pada saat proses persalinan.
Karena kurangnya pengetahuan terhadap ibu hamil tentang pemeriksaan kesehatan
janin sehingga banyak ibu hamil yang mengalami kesulitan dalam proses persalinan. Kita
sebagai perawat memberikan edukasi kepada ibu hamil seperti melakukan pemeriksaan
secara rutin, pemeriksaan USG untuk mengetahui kondisi janin agar tidak terjadi masalah
pada saat proses persalinan. Selain itu terdapat pula faktor penting yang harus diperhatikan,
yaitu kondisi fisik dan psikologi pada ibu untuk mempermudah jalan lahir
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kelainan his/inersia uteri dan distosia?
b. Apa saja macam-macam kelainan his/inersia uteri dan distosia?
2
c. Bagaimana cara pencegahan distosia?
d. Apa saja penyebab terjadinya kelainan his/inersia uteri dan dostosia?
e. Apa yang yang bisa menyebabkan komplikasi kelaianan his/inersia uteri dan distosia?
f. Bagaimana cara penangannya pada kelaianan his/inersia uteri dan distosia?
C. Tujuan
a. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan kelainan his/inersia uteri dan distosia?
b. Mengetahui Apa saja macam-macam kelainan his/inersia uteri dan distosia?
c. Mengetahui Bagaimana cara pencegahan distosia?
d. Mengetahui Apa saja penyebab terjadinya kelainan his/inersia uteri dan dostosia?
e. Mengetahui Apa yang yang bisa menyebabkan komplikasi kelaianan his/inersia uteri
dan distosia?
f. Mengetahui Bagaimana cara penangannya pada kelaianan his/inersia uteri dan distosia?

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. KELAINAN HIS/INERSIA UTERI


A. Definisi Inersia Uteri
Inersia uteri adalah perpanjangan fase laten atau fase aktif atau kedua-duanya dari
kala pembukaan. Pemanjangan fase laten dapat disebabkan oleh serviks yang belum
matang atau karena penggunaan analgetik yang terlalu dini. Pemanjangan fase deselerasi
ditemukan pada disproporsi sefalopelvik atau kelainan anak. Perlu disadari bahwa
pemanjangan fase laten maupun fase aktif meninggikan kematian perinatal.

Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk melakukan
pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his lemah dan
frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik
seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan
kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta para penderita dengan
keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau
fase aktif maupun pada kala pengeluaran

a. Inersia uteri adalah his yang tidak normal, fundus berkontraksi lebih kuat dan
lebih dulu daripada bagian lain (Nugroho, 2012:166).
b. Inersia uteri adalah his yang sifatnya lebih lemah, lebih singkat, dan jarang
dibandingkan dengan his yang normal (Sofian, 2013:216).
c. Inersia uteri adalah his yang kekuatannya tidak adekuat untuk melakukan
pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his lemah dan
frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada pendrita keadaan umum kurang baik
seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau
kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta para
penderita dengan keadaan emosi yang kurang baik.
d. Inersia uteri merupakan his yang sifatnya lebih lemah, lebih singkat, dan lebih
jarang dibandingkan dengan his yang normal. Inersia uteri terjadi karena
perpanjangan fase laten dan fase aktif atau kedua-duanya dari kala pembukaan.
Pemanjangan fase laten dapat disebabkan oleh serviks yang belum matang atau
karena penggunaan analgetik yang terlalu dini. (Fauziyah, 2014:102).

4
e. Inersia uteri merupakan kontraksi uterus tidak cukup kuat atau tidak
terkoordinasi secara tepat selama kala satu persalinan untuk menyebabkan
pembukaan dan penipisan serviks. Selama kala dua, kombinasi mengejan
volunteer dengan kontraksi uterus tidak cukup untuk menyebabkan penurunan
dan ekspulsi (pengeluaran) janin (Reeder, dkk, 2014:393).
B. Macam-Macam Inersia Uteri
Menurut Dr. Amru Sofian, 2013:216 inersia uteri dibagi dalam 2 bagian yaitu:
a. Inersia uteri primer adalah kelemahan his timbul sejak dari permulaan persalinan.
Hal ini harus dibedakan dengan his pendahuluan yang juga lemah dan kadang-
kadang menjadi hilang (false labour)
b. Inersia uteri sekunder adalah kelemahan his yang timbul setelah adanya his yang
kuat teratur dan dalam waktu yang lama.
Menurut Yulia Fauziyah, 2014:102 inersia uteri dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Inersia uteri hipertonis, yaitu kontraksi uterin tidak terkoordinasi, misalnya
kontraksi segmen tengah lebih kuat dari segmen atas. Inersia uteri ini sifatnya
hipertonis, sering disebut sebagai inersia spastis. Pasien biasanya sangat
kesakitan. Inersia uteri hipertonis terjadi dalam fase laten. Oleh karena itu
dinamakan juga sebagai inersia primer.
b. Inersia uteri hipotonis, yaitu kontraksi terkoordinasi tetapi lemah. Melalui
deteksi dengan menggunakan cardio Tocography (CTG), terlihat tekanan yang
kurang dari 15 mmHg. Dengan palpasi, his jarang dan pada puncak kontraksi
dinding rahim masih dapat ditekan ke dalam. His disebut naik bila tekanan
intrauterine mencapai 50-60 mmHg. Biasanya terjadi dalam fase aktif atau kala.
II. Oleh karena itu, dinamakan juga kelemahan his sekunder
Perbedaan Inersia Uteri Hipotonis dan Hipertonis
Varabel Hipotonis Hipertonis

kejadian 4% dari persalinan 1% dari persalinan

Terjadi saat Fase aktif Fase laten

nyeri Tidak nyeri Nyeri berlebihan

Fetal distress Lambat terjadi Cepat

5
Reaksi terhadap Baik Baik
oksitosin
Pengaruh sedative Sedikit Besar

C. Etiologi
Menurut Reeder, Martin, Griffin tahun 2014:395 penyebab terjadinya inersia
uteri yaitu:
1. Distensi berlebihan pada uterus, disebabkan oleh janin yang besar, kehamilan
kembar, atau polihidroamnion
2. Kekakuan serviks yang dihubungkan dengan fibrosis serviks dan nulipara yang
berusia lanjut
3. Klien yang sangat gemuk (berhubungan dengan persalinan yang lebih lambat dan
lebih tidak konsisten)
4. Usia maternal yang lanjut (pengerasan taut jaringan ikat antara komponan tulang
panggul yang dihubungkan dengan memanjangnya kala dua persalinan)
5. Pemberian analgesik yang berlebihan

Menurut dr. Taufan Nugroho, 2012:168 penyebab inersia uteri yaitu:


1. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida khususnya primigravida tua
2. Inersia uteri sering dijumpai pada multigravida
3. Faktor herediter
4. Faktor emosi dan ketakutan
5. Salah pimpinan persalinan
6. Bagian terbawah jani tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus, seperti
pada kelainan letak janin atau pada disproporsi sefalipelvik
7. Kelainan uterus seperti uterus bikornis unikolis
8. Salah pemberian obat-obatan, oksitosin dan obat penenang.
9. Peregangan Rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda atau hidramnion
10. Kehamilan postmatur.
Faktor penyebab inersia uteri diantaranya:
a. Faktor umum seperti umur, paritas, anemia, ketidaktepatan penggunaan
analgetik, pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin,
perasaan tegang dan emosional,

6
b. Faktor lokal seperti overdistensi uterus, hidramnion, malpresentasi, malposisi,
dan disproporsi cephalopelvik, mioma uteri (Sastrawinata, 2015:45)

D. Patofisiologi
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia
dapatdisebabkan karena kelainan HIS (HIS hipotonik dan hipertonik), karena
kelainanmbesar anak, bentuk anak (Hidrocefalus, kembar siam, prolaps tali pusat),
letakanak (letak sungsang dan lintang), serta karena kelainan jalan lahir.
Dystocia berasal dari bahasa Latin yaitu tokos yang berarti kelahiran bayi.
Dystocia yaitu keabnormalan atau kesulitan dalam melahirkan.Menurut
Sinelair,Constance (2009),distosia merupakan persalinan yang tidak normal atau
pelahiran yang sulit, disebabkan oleh malposisi kepala janin ( asinklitisme
atau ekstensi), dorongan eksplus yang tidak adekuat, ukuran atau presentasi janin,
panggul yang mengalami kontraksi atau kelainan jalan lahir.
Menurut Achadiat, Chrisdiono (2004),distosia adalah persalinan abnormal / sulit
yang ditandai dengan kelambatan atau tidak adanya kemajuan proses persalinan
dalam satuan waktu tertentu. Distosia merujuk pada kemampuan persalinan yang tidak
normal. Persalinan berlangsung lebih lama, lebih nyeri, atau tidak normal
karena adanya masalah pada mekanisme persalinan, tenaga/ kekuatan, jalan
lahir, janin yang akan dilahirkan, atau masalah psikis.
Distosia merupakan indikasi paling umum dilakukannya persalinan seksio sesarea,
yang diperkirakan terjadi pada sekitar 50% pelahiran dengan pembedahan
(Sokol et al., 1994)Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam.
Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi
serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin,2002).
Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan lebih dari 18 jam
pada multi (Manuaba,2010).
Distosia karena kelainan his adalah perlambatan persalinan yang diakibatkan
kontraksi uterus abnormal. Gilbert (2007).
Distosia kelainan his atau tenaga adalah kelainan his yang tidak normal dalam
kekuatan atau sifatnya menyebabkan bahwa rintangan pada jalan lahir yang lazim
terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi, sehingga persalinan mengalami
kemacetan atau hambatan. His yang normal mulai dari salah satu sudut fundus uteri
yang kemungkinan kemudian menjalar merata simetris ke seluruh korpus Uteri dengan
7
adanya dominasi kekuatan pada fundus uteri dengan lapisan otot uterus paling
dominan kemudian mengadakan relaksasi secara merata dan menyeluruh sehingga
tekanan dalam ruangan amnion kembali ke asalnya kurang lebih 10 mmhg.

E. Komplikasi
Inersia uteri yang tidak diatasi dapat memanjakan wanita terhadap bahaya
kelelahan, dehidrasi, dan infeksi intrapartum. Tanda-tanda terjadinya gawat janin tidak
tampak sampai terjadinya infeksi selama intrapartum. Walaupun terapi infeksi
intrauterin dengan antibiotik memberikan proteksi terhadap wanita, tetapi manfaatnya
kecil dalam melindungi janin. Lain halnya dengan inersia uteri sekunder, gawat janin
cenderung muncul pada awal persalinan ketika terjadi inersia uteri sekunder. Tonus otot
yang meningkat dengan konstan merupakan predisposisi terjadinya hipoksia pada janin.
Kadang kala, pecahnya selaput ketuban dalam waktu lama dapat menyertai kondisi ini
dan dapat menyebabkan infeksi intrapartum (Reeder, dkk, 2014:396)
Inersia uteri dapat menyebabkan persalinan akan berlangsung lama dengan akibat
terhadap ibu dan janin yaitu infeksi, kehabisan tenaga, dan dehidrasi (Nugroho,
2012:169).
.
F. Penatalaksananya
Apabila penyebabnya bukan kelainan panggul dan atau kelainan janin yang tidak
memungkinkan terjadinya persalinan pervaginam, apabila ketuban positif dilakukan
pemecahan ketuban terlebih dahulu. Jika upaya ini tidak berhasil, berikut langkah-langkah
penanganan selanjutnya:
1. Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dekstrosa 5%, dimulai dengan
12 tetes per menit, dinaikkan setiap 30 menit sampai 40-50 tetes per menit.
Maksud dari pemberian oksitosin adalah supaya serviks dapat membuka.
2. Pemberian oksitosin tidak usah terus menerus, sebab bila tidak mempekuat his
setelah pemberian beberapa lama, hentikan dulu dan ibu dianjurkan untuk
istirahat. Keesokan harinya bias diulang pemberian oksitosin drips.
3. Bila inersia disertai dengan disproporsi sefalopelvis, maka sebaiknya dilakukan
seksio sesarea.
4. Bila semua his kuat tetapi kemudian terjadi inersia sekunder/hipertonis,
pengobatan yang terbaik ialah petidin 50 mg atau tokolitik, seperti ritodine
dengan maksud menimbulkan relaksasi dan istirahat, dengan harapan bahwa

8
setelah pasien itu bangun kembali timbul his yang normal. Mengingat bahaya
infeksi intrapartum, kadang-kadang dicoba juga oksitosin, tetapi dalam larutan
yang lebih lemah. Namun jika his tidak menjadi lebih baik dilakukan seksio
sesarea (Fauziyah, 2014:103).
Standar operasional prosedur pada kasus inersia uteri yaitu:
1. Nilai keadaan umum ibu, tanda-tanda vital ibu
2. Tentukan keadaan janin, pastikan DJJ dalam batas normal. Jika ketuban sudah
pecah, air ketuban kehijau-hijauan atau bercampur darah pikirkan kemungkinan
terjadi gawat janin. Jika terdapat gawat janin lakukan seksio sesarea.
3. Apabila terdapat disproporsi sefalopelvis maka sebaiknya lakukan seksio sesarea
4. Berikan penanganan umum yang kemungkinan akan memperbaiki kontraksi
seperti berjalan-jalan. Lakukan penilaian frekuensi dan lamanya kontraksi
berdasarkan partograf.
5. Apabila tidak ada kemajuan persalinan maka lakukan induksi dengan oksitosin
drip 5 IU dalam 500 cc RL dengan tetas 8/menit dan dinaikkan tiap 30 menit
maximal 40 tetes.
6. Apabila ada kemajuan persalinan, maka evaluasi kemajuan tiap 2 jam. Namun
apabila tidak ada maka sebaiknya lakukan seksio sesarea
2. DISTOSIA
Distosia adalah Kesulitan dalam jalannya persalinan. (Rustam Mukhtar, 1994)
Distosia adalah persalinan yang panjang, sulit atau abnormal yang timbul akibat berbagai
kondisi. (Bobak, 2004 : 784)
ETIOLOGI
Distosia dapat disebabkan oleh :
• Persalinan disfungsional akibat kontraksi uterus yang tidak efektif atau akibat upaya
mengedan ibu (kekuatan/power)
• Perubahan struktur pelvis (jalan lahir/passage)
• Sebab pada janin meliputi kelainan presentasi/kelainan posisi, bayi besar, dan jumlah bayi
(passengger)

G. DISTOCIA KARENA FAKTOR JALAN LAHIR


Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan
tenaga (his) yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya sehingga menghambat
kelancaran persalinan. Baik tidaknya his dinilai dengan kemajuan persalinan, sifatnya his,

9
dan besarnya caput succedaneium. Sifat his dapat dilihat dari frekuensi, kekuatan, dan
lamanya his. Kekuatan his dinilai dengan menekan dinding rahim pada puncak kontraksi.
Kekuatan his tidak boleh dinilai dari perasaan nyeri penderita. His yang kurang kuat dapat
diketahui melalui beberapa tanda seperti his terlalu lemah, terlalu pendek, dan terlalu
jarang.
Jalan lahir merupakan komponen yang sangat penting dalam proses persalinan yang
terdiri dari jalan lahir tulang dan jalan lahir lunak. Proses persalinan merupakan proses
mekanis yang melibatkan tiga faktor, yaitu: jalan lahir, kekuatan yang mendorong, serta
janin yang didorong dalam satu mekanis tertentu dan terpadu. Dari ketiga komponen
tersebut, hanya kekuatan (his dan mengejan) yang dapat dimanipulasi dari luar tanpa
membahayakan janin dalam proses persalinan. Jalan lahir merupakan komponen yang
tetap, artinya dalam konsep obstetri modern tidak diolah untuk dapat melancarkan proses
persalinan kecuali jalan lunak pada keadaan tertentu tanpa membahayakan janin. Jalan lahir
tulang mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Pintu atas panggul dengan distansi transversalis kanan kiri lebih panjang dari muka
belakang.
2. Mempunyai bidang tersempit pada spina ischiadica.
3. Pintu bawah panggul terdiri dari dua segitiga dengan dasar pada tuber ischia, ke
depan dengan ujung simfisis pubis, ke bela kang ujung sacrum.
4. Pintu atas panggul menjadi pintu bawah panggul, seolah-olah berputar sembilan
puluh derajat.
5. Jalan lahir depan panjang 4,5 cm, sedangkan jalan lahir belakang panjanganya 12,5
cm.
6. Secara keseluruhan jalan lahir merupakan corong yang me lengkung ke depan,
mempunyai bidang sempit pada spina ischiadica, terjadi perubahan pintu atas
panggul lebar kanan kiri menjadi pintu bawah panggul dengan lebar ke depan dan
belakang yang terdiri dari dua segitiga.
Jalan lahir sangat menentukan apakah proses persalinan dapat berlangsung melalui
jalan biasa atau melalui tindakan operasi dengan kekuatan dari luar. Yang perlu
diperhatikan bidan di daerah pedesaan adalah kemungkinan ketidakseimbangan antara
kepala dan jalan lahir dalam bentuk disproporsi sefalopelvik. Sebagai kriteria,
kemungkinan ketidakseimbangan pada primigravida dapat diduga bila dijumpai:
1. Kepala janin belum turun pada minggu ke-36 yang disebabkan janin terlalu besar,
kesempitan panggul, serta terdapat lilitan tali pusat dan hidrosefalus.
10
2. Kelainan letak yang berupa letak lintang maupun letak sungsang.
3. Pada multipara, kemungkinan kesempitan panggul dapat diduga melalui riwayat
persalinan yang buruk dan persalinan dengan tindakan operasi.
Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, dapat diperk rakan persalinan akan
mengalami kesulitan sehingga perlu dikonsultasikan atau segera dirujuk agar mendapatkan
penanganan yang adekuat. Kelainan pada jalan lahir dapat membuat gangguan pembukaan
di beberapa organ, yaitu:
1. Serviks
Selama kehamilan, serviks harus tetap terjaga konsistensinya yang kaku dan
tetap tertutup sehingga hasil konsepsi tidak keluar. Dengan dimulainya onset
pematangan serviks, maka serviks akan diubah menjadi lebih lunak dan mudah
berdilatasi sehingga dengan adanya kontraksi uterus maka janin dapat dilahirkan.
Proses pematangan serviks ini merupakan proses awal dari adanya kontraksi uterus.
Distosia serviks uteri (rigid cervix uteri) dapat mengganggu proses
persalinan dan akhirnya memerlukan intervensi tin dakan obstetrik. Distosia serviks
uteri adalah terhalangnya kemajuan persalinan yang disebabkan kelainan serviks
uteri. Walaupun his dalam keadan normal dan baik, kadang-kadang pembukaan
serviks dapat menjadi macet karena ada kelainan yang menyebabkan serviks tidak
mau membuka. Empat jenis kelainan pada serviks yaitu:
a. Serviks kaku
Serviks kaku adalah keadaan dimana seluruh serviks kaku. Keadaan
ini sering dijumpai pada primigravida tua, atau karena adanya parut-parut
bekas luka atau bekas in feksi atau pada karsinoma servisis. Diagnosis
distosia per salinan karena serviks kaku dibuat bahwa pada his yang baik
dan normal pada kala 1 adalah terjadinya penambahan pembukaan (setelah
dilakukan beberapa kali pemeriksaan dalam waktu tertentu). Jika diagnosis
yang didapat adalah serviks kaku dan setelah pemberian obat-obatan seperti
valium dan pethidin tidak merubah sifat kekakuan, maka tindakan yang
dilakukan adalah seksio sesarea.
b. Serviks gantung
Serviks gantung adalah suatu keadaan dimana ostium uteri
eksternum dapat terbuka lebar, sedangkan ostium uteri internum adalah
suatu keadaan dimana ostium uteri eksternum tidak mau membuka. Serviks

11
akan tergantung seperti corong. Apabila selama observasi tidak ditemukan
kemajuan, maka tindakan pertolongan yang tepat adalah seksio sesarea.
c. Serviks konglumer
Serviks konglumer adalah suatu keadaan dimana ostium uteri
internum dapat membuka sampai lengkap, sedangkan ostium uteri
eksternum tidak mau membuka. Kejadian ini sering kali dijumpai pada
wanita dengan prolaps uteri dengan serviks dan porsio yang panjang.
Serviks dapat menjadi tipis, namun ostium uteri eksternum tidak membuka
atau hanya membuka 5 cm.
Pada kelainaan ini, penangan yang dilakukan tergantung pada
keadaan turunnya kepala janin. Beberapa tindakan tersebut yaitu ostium
uteri eksternum dicoba melebarkan pembukaannya secara digital
menggunakan diladator, dan ostium uteri eksternum diperlebar dengan
sayatan masing masing selebar 1-2 cm. Apabila beberapa hal tersebut tidak
berhasil, maka dilakukan seksio sesarea.
d. Edema serviks
Bila dijumpai edema yang hebat dari serviks, disertai hematoma dan
nekrosis, maka tanda tersebut merupakan tanda adanya obstruksi. Apabila
syarat-syarat untuk ekstraksi vakum atau forseps tidak memungkinkan,
maka sebaiknya dilakukan tindakan seksio sesaria
2. Vulva
Atresia vulva dalam bentuk atresia himenalis yang menye babkan
hematokolpos, hematometra, dan atresia vagina dapat menghalangi konsepsi.
Kelainan vagina yang cukup sering di jumpai dalam kehamilan dan persalinan
adalah septum vagina, terutama vertika longitudional. Septum yang lengkap sangat
ja rang menyebabkan distosia karena separuh vagina yang harus dilewati oleh janin
biasanya cukup melebar sewaktu kepala lahir. Akan tetapi septum yang tidak
lengkap kadang-kadang menghambat turunnya kepala.
Kelainan yang bisa menyebabkan distosia ialah oedema vulva, stenosis
vulva, kelainan bawaan, varises, hematoma, peradangan, kondiloma akuminata, dan
fistula.
a. Oedema vulva
Edema (oedema) vulva adalah meningkatnya volume cairan
ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan
12
penimbunan cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa
(jaringan ikat longgar dan rongga-rongga badan) pada vulva.
Edema bisa timbul pada waktu kehamilan. Biasanya sebagai
preeklamsi, akan tetapi dapat pula timbul karena sebab lain, misalnya
gangguan gizi atau malnutrisi atau pada persalinan yang lama. Edema dapat
juga terjadi pada persalinan dengan dispoporsi sefalopelvik atau wanita
mengejan terlampau lama (terus menerus), sedangkan kepala belum cukup
turun. Hal tersebut akan mempersulit pemeriksaan dalam dan meng hambat
kemajuan persalinan yang akhirnya dapat menim bulkan kerusakan luas
pada jalan lahir.
b. Stenosis vulva
Stenosis vulva biasanya terjadi sebagai akibat perlukaan dan radang
yang menyebabkan ulkus-ulkus yang sembuh dengan parut-parut yang
dapat menimbulkan kesulitan. Walaupun umumnya dapat diatasi dengan
mengadakan episiotomi, yang cukup luas. Kelainan congenital pada vulva
yang menutup sama sekali hingga hanya orifisium utrethra eksternum yang
tampak, dapat pula terjadi. Penanganan yang dilakukan adalah dengan
mengadakan sayatan median secukupnya untuk melahirkan kepala.
c. Varises
Pada umumnya, wanita hamil sering mengeluh melebarnya
pembuluh darah di tungkai, vagina, vulva, dan wasir setelah proses
melahirkan. Hal tersebut bisa terjadi karena reaksi sistem vena, terutama
pada dinding pembuluh darah seperti otot-otot ditempat lain yang melemah
akibat pengaruh hormon steroid. Bahaya varises dalam kehamilan dan
persalinan adalah apabila varises pecah. Kondisi tersebut dapat berakibat
fatal dan menyebabkan emboli udara. Varises yang pecah harus dijahit baik
dalam kehamilan maupun setelah lahir.
d. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh
darah. Kondisi ini dapat terjadi saat dinding pembuluh darah arteri, vena,
atau kapiler mengalami keru sakan sehingga darah keluar menuju jaringan
yang bukan tempatnya. Pembuluh darah pecah mengakibatkan hema toma
di jaringan ikat yang renggang pada vulva, sekitar vagina atau ligamentum
latum. Hematoma vulva dapat juga terjadi karena trauma, misalnya jatuh
13
terduduk pada tempat yang keras atau koitus yang kasar. Bila hematoma
kecil, lakukan tindakan resorpsi sendiri. Sedangkan apabila hematoma
besar, lakukan tindakan insisi dan keluarkan bekuan darah.
Hematoma dapat terjadi di saat kehamilan berlangsung, namun lebih
sering terjadi pada persalinan. Hematoma vulva dan vagina dapat menjadi
besar, yang disertai bekuan darah pada perdarahan aktif.
e. Peradangan
Pada umumnya, peradangan vulva sering bersamaan dengan
peradangan vagina. Peradangan dapat terjadi akibat infeksi spesifik, seperti
sifilis, gonorea, dan trikomoniasis. Sifilis disebabkan oleh treponema
pallidum. Luka primer di vulva sering tidak disadari penderita dalam
stadium 2, dan dijumpai kondiloma akuminata, yaitu tonjolan kulit lebar-
lebar dengan permukan licin, basah, warna putih atau kelabu dan sangat
infeksius.
Gonerea dapat menyebabkan vulvovaginitis dalam keha milan
dengan keluhan fluor albus dan disuria. Bayi yang lahir dari ibu yang
menderita gonorea dapat mengalami blenora neonaturum. Trikomoniasis
vaginalis yang disebabkan para sit golongan protozoa menimbulkan gejala
fluor albus dan gatal. Pasangan pria dapat ditulari melalui persetubuhan dan
sebaliknya pasangan pria dapat menulari pasangan wa nita. Penularan juga
dapat terjadi melalui handuk.
f. Kondiloma akuminata
Kondiloma akuminata merupakan pertumbuhan pada kulit selaput
lendir yang menyerupai jengger ayam jago. Berlainan dengan kondiloma
latum, dimana gejala yang ditemukan yaitu permukaan kasar papiler,
tonjolan lebih tinggi, serta warnanya lebih gelap. Kelainan ini perlu diobati
sebelum proses persalinan. Kondiloma akuminata berbentuk seperti
kembang kumis atau cauliflower dengan bagian tengahnya jaringan ikat dan
ditutup terutama bagian atas oleh epitel dengan hyperkeratosis.
Kondiloma akuminata disebabkan oleh suatu jenis virus yang
banyak persamaannya dengan penyebab veruka vulgaris. Adanya leukorhea
mempermudah tumbuhnya virus dan kondiloma akuminata. Kelainan ini
juga lebih sering ditemukan pada kehamilan karena lebih banyak vasku
larisasi dan cairan pada jaringan.
14
g. Fistula
Fistula vesikovaginal atau fistula rectovaginal biasanyas terjadi pada
waktu bersalin, baik sebagai tindakan operatif maupun akibat nekrosis
tekanan. Tekanan yang terlalu lama antara kepala dan tulang dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi sehinga terjadi kematian jaringan lokal
dalam 5-10 hari lepas dan terjadi lubang.
Kejadian fistula ini sudah jarang dijumpai karena persalinan kasep
yang makin jarang terjadi. Fistula vesikovaginal atau fistula rectovaginal
biasanya terjadi pada waktu bersalin, baik sebagai tindakan operatif maupun
akibat nekrosis tekanan.
3. Vagina
a. Kelainan vagina (aplasia vagina)
Pada aplasia vagina, di bagian introitus vagina terdapat cekungan
yang agak dangkal atau yang agak dalam. Penyebab kelainan ini yaitu
karena kelainan kongenital atau pertumbuhan atau pembentukan organ janin
yang tidak sempurna di dalam kandungan pada masa kehamilan.
b. Stenosis vagina kongenital
Stenosis vagina secara umum jarang ditemukan, dan lebih sering
ditemukan septum vagina yang memisahkan vagina secara lengkap atau
tidak lengkap pada bagian kanan atau kiri. Septum lengkap biasanya tidak
menimbulkan distosia karena bagian vagina yang satu umumnya cukup
lebar, baik untuk koitus maupun lahirnya janin.
Stenosis dapat terjadi karena parut-parut akibat perlukaan dan
radang. Apabila stenosis vagina tetap kaku dalam kehamilan, maka perlu
dilakukan seksio sesarea.
c. Tumor vagina
Tumor vagina merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam.
Adanya tumor vagina bisa menyebabkan persa linan pervaginam dianggap
berisiko. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan
apakah persalinan dapat berlangsung secara pervaginam atau diselesaikan
dengan seksio sesarea.
d. Kista vagina
Kista vagina berasal dari duktus gartner atau duktus muller, letak
lateral dalam vagina bagian proximal, di tengah, distal di bawah orifisium
15
uretra eksternal. Kista vagina dapat berukuran kecil dan besar sehingga
bukan saja menganggu pertumbuhan, namun dapat pula menyulitkan
persalinan.
4. Uterus
a. Retroflexio uteri
Retroflexio uteri adalah uterus hamil yang semakin lama semakin
besar terkurung dalam rongga panggul, tidak dapat keluar memasuki rongga
perut. Kehamilan pada retrofleksi uteri tidak banyak dijumpai karena
kemampuan mobilisasi uterus selama hamil dan melepaskan diri dari
ruangan pelvis minor. Penyebab kelainan ini yaitu karena terkurungnya
uterus, uterus retrofleks, tertahan karena adanya perlekatan-perlekatan atau
sebab lain yang tidak diketahui (fiksata).
b. Prolapsus uteri
Prolapsus uteri atau turunnya uterus terjadi karena kelemahan
ligamen endopelvik terutama ligamentum transversal. Kondisi tersebut
dapat dilihat melalui multipara, dimana terjadinya elangosiopoli disertai
prolapsus uteri tanpa sistokel tetapi ada enterokele. Pada keadaan ini, fasia
pelvis kurang baik pertumbuhannya dan kurang kerenggangannya.
c. Kelainan bawaan uteri
Kelainan bawaan dapat terjadi akibat gangguan dalam penyatuan,
dalam berkembangnya kedua saluran muller dan kanalisasi. Uterus dedelfis
atau uterus duplek terjadi apabila kedua saluran muller berkembang sendiri-
sendiri tanpa penyatuan sedikitpun sehingga terdapat 2 saluran telur, 2
serviks, dan 2 vagina. Uterus subseptus terdiri atas 1 korpus uteri dengan
septum yang tidak lengkap, 1 serviks, 1 vagina, cavum uteri kanan dan kiri
terpisah secara tidak lengkap. Uterus arkuatus hanya mempunyai cekungan
di fundus uteri. Kelainan ini secara umum paling ringan dan sering dijumpai.
H. DISTOSIA KARENA FAKTOR JANIN
Malpresentasi adalah bagian terendah janin yang berada di segmen bawah rahim,
bukan belakang kepala. Malposisi adalah penunjuk (presenting part) tidak berada di
anterior. Secara epidemiologis, pada kehamilan tunggal didapatkan presentasi kepala
sebesar 96,8%, bokong 2,7%, letak lintang 0,3%, majemuk 0,1%, muka 0,05%, dan dahi
0,01%. Persalinan normal dapat terjadi manakala terpenuhi keadaan-keadaan tertentu dari
faktor-faktor persalinan jalan lahir (passage), janin (passanger), dan kekuatan (power).
16
Pada waktu persalinan, hubungan antara janin dan jalan lahir sangatlah penting
untuk diperhatikan, oleh karena menentukan mekanisme dan prognosis persalinannya.
Dalam keadaan normal, presentasi janin adalah belakang kepala dengan penunjuk ubun-
ubun kecil dalam posisi transversal (saat masuk pintu atas panggul) dan posisi anterior
(setelah melewati pintu tengah panggul). Dengan presentasi tersebut, kepala janin akan
masuk panggul dalam ukuran terkecilnya (sirkumferensia suboksipito bregmatikus). Hal
tersebut dicapai bila sikap kepala janin fleksi. Sikap tidak normal akan menimbulkan
malpresentasi pada janin, dan kesulitan persalinan terjadi oleh karena diameter kepala yang
harus melalui panggul menjadi lebih besar. Sikap ekstensi ringan akan menjadi presentasi
puncak kepala (dengan penunjuk ubun ubun besar), ekstensi sedang menjadikan presentasi
dahi (dengan penunjuk sinsiput), dan ekstensi maksimal menjadikan presentasi muka
(dengan penunjuk dahi). Apabila janin dalam keadaan malpresentasi atau malposisi, maka
dapat terjadi persalinan yang lama atau bahkan macet.
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain presentasi belakang kepala.
Malposisi adalah posisi abnormal ubun-ubun yang relatif lebih kecil terhadap panggul ibu.
Pengertian persalinan lama adalah persalinan kala I fase aktif dengan kontraksi uterus
regular selama lebih dari 12 jam. Persalinan macet adalah persalinan yang kemajuannya
terhambat oleh faktor mekanis dan proses kelahiran tidak mungkin dilakukan tanpa
intervensi operatif.
1. Presentasi dahi
Presentasi dahi terjadi manakala kepala janin dalam sikap ekstensi sedang.
Pada pemeriksaan dalam, dapat diraba daerah sinsiput yang berada di antara ubun-
ubun besar dan pangkal hidung. Bila menetap, janin dengan presentasi ini tidak
dapat dilahirkan oleh karena besarnya diameter oksipitomental yang harus melalui
panggul. Janin dengan ukuran kecil dan punggungnya berada di posterior atau
ukuran panggul yang sedemikian luas, mungkin masih dapat dilahirkan
pervaginam. Kejadian presentasi dahi meningkat bila didapatkan adanya
polihidramnion (0,4%), berat badan lahir <1500 gram (0,19%), prematuritas
(0,16%), dan postmaturitas (0,1%).
a. Diagnosis
1) Pemeriksaan abdominal: kepala janin lebih separuhnya di atas
pelvis, denyut jantung janin sepihak dengan bagian kecil
2) Pemeriksaan vaginal: oksiput lebih tinggi dari sinsiput, teraba
fontanella anterior dan orbita, bagian kepala masuk pintu atas
17
panggul (PAP) adalah antara tulang orbita dan daerah ubun-ubun
besar. Ini adalah diameter yang paling besar, sehingga sulit lahir
pervaginam. Apabila mu lut dan dagu janin dapat teraba, maka
diagnosisnya ada lah presentasi muka. Sebanyak 24% presentasi
dahi tidak terdiagnosis sebelum kala II. Pada palpasi abdomen dapat
teraba oksiput dan dagu janin di atas simfisis dengan mudah.
b. Penanganan
Sebagian besar presentasi dahi memerlukan pertolongan persalinan
secara bedah sesar untuk menghindari manipulasi vaginal yang sangat
meningkatkan mortalitas perinatal. Jika dibandingkan dengan presentasi
belakang kepala, persalinan vaginal pada presentasi dahi akan
meningkatkan prolapsus tal pusat (5 kali), rupture uteri (17 kali), transfuse
darah (3 kali), infeksi persalinan (5 kali), dan kematian perinatal (2 kali).
Apabila presentasi dahi didiagnosis pada persalinan awal dengan
selaput ketuban yang utuh, observasi ketat dapat dilakukan. Observasi ini
dimaksudkan untuk menunggu kemungkinan perubahan presentasi secara
spontan. Pemberian stimulasi oksitosin pada kontraksi uterus yang lemah
harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak boleh dilakukan apabila
terjadi penurunan kepala atau di curigai adanya disproporsi kepala panggul.
Presentasi dahi yang menetap atau dengan selaput ketuban yang sudah
pecah sebaiknya dilakukan pembedahan sesar untuk melahirkannya. Jangan
melahirkan menggunakan bantuan ekstraksi vakum, forsep, atau episiotomi
karena hanya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Lakukan seksio
sesarea bila janin hidup, lalu jika janin mati lakukan kraniotomi bila
memungkinkan atau seksio sesarea bila syarat dan sarana kraniotomi tidak
terpenuhi.
2. Presentasi muka
Presentasi muka terjadi apabila sikap janin ekstensi maksimal sehingga
oksiput mendekat ke arah punggung janin dan dagu menjadi bagian presentasinya.
Faktor disposisi yang meningkatan kejadian presentasi dahi adalah malformasi
janin (0,9%), berat badan lahir <1500 gram (0,71%), polihidramnion (0,18%), dan
multiparitas (0,16%). Berbeda dengan presentasi dahi, janin dengan presentasi
muka masih dapat dilahirkan vaginal apabila posisi dagunya di anterior.
a. Diagnosis
18
Pemeriksaan abdominal, lekukan akan teraba antara daerah oksiput
dan punggung (sudut Fabre), denyut jantung janin sepihak dengan bagian
kecil janin. Pemeriksaan vaginal, muka dengan mudah teraba, teraba mulut
dan bagian rahang mudah diraba, tulang pipi, tulang orbita, kepala janin
dalam keadaan defleksi maksimal. Penunjuk presentasi muka adalah dagu.
Pada palpasi abdomen kadang-kadang dapat diraba tonjolan kepala janin di
dekat punggung janin. Pada waktu persalinan, seringkali muka menjadi
edema, sehingga diagnosis dapat keliru sebagai presentasi bokong pada
keadaan tersebut pera baan pada mulut mirip dengan perabaan pada anus.
Sebanyak 49% kasus presentasi muka tidak terdiagnosis sebelum kala II.
Dalam membedakan mulut dan anus yaitu, anus merupakan garis lurus
dengan tuber iskhii, sedangkan mulut merupakan segita dengan prominen
molar.
b. Penanganan
Posisi dagu di anterior adalah syarat yang harus dipenuhi apabila janin
presentasi muka hendak dilahirkan secara vaginal. Apabila tidak ada gawat
janin dan persalinan berlangsung dengan kecepatan normal, maka cukup
dilakuka observasi terlebih dahulu hingga jadi pembukaan lengkap Apabila
setelah pembukaan lengkap dagu di anterior, maka persalinan vaginal
dilanjutkan seperti persalinan dengan presentasi belakang kepala. Bila
penurunan kurang lancar, lakukan ekstraksi forsep. Apabila pembukaan
belum lengkap dan tidak ada kemajuan pada pembukaan dan penurunan,
lakukan seksio sesarea.
Bedah sesar dilakukan apabila setelah pembukaan lengkap posisi
dagu masih posterior, didapatkan tanda-tanda disproporsi, atau atas indikasi
obstetri lainnya. Jika pembu kaan belum lengkap serta tidak ada kemajuan
pembukaan dan penurunan, lakukan seksio sesarea. Jika janin mati, la kukan
kraniotomi atau seksio sesarea.
Stimulasi oksitosin hanya diperkenankan pada posisi dagu anterior
dan tidak ada tanda-tanda disproporsi. Melakukan perubahan posisi dagu
secara manual ke arah anterior atau mengubah presentasi muka menjadi
presentasi belakang kepala sebaiknya tidak dilakukan karena dapat
menimbulkan bahaya. Melahirkan bayi presentasi muka menggunakan

19
ekstraksi vakum juga tidak diperkenankan karena memiliki risiko yang
cukup besar.
3. Presentasi majemuk
Presentasi majemuk adalah terjadinya prolapsus satu atau lebih ekstermitas
pada presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki panggul bersamaan
dengan kaki dan/atau tangan. Presentasi majemuk juga dapat terjadi manakala
bokong memasuki panggul bersamaan dengan tangan dalam pengertian presentasi
majemuk tidak termasuk presentasi bokong-kaki, presentasi dagu, atau prolapsus
tali pusat. Apabila bagian terendah janin tidak menutupi dengan sempurna pintu
atas panggul, maka presentasi majemuk dapat terjadi.
Faktor yang meningkatkan kejadian presentasi majemuk adalah
prematuritas, multiparitas, panggul sempit, kehamilan ganda, atau pecahnya selaput
ketuban dengan bagian terendah janin yang masih tinggi. Jenis presentasi majemuk
yang sering terjadi adalah kombinasi kepala dengan tangan atau lengan. Kaki yang
menyertai kepala atau tangan yang menyertai bokong jarang terjadi. Prolapsus tali
pusat dapat terjadi sebagai komplikasi presentasi majemuk dengan kejadian 13-23
%.
a. Diagnosis
Prolapsus ekstremitas bersamaan dengan bagian terendah janin
(kepala atau bokong). Kemungkinan adanya presentasi majemuk dapat
dipikirkan apabila terjadi kelambatan kemajuan persalinan pada persalinan
fase aktif, bagian terendah janin (kepala atau bokong) tidak dapat masuk
panggul terutama setelah terjadi pecah ketuban. Diagnosis presentasi
majemuk dibuat melalui periksa dalam vagina. Apabila pada presentasi
kepala teraba juga tangan/lengan dan/atau kaki, atau apabila pada presentasi
bokong teraba juga tangan/lengan, maka diagnosis presentasi majemuk
dapat ditegakkan. Kesulitan dalam menegakkan diagnosis tersebut yaitu
karena seringkali terjadi koreksi spontan terutama pada derajat ringan
prolaps ekstermitas.
b. Penanganan
Penanganan presentasi majemuk dimulai dengan menetapkan
adanya prolapsus tali pusat atau tidak. Adanya pro lapsus tali pusat
menimbulkan keadaan darurat bagi janin, dan penanganan dengan
melakukan bedah sesar ditunjukan untuk mengatasi akibat prolapsus tali
20
pusat tersebut daripada presentasi majemuknya. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah presentasi janin, ada tidaknya prolapsus tali pusat,
pembukaan serviks, keadaan selaput ketuban, kondisi dan ukuran janin,
serta ada tidaknya kehamilan kembar bergantung pada keadaan-keadaan
tersebut persalinan dapat ber langsung vaginal ataupun abdominal.
4. Presentasi letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus
dengan kepala pada satu sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang
lain. Pada umumnya bokong berada sedikit lebih tinggi daripada kepala janin,
sedangkan bahu berada pada PAP. Pada letak lintang, tubuh bayi akan memanjang
kira kira tegak lurus dengan sumbu memanjang tubuh ibu. Bila sumbu memanjang
tersebut sudut lancip adalah letak lintang obliq.
Frekuensi letak lintang dalam literatur disebutkan sekitar 0,5%-2%,
sedangkan di Indonesia sekitar 0,5%. Letak lintang lebih banyak ditemukan pada
multipara daripada primipara, karena yang menjadikan letak lintang pada umumnya
hampir sama dengan kelainan yang menyebabkan presentasi bokong.
a. Diagnosis
Posisi berbaring melintang biasanya dikenali dengan mudah,
seringkali dengan diraba saja. Perutnya luar biasa lebar, sedangkan fundus
uterus meluas sedikit ke atas umbilikus. Tidak ada kutub janin yang
terdeteksi di fundus dan kepala ballotable yang ditemukan disatu fosa iliaka
dan sungsang. Posisi punggung mudah diidentifikasi. Ketika bagian
belakangnya anterior, bidang resistensi keras memanjang di bagian depan
perut. Ketika posterior, nodulasi ireguler yang mewakili bagian-bagian kecil
janin dirasakan melalui dinding perut. Pada pemeriksaan vaginal, sebelum
in partu tidak ada bagian terendah yang teraba di pelvis, sedangkan saat in
partu yang teraba adalah bahu, siku atau tangan.
b. Penanganan
Persalinan aktif pada wanita dengan cara berbaring melintang
biasanya merupakan indikasi untuk bedah sesar. Sebelum melahirkan atau
di awal persalinan, dengan membran utuh, mencoba versi eksternal yang
berguna supaya tidak ada komplikasi lain. Jika kepala janin bisa digerakan
pada perut manipulasi ke panggul, lalu ditahan selama beberapa kontraksi
berikutnya supaya untuk memperbaiki kepala di panggul. Dengan kelahiran
21
sesar, karena kedua kaki atau kepala janin menempati segmen uterus bawah,
transversus rendah insisi ke rahim dapat menyebabkan ekstraksi janin yang
sulit khususnya pada presentasi dorsoanterior. Oleh karena itu,
direkomendasikan untuk melakukan sayatan vertikal. Dalam obsteri
modern, pada letak lintang in partu, dilakukan seksio sesarea walaupun janin
hidup atau mati.
I. DISTOSIA KARENA FAKTOR TENAGA PERSALINAN
Persalinan merupakan kejadian fisiologis yang normal. Persalinan adalah proses
pengeluaran bayi yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-40 minggu), letak bujur
atau sejajar sumbu badan ibu, dengan presentasi belakang kepala terdapat keseimbangan
antara diameter kepala bayi dan panggul ibu, lahir spontan dengan kekuatan tenaga ibu
sendiri, dan proses kelahiran berlangsung kurang lebih 18 jam, tanpa komplikasi baik pada
ibu maupun janin. Sebagian besar persalinan adalah persalinan normal, hanya 12-15%
merupakan persalinan patologis, seperti distosia.
Distosia karena kelainan tenaga atau his adalah persalinan yang sulit akibat his yang
tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan rintangan pada jalan lahir, tidak
dapat diatasi, sehingga menyebabkan persalinan macet. Jenis distosia karena kelainan
tenaga atau his, yaitu sebagai berikut.
1. Inersia Uteri Hypotonis
a. Pengertian
Di sini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih
kuat dan lebih dahulu daripada bagian bagian lain, peranan fundus tetap
menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus lebih aman,
singkat, dan jarang daripada biasanya. Keadaan umum penderita biasanya
baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya
tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan
berlangsung terlalu lama. Dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan
mortalitas janin baik, keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau
hypotonic uterine contraction. Apabila timbul setelah berlangsung his kuat
untuk waktu yang lama, dan hal itu dinamakan inersia uteri sekunder.
Dewasa ini, persalinan tidak dibiarkan berlangsung terlalu lama karena
dapat menimbulkan kelelahan pada uterus. Oleh sebab itu, inersia uteri
sekunder seperti yang telah digambarkan jarang ditemukan, kecuali pada ibu
yang tidak diberi pengawasan baik waktu persalinan.
22
Dalam menghadapi inersia uteri, harus diadakan peni laian yang
saksama untuk menentukan sikap yang harus diambil. Jangan lakukan
tindakan yang tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Pada inersia
uteri hypotonis, tidak ada waktu yang pasti yang dapat dipakai sebagai
pegang an untuk membuat diagnosis inersia uteri atau untuk memulai terapi
aktif.
Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten.
Kontraksi uterus yang disertai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk menjadi
dasar utama diagnosis bahwa persalinan sudah dimulai. Untuk sampai pada
kesimpulan ini, diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu
terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan/ atau pembukaan.
Kesalahan yang sering dibuat ialah meng obati seorang penderita untuk
inersia uteri padahal persa linan belum mulai (fase labour).
b. Penanganan
Setelah diagnosis uteri ditetapkan, periksa keadaan ser viks,
presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan
keadaan panggul. Kemudian, susun rencana dalam menghadapi persalinan
yang lamban ini. Apabila ada disproporsi sefalopelvik yang berarti,
sebaiknya diambil keputusan untuk melakukan seksio sesarea. Apabila tidak
ditemukan disproporsi atau ditemukannya disproporsi yang ringan maka
dapat diambil sikap lain. Keadaan umum penderita sementara itu diperbaiki
dan kandung kencing serta rektrum dikosongkan. Apabila kepala atau
bokong janin sudah masuk kedalam panggul, penderita disuruh berjalan-
jalan. Tindakan sederhana ini kadang-kadang menyebabkan his menjadi
kuat dan selanjurnya persalinan berjalan lancar.
Pada waktu pemeriksaan dalam, ketuban boleh dipecahkan. Sesudah
tindakan ini, persalinan tidak boleh berlangsung terlalu lama. Memecahkan
ketuban merupakan tindakan yang dibenarkan karena dapat merangsang his
sehingga mempercepat jalannya persalinan. Apabila diobati dengan
menggunakan oksitosin, 5 satuan oksitosin dapat dimasukkan ke dalam
larutan glukosa 5% dan diberikan secara infus intravena dengan kecepatan
kira-kira 12 tetes per menit. Secara perlahan-lahan kecepatan infus dapat
dinaikan sampai kira-kira 50 tetes, bergantung pada hasil nya. Apabila
23
dalam 50 tetes tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka tidak banyak
gunanya memberikan oksitosin dalam dosisi yang lebih tinggi. Bila infus
oksitosin diberikan, penderita harus diawasi secara ketat dan tidak boleh
ditinggalkan. Kekuatan, kecepatan his, dan keadaan denyut jantung janin
harus diperhatikan dengan teliti. Infus harus diberhentikan apabila kontraksi
uterus berlangsung lebih dari 60 detik atau kala denyut jantung janin
menjadi cepat atau menjadi lambat. Menghentikan infus umumnya akan
segera memperbaiki keadaan. Sangat berbahaya memberikan oksitosin pada
panggul sempit dan pasien dengan keadaan regangan segmen bawah uterus.
Hindari untuk memberikan oksitosin pada grande mul tipara dan
kepada penderita yang pernah mengalami seksio sesarea atau miomektomi
karena memudahkan terjadinya rupture uteri. Pada penderita dengan partus
lama dan gejala-gejala dehidrasi dan asidosis, di samping pemberian
oksitosin dengan jalan infus intravena gejala-gejala tersebut perlu diatasi.
Tujuan pemberian oksitosin adalah memperbaiki his sehingga
serviks dapat membuka. Satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil
pemberiannya tampak dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tidak ada
gunanya memberikan oksitosin berlarut-larut. Sebaiknya oksitosin
diberikan beberapa jam saja. Apabila ternyata tidak ditemukan ke majuan,
pemberian oksitosin perlu dihentikan supaya penderita dapat beristirahat.
Kemudian, coba lagi untuk beberapa jam. Kalau masih tidak ada kemajuan,
lebih baik dilakukan seksio sesarea. Oksitosin yang diberikan dengan
suntikan intramuskular dapat menimbulkan incoordinate uterine action.
Akan tetapi, ada kalanya, terutama dalam kala II, hanya diperlukan sedikit
penambah kekuatan his supaya persalinan dapat diselesaikan. Pada fase ini,
seringkali 0,5 satuan oksitosin intramuskulus sudah sukup untuk mencapai
hasil yang diinginkan.
Oksitosin merupakan obat yang sangat kuat, pemberian sekaligus
dalam dosis besar dapat menyebabkan kematian janin karena kontraksi
uterus terlalu kuat dan lama, serta dapat menyebabkan timbulnya rupture
uteri. Pemberian intravena dengan jalan infus (intravenous drip) yang
memungkinkan masuknya dosis sedikit demi sedikit telah mengubah
gambaran ini dan sudah pula dibuktikan bahwa oksitosin dengan jalan ini

24
dapat diberikan dengan aman apabila penentuan indikasi, pelaksanaan, dan
pengawasan dilakukan dengan baik.
2. His terlampau kuat
a. Pengertian
His terlampau kuat atau disebut juga hypertonic uterine contraction.
Walaupun pada golongan coordinated hypertonic uterine contraction bukan
merupakan penyebab distosia. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien
menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus
yang sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partu presipitatus yang
ditandai oleh sifat his yang normal, tonus otot di luar his juga biasa,
kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu
ialah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan
perineum. Bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian
tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat.
Batas antara bagian atas dan segmen bawah rahim atau lingkaran
retraksi menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian,
lingkaran ini dinamakan lingkaran reaksi patologik atau lingkaran Bandl.
Ligamen rotunda menjadi tegang serta lebih jelas teraba, penderita merasa
nyeri terus menerus dan menjadi gelisah. Apabila tidak diberi pertolongan,
regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan sehingga
dapat menyebabkan terjadinya rupture uteri.
b. Penanganan
Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena
biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seseorang yang menolong. Apabila
seorang ibu pernah mengalami partus presipitatus, kemungkinan kejadian
ini akan berulang pada persalinan berikutnya. Selama persalinan keadaan
harus diawasai dengan cermat, lakukan episiotomi pada waktu yang tepat
untuk menghindari terjadinya rupture perenium tingkat ke 3. Apabila his
menjadi semakin kuat dan ditemukan rintangan yang menghalangi lahirnya
janin, serta timbul lingkaran retraksi patologik yang merupakan tanda
bahaya akan terjadi rupture uteri, segera lakukan tindakan. Dalam keadaan
demikian, janin harus dilahirkan dengan cara yang memberikan trauma
minimal bagi ibu dan anak. Berikan obat seperti morfin, luminal, dan
sebagainya asal janin tidak akan lahir dalam waktu dekat (4-6 jam).
25
26
BAB III
KESIMPULAN

Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk melakukan
pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his lemah dan
frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik
seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan
kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta para penderita dengan
keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau
fase aktif maupun pada kala pengeluaran.
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan
tenaga (his) yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya sehingga menghambat
kelancaran persalinan. Baik tidaknya his dinilai dengan kemajuan persalinan, sifatnya
his, dan besarnya caput succedaneium. Sifat his dapat dilihat dari frekuensi, kekuatan,
dan lamanya his. Kekuatan his dinilai dengan menekan dinding rahim pada puncak
kontraksi. Kekuatan his tidak boleh dinilai dari perasaan nyeri penderita. His yang
kurang kuat dapat diketahui melalui beberapa tanda seperti his terlalu lemah, terlalu
pendek, dan terlalu jarang

27
DAFTAR PUSTAKA

Dina Ayu Savitr”Perbedaan Kejadian Inersia Uteri Antara Persalinan Disertai Dan Tanpa Disertai
Anemia Di Rsd Dr. Soebandi Jember”Jember
Lailiyana, dkk. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta: EGC. 2012
Nurhayati, Eka. 2021. Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Nurjayanti “Manajemen Asuhan Kebidanan Intranatal Care Pada Ny“A” Dengan Inersia Uteri Di
Rsud Haji Makassar Tahun 2017”.Makasar
Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014
Putri Luxpitasari Predisa Santini Yulce Nyeurmaha Vera Nur Mastika “Distosia Kelainan Tenaga
[His]”2019
Walyani, Elisabeth Siwi. 2021. Konsep Dan Asuhan Kebidanan Maternal Dan Neonatal.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press

28
“CPD dan Prolaps Tali Pusat”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan pada


Kasus Kompleks 1

Disusun Oleh :

1. Siti Nurhalimah (1915201032)


2. Siti Mahmudah (1915201033)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2021

KATA PENGANTAR

i
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan
untuk menambah pengetahuan, sebagai teman belajar, dan sebagai referensi tambahan dalam
belajar tentang asuhan kebidanan pada kasus kompleks 1. Makalah ini dibuat sedemikian rupa
agar pembaca dapat dengan mudah mempelajari dan memahami tentang “CPD dan Prolaps
Tali Pusat” secara lebih lanjut.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, Kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Tangerang, 21 Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii

ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 5


B. Rumusan masalah .............................................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN

A. CPD (Chepalo Pelvic Disproportion)


1. Factor resiko ..................................................................................................................
2. Etiologi ..........................................................................................................................
3. Tulang-tulang panggul ..................................................................................................
4. Tindakan .........................................................................................................................
B. Prolaps Tali Pusat
1. Etiologi ..........................................................................................................................
2. Patofisiologi ..................................................................................................................
3. Komplikasi ....................................................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..........................................................................................................................
B. Saran .....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disproporsi kepala panggul merupakan keadaan yang menggambarkan ketidak
seimbangan antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak bisa keluar
melalui vagina. Disproporsi kepa panggul disebabkan oleh panggul sempit, janin yang
besar atau keduanya. Cephalopelvic Disproportion(CPD) merupakan diagnosa medis
digunakan ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar agar muat melewati panggul ibu.
Sering kali, diagnosis ini dilaksanakan sesudah wanita telah bekerja keras selama
beberapa waktu. Diagnosis ini tidak harus berdampak masa depan seorang wanita
melahirkan keputusan. Banyak tindakan bisa diambil oleh ibu hamil agar meningkatkan
peluangnya agar bisa melahirkan melalui vaginanya.
Chepalo pelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang
yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin
ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami
sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
Prolaps tali pusat yaitu tali pusat berada disamping atau melewati bagian
terendah janin setelah ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah disebut tali pusat
terdepan. Pada keadaan prolap tali pusat (tali pusat menumbung) timbul bahaya besar,
tali pusat terjepit pada waktu bagian janin turun dalam panggul sehingga menyebabkan
asfiksia pada janin. Prolaps tali pusat mudah terjadi bila pada waktu ketuban pecah
bagian terdepan janin masih berada diatas PAP dan tidak seluruhnya menutup seperti
yang terjadi pada persalinan (Hesty, dkk, 2018).
Prolaps tali pusat adalah suatu keadaan dimana tali pusat teraba lebih rendah
dibagian terdepan/terendah janin sedangkan ketuban sudah pecah. Apabila ketuban
belum pecah disebut tali pusat terdepan. Prolaps tali pusat atau bisa juga disebut tali
pusat menumbung akan menimbulkan bahaya besar pada janin. Misalnya tali pusat

4
terjepit pada waktu bagian janin turun kedalam panggul dapat menyebabkan asfiksia
pada janin.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan CPD?
2. Apakah saja factor resikonya?
3. Apa etiologi dari CPD?
4. Macam-macam tulang panggul?
5. Tindakan apa yang harus dilakukan pada kasus CPD?
6. Apakah yang dimaksud dengan prolaps tali pusat?
7. Apa etiologi dari prolaps tali pusat?
8. Apa Patofisiologi dari prolaps tali pusat?
9. Komplikasi apa yang terjadi pada prolaps tali pusat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui CPD
2. Untuk mengetahui factor resiko dari CPD
3. Untuk mengetahui etiologi CPD
4. Untuk mengetahui tualng panggul
5. Untuk mengetahui Tindakan pada CPD
6. Untuk mengetahui prolaps tali pusat
7. Untuk mengetahui etiologi prolaps tali pusat
8. Untuk mengetahui patofisiologi prolaps tali pusat
9. Untuk mengetahui komplikasi dari prolaps tali pusat

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. CPD (Chepalo Pelvic Disproportion)


Disproporsi kepala panggul merupakan keadaan yang menggambarkan ketidak
seimbangan antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak bisa keluar
melalui vagina. Disproporsi kepa panggul disebabkan oleh panggul sempit, janin yang
besar atau keduanya. Cephalopelvic Disproportion(CPD) merupakan diagnosa medis
digunakan ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar agar muat melewati panggul ibu.
Sering kali, diagnosis ini dilaksanakan sesudah wanita telah bekerja keras selama
beberapa waktu. Diagnosis ini tidak harus berdampak masa depan seorang wanita
melahirkan keputusan. Banyak tindakan bisa diambil oleh ibu hamil agar meningkatkan
peluangnya agar bisa melahirkan melalui vaginanya.
Chepalo pelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang
yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin
ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami
sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
Cephalo Pelvic Disproportion (CPD) adalah ketidakseimbangan antara
besarnya janin dalam perbandingan dengan luasnya ukuran panggul ibu (Wiknjosastro,
2010). CPD dapat disebabkan karena panggul sempit dan janin besar. Panggul dianggap
sempit apabila diameter anteroposterior kurang dari 10 cm atau apabila diameter
transversal kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering
diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara manual yang biasanya lebih
panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan pintu atas panggul biasanya
didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm (Cunningham dkk,
2012).
Pertolongan persalinan CPD melalui jalan vaginal memerlukan perhatian
karena dapat menimbulkan komplikasi kesakitan, cacat permanen sampai dengan
kemantian bayi. Memperhatikan komplikasi pertolongan persalinan CPD melalui jalan

6
vaginal, maka sebagian besar pertolongan persalinan disproporsi kepala panggul
dilakukan dengan Sectio caesaria (Wiknjosastro, 2010).
A. Factor resiko
Faktor risiko yang menyebabkan disproporsi kepala panggul, yaitu (Surapanthapisit, et
al., 2006; Wianwiset, 2011) :
1. Taksiran berat janin yang besar
2. Tinggi badan ibu
3. BMI sebelum kehamilan dan sebelum kelahiran ≥ 25 kg/m2
4. Kenaikan berat badan selama kehamilan ≥ 16 kg
5. Nullipara
6. Tidak ada pelvimetri yang memadai
B. Etiologi
1. Factor panggul ibu

Gambar Diameter panggul normal


Keterangan :
Diameter anteroposterior = 12 cm
Diameter transversal = 12,5-13 cm
Diameter obliqua = 13 cm
Kesempitan pintu masuk panggul, pintu panggul dapat dikatakan sempit apabila
diameternya lebih kecil 1-2 cm atau lebih. Kesempitan panggul bisa pada pintu atas
panggul, ruang tengah panggul atau pintu bawah panggul, ataupun kombinasi dari
ketiganya (Jones, 2001).
a) Kesempitan pintu atas panggul, Bila diameter anteroposterior kurang dari 10 cm
dan transversalnya kurang dari 12 cm, maka pintu atas panggul dianggap
sempit.

7
b) Kesempitan pintu tengah panggul, Apabila ukurannya distansia interspinarum
kurang dari 9,5 cm diwaspadai akan kemungkinan kesukaran dalam persalinan,
ditambah lagi bila ukuran diameter sagitalis juga pendek.
c) Kesempitan pintu bawah panggul yang terdiri atas segitiga depan dan segitiga
belakang yang mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Bila
distansia tuberum dengan diameter sagitalis posterior kurang dari 15 cm, maka
dapat timbul kemacetan pada kelahiran ukuran normal.
2. Factor janin
a) Janin Besar, Rata-rata bayi baru lahir dengan usia cukup bulan (37 minggu-42
minggu) berkisar antara 2.500 gram hingga 4.000 gram. Janin besar apabila
>4.000 gram. Janin dapat terlahir besar karena beberapa faktor, yaitu pada ibu
dengan diabetes gestational, post term atau pascamaturitas, faktor herediter,
multiparitas. Janin besar disebut juga makrosomia atau bila lingkar kepala janin
37-40 cm, dan untuk persalinan pervaginam dilakukan pada janin dengan
lingkar kepala <37 cm ( Ashar dan Mochtar, 2009).
b) Malpresentasi Kepala, Sikap janin yang fisiologis adalah badan dalam keadaan
kifose dan menghasilkan sikap fleksi. Pada sikap ini akan menghasilkan
presentasi belakang kepala. Dengan adanya malpresentasi kepala, seperti
presentasi puncak kepala (defleksi ringan), presentasi dahi (defleksi sedang),
dan presentasi muka (defleksi maksimum), maka kemungkinan akan
menimbukan kemacetan dalam persalinan. Hal ini disebabkan karena kepala
tidak dapat masuk pintu panggul karena diameter kepala pada malpresentasi
lebih besar dari diameter panggul (Rachimhadhi, 2009).

Disproporsi sefalopelvik dapat ditandai oleh pola persalinan disfungsional,


kegagalan kemajuan persalinan, fleksi kepala yang buruk atau kemacetan rotasi internal
dan penurunan ( yaitu deep transverse arrest). Disproporsi sefalopelvik dapat atau tidak
dapat disertai pembentukan kaput atau molase. Persalinan disfungsional yang
disebabkan oleh disproporsi sefalopelvik dapat mengakibatkan kondisi berikut:

a. Kerusakan pada janin yaitu kerusakan pada otak


b. Kematian janin atau neonatus
c. Rupture uterus
d. Infeksi intruterus

8
Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk
rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir
secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga
dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan
tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.

C. Tulang-tulang panggul

Gambar potongan sagita panggul, menunjukan pelvis mayor dan minor (sarwono
prawirohardjo, 2010)

1. Pelvis Mayor
Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak diatas linea terminalis,
disebut pula false pelvis. Bagian yang terletak dibawah linea terminalis disebut
pelvis minor atau true pelvis. Bagian akhir ini adalah bagian yang mempunyai
peranan penting dalam obstetri dan harus dapat dikenal dan dinilai sebaik-
baiknyauntuk dapat meramalkan dapat tidaknya bayi melewatinya.
2. Pelvis Minor
Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai
sumbu melengkung ke depan (sumbu carus). Sumbu ini secara klasik adalah
garis yang menghubungkan titik persekutuan antara diameter transversa dan
konjugata vera pada pintu atas panggul dengan titik-titik sejenisdi hodge ii, iii,
dan iv. Sampai dekat hodge iii sumbu itu lurus, sejajar dengan sakrum, untuk

9
seterusnya melengkung ke depan, sesuai dengan kelengkungan sakrum.

Gambar.sumbu panggul (sarwono, 2010)

Diantara kedua pintu ini terdapat ruang panggul (pelvic cavity). Ukuran ruang
panggul atas ke bawah tidak sama. Ruang panggul mempunyai ukuran yang paling
luas dibawah pintu atas panggul, kemudian menyempit ke panggul tengah, dan
selanjutnya menjadi sedikit lebih luas lagi dibagian bawah. Penyempitan dipanggul
tengah, dan selanjutnya menjadi sedikit lebih luas lagi dibagian bawah. Penyempitan
dipanggul tengah ini setinggi spina iskiadika yang jarak antara kedu spina iskiadika
(distensia interspinarum) normal ± 10,5 cm.
3. Pintu Atas Panggul

Gambar pintu atas panggul dengan konjugata vera, diameter transversa dan
diameter oblikua (sarwono, 2010).

Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh


promontorium korpus vertebra sakra 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir
atas simfisis. Terdapat 4 diameter pada pintu atas panggul, yaitu diameter

10
anteroposterior, diameter transversa, dan 2 meter oblikua.
Panjang jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium lebih kurang
11 cm, disebut konjugata vera. Jarak terjauh garis melintang pada pintu atas
panggul lebih kurang 12,5-13 cm, disebut diameter transversa dan konjugata vera
dan diteruskan ke linea innominata, ditemukan diameter yang disebut diameter
oblikua sepanjang lebih kurang 13 cm.
Tipe panggul menurut Caldwell-Moloy (Rachimhadhi, 2009) :
1) Tipe ginekoid: panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk pintu area
atas panggul hampir bulat. Panjang diameter antero-posterior kira-kira
sama dengan diameter transversa. Jenis ini diemukan pada 45%
perempuan.
2) Tipe android: bentuk pintu atas panggul hampir segitiga. Umumnya pria
mempunyai jenis seperti ini. Panjang diameter anteroposterior hampir sama
dengan diameter transversa, akan tetapi yang terakhir ini jauh lebih
mendekati sakrum. Dengan demikian, bagian belakangnya pendekdan
gepeng, sedangkan bagian depannya menyempit ke depan. Jenis ini
ditemukan pada 15 % perempuan.
3) Tipe antropoid: bentuk pintu atas panggul agak lonjong, seperti telur.
Panjang diameter antero-posterior lebih besar dari pada diameter
trnasversa.Jenis ini ditemukan pada 35% perempuan.
4) Tipe platipelloid: sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang
menyempit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar
daripada ukuran muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5% perempuan.
4. Pintu Bawah Panggul

11
Gambar pintu bawah panggul (sarwono, 2010)

Pintu bawah panggul tidak merupakan suatu bidang datar, tetapi tersusun
atas 2 bidang datar yang masing-masing berbentuk segitiga, yaitu bidang yang
terbentuk oleh garis antara kedua buah tuber os iskii dengan ujung os sakrum dan
segitiga lainya yang alasnya juga garis antara kedua tuber os sikii dengan bagian
bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbntuk lengkung
ke bawah dan merupakan sudut disebutarkus pubis. Dalam keadaan normal
besarnya sudut ini ± 90°, atau lebih besar sedikit, bila kurang sekali (lebih kecil)
dari 90°, maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karena memerlukan tempat
lebih banyak ke arah dorsal (ke arah anus).

Dalam hal ini perlu diperhtikan ujung os sakrum/os koksigis tidak


menonjol kedepan, sehingga kepala janin tidak dapat dilahirkan. Jarak antara
kedua tuber os iskii (distansia tuberum) juga merupakan ukuran pintu bawah
panggul yang penting. Distansia tuberum diambil dari bagian dalamnya adalah ±
10,5 cm. Bila lebih kecil, jarak antara tengah-tengah distansia tuberum ke ujung
sakrum (diameter sagitalis posterior) harus cukup panjang agar bayi normal dapat
dilahirkan.
D. Tindakan
1) Partus Percobaan
Untuk menilai kemajuan persalinan dan memperoleh bukti ada atau tidaknya
disproporsi kepala panggul, dapat dilakukan dengan partus percobaan. Pada
panggul sempit berdasarkan pemeriksaaan pada hamil tua diadakan penilaian
tentang bentuk serta ukuran-ukuran panggul dalam semua bidang dan hubungan
antara kepala janin dan panggul, dan setelah dicapai kesimpulan bahwa ada harapan
bahwa persalinan dapat berlangsung pervaginam dengan selamat, dapat diambil
keputusan untuk dilakukan persalinan percobaan. Persalinan ini merupakan suatu
tes terhadap kekuatan his dan daya akomodasi, termasuk molase kepala janin.
(Ashar, 2009) Partus dikatakan maju apabila partus berjalan fisiologis, terjadi
perubahan pada pembukaan serviks, tingkat turunnya kepala, dan posisi kepala
(rotasi). Jika tidak terjadi perubahan tersebut maka disebut partus tidak maju.
Apabila terjadi kegagalan, partus dihentikan dengan indikasi dan harus dilakukan
seksio sesarea. (Mochtar, 2005)

12
2) Seksio sesarea
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan
pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, atau seksio sesarea
adalah suatu histerotomia melahirkan janin dari dalam rahim (Cunningham, et al.,
2014). Seksio sesarea di lakukan untuk mencegah hal – hal yang membahayakan
nyawa ibu. Panggul sempit apabila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran yang
normal (Sumelung, et al., 2014). Seksio sesarea elektif direncanakan lebih dulu dan
dilakukan pada kehamilan cukup bulan karena kesempitan panggul yang cukup
berat/absolut atau karena terdapat disproporsi kepala panggul yang cukup nyata.
Seksio sesarea sekunder dilakukan karena partus percobaan dianggap gagal atau
karena timbul indikasi untuk menyelesaikan persalinan selekas mungkin, sedang
syarat-syarat untuk persalianan per vaginam tidak atau belum terpenuhi (Ashar,
2009).
3) Simfisiotomi
Simfisiotomi adalah sebuah operasi untuk memperbesar kapasitas pelvis dengan
memotong jaringan ikat tulang pubis di bagian depan pelvis (Hofmeyr, et al., 2012).
E. Prognosis
Apabila persalinan dengan disproporsi kepala panggul tanpa tindakan yang tepat, maka
(Mose, et al., 2009) :
1) Bahaya pada ibu :
 Partus lama yang sering disertai dengan pecahnya ketuban, bakteri
menyebabkan bakteremia, infeksi intrapartum, dehidrasi, dan asidosis.
 Apabila kemajuan janin dalam jalan lahir tertahan, menyebabkan peregangan
dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus sering menimbulkan cincin
retraksi patologis bandl. Jika tidak segera diambil tindakan akan menyebabkan
ruptur uteri.
 Dalam disproporsi kepala panggul, bagian terbawah janin akan menekan tulang
dan pintu panggul dengan kuat dan lama yang akan menimbulkan gangguan
sirkulasi dengan akibat terjadinya iskemia dan kemudian nekrosis pada tempat
tersebut. Beberapa hari setelah melahirkan akan terjadi fistula vesikoservikalis,
atau fistula vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis.
 Peregangan dan pelebaran dasar panggul menyebabkan terjadinya perubahan
fungsional dan anatomik otot, saraf, dan jaringan ikat.
2) Bahaya pada janin:

13
 Partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal, ditambah dengan infeksi
intrapartum.
 Persalinan panggul sempit menyebabkan kaput suksedaneum.
 Molase (molding) atau lempeng tulang tengkorak yang bertumpang tindih tidak
menimbukan kerugian yang nyata, tetapi apabila terdapat distorsi yang
mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh
darah janin, dan perdarahan intrakranial janin.
Penekanan tulang-tulang panggul pada jaringan di atas tulang kepala janin, dapat
menyebabkan fraktur pada os parietalis.
B. Prolaps Tali Pusat
Prolaps tali pusat adalah penurunan tali pusat ke dalam vagina mendahului
bagian terendah janin yang mengakibatkan kompresi tali pusat di antara bagian
terendah janin dan panggul ibu (Prawiroharjo, 2012). Prolaps tali pusat merupakan
keadan dimana tali pusat berada di samping atau melewati bagian terendah janin dalam
jalan lahir sebelum ketuban pecah yang mengakibatkan kompresi (Stright, 2004).
Prolaps tali pusat adalah tali pusat berada di samping atau melewati bagian terendah
janin dalam jalan lahir sebelum ketuban pecah. (Mansjoer Arif, 2000). Prolaps tali pusat
adalah keadaan darurat obstetrik langka yang terjadi ketika tali pusat turun di samping
atau di luar bagian presentasi janin. Hal ini dapat mengancam jiwa janin karena aliran
darah melalui pembuluh pusar tidak mampu mengkompromi kompresi tali pusar
diantara janin dan rahim, leher rahim, atau leher panggul. Keadaan ini membuat janin
dapat mengalami hipoksia yang dapat berakibat pada asfiksia (Phelan, 2013). Dari
beberapa definisi tersebut disimpulkan bahwa prolaps tali pusat adalah letak tali pusat
yang berada di samping atau dibagian terendah yaitu jalan lahir janin yang dapat
menyebabkan kompresi pada tali pusat sehingga fungsi tali pusat menjadi terganggu.
Prolaps tali pusat yaitu tali pusat berada disamping atau melewati bagian
terendah janin setelah ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah disebut tali pusat
terdepan. Pada keadaan prolap tali pusat (tali pusat menumbung) timbul bahaya besar,
tali pusat terjepit pada waktu bagian janin turun dalam panggul sehingga menyebabkan
asfiksia pada janin. Prolaps tali pusat mudah terjadi bila pada waktu ketuban pecah
bagian terdepan janin masih berada diatas PAP dan tidak seluruhnya menutup seperti
yang terjadi pada persalinan (Hesty, dkk, 2018).
Prolaps tali pusat adalah suatu keadaan dimana tali pusat teraba lebih rendah
dibagian terdepan/terendah janin sedangkan ketuban sudah pecah. Apabila ketuban

14
belum pecah disebut tali pusat terdepan. Prolaps tali pusat atau bisa juga disebut tali
pusat menumbung akan menimbulkan bahaya besar pada janin. Misalnya tali pusat
terjepit pada waktu bagian janin turun kedalam panggul dapat menyebabkan asfiksia
pada janin.
Prolapsus tali pusat atau disebut juga dengan prolaps tali pusat didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana tali pusat terletak disamping atau melewati bagian
terendah janin yang terjadi sebelum janin lahir (Lidia & Mudlikah, 2019).
Prolaps tali pusat terjadi ketika tali pusat keluar dari uterus mendahului bagian
presentasi. Bila hal ini terjadi, maka tali pusat tertekan diantara pelviks maternal dan
bagian presentasi pada setiap kontraksi. Sebagai akibatnya, sirkulasi janin sangat
terganggu dan berkembang menjadi distres, dengan mortalitas 20-30%. Keadaan
maternal yang berhubungan dengan prolaps tali pusat termasuk presentasi sungsang,
letak melintang (transversal), atau tali pusat yang terlalu panjang, kontraktur inlet, janin
kecil, letak plasenta rendah, hidramnion, dan kehamilan kembar. Kapan saja inlet
sampai pelviks tidak tertutup dan pecahnya selaput, tali pusat dapat turun ke dalam jalan
lahir mendahului bagian presentasi (Sodikin, 2009).

1. Etiologi
Keadaan prolaps tali pusat (prolaps funikuli) mudah terjadi pada waktu ketuban
pecah dan bagian terdepan janin masih berada diatas PAP dan tidak seluruhnya
menutup jalan lahir seperti pada persalinan, keadaan hidroamnion, bayi besar
dimana tidak adanya keseimbangan antara besar kepala dan panggul, prematur,
kelainan letak. Prolaps tali pusat terjadi apabila ada sesuatu yang mencegah bagian
presentasi melekat pada segmen bawah uterus, tidak tertutupnya PAP oleh begian
terendah janin misalnya pada panggul sempit. Prolaps tali pusat dapat terjadi pada

15
keadaan polihidraamnion, malpresentasi, dan malposisi janin, disproporsi
sefalopelvik dan kelahiran preterm, amniotomi. Ada beberapa faktor pencetus
terjadinya prolaps tali pusat seperti tali pusat yang panjang, insersi tali pusat ditepi
plasenta bagian yang terendah, letak lintang, letak sungsang, dan ketuban pecah
dini, panjang tali pusat, multiparitas, bayi kembar.
a. Etiologi fetal
a) Presentasi yang abnormal seperti letak lintang, letak sungsang, presentasi
bokong, terutama presentasi kaki.
b) Prematuritas. Seringnya kedudukan abnormal pada persalinan prematur,
yang salah satunya disebabkan karena bayi yang kecil sehingga
kemungkinan untuk aktif bergerak.
c) Gemeli dan multiple gestasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi
gangguan adaptasi, frekuensi presentasi abnormal yang lebih besar,
kemungkinan presentasi yang tidak normal.
d) Polihidramnion, sering dihubungkan dengan bagian terendah janin yang
tidak engage.
e) Ruptur membran amnion spontan. Keadaan ketuban pecah dini tersebut
membawa sejumlah besar cairan mengalir ke luar dan tali pusat hanyut ke
vagina.
b. Etiologi Maternal
a) Disproporsi kepala panggul Disproporsi antara panggul dan bayi
menyebabkan kepala tidak dapat turun dan pecahnya ketuban dapat diikuti
tali pusat menumbung.
b) Bagian terendah yang tinggi Tertundanya penurunan kepala untuk
sementara dapat terjadi meskipun panggul normal.
c. Etiologi dari tali pusat dan plasenta
a) Tali pusat yang panjang Semakin panjang tali pusat, maka semakin mudah
menumbung.
b) Plasenta letak rendah Jika plasenta dekat serviks maka akan menghalangi
penurunan bagian terendah. Disamping itu insersi tali pusat lebih dekat
serviks.
2. Patofisiologi
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan prolapsus tali pusat diantaranya
ruptur membran amnion spontan, kehamilan kembar, polihidroamnion, kehamilan

16
prematur, janin terlalu kecil, kelainan presentasi. Penyebab primer yang timbul
akibat prolaps tali pusat adalah ruptur membran yang spontan terjadi sebelum
bagian presentasi berada pada leher panggul. Ketika kantung cairan amnion ruptur,
tiba-tiba terjadi desakan yang kuat menyebabkan cairan mengalir dengan cepat
terus menuju vagina sehingga membuat tali pusat menuju vagina. Pada kehamilan
ganda maka kemungkian terjadinya prolaps tali pusat akan semakin besar karena
jika terjadi desakan antara janin akan membuat janin mengalami kelainan presentasi
seperti letak melintang. Keadaan polihidroamnion, dimana terdapat cairan ketuban
banyak menyebabkan janin dapat bergerak lebih leluasa dalam rahim. Dan keadaan
ini dapat mengakibatkan kelainan presentasi (letak sungsang, lintang, presentasi
kepala). Sedangkan pada kehamilan prematur selain terjadi hidramnion juga terjadi
ukuran janin yang kecil karena usia gestasi yang masih muda sehingga janinnya
memiliki ukuran kepala yang kecil. Keadaan tali pusat yang panjang dan plasenta
previa juga menjadi penyebab terjadinya prolaps tali pusat. Semua keadaan tersebut
akan menyebabkan janin sulit beradaptasi terhadap panggul ibu, sehingga PAP
(pintu atas panggul) tidak tertutupi oleh bagian bawah janin, dan inilah yang
mengakibatkan tali pusat bergeser atau turun dari tempatnya sehingga terjadilah
prolaps tali pusat. Prolaps tali pusat akan mengakibatkan tali pusat terjepit antara
bagian terendah janin dan jalan lahir sehingga sirkulasi janin akan terganggu dan
ini mengakibatkan terjadi hipoksia fetal dan bila berlanjut dapat mengakibatkan
fetal distress yang ditandai dengan melemahnya detak jantung janin. Gangguan
aliran darah yang lama melalui tali pusat juga dapat menghasilkan asidosis
respiratorik dan metabolik yang berat, berkurangnya oksigenasi janin, bradikardi
yang menetap, bila keadaan ini terus berlangsung dapat mengakibatkan terjadinya
kematian pada janin. Namun bila dapat dan segera ditangani maka janin tetap hidup,
hal ini ditandai dengan adanya teraba denyutan pada tali pusat (Prawirohardjo,
2012)

3. Komplikasi
a. Pada Ibu
Dapat menyebabkan infeksi intra partum, pecahnya ketuban menyebabkan
bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua
serta pembuluh korion sehingga terjadi bakterimia dan sepsis pada ibu dan
janin. Sedangkan pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan

17
bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama
persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi distosia. Infeksi merupakan
bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama
(Chuningham dkk, 2005). Komplikasi lain seperti laserasi jalan lahir, ruptura
uretri, atonia uretri dapat terjadi akibat upaya menyelamatkan janin.
b. Pada janin
a) Gawat janin Gawat janin adalah keadaan atau reaksiketika janin tidak
memperoleh oksigen yang cukup. Gawat janin dapat diketahui dari tanda-
tanda berikut: 1) Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 120x/menit atau
lebih dari 160x/menit. 2) Berkurangnya gerakan janin (janin normal
bergerak lebih dari 10x/hari). 3) Adanya air ketuban bercampur mekonium,
warna kehijauan, atau tali pusat pulsasinya lemah, maka prognosis janin
akan memburuk (Prawirohardjo, 2012).
b) Cerebral palsy adalah gangguan yang mempengaruhi otot, gerakan, dan
ketrampilan motorik (kemampuan untuk bergerak dalam cara yang
terkoordinasidan terarah) akibat dari rusaknya otak karena trauma lahir atau
patologi intrauterin (Chuningham dkk, 2005).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

18
19
DAFTAR PUSTAKA
Erli Zainal, 2017. HUBUNGAN CEPHALO PELVIC DISPROPORTION (CPD) DAN
KELAINAN LETAK JANIN DENGAN KEJADIAN SECTIO CAESAREA.
Cunningham dkk. (2012). Obstetri William Vol 1 & 2 Edisi 23. Jakarta : EGC
caldwell dan moloy (Rachimhadhi), 2009. Tipe panggul
Surapanthapisit, et al., 2006; Wianwiset, 2011. Faktor risiko yang menyebabkan disproporsi
kepala panggul.

20
MAKALAH

BLOK 13 ASKEP KOMPLEX I


(EMBOLI AIR KETUBAN DAN ASFIKSIA PERINATAL/FETAL DISTRESS)

Disusun Oleh :

1. Piraini Rahmiyati (1915201035)


2. Rohmah (1915201037)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TANGERANG
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat illahi rabbi karena atas rahmat dan hidayah-
Nya saya dapat menyusun makalah Asuhan kebidanan pada kompleks l dengan Emboli Air
Ketuban Dan Asfiksia Perinatal/Fetal Distress makalah ini disusun sebagai wujud pertanggung
jawaban atas tugas yang di berikan kepada saya.

Makalah yang saya sajikan memang belum sempurna, hal tersebut terjadi karena
keterbatasan disiplin ilmu yang saya miliki. Selain itu saya juga memiliki sumber yang terbatas
jumlahnya. Oleh sebab itu saya mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Segala kesempurnaan datang dari Allah dan kesalahan datang dari
penulis sendiri.

Kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
penulisan makalah ini saya mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.

Tangerang, 21 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1


B. Tujuan Umum ................................................................................................................ 3
C. Tujuan Khusus .............................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4

A. Emboli Air Ketuban ...................................................................................................... 4


B. Obstetric ginekologi ...................................................................................................... 5
C. Komplikasi pada persalinan dan nifas emboli air ketuban ........................................... 5
D. Asfiksia pada bayi .......................................................................................................... 6
E. Penyebab terjadinya asfiksia bayi baru lahir ................................................................. 6
F. Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain ........................................ 8
G. Asfiksia ringan afgar skor ( 7-10 ) ................................................................................ 8
H. Penanganan asfiksia ....................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 11

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 11
B. Saran ............................................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. Emboli air ketuban
Emboli air ketuban merupakan kejadian yang jarang terjadi dan merupakan suatu
sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah
melahirkan (post partum). Emboli air ketuban juga merupakan penyebab penting kematian
maternal dan kematian janin terutama di negara-negara berkembang. Emboli air ketuban
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas dan morbiditas emboli
air ketuban telah menurun secara dramatis akhir-akhir ini, dimana dilaporkan mortalitas
maternal adalah sekitar 16%. Insidensi yang sebenarnya tidak jelas, hal ini disebabkan
sindrom ini sulit untuk dikenali dan didiagnosis.
Emboli air ketuban adalah peristiwa masuknya air ketuban yang mengandung sel-
sel janin dan material debris lainnya ke dalam sirkulasi maternal yang menyebabkan kolaps
kardiorespirasi. Emboli air ketuban merupakan suatu kasus komplikasi obstetri yang tidak
dapat diprediksikan dan dicegah, ditandai dengan hipoksia peripartum akut, kolaps
hemodinamik dan koagulopati. Kelainan ini pertama kali diajukan oleh Ricardo Meyer
pada tahun 1926 dan diterangkan lebih jelas oleh Steiner dan Lushbaugh pada tahun 1941,
setelah mereka menemukan debris janin pada sirkulasi pulmonal wanita yang meninggal
selama persalinan.
Emboli air ketuban dapat terjadi jika air ketuban masuk melalui pembuluh darah
yang terbuka kedalam sirkulasi maternal, seperti pada keadaan plasenta akreta, setelah
tindakan bedah sesar, ruptur uteri atau melalui robekan vena-vena didaerah endoserviks.
Data terbaru dari National Registry menunjukan bahwa proses tersebut lebih menyerupai
reaksi anafilaksis/reaksi imun daripada emboli, dan penggunaan istilah anaphylactoid
syndrome of pregnancy lebih disarankan karena sel-sel janin atau komponen air ketuban
tidak ditemukan pada semua wanita yang menunjukkan tanda dan gejala yang berhubungan
dengan emboli air ketuban.
Sebagian besar kasus emboli air ketuban terjadi selama persalinan (80%), namun
dapat pula terjadi sebelum persalinan (20%) atau setelah kelahiran bayi. Sekitar 25% pasien
akan meninggal dalam onset 1 jam. Manifestasi klinik emboli air ketuban yang klasik
adalah dyspnea, kegagalan respiratorik dan hipotensi yang diikuti dengan kolaps
kardiovaskuler, disseminated intravascular coagulation (DIC) dan kematian. Patofisiologi
dari emboli air ketuban sampai saat ini masih belum jelas. Penatalaksanaan emboli air
ketuban masih tetap berupa terapi suportif bukan kausatif, dan terfokus pada stabilisasi
sistem kardiopulmonal secara cepat. Tujuan terpenting dari terapi emboli air ketuban
adalah untuk mencegah terjadinya hipoksia tambahan dan kegagalan organ.
Prognosis dan mortalitas emboli air ketuban telah membaik secara signifikan
dengan diagnosis awal dan penanganan resusitasi secara cepat dan tepat, disamping
kemajuan teknologi dalam critical care life support. Walaupun demikian, sekitar 61%
pasien yang selamat, sebagian besar memiliki kerusakan neurologis permanen akibat
1
hipoksia (permanent hypoxia-induced neurological damage). Mortalitas fetal sekitar 21%
dan 50% dari yang berhasil selamat mengalami kerusakan neurologis yang permanen.3,4
Maka dari itu tujuan dari referat ini adalah untuk memberi gambaran mengenai emboli air
ketuban yang bisa terjadi pada kehamilan dan langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan
sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu maupun kematian janin (Tory).
2. Asfiksia neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan persalinan atau segera setelah bayi lahir. Akibat kurangnya daya angkut
oksigen untuk paru – paru sehingga jantung neonatus tersebut tidak bekerja secara
optimal yang akibatnya aliran darah tidak dapat disalurkan ke otak yang kemudian
menimbulkan kerusakan otak karena otak tidak dapat melakukan metabolisme sel dan
jaringan. Sehingga tidak terjadi pembentukan sel dan jaringan dalam tubuh neonatus karena
tidak ada bahan (oksigen ) untuk melakukan metabolisme.

Menurut WHO, setiap tahunnya, kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir
mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di Indonesia, dari seluruh
kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada masa neonatal (usia di bawah 1 bulan).
Dikatakan usia dibawah 1 bulan karena dalam usia tersebut bayi dan organ –organ bayi
masih dalam masa pengadaptasian dengan lingkungan barunya yang tidak lagi dalam
kandungan ibu. Setiap 6 menit terdapat 1 neonatus yang meninggal. Penyebab kematian
neonatal di Indonesia adalah berat bayi lahir rendah 29%, asfiksia 27%, trauma lahir,
tetanus neonatorum, infeksi lain, dan kealainan congenital.

Berbagai upaya yang aman dan efektif untuk mencegah dan mengatasi penyebab utama
kematian bayi baru lahir dan penanganan segera , meliputi pelayanan antenatal yang
berkualitas, asuhan persalinan normal atau dasar, dan pelayanan asuhan neonatal oleh
tenaga professional. Untuk menurunkan angka kematian bayi baru lahir karena asfiksia,
persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dan
keterampilan manajemen asfiksia pada

2
B. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi dengan Emboli Air
Ketuban Dan Asfiksia Perinatal/Fetal Distress
C. Tujuan Khusus
Setelah menyusun asuhan kebidanan ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Mengidentifikasi penyebab asfiksia pada bayi,dan emboli air ketuban
2. Mengidentifikasi masalah potensial bayi dengan asfiksia,dan emboli air ketuban
3. Mengidentifikasi kebutuhan segera pada bayi dengan asfiksia,dan emboli air ketuban

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PATOFISIOLOGI EMBOLI AIR KETUBAN


1. EMBOLI AIR KETUBAN
Emboli merupakan segala sesuatu yang masuk ke sirkulasi yang dapat
menyebabkan sumbatan pada aliran darah di organ tertentu. Oksigen yang dibawa oleh
darah dipompa keseluruh tubuh melalui arteri dimana arteri mempunyai cabang-cabang
yang akhirnya semakin kecil secara bertahap. Jika embolus melewati arteri maka dia akan
mencapai bagian yang terdalam/ terkecil sehingga menyumbat aliran darah pada organ
tempat embolus berada dan menyebabkan organ tersebut akhirnya menjadi nekrosis akibat
kekurangan oksigen. Dalam kehamilan terdapat 3 jenis emboli yang bisa terjadi yaitu
tromboemboli paru, emboli air ketuban dan emboli udara vena. Presentasi tiap-tiap emboli
ini memiliki insidensi dan perjalanan klinis yang bervariasi.
Sebagai contoh, emboli udara vena sering terjadi selama operasi sesar. Gejala-
gejalanya bersifat transien, dan diagnosis sering kali tidak terdeksi. Sebaliknya, emboli air
ketuban jarang terjadi, namun presentasi klinisnya bersifat berbahaya.9 Pada pasien
obstetrik, banyak kejadian emboli terjadi pada intrapartum atau postpartum. Anestesi
paling sering terlibat dalam melakukan resusitasi pasien. Pengenalan, diagnosis dan
penatalaksaan dini diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat emboli
air ketuban ini
Cairan ketuban dan selaput ketuban merupakan mekanisme perlindungan yang
penting untuk perkembangan janin. Selama kehamilan selaput ketuban memisahkan cairan
ketuban dengan sirkulasi maternal. Pada proses persalinan, pembuluh darah uterus di
permukaan endometrium menjadi terpapar langsung dengan cairan ketuban. Biasanya
kontraksi uterus sangat efektif untuk membuat pembuluh darah sangat mengecil. Oleh
karena itu pada saat ketuban pecah, untuk terjadinya emboli air ketuban harus ada tekanan
yang menyebabkan cairan ketuban masuk kedalam sirkulasi maternal. Tempat implantasi
plasenta merupakan salah satu tempat yang berpotensi masuknya cairan ketuban ke dalam
sirkulasi, terutama ketika terjadi pelepasan plasenta. Hal ini biasanya tidak terjadi jika
kontraksi uterus baik. Di sisi lain, luka kecil pada segmen bawah rahim dan endoserviks
selama kehamilan dan persalinan sekarang dianggap sebagai salah satu tempat masuknya
emboli. Gejala yang ditimbulkan tergantung dari besarnya sumbatan pada arteri
pulmonalis.3,4 Satu penelitian, melaporkan pada kasus kematian karena emboli air
ketuban, pada pemeriksaan postmortem mengungkapkan adanya penyumbatan oleh emboli
air ketuban di pembuluh darah servikal dan paru. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan
masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu adalah robekan amnion dan korion, terbukanya
vena ibu baik melalui venavena endoserviks, sinus venosus subplasenta atau akibat laserasi

4
segmen bawah rahim, dan tekanan yang mendesak masuknya air ketuban kedalam sirkulasi
ibu (Thongrong C, Kasemsiri P).

B. OBSTETRIC GINEKOLOGI
1. Hemodinamik

Cairan ketuban dan sel-sel janin menyebabkan peningkatan tahanan sistemik dan pulmonal
sehingga terjadi hipertensi pulmonal akut. Pasien yang mampu bertahan pada tahap ini akan
mengalami gagal jantung kiri dan udem paru. Penyebab disfungsi otot jantung masih belum jelas.
Mungkin disebabkan karena hipoksia akut atau karena depresi langsung otot jantung akibat
komponen yang terdapat dalam cairan ketuban. Adanya endotelin (vasokonstriktor poten) dan
faktor-faktor humoral seperti histamin, prostaglandin, serotonin, tromboksan, dan leukotrien dapat
menyebabkan depresi jantung, penurunan cardiac output, hipertensi pulmonal dan DIC.
Mekanisme terjadinya hampir sama dengan mekanisme syok anafilaksis dan syok sepsis.
2. Pulmonal

Vasospasme pulmonal dan disfungsi ventrikel menyebabkan hipoksemia akut dan berat, yang
nantinya akan menyebabkan gangguan neurologis yang permanen. Pada pasien yang mampu
bertahan, primary lung injury sering
3. Koagulasi

83% pasien yang mampu betahan akan mengalami DIC dengan ataupun tanpa perdarahan
yang signifikan. Cairan ketuban mengandung faktor koagulasi II, VII dan X. Aktifasi faktor X
akan menyebabkan agregasi platelet, melepaskan platelet faktor III dan mempunyai efek seperti
tromboplastin. Satu penelitian mengatakan bahwa cairan ketuban mengandung faktor jaringan,
yang berfungsi sebagai prokoagulasi. Sumber prokoagulasi adalah kulit janin yang terkelupas dan
sel-sel epitel dari sistem pernafasan, gastrointestinal dan genitourinaria janin. Faktor jaringan
bertanggung jawab terhadap aktifasi jalur ekstrinsik pengikatan faktor VII. Faktor ini yang
dianggap memicu pembekuan dengan mengaktifasi faktor X.10 Sebagian beranggapan ketika
terbentuk pembekuan di pembuluh darah akan mengakibatkan pembentukan.
C. KOMPLIKASI PADA PERSALINAN DAN NIFAS EMBOLI AIR KETUBAN
Meski tergolong langka, emboli air ketuban adalah kondisi yang berbahaya dan perlu
segera ditangani oleh dokter. Jika tidak segera mendapatkan penanganan, ibu yang mengalami
emboli air ketuban berisiko mengalami komplikasi berbahaya, seperti kerusakan otak, gagal
napas, syok, dan henti jantung.

Emboli air ketuban sering terjadi setelah proses persalinan, karena selaput ketuban robek
dan banyak pembuluh darah uterus yang keluar. Dengan begitu, cairan ketuban akan dengan
mudah masuk ke pembuluh darah Mums dan terbawa oleh pembuluh darah vena menuju rongga
jantung. Namun demikian, risiko terjadinya emboli air ketuban dapat ditekan dengan pertolongan
persalinan yang terencana. Dokter juga dapat menjaga pantauan pada saluran tubuh Mums, baik
melalui saluran pernapasan, saluran darah, maupun saluran pencernaan.

5
Tidak perlu dikhawatirkan karena dokter dan tim tentunya akan berusaha untuk
menghindari komplikasi saat dan pasca persalinan. Mums cukup menjaga pola makan dan hidup
sehat, serta mengikuti aturan doker dan memiliki kesiapan saat hendak melahirkan.

D. Pengertian Asfiksin
2. ASFIKSIA PADA BAYI

Asfiksi adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara sportan dan
teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada
saat dilahirkan Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil kelainan tali
pusat atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan
(Asuhan Persalinan Normal 2007).

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan seratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia
ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan persalinan atau segera setelah
bayi lahir. Akhut-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Wkrjosastro,
1999).

E. Penyebab Terjadinya Asfiksia Bayi Baru Lahir


1. Faktor Ibu
a. Preeklamsia dan eklamsia
Preeklamsia dan eklamsia mengakibatkan gangguan aliran darah pada tubuh seperti
contohnya ibu mengalami anemia berat sehingga aliran darah pada uterus berkurang akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran darah yang membawa oksigen ke plasenta dan janin.
b. Perdarahan abnormal (plasenta prervia atau solutio plasenta)
Hal ini menyebabkan gangguan pertukaran gas antara oksigen dan zat asam sehingga
turunnya tekanan secara mendadak. Karena bayi kelebihan zat asam arang maka bayi akan
kesulitan dalm bernafas
c. Partus lama atau partus macet

6
Partus lama dan partus karena tindakan dapat berpengaruh terhadap gangguan paru-paru
karena gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin
d. Demam selama persalinan
Demam ini bisa diakibatkan karena infeksi yang terjadi selama proses persalinan. Infeksi
yang yang terjadi tidak hanya bersifat lokal tetapi juga sistemik. Artinya kuman masuk peredaran
darah ibu dan mengganggu metabolisme tubuh ibu secara umum. Sehingga terjadi gangguan
aliran darah yang menyebabkan terganggunya pasokan oksigen dari ibu ke janin.

2. Faktor Bayi
a. Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan).
b. Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ektraksi
vakum, porsef)
c. Kelainan kongenital
Cacat bawaan dalam kandungan akan mengakibatkan asfiksia bayi karena dengan adanya
cacat bawaan ini akan menimbulkan gangguan pertumbuhan janin seperti organ janin
sehingga organ paru janin akan berfungsi abnormal.
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Bila janin kekurangan oksigen dan kadar karbondioksida bertambah timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga denyut jantung janin menjadi lambat. Jika ini terus berlanjut
maka timbullah rangsangan dari nervus simpatikus sehingga denyut jantung janin menjadi
lebih cepat akhirnya janin akan mengadakan pernafasan intrauterin sehingga banyak
mekonium dalm air ketuban pada paru yang mengakibatkan denyut jantung janin menurun
dan bayi tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.

3. Faktor Tali Pusat


a. Lilitan tali pusat
Menyebabkan gangguan aliran darah pada tali pusat. Yang kita ketahui bahwa darah dalam
tubuh membawa oksigen untuk diedarkan ke seluruh tubuh
b. Tali pusat pendek

7
Tali pusat pendekakan menyebabkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin
c. Simpul tali pusat
Karena tekanan tali pusat yang kuat menyebabkan pernafasan pada janin terhambat

F. Komplikasi Yang Muncul Pada Asfiksia Neonatus Antara Lain :


a. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga
terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini
akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini
juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
b. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak
mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran
urine sedikit dan terjadilah asfiksia pada neonatus.
c. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2
hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
d. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma

karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak. Koma terjadi karena

gangguan pengaliran darah menuju otak sehingga otak tidak mendapatkan asupan oksigen

untuk melakukan metabolisme.

G. Asfiksia Ringan Afgar Skor ( 7-10 )


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut.
1. Bayi dibungkus dengan kain hangat

8
2. Bersihkan jalan napas dengan mengisap lendir pada hidung kemudian mulut
3. Bersihkan badan dan tali pusat
4. Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukkan ke dalam inkubator

Asfiksia Sedang APGAR Skor (4-6)


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut
1. Bersihkan jalan napas.
2. Berikan oksigen 2 liter per menit
3. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu
pernapasan dengan masker (ambubag). 4 Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih
sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc
disuntikkan melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan untuk mencegah tekanan
intrakranial meningkat.

Asfiksia Berat APGAR Skor (0-3)


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut
1. Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag.
H. Penanganan Asfiksia
Penanganan awal asfiksia yaitu :
1. Jaga bayi tetap hangat
2. Atur posisi bayi
3. Isap lender
4. Keringkan
5. Atur Kembali posisi bayi
6. Nilai
➢ Penanganan Asfiksia pada bayi baru lahir ( Resusitasi pada bayi baru lahir )
Resusutasi bertujuan memberikan vertilisasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah
jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya. Adapun cara penggunaan asfiksia pada bayi baru lahir, harus dilakukan segera
mungkin dengan waktu 5 menit pada waktu bayi lahir yaitu :

9
a. Meletakan bayi pada tempat yang datar dan keras seperti papan dan bahu di ginjal dengan
kepala dalam posisi ekstensio agar jalan napas terbuka.
b. Mengisap lendir dengan alat pengisap lendir, melakukan isapan lendir pada mulut dengan
kedalaman 5 cm dan melakukan isapan lendir pada hidung dengan kedalaman 3 cm.
c. Mengeringkan bayi mulai dari muka, kepala sampai kaki sambal melakukan rangsangan
taktil.
d. Mengatur kembali posisi kepala bayi agar sedikit ekstensi
e. Menilai apakah bayi bernafas normal, megap-megap atau tidak bernafas
f. Apabila bayi bernafas megap-megap maka kita langsung melakukan vertilisasi dengan
memasang sungkup mulai dari dagu, mulut, dan hidung
g. Meniup atau memompa udara melalui alat tabung atau sungkup bagian mulut dan hidung
sebanyak 2 kali dengan kedalaman 30 cm untuk membuka alveoli
h. Melihat apakah bayi mengembang saaat ditiup atau di pomoa. Jika dada bayi tidak
mengembang periksa posisi sungkup, apakah bocor atau tidak, poisisi kepala, dan periksa
apa ada cairan / lendir dimulut
i. Melanjutkan vertilisasi jika dada mengembang sebanyak 20 kali dengan kedalaman 20 cm
selama 30 detik
j. Menilai pernafasan bayi selama 30 detik. Jika belum bernapas spontan lanjutkan vertilisasi
dan jika sudah bernapas lanjutkan dengan asuhan persalinan normal
k. Melanjutkan vertilisasi 20 kali selama 30 detik dengan kedalaman 20 cm
l. Melakukan perkiraan Kembali selama 30 detik. Jika sudah bernapas lanjutkan pernapasan
bayi baru lahir normal dan jika belum bernapas/bernapas megap-megap tetap melanjutkan
vertilisasi selama 20 menit dengan menyiapkan rujukan dan jika belum bernapas hentikan
vertilisasi. Kemudian beritahu ibu atau keluarganya bahwa bayinya sudah tidak bisa di
tolong.

10
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Emboli air ketuban merupakan sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan
persalinan atau segera setelah melahirkan. Emboli air ketuban mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Patofisiologinya sampai saat ini belum jelas. Gambaran klinisnya sesak
yang tiba-tiba, gagal nafas dan hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskuler, DIC dan
kematian. Penanganannya bersifat suportif dan fokus pada stabilisasi kardiopulmonal ibu. Tujuan
terpenting dari terapi emboli air ketuban adalah untuk mencegah terjadinya hipoksia tambahan dan
kegagalan organ. Pasien dengan emboli air ketuban mempunyai prognosis yang sangat jelek.
Sampai saat ini, sindroma ini
tidak dapat diprediksikan atau dicegah. Dengan diagnosis awal yang baik, resusitasi cepat dan
pendekatan multidisiplin yang baik akan meningkatkan prognosis, memperbaiki mortalitas dan
morbiditas maternal maupun fetal.
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas spontan dan teratur. Bayi
dengan Riwayat gawat janin sebelum lahir. Umumnya akan mengalami asfiksia pada saat di
lahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesadaran ibu hamil kelainan tali pusat
atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau setelah persalinan ( Asuhan
Persalinan Normal 2007 ).
Asfiksia neonatrium ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah
bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul ( Wikijosastro
1999.

B. SARAN

Dengan adanya makalah ini penyusun mengharapkan agar para pembaca dapat memahami.
Saran dari penyusun agar para pembaca dapat menguasai materi singkat dalam makalah ini dengan
baik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Toy H. Amniotic fluid embolism. European Journal of General Medicine,

Thongrong C, Kasemsiri P, Stawicki SPA. Amniotic fluid embolism. International Journal of


Critical Illness and Injury Science,

Dwiana Sulistyanti1 , Yusmein Uyun, Diagnosis dan Tatalaksana Emboli Air Ketuban

Buku pengantar ilmu Kesehatan anak untuk Pendidikan kebidanan


https://books.google.co.id/books?id=mmxAfqKkaNQC&pg=PA128&dq=asfiksia+neonator
um&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjflvrBnMzzAhVXfX0KHaPiChwQ6wF6BAgDEAU#v=o
nepage&q=asfiksia%20neonatorum&f=false
Fauzia Sri Wahyuni Jurnal Bidan tahun 2017, Hubungan faktor ibu dengan kejadian asfiksia di
RSUD Kota Bogor
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+asfiksia+perinatal+pada+ni
fas&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DgZFminK_LfsJ
Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery) tahun 2019, Analisis faktor
penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di RS Aura Syifa Kabupaten Kediri
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+asfiksia+perinatal&oq=#d=
gs_qabs&u=%23p%3DtWcWxw5FCAEJ
Siti Lestari Jurnal ilmu keperawatan anak tahun 2020, Analisis faktor fetus dan tali pusat
terhadap risiko asfiksia perinatal disurakarta
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+asfiksia+perinatal&oq=#d=
gs_qabs&u=%23p%3DtWcWxw5FCAEJ
A Widiani tahun 2016 faktor risiko ibu dan bayi terhadap kejadian asfiksia neonatrium dibali
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+asfiksia+perinatal+pada+pe
rsalinan&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3D-fom_h3F9D0J
Siti Nur Indah jurnal majority tahun 2016 hubungan antara preeklamsi dalam kehamilan dengan
kejadian asfiksia pada bayi baru lahir
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+asfiksia+perinatal+pada+pe
rsalinan&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DIGaRKwT8YFoJ

12
Sindrom Aspirasi Mekonium Dan Ruptur Uteri

Disusun Oleh:

1. Jiihan Latiifah Azzahroh (1915201040)


2. Diba Stevani al qubra (1915201038)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
TAHUN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi rabbi karena atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyusun “Sindrom aspirasi meconium dan rupture uteri “paper ini disusun
sebagai wujud pertanggung jawaban atas tugas yang dibebankan kepada penulis.

Paper yang penulis sajikan memang belum sempurna, hal tersebut terjadi karena
keterbatasan disiplin ilmu yang penulis miliki. Selain itu penulis juga memiliki sumber yang
terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi
kesempurnaan paper ini. Segala kesempurnaan datang dari Allah dan kesalahan datang dari penulis
sendiri.

Kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
penulisan paper ini penulis mengucapkan terima kasih. Semoga paper ini bisa bermanfaat.

Tangerang,14 Oktober 2021

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
2
Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM) adalah sindrom atau kumpulan berbagai
gejala klinis dan radiologis akibat janin atau neonatus menghirup atau mengaspirasi
mekonium. Sindrom aspirasi mekonium dapat terjadi sebelum, selama dan setelah
proses persalinan. Cairan amnion yang terwarna-mekonium ditemukan pada 5-15%
kelahiran, tetapi sindrom ini biasanya terjadi pada bayi cukup bulan atau lewat bulan.
Pada 5% bayi yang berkembang pneumonia aspirasi, dimana 30% darinya memerlukan
ventilasi mekanis dan 5-10 persennya dapat meninggal. Kegawatan janin dan hipoksia
terjadi bersama dengan masuknya meconium kedalam cairan amnion.
Kejadian SAM merupakan masalah yang paling sering dihadapi spesialis anak dan
spesialis kebidanan. Di Amerika Serikat diperkirakan 520.000 (12% dari kelahiran
hidup) dipersulit dengan adanya pewarnaan Air Ketuban Keruh (AKK) dan 35%
diantaranya akan berkembang menjadi SAM (sekitar 4% dari kelahiran hidup). Sekitar
30% neonatus dengan SAM akan membutuhkan ventilasi mekanik, 10% berkembang
menjadi pneumotoraks, dan 4% meninggal. Enam puluh enam persen dari seluruh
kasus hipertensi pulmonal persisten berkaitan dengan SAM. 10 Pengeluaran mekonium
ke dalam air ketuban pada umumnya merupakan akibat dari keadaan hipoksia
intrauterin dan atau gawat janin. Apabila mekonium dikeluarkan dalam waktu empat
jam sebelum persalinan, kulit neonatus akan berwarna mekonium. Neonatus yang lahir
dengan letak sungsang atau presentasi bokong sering mengeluarkan mekonium
sebelum persalinan namun tanpa terjadi gawat janin.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sindrom Aspirasi mekonium?
2. Apa etiologi dalam sindrom Aspirasi mekonium?
3. Bagaimana patofisiologi sindrom aspirasi meconium?
4. Bagaimana komplikasi sindrom Aspirasi mekonium?
5. Bagaimana pencegahan sindrom Aspirasi meconium?
6. Bagaimana pengobatan sindrom Aspirasi meconium?
7. Apakah yag di maksud rupture uteri?
8. Klasifikasi rupture uteri?
9. Etiologi ruoture uteri?
10. Patofisiologi rupture uteri?

3
11. Penatalaksanaan rupture uteri?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sindrom Aspirasi mekonium
2. Untuk mengetahui etiologi dalam sindrom Aspirasi meconium
3. Untuk mengetahui patofisiologi dalam sindrom Aspirasi meconium
4. Untuk mengetahui komplikasi sindrom Aspirasi mekonium
5. Untuk mengetahui pencegahan sindrom Aspirasi mekonium
6. Untuk mengetahui pengobatan sindrom Aspirasi meconium
7. Untuk mengetahui Apakah yag di maksud rupture uteri
8. Untuk mengetahui Klasifikasi rupture uteri
9. Untuk mengetahui Etiologi ruoture uteri
10. Untuk mengetahui Patofisiologi rupture uteri
11. Untuk mengetahui Penatalaksanaan rupture uteri

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Aspirasi Mekonium
1. Definisi
Aspirasi Mekonium adalah terisapnya cairan amnion (cairan ketuban) yang
tercemar mekonium ke dalam paru yang dapat terjadi pada saat intra uterin, persalinan
dan kelahiran, tetapi sindrom ini biasanya terjadi pada bayi cukup bulan atau lewat bulan
(lebih dari 40 minggu).
Mekonium adalah feses atau tinja pertama bayi yang baru lahir, yang kental,
lengket, dan berwarna hitam kehijauan, mulai bisa terlihat pada kehamilan 34 minggu.
Mekonium terbuat dari cairan ketuban, lendir, lanugo (rambut halus yang menutupi
tubuh bayi), empedu dan sel sel yang berasal dari kulit dan saluran usus. Feses bayi
biasanya berubah dari mekonium ke tinja kuning kehijauan dalam 4-5 hari.Cairan
amnion yang mengandung mekonium terjadi pada gawat janin. Pada gawat janin terjadi
autoregulasi sirkulasi darah. Pada keadaan itu organ vital seperti jantung dan otak akan
mendapat aliran darah yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian tubuh lain,seperti
ginjal dan mesenterium. Hal ini menyebabkan hipoksia sirkulasi gastrointestinal
sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus, relaksasi sfingter anal dan pengeluaran
mekonium ke dalam cairan amnion Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan
sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam
saluran pernafasan bayi.
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang paling sering
menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post-term.
Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi gastrointestinal, hepar, dan pancreas
janin, debris seluler, cairan amnion, serta lanugo. Cairan amnion mekonial terdapat
sekitar 10-15% dari semua jumlah kelahiran cukup bulan (aterm), tetapi SAM terjadi
pada 4-10% dari bayi-bayi ini, dan sepertiga diantara membutuhkan bantuan ventilator.
Adanya mekonium pada cairan amnion jarang dijumpai pada kelahiran preterm. Resiko
SAM dan kegagalan pernapasan yang terkait, meningkat ketika mekoniumnya kental
dan apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang dilahirkan dengan

5
cairan amnion yang meconial memperlihatkan distres pernapasan walaupun tidak ada
mekonium yang terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran.

2. Etiologi
Penyebab Aspirasi Mekonium belum jelas mungkin terjadi intra uterin atau segera
sesudah lahir akibat hipoksia janin kronik dan asidosis serta kejadian kronik intra
uterin, adanya peningkatan aktivitas usus janin, cairan amnion yang mengandung
mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar (intrauterin) bila terjadi
stres/kegawatan intrauterin. Namun sindrom atau kumpulan gejala ini lebih umum
terjadi pada bayi postmatur, yaitu mereka yang dilahirkan melewati 42 minggu usia
kehamilan. Pada bayi tersebut, bayi yang stres karena kekurangan oksigen
mengeluarkan mekonium.
Faktor resiko sindrom aspirasi mekonium:
1. Asfiksia Fetal
2. Prolonged Labour
3. skor Apgar <5 pada menit ke lima
4. Mekonium kental
5. denyut jantung yang tidak teratur atau tidak jelas
6. Usia kehamilan melebihi 40 minggu (Postterm )
7. Berat badan lahir rendah. Bedakan dengan prematuritas, dimana sindrom aspirasi
mekonium jarang terjadi bila bayi lahir sebelum 34 minggu. Dengan demikian,
prematuritas bukan faktor risiko untuk terjadinya sindrom aspirasi meconium
8. Kesulitan dalam melahirkan

3. Patofisiologi
Keluarnya mekonium intrauterine terjadi akibat dari stimulasi saraf saluran
pencernaan yang sudah matur dan biasanya akibat dari stres hipoksia pada fetus. Fetus
yang mencapai masa matur, saluran gastrointestinalnya juga matur, sehingga stimulasi
vagal dari kepala atau penekanan pusat menyebabkan peristalsis dan relaksasi sfingter
ani, sehingga menyebabkan keluarnya meconium (Sinclair,2010). Mekonium secara
langsung mengubah cairan amniotik, menurunkan aktivitas anti-bakterial dan setelah itu

6
meningkatkan resiko infeksi bakteri perinatal. Selain itu, mekonium dapat mengiritasi
kulit fetus, kemudian meningkatkan insiden eritema toksikum. Bagaimanapun,
komplikasi yang paling berat dari keluarnya meconium dalam uterus adalah aspirasi
cairan amnion yang tercemar meconium sebelum, selama, maupun setelah kelahiran.
Aspirasi cairan amnion meconial ini akan menyebabkan hipoksia melalui 4 efek utama
pada paru, yaitu: obstruksi jalan nafas (total maupun parsial), disfungsi surfaktan,
pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal. Obstruksi jalan nafas.
Obstruksi total jalan nafas oleh mekonium menyebabkan atelektasis. Obstruksi
parsial menyebabkan udara terperangkap dan hiperdistensi alveoli, biasanya termasuk
efek fenomena ball-valve. Hiperdistensi alveoli menyebabkan ekspansi jalan nafas
selama inhalasi dan kolaps jalan nafas di sekitar mekonium yang terinspirasi di jalan
nafas, menyebabkan peningkatan resistensi selama ekshalasi. Udara yang terperangkap
(hiperinflasi paru) dapat menyebabkan ruptur pleura (pneumotoraks), mediastinum
(pneumomediastinum), dan perikardium (pneumoperikardium) Disfungsi surfaktan.
Mekonium menonaktifkan surfaktan dan juga menghambat sintesis surfaktan.
Beberapa unsur mekonium, terutama asam lemak bebas (seperti asam palmitat, asam
oleat), memiliki tekanan permukaan minimal yang lebih tinggi dari pada surfaktan dan
melepaskannya dari permukaan alveolar, menyebabkan atelektasis yang luas.
Pneumonitis kimia.
Mekonium mengandung enzim, garam empedu, dan lemak yang dapat mengiritasi
jalan nafas dan parenkim, mengakibatkan pelepasan sitokin (termasuk tumor necrosis
factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1s, I-L6, IL-8, IL-13) dan menyebabkan pneumonitis
luas yang dimulai dalam beberapa jam setelah aspirasi. Semua efek pulmonal ini dapat
menimbulkan gross ventilation-perfusion (V/Q) mismatch. Hipertensi pulmonal
persisten pada bayi baru lahir.
Beberapa bayi dengan sindroma aspirasi mekonium mengalami hipertensi
pulmonal persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary hypertension of the
newborn [PPHN]) primer atau sekunder sebagai akibat dari stres intrauterin yang kronik
dan penebalan pembuluh pulmonal. PPHN lebih lanjut berperan dalam terjadinya
hipoksemia akibat sindrom aspirasi mekonium [CITATION Put16 \l 1033].

7
4. Komplikasi
1. Pneumonia Aspirasi
Infeksi paru-paru yang diakibatkan oleh terhirupnya sesuatu ke dalam saluran
pernapasan.
2. Displasia Bronkopulmonari (BPD)
Perkembangan abnormal dari paru-paru yang dihasilkan dari toksistasoksigen pada
bayi prematur yang menerima bantuan pernapasan berkepanjangan untuk penyakit
membran hialin.
3. Pneumotoraks
Adanya udara yang terperangkap di dalam rongga pleura (daerah antara paru-paru
dan dinding dada) yang menyebabkan paru-paru mengempis.
4. Kerusakan otak akibat kekurangan oksigen
5. Gangguan pernafasan yang menetap selama beberapa hari

5. Pencegahan Sindrom aspirasi meconium


Pencegahan aspirasi mekonium mencakup melakukan pengisapan hipofaring
sebelum bahu dilahirkan. Perhatian yang cermat pada kegawatan janin dan segera
memulai persalinan bila ditemui asidosis janin dan DJJ buruk.

6. Pengobatan Sindrom aspirasi meconium


Mulut bayi baru lahir harus disedot secepatnya disaat persalinan. Perawatan lebih
lanjut diperlukan jika ada pewarnaan mekonium tebal dan gawat pada janin. Bayi
dapat ditempatkan di perawatan khusus atau unit perawatan intensif bayi baru lahir.
Pengobatan lain mungkin termasuk:
1. Antibiotik untuk mengobati infeksi
2. Pernapasan mesin untuk meningkatkan fungsi paru-paru
3. Menjaga suhu tubuh bayi
4. Penyadapan pada dada untuk melonggarkan secret

8
B. Rupture Uteri
1. Pendahuluan
Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu
adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan
masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping
preeklampsi/eklampsi dan infeksi. Perdarahan dalam bidang obstetri dapat dibagi
menjadi perdarahan pada kehamilan muda (kurang dari 22 minggu), perdarahan
pada kehamilan lanjut dan persalinan, dan perdarahan pasca persalinan. Ruptur
uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut
dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan
darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada
kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan
perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.
Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu
adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus.
2. Klasifikasi
Klasifikasi ruptur uteri menurut keadaan robek
a. Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal)
Ruptur uteri yang hanya dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa
(peritoneum) tetap utuh.
b. Ruptur uteri komplit (transperitoneal)
Rupture uteri yang selain dinding uterusnya robek, lapisan serosa (peritoneum) juga
robek sehingga dapat berada di rongga perut. Klasifikasi ruptur uteri menurut kapan
terjadinya
c. Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uterigravidarum)
Ruptur uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan
oleh:
- Bekas seksio sesaria
- Bekas enukleasi mioma uteri
- Bekas kuretase/ plasenta manual
- Sepsis post partum

9
- Hipoplasia uteri
d. Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum)
Ruptur uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju/ turun
yang dapat disebabkan oleh:
- Versi ekstrasi
- Ekstrasi forcep
- Ekstrasi bahu
- Manual placenta
Klasifikasi ruptur uteri menurut etiologinya
a. Ruptur uteri spontan (nonviolent)
Ruptur uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah atau dinding uterus masih baik,
tapi bagian terbawah janin tidak maju atau tidak turun.
b. Ruptur uteri traumatika (violent)
Ruptur uteri yang terjadi oleh karena adanya rudapaksa pada uterus.
c. Ruptur uteri jaringan parut
Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus sebagai
akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya.
3. Etiologi
Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma pada
uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara spontan.
Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan sebagai
faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses kehamilan dan
persalinan misalnya trauma pada abdomen, sedangkan tindakan berarti
berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi,
ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan.
Faktor jaringan parut pada uterus paling sering karena parut bekas seksio sesaria,
enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histerotomi, histerorafi dan lain-
lain. Faktor yang menyebabkan ruptur uteri secara spontan misalnya kelainan letak
dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, kelainan panggul, dan tumor pada
jalan lahir.
Menurut etiologinya:

10
a. Ruptur uteri spontan (nonviolent)
Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab
yang menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju ini dapat
terjadi karena adanya rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus,
makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda dan
tumor pada jalan lahir.
b. Ruptur uteri traumatika (violent)
Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan
sebagai faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses
kehamilan dan persalinan misalnya trauma pada abdomen. Tindakan berarti
berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi,
ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan.
c. Ruptur uteri jaringan parut
Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus
sebagai akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya,
enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histerotomi, histerorafi dan
lain-lain. Seksio sesarea klasik empat kali lebih sering menimbulkan ruptur uteri
daripada parut bekas seksio sesaria profunda. Hal ini disebakan oleh karena luka
pada segmen bawah uterus yang merupakan daerah uterus yang lebih tenang
dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat.

4. Patofisiologi
Patofisiologi ruptur uteri adalah pemisahan jaringan uterus dengan jaringan serosa
secara spontan atau karena penyebab iatrogenik dan traumatik. Hal ini
menyebabkan isi rahim keluar dari rongga uteri dan masuk ke rongga peritoneum.
Ketika ada robekan, darah dan isi dari rahim akan mengisi ruang peritoneum
sehingga menyebabkan aliran darah ke fetal menjadi terganggu.
Faktor risiko yang dapat memicu terjadinya pemisahan antara jaringan uterus
dengan jaringan serosa misalnya trauma pada abdomen, riwayat sectio caesarea,
atau penggunaan forceps saat persalinan.

11
5. Penatalaksanaan
a. Perbaiki keadaan Umum
- Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
- Berikan antibiotika
- Oksigen
b. Laparatomi
1) Histerektomi
Histerektomi dilakukan, jika:
- Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
- Kondisi buruk yang membahayakan ibu
2) Repair uterus (histerorafi)
Histerorafi dilakukan jika:
- Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
- Kondisi klinis ibu stabil
- Ruptur tidak berkomplikasi

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah kumpulan gejala yang diakibatkan
oleh terhisapnya mekonium kedalam saluran pernafasan bayi. Sindroma Aspirasi
Mekoniuim terjadi jika janin menghirup mekonium yang tercampur dengan cairan ketuban,
baik Ketika bayi masih berada di dalam rahim maupun sesaat setelah dilahirkan.
Mekonium adalah tinja janin yang pertama. Merupakan bahan yang kental, lengket dan
berwarna hitam kehijauan, mulai bisa terlihat pada kehamilan 34 minggu. Pada bayi
prematur yang memiliki sedikit cairan ketuban, sindroma ini sangat parah. Mekonium yang
terhirup lebih kental sehingga penyumbatan saluran udara lebih berat.
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan
lanjut dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan
pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Faktor etiologi ruptur uteri dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus,
dan faktor yang terjadi secara spontan. Selain itu pula, faktor prediposisi terjadinya ruptur
uteri dipengaruhi oleh faktor uterus, ibu, janin, plasenta, dan persalinan.

B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar
penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Kosim, M. Sholeh. Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh. Penelitian Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2009 Oktober: 1-6.
Kesehatan. 2010 Mei: 4 – 29
Konsultasi Kedokteran. “Pengertian dan Gejala Sindrom Aspirasi Mekonium”.
Diunduh dari:
http://www.konsultasikedokteran.com/post/read/933/pengertian-dan-
gejalasindrom-aspirasi-mekonium.html , 2015, diakses 14 Oktober 2021
Buku Saku Doter. “Sindroma Aspirasi Mekonium”. Diunduh dari :
http://bukusakudokter.org/2012/11/05/sindroma-aspirasi-mekonium/ , 2012,
diakses pada 14 Oktober 2021
Putra, T. R., & Mutiara, H. (2017, Januari). Sindroma Aspirasi Mekonium. Jurnal
Medila Unila, VII. Diakses Oktober 14, 2021 dari
juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/750/pdf.
University of Rochester Medical Center. (2018). Meconium Aspiration. Diakses
Oktober 14, 2021, dari https://www.urmc.rochester.edu/.
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=ruptur+uteri&oq=#d=gs_q
abs&u=%23p%3DHfoFbZEdQswJ

http://repository.lppm.unila.ac.id/219/1/ARTIKEL%20REVIEW%20RATNA%20DPS.d
oc
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/juke/article/download/642/646
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/ruptur-uteri

14
“Retensio Plasenta”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Asuhan Kebidanan


pada Kasus Kompleks 1

DISUSUN OLEH :

Selsadila Aning Puspandari (1915201041)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

Tahun 2021
i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga modul dengan judul bisa terselesaikan dengan baik.
Adapun modul ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Asuhan
Kebidanan pada Kasus Kompleks 1. Selain itu, penyusunan makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan kepada pembaca tentang Retensio Plasenta
dan Infeksi Masa Nifas.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kepada ibu selaku dosen mata
kuliah kuliah Asuhan Kebidanan pada Kasus Kompleks 1. Berkat tugas yang
diberikan ini, penulis dapat menambah wawasan berkaitan dengan topik yang
diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan


banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga
mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan
dalam makalah ini.

Penulis
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................3
A. Retensio Plasenta ...........................................................................................................3
B. Etiologi Retensio Plasenta..............................................................................................5
C. Patofisiologi Retensio Plasenta ......................................................................................7
D. Komplikasi Retensio Plasenta........................................................................................7
E. Pencegahan Retensio Plasenta .......................................................................................8
F. Penatalaksanaan Plasenta ...............................................................................................9
BAB III PENUTUP ................................................................................................................11
A. Kesimpulan ..................................................................................................................11
B. Saran.............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup
dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk tahun 2015 yaitu
sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). Kejadian
retensio plasenta merupakan komplikasi dalam persalinan yang menduduki
posisi ketiga penyebab perdarahan postpartum primer yang merupakan
prioritas pertama dalam kematian ibu bersalin di Indonesia oleh karena itu
memerlukan perhatian khusus. Hasil penelitian menunjukkan paritas risiko
(>3) memililiki resiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya retensio plasenta, hal
ini sesuai dengan teori bahwa paritas tinggi (lebih dari tiga) mem-punyai
angka kejadian perdarahan pasca persalinan lebih tinggi, hal ini di hubungkan
dengan fungsi reproduksi ibu bersalin yang mengalami penurunan karena
seringnya hamil atau melahirkan (Rahma-wati, 2011) dan menurut teori lain
bahwa seringnya hamil atau melahirkan menyebabkan parut pada dinding
uterus. Jika plasenta melekat pada bekas parut maka plasenta akan
berimplantasi dengan sangat kuat, sehingga kemungkinan akan terjadi retensio
plasenta (Purwaningsih, 2008).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Retensio Plasenta?
2. Ada Berapa Jenis-Jenis Retensio Plasenta?
3. Etiologi Retensio Plasenta
4. Apakah Tanda-Tanda Retensio Plasenta?
5. Apakah Penyebab Retensio Plasenta?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Retensio Plasenta
2. Untuk Mengetahui Jenis-Jenis Retensio Plasenta
3. Untuk Mengetahui Etiologi Retensio Plasenta
4. Untuk Mengetahui Tanda-Tanda Retensio Plasenta
5. Untuk Mengetahui Penyebab Retensio Plasenta

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Retensio Plasenta
Retensio plasenta merupakan keadaan plasenta yang belum
dilahirkan atau keterlambatan pengeluaran plasenta setelah 30 menit bayi
dikeluarkan dari rahim ibu. Plasenta harus segera dapat dilahirkan dalam
waktu 30 menit supaya tidak terjadi perdarahan karena plasenta yang
masih melekat pada dinding uterus menghambat efektifitas kontraksi.
Selain itu juga jika terjadi retensio plasenta dan dilakukan penanganan
dengan pengeluran plasenta secara manual kemungkinan bisa
mengakibatkan infeksi pasca salin. Dalam prakteknya bidan mempunyai
kewenangan dan kompetensi untuk melakukan prosedur plasenta manual.
Bidan berwenang melakukan tindakan plasenta manual bila terdapat tanda-
tanda adanya perdarahan. Bila setelah 30 menit plasenta tidak lepas dan
tidak ada perdarahan bidan hasrus segera merujuknya ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap. Perdarahan di sini menandakan bahwa
plasenta telah mengalami pelepasan baik sudah seutuhnya maupun hanya
sebagian yang berarti menggambarkan retensio plasenta ini bukan karena
plasenta inkreta dan perkreta.
Bila sebagian kecil plasenta masih tertinggal dalam uterus dan
dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau lebih sering
sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan atau separasi
plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan
Duncan) atau plasenta sudah lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara
pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir.
Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan manual plasenta, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.

3
Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio plasenta berulang (habitual
retensio plasenta).

a. Jenis-jenis Retensio Plasenta


Jenis-jenis perlekatan plasenta yang abnormal yaitu:

1) Plasenta Adhesiva
Merupakan implantasi yang kuat plasenta dari jonjot korion hingga dapat
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta Akreta
Merupakan implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki
bagian lapisan myometrium.
3) Plasenta Inkreta
Merupakan implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki
myometrium.
4) Plasenta Perkreta
Merupakan implantasi jonjot korion plasenta yang sudah menembus bagian
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding rahim

5) Plasenta Inkarserata
Merupakan tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, yang dapat disebabkan
oleh kontraksi ostium uteri.

B. Etiologi
Adapun penyebab atau faktor yang mempengaruhi kejadian retensio plasenta
adalah :
1) Fungsionil
a) His kurang kuat.
b) Plasenta sukar terlepas karena mempunyai inersi di sudut tuba,
berbentuk plasenta membranasea atau plasenta
2) Patologi anatomis
a) Plasenta inkreta, dimana vili korealis tumbuh lebih dalam menembus
desidua sampai ke miometrium.
b) Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium
tetapi belum menembus serosa.
4
c) Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum
dinding rahim.

3) Faktor uterus
a) Kelainan bentuk uterus (bicornus, berseptum)
b) Mioma uterus
c) Riwayat tindakan pada uterus yaitu tindakan bedah sesar, operasi
uterus yang mencapai kavum uteri, abortus dan dilakukan kuretase
yang bisa menyebabkan implantasi plasenta abnormal.
4) Umur
Retensio plasenta pada ibu bersalin juga dapat dipengaruhi oleh usia ibu. Usia
kehamilan yang beresiko adalah <20 tahun dan > 35 tahun. Ibu hamil yang
berusia kurang dari 20 tahun, organ reproduksi belum tumbuh optimal sehingga
kontraksi uterus menjadi kurang kuat, sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun
sudah terjadi penurunan fungsi organ reproduksi seperti menipisnya dinding
sehingga kontraksi uterus menjadi lemah (Soetjiningsih, 2005). Faktor umur
berpengaruh terhadap faktor power dan passage dalam kaitannya dengan fungsi
dan morfologi sistem reproduksi. Menurut Chalik (2002), berbagai kesulitan
dalam kehamilan maupun persalinan lebih sering terjadi pada usia dini atau
remaja (kurang dari 20 tahun). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan
perkembangan berbagai organ tubuh, terutama organ reproduksi belum tercapai
secara optimal. Retensio plasenta di sebabkan karena kontraksi uterus kurang
kuat untuk melepaskan plasenta (Mochtar, 2005).

5) Paritas
Paritas adalah banyaknya anak yang di lahirkan oleh ibu dari anak pertama
sampai anak terakhir adapun pembagian paritas yaitu primipara, multipara, dan
grande multipara. Primipara adalah seorang wanita yang baru pertama kali
melahirkan dimana janin mencapai kehamilan 28 minggu atau lebih. Multipara
adalah seorang wanita yang telah mengalami kehamilan dengan usia kehamilan
minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilanya 2 kali atau lebih.
Sedangkan grande multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami
hamil dengan usia kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah
kehamilannya lebih dari 5 kali (wikjosastro 2011). Paritas Ibu pada plasenta
5
akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium yang mengakibatkan
terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya,
sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis
akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta
adhesiva sampai perkreta. Ashar Kimen mendapatkan angka kejadian tertinggi
retensio plasenta pada plasenta, sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian
retensio plasenta tertinggi pada paritas 4-5 (Joeharno, 2007)

6) Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi. Jika
persediaan zat besi minimal, maka setiap persalinan akan mengurangi
persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan
relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau
pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu hamil yang mengalami anemia
biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah, mata berkunang-kunang.
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada
trimester pertama dan trimester ke tiga. Dampak anemia pada janin antara lain
abortus, terjadi kematian intrauterun, prematuritas, berat badan lahir rendah,
cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat
mengakibatkan abortus, persalinan

7) Graviditas
Graviditas adalah jumlah kehamilan seluruhnya yang telah dialami oleh ibu
tanpa memandang hasil akhir kehamilan. Graviditas I dan graviditas lebih dari
IV mempunyai angka kematian maternal yang lebih tinggi. Ibu yang baru
pertama kali hamil merupakan suatu hal yang baru dalam hidupnya sehingga
secara psiklogis mentalnya belum siap dan ini akan memperbesar terjadinya
komplikasi. Selain itu juga retensio placenta sering terjadi pada graviditas tinggi
hal ini disebabkan karena fungsi alat-alat vital dan organ reproduksi mulai
mengalami kemunduran yang diakibatkan semakin rendahnya hormon-hormon
yang berfungsi dalam proses kematangan reproduksi. Kehamilan lebih dari tiga
kali atau lebih dari empat, menyebabkan rahim ibu teregang dan semakin lemah
6
sehingga rentan untuk terjadinya komplikasi dalam persalinan yang salah
satunya adalah kejadian retensio placenta (Winkjosastro, 2011).

8) Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan.
Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih
pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu,
miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga
ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta
berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari
dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat
itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot
miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan
pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.

C. Tanda-tanda retensio plasenta


Dibagi menjadi dua yaitu:

1) Tanda-tanda yang selalu ada


(a) Plasenta belum lahir 30 menit setelah anak lahir

(b) Ada perdarahan

(c) Kontraksi uterus kurang baik

7
(d) Pada eksplorasi jalan lahir tidak ada robekan.

2) Tanda-tanda yang kadang menyertai


(a) Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
(b) Inverio uteri akibat tarikan
(c) Perdarahan lanjutan

D. Patofisiologi retensio plasenta


Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan.
Jika lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya. Plasenta yang belum lepas sama sekali
dari dinding uterus karena :
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhesiva).
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi
korialis menembus desidua sampai mimetrium dibawah
peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
3) Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi
belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk
melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga
terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta (inkarserio plasenta).
(Sumarah, 2009).

E. Komplikasi
Menurut Manuaba (2010), plasenta harus dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya diantaranya:

8
1) Perdarahan Bila retensio plasenta terdapat sedikit perlepasan hingga
kontraksi terus memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat
luka tidak menutup.

2) Infeksi Benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan


pertumbuhan bakteri.

3) Dapat terjadi plasentainkarserata Dimana plasenta melekat terus


sedangkan kontraksi pada ostium baik sehingga plasenta tertahan
dalamuterus.

4) Terjadi polipplasenta Sebagai massa proliferatif yang mengalami


infeksi sekunder dan nekrosis.

5) Terjadi degenerasi (keganasan) korio karsinoma. Dengan masuknya


mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah menjadi
patologik dan akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi
mikro invasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus. Sel
ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa
beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal
dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun
kemudian bisa menyebabkan kanker.Karena itu beberapa perubahan
abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah menjadi
kanker.

F. Pencegahan retensio plasenta


Pencegahan retensio plasenta dengan cara pemberian oksitosin
segera setelah pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat segera setelah
pelahiran bayi dan menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk
pelahiran plasenta. (Varney, H., 2007 ). Upaya pencegahan yang dilakukan
oleh bidan adalah dengan promosi untuk meningkatkan penerimaan
keluarga berencana, sehingga memperkecil terjadi retensio plasenta,
meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih pada waktu melakukan masase dengan tujuan mempercepat

9
proses persalinan plasenta. Masase yang tidak tepat waktu dapat
mengacaukan kontraksi otot rahim dan mengganggu pelepasan plasenta,
(Rukiyah, A.Y. 2010 ).

G. Penatalaksanaan retensio plasenta


Penatalaksanaan untuk melahirkan plasenta dengan melakukan
injeksi oxytocin 1 menit pertama setelah bayi lahir untuk merangsang
kontraksi uterus, Plasenta dalam waktu 15 menit belum tampak tanda
lepas dari dinding rahim maka ibu harus diberikan suntikan oxytocin 10
IU, namun 15 menit setelah pemberian oxytocin yang kedua masih belum
juga lahir maka harus dilakukan manual plasenta untuk menghindari
jumlah perdarahan yang banyak (lebih dari 500 cc) (Purwanti, 2017).

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Retensio plasenta merupakan keadaan plasenta yang belum dilahirkan
atau keterlambatan pengeluaran plasenta setelah 30 menit bayi dikeluarkan
dari rahim ibu. Plasenta harus segera dapat dilahirkan dalam waktu 30 menit
supaya tidak terjadi perdarahan karena plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus menghambat efektifitas kontraksi. Selain itu juga jika terjadi
retensio plasenta dan dilakukan penanganan dengan pengeluran plasenta
secara manual kemungkinan bisa mengakibatkan infeksi pasca salin. Jenis-
jenis perlekatan plasenta yang abnormal yaitu:

1. Plasenta Adhesiva
2. Plasenta Akreta
3. Plasenta Inkreta
4. Plasenta Perkreta
5. Plasenta Inkarserata

B. Saran
Dengan makalah ini penulis berharap, mahasiswa dapat memahami
konsep teori beserta asuhan kebidanan pada infeksi postpartum dan retensio
plasenta, karena infeksi postpartum dan retensio plasenta rentan ditemui
terutama pada wanita yang mengalami gangguan pada sistem imun, sebagai
tim medis harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya
infeksi pada postpartum, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Airmala, U., & Andayani, A. (2021). LITERATURE REVIEW HUBUNGAN USIA


DAN PARITAS TERHADAP KEJADIAN RETENSIO PLASENTA PADA
IBU BERSALIN (Doctoral dissertation, Universitas Ngudi Waluyo).
Kusumastuti, S., Maryani, T., & Meilani, N. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN RETENSIO PLASENTA DI RSUD KOTA
YOGYAKARTA TAHUN 2013-2017 (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta).

Puteri, M. D., & Hafifah, N. Y. (2021). Ibu Bersalin Dengan Retensio Plasenta.
Initium Variety Journal, 1(1), 42-48.

Syalfina, A. D., & Priyanti, S. (2021). Manajemen Kebidanan Pada Ibu Bersalin
Dengan Retensio Plasenta. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr.
Soetomo, 7(2), 150-161.

Setyarini ika, dkk. 2016. Praktikum Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal Neonatal. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Praktikum-Gadar-Maternal-Neonatal-
Komprehensif.pdf

SITI AISAH, G. (2018). ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN PATOLOGI


PADA NY. S UMUR 18 TAHUN PIA0 DENGAN RETENSIO PLASENTA
DI PUSKESMAS KELING I JEPARA (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Semarang).

Wiwid Widuri, C. (2021). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Retensio Plasenta (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta).
Yaumil Indah Juddah, P. (2018). IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN RETENSIO PLASENTA DI RSUD KOTA

12
KENDARI PRIODE TAHUN 2016-2017 (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Kendari).

13

Anda mungkin juga menyukai