Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Jahe Merah

II.1.1 Klasifikasi jahe merah

Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe)

Gambar II.1 Rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe)


Sumber : Dokumentasi pribadi

Kingdom : plantae

Subkingdom : Viridaep lantae

Infrakingdom : Streptophyta

Divisi : Tracheophyta

Subdivisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Superordo : Lilianae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Zingiber

Jenis : Zingiber officinale Roscoe (ITIS, 2011).

7
8

II.1.2 Nama Daerah Tanaman

Halia (Aceh), Bening (Gayo), Bahing (Batak), Lahia (Nias),

Sipadeh (Minangkabau), Jahi (Lampung), Jahe (Sunda), Jae (Jawa

Tengah), Jhai (Madura), Cipakan (Bali), Sipados (Kutai), Hai

(Dayak), Bawo (Sangir), Melito (Gorontalo), Yuyo (Buol), Kuni

(Baree), Lala (Makasar), Pese (Bugis), Jae (Sasak), Aloi (Sumba),

Lea (Flores), Laiae (Kupang), Ilii (Tanimbar), Lala (Aru), Siwei

(Buru), Galaka (Ternate), Gara (Tidore), Siwe (Ambon) (Napitupulu

dkk, 2008).

II.1.3 Morfologi jahe merah

Tanaman jahe merah merupakan tumbuhan berbatang tegak

dan tidak bercabang. Akarnya berbentuk rimpang dengan daging

akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat.

Daunnya menyirip dengan panjang 15-23 mm dan panjang 8-15 mm

yang tersusun berselang-selang teratur. Bunga jahe merah tumbuh

dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan panjang 3,5-5 cm dan

lebar 1,5-1,75 cm dengan gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga

7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan, bibir bunga dan kepala

putik berwarna ungu, dan tangkai putik berjumlah dua. Batangnya

berbentuk bulat kecil berwarna hijau dan agak keras. Tinggi tanaman

ini tidak lebih dari 60 cm. Tanaman tersebut berserat kasar dengan

tekstur batang yang kasar pula. Dan batangnya yang berbentuk bulat

kecil berwarna hijau kemerahan (Anonim, 2017).


9

II.1.4 Kandungan Senyawa Kimia Jahe Merah

Beberapa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam

rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe) yaitu flavonoid,

minyak atsiri dan tannin (Fissy, 2013).

II.1.5 Manfaat Jahe Merah

Rimpang jahe merah merupakan salah satu tanaman obat yang

mempunyai banyak khasiat. Secara turun-temurun jahe merah telah

banyak di pakai untuk menyembuhkan berbagai penyakit, misalnya

kurang nafsu makan, kepala pusing, encok atau rematik, batuk

kering, masuk angin, gangguan pencernaan, terkilir, bengkak

bengkak, gatal-gatal, muntah muntah, radang tenggorokan dan sakit

gigi (Tim Lentera, 2002).

II.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain.

Simplisia merupakan bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).

Berdasarkan bahan bakunya simplisia dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :

1. Simplisia nabati, adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian

tanaman atau eksudat tanaman (isi sel yang secara spontan keluar dari

tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau

zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari

tanamannya).
10

2. Simplisia hewani, adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum

berupa zat kimia murni.

3. Simplisia pelikan atau mineral, adalah simplisia yang berupa bahan

pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara

sederhana dan belum berupa zat kimia murni .

Prosedur standar pengolahan tanaman obat menjadi simplisia bertujuan

untuk memenuhi persyaratan simplisia bahan baku obat tradisional,

terutama untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan, dan

khasiat sediaan akhir (Depkes RI, 2000).

II.2.1 Tahapan Pembuatan Simplisia

Berdasarkan tahapan pembuatan simplisia menurut (Depkes RI,

1985) terdiri dari :

a. Pengumpulan Bahan Baku

Bahan baku simplisia idealnya diperoleh dari tanaman obat

yang dibudidayakan secara intensif. Beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam pengumpulan bahan baku simplisia adalah

tanaman yang akan digunakan, umur tanaman atau bagian

tanaman saat panen, serta waktu yang tepat untuk panen.

Pengumpulan dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak

bahan dan tanaman induknya, bahan yang dikumpulkan benar-

benar dipilih sesuai kebutuhan. Penggunaan alat-alat dari logam

sebaiknya dihindari karena akan merusak beberapa. senyawa


11

kimia yang terdapat dalam tanaman, misalnya tanin, fenol dan

likosida.

b. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan pada bahan segar dengan cara

memisahkan kotoran dan atau bahan asing lainnya yang terikut

saat pengumpulan seperti tanah, kerikil, rumput, gulma, dan

bagian tanaman yang tidak diinginkan. Tanah sangat potensial

sebagai tempat hidup mikroba yang dapat menurunkan mutu

simplisia. Dilakukan pula pemilihan bahan berdasarkan ukuran

panjang, lebar, besar ataupun kecil. Sortasi basah berfungsi untuk

mengurangi cemaran mikroba, serta memperoleh simplisia

dengan jenis dan ukuran seperti yang dikehendaki.

c. Pencucian

Tanah dan kotoran yang tidak dapat dihilangkan pada kegiatan

sortasi basah dapat dibersihkan pada tahap pencucian. Pencucian

berfungsi untuk menurunkan jumlah mikroba yang menyebabkan

pembusukan dan membuat penampilan fisik simplisia lebih

menarik. Pencucian dilakukan dengan air bersih (standar air

minum), sebaiknya dengan air mengalir agar kotoran yang

terlepas tidak menempel kembali. Kotoran yang melekat dengan

kuat dan berada di bagian yang sudah dibersihkan dapat

dihilangkan dengan penyemprotan air bertekanan tinggi.


12

d. Perajangan

Beberapa jenis bahan baku simplisia seringkali harus di ubah

menjadi bentuk lain misalnya irisan, potongan dan serutan, untuk

memudahkan kegiatan pengeringan, pengemasan, penggilingan

dan penyimpanan serta pengolahan selanjutnya. Semakin tipis

ukuran hasil rajangan atau serutan akan mempercepat proses

penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan, namun

jika terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya kadar senyawa

aktif, terutama senyawa yang mudah menguap.

e. Pengeringan

Bahan tanaman jarang sekali digunakan dalam keadaan segar,

karena mudah rusak dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama.

Pada dasarnya pengeringan bahan simplisia dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu secara alamiah dan buatan. Pengeringan

secara alamiah memanfaatkan unsur iklim antaranya cahaya

matahari, hembusan angin, dan pergantian udara. Pengeringan

buatan dilakukan dengan menggunakan suatu alat yang

memanfaatkan energi panas, listrik, atau api.

f. Sortasi Kering

Prinsip kegiatan sortasi kering sama dengan sortasi basah,

tetapi dilakukan saat bahan simplisia telah kering sebelum

dikemas. Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-

benda asing dan pengotor lain yang masih ada, seperti bagian

yang tidak diinginkan, tanah, atau pasir. Kegiatan sortasi kering


13

dilakukan untuk lebih menjamin simplisia benar-benar bebas dari

bahan asing.

g. Pengemasan

Pengemasan atau pengepakan simplisia sangat berpengaruh

terhadap mutu simplisia terkait dengan pengangkutan dan

penyimpanan. Kegiatan ini bertujuan untuk melindungi (proteksi)

simplisia saat pengangkutan, distribusi dan penyimpanan, dari

gangguan luar seperti suhu, kelembaban, sinar, pencemaran

mikroba, serta serangan berbagai jenis serangga.

h. Penyimpanan

Kegiatan penyimpanan dilakukuan bila simplisia secara

kuantitatif melebihi kebutuhan serta untuk memenuhi kebutuhan

jangka panjang. Penyimpanan merupakan upaya untuk

mempertahankan kualitas simplisia, baik fisik maupun jenis dan

kadar senyawa kimianya, sehingga tetap memenuhi persyaratan

mutu yang ditetapkan.

II.2.2 Parameter standarisasi mutu simplisia

1. Parameter spesifik

a. Identitas

Parameter identitas ekstrak adalah deskripsi tata nama

ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan

(sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan, nama

Indonesia tumbuhan. Ekstrak dapat mempunyai senyawa

identitas, artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk


14

spesifik dengan metode tertentu. Tujuan penetapan identitas

untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik

dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).

b. Organoleptik

Parameter organoleptik yaitu mendeskripsikan bentuk,

warna, bau dan rasa. Tujuan penetapan organoleptik untuk

pengenalan awal yang, sederhana seobyektif mungkin (Depkes

RI, 2000).

2. Parameter non spesifik

a. Susut pengeringan

Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada tempratur 105°C selama 30 menit atau

sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen.

Tujuan pengujian ini adalah untuk memberikan batasan

maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang

pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang di

perbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (tidak

lebih dari 10%) (Depkes RI, 2000).

b. Kadar air

Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan,

dilakukan dengan cara yang tepat. Tujuannya untuk

memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya

kandungan air didalam bahan, nilai atau rentang yang


15

diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi

(tidak lebih dari 10%) (Depkes RI, 2000).

c. Kadar abu

Bahan dipanaskan pada tempratur dimana senyawa

organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga

menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya untuk

memberikan gambaran kandungan mineral internal dan

ekstrenal yang berasal dari proses awal sampai terbentuk

ekstrak, nilai atau ren tang yang diperbolehkan terkait dengan

kemurnian dan kontaminasi (tidak lebih dari 5,0%) (Depkes

RI, 2000).

II.3 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk

yang tersisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Marjoni, 2016).

II.3.1 Parameter Standar Mutu Ekstrak

1. Parameter spesifik

a. Identitas

Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin

tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama tumbuhan

Indonesia) dan dapat mempunyai senyawa identitas. Tujuanya


16

untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik

dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).

b. Organoleptik

Meliputi penggunaan panca indra untuk mendeskripsikan

bentuk (padat, serbuk, kering, kental, cair) warna (kuning,

coklat, dan lain-lain) bau (aromatik, tidak berbau, berbau) rasa

(pahit, manis, kelat) dengan tujuan untuk pengenalan awal

yang sederhana (Depkes RI, 2000).

2. Parameter non spesifik

a. Kadar air

Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan

dilakukan dengan cara yang tepat, tujuanya untuk memberikan

batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air

didalam bahan, nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait

dengan kemurnian dan kontaminasi (tidak lebih dari 11%)

(Depkes RI, 2000).

b. Kadar abu

Bahan dipanaskan pada tempratur dimana senyawa

organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga

menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya untuk

memberikan gambaran kandungan mineral internal dan

ekstrenal yang berasal dari proses awal sampai terbentuk

ekstrak, nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan


17

kemurnian dan kontaminasi (tidak lebih dari 1%) (Depkes RI,

2000).

c. Sisa pelarut

Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang

memang ditambahkan). Tujuannya untuk memberikan jaminan

bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang

memang seharusnya tidak boleh ada (tidak lebih dari 1%)

(Depkes RI, 2000).

II.4 Ektraksi

Ektraksi merupakan proses pemisahan senyawa dari matriks atau

simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Peran ekstraksi dalam

analisis fitokimia sangat penting karena sejak tahap awal hingga akhir

menggunakan proses ektraksi termasuk fraksinasi dan pemurnian (Hanani,

2015). Ekstraksi adalah suatu penyarian zat aktif dari bagian tanaman obat

yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian

tanaman obat tersebut (Marjoni, 2016).

II.4.1. Metode Ekstraksi

Menurut (Marjoni, 2016) metode ekstrasi dibagi menjadi dua yaitu :

1. Ekstraksi secara dingin

Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak

senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan

terhadap panas atau bersifat termolabil. Ekstraksi secara dingin

dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :


18

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang

dilakukan hanya dengan cara merendam simplisia dalam satu

atau campuran pelarut selama waktu tertentu pada temperatur

kamar dan terlindung dari cahaya (Marjoni, 2016).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin

dengan cara mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia

selama waktu tertentu (Marjoni, 2016).

2. Ekstraksi secara panas

Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang

terkandung dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas. Metode

ekstraksi yang membutuhkan panas diantaranya :

a. Seduhan

Seduhan merupakan metode ekstraksi paling sederhana

hanya dengan merendam simplisia dengan air panas selama

waktu tertentu (5-10 menit) (Marjoni, 2016).

b. Penggodokan

Penggodokan merupakan penyarian dengan cara

menggodok simplisia menggunakan api langsung dan hasilnya

dapat langsung digunakan sebagai obat baik secara

keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil godokan saja

tanpa ampas (Marjoni, 2016).


19

c. Infusa

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara

menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 900°C selama

15 menit (Marjoni, 2016).

d. Digestasi

Digestasi adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya

hampir sama dengan maserasi, hanya saja digestasii

mengunakan pemanasan rendah pada suhu 30-400oC. Metode

ini biasanya digunakan untuk simplisia yang tersari baik pada

suhu biasa (Marjoni, 2016).

e. Dekokta

Proses penyarian secara dekokta hampir sama dengan

infusa, perbedaannya hanya terletak pada lamanya waktu

pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding metode infusa,

yaitu 30 menit dihitung setelah suhu mencapai 900°C. Metode

ini sudah sangat jarang digunakan karena selain proses

penyariannya yang kurang sempurna dan juga tidak dapat

digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang bersifaat yang

termolabil (Marjoni, 2016).

f. Refluks

Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada

titik didih pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu

dengan adanya pendingin balik (kondensor). Proses ini

umumnya dilakukan 3-5 kali pengulangan pada residu


20

pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup

sempurna (Marjoni, 2016).

g. Soxhletasi

Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas

menggunakan alat khusus berupa esktraktor soxhlet. Suhu

yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan suhu pada

metoda refluks (Marjoni, 2016).

II.4.2 Pelarut Untuk Ekstraksi

Pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada larutan

dalam jumlah yang besar, sedangkan zat lainnya dianggap sebagai

zat terlarut (Marjoni, 2016).

1. Macam-macam pelarut :

a. Air

Air merupakan salah satu pelarut yang mudah, murah dan

dipakai secara luas oleh masyarakat. Pada suhu kamar, air

merupakan pelarut yang baik. Secara umum peningkatan suhu

air, dapat meningkatkan kelarutan suatu zat.

b. Etanol

Berbeda dengan air yang dapat melarutkan berbagai

macam zat aktif, etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu

saja seperti alkaloida, glikosida, damar-damar dan minyak

atsiri. Etanol tidak bisa digunakan untuk meng ekstraksi bahan

dari jenis-jenis gom, gula dan albumin.


21

c. Gliserin

Gliserin digunakan sebagai pelarut terutama untuk

menarik zat aktif dari simplisia yang mengandung zat samak.

Di samping itu, gliserin juga merupakan pelarut yang baik

untuk golongan tanin dan hasil oksidannya, berbagai jenis gom

dan albumin.

d. Eter

Eter merupakan pelarut yang sangat mudah menguap

sehingga tidak dianjurkan untuk pembuatan sediaan obat yang

akan disimpan dalam jangka waktu yang lama.

e. Heksana

Heksana adalah pelarut yang berasal dari hasil

penyulingan minyak bumi. Heksana merupakan pelarut yang

baik untuk lemak dan minyak. Pelarut ini biasanya di

pergunakan untuk menghilangkan lemak pengotor dari

simplisia sebelum simplisia tersebut dibuat sediaan galenik.

f. Aseton

Aseton memiliki kemampuan hampir sama dengan

heksana. Akan tetapi aseton tidak dipergunakan untuk sediaan

galenik untuk pemakaian dalam.

g. Klorofom

Klorofom biasanya digunakan untuk menarik bahan-bahan

yang mengandung basa alkaloida, damar, minyak lemak dan


22

minyak atsiri. Klorofom tidak dipergunakan untuk sediaan

dalam karena bersifat toksik.

h. Etil Asetat

Etil asetat merupakan pelarut polar menengah yang volatil

(mudah menguap), tidak beracun, dan higroskopis. Senyawa

etil asetat berbentuk cairan tidak berwarna dan memiliki aroma

yang khas

2. Pengelompokan Pelarut Berdasarkan Kepolaran :

a. Pelarut polar

Pelarut polar adalah senyawa yang memiliki rumus umum

ROH dan menunjukan adanya atom hidrogen yang menyerang

atom elektro negatif (oksigen). Contoh pelarut polar

diantaranya : Air, metanol, etanol dan asam asetat.

b. Pelarut semi polar

Pelarut semi polar adalah pelarut yang memiliki molekul

yang tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut semi polar

memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan

dengan pelarut polar. Contoh pelarut semi polar adalah:

Aseton, etil asetat, DMSO dan dikloro metan.

c. Pelarut non polar

Pelarut non polar merupakan senyawa yang memiliki

konstanta dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air.

Contoh pelarut non polar : Heksana, kloroform dan eter.


23

II.5 Gigi

II.5.1 Anatomi Gigi

Gambar II.2. Struktur Gigi (Butler, 2000).


Gigi adalah bagian keras yang tedapat di dalam mulut. Fungsi

utama dari gigi adalah merobek dan mengunyah makanan. Gigi

tertanam di dalam tulang rahang bawah dan atas serta tersusun dalam

dua lengkung. Lengkung rahang atas lebih besar dari pada lengkung

rahang bawah. (Rahman, 2009).

Tulang alveolar dan gusi merupakan bagian dari jaringan

pridontal yaitu jaringan yang befungsi sebagai pendukung atau

penopang gigi. Struktur gigi manusia memiliki 2 susunan gigi yaitu:

gigi primer (desidous dan gigi susu) dan gigi skunder permanen

(Ramadhan, 2010).

a. Gigi primer dalam setengah lengkungan gigi (dimulai dari ruang

diantara dua gigi depan) terdiri dari dua gigi seri, satu taring, dua

geraham (molar) untuk total keseluruhan 20 gigi.

b. Gigi sekunder mulai keluar pada usia 5-6 tahun setengah

lengkung gigi terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 2 premolar

(bicuspid), dan 3 geraham (tricuspid) untuk total keseluruhan 32

buah gigi.
24

II.6 Karies

Karies gigi merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

demineralisasi email dan dentin yang erat hubungannya dengan konsumsi

makanan yang kariogenik. Terjadinya karies gigi akibat peran dari bakteri

penyebab karies yang terdapat pada golongan Streptokokus mulut yang

secara kolektif disebut Streptococus mutans (Angela, 2005).

Karies gigi yang disebut juga lubang gigi merupakan suatu penyakit

dimana bakteri merusak struktur jaringan gigi yaitu enamel, dentin dan

sementum. Jaringan tersebut rusak dan menyebabkan lubang pada gigi.

Karies gigi bersifat kronis dan dalam perkembangannya membutuhkan

waktu yang lama, sehingga sebagian besar penderita mengalaminya seumur

hidup (Sumawinata, 2000).

Proses terjadinya karies gigi dengan adanya tanda awal pembusukan

termasuk adanya bintik putih kapur atau tanda dan gejala yang tidak

nampak. Seiring kondisi berjalan, bintik putih kapur akan berubah menjadi

coklat atau hitam dan pada akhirnya berubah menjadi rongga atau lubang di

gigi. Sebelum rongga terbentuk, proses yang terjadi reversible, namun sekali

saja rongga terbentuk, maka kerusakan yang terjadi pada gigi ialah bersifat

permanen. Seiring berjalannya proses pembusukan gigi, akan muncul pula

rasa sakit dan kematian jaringan gigi. Rasa sakit dapat semakin parah bila

gigi terpapar makanan atau minuman panas, dingin, manis atau asam (Kidd

dan Bechal, 1992).


25

Gambar II.3. Proses Karies Gigi (Kidd dan Bechal, 1992).

II.7 Bakteri Streptococcus mutans

II.7.1 Klasifikasi Streptococcus mutans

Gambar II.4. Streptococcus mutans (Nugraha, 2008).

Menurut Nugraha, 2008 taksonomi dari Streptococcus mutans

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Monera

Divisi : Firmicutes

Class : Bacili

Order : Lactobacilalles

Family : Streptococcaceae

Genus : Streptococcus

Species : Streptococcus mutans


26

II.7.2 Streptococcus mutans

Streptococcus mutans merupakan bakteri anaerob fakultatif

gram positif dikenal dapat menghasilkan asam laktat sebagai bagian

dari hasil metabolisme yang berguna untuk hidup bakteri tersebut.

Streptococcus mutans memiliki kemampuan untuk mengikat sukrosa

pada permukaan gigi dengan pembentukan glukan tidak larut air dan

polisakarida yang membantu dalam mengikat bakteri pada gigi.

Streptococcus mutans dapat menurunkan atau mempertahankan pH

mulut pada nilai wajar asam, yang menyebabkan kondisi yang

menguntungkan untuk metabolismenya sendiri dan tidak

menguntungkan bagi spesies lain yang hidup berdampingan.

Penurunan pH yang disebabkan oleh Streptoccocus mutans dapat

memfermentasi gula menjadi asam. Asam ini menempel pada email

gigi yang menyebabkan terjadinya demineralisasi jaringan pada gigi

dan kavitas pada gigi (Simon dan Lisa, 2007).

Bakteri Streptococcus mutans ini mampu meletakan diri

dipermukaan gigi dengan sangat kuat karena Streptococcus mutans

dapat menghasilkan dextran polisakarida yang bersifat adhesive

(daya perekat kuat). Streptococcus mutans menghasilkan dextran

hanya ketika ada sukrosa dengan bantuan enzim dextranssucrase

(Madigan dkk, 2000).

Jika tidak di tangani, infeksi dari bakteri Streptococcus mutans

akan meluas hingga mencapai bagian pulpa yang banyak terdapat

pembuluh darah dan saraf sehingga bakteri Streptococcus mutans


27

pathogen dapat masuk kedalam pembuluh darah dan menginfeksi

jantung serta menyebabkan infeksi endocarditis (Ricahard and

Hueme, 2008).

II.8 Antibakteri

Antibakteri adalah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang

merugikan manusia. Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri

penyebab infeksi pada manusia, harus bersifat toksisitas selektif, artinya

suatu obat berbahaya bagi parasit tapi tidak membahayakan inang

(Ganiswarna, 1995).

Antibakteri yang ideal sebagai pasta gigi harus memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang luas.

b. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme patogen.

c. Tidak menimbulkan pengaruh samping yang buruk pada host, seperti

reaksi alergi, kerusakan saraf, iritasi lambung dan sebagainya.

d. Tidak mengganggu keseimbangan flora yang normal dari host, seperti

flora usus atau flora mulut.

Mekanisme kerja antibakteri yaitu menghambat sintesis dinding sel,

merusak membran plasma, menghambat sintesis protein, menghambat

sintesa nukleat (DNA/RNA), menghambat sintesa metabolit esensial

(Pratiwi, 2008).
28

II.9 Uji Aktivitas Antibakteri

Menurut (Pratiwi, 2008) metode yang umum digunakan untuk

menguji daya antimikroba diantaranya adalah :

II.9.1 Metode Difusi

a. Cara Sumuran

Bakteri uji yang umurnya 18-24 jam disuspensikan ke dalam

media agar pada suhu sekitar 45oC. Suspensi bakteri dituangkan

ke dalam cawan petri steril. Setelah agar memadat, dibuat lubang-

lubang dengan diameter 6-8 mm. Kedalam lubang tersebut

dimasukkan larutan zat yang akan diuji aktivitasnya sebanyak

20μL, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24

jam. Aktivitas antimikroba dapat dilihat dari daerah bening yang

mengelilingi lubang perforasi (Pratiwi, 2008).

1. Keuntungan cara sumuran

a. Mudah dilakukan

b. Biaya relative murah

c. Peralatan yang digunakan lebih mudah

2. Kerugian cara sumuran

a. Volume antara ekstrak atau larutan uji dan media

pertumbuhan cair atau aquadest steril serta suspensi bakteri

harus tepat.

b. Lubang atau sumur pada media lurus diperhatikan ukuran

kedalamanya.

c. Volume mikropipet yang digunakan harus dipastikan sesuai.


29

b. Metode Cakram Kertas

Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam cakram kertas

dengan cara meneteskan pada cakram kertas kosong larutan

antimikroba sejumlah tertentu dengan kadar tertentu pula. Cakram

kertas diletakkan diatas permukaan agar padat yang telah diolesi

bakteri, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Aktivitas

antimikroba dapat dilihat dari daerah hambat di sekeliling cakram

kertas (Pratiwi, 2008).

II.9.2 Metode Dilusi

a. Metode Pengenceran Tabung

Antibakteri disuspensikan dalam agar Triptic Soy Broth

(TSB) dengan pH 7,2-7,4 kemudian dilakukan pengenceran

dengan menggunakan beberapa tabung reaksi. Selanjutnya

dilakukan inokulasi bakteri uji yang telah disuspensikan dengan

NaCl fisiologis steril ataudengan TSB, yang tiap mililiternya

mengandung kurang lebih 105-106 bakteri. Setelah diinkubasikan

pada suhu 37oC selama 18-24 jam, tabung yang keruh

menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri, sedangkan tabung

yang bening menunjukkan zat antibakteri yang bekerja (Pratiwi,

2008).

b. Metode Pengenceran Agar

Zat antimikroba dicampur sampai homogen pada agar steril

yang masih cair dengan suhu terendah mungkin (±45oC) dengan

menggunakan berbagai konsentrasi aktif, larutan tersebut


30

dituangkan ke dalam cawan petri steril kemudian setelah

memadat dioleskan bakteri uji pada permukaannya (Pratiwi,

2008).

II.10 Kosmetik

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang di maksudkan untuk

digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir

dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk

membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan atau memlihara tubuh

pada kondisi baik, komposisi utama dari kosmetik adalah bahan dasar

berkhasiat, bahan aktif dan tambahan lain seperti : bahan pewarna, bahan

pewangi, pada campuran bahan bahan tersebut harus memenuhi kaidah

pembuatan kosmetik di tinjau dari berbagai segi teknologi pembuatan

kosmetik termasuk farmakologi, farmasi, kimia, dan lainnya (Syarif, 1997).

II.11 Sediaan Pasta gigi

II.11.1 Sejarah

Dalam catatan sejarah, pertama kali pasta gigi pada peradaban

manusia ditemukan pada 1550 SM di Mesir kuno, dimana bahan-

bahan pembuatanya terdiri dari campuran sebuk batu apung, tanah

liat, kemenyan dan madu. Sedangkan pada masa Romawi dan

Yunani kuno, pasta gigi terbuat dari serbuk tanduk rusa, serbuk

tulang hewan, serbuk batu apung dan marmer madu dan berbagai

macam tumbuhan obat yang digunakan hingga zaman pertengahan.


31

Sedangkan produk pasta gigi komersial yang sudah diproduksi

dipasaran dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1850 dengan nama

Sheffield Toothpaste (Mitsui, 1997)

II.11.2 Definisi pasta gigi

Menurut FI edisi IV (1995), pasta adalah sediaan semi padat yang

mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk

pemakaian topikal. Pasta gigi merupakan produk yang terdiri dari

campuran bahan penggosok, bahan pembersih dan bahan tambahan

yang digunakan untuk membersihkan gigi tanpa merusak gigi

maupun membran mukosa (Mitsui, 1997).

II.11.3 Fungsi Pasta Gigi

Fungsi utama dari pasta gigi adalah membersihkan gigi dari sisa

kotoran yang dibantu dengan menggunakan sikat gigi, untuk

mencegah karies gigi dan mencegah penyakit periodontal gigi

(Mitsui, 1997).

II.11.4 Mekanisme kerja pasta gigi

Mekanisme kerja dari pasta gigi yaitu dengan cara sisa makanan

dicapai oleh deterjen (busa) dan bahan-bahan yang kasar dalam pasta

gigi (Kalsium karbonat). Dimana deterjen bersifat menetralkan sisa-

sisa makanan dan abrasive untuk menghilangkan plak yang

menempel pada permukaan gigi. Karakteristik pasta gigi yang baik

meliputi (Butler, 2000);

a. Konsistensi

b. Kemampuan menggosok
32

c. Penampilan

d. Pembentukan busa

e. Rasa

II.12 Deskripsi Bahan

II.12.1 Gliserin (Rowe et al., 2009)

Gliserin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih

dari 101,0% C3H8O3.

Nama resmi : Gliserin

Nama lain : Glycerin

Rumus molekul : C3H8O3

Berat molekul : Cairan, jernih seperti sirup, tidak

berwarna, rasa manis, hanya boleh

berbau khas lemah (tajam atau tidak

enak), higroskopik, netral terhadap

lakmus

Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan

dengan etanol, tidak larut dalam

kloroform, dalam minyak menguap

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan : Sebagai bahan humektan

Konsentrasi : 10-30%
33

II.12.2 Na-CMC (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Karbosi metil selulosa natrium

Nama lain : carboxy methyl cellulose sodium

Pemberian : Serbuk atau granul, putih sampai krem,

higroskopik

Kelarutan : Antara 6,5 dan 8,5 lakukan

Penetapan menggunakan larutan zat

(1 dalam 100)

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan : sebagai bahan pengikat

Konsentrasi : 0,5%-1,5%

II.12.3 Kalsium karbonat (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Kalsium Karbonat

Nama lain : Calcium Carbonate

Rumus molekul : CaCO3

Pemerian : serbuk halus mikro, hablur, putih tidak

berbau, tidak berasa, stabil di udara

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air kelarutan

dalam air meningkat adanya sedikit

garam ammonium atau karbon dioksida

adanya alkali hidroksida menurunkan

kelarutan tidak larut dalam etanol, larut

dalam asam asetat 1N, asam klorida 3N


34

asam nitrat 2N dengan membentuk

gelembung gas.

Wadah dan penyimpanan : dalam wadah yang tertutup baik

Kegunaan : sebagai bahan abrasif

Konsentrasi : 10-50%

II.12.4 Natrium benzoat (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Natrium Benzoat

Rumus molekul : C7H5NaO2

Pemerian : butiran atau serbuk hablur, putih tidak

berbau

Kelarutan : larut dalam 2 bagian air dan bahan 90

bagian etanol (95%)

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : sebagai bahan pengawet

Konsentrasi : 0,02%-0,5%

II.12.5 Natrium sakarin (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Sakarin natrium

Nama lain : Saccaharin sodium

Rumus molekul : C7H4NaO3S

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih tidak

berbau atau agak aromatik, rasa hangat

manis walau dalam larutan encer,

larutan encernya lebih kurang 300 kali

semanis sukrosa, bentuk serbuk


35

biasanya mengandung sepertiga

jumlah teoritis air hidrat akibat

perekahan.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut

dalam etanol, larut dalam 1,5 bagian air

dan dalam 50 bagian etanol 95%

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : sebagai bahan pemanis

Kadar : 0,05-0,5%

II.12.6 Natrium lauril Sulfat (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Natrium lauril sulfat

Nama lain : Sodium lauryl sulfate

Rumus molekul : CH3(CH2)10CH2O4SONa

Pemerian : Hablur, kecil, berwarna putih atau

kuning muda, agak berbau khas

Kelarutan : Mudah larut dalam air, membentuk

larutan opalesan

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : sebagai bahan surfaktan

Konsentrasi : 0,5-2%

II.12.7 Menthol (Rowe et al., 2009)

Nama resmi : Menthol

Nama lain : Mentol

Rumus molekul : C10H20O


36

Pemerian : Serbuk hablur, tidak berwarna,

biasanya berbentuk seperti jarum atau

massa yang melebur, bau enak seperti

minyak permen

Kelarutan : sukar larut dalam air, sangat mudah

larut dalam etanol, dalam kloroform

dalam eter dan dalam heksan, mudah

larut dalam asam asetat glasial, dalam

minyak mineral, dalam minyak atsiri

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : sebagai bahan pengaroma

Konsentrasi :0,1-0,4%

II.12.8 Purified Water (FI V, 2014 Hal 63)

Air murni adalah air yang memenuhi persyaratan air minum

yang dimurnikan dengan cara destilasi, penukar ion, osmosis balik

atau proses lain yang sesuai. Tidak mengandung zat tambahan lain.

Air murni merupakan cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau

dengan pH 5,0-7,0.

II.13 Penelitian relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh priskila widhi martani,

2015 dengan judul “Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc. var

rubrum) Terhadap Daya Hambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus

mutans dan Staphylococcus aureus“ menyatakan hasil pengujian antibakteri


37

bahwa pada konsentrasi ekstrak 10%, 20%, 40%, 60% dan 80%, bahwa

pada ekstrak jahe merah terhadap bakteri Streptococcus mutans padaa

konsentrasi terendah yaitu 10% memiliki rata rata total daya hambat sebesar

4,8 mm,sedangkan pada konsentrasi tertinggi 80% memiliki rata-rata total

daya hambat sebesar 5,47 mm.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Afni dkk., 2015 dengan

judul “Uji Aktivitas Antibakteri Pasta Gigi Ekstrak Biji Pinang (Areca

catechu L) Terhadap Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus”

bahwa formula pasta gigi dapat digunakan sebagai antibakteri terhadap

bakteri streptococcus mutans.

II.14 Kerangka Konsep

Variabel independent Variabel dependen

Formulasi Sediaan Pasta Gigi Ekstrak Etanol 70% rimpang Jahefisik


Evaluasi Merah (Zingiber
yaitu : officinale Roscoe) Terhadap Bakteri
K (-) : 0% F1 : 15% Organoleptik
F2 : 20% Homogenitas
F3 : 25% Viskositas
Uji pH
Uji tinggi busa
Evaluasi mikrobiologi yaitu :
Uji antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans

Gambar II.1. kerangka konsep


38

II.15 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah :

1. Ekstrak etanol 70% rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe)

dapat di formulasikan menjadi sediaan pasta gigi

2. Sediaan pasta gigi ekstrak etanol 70% rimpang jahe merah (Zingiber

officinale Roscoe) memiliki hasil evaluasi fisik yang baik.

3. Pada konsentrasi 15%, 20%, 25% memiliki daya hambat terhadap

pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans

Anda mungkin juga menyukai