Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang
sekarang ini sedang giat-giatnya menggalang pembangunan disegala
bidang, salah satunya yaitu pembangunan dibidang kesehatan. Hal ini
sesuai upaya nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025 yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dapat terwujud dengan baik. Hal ini salah satunya ditandai oleh
penduduknya yang memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata (Depkes RI, 2009).
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara, meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok,
dan ataupun masyarakat (Lovely, dalam Prana 2013). Selain itu dapat juga
diartikan sebagai pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat yang berupa tindakan pencegahan, pengobatan, penyembuhan
dan pemulihan fungsi organ tubuh seperti semula.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari
kesehatan manusia seutuhnya, dengan demikian upaya-upaya dalam
bidang kesehatan pada akhirnya akan turut berperan dalam peningkatan
kualitas dan produktivitas sumber daya manusia (Sowelo dalam Nurhaeni
dan Abdullah, 2018). Meningkatnya pengetahuan masyarakat menuntut
kualitas pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan konsumen. Kualitas
dalam layanan kesehatan merupakan sebuah konsep manajemen yang
berfokus konsumen yang inovatif dan partisipatif yang mempengaruhi
setiap individu dalam organisasi dan kualitas dapat bertahan melalui
transformasi budaya. Kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat
tergantung pada individual dan sistem yang di pakai. Tenaga kesehatan

1
2

dan tenaga penunjang medis serta non medis yang bertugas harus
memahami cara melayani pasiennya dengan baik agar dapat memberikan
kepuasan yang optimal (Assaf dalam Nurhaeni dan Abdullah, 2018).
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai bagian dari
sektor pelayanan publik ialah suatu unit pelaksana fungsional yang
berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran
serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan
tingkat pertama (Depkes RI, 2004). Sebuah pelayanan yang mampu
membuat pasien untuk berkunjung kembali memanfaatkan jasanya, maka
dapat dikatakan pasien tersebut puas atas pelayanan yang diberikan
(Rondonuwu, dkk, 2014). Kualitas pelayanan kepada masyarakat juga
sangat tergantung pada individual dan sistem yang di pakai (Nurhaeni dan
Abdullah, 2018).
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan kesehatan juga ditentukan
oleh tingkat kepuasan pasien. Kepuasan pasien dicapai apabila penerima
pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan
diharapkan maka pasien juga mengharapkan adanya pelayanan yang
bermutu, karena dengan pelayanan yang bermutu maka pelanggan akan
merasa puas. Yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah
yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien serta di
pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai kode etik dan standar
pelayanan professional yang telah ditetapkan. Pengukuran tingkat
kepuasan pasien berkaitan erat dengan penjaminan mutu dalam pelayanan
kesehatan. Penurunan pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan gigi dan
mulut juga dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pasien terhadap mutu
pelayanan kesehatan gigi dan mulut (Sembel, dkk, 2014).
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah pelayanan kesehatan
professional yang ditunjukkan kepada masyarakat, keluarga, maupun
perorangan baik yang sakit maupun yang sehat. Pelayanan kesehatan gigi
dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan
3

penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi dan pemulihan kesehatan gigi oleh
pemerintah yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan (Muninjaya, 2011). Pelayanan kesehatan salah satunya
bisa kita dapatkan di Puskesmas.
Puskesmas Candi Lama yang terletak di Jalan Dokter Wahidin No.
22, Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, Jawa
Tengah 50257, Indonesia merupakan salah satu unit pelaksana fungsional
yang berfungsi sebagai institusi penyelenggara pelayanan kesehatan
ditingkat pertama yang tentu harus dan dapat memberikan mutu pelayanan
berkualitas untuk masyarakat.
Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Candi Lama kota Semarang
didapatkan data jumlah pasien yang berkunjung di Poliklinik Gigi dan
Mulut selama tahun 2016-2019. Pada tahun 2016 jumlah pasien yang
berkunjung di Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota
Semarang sebanyak 1890 orang, tahun 2017 sebanyak 1596 orang, tahun
2018 sebanyak 2237 orang, dan tahun 2019 sebanyak 2664 orang. Dari
data tersebut, antara tahun 2016-2017 terjadi penurunan sebanyak 0,16%,
tahun 2017-2018 terjadi peningkatan sebanyak 0,41%, kemudian tahun
2018-2019 terjadi peningkatan sebanyak 0,19%.
Berdasarkan dari masalah tersebut, maka peneliti bermaksud untuk
mensurvei seberapa baik pelayanan di Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang sehingga menyebabkan kenaikan
dan penurunan jumlah pasien setiap tahunnya dengan tujuan untuk melihat
gambaran kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan, sehingga dapat
diketahui unsur yang dipertahankan dan diperbaiki oleh puskesmas dan
dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya. Survei diukur melalui
kepuasan pasien apakah pasien merasa puas atau tidak dengan pelayanan
di Poliklinik Gigi dan Mulutnya. Dengan demikian, berdasarkan latar
belakang diatas peneliti tertarik mengajukan judul “Tingkat Kepuasan
Pasien Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi di Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang”.
4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut : “Bagaimana kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan gigi di Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi
Lama Kota Semarang ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk meringkas, membandingkan,
mencari persamaan, mencari perbedaan tentang tingkat kepuasan
pasien terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Poliklinik Gigi
dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk merivew literatur tingkat kepuasan pasien ditinjau dari
aspek bukti fisik yang menyangkut penampilan fisik fasilitas
layanan, peralatan, penampilan dan kinerja tenaga kesehatan dalam
memberikan layanan di Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas
Candi Lama Kota Semarang.
b. Untuk merivew literatur tingkat kepuasan pasien ditinjau dari
aspek kehandalan yang menyangkut kemampuan tenaga kesehatan
dalam memberikan layanan di Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang.
c. Untuk merivew tingkat kepuasan pasien ditinjau dari aspek
ketanggapan yang menyangkut kemampuan atau kecekatan tenaga
kesehatan dalam memberikan layanan di Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang.
d. Untuk merivew tingkat kepuasan pasien ditinjau dari aspek
jaminan yang menyangkut kepastian rasa aman dan nyaman tenaga
kesehatan dalam memberikan layanan di Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang.
e. Untuk merivew tingkat kepuasan pasien ditinjau dari aspek
kepedulian yang menyangkut rasa peduli tenaga kesehatan dalam
5

memberikan layanan di Poliklinik gigi dan Mulut Puskesmas Candi


Lama Kota Semarang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Puskesmas Candi Lama Kota Semarang dapat digunakan
sebagai informasi dan bahan acuan untuk mengkaji bagaimana
meningkatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di wilayah kerja
Puskesmas dan yang berkaitan dengan fungsi puskesmas sebagai
sarana pelayanan kesehatan dasar yang merata dan terjangkau.
b. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman serta
penerapan ilmu yang di dapat selama perkuliahan.
2. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data sekunder untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan masyarakat
dalam mengetahui kualitas pelayanan kesehatan
6

E. Penjelasan Keaslian Penelitian


Penelitian yang berjudul “Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Gigi di Poliklinik Gigi
dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang” merupakan penelitian awal, sepengetahuan peneliti ada
beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

N Subyek Metode
Judul Variabel Peneliti Hasil
O Penelitian Penelitian
1. Survey tingkat kepuasan Bebas : Hajar Pasien yang Deskriptif Tingkat
pasien yang berkunjung Pelayanan Cahyono datang dengan kepuasan
di Poli Gigi RSUD Poli Gigi berkunjung di menggunakan pasien di poli
Kota Salatiga Terikat : poli gigi metode survey gigi di RSUD
Kepuasan RSUD Kota Salatiga
pasien Salatiga berada dalam
kurang lebih ± kriteria puas
500 pasien yaitu 95,2 %
dan diambil
sebagian dari
keseluruhan
objek yang
akan diteliti
dan dianggap
7

mewakili
seluruh
populasi
selama 7 hari
2. Gambaran tingkat Bebas : I Gede Yogi Pasien yang Deskriptif Tingkat
kepuasan pasien Pelayanan Darma datang observasional kepuasan
terhadap kualitas Poli Gigi Raharja berkunjung di pasien di
pelayanan kesehatan di Terikat : Poliklinik Poliklinik
Poliklinik Gigi dan Kepuasan Gigi dan Gigi dan
Mulut Rumah Sakit Pasien Mulut Rumah Mulut Rumah
Umum Puri Raharja Sakit Umum Sakit Umum
Puri Raharja Puri Raharja
diambil berada
sebagian kriteria puas
untuk yaitu sebesar
dijadikan 86,4 %
responden
sebanyak 66
orang
8

Perbedaan penelitian Hajar Cahyono (2018) dengan penelitian yang akan


dilakukan peneliti adalah terletak pada subyek penelitiannya, penlitian Hajar
Cahyono (2018) dilakukan terhadap pasien Poli Gigi RSUD Salatiga sedangkan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dilakukan terhadap pasien yang
menerima layanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Candi Lama Kota
Semarang.

Perbedaan penelitian I Gede Yogi Darma (2018) dengan penelitian yang


akan dilakukan peneliti adalah terletak pada metode penelitiannya, penelitian I
Gede Yogi Darma (2018) menggunakan metode deskriptif observasional
sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti menggunakan metode
deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang digunakan untuk menggambarkan atau
menganalisa suatu data hasil penelitian. Rancangan penelitian dengan
menggunakan metode survei yaitu penelitian yang diadakan untuk memperoleh
fakta dari gejala-gejala yang ada secara actual dengan menggunakan kuesioner
dengan metode penelitian cross sectional yaitu penelitian dimana pengambilan
data dilakukan langsung kepada sasaran tertentu.
9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Tingkat Kepuasan Pasien
Kepuasan adalah suatu tingkatan perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja (hasil) yang didapatkan dengan harapannya.
Kepuasan dapat diartikan sebagai perbedaan antara harapan dan
kinerja yang dirasakan atau intervensi yang dirasakan pasien selama
kunjungan pengobatan dan atau hubungan antara intervensi yang
mereka inginkan / terima pasien (Suprapto dalam Anas dan Abdullah,
2008). Pasien melihat layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu
layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhannya dan dilakukan
dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu
menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembang atau
meluasnya penyakit. Penilaian pasien ini sangat penting karena pasien
yang merasa puas akan mematuhi pengobatan dan akan kembali jika
penyakitnya kambuh lagi (Akuba dalam Sakey, dkk, 2013).
Kepuasan pasien adalah tanggapan atau pendapat pasien
terhadap kesesuaian tingkat kepentingan atau harapan (ekspetasi)
pasien sebelum mereka menerima jasa pelayanan kesehatan gigi dan
mulut dengan sesudah pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang
mereka terima. Kepuasan pasien terhadap pengguna jasa pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dapat disimpulkan sebagai perbandingan
selisih kinerja institusi pelayanan kesehatan gigi dan mulut dengan
harapan pelanggan (pasien atau kelompok masyarakat). Kepuasan
pasien juga didefinisikan sebagai tanggapan penerima jasa terhadap
ketidaksesuaian tingkat kepentingan pelanggan dengan kinerja yang
nyata-nyata dapat dirasakan setelah pengguna jasa menerima
pelayanan (Muninjaya, 2011).
Kepuasan pasien merupakan cerminan kualitas pelayanan
kesehatan yang mereka terima (Azwar dalam Supartiningsih, 2017).
Pengertian lain tentang kepuasan pasien (pelanggan) merupakan suatu
10

tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan
kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya
dengan apa yang diharapkannya (Pohan dalam Ummah dan
Supriyanto, 2014). Pasien baru akan merasa puas apabila kinerja
layanan kesehatan yang diperolehnya sama atau melebihi harapannya
dan sebaliknya, ketidakpuasan atau perasaan kecewa pasien akan
muncul. Jika suatu produk (pelayanan) memenuhi harapan, konsumen
(pasien) akan merasa puas; jika pelayanan melampaui harapan, makan
pasien akan merasa sangat puas. Jika pelayanan tidak sesuai dengan
harapan pasien, maka pasien akan merasa tidak puas dengan pelayanan
tersebut.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut
adalah perbandingan antara persepsi terhadap pelayanan yang diterima
dengan harapannya sebelum mendapatkan pelayanan. Apabila
harapan-nya terpenuhi, berarti pelayanan tersebut telah memberikan
suatu kualitas yang luar biasa dan juga akan menimbulkan kepuasan
yang tinggi (Sembel, dkk, 2014).
Selain itu, untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan dapat
diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan, yaitu :
a. Puas
Puas merupakan ukuran subjektif hasil penilaian perasaan
pasien yang menggambarkan pelayanan kesehatan yang sudah
sesuai kebetuhan atau keinginan seperti bersih (sarana), cepat
(proses administrasi), ramah (hubungan dokter atau perawat), dan
lainnya, yang seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas yang
kategori tinggi.
b. Cukup Puas
Cukup puas merupakan ukuran subjektif hasil penilaian
perasaan pasien yang menggambarkan pelayanan kesehatan yang
tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan
seperti tidak terlalu bersih (sarana), agak kurang cepat (proses
administrasi), agak kurang ramah (hubungan dengan dokter atau
11

perawat), dan lainnya, yang seluruhnya menggambarkan tingkat


kualitas yang kategori sedang.
c. Tidak Puas
Tidak puas merupakan ukuran subjektif hasil penilaian
pasien yang rendah, yang menggambarkan pelayanan kesehatan
tidak sesuai kebutuhan atau keinginan, seperti tidak bersih (sarana),
lambat (proses administrasi), tidak ramah (hubungan dengan dokter
atau perawat), dan lainnya, yang secara keseluruhan
menggambarkan tingkat kualitas yang kategori rendah.
Lebih lanjut menurut (Kotler dalam Nursalam, 2011) ada
beberapa cara mengukur tingkat kepuasan pelanggan atau pasien,
antara lain :
1. Sistem keluhan dan saran
Seperti kotak saran di lokasi-lokasi strategis, kartu pos
berperangko, saluran telepon bebas pulsa, website, email, dan lain-
lain.
2. Survei kepuasan pelanggan
Baik via pos, telepon, email, maupun tatap muka secara
langsung.
3. Ghost shopping
Salah satu bentuk observasi yang memakai jasa orang yang
menyamar sebagai pelanggan atau pesaing untuk mengamati
aspek-aspek pelayanan dan kualitas produk.
4. Lost costumer analysis
Yaitu menghubungi atau mewawancarai pelanggan yang
telah beralih dalam rangka memahami penyebab dengan
melakukan perbaikan pelayanan.
Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien secara
menyeluruh dapat diukur dengan menggunakan metode Analisis
Customer Satisfaction Index (CSI) (Novel dan DEA, 2013).
Langkah-langkah perhitungan Customer Sactisfaction Index (CSI)
adalah sebagai berikut :
12

1. Menentukan Mean Importance Score (MIS), nilai ini berasal


dari rata-rata kepentingan tiap konsumen

(∑ )
n
Yi
i=1
MIS=
n
Dimana :
n = jumlah pengunjung
Y i= nilai kepentingan atribut Y ke-i
2. Membuat Weight Factors (WF), bobot ini merupakan
persentase nilai MIS per atribut terhadap total MIS seluruh
atribut
MIS i
WF= P
× 100 %
∑ MISi
i=1

Dimana :
p = atribut kepentingan ke-p
3. Membuat Weight Score (WS), bobot ini merupakan perkalian
antara WF dengan rata-rata tingkat kepuasan (X)
WS i=¿WF ¿ × MSS
i

4. Menentukan Customer Satisfaction Index (CSI)

(∑ )
P
WS i
i=1
CSI = ×100 %
S
Dimana :
CSI = Customer Satisfaction Index (%)
p = Atribut kepentingan ke-p
HS = Skala maksimum yang digunakan
Tabel 2.1. Kriteria Nilai Customer Satisfaction Index
Nilai CSI Kriteria CSI
X ≤ 64% Sangat Tidak Puas
64% < X ≤ 71% Tidak Puas
71% < X ≤ 77% Cukup
77% < X ≤ 80% Cukup Puas
13

80% < X ≤ 84% Puas


84% < X ≤ 87 % Sangat Puas
87% < X Sangat Amat Puas

2. Mutu Pelayanan Kesehatan


Mutu merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam
memuaskan kebutuhan pelanggan baik berupa kebutuhan yang
dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat ( Supriyanto dan
Wulandari, dalam Ummah dan Supriyanto 2014). Pengertian mutu
pelayanan kesehatan adalah derajat atau tingkat kesempurnaan
penampilan pelayanan kesehatan yang berguna dalam pengukuran
peningkatan mutu untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
Tujuan memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan adalah untuk
mencapai mutu pelayanan yang optimum (Supriyanto dan Wulandari,
dalam Ummah dan Supriyanto, 2014).
Pengertian lain menurut (Bustami, 2011), mutu pelayanan
kesehatan adalah derajat dipenuhinya masyarakat atau perorangan
terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang
baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif
dalam keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat, serta
diselenggarakan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan
norma dan etika yang baik.
Lebih lanjut, Donobedia mendefinisikasi mutu pelayanan
kesehatan sebagai sesuatu yang memiliki sedikitnya empat komponen
yaitu :
1. Manajemen teknis kesehatan dan penyakit.
2. Manajemen hubungan antar-personal antara penyedia layanan dan
klien mereka.
3. Fasilitas layanan.
14

4. Prinsip etis yang mengatur menajemen masalah secara umum dan


industri layanan kesehatan secara khusus.
Ke empat komponen dari definisi tersebut menekankan
perlunya memadukan berbagai pandangan dari pihak yang
berkepentingan untuk memahami mutu layanan kesehatan. Di satu sisi,
manajemen teknik kesehatan berfokus pada kinerja klinis penyedia
layanan kesehatan; di sisi lain, manajemen hubungan antar-personail
menekankan pelaksanaan perawatan secara bersama-sama oleh
penyedia layanan maupun pasien. Kesehatan dikendalikan oleh proses
klinis dan non-klinis. “fasilitas layanan” berkaitan dengan keinginan
pasien dalam mencapai kesejahteraan (atau kinginannya dengan kata
lain, pada tingkat pertemuan antara penyedia layanan dan pasien, mutu
layanan kesehatan) individu; “prinsip etis“ berkaitan dengan keinginan
penyedia layanan dalam meningkatkan kesejahteraan (atau
keefektifan ) masyarakat dan organisasi.
Pandangan lain yang terkait dan lebih terfokus pada mutu
digambarkan oleh dua pertanyaan mendasar tentang layanan, prosedur,
atau aktivitas klinis apa pun berlangsung dalam lingkungan layanan
kesehatan : 1) “Apakah tindakan yang benar telah dilakukan?” dan 2)
“Apakah tindakan dilakukan dengan benar?” Pertanyaan pertama
tentang keefektifan layanan klinis; pertanyaan kedua berkaitan dengan
efesiensi layanan rawatan, yang terpenting, kinerja organisasi layanan
kesehatan bergantung pada keefektifan dan efesiensi mereka. Lebih
lanjut, baik keefektifan maupun efisien dibahas dalam crossing the
Qualty IOM sebagai dua dari enam tujuan khusus peningkatan mutu.
Keefektifan didefisinikan sebagai “pemberian layanan berdasarkan
pengetahuan ilmiah bagi siapa pun yang dapat memperoleh manfaat
darinya dan penghentian pemberian layanan tersebut bagi siapa pun
yang kemungkinan tidak mendapatkan manfaat dari layanan tersebut
(menghindari penggunaan tidak optimal maupun penggunaan
perlebihan)”; efisiensi didefinisikan sebagai “menghindari kesia–siaan
peralatan, pasokan, gagasan, dan tenaga”.
15

Mutu dapat berarti perpaduan sifat-sifat dan karakteristik


produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan pemakai atau
pelanggan. (Deming dalam Bustami, 2011) mengemukakan bahwa
mutu dapat dilihat dari aspek konteks, persepsi pelanggan, serta
kebutuhan dan keinginan pasien. Dari aspek konteks, mutu adalah
suatu karakteristik atau atribut dari suatu produk atau jasa. Dari aspek
persepsi pelanggan, mutu adalah penilaian subjektif pelanggan.
Persepsi pelanggan dapat berubah karena pengaruh berbagai hal seperti
iklan, reputasi produk atau jasa yang dihasilkan, pengalaman, dan
sebagainya. Dari aspek kebutuhan dan keinginan pelanggan, mutu
adalah apa yang dikehendaki dan dibutuhkan oleh pelanggan (Bustami,
2011).
Oleh karena itu, mutu layanan yang ditawarkan merupakan hal
penting dalam layanan kesehatan. Namun, mutu harus berasal dari
perspektif konsumen karena mutu layanan merupakan jasa yang
diterima oleh konsumen layanan tersebut. Perawatan gigi dan mulut
bukan hanya untuk mengobati gigi sakit dan bermasalah, tapi juga
untuk memperbaiki penampilan gigi yang pada akhirnya akan
menciptakan rasa percaya diri yang tinggi. Seiring berjalannya waktu
meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut
akan menimbulkan kepuasan pada diri setiap pasien.
Faktor-faktor yang menentukan kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan gigi dan mulut dapat dinilai berdasarkan
terpenuhinya beberapa dimensi mutu pelayanan kesehatan gigi dan
mulut, yaitu :
a. Dimensi Tangibles (Bukti Fisik)
Dimensi Tangibles didefinisikan dengan ruangan bersih, rapi,
dan nyaman, eksterior dan interior ruangan tertata dengan baik,
alat-alat yang dipakai bersih dan siap pakai, dan penampilan
petugas rapi dan bersih (Putra, dkk, 2016).
Dimensi Tangibles (Bukti Fisik) meliputi :
1) Bangunan puskesmas yang terlihat indah dan bersih
16

2) Puskesmas mempunyai ruang tunggu yang nyaman, toilet


yang bersih, dan air lancer
3) Puskesmas memiliki peralatan yang lengkap
4) Penampilan tenaga kesehatan yang rapi dan bersih
b. Dimensi Reliability (Kehandalan)
Dimensi reliability berupa prosedur penerimaan pasien cepat
dan tepat, pelayanan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan
yang cepat dan tepat, jadwal pelayanan dijalankan dengan tepat,
prosedur pelayanan tidak berbelit-belit (Putra, dkk, 2016).
Dimensi Reliability (Kehandalan) meliputi :
1) Petugas memberikan pelayanan secara kompeten dan
professional
2) Tenaga medis dan petugas lainnya membantu jika ada
permasalahan pasien
3) Perawat memberitahu jenis penyakit, cara perawatan, dan
penggunaan obat secara lengkap
4) Petugas memberikan informasi kepada pasien sebelum
dilakukannya pelayanan
c. Dimensi Responsiveness (Ketanggapan)
Dimensi responsiveness berupa kemampuan dokter dan
perawat gigi cepat tanggap dalam menyelesaikan keluhan pasien,
petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti,
dan tindakan cepat pada pasien yang membutuhkan (Putra, dkk,
2016).
Dimensi Responsiveness meliputi :
1) Petugas melayani dan segera memberikan penjelasan yang
berhubungan dengan perawatan yang akan diberikan
kepada pasien
2) Petugas mau mendengarkan dengan baik keluhan yang
disampaikan oleh pasien
3) Petugas tanggap dalam melayani pasien
17

4) Petugas tidak menunjukkan kesan sibuk dalam menyambut


pasien saat pasien datang
d. Dimensi Assurance (Jaminan)
Dimensi assurance berupa dokter memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam menetapkan penyakit, dokter, perawat, dan
petugas lainnya terampil dalam bekerja melaksanakan tugasnya,
pelayanan yang sopan dan ramah, dan adanya jaminan keamanan
pelayanan dan kepercayan terhadap pelayanan (Putra, dkk, 2016).
Dimensi assurance meliputi :
1) Petugas menjaga rahasia penyakit pasien dengan baik
2) Petugas cekatan dalam melayani dan menghargai pasien
sesuai dengan prosedur yang ada
3) Petugas melayani dengan sikap meyakinkan sehingga
pasien dapat merasa aman
4) Petugas mempunyai catatan medis (rekam medis) pasien
e. Dimensi Emphaty (Kepedulian)
Dimensi Empati dalam hal pelayanan kesehatan memberikan
perhatian khusus kepada setiap pasien, memperhatikan keluhan
pasien dan keluarganya, pelayanan kepada semua pasien tidak
memandang status sosial maupun ekonomi (Putra, dkk, 2016).
Dimensi emphaty meliputi :
1) Petugas kesehatan mengucapkan salam pada awal
pelayanan dan mengucapkan terimakasih pada akhir
pelayanan kepada pasien
2) Petugas selalu memperhatikan pasien dengan sungguh-
sungguh
3) Petugas mendengarkan dan memahami keluhan yang
dirasakan pasien serta memberikan solusi dalam konsultasi
4) Petugas memberikan pelayanan sesuai keinginan dan
kebutuhan pasien
Suatu sistem yang mempengaruhi mutu biasanya terdiri tiga
komponen yaitu :
18

a. Input
Kualitas input (struktur) dapat diukur. Input meliputi kualitas
petugas, suplai, perlengkapan, dan sumber daya fisik.
b. Proses
Prosedur diagnosis, terapeutik dan perawatan pasien, serta
protokol, semuanya dapat diukur dan dapat dikuantifikasi.
c. Outcome
Seseorang dapat menghitung tingkat kepuasan pasien terhadap
layanan kesehatan gigi dan mulut yang diberikan sebagai ukuran
tidak langsung mengenai keseluruhan mutu sistem itu dan
seterusnya. Pemenuhan kebutuhan pasien adalah hal yang harus
dilakukan, karena hal tersebut mempengaruhi tingkat kepuasan
pasien.
3. Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
Di bidang pelayanan kesehatan, jasa adalah kegiatan yang
dilakukan oleh institusi penyedia layanan kesehatan (health care
providers). Jenis pelayanannya tidak tampak secara kasat mata.
Misalnya pelayanan untuk pengobatan rawat jalan atau rawat inap
pasien di Rumah Sakit, Puskesmas, klinik bersalin, dokter praktik
swasta. Jasa yang dihasilkan oleh institusi penyedia pelayanan
kesehatan dikonsumsi oleh pasien sebagai pengguna layanan dalam
waktu yang bersamaan pada saat produk tersebut dihasilkan. Artinya,
pada saat penyedia jasa layanan memberikan pengobatan atau
perawatan kepada pasien, pada saat itu juga pasien menerima
pelayanan kesehatan tersebut (Muninjaya, 2011).
Sedangkan pengertian pelayanan kesehatan adalah upaya yang
diselenggarakan secara sendiri atau bersama dalam suatu lingkup
badan atau organisasi yang beguna untuk pencegahan, pemeliharaan,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan seseorang, atau kelompok
(Prana, 2013). Dari definisi ini menjelaskan bahwa pelayanan
kesehatan bersifat mutlak untuk melayani masyarakat yang ingin
mendapatkan penanganan hingga sembuh dari penyakit yang diderita.
19

Jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh institusi


penyedia pelayanan harus bersifat menyeluruh (comperehensive health
services) yang meliputi pelayanan kesehatan pencegahan (preventive
health services), promosi kesehatan (promotive health services).
Institusi penyedia pelayanan kesehatan juga dibedakan berdasarkan
tingkatan pelayanan yang tersedia yaitu pelayanan strata I (primary
health care services) menyediakan pelayanan kesehatan dasar,
pelayanan kesehatan strata II (secondary health care services)
menyediakan pelayanan kesehatan spesialis terbatas, dan pelayanan
kesehatan strata III (tertiary health care services) menyediakan
pelayanan spesialis lengkap. Pelanggan pelayanan kesehatan di
institusi pelayanan kesehatan strata I (Puskesmas, dokter, atau bidan
praktek swasta, klinik bersalin, balai pengobatan swasta, dan
sebagainya) adalah individu (pasien) dan kelompok masyarakat
(Muninjaya, 2011).
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu proses
yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu, dimana titik awal
dari proses tersebut adalah pertemuan pasien dengan tenaga kesehatan
hingga titik akhir proses yaitu tindakan layanan medik sudah dianggap
selesai oleh tenaga kesehatan. Sehingga tatap muka antara tenaga
kesehatan dengan pasien berlangsung selama kurun waktu proses
perawatan medik kesehatan gigi. Secara teknis proses layanan medik
kesehatan gigi dan mulut dapat dipilah dalam beberapa episode, antara
lain : episode layanan administrasi, episode diagnosis, episode rencana
perawatan, episode pelaksanaan perawatan dan episode pasca
perawatan. (Soelarso, dkk, 2005 )
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah sebuah sub system
pelayanan kesehatan. Jenis pelayanan kesehatan gigi dan mulut terditi
dari pelayanan kesehatan promotif, pelayanan kesehatan preventif,
pelayanan kesehatan kuratif dan pelayanan kesehatan rehabilitatif.
4. Tinjauan Umum tentang Puskesmas
20

Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat Puskesmas, adalah


salah satu sarana pelayanan kesehatan yang menjadi andalan atau tolak
ukur dari pembangunan kesehatan, sarana peran serta masyarakat, dan
pusat pelayanan pertama yang menyeluruh dari suatu wilayah
(Alamsyah, 2012).
Menurut Muninjaya (2004), Puskesmas merupakan unit teknis
pelayanan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang bertanggung jawab
untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan disatu atau sebagian
wilayah kecamatan yang mempunyai fungsi sebagai pusat
pembangunan kesehatan masyarakat, dan pusat pelayanan tingkat
pertama dalam rangka pencapaian keberhasilan fungsi puskesmas
sebagai ujung tombak pembangunan bidang kesehatan.
Sebagai ujung tombak pelayanan dan pembangunan kesehatan
di Indonesia, maka Puskesmas perlu mendapatkan perhatian terutama
berkaitan dengan kualitas pelayanan kesehatan puskesmas sehingga
dalam hal ini Puskesmas dituntut untuk selalu meningkatkan
profesionalisasi dari para pegawainya serta meningkatkan fasilitas atau
sarana kesehatannya untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat
pengguna jasa layanan kesehatan (Depkes RI, 2004).
Pelayanan yang berkualitas tentu saja tidak sebatas senyum
ramah dari para pegawai Puskesmas saja, melainkan lebih dari itu.
Menurut Handayani (2016) terdapat lima dimensi utama yang relevan
untuk menjelaskan kualitas pelayanan yang dikenal dengan service
quality (servqual) yaitu, tangible (bukti fisik), reliability (kehandalan),
responsiveness (ketanggapan), assurance (kepastian), dan emphaty
(kepedulian). Kelima dimensi kualitas pelayanan tersebut merupakan
kunci utama untuk meningkatkan kepuasan pasien.
5. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Candi Lama Kota Semarang
Jenis pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas Candi Lama
Kota Semarang hanya terdiri dari rawat jalan saja. Jenis pelayanan
kesehatan di Puskesmas Candi Lama Kota Semarang yakni :
1. Pemeriksaan Umum
21

2. Pemeriksaan Gigi
3. Pemeriksaan Lansia
4. Pemeriksaan Ibu Hamil
5. Pelayanan KB
Fungsi dari setiap pelayanan yang diberikan Puskesmas Candi
Lama Kota Semarang adalah :
1) Ruang Pemeriksaan Umum
Ruang Pemeriksaan Umum memberikan pelayanan
kesehatan, seperti pemeriksaan pasien secara umum dengan
melihat indikasi atau gejala-gejala yang diderita oleh pasien
2) Ruang Pemeriksaan Gigi dan Mulut
Memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi usaha
promotif, preventif, dan kuratif yang diselenggarakan secara
berkesinambungan untuk mencapai kesehatan gigi dan mulut yang
optimal, merata, terjangkau dan bermutu.
Ruang lingkup pelayanan kesehatan gigi dan mulut di
Ruang Pemeriksaan Gigi dan Mulut dan pelayanan rujukan untuk
keperluan diagnostic, pengobatan, dan tindakan.
Adapun pelayanan di Ruang Pemeriksaan Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang adalah sebagai berikut :
a) Pelayanan kesehatan promotif adalah salah satu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan yaitu
penyuluhan kesehatan gigi dan mulut.
b) Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan. Dalam
pelayanan kesehatan gigi pencegahan penyakit gigi dan mulut
dengan membersihkan karang gigi, fissure sealant dan topical
aplikasi flour.
c) Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pengobatan yang diajukan untuk
penyembuhan penyakit, pengendalian penyakit, atau
22

pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga


seoptimal mungkin. Pelayanan kuratif pada Puskesmas Candi
Lama Kota Semarang meliputi penambalan gigi, pencabutan
gigi pada gigi susu maupun gigi permanen dan pengobatan gigi
yang sakit.
23

B. Kerangka Konsep Penelitian


Tabel 2.2. Kerangka Konsep

Variabel Pengaruh : Variabel terpengaruh :


Mutu Pelayanan Kesehatan Kepuasan Pasien :
Gigi dan Mulut :
a. Diemensi tangibles  Puas
(bukti fisik)  Cukup Puas
b. Dimensi reliability
 Tidak Puas
(kehandalan)
c. Dimensi
responsiveness
(ketanggapan)
d. Dimensi assurance Variabel Tak
(jaminan) Terkendali :
e. Dimensi emphaty
(kepedulian) Karakteristik Pasien :
a. Tingkat
Pendidikan
b. Jenis Kelamin
c. Jenis
Variabel Terkendali :
Pekerjaan
Pasien baru atau yang baru d. Hasil
berkunjung 1x yang Pendapatan
berumur 18-50 yang bisa Pekerjaan
menulis dan membaca
dianggap sudah bisa
mengisi kuesioner

Keterangan :
Yang di teliti :
C. Pertanyaan Penelitian
“Apakah pasien merasa puas terhadap pelayanan kesehatan gigi di
Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang ?”
24

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dengan tujuan penelitian yang digunakan untuk menyimpulkan
tentang tingkat kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan gigi
dan mulut pada Puskesmas berdasarkan studi literatur. Jenis pendekatan
penelitian dengan melakukan perbandingan penelitian yang sudah ada.
B. Sumber Data
Sumber data untuk penelitian studi literatur ini adalah berupa
sumber resmi akan tetapi dapat berupa laporan/kesimpulan seminar, jurnal,
catatan/rekaman diskusi ilmiah, tulisan-tulisan resmi terbitan pemerintah
dan lembaga-lembaga lain, baik dalam bentuk buku/manual maupun
digital seperti bentuk piringan optik, komputer atau data komputer.
C. Identifikasi Variabel
1. Variabel Pengaruh
Mutu pelayanan kesehatan gigi dan mulut meliputi :
a. Tangibles (bukti fisik)
b. Reliability (kehandalan)
c. Responsiveness (ketanggapan)
d. Assurance (jaminan)
e. Empathy (kepedulian)
2. Variabel Terpengaruh
Kepuasan pasien
3. Variabel Terkendali
Pasien yang berumur 18 tahun - 50 tahun
4. Variabel Tak Terkendali
a. Tingkat Pendidikan
b. Jenis Kelamin
c. Jenis Pekerjaan
d. Hasil Pendapatan Pekerjaan
25

D. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel Pengaruh
Variabel pengaruh adalah variabel yang memberikan pengaruh
pada variabel lain. Dalam penelitian ini variabel pengaruhnya adalah
mutu pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang dikategorikan dalam
kategori baik dan buruk dengan menggunakan skala likert. Menurut
Sugiyono (2016) “skala likert yaitu skala yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang fenomena sosial”. Untuk mengukur mutu pelayanan,
penelitian ini menggunakan lembar kuesioner yang terdiri dari 20
pernyataan untuk lima dimensi , yaitu dimensi tangibles (bukti fisik),
dimensi reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap),
assurance (jaminan), emphaty (kepedulian). Pernyataan tersebut
meliputi tentang pelayanan di Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas
Candi Lama Kota Semarang.
Tabel 3.1. Skor Berdasarkan skala likert
Pertanyaan / pernyataan Skor
Tidak puas 0
Kurang puas 1
Puas 2
Sangat puas 3
Dengan perhitungan rumus :
Nilai terendah :0
Nilai tertinggi : skor tertinggi × jumlah pertanyaan
:3×4
: 12
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh panjang kelas
interval sebesar : (12-0)/2 = 6
26

Tabel 3.2. Kriteria variabel pengaruh


Nilai Kriteria
0–6 Buruk
7 – 12 Baik
(Sumber : Sugiyono, 2016)
Terdapat 5 indikator dalam pengukuran mutu pelayanan, yakni :
a. Bukti langsung
Bukti langsung meliputi kebersihan, kerapihan, dan
kenyamanan ruang perawatan, kelengkapan peralatan, dan
penampilan fisik tenaga kesehatan. Penilaian dilakukan dengan
memberikan 4 pertanyaan yaitu nomor 1 sampai dengan nomor
4, untuk menentukan kategori baik jika nilai mencapai 7-12,
dan untuk menentukan kategori buruk jika nilainya 0-6.
b. Kehandalan
Kehandalan meliputi ketepatan profesionalisme tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan, pemberian informasi
sebelum dilakukannya pelayanan, dan memberitahu jenis
penyakit dan bagaimana cara perawatannya. Penilaian
dilakukan dengan memberikan 4 pernyataan yaitu pernyataan
nomor 5 sampai dengan nomor 8, untuk menentukan kategori
baik jika nilai mencapai 7-12, dan untuk menentukan kategori
buruk jikai nilainya 0-6.
c. Ketanggapan
Ketanggapan meliputi kecepatan dan ketanggapan
petugas dalam melayani pasien, respon tenaga kesehatan
terdahap keluhan pasien, kejelasan informasi yang disampaikan
kepada pasien. Penilaian dilakukan dengan memberikan 4
pernyataan yaitu pernyataan nomor 9 sampai dengan nomor 12,
untuk menentukan kategori baik jika nilai mencapai 7-12 dan
untuk menentukan kategori buruk jika nilainya 0-6.
27

d. Jaminan
Jaminan meliputi kepercayaan terhadap petugas yang
memiliki kemampuan, kesopanan dan memiliki sifat dapat
dipercaya dalan hal menjaga kerahasiaan penyakit pasien,
kecekatan dalam menangani pasien, dan memiliki catatan
medis pasien. Penilaian dilakukan dengan memberikan 4
pernyataan yaitu pernyataan nomor 13 sampai dengan nomor
16, untuk menentukan baik jika nilai mencapai 7-12, dan untuk
menentukan kategori buruk jika nilainya 0-6.
e. Empati
Empati meliputi perhatian dan kepedulian yang
diberikan petugas terhadap pasien dengan mendengarkan dan
memahami apa yang pasien butuhkan, perhatian tenaga
kesehatan kepada pasien, dan pemberian pelayanan sesuai
dengan apa yang pasien butuhkan. Penilaian dilakukan dengan
memberikan 4 pernyataan yaitu pernyataan nomor 17 sampai
dengan 20, untuk menentukan kategori baik jika nilai mencapai
7-12, dan untuk menentukan kategori buruk jika nilainya 0-6
2. Variabel Terpengaruh
Variabel terpengaruh adalah variabel yang berubah karena
adanya pengaruh dari variabel lain. Variabel terpengaruh dalam
penelitian ini adalah kepuasan pasien terhadap Pelayanan di Poliklinik
Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang yang
dikategorikan menjadi puas, cukup puas, dan tidak puas dengan
berpedoman skala likert. Instrument yang digunakan untuk mengukur
kepuasan pasien terdiri dari 10 pertanyaan tentang pelayanan
Poliklinik Gigi dan Mulut di Puskesmas Candi Lama Kota Semarang.
Untuk pengukuran tingkat kepuasan pasien Poliklinik Gigi dan
Mulut di Puskesmas Candi Lama Kota Semarang, peneliti
menggunakan penggunaan skala likert. Penilian kuesioner
menggunakan skala likert membagi 3 skala, yaitu skala puas, cukup
puas, dan tidak puas.
28

Ketiga penilaian tersebut diberi bobot sebagai berikut :


a. Jawaban puas diberi bobot 3
b. Jawaban cukup puas diberi bobot 2
c. Jawaban tidak puas diberi bobot 1
Selanjutnya, untuk mengetahui hasil tingkat kepuasan
seseorang dalam suatu kelompok dapat dikategorikan antara lain
sangat amat puas, sangat puas, puas, cukup puas, cukup, tidak
puas, dan sangat tidak puas. Ketentuan tersebut menggunakan
metode Analisis Customer Satisfaction Index (CSI).
Langkah-langkah perhitungan Customer Sactisfaction Index
(CSI) adalah sebagai berikut :
5. Menentukan Mean Importance Score (MIS), nilai ini berasal
dari rata-rata kepentingan tiap konsumen

(∑ )
n
Yi
i=1
MIS=
n
Dimana :
n = jumlah pengunjung
Y i= nilai kepentingan atribut Y ke-i
6. Membuat Weight Factors (WF), bobot ini merupakan
persentase nilai MIS per atribut terhadap total MIS seluruh
atribut
MIS i
WF= P
× 100 %
∑ MISi
i=1

Dimana :
p = atribut kepentingan ke-p
7. Membuat Weight Score (WS), bobot ini merupakan perkalian
antara WF dengan rata-rata tingkat kepuasan (X)
WS i=¿WF ¿ × MSS
i

8. Menentukan Customer Satisfaction Index (CSI)


29

(∑ )
P
WS i
i=1
CSI = ×100 %
S
Dimana :
CSI = Customer Satisfaction Index (%)
p = atribut kepentingan ke-p
HS = Skala maksimum yang digunakan
Tabel 3.3. Kriteria Nilai Customer Satisfaction Index
Nilai CSI Kriteria CSI
X ≤ 64% Sangat Tidak Puas
64% < X ≤ 71% Tidak Puas
71% < X ≤ 77% Cukup
77% < X ≤ 80% Cukup Puas
80% < X ≤ 84% Puas
84% < X ≤ 87 % Sangat Puas
87% < X Sangat Amat Puas

3. Variabel Terkendali
Variabel terkendali adalah variabel yang dapat dikendalikan
oleh peneliti. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah pasien
yang berumur 18– 50 tahun yang bisa membaca dan menulis karena
dianggap sudah memahami kuesioner.
4. Variabel Tak Terkendali
Variabel tak terkendali adalah variabel yang tidak dapat
dikendalikan oleh peneliti atau variabel yang tidak diteliti. Variabel tak
terkendali dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan, jenis
kelamin, jenis pekerjaan, dan hasil pendapatan pekerjaan.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu kuesioner.
Tabel 3.4. Penjelasan Instrumen Penelitian

Variabel Penelitian Metode Instrumen


30

Variabel Pengaruh
Angket Kuesioner
(Mutu Pelayanan Poli Gigi)
Variabel Terpengaruh
Angket Kuesioner
(Tingkat Kepuasan Pasien)
Alat dan Bahan :
1. Alat yang digunakan meliputi : alat tulis
2. Bahan yang digunakan meliputi : lembar kuesioner
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan pengumpulan data yang
akan dilakukan selama penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Tahapan persiapan penelitian
a. Menentukan tempat penelitian
b. Membentuk tim penelitian yang terdiri dari 3 mahasiswa Jurusan
Keperawatan Gigi Poltekkes Semarang
c. Menyamakan persepsi/kalibrasi tim agar penelitian berjalan sesuai
prosedur
d. Melakukan perijinan kepada Kepala Tata Usaha Puskesmas Candi
Lama Kota Semarang
e. Membuat jadwal penelitian
f. Mempersiapkan alat atau instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian, yaitu lembar kuesioner
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a. Kegiatan penelitian akan dibantu oleh tim yang terdiri dari 3
mahasiswa tingkat akhir Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes
Semarang dengan terlebih dahulu menyamakan persepsi tentang
kegiatan pengambilan data yang akan dilakukan
b. Melakukan kunjungan ke Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas
Candi Lama
c. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada calon
responden yang datang ke Poliklinik Gigi dan Mulut Poltekkes
Semarang
31

d. Memberikan inform concent kepada calon responden untuk


menandatangani lembar persetujuan menjadi responden jika
responden bersedia, jika tidak bersedia tidak boleh dipaksa
e. Setelah responden mengisi inform concent, responden diberi
kuesioner dan diberi pengarahan untuk mengisi
f. Setelah kuesioner diisi, kuesioner diambil kembali
g. Data kuesioner dikumpulkan
h. Setelah mendapat data peneliti mengucapkan terimakasih dan
berpamitan kepada responden
3. Tahap Pengolahan Data
a. Tahap Persiapan
1) Mengecek kelengkapan data yang sudah diisi oleh responden
2) Mengecek salinan data yang sudah diisi oleh responden
b. Setelah data berhasil dikumpulkan, kemudian dilakukan
pengolahan data dan analisis data
G. Analisis Data
Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan
setelah data dari seluruh responden atau sumber lain terkumpul (Sugiyono,
2016). Tahapan analisis data adalah sebagai berikut :
1. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan salah satu langkah yang penting, hal
ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari peneliti masih
mentah, belum memberikan informasi apa-apa dan belum siap untuk
disajikan (Notoatmodjo, 2010). Adapun tahapan pengolahan data yang
akan dilakukan adalah secara manual dengan rincian sebagai berikut :
a. Editing (Penyuntingan data)
Pada tahapan ini, data yang telah terkumpul melalui daftar pertanyaan
(kuesioner) ataupun pada wawancara perlu dibaca kembali untuk
melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban
responden. Pada tahapan ini yang dilakukan peneliti adalah memeriksa
terlebih dahulu angket (kuesioner) yang sudah diberikan kepada
responden. Peneliti memeriksa jawaban disetiap responden, apakah
32

kuesionernya sudah diisi atau belum. Editing dilakukan ditempat


pengambilan data sehingga apabila ada jawaban kuesioner yang belum
lengkap maka akan dilengkapi kembali oleh responden yang
bersangkutan.
b. Coding
Setelah tahapan editing selesai, yang dilakukan peneliti adalah data-
data yang berupa jawaban-jawaban responden diberi kode berupa
angka/nilai untuk memudahkan dalam menganalisis data.
33

c. Data entry (Memasukkan Data)


Memasukkan data yang berupa angka/nilai tersebut ke komputer
supaya memudahkan ketika pengolahan data.
d. Tabulating (Tabulasi Silang)
Tabulasi silang adalah proses pengolahan data yang dilakukan dengan
cara memasukkan data ke dalam tabel. Atau dapat dikatakan bahwa
tabulasi data adalah penyajian data dalam bentuk tabel atau daftar
untuk memudahkan dalam pengamatan dan evaluasi. Hasil tabulasi
data ini dapat menjadi gambaran tentang hasil penelitian, karena data-
data yang diperoleh dari lapangan sudah tersusun dan terangkum
dalam tabel-tabel yang mudah dipahami maknanya. Selanjutnya
peneliti bertugas untuk memberi penjelasan atau keterangan dengan
menggunakan kalimat atas data-data yang telah diperoleh.
2. Cara analisis Data
Analisa data dilakukan untuk membahas data yang diperoleh
dari penelitian, setelah data terkumpul, selanjutnya digunakan untuk
menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, hasil penelitian data di
analisis dengan metode deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang
digunakan untuk menggambarkan atau menganalisa suatu data hasil
penelitian dengan menggunakan metode CSI (Costumer Satisfaction
Index). Setelah dilakukan pengambilan data pada pengunjung
Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang,
data akan dimasukkan kedalam analisa dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi kemudian dilakukan penjelasan data dan diambil
kesimpulan. Adapun langkah-langkan menganalisa data menggunakan
metode CSI adalah sebagai berikut :
1. Menentukan Mean Importace Score (MIS)
2. Membuat Weight Factors (WF)
3. Membuat Weight Score (WS)
4. Menentukan Customer Satisfaction (CSI)
34

H. Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Jadwal pelaksanaan penelitian tentang “Tingkat Kepuasan
Pasien Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Gigi di Poliklinik Gigi
dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang” terlampir.
35

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisa Variabel Pengaruh

Variabel pengaruh dalam penelitian ini yaitu mutu pelayanan


kesehatan gigi dan mulut. Mutu pelayanan kesehatan itu sendiri memiliki
arti yaitu derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau perorangan
terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang baik
dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif dalam
keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat, serta
diselenggarakan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan
norma dan etika yang baik (Azrul Azwar, 1999). Dari batasan yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan
adalah kesesuaian pelayanan kesehatan dengan standar profesi dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada secara baik, sehingga semua
kebutuhan pelanggan dan tujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal dapat tercapai (Bustami, 2011).

Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) melalui penelitiannya


mengidentifikasi sepuluh dimensi pokok, yaitu daya tanggap, kehandalan
(reliabilitas), kompetensi, kesopanan, akses, komunikasi, kredibilitas,
kemampuan memahami pelanggan, keamanan, dan bukti fisik. Pada
penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Parasuraman dkk (1988),
mereka menggabungkan beberapa dimensi menjadi satu, yaitu kompetensi,
kesopanan, keamanan, dan kredibilitas yang disatukan menjadi jaminan
(assurance). Dimensi komunikasi, akses, dan kemampuan memahami
pelanggan digolongkan sebagai empati (empathy). Akhirnya jadilah lima
dimensi utama, yaitu reliabilitas, daya tanggap, jaminan, empati, dan bukti
fisik atau bukti langsung.

Analisa variabel pengaruh dalam penelitian ini didukung penelitian


(Nofiana dan Sugiarsi, 2011) yang berjudul “Hubungan Mutu Pelayanan
Pendaftaran Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit PKU
36

Muhammadiyah Karanganyar”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh


Nofiana, pelayanan yang baik dari suatu rumah sakit akan membuktikan
bahwa rumah sakit tersebut bermutu baik. Mutu pelayanan menjadi
pemicu bagi profesi kesehatan untuk meningkatkan pelayanannya.
Pelayanan profesional dalam pendaftaran dapat dilakukan melalui;
kemampuan petugas dalam memberikan informasi, kecepatan dan
ketepatan waktu layanan, ketanggapan dan keandalan. Pelayanan
kesehatan bermutu yaitu yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien
agar pasien merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh rumah
sakit dengan melakukan pelayanan prima. Melalui pelayanan prima,
rumah sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan kompetitif
(competitive advantage) dengan pelayanan bermutu dan efisien.

Pendapat Nofiana didukung dengan adanya penelitian (Alamri,


dkk, 2015) yang berjudul “Hubungan Antara Mutu Pelayanan Perawat dan
Tingkat Pendidikan Dengan Kepuasan Pasien Peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Islam (RSI) Sitti Maryam Kota Manado”. Didalam penelitian
ini masyarakat sebagai pengguna jasa layanan kesehatan mengharapkan
pelayanan kesehatan yang optimal dalam hal ini mutu pelayanan kesehatan
yang layak dan sesuai apa yang diharapkan. Selain mutu pelayanan,
meningkatnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan sosial ekonomi
masyarakat juga berpengaruh terhadap tuntutan adanya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan tersebut, salah satunya penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di rumah sakit tentang kinerja tenaga-tenaga kesehatan. Selain
itu, masyarakat mengkritisi berbagai aspek pelayanan kesehatan terutama
mengenai pelayanan perawatan, karena di rumah sakit sumber daya
manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien
adalah perawat, sehingga mutu pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat
dapat dinilai sebagai indikator baik apa buruknya mutu pelayanan di
rumah sakit (Sulistiyono, dalam Alamri, dkk, 2015).

Dalam pelayanan kesehatan terdapat lima dimensi utama


diantaranya ketanggapan yaitu kesediaan dan kesiapan para petugas
37

kesehatan untuk membantu para pasien untuk mendapatkan pelayanan


secara cepat, merespon permintaan pasien, serta menginformasikan kapan
saja pelayanan akan diberikan. Kehandalan yaitu konsistensi kinerja
pelayanan, mampu memberikan pelayanan yang terpercaya sesuai dengan
janji dan waktu yang telah disepakati. Jaminan yaitu perilaku para petugas
kesehatan yang mampu memberikan kepercayaan dan rasa aman bagi
pelanggannya, selalu bersikap sopan, dan menguasai pengetahuan dan
keterampilan. Empati yaitu kemampuan para petugas kesehatan untuk
memahami keluhan pasien, memberikan perhatian secara individual,
memberikan kesempatan untuk bertanya dan ketepatan waktu agar
pelanggan tidak terlalu lama menunggu untuk mendapatkan pelayanan.
Bukti fisik yaitu keadaan lingkungan sekitar yang nyata, dan dilihat dari
pelayanan para petugas kesehatan yang meliputi penampilan petugas,
peralatan dan fasilitas yang digunakan (Solihat dalam Alamri, dkk, 2015).

Selain pendapat peneliti diatas, (Aida Andriani, 2017) mendukung


pendapat penelitian diatas, menurut hasil penelitian yang dilakukan, mutu
adalah nilai kepatutan yang sebenarnya (proper value) terhadap unit
pelayanan tertentu, baik dari aspek technical (ilmu, ketrampilan, dan
teknologi medis atau kesehatan) dan interpersonal yaitu tata hubungan
dokter – pasien : komunikasi, empati dan kepuasan pasien (Widayat dalam
Andriani, 2017). Mutu yang baik adalah tersedia dan terjangkau , tepat
kebutuhan, tepat sumber daya, tepat standar profesi / etika profesi, wajar
dan aman, mutu memuaskan bagi pasien yang dilayani. (Sabarguna dalam
Andriani, 2017). Menurut data peneliti mutu merupakan suatu standar
yang harus dicapai rumah sakit melalui petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan kepada pasien dengan sebaik mungkin agar pasien
mendapatkan pelayanan yang memuasakan. Seperti tingkat reliabilitas
yang berkaitan dengan kemampuan pemberi layanan kesehatan untuk
memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat
kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang
disepakati. Daya tanggap dimana berkenaan dengan kesediaan dan
kemampuan para petugas kesehatan untuk membantu para pelanggan dan
38

merespon permintaan mereka serta menginformasikan kapan jasa akan


diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat. Petugas kesehatan
juga harus memiliki rasa empati dimana pemberi pelayanan kesehatan
harus memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi
kepentingan pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman. Petugas
kesehatan sangat memiliki peran penting dalam pelayanan, oleh karena itu
petugas tidak boleh melalaikan tugas untuk melayani pasien, hal ini dapat
menurunkan tingkat kepuasan pasien.

Hal tersebut sejalan pula dengan penelitian (Latupono, dkk, 2014)


yang berjudul “Hubungan Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien
Rawat Jalan Di RSUD Masohi Tahun 2014”. Hasil penelitian tersebut
mendukung ketiga pendapat peneliti diatas. Untuk dapat bertahan hidup
dan berkembang di dalam lingkungan yang cepat berubah dan kompetitif.
RS harus mengubah paradigma pengelolaan RS kearah sudut pandang
konsumen. Pendekatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan menjadi
salah satu strategi penting yang tidak bisa diabaikan (Suryani dan Tatik
dalam Latupono, dkk, 2014).

Kepuasan pasien terhadap pelayanan rawat jalan di RSUD Masohi


masih sangat rendah dengan rata-rata 49 % sedangkan berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit No. 129 tahun 2008 menyatakan bahwa
standar kepuasan untuk unit rawat jalan sebesar > 90 %. Tentu kondisi ini
dapat menjadi acuan bahwa terjadi masalah terhadap kualitas di pelayanan
rawat jalan di RSUD Masohi. Sehingga, menyebabkan pasien menjadi
kurang puas terhadap layanan yang diberikan. Dari data kunjungan pasien
di instalasi rawat jalan RSUD Masohi di atas terjadi penurunan kunjungan
pasien lama. Hal tersebut menunjukan turunnya tingkat loyalitas pasien
terhadap pelayanan rawat jalan RSUD Masohi. Dari keterangan data diatas
dapat diketahui bahwa terjadi penurunan kunjungan pasien dari tahun
2011-2013 yang signifikan dan terjadi penurunan kunjungan pasien lama,
oleh karena itu untuk membedah masalah ini peneliti menggunakan kajian
manajemen mutu dengan kualitas pelayanan kesehatan terhadap kepuasan
pasien di Rumah Sakit. Kualitas dapat memberikan suatu dorongan kepada
39

perusahaan dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan


perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta
kebutuhan mereka Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan dengan cara memaksimalkan pengalaman pelanggan
yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman
pelanggan yang kurang menyenangkan Kepuasan pelanggan dapat
menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan pada perusahaan yang
memberikan kualitas yang memuaskan (Hendroyono dalam Latupono,
dkk, 2014). Kualitas pelayanan kesehatan yang bermutu dan memuaskan
pasien dapat menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien
rawat jalan RSUD Masohi. Masih rendahnya tingkat kepuasan pasien
berdasarkan beberapa indikator SPM, sehingga penelitian ini bertujuan
untuk Mengetahui hubungan mutu pelayanan rawat jalan terhadap
kepuasan pasien di RSUD Masohi.

B. Analisa Variabel Terpengaruh

Variabel terpengaruh dalam penelitian ini yaitu kepuasan pasien.


Kepuasan pasien adalah suatu tingkatan perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja (hasil) yang didapatkan dengan harapannya.
Kepuasan dapat diartikan sebagai perbedaan antara harapan dan kinerja
yang dirasakan atau intervensi yang dirasakan pasien selama kunjungan
pengobatan dan atau hubungan antara intervensi yang mereka inginkan /
terima pasien (Suprapto dalam Anas dan Abdullah, 2008). Pasien melihat
layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu layanan kesehatan yang
dapat memenuhi kebutuhannya dan dilakukan dengan cara yang sopan dan
santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta
mencegah berkembang atau meluasnya penyakit. Penilaian pasien ini
sangat penting karena pasien yang merasa puas akan mematuhi
pengobatan dan akan kembali jika penyakitnya kambuh lagi (Akuba dalam
Sakey, dkk, 2013).

Kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut


adalah perbandingan antara persepsi terhadap pelayanan yang diterima
40

dengan harapannya sebelum mendapatkan pelayanan. Apabila harapannya


terpenuhi, berarti pelayanan tersebut telah memberikan suatu kualitas yang
luar biasa dan juga akan menimbulkan kepuasan yang tinggi (Sembel, dkk,
2014).

Analisa variabel terpengaruh menurut penelitian yang dilakukan


oleh (Muntiaha, dkk) yang berjudul “Hubungan Mutu Jasa Pelayanan
Kesehatan Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Ruang Rawat Inap di Rumah
Sakit Budi Mulia Kota Bitung” menyebutkan pasien akan merasa puas jika
pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit sesuai dengan harapan dan
kemauan pasien. Dari hasil penelitian didapatkan jawaban tertinggi yang
memilih puas 57 responden 60%, sedangkan jawaban terendah yang
memilih kurang baik 8 responden 8,4%. Berdasarkan jawaban responden
dapat dilihat bahwa tingkat kepuasan pasien terhadap mutu jasa pelayanan
kesehatan yang ada di Rumah Sakit Budi Mulia dikategorikan puas.
Berdasarkan jawaban pasien yang di dapat dari wawancara banyak yang
memilih puas dikarenakan pemberian pelayanan kesehatan terhadap
kebutuhan pasien dalam hal ini pemeriksaan, perawatan dan pengobatan
yang diberkan oleh perawat dan dokter, sikap petugas, kesigapan petugas
dalam menangani pasien, komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan,
kondisi ruang rawat inap, fasilitas dan peralatan medis yang ada di Rumah
Sakit Budi Mulia pasien merasa puas. Jika pasien merasa puas maka
pasien bersedia kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh
pelayanan berikutnya. Pasien akan memberikan respon yang baik dan
perasaan yang puas apabila dia mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan keinginannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ayuningtyas (2015) menunjukkan bahwa setengah responden yaitu
sebanyak 25 responden (50%) mengatakan puas terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan. Menurut peneliti untuk meningkatan tingkat
kepuasan pasien, ada beberapa ukuran tingkat kepuasan yaitu hubungan
perawat dengan pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan melakukan
pilihan. Jika ukuran tersebut sudah terpenuhi oleh tenaga medis maka
tingkat kepuasan pasien semakin tinggi. Kepuasan terhadap pelayanan
41

kesehatan dinyatakan oleh sikap terhadap kompetensi teknik dokter atau


profesi pelayanan kesehatan lain yang berhubungan dengan pasien (Pohan,
2015).

Penelitian lain yang sejalan dilakukan oleh (Burhanuddin, 2016).


Penelitian tersebut berjudul “Hubungan Mutu Pelayanan Kesehatan
Dengan Kepuasan Pasien RSUD Syekh Yusuf Gowa”. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien peserta
BPJS di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa
tahun 2015. Terdapat hubungan mutu pelayanan kesehatan berdasarkan
dimensi bukti fisik (tangiable) dengan kepuasan pasien peserta BPJS di
ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa tahun
2015, terdapat hubungan mutu pelayanan kesehatan berdasarkan dimensi
kehandalan (realibility) dengan kepuasan pasien peserta BPJS di ruang
rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa tahun 2015,
terdapat hubungan mutu pelayanan kesehatan berdasarkan dimensi
ketanggapan (responsiveness) dengan kepuasan pasien peserta BPJS di
ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa tahun
2015. Terdapat hubungan mutu pelayanan kesehatan berdasarkan dimensi
jaminan kepastian (assurance) dengan kepuasan pasien peserta BPJS di
ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa tahun
2015, terdapat hubungan mutu pelayanan kesehatan berdasarkan dimensi
empati (empathy) dengan kepuasan pasien peserta BPJS di ruang rawat
inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Gowa tahun 2015.

Menurut (Nurhasni,2019) penelitian yang berjudul “Hubungan


Mutu Pelayanan Kesehatan Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap
Di Puskesmas Ampibabo Kabupaten Patigi Moutong” mendukung
pendapat penelitian diatas. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa
kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit.
Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit
dapat melakukan peningkatan mutu pelayanan (Indikator Kinerja Rumah
Sakit, Depkes RI Tahun 2005: 31). Kepuasan pasien dipertimbangkan
42

sebagai salah satu dimensi kualitas yang paling penting dan merupakan
kunci sukses dalam organisasi kesehatan seperti Rumah Sakit.

Kepuasan pasien dapat diteliti dalam konteks pengalaman


keseluruhan pasien terhadap organisasi kesehatan (Alrubaiee dan
Alkaa’ida, 2011) dalam Marzaweny, dkk (2012: 566). Pasien baru akan
merasa puas pabila kiner jalayanan kesehatan yang diperolehnya sama atau
melebihi harapannya dan sebaliknya, ketidakpuasan atau perasaan kecewa
pasien akan muncul apabila kinerjalayanan kesehatan yang diperolehn
yaitu tidak sesuai dengan harapannya. Kepuasan pasien adalah suatu
tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan
kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan
apa yang diharapkannya (Pohan, 2006: 156). Kepuasan pasien
berhubungan dengan mutu pelayanan Rumah Sakit/Puskesmas.

Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen Rumah


Sakit/Puskesmas dapat melakukan peningkatan mutu pelayanan
(Nursalam, 2014: 342). Menurut Pohan (2006:157), tingkat kepuasan
pasien yang akurat sangat dibutuhkan dalam upaya peningkatan mutu
layanan kesehatan. Olehkarena itu pengukuran tingkat kepuasan pasien
perlu dilakukan secaraberkala, teratur, akurat dan berkesinambungan.
Sebuah survei cross sectional deskriptif dilakukan Dr. Kashinath K R, etal.
(2010) di antara orang-orang yang menghadiri Departemen rawat jalan dan
mereka diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi 15 pertanyaan untuk
menilai daerah yang perlu diperbaiki. Dari hasil penelitian diketahui 60%
responden merasa terganggu dengan masa tunggu lebih untuk perawatan
seperti RCT, Crown dan lain-lain, para pasien sering merasa tidak puas
ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Hasil penelitian Mario Lino
Raposo, et al (2009) menunjukkan bahwa kepuasan pasien bernilai 60,887
dalam skala 1 sampai 100, yang hanya mengungkapkan kepuasan tingkat
menengah. Hal ini juga memungkinkan untuk menyimpulkan bahwa efek
positif yang paling penting pada kepuasan adalah orang-orang terkait
untuk hubungan pasien/dokter, kualitas fasilitas danin teraksi dengan staf
administrasi. Dari hasil penelitian Marzaweny, dkk (2012), diketahui
43

bahwa kualitas pelayanan kesehatan memiliki pengaruh langsung dan


positif terhadap kepuasan pasien RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

C. Analisa Variabel Tak Terkendali

Variabel tak terkendali dalam penelitian ini yaitu karakteristik


responden. Diantaranya yaitu tingkat pendidikan, hasil pendapatan
pekerjaan, jenis kelamin, dan Pekerjaan.

Didalam penelitian Ida Listiani (2017) yang berjudul “Hubungan


Tingkat Pendidikan dan Penghasilan Pasien dengan Persepsi Pasien
Tentang Mutu Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Baki Kabupaten
Sukoharjo”, hasil perhitungan chi-square didapatkan nilai p-value 0,008
dimana tingkat signifikansi kurang dari 0,05. Hasil tersebut membuktikan
bahwa memang ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
dengan persepsi pasien tentang mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas
Baki. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Budiman dan Herlina
(2010) di Puskesmas Tanjungsari Bogor, dimana pendidikan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien dengan nilai p-value
0,000 (<0,05). Penelitian ini sejalan pula dengan penelitian Laith (2011) di
Jordania, dengan hasil bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi
pasien terhadap kalitas pelayanan.

Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Pinar Yesil (2015) di


Turki, yang membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan dengan persepsi pasien, dimana pasien dengan
pendidikan rendah memiliki kepuasan yang tinggi dibandingkan dengan
pasien dengan pendidikan tinggi. Hal ini membuktikan sebagaimana yang
diterangkan oleh Notoatmodjo (2005), bahwa tingkat pendidikan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi harapan dan persepsi
seseorang terhadap pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan
seseorang maka akan semakin mengerti tentang kesehatan. Seseorang
dengan pendidikan lebih rendah cenderung mempersepsikan pelayanan
baik dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi (Tjiptono, 2007).
44

Menurut Jacobalis (2000), tingkat pendidikan dapat mempengaruhi


pola pikir rasional dan irasional seseorang dalam mengambil keputusan,
menggunakan, atau memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan. Seseorang
dengan pendidikan rendah memiliki kecenderungan inkonsistensi persepsi
yang tinggi (tidak tetap pendirian), mudah dipengaruhi dibandingkan
dengan seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi. Pengetahuan
dan harapan seseorang terhadap pelayanan akan meningkat ketika tingkat
pendidikan mereka semakin tinggi, sehingga tingkat kepuasan seseorang
dengan pendidikan tinggi akan menurun ketika harapan tidak terpenuhi
(Yurumezoglu, 2007). Oleh karena itu, smakin tinggi tingkat pendidikan
pasien maka semakin tinggi pula harapan dan tuntutannya terhadap
pelayanan kesehatan.

Seseorang dengan pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan


yang lebih dan semakin mengarti arti kesehatannya, sehingga semakin
kritis terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, hal ini akan
mempengaruhi persepsinya terhadap pelayanan kesehatan yang
diterimanya. Sedangkan pasien yang berpendidikan rendah, cenderung
memiliki pengetahuan yang kurang dan mudah dipengaruhi di bandingkan
pasien dengan pendidikan tinggi, sehingga pasien dengan pendidikan
rendah cenderung menerima pelayanan kesehatan tanpa tuntutan yang
lebih, hal ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap pelayanan
kesehatan yang diterimanya dimana pasien dengan pendidikan rendah
akan memiliki persepsi yang tinggi atau baik terhadap pelyanan yang
diterimanya. Namun demikian, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Azlika (2015) di Manado, yang menunjukkan hasil tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan pasien dengan p-
value 0,750 (>0,05). Oleh karena itu, persepsi setiap orang terhadap
pelayanan kesehatan sangatlah bervariasi, dimana persepsi ini tidak hanya
dipengaruhi oleh pendidikan saja, melainkan dapat pula dipengaruhi
faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap pelayanan kesehatan.
45

Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu hasil


pendapatan pekerjaan. Menurut penelitian penelitian Ida Listiani (2017)
yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan dan Penghasilan Pasien
dengan Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas
Baki Kabupaten Sukoharjo”, dari penelitian tersebut, hasil perhitungan
chi- square didapatkan nilai p-value 0,000 dimana tingkat signifikansi
kurang dari 0,05. Hasil tersebut membuktikan bahwa memang ada
hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan persepsi pasien
tentang mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Baki. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian Putu (2016) di Sleman Yogyakarta, dengan hasil
ada hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan kepuasan pasien.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Laith (2011) di
Jordania, yang menunjukkan bahwa penghasilan mempengaruhi persepsi
pasien terhadap kalitas pelayanan. Selain itu, penelitian yang sejalan pula
dengan penelitian ini adalah penelitian Pinar Yesil (2015) di Turki, yang
membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan
pasien dengan persepsi pasien. Hal ini membuktikan sebagaimana yang
diterangkan oleh Jacobalis (2000), bahwa penghasilan seseorang
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang.

Seseorang dengan penghasilan tinggi memiliki tuntutan dan


harapan yang lebih besar terhadap pelayanan kesehatan yang
dibutuhkannya karena seseorang dengan penghasilan tinggi mampu secara
finansial, sedangkan responden dengan penghasilan rendah umumnya
lebih tergantung pada fasilitas kesehatan yang lebih murah sehingga
dengan penghasilan yang dimiliki tetap dapat menerima pelayanan
kesehatan yang terjangkau. Penghasilan pasien menentukan kepuasan yang
dirasakan karena bila pendapatan yang diperoleh kecil cenderung
pelayanan kesehatan yang diterima lebih sedikit atau minimal
(Barata,2006).

Menurut Kirilmaz (2013), pasien dengan penghasilan yang baik


akan dapat memenuhi beberapa kebutuhan mereka dengan lebih baik
dibandingkan mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga orang yang
46

berpenghasilan rendah kan memiliki harapan yang kurang terhadap


pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, seseorang dengan penghasilan
tinggi akan memiliki tuntutan dan harapan yang tinggi terhadap pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang berpenghasilan rendah.
Hal ini dikarenakan seseorang dengan penghasilan tinggi akan merasa
mampu secara finansial dalam pemenuhan kebutuhannya akan pelayanan
kesehatan, sehingga orang yang berpenghasilan tinggi cenderung akan
menggunakan penghasilannya untuk membayar pelayanan yang
dianggapnya memenuhi harapan dan memberikan kepuasan kepadanya.
Sedangkan seseorang dengan penghasilan rendah cenderung bergantung
pada pelayanan kesehatan yang murah sehingga dengan peghasilan yang
dimilikinya akan tetap dapat menerima pelayanan yang dianggap
terjangkau dari segi biaya tanpa tuntutan dan harapan yang lebih.

Namun demikian, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan


penelitian Mutu (2009), yang menunjukkan tidak ada hubungan antara
penghasilan dengan persepsi pelanggan terhadap pelayanana puskesmas
Kotamobagu. Penelitian lain yang tidak sejalan adalah penelitian Subait
(2016) di Saudi Arabia, yang menunjukkan hasil bahwa tingkat
pendapatan pasien tidak mempengaruhi kepuasan pasien. Oleh karena itu,
persepsi seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh penghasilan saja,
melainkan dapat pula dipengaruhi faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pelayanan kesehatan.

Selain faktor tingkat pendidikan dan hasil pendapatan pekerjaan,


faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu jenis kelamin. Dalam
suatu keluarga, seorang pria yang menjadi kepala keluarga cenderung
melindungi atau intervensi, dan memberikan rasa aman bagi keluarganya.
Pria juga cenderung lebih mempengaruhi wanita dalam memberikan
pendapat atau pertimbangan untuk melakukan sesuatu (Notoatmojo dalam
Abdilah dan Ramdan, 2009 ). Sementara Menurut (Lumenta dalam
Abdilah dan Ramdan, 2009) pria lebih banyak menuntut dan berharap
terhadap kemampuan pelayanan kesehatan dasar dan cenderung
47

mengkritik daripada wanita. Tetapi, hal ini tidak sejalan dengan adanya
penelitian yang diteliti oleh (Abdilah dan Ramdan, 2009).

Tabel 4.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepuasan Pasien rawat jalan di
Puskesmas Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat

Kepuasan Pasien
Jenis Kelamin Total p
Puas Tidak Puas
Laki-laki 28 (56%) 22 (44%) 50 (100%)
0,424
Perempuan 22 (44%) 28 (56%) 50 (100%)
Hasil penelitian menunjukkan hal yang berbeda dimana kelompok
pria 56% menyatakan puas, sementara kelompok perempuan hanya 44%.
Akan tetapi hasil uji hubungan menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin
ini tidak menunjukkan ada hubungan yang sigifikan dengan kepuasan
dengan p-value 0,424 (p > α (0,05 = CI 95%).

Selain faktor-faktor diatas yang mempengaruhi kepuasan pasien,


faktor jenis pekerjaan. Menurut hasil penelitian (Abdilah dan Ramdan,
2009) :

Tabel 4.4 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Kepuasan Pasien rawat jalan di
Puskesmas Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat

Kepuasan Pasien
Pekerja Total p
Puas Tidak Puas
Bekerja 35 (61,4%) 22 (38,6%) 57 (100%)
0,015
Tidak Bekerja 15 (34,9%) 28 (65,1%) 43 (100%)
Hasil penelitian menunjukkan 61,4% pada kelompok yang bekerja
menyatakan puas, sedangkan pada kelompok yang tidak bekerja 34,9%
menunjukkan puas, tetapi Hasil analisis perhitungan dengan uji chi-square
menunjukkan p-value 0,015 (p < α (0,05 = CI 95%) yang artinya terdapat
hubungan antara faktor pekerjaan responden dengan kepuasan pasien yang
berobat ke unit rawat jalan puskesmas Sindangkerta Kabupaten Bandung
Barat. Hal ini sedikit berbeda dengan pendapat Lumenta yang menyatakan
kelompok masyarakat yang bekerja cenderung dipengaruhi oleh
48

lingkungan pekerjaan juga lingkungan keluarga. Hal ini ada hubungannya


dengan teori yang menyatakan bahwa seseorang yang bekerja cenderung
lebih banyak menuntut atau mengkritik terhadap pelayanan yang
diterimanya jika memang tidak merasa puas bagi dirinya dibandingkan
dengan yang tidak bekerja.

D. Hubungan Variabel Pengaruh dan Variabel Tak Terpengaruh

Hubungan antara mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien


dapat dilihat dari suatu kualitas suatu pelayanan. Kualitas merupakan
kondisi yang dinamis dari suatu produk atau jasa dalam memenuhi
harapan konsumen dan sebagai bentuk pengukuran terhadap nilai layanan
yang diterima oleh konsumen (Tjiptono, 2011). Faktor yang
mempengaruhi kualitas sebuah layanan adalah expected service (layanan
yang diharapkan) dan perceived service (layanan yang diterima). Jika
layanan yang diterima sesuai dan memenuhi apa yang diharapkan maka
jasa dikatakan baik atau positif. Jika perceived service melebihi expected
service, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal.
Sebaliknya, suatu kualitas akan dipersepsikan buruk atau negatif apabila
perceived service lebih jelek dibanding expected service, oleh sebab itu
baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan perusahaan
dan stafnya memenuhi harapan pelanggan secara konsisten (Tjiptono,
2011).

Pelayanan kesehatan sebagai hak setiap orang telah dijamin dalam


Undang-Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatan derajat
kesehatan baik perorangan, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.
Pelayanan dibidang kesehatan akan senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat
salah satunya pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Pelayanan kesehatan
gigi dan mulut merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan secara
keseluruhan dalam upaya pencapaian pemerataan, jangkauan, dan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan gigi dan mulut (Dewanto, Lestari,
dan Isnaini, 2014).
49

Kesehatan gigi dan mulut yang baik dibutuhkan dalam berbagai


aspek kehidupan sehari-hari seperti makan, minum, bicara, sosialisasi dan
rasa percaya diri yang akan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya
menjaga kesehatan gigi dan mulut (Chuandra, dkk 2014, Sembel,2014).
Kesadaran yang meningkat akan mengakibatkan peningkatan keluhan
dalam perawatan gigi dan mulut, mulai dari fisik yang jelek, mutu
perawatan dan pengobatan yang rendah, jam kerja yang singkat, waktu
menunggu yang terlalu lama, sikap petugas dan kinerja operator (dokter
gigi) antara lain terjadi kesalahan atau kegagalan dalam perawatan,
pelayanan, dan perilaku yang kurang baik dalam menghadapi pasien yang
akan mempengaruhi kepuasan pasien (Sembel 2014, Ningrum et al., 2014,
Angraini 2015).

Meningkatnya kesadaran pasien, akan mengakibatkan peningkatan


tuntutan pelayanan kesehatan pula. Semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat akan kualitas pelayanan kesehatan, maka fungsi pelayanan
perlu ditingkatkan untuk memberikan kepuasan kepada pasien (Suharto
2013, Bata et al. 2013). Kepuasan pasien dianggap sebagai salah satu
dimensi yang sangat penting, dan merupakan salah satu indikator utama
dari standar suatu fasilitas kesehatan yang merupakan akibat pengaruh
pelayanan kesehatan yang disampaikan pihak pemberi layanan kesehatan
dan hal inilah yang membuat pengukuran kepuasan pasien menjadi
komponen penting. Menanyakan pendapat pasien tentang perhatian dan
perawatan gigi dan mulut yang telah mereka dapatkan merupakan langkah
penting untuk memastikan bahwa pelayanan kesehatan telah memenuhi
apa yang pasien butuhkan (Alrubaiee, Alkaa’ida, 2011).

Kepuasan diartikan sebagai keadaan saat harapan, keinginan dan


kebutuhan pasien dapat dipenuhi (Sembel, 2014). Kepuasan pasien
terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah perbandingan antara
persepsinya terhadap pelayanan yang diterima dengan harapannya sebelum
mendapatkan pelayanannya tersebut (Kotler, 2008). Apabila harapannya
terpenuhi, berarti pelayanan tersebut telah memberikan suatu kualitas yang
luar biasa dan juga akan menimbulkan kepuasan yang tinggi. Sebaliknya,
50

apabila harapannya tidak tercapai, maka diartikan kualitas pelayanan


tersebut tidak memenuhi apa yang diharapkan (Sasmita, 2013). Pasien
dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima
mengacu pada beberapa faktor, antara lain kualitas produk atau jasa,
kualitas pelayanan, faktor emosional, harga, dan biaya. Pasien yang tidak
perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu
untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa
pelayanan tersebut (Yusnita, 2011).

Menurut Parasuraman dalam Lupiyoadi (2013) terdapat 5 dimensi


yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu bukti fisik
(tangible), kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness),
jaminan (assurance), dan empati (emphaty). Dimensi bukti fisik tidak
berhubungan langsung dengan efektivitas layanan kesehatan, tetapi
merupakan bukti nyata dari pelayanan meliputi fasilitas fisik dan
perlengkapan yang mempengaruhi kepuasan pasien. Dimensi kehandalan
bergantung pada bagaimana standar layanan kesehatan itu digunakan
secara akurat, konsisten, dan sesuai dengan situasi setempat secara efektif.
Dimensi daya tanggap yaitu suatu kebijakan untuk membantu para
pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Dimensi jaminan
berhubungan dengan bagaimana pemberian layanan kesehatan mengikuti
standar layanan kesehatan yang telah disepakati, meliputi kepatuhan,
ketepatan, kebenenaran, konsistensi, dan kerahasiaan yan9g akan
menimbulkan kepercayaan. Dimensi empati yaitu interaksi antara pemberi
layanan kesehatan dengan pasien dan berupaya memahami keinginan
mereka (Lupiyoadi, 2013).

Banyak faktor yang menyebabkan peningkatan angka kunjungan


pasien, salah satunya yaitu faktor demografis seperti pertumbuhan jumlah
penduduk, tingkat pendapatan, promosi, persepsi tarif, mutu pelayanan,
persepsi sakit,pengalaman sakit. Dalam penelitian Alfiati (2010),
peningkatan jumlah kunjungan menunjukkan peran masyarakat dalam
memanfaatkan sarana kesehatan semakin tinggi dan adanya faktor tertentu
yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan jasa pelayanan
51

kesehatan tersebut. Menurut Hafid (2014) peningkatan kunjungan pasien


perlu diimbangi dengan peningkatan pada kualitas pelayanan klinik serta
kinerja dari tenaga medis.

Sebagai contoh penelitian yang di teliti oleh (Muntiaha, dkk)


menyebutkan bahwa Mutu Jasa Pelayanan Kesehatan yang baik akan
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Dalam kuesioner yang digunakan
ada 24 pernyataan dan tingkat kepuasan pasien ada 20 pertanyaan yang
sesuai dengan 8 dimensi mutu jasa pelayanan kesehatan yang diteliti
secara bersamaan dengan tingkat kepuasan pasien. Berdasarkan hasil
penelitian yang didapati ada hubungan antara mutu pelayanan kesehatan
dengan nilai ρ = 0,002, jika nilai p <0,05 maka artinya ada hubungan
antara variabel sehingga H1 diterima atau ada hubungan yang signifikan
antara mutu jasa pelayanan kesehatan dengan tingkat kepuasan pasien, dan
tingkat kekuatan (keeratan) korelasi cukup erat antara dua variabel r =
0,315.

Angka koefesien korelasi bernilai positif sehingga hubungan kedua


variabel tersebut bersifat searah dengan demikian dapat diartikan bahwa
jika mutu jasa pelayanan kesehatan semakin ditingkatkan maka kepuasan
pasien juga akan meningkat. Kenyataan yang didapatkan banyaknya
pasien rawat inap yang datang berobat kembali di Rumah Sakit Budi
Mulia Kota Bitung karena pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit
sesuai dengan harapan pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Andriani dan Sunarto (2009) di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa responden sebanyak 79
orang (41%) menyatakan bahwa kepuasan yang dirasakan oleh pasien
termasuk kategori sangat puas terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh Rumah Sakit. Sebanyak 94 orang (49%) menyatakan
termasuk kepuasan yang dirasakan kategori puas terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit. Dan sebanyak 19 orang
(10%) menyatakan bahwa kepuasan yang dirasakan oleh pasien termasuk
kategori cukup puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
Rumah Sakit.
52

Secara keseluruhan dari hasil- hasil penelitian yang sejenis tersebut


dapat memberikan gambaran megenai pentingnya mutu jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit dalam upaya memberikan kepuasan pada pasien.
Bagi pasien mutu jasa pelayanan kesehatan dapat dijadikan salah satu
faktor untuk memilih rumah sakit yang berkualitas dan baik. Sedangkan
bagi praktisi medis sendiri, selain terikat dengan standar profesinya,
dengan adanya mutu jasa pelayanan kesehatan para praktisis medis
dituntut untuk semakin teliti, telaten dan hati-hati dalam bertindak. Bagi
pemerintah, adanya mutu jasa pelayanan kesehatan dapat dijadikan sebagai
standar dalam memutuskan salah atau benarnya suatu kebijakan atau
pertimbangan pada rumah sakit. Pasien yang puas akan memberitahu
teman, keluarga, dan tetangga, pasien yang puas akan datang lagi kontrol,
atau membutuhkan pelayanan yang lain (sabarguna, 2004).
53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Tingkat


Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi Di Poliklinik Gigi
dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara masing-masing
dimensi mutu pelayanan, yaitu ada hubungan antara dimensi mutu
pelayanan bukti fisik (tangiable), kehandalan (reliability), ketanggapan
(responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy). Kelimanya
memiliki hubungan terhadap kepuasan. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa secara simultan, variabel independen, yaitu mutu
pelayanan dimensi dimensi bukti fisik (tangiable), kehandalan (reliability),
ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati(empathy)
berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Namun jika dilihat secara terpisah
(parsial), mutu pelayanan dimensi bukti fisik (tangiable), kehandalan
(realiability), danjaminan (assurance) pengaruhnya tidak signifikan
terhadap kepuasan pasien.

B. Saran

Saran ini berfungsi sebagai masukkan untuk lebih dapat menjaga


dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan di Poliklinik Gigi
dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang. Beberapa saran yang
ingin disampaikan oleh peneliti adalah sebagai berikut :

1. Puskesmas Candi Lama Kota Semarang

Pelayanan di Puskesmas Candi Lama Kota Semarang harus


dapat dipertahankan dan lebih ditingkatkan dalam pelayanan di
Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang
baik dari aspek Tangibles (Bukti Fisik), Reliability (Kehandalan),
responsiveness (Ketanggapan), Assurance (Jaminan), dan Empathy
(Empati/Perhatian). Sehingga kualitas yang terdapat di Poliklinik Gigi
54

dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota Semarang dapat terjaga


dengan baik dan pasien yang datang akan selalu merasa puas dengan
pelayanan di Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota
Semarang.

2. Masyarakat

Bagi masyarakat, diharapkan dapat terus memberikan


kepercayaan penanganan kesehatan pada Poliklinik Gigi dan Mulut
Puskesmas Candi Lama Kota Semarang. Masyarakat dapat
memberikan kritik dan saran konstruktif/membangun untuk
memajukan Poliklinik Gigi dan Mulut Puskesmas Candi Lama Kota
Semarang.

3. Penelitian yang akan datang

Penelitian yang akan datang diharapkan dapat menggunakan


kelima dimensi ServQual (Service Quality) pada pelayanan kesehatan
pada suatu instansi kesehatan lainnya dengan menggunakan lebih
banyak sampel sehingga membuat hasil penelitian lebih akurat dan di
Kota Semarang masih terdapat banyak Fasilitas Kesehatan terutama
Puskesmas lainnya yang dapat dijadikan tempat penelitian sehingga
hasil dari penelitian tersebut dapat bermanfaat tidak hanya bagi peneliti
namun dapat bermanfaat pula bagi Fasilitas Kesehatan yang
bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai