Gerak refleks adalah gerakan yang dilakukan tanpa sadar dan merupakan respon
segera setelah adanya rangsang. Pada manusia gerak refleks terjadi melalui (reflex arc),
namun refleks-refleks ini sangat penting artinya di dalam mendiagnosis dan
melokalisasi lesi neurologi. Sebagai bukti adanya penghantaran impuls oleh saraf adalah
timbulnya gerak pada anggota tubuh. Gerakan tersebut terjadi karena proses yang
disadari yang disebut juga gerak sadar atau gerakan biasa, sedangkan gerak yang tidak
disadari disebut gerak refleks. Jenis gerak refleks ini terjadi karena terdapat terjadi
karaena rangsangan yang diterima reseptor dihantarkan melalui suatu lengkunganrefleks
sehingga terjadi gerakan. Gerak refleks tidak dipelajari dan tidak dikendalikan oleh
kehendak (involunter). Gerak refleks terjadi secara otomatis terhadap rangsangan tanpa
kontrol dari otak sehingga dapat berlangsung dengan cepat. Gerak refleks terjadi tidak
disadari terlebih dahulu atau tanpa dipengaruhi kehendak. Contoh gerak refleks seperti
mengangkat tangan ketika terkena api, mengangkat kaki ketika tertusuk duri,
berkedip ketika ada benda asing yang masuk ke mata, bersin serta batuk.
Gerak refleks dibagi menjadi dua yaitu condition refleks dan uncondition refleks.
Condittion refleks yaitu : gerakan tangkas yang dapat dilatih sedangkan uncondition
reflex adalah gerakan involunter yang tidak bisa dilatih. Gerak refleks terjadi bila :
a. Rangsangan tersebut sesuai dengan reseptornya
Misalnya refleks tendon di sini rangsangannya harus berupa ketokan.
Refleks tendon ini tidak akan terjadi bila rangsangan berupa geseran.
b. Besarnya rangsangan harus melebihi atau sama dengan nilai ambang
reseptor tersebut.
Telinga
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan
dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu
pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga
bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius
eksternus terdapat sendi temporal mandibular (Kumar, 2005).
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus
berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus,
glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.
Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Kumar,
2005).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar,
perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau
selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan
pada rantai tulang pendengaran (Lalwani, 2008).
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung
nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan menggunakan garputala 250
Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati lateralisasi
ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach
memanjang (Soepardi, 2001).
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada
gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang
normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita
gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan
dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat
ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga
tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Soetirto, 2001).
Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang.
Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran
tulang (Soetirto, 2001).
Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif
dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini
adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi
gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis
sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis),
kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama.
Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam
(Liston, 1997).
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan
pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-
tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes
bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar
mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala
Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat Schwabach memendek (Bhargava,
2002).
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, hidung dan
tenggorok, tes pendengarn, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes audiometri dan pemeriksaan
penunjang. Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik
berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak
pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat
didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6 (Guyton, 2007).
Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi suara
bising disekitarnya. Cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan
di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira 2 ½
cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif
(Guyton, 2007).
Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di
garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi garputala
terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila
tidak dapat dibedakan ke arah teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada
lateralisasi (Liston, 1997).
Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala
diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala
segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal.
Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak
dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi disebut
Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya
disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997).
Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik. Tes ini
meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur. Audiometri nada murni dapat
mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran tulang penderita dengan alat
elektroakustik. Alat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal dengan frekuensi dan
intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai ambang hantaran udara penderita
menerima suara dari sumber suara lewat heaphone, sedangkan untuk mengukur hantaran
tulangnya penderita menerima suara dari sumber suara lewat vibrator (Liston, 1997).
Manfaat dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran masing-
masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, gangguan pendengaran jenis hantaran,
gangguan pendengaran jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran jenis campuran).
Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif (normal, ringan,
sedang, sedang berat, dan berat) (Bhargava, 2002).
Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural. Tuli
konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Telinga luar yang
menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna
sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan di telinga tengah yang menyebabkan tuli
konduktif adalah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis,
hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran (Maqbool, 2000).
Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh bakteri atau virus)
dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau alcohol).
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma
akustik dan pajanan bising (Maqbool, 2000).
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons
serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya.
Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut akan menyebabkan
kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal koklea. Presbikusis ialah penurunan
kemampuan mendengar pada usia lanjut. Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak
karena hematoma, sehingga terjadi gangguan pendengaran (Maqbool, 2000).
MATA
Fisiologi Mata
Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang
memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan
objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak, yaitu rongga
orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa yang kuat untuk mempertahankan
bentuknya, suatu sistem lensa untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan
suatu sistem sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan
informasi visual ke otak (Sherwood, 2001).
Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya karena
adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur seperti cincin di dalam
aqueous humour. Lubang bundar di bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke bagian
dalam mata adalah pupil. Iris mengandung dua kelompok jaringan otot polos, satu sirkuler
dan yang lain radial. Karena serat-serat otot memendek jika berkontraksi, pupil mengecil
apabila otot sirkuler berkontraksi yang terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi jumlah
cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot radialis memendek, ukuran pupil meningkat yang
terjadi pada cahaya temaram untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood,
2001).
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus dipergunakan
lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa
sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai
akomodasi. Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot
siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior.
Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi
otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat
untuk penglihatan dekat. Serat-serat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk
penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk
penglihatan dekat (Sherwood, 2001).
Anatomi Mata
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2008).
Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel
kerucut yang berfungsi untuk penglihatan warna dan sel-sel batang yang terutama berfungsi
untuk penglihatan dalam gelap (Guyton, 1997).
Retina terdiri atas pars pigmentosa disebelah luar dan pars nervosa di sebelah dalam.
Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga
juga bertumpuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan sclera, dan permukaan dalam
berhubungan dengan corpus vitreum (Guyton, 1997).
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus
10. Epithelium pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch sebenarnya adalah
membrane basalis epithelium pigmen retina (Vaughan, 2000).
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.
Tiga per empat posterior retina merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk
cincing berombak, disebut ora serrata, yang merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian
anterior retina bersifat tidak peka dan hanya terdiri atas sel-sel berpigmen dengan lapisan
silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi prosessus siliaris dan belakang iris
(Vaughan, 2000).
Pada pertengahan bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, disebut
macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat paling jelas. Secara klinis,
makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di
tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat lekukan, disebut
fovea centralis. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan
tidak adanya lapisan-lapisan parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat
Henle) berjalan oblik dan pengeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke
permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini
fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina paling tipis (Vaughan, 2000).
Retina menerima darah dari dua sumber: khoriokapilaria yang berada tepat di luar
membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar
dan lapisan inti luar, foto reseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari
arteri sentralis retina, yang mendarahi dua per tiga sebelah dalam (Vaughan, 2000).
Etiologi
Buta warna karena herediter dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta warna total),
dikromasi (hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus trikromasi (tiga sel kerucut
berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua jenis buta warna, kasus yang paling umum
adalah anomalus trikromasi, khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria.
Sebenarnya, penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada kromosom X, namun
dapat mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa
penyakit yang diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat
menyebabkan seseorang menjadi buta warna (Ilyas, 2008).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara
turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika
hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau pembawa,
yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8%
pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk
dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Ilyas, 2008).
Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1
Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang
menyandi pigmen hijau (Ilyas, 2008).
Buta warna dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik, sedang pada
kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning sedang kelainan
saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau (Ilyas, 2008).
2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna di mana salah satu dari tiga sel kerucut
tidak ada atau tidak berfungsi. Akibat dari disfungsi salah satu sel pigmen pada
kerucut, seseorang yang menderita dikromatis akan mengalami gangguan penglihatan
terhadap warna-warna tertentu.
Dichromacy dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pigmen yang rusak:
a. Protanopia adalah salah satu tipe dichromacy yang disebabkan oleh tidak adanya
photoreceptor retina merah. Pada penderita protonopia, penglihatan terhadap warna
merah tidak ada. Dichromacy tipe ini terjadi pada 1 % dari seluruh pria. Keadaan
yang paling sering ditemukan dengan cacat pada warna merah hijau sehingga sering
dikenal dengan buta warna merah - hijau.
b. Deutranopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang disebabkan tidak
adanya photoreceptor retina hijau. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam
membedakan hue pada warna merah dan hijau (red-green hue discrimination).
3. Monochromacy
Monochromacy atau akromatopsia adalah keadaan dimana seseorang hanya
memiliki sebuah pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones. Pasien hanya
mempunyai satu pigmen kerucut (monokromat rod atau batang). Pada monokromat
kerucut hanya dapat membedakan warna dalam arti intensitasnya saja dan biasanya
6/30. Pada orang dengan buta warna total atau akromatopsia akan terdapat
keluhan silau dan nistagmus dan bersifat autosomal resesif
Bentuk buta warna dikenal juga :
a. Monokromatisme rod (batang) atau disebut juga suatu akromatopsia di mana
terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain seperti tajam
penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin
terjadi akibat kelainan sentral hingga terdapat gangguan penglihatan warna total,
hemeralopia (buta silang) tidak terdapat buta senja, dengan kelainan refraksi tinggi.
Pada pemeriksaan dapat dilihat adanya makula dengan pigmen abnormal.